September 6, 2014

[ROUND 5] NURIN - DEATH CLOUD RISING

[Round 5] Nurin
"Death Cloud Rising"

Written by Fachrul R.U.N
 
--- 

1
Sementara Nolan memberi pengarahan, Hvyt milik pria berkacamata itu menyembuhkan Nurin, memulihkan kondisinya kembali seperti sedia kala. Nurin mendudukkan diri, mengerjapkan mata, menggerak-gerakkan jemari tangan dan kaki untuk memastikan tubuhnya mampu bekerja dengan baik. Tenaganya telah kembali, muncul hasrat untuk segera mencoba kekuatan barunya, tapi ia menahan diri. Tidak perlu. Colette sudah menyingkap kekuatan utamanya, tidak perlu memperlihatkan kemampuan pengubah wujud sekarang.

"Ah, syukurlah..." Mba menghela nafas. "Syukurlah Anda bisa kembali pulih. A-apa Anda masih butuh bantuan? Mungkin saya bisa..."

"Tidak perlu..." Nurin buru-buru berdiri dan menjauhi wanita berambut pelangi itu. "Sekarang saya bisa jalan sendiri."

"Oh. Oh, oke. Baiklah."

Bagus Mba masih ingin mendekati Nurin, di saat belasan peserta yang tersisa antara mengabaikannya atau memandangnya dengan sorot bermusuhan. Tapi Nurin tidak ingin terlalu dekat dengan "wanita istimewa" Thurqk itu. Nurin hanya membutuhkan budak, bukan sahabat, dan Mba termasuk golongan yang tak akan bisa diperbudak olehnya. Ia hanya bisa membunuhnya, dan itu pun tak akan mudah. Harapan terbesarnya adalah agar Mba dapat teratasi dalam perjalanan, seperti yang terjadi pada Colette dan Si Seragam Sailor.

Tiga belas kontestan yang tersisa mulai berjalan serentak memasuki lorong yang ditunjuk Nolan. Nurin, diikuti lima ekor lalat, mengikuti mereka sambil tersenyum tipis. Ia melirik ke kanan, ke kiri. Begitu yakin Colette dan Luna benar-benar tak ada di dalamnya, ia nyaris tertawa. Tadi ia mengira ia salah lihat, namun dua gadis yang begitu marah kepadanya itu telah tersingkir oleh monster di lorong sebelumnya, hingga ancaman terhadapnya berkurang.

Mungkin ia terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Mungkin memang Thurqk memerhatikannya. Sang Dewa memang tak terang-terangan mengakui dirinya sebagai wanitanya. Nurin pun harus mati-matian untuk melalui setiap ronde. Tapi berturut-turut ia memperoleh nikmat dari Sang Dewa, mulai dari kemudahan tempat bertarung sertalenyapnya rivalnya. Hatinya mulai kembali beralih ke Sang Dewa walau ia masih jengkel terhadap keistimewaan yang Thurqk berikan kepada Mba... dan Nolan mencoba meyakinkannya untuk meninggalkan Thurqk.

Saat Nolan selesai bicara, pendapat Nurin sederhana: Hanya itu?

Setelah Nyarlathotep dan Raksasha memperingatkannya, Nurin kira Nolan akan menyampaikan informasi yang lebih mengejutkan. Nyatanya pria berkacamata itu, intinya, hanya menyampaikan kalau Thurqk tidak maha perkasa dan bisa dikalahkan.  Itu tak terlalu menarik dan juga tak terlalu menghebohkan. Sebenarnya ia juga dapat merasa kalau Thurqk tak berada di tingkat yang sama dengan Nyarlathotep. Tapi Sang Dewa tetap dapat mempengaruhi segala sesuatu di alam ini, dengan cara yang – kalau Nurin tidak salah tangkap – mirip dengan metode di film Matrix. Kalau rencana bodoh Nolan diketahui, Thurqk masih mampu menyingkirkannya.

Lagi pula, Nurin juga tak yakin kelemahan itu memang benar adanya. Ia sudah terbiasa mendengar perjuangan sekelompok manusia dari dunianya, yang berkorban jiwa dan raga untuk menyegel dewa yang memiliki "kelemahan"... namun ujung-ujungnya lenyap tak bersisa.

Bila Nurin menjadi dewa, ia akan membuat dirinya seakan memiliki kelemahan, lalu saat para makhluk rendahan ingin membunuhnya, ia akan menyingkap fakta bahwa ia hanya menipu mereka. Bisa saja Thurqk melakukan itu, sekedar untuk memberi harapan agar makhluk-makhluk rendahan ini bisa menghancurkannya nanti.

Atau memang kekuatannya seterbatas itu, hingga satu makhluk fana bisa membunuhnya.

BERISIK! geram Nurin dalam hati. Suara Nyarlathotep membuatnya lebih murka dari biasanya, terutama setelah mendengar penjelasan Raksasha di alam mimpi.

Kenapa begitu marah? Kan kamu selamat karena kekuatan pemberianku.

Kekuatanmu nyaris membunuhku!

Nyaris. Kalau kau tidak memilikinya, kau akan mati. Nyarlathotep tertawa.

Diam! Diam! Diam!

Tapi bagaimana kalau dewa pujaanmu ini masih menghendakimu mati? Nurin menutup telinganya. Tentu itu sia-sia, Nyarlathotep masih bisa berbicara langsung ke benaknya. Bagaimana kalau ternyata Thurqk, akhirnya, telah memerhatikanmu... dan dia ingin diam-diam menyingkirkanmu? Biar bagaimanapun, kamu telah memanggil nama sejati Azathoth di alam ini.

Sedikit tawa cekikikan, dan Nyarlathotep berhenti bersuara.

"A-Anda tidak apa-apa?" tanya Mba khawatir, melihat Nurin memucat dan berkeringat.

"Aku nggak apa. Jadi tolong, menyingkir..." desis Nurin sambil membuat jarak.

Hasutan tidak masuk akal. Kalau Thurqk menghendaki Nurin mati, dia pasti membiarkan rival-rivalnya hidup. Nyatanya mereka berguguran, membiarkan dia melenggang memasuki ronde buatan Nolan ini tanpa masalah...

Seseorang sengaja berjalan tepat di samping Nurin. Tangan gadis berkacamata itu mulai bergetar saat ia menyadari kalau itu adalah Si Humanoid Berekor, salah satu yang berniat menyerangnya sebelum ronde empat dimulai. Merasakan keresahan Nurin, lalat-lalat gadis itu mencoba menyerang, tapi target mereka sudah terlebih dahulu membunyikan seruling. Nada alat musik tiup itu membuat para lalat justru menari, bukannya melanjutkan menyerang.

Humanoid berekor itu tak bisa berbicara sambil memainkan seruling, tapi sorot matanya ke Nurin menyiratkan kebencian, mendorong Nurin menggeser posisi...

Hawa ancaman dari belakang membuat Nurin menoleh. Ia melihat Si Tanpa Mulut berjalan tak jauh darinya, rambut hitamnya mengembang siap mencekik. Ada beberapa helai yang bergerak membentuk dua kata, [Aku mengawasimu].

"M-maaf, Nona Nurin, apa tidak apa-apa kita berjalan sedekat ini?" tanya Mba saat Nurin mendekatinya, tak menyadari perhatian negatif yang tengah Nurin derita. "Kalau Nona Nurin tidak berkenan, saya bisa menyingkir."

"T-tidak perlu. Tidak perlu. Segini cukup," kata Nurin buru-buru, baru membutuhkan kemampuan Mba untuk bertahan hidup.

"Ah, b-baiklah kalau begitu," kata Mba, tersenyum.

Colekan rambut Si Tanpa Mulut membuat Mba berpaling. Di belakangnya, Si Tanpa Mulut membentuk kata-kata lain,

[Jangan dekat-dekat dengan dia.]

[Dia berbahaya]

"Dengarkan kata-katanya, wanita manis," Salvatore berhenti meniup seruling sejenak untuk menimpali. "Wanita beracun ini keji."

Aktivitas dua orang itu membuat perhatian sembilan peserta lain tertuju ke Nurin. Nurin pun mulai menggerutu, bertanya-tanya kenapa mereka berdua tidak lenyap sekalian di labirin bersama Colette.

Peringatan itu ditanggapi Mba dengan, "Maaf sebesar-besarnya, Tuan, Nona, tapi... kalau bukan karena bantuan Nona Nurin saya tidak akan lolos dari Raksasha," ia mengakui, walau sebenarnya ia tak tahu pasti bagaimana Nurin menolongnya. "Jadi, maaf, tapi menurut saya Nona Nurin memiliki sisi baik..." melihat wajah Nurin memberengut Mba menambahkan, "Maaf, Nona Nurin, itu bukan berarti saya menganggap Nona Jahat. A-ah, maaf, saya juga tak bermaksud menghina Anda."

Nurin mengibas-ngibaskan tangan meminta wanita berambut pelangi itu berhenti. Yang ia butuhkan dari Mba sekarang hanya perlindungan fisik. Ia tak mau justru dibuat pusing oleh permintaan maafnya yang seakan tak berakhir karena ia berbelit-belit ingin menyampaikan isi pikiran.

Si Humanoid Berekor kembali memainkan seruling untuk mengendalikan lalat Nurin. Ia jauhkan mereka sebentar, agar ia bisa waktu untuk bicara lagi, "Dengan ini, yang tersisa dari ronde pertama kita benar-benar hanya kau dan aku. Kau sudah menyakiti banyak nona cantik di gedung itu, wanita bau. Sudah tentu aku akan membalasnya."

WANITA CANTIK?! Nurin menggeram. Hanya itukah yang dipikirkannya? Wanita cantik? Jadi kalau Nurin cantik pembunuhannya akan dimaafkan? Kalau Celestia membunuhnya, maka monyet ini akan telentang dan membiarkan dirinya diinjak?! Nurin bisa menjadi cantik. Ia hanya tinggal mencoba kekuatannya di sini, dan ia akan melihat apa Si Monyet ini berubah pikiran. Bagus kalau ia bisa memaksanya untuk bunuh diri...

Tapi tidak. Itu berlebihan. Nurin hampir lepas kendali di saat yang tidak perlu. Bisa jadi inilah sistem pertahanan yang dikatakan Nolan. Ia tak boleh melakukan kesalahan ceroboh lagi...

Untuk mengurangi tekanan yang dideritanya, Nurin mencoba mengabaikan segala sesuatu di sekelilingnya. Ia hiraukan perhatian konstan sosok bermusuhan di belakang dan depannya, ia hiraukan keberadaan Mba, ia abaikan suara langkah kaki dan bisik-bisik dari peserta lain. Matanya terarah lurus ke depan, mencoba menemukan tanda-tanda kalau perjalanan ini memiliki ujung.

Lalu suara-suara itu benar-benar hilang, disusul dengan para peserta. Nurin melihat sendiri para petarung di depannya bagai terurai menjadi mosaik, sebelum lenyap secara misterius. Dia berhenti melangkah. Apakah ini bagian dari sistem keamanan lorong? Ataukah mereka diteleportasi oleh kekuatan lain, antara Nolan atau Thurqk, agar Nurin harus menghadapi apapun penghuni tempat ini seorang diri?

....ataukah jangan-jangan mereka semua sudah mati, hancur begitu saja, dan Nurin telah memenangkan turnamen ini?

Nurin mulai takut saat dinding, lantai, dan langit-langit koridor juga terurai. Cahaya menyilaukan bersinar, memaksa gadis pembawa wabah itu untuk menutup mata.

Suara kembali mengunjungi telinganya. Kali ini yang berbisik-bisik bukan hanya satu-dua orang dari belasan, melainkan banyak orang sekaligus. Ia mendengar alunan akordeon, suara tawa, sekelompok orang bercakap-cakap...

Saat Nurin membuka mata, ia menemukan kegelapan lorong juga tak mengikutinya. Cahaya siang hari masih bertahan. Ia  secara ajaib telah berpindah dari alam kematian kembali ke alam kehidupan. Ini juga bukan kota misterius yang ia kunjungi dalam pertarungan pertamanya. Malah, tempat ini begitu penuh kehidupan. Ada sekelompok orang yang tengah menyantap kopi di kafe, ada pemain pantomim tengah memperagakan aksinya, seorang badut melakukan aksi juggledengan botol kaca. Di kejauhan, ia dapat melihat Menara Eifel menjulang tinggi.

Bahu Nurin turun. Kakinya terasa lemas. Ia tidak tahu kapan, bagaimana, dan mengapa, namun, secara ajaib, ia telah berpindah ke Paris.

2
Kalau ini adalah ilusi, maka ini adalah ilusi terhebat yang Nurin temui sejauh ini.
            



"Hei!" seru seorang pria yang Nurin sentuh. Pria itu lalu menjauh, ditemani pacarnya, sambil menutup hidung dan berbisik-bisik dalam bahasa Prancis.
            

Nurin tak hanya bisa melihat dan mendengar Paris, ia juga dapat berinteraksi dengan apapun di sekelilingnya. Ia coba menjatuhkan kopi dari salah satu pengunjung kafe, dan cangkir itu pun tumpah, cairan di dalamnya mengenai celana pria yang memesannya. Ia menyentuh seseorang, dan orang itu pun bereaksi seperti tadi. Satu-satunya kejanggalan hanyalah tak satu pun dari mereka mampu melihat maupun mendengarnya, walau mereka jelas dapat mencium bau tubuhnya.
            

Itu pun bukan hal baru. Nurin masih ingat hal serupa terjadi di ronde pertama, di mana pembunuh-pembunuh elit di bangunan tempatnya bertarung tak menyadari keberadaannya hingga gasnya mempengaruhi mereka. Jadi, itukah yang terjadi? Ia benar-benar dipindahkan ke dunia nyata? Untuk melawan siapa?
            



Atau jangan-jangan pertanyaan itu sebenarnya tak perlu diajukan? Bukankah ada satu peserta turnamen yang begitu Prancisnya sampai memuakkan? Sosok yang semua du, vous, du, vous-nya tak tersentuh oleh translator universal. Sosok yang seharusnya sudah mati di labirin.

Sial, sial, sial...

Sudah mulai memahami situasi, Nurin beranjak memasuki kafe teramai yang ia temui. Pertama, ia harus berada di tempat tertutup agar gasnya bisa berfungsi lebih baik. Kedua, ia harus berada di tempat yang ramai penduduk. Ia ingat Colette memiliki hati yang baik, mungkin cenderung naif. Kecil kemungkinan badut itu akan menyerangnya di antara orang banyak, apa lagi ini adalah kampung halamannya.

Menghindar, gadis kecil, menghindarlah.

Suara Nyarlathotep tiba-tiba terdengar, memberi instruksi. Belum sempat Nurin mencerna ataupun mendebat, dia sudah terlebih dahulu merasakan bahaya. Ia pun bertolak dan melompat ke samping, tepat waktu menghindari peluru yang meluncur cepat, menghantam meja.

Itu Colette?!

Penghuni kafe berteriak panik. Beberapa menunduk, sebagian lagi langsung berlarian keluar. Nurin pun ikut menunduk, sambil berhati-hati agar kerumunan yang tak dapat melihatnya itu tak menendang maupun menginjaknya. Setidak-tidaknya ia dapat memanfaatkan kerusuhan ini untuk mencari tempat berlindung yang lebih baik. Kalau benar tembakan tadi datang dari Colette, maka tak mungkin ia akan menembak lang-

Satu peluru lagi datang, nyaris mengenai Nurin. Salah satu pengunjung yang mencoba lari terjatuh dengan kepala hancur, terkoyak oleh timah panas tadi. Sang Penembak Jitu begitu bernafsu menghabisi Nurin, hingga ia tak lagi peduli pada korban yang jatuh.

Bukan. Itu bukan dia, batin Nurin sambil berlari cepat, masuk ke koridor belakang kafe. Colette yang ia kenal tak mungkin akan mengenai orang tak bersalah hanya untuk membunuhnya. Ini orang lain. Lebih mirip dengan Zany, yang dihadapinya bersama Colette di ronde dua...

Si Penembak Jitu bukan satu-satunya yang menghendaki Nurin mati. Saat Nurin dan lalat-lalatnya mencapai koridor belakang, ada senapan serbu menyalak, menembus kaca dan melukai pengunjung serta karyawan yang terlambat lari.

Dua orang?! kata Nurin dalam hati, kaget bukan kepalang. Tembakan senapan datang dari bangunan bertingkat di seberang jalan, sedangkan yang ini dari depan kafe. Ia mencoba melihat siapa pelakunya. Di antara kerumunan, ia melihat seorang gadis berambut perak panjang yang tengah memegang senapan...

Zany... Nurin tak percaya. Seharusnya dia sudah mati di ronde dua. Kenapa ia harus menghadapi gadis buas dengan kemampuan regenerasi tak masuk akal itu lagi?

Sosok berambut perak panjang itu melihat Nurin. Selain menyadari kalau dirinya dalam bahaya serius, Nurin menemukan hal yang berbeda: mata pelangi yang menjadi ciri khas Zany telah digantikan oleh warna hitam pekat. Ia pun tak banyak bicara seperti sebelumnya, ekspresinya terkunci kaku, tak menunjukkan emosi apapun.

Lebih banyak tembakan datang. Nurin mempercepat langkah. Pegawai-pegawai kafe yang kabur lewat jalur belakang lupa menutup pintu, mempermudah Nurin untuk melewatinya. Ia pun tiba di gang belakang. Terengah, ia melanjutkan berjalan, mencoba secepat mungkin menjauhi tempat itu.

Hiruk-pikuk terasa hingga di gang. Banyak orang berlarian. Teriakan-teriakan dari jalan utama merambah tempat sempit itu. Sirene mobil polisi datang mendekat, walau Nurin ragu mereka bisa membantu banyak, di saat para pelaku kejahatan sama-sama tak terlihatnya seperti dirinya.

Setelah berlari lurus, Nurin berbelok tiba-tiba, memasuki sebuah toko roti yang sudah kosong. Merasa kalau jendela etalase membuatnya masih menjadi sasaran empuk, dia menaiki tangga, menuju lantai dua. Ia nyaris menjerit saat menemui ruangan itu berpenghuni...

Para penghuni itu hanya seorang gadis muda dan ibunya. Bila dilihat dari apron dan sarung tangan, keduanya sepertinya adalah pekerja, atau pemilik, toko ini. Keduanya sudah panik akibat keributan di luar, dan mereka semakin ketakutan begitu melihat pintu ruangan persembunyian ini terbuka dan tertutup sendiri.

Sedikit lega, Nurin merosot duduk, membiarkan kakinya memulihkan tenaga. Sirene sudah semakin dekat, dan suara tembakan tak lagi terdengar. Para lawannya tahu ia tak lagi di sana, terutama Zany yang sudah melihatnya langsung, dan mereka mulai mencari. Itu pasti. Dengan bau badan Nurin, tak akan terlalu sulit mereka menemukannya. Terutama karena kedua penyerangnya ini mengenalnya.

Punya waktu untuk berpikir, Nurin mengingat kalau ada lawannya yang menggunakan senapan laras panjang berkaliber besar: si rambut perak panjang berseragamsailor. Kemudian ada juga Zany. Karena ini Paris, Nurin masih yakin Colette ada di sekitar sini, memburunya juga. Tiga-tiganya adalah lawan yang ia anggap berbahaya. Ia harus memiliki persiapan khusus untuk mengatasi masing-masing.

Kedua perempuan di ruangan itu mulai berpikir untuk lari. Nurin tak mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi karena mereka menutup hidung, mereka pasti terganggu oleh bau tubuhnya. Mereka pun mendekati pintu, tak menyadari Nurin duduk di sana.

Atas perintah Nurin, lalat-lalatnya bergerak, menembus tubuh kedua perempuan itu. Mereka menjerit tertahan. Gas Nurin lalu menyebar cepat, dibantu oleh tertutupnya jendela-jendela, membuat kedua perempuan itu kesulitan bernafas dan berteriak. Mereka pun lalu terbatuk-batuk, mulai digerogoti efek wabah.

Sebagai boneka daging, pasangan ibu-anak itu tak akan berguna banyak. Mereka bahkan tak mampu mendengar instruksi Nurin. Nurin memang bisa menuliskan perintah agar mereka patuhi, tapi tak ada gunanya juga bila target mereka juga tak terlihat. Ia berharap dengan begini, lalat-lalat di dalam tubuh keduanya minimal bisa menggerakkan tubuh mereka. Kalau tidak, minimal mereka bisa berguna jadi sarang lalat, untuk memperkuat pasukan Nurin yang nyaris dilenyapkan oleh Raksasha.

Tangga kayu berderit. Nurin langsung menolakkan kaki dan maju, mendekati jendela, siap-siap lompat kalau itu adalah pengejarnya. Dia juga menjatuhkan meja makan untuk perlindungan, walau ia tahu kayu bercat putih itu tak akan mampu mengamankan tubuhnya dari tembakan. 

Pemilik langkah berjalan perlahan, membiarkan Nurin menderita mendengar setiap derit. Gadis berkacamata retak itu mulai gemetar. Ia harap kabut asapnya cukup mampu mencegah si pendatang ini. Kalau tidak begitu, ia harap lalat-lalatnya bisa menyerang dan menggerogoti si pendatang sebelum terlambat...

Tapi bukan hanya itu kan kemampuanmu? Nyarlathotep bertanya dengan riang.

Nurin tak suka mendengar suara makhluk itu di saat seperti ini. Berisik!

Reaksi yang begitu berlebihan. Padahal aku hanya mengingatkan kalau sekarang kamu punya kekuatan baru. Kekuatan baru yang lebih kamu banggakan karena kamu memperolehnya 'sendiri.'

Nurin harus mengakui itu benar. Dia memiliki kekuatan baru. Setelah tak sabar menggunakannya, ketegangan justru membuatnya lupa menggunakannya. Masalahnya, ia harus berubah menjadi apa? Pengetahuan Raksasha masih bercokol di kepalanya, memudahkannya membentuk tubuhnya menjadi apapun. Namun apa yang cocok?

Haruskah ia langsung menjelma menjadi Nyarlathotep? Bahkan memikirkannya saja sudah membuat makhluk hitam itu berkomentar. Bukan gagasan buruk, kan?

Tidak, itu tak bijaksana. Nurin harus terlebih dahulu mengambil sikap, apakah ia harus sepenuhnya menerima atau menolak Nyarlathotep, yang sudah mencoba membunuhnya. Ia dapat menerka-nerka kalau mengubah wujud menjadi makhluk itu bisa membuatnya lebih mudah dikendalikan. Sekarang saja bisa jadi ia telah sepenuhnya dalam cengkeraman makhluk itu. Masih ada makhluk-makhluk menakutkan lain yang dapat Nurin coba.

Belum sempat Nurin mengambil keputusan, pintu ruangan sudah terlebih dahulu dihujani oleh timah panas. Peluru-peluru itu meluncur kuat, menghancurkan meja dan jendela. Nurin terpaksa merangkak menjauh agar serangan itu tak mengenainya.

Zany melangkah masuk, melewati pintu yang sudah hancur akibat tembakannya. Ia tak bereaksi walau gas beracun langsung menyapunya. Mata hitamnya menyapu seisi ruangan. Hidungnya mengendus-endus. Dalam sekejap saja, moncong senapan ciptaannya sudah tertuju ke arah yang tepat, yakni ke sebuah sofa panjang yang digunakan Nurin sebagai perlindungan.

Belasan lalat menyeruak keluar dari tubuh kedua perempuan sial tadi. Mereka menyerbu cepat, mencoba melumpuhkan Zany atau setidaknya memberi majikan mereka kesempatan kabur. Untuk menghadapi mereka, Zany menggunakan senapan ciptaannya sebagai senjata jarak dekat. Senapan serbu itu terayun dengan cepat dan jitu, melumpuhkan dua-tiga lalat hanya dalam satu sapuan.

Sementara Zany masih disibukkan oleh prajurit-prajuritnya, Nurin bangkit dan melompat menembus jendela yang rusak. Sisi tubuhnya terlebih dahulu mendarat di trotoar.

"Aduh!" rintihnya. Walau jendela yang dilaluinya telah ditembaki, masih ada kaca yang menempel di bingkainya. Lompatannya yang buruk membuat beberapa kaca itu menempel di wajah dan tubuhnya. Pendaratannya juga tak bisa dibilang mulus, hingga bahu dan pinggang kanannya langsung terasa sakit luar biasa.

Sudah tahu kemampuan Zany, dan mengantisipasi kemungkinan sniper yang mengincarnya di awal sudah menempati posisi lain, Nurin bangkit dan terseok-seok maju, hendak mencari tempat perlindungan. Ia mendapat gagasan begitu melihat ada beberapa mobil polisi yang diparkir...

Zany melompat dan mendarat di trotoar di atas kedua kakinya. Tangannya masih menggenggam senapan serbu.

Saat itu, Nurin sudah melewati sepasang polisi yang sedang mengobrol di samping salah satu mobil, meninggalkan kunci di dalamnya. Tak terlihat, ia bisa dengan mudah menduduki jok dan menyalakan mesin, mengejutkan para polisi.

Transmisi mobil itu otomatis. Kebetulan yang bagus, karena Nurin hanya bisa mengendarai mobil seperti itu. Sebenarnya, ia belum pernah mencoba kemampuan itu di jalanan luar kompleks rumahnya. Ia juga tak pernah menggunakan mobil dengan setir di kiri saat latihan. Tapi saat ini, ia tidak sedang ingin menjadi pengendara yang baik.

Mobil polisi itu melaju tepat sebelum salah satu polisi hendak menaiki kendaraannya, semakin mengejutkan orang-orang di sekeliling. Nurin mengemudikannya lurus ke arah Zany, siap untuk menabrak...

Zany melompat, menghindari upaya Nurin dengan anggun. Senapannya menyalak, beberapa pelurunya menembus sisi kanan mobil.

"Sialan! Sialan! Sialan!"

Nurin banting setir, memutar kendaraannya setengah lingkaran. Manuver mengejutkan itu menabrak dan mementalkan seorang polisi berpistol. Awalnya Nurin tak ambil pusing, tapi lalu ia melihat para polisi mulai mengeluarkan senjata mereka, ingin memastikan "mobil hantu" di depan mereka tak melukai orang lagi...

Sementara itu, Zany menciptakan sebuah peluncur granat.

Nekat, Nurin menginjak gas, membiarkan mobilnya melaju. Sebelum ada yang menarik pelatuk, ia sudah terlebih dahulu melompat keluar, membiarkan saja kendaraannya bergerak tanpa pengemudi. Aksi dadakan itu tak seefektif yang ia inginkan. Mobil melaju dengan terlalu pelan, Nurin kesakitan, dan Zany memutuskan memanfaatkan kemampuan regenerasinya untuk meluncurkan granat dari senjatanya...

Mobil itu meledak, menciptakan gelombang energi kuat yang mementalkan semua di dekatnya, termasuk Nurin.

"Ah! Aaaaaah!" gadis berkacamata itu berguling-guling, mencoba memadamkan api yang menyulutnya. Telinganya tak dapat mendengar, kaget karena suara keras tiba-tiba. Rasa sakitnya semakin menjadi.

Saat Nurin akhirnya bisa mengendalikan diri, ia sudah melihat Zany masih berdiri di tempatnya semula, mempersiapkan tembakan granat kedua di antara kerumunan polisi.

Di dinding belakang Nurin, ada titik merah yang bergerak-gerak, bermain-main membidiknya. Sang Penembak Jitu tak menggunakan alat bantu laser itu tadi, jadi jelas ia hanya mengaktifkannya untuk mengintimidasi.

Tak hanya itu, Nurin juga menemukan sesosok makhluk bersayap hitam mengambang di langit. Sebuah sabit besar digenggam oleh kedua tangannya. Matanya hitam pekat, seperti mata Zany. Apakah itu peserta lain? Atau malaikat maut sejati yang menandakan kematian Nurin?

Nurin jatuh berlutut. Ia hampir menangis. Bagaimana caranya ia bisa melewati serangan seperti ini? Ketiga lawannya ini menyerangnya secara terkoordinasi, dan sepenuhnya mengincarnya! Satu-satunya yang dapat ia lihat hanya kematiannya sendiri...

Memang iya? Nyarlathotep tertawa. Raksasha yang kau hadapi di ronde sebelumnya sudah memberimu kekuatan dengan potensi begitu besar. Kau hanya perlu sedikit... kreatif.

3
Nyarlathotep mengaliri benak Nurin dengan pengetahuan akan seekor hewan dari alam lain. Makhluk itu berkaki empat, dengan tubuh keras bersinar kemilau bagai terbuat dari emas. Ia tak terkekang oleh aturan dimensi. Bila ia sudah mengendus mangsa, maka ia akan menampakkan diri di manapun.
            

Zany mengangkat peluncur granat. Malaikat maut di langit mempersiapkan sabit. Penembak jitu merasa sudah cukup bermain-main dan mulai mengarahkan bidikan ke kepala Nurin...

Ini bukan saatnya pilih-pilih. Nurin pun menggunakan kemampuan transformasinya untuk pertama kali dan berubah menjadi makhluk tadi.

Anjing Tindaloos. Nurin mengingat itulah nama hewan itu. TNI pernah berhadapan dengannya sekali. Salah satu pahlawan super Indonesia berhasil mengalahkannya, walau mereka gagal menyelamatkan target incaran hewan mistis itu.

Tembakan peluncur granat dan senapan laras panjang datang bersamaan, mengenai sekaligus para polisi dan pejalan kaki yang sial berada di area itu. Tapi Nurin tak terkena. Memahami struktur tubuh Tindaloos membantunya untuk melepaskan kekangan dari dimensi. Dalam wujud anjing itu, ia sudah terlebih dahulu memasuki Paris di dimensi lain. Paris yang ini terlihat kosong melompong. Langitnya hitam pekat dan bangunannya bersinar ungu...

Ia masih dapat merasakan keberadaan orang di sekelilingnya. Zany masih berada di jalan, bingung melihat dirinya hilang, demikian pula dengan malaikat maut yang tadi. Si Penembak Jitu sedang berada di gedung di seberang jalan, membidik jalanan, mencoba mencari mangsanya.

Ini...

Nurin merasa tenaganya tersedot dengan cepat. Memperbesar dada saja sudah memakan energi, apa lagi menjadi makhluk seperti ini. Tetap saja ia takjub, tak mengira ia dapat memanfaatkan kekuatan dari makhluk mistis. Awalnya ia kira ia hanya bisa mengambil wujud mereka, bukan menjadi penjelmaan sejati.

Raksasha sudah mengatakannya kepadamu, kan? Kemampuan pengubah wujudnya istimewa.Kita tinggal memanfaatkannya. Bukan begitu? tanya Nyarlathotep, terdengar senang luar biasa. Nurin mulai merasa kalau makhluk itu diam-diam telah mempengaruhi kekuatan barunya.Tapi sebaiknya kau cepat, anak buahku yang berharga. Tubuhmu yang lemah tak mampu menahan energi itu terlalu lama. Tahukah kamu kalau... Tindaloos bisa memburu mangsa dari sudut apapun di bumi ini?

Nyarlathotep mengaliri Nurin dengan pengetahuan lain lagi. Tindaloos diciptakan dengan fisik kosmis yang tak terikat ke dimensi apapun, hingga mereka mampu mengejar target ke tempat mana pun yang memiliki sudut. Nurin berniat memanfaatkannya. Ia hanya tinggal membidik sudut ruangan tempat Si Penembak Jitu berada dan berpikir untuk berpindah ke sana...

Seketika itu juga Nurin, masih dalam wujud Anjing Tindaloos, muncul dari sudut ruangan tempat Si Penembak Jitu berada. Nurin takjub akan betapa mudahnya itu. Tak terhitung berapa banyak musuh yang bisa ia atasi dengan berpindah mendadak seperti ini…

Tapi tenaganya terus merosot. Nafasnya terengah dan ia mulai kesulitan mempertahankan wujud barunya. Ia harus menyelesaikan ini secepatnya.

Sasaran Nurin berbalik. Senapannya menembakkan peluru berkaliber besar untuk merobeknya. Namun dia salah memperkirakan lawan. Nurin pun mampu mengelak tipis dan berlari maju.

Tahukah kamu kalau dalam wujudmu yang ini pun kemampuan racunmu masih ada? Nyarlathotep memberi petunjuk lain.

Tubuh anjing Nurin menabrak jatuh lawannya. Rahangnya membuka, memperlihatkan deretan gigi kecil dan runcing yang kini mengisinya. Lawannya mengerang, mata hitamnya menyorot marah, tangannya mencekik dan mencoba membanting.

Dari jarak sedekat ini, Nurin memastikan kalau ya, ini memang Si Pakaian Sailor yang sempat membuat masalah dengannya di awal ronde empat. Kenapa ia bisa kembali di sini, dengan mata hitam, Nurin tidak tahu. Ia juga tak punya waktu untuk memikirkannya sekarang. Untuk mencegah lawannya membalikkan situasi, Nurin membuka rahang, memperlihatkan deretan gigi pendek dan runcing yang kini mengisinya.

Sekali lagi, Nurin menggigit leher Si Pakaian Sailor. Ia biarkan liur berwabahnya mengenai daging dan kulit lawannya. Tubuh anjingnya mampu bertahan lebih lama dari upaya gadis yang diterkamnya.

Saat ia tak sanggup lagi menahan wujud anjing, Nurin berguling melepaskan diri dari Si Penembak Jitu. Tubuhnya sempat memudar menjadi genangan hitam, namun ia masih mampu menyusunnya kembali menjadi wujud sejatinya, walau kini ia tak lagi mengenakan pakaian apapun. Bahkan kacamata retaknya pun hilang.

Nurin harus membayangkan lagi pakaian khasnya agar tidak bugil. Alih-alih menciptakan kain baru, aksinya itu hanya mengubah dada, sebagian lengan, hingga kakinya menjadi bentuk pakaian. Masih kehabisan tenaga, ia terpaksa membuyarkan fokusnya, membiarkan dirinya kembali berpenampilan polos.

Dalam kondisi seperti itu, Nurin membiarkan dirinya tengkurap, menarik nafas setelah ketegangan tadi. Rasa sakit yang diderita tubuh aslinya kembali untuk mengganggu. Sejak awal sensasi tak mengenakkan itu memang tak meninggalkannya, namun tadi ia terlalu kaget, hingga ia sempat mengabaikannya.

Nurin mengangkat sedikit kepalanya agar ia dapat melihat lawannya, yang kini tengah mengerang kesakitan sambil memegangi luka di lehernya. Gas wabah mulai memancar dari tubuh Nurin, semakin mencekik penembak jitu itu. Nurin masih tidak tahu ia sedang berhadapan dengan apa. Bisa jadi yang dilihatnya ini memang Si Pakaian Sailor, bisa jadi itu hanya makhluk yang berpura-pura menjadi lawannya, atau malah mungkin mayat yang dihidupkan kembali. Tapi, dilihat dari reaksi gadis itu, kekuatannya masih berfungsi untuk menyakiti lawan.

Tak masalah juga apa racunnya masih berfungsi atau tidak. Dengan kekuatan pengubah wujud pemberian Raksasha dan bantuan pengetahuan Nyarlathotep, ia dapat mengatasi lawan macam apapun, baik yang punya regenerasi atau kemampuan menciptakan senjata. Ia hanya harus berhati-hati agar tak diserang saat sedang kelelahan.

Nurin memutuskan untuk menyandarkan diri ke dinding, sementara satu musuhnya terus tersiksa oleh racun. Ia mengatur kembali pernafasannya menelan ludah untuk mengurangi dahaga. Ia mulai mengamati ruangan, mencoba menemukan dispenser air atau botol minuman non-soda, non-alkohol, di antara meja, sofa, dan perabotan di sekeliling...

Sebuah sabit panjang terayun di luar. Ketajaman bilahnya di luar nalar, hingga bata pun tertembus dan terkoyak semudah keju. Nurin menyadari kalau waktu istirahatnya harus berakhir prematur, terutama saat pemilik sabit itu memotong, memotong, dan memotong, menciptakan lubang besar di dinding. Gas beracun menembus keluar, menyerang pelaku perusakan itu. Tapi ia tak terlihat terpengaruh.

Pelaku pengerusakan itu adalah sosok bersayap yang tadi Nurin lihat. Mata hitamnya menyorot Nurin dengan tajam. Sabitnya terangkat, sayapnya terbentang...

"Lindungi aku!" Nurin mencoba memerintah Si Penembak Jitu, siapa tahu wabahnya telah cukup menjangkiti gadis berpakaian sailor itu. Kalau tidak, ia pasti akan mati. Staminanya sama sekali belum pulih.

Sayap Malaikat Maut menyentak, membawanya maju...

Nurin menghembuskan nafas lega saat gadis berambut perak di dekatnya bangun. Dia melompat, dan mencengkeram malaikat maut tiba-tiba, menghalangi laju sosok bersabit itu dan membawanya menabrak dinding. Si Seragam Sailor itu lalu mencoba memukuli dan mencakar Malaikat Maut agar ia tak bangkit lagi.

Sementara keduanya berjibaku, Nurin buru-buru bangkit menuju ruang dapur. Dia membuka pintu kulkas dengan kasar, dan dengan seenaknya menyingkirkan sayuran, buah, makanan beku, serta bir, yang hanya akan membuatnya semakin haus dan tidak fokus. Begitu akhirnya ia menemukan botol jus buah, ia meminumnya dari bungkus. Ini mungkin tak akan secara instan memulihkan staminanya, tapi itu cukup untuk membuat kerongkongannya terasa lebih baik.

Dan ia memang memerlukan itu. Mungkin Si Seragam Sailor mampu mengimbangi Malaikat Maut dengan baik, tapi Zany kini sudah memasuki ruangan ini juga, mengandalkan jetpack yang gadis itu ciptakan sendiri.

4
Zany memanfaatkan jetpack untuk meluncur cepat ke dapur. Nurin bereaksi dengan mengambil nampan aluminium, menanti hingga lawannya itu sudah cukup dekat, lalu menghantamkan nampan itu sekuat tenaga, mencoba menyakiti otak lawannya.

Nurin gagal memperoleh waktu yang ia harapkan. Zany terus melaju, menubruk Nurin, hingga mereka berdua sama-sama membentur dinding. Jetpack di punggung Zany lenyap karenanya.

Hantaman keras itu membuat punggung Nurin kesakitan, dan ia mengalami gangguan pernafasan. Sebelum ia mampu memulihkan diri, Zany sudah terlebih dahulu berguling dan menindihnya. Tangan gadis berambut perak itu lalu terayun ke arah kepala Nurin.

Nurin mengangkat kedua tangan untuk melindungi kepala. Upaya pertahanannya berhasil melindungi otaknya dari hantaman telak, namun tetap saja ia merasa sakit luar biasa di lengannya. Kekuatan pukulan Zany terasa tak masuk akal dapat ditimbulkan oleh lengannya yang kurus.

"Mati..." desis Zany.

"Apa?!"

"Mati! Mati! Mati!"

"Bukan aku yang membunuhmu, itu Si Colette!"

Zany tak mendengarkan dan terus menyerang.

Dia hanya membuang waktu, Nyarlathotep membisiki. Dia butuh beberapa puluh detik untuk menciptakan senjata lagi. Terlalu lama membuang waktu, dan kau akan mati.

Lengan Nurin semakin sakit, tak dapat digunakan untuk bertahan lebih lama. Masih ia bisa protes, kenapa kamu berisik sekali sekarang?!

Karena sekarang kamu punya kekuatan besar yang terlalu mengasyikkan untuk dimanfaatkan. Silakan, menjelmalah menjadi aku, agar aku bisa menangani masalah ini.

Jika makhluk buas seperti Anjing Tindaloos saja sudah menguras begitu banyak tenaga, bagaimana dengan dewa seperti Nyarlathotep? Nurin pasti akan mati! Pasti masih ada alternatif yang lebih baik...

Apa kau pernah mendengar Gug? Nyarlathotep bertanya.

Walau staminanya sangat kuat, Zany melemah setelah pukulan bertubi-tubi. Nurin memanfaatkan itu untuk meraih kepala Zany dan membenturnya, agar dia bisa berguling. Tetap saja Zany dapat menindih punggungnya dan mulai mencekiknya dari belakang.

Gug adalah salah satu makhluk paling perkasa dari alam lain. Nurin dibanjiri pengetahuan tentang monster mengerikan tersebut. Ia dapat mencium baunya yang menjijikkan, tubuhnya yang menjulang, matanya yang sangat besar.

Sesuatu mulai terbentuk di tangan Zany, sebuah pisau. Bilah dinginnya menempel ke leher Nurin dan menarik keluar beberapa tetes darah.

Malaikat Maut berjalan tertatih ke dapur, tampaknya telah berhasil menyelesaikan Seragam Sailor.

Tak ada salahnya kalau kau mencoba wujud itu sekarang. Bukan begitu?

Ya. Karena tak ada pilihan lain.

Tubuh Nurin membesar. Otot-ototnya menguat. Kulitnya menebal dan berubah warna menjadi keabuan. Matanya berpindah posisi ke dekat dagu dan membesar, menyala keemasan. Bagian atas kepalanya membuka, membentuk rahang vertikal yang dipenuhi deretan gigi kecil dan runcing. Gas wabahnya turut menyebar, mencoba mempengaruhi kedua lawannya yang tersisa. Zany pun terpental, tak siap merasakan dampak perubahan wujud drastis tersebut.

Sosok perkasa itu tak diimbangi stamina perkasa. Saat transformasi selesai, Nurin sudah merasa seperti baru mengikuti tes fisik di SMA-nya dulu. Perutnya bergolak, tubuh barunya terasa dingin, dan matanya kabur.

Tapi ia masih harus memanfaatkan kekuatan barunya, kalau ia ingin selamat.

Zany dan Malaikat Maut menyerang bersamaan, satu dari belakang Nurin satu dari depan. Nurin mengayunkan lengan barunya yang besar ke depan dulu. Serangannya telak mengenai sasaran, yang langsung terlontar mundur.

Di belakangnya Zany mencoba menikam punggungnya, namun itu sia-sia; pisau itu bahkan tak mampu menembus kulit baru Nurin. Nurin hanya tinggal menyentakkan lengannya lagi, dan Zany pun terpental hingga menabrak dan menancap di tembok.

Zany melenyapkan pisaunya, mencoba menggantinya dengan senjata yang lebih mungkin menyakiti Gug. Tak tanggung-tanggung, dia kembali memunculkan peluncur granat, yakin dia akan selamat dari efek ledakan.

Disodori pilihan antara Malaikat Maut atau Zany, Nurin memilih Zany, masih dihantui oleh kenangan akan kemampuan regenerasi gadis berambut perak itu. Ia menerjang gadis itu, menembus dinding hingga ia mendarat di ruangan sebelah dan mengejutkan penghuni yang tengah menggigil ketakutan.

Tenaga Nurin terus terkuras. Pandangannya berbayang…

Rasa sakit dari tubrukan jitu itu membuyarkan fokus Zany, melenyapkan seketika peluncur granatnya. Ia masih dapat menggeliat, melepaskan lengan kanannya dari bekapan, dan mencolok mata besar Nurin dengan jempolnya.
Bola mata baru Nurin masih sama lemahnya dengan bola mata manusianya, hingga serangan mendadak itu membuatnya memejamkan sebelah mata. Mata sebelahnya pun masih berbayang, menyadarkannya kalau wujud ini sama-sama menguras tenaganya dengan Tindaloos.

Dari jarak sedekat ini, tangan besarnya tak akan meleset dari sasaran. Pukulan Nurin pun terayun, meremukkan tengkorak Zany dalam satu hantaman saja. Lawannya sudah berhenti bergerak, Nurin merobek dada Zany agar ia dapat melihat organ gadis itu…

Tak yakin dengan pandangannya, Nurin sekalian saja menghantamkan tinjunya, menghancurkan tulang, paru-paru, dan jantung Zany sekaligus. Regenerasi kepala Zany pun berakhir jauh sebelum sempurna, memastikan ia tak akan kembali bangkit.

Wujud Gug Nurin mulai bergelombang. Otot-otot dan saraf-sarafnya bergerak sembarangan. Kelelahannya hampir mencapai puncak…

Malaikat Maut sudah melesat di belakang, menebaskan sabitnya ke punggung Nurin. Nurin pun mengerang kesakitan. Meski fisik Gugnya masih tersisa, serangan itu mampu menembus daging dan kulitnya. Rasa sakit itu pun membuat tubuh Nurin seketika lumer, menjadi genangan berwarna kulit. Ia harus merangkai tubuh barunya dalam kesakitan, sementara Malaikat Maut masih berada di dekatnya...

Kaki makhluk bersayap itu menginjak genangan Nurin dengan kuat, menimbulkan rasa sakit luar biasa yang menyebar ke seluruh "tubuh." Ujung bawah sabitnya lalu ia ketukkan ke genangan, semakin membuat Nurin kesakitan dan kesulitan untuk berubah wujud. Akan bagus sekali kalau Si Malaikat Maut mau menyingkir, memberi izin agar Nurin kembali ke tubuh manusia, supaya dia lebih mudah untuk membunuh. Tapi tampaknya Si Malaikat Maut tak menginginkan itu. Dia menanti dengan sabar, sambil memberikan Nurin rasa sakit tak terkira...

Salakan senapan membahana keras. Pelurunya meluncur kuat, menghantam kepala Malaikat Maut dari belakang dan menghancurkannya secara total. Tak lagi bernyawa, Malaikat Maut terjatuh, mengenai genangan tubuh Nurin.

Seenaknya saja, kutuk Nurin. Memanfaatkan sisa kemampuannya, ia merangkak, menjauhi tubuh Malaikat Maut. Ia lalu menyusun kembali tubuhnya seperti sedia kala, tanpa luka bekas sabit. Ia gagal.

"Ergh…" Nurin mengerang. Tak peduli seberapa keras ia mencoba, luka sabit di punggungnya tak bisa diapa-apakan lagi. Kesakitan, ia merangkak maju, hendak melihat penyelamatnya: Si Seragam Sailor yang ia sangka telah mati. Tubuh gadis itu dirusak oleh sayatan panjang dan dalam, yang dimulai dari bahu kanan hingga mencapai pinggang kiri. Separuh wajahnya tercabik, dan masih ada sayatan-sayatan kecil di kaki dan lengannya. Tapi wabah Nurin memberinya kekuatan untuk berdiri, mengambil senapan besarnya, dan menembak lagi.

Dan Nurin pun tertawa. Luka di punggungnya tak lagi masalah besar. Ya, ia menderita cidera serius, namun kini dua lawannya telah tumbang dan satu telah menjadi boneka daging. Tinggal menunggu waktu hingga ia dikembalikan dan dapat dipulihkan, lalu ia bisa mulai menginterogasi Nolan dan menanyakan kenapa ia harus menghadapi sistem keamanan seperti ini seorang diri. Kalau saja ia tak memperoleh kekuatan Raksasha, dan ilmu dari Nyarlathotep – ia terpaksa mengakuinya walau ia tidak suka – ia pasti sudah mati sekarang.






 

Tapi aku menang, pikirnya, dan semua kebodohan ini bisa kusisihkan.

Karena tak ada yang menjelaskan, Nurin tak sadar kalau musuh yang harus diatasinya di ronde ini bukan hanya tiga.

5
Luna. Itu nama Si Seragam Sailor. Mungkin Nurin sudah pernah mendengarnya sebelumnya, tapi ia baru teringat lagi sekarang, saat boneka daging barunya itu memberitahunya. Namun ini bukan lawannya di ronde pertama, yang sempat mengintimidasinya sebelum ia memasuki labirin. Bahkan setelah menginterogasinya Nurin menyadari kalau Luna tak memiliki kenangan tentang dirinya sama sekali, jadi upayanya membunuh Nurin benar-benar hanya didasarkan pada… kewajiban untuk membunuh. Karena itu ia sama sekali tak memikirkan kematian penduduk biasa yang menghalanginya dengan target.
            

Musuh yang memiliki semua kemampuan lawannya, namun tanpa hati nurani, dan dengan akal budi yang hanya berfungsi minimal. Mungkin itu membatasi kemampuan mereka, tapi itu juga membuat Nurin harus lebih berhati-hati. Ia tahu sekarang kalau menggunakan sandera atau menggerakkan boneka daging tak akan berpengaruh apa-apa; musuhnya tak akan mengalami dilema moral.

Tapi ini sudah selesai, kan? pikir gadis itu, sementara luka di punggungnya mulai ditangani oleh Luna. Sebentar lagi aku akan kembali berpindah ke akhirat, kan?

Namun tidak. Nurin tak langsung kembali ke lorong yang ia jalani saat Malaikat Maut ditembak mati oleh Luna, dan ia pun masih belum kembali hingga lukanya, yang ternyata tak seserius yang ia perkirakan, dapat tertutup.

Nurin berbaring tengkurap dulu, mengatur sirkulasi nafas di ruangan yang telah sepenuhnya dipenuhi oleh gas wabah. Di ronde dua, ia harus terlebih dahulu membunuh Colette sebelum ia dinyatakan memenangkan pertarungan. Mungkin itu juga yang harus ia lakukan di sini?

Terpincang-pincang, Nurin menyeret kaki ke arah dapur, mengambil sebilah pisau mengkilat. "Luna," perintahnya, "Berlututlah, supaya aku bisa membunuhmu."

Telah sepenuhnya dikendalikan oleh wabah, Luna mematuhi. Ia duduk, kedua tangannya tertangkup dalam posisi berdoa, menantikan kematian yang dikehendaki oleh majikannya. Yakin kalau pengobatan pertama Luna tak akan menyelamatkan nyawanya bila ia terus berdiam di sini, Nurin pun mengangkat pisaunya, siap untuk menyelesaikan ini secepatnya…

Ada siulan dari luar. Awalnya Nurin tak yakin, karena suara itu teredam oleh sirene. Sabetan yang dilakukan Malaikat Maut, juga atraksi Nurin dengan mobil polisi, memancing keributan yang cukup besar, hingga kepolisian Paris sampai mendatangkan tim khusus. Tapi, semakin ia mencoba mendengarkan, semakin ia yakin memang ada seseorang menyiulkanAloutte.

Seketika itu juga Nurin mengurungkan sementara niatnya membunuh Luna. Ia berjalan dengan langkah-langkah pendek menuju asal suara, yakni dari luar lubang yang diciptakan Malaikat Maut. Ia melongok ke bawah, melihat ke arah deretan mobil dan truk polisi yang tengah melakukan evakuasi. Tak ada yang terlihat bersiul di sana… karena ia harus melihat lebih ke bawah.

Suara siul datang dari dinding gedung tepat di bawah Nurin. Ada seorang perempuan kulit hitam dengan riasan wajah badut tengah berjalan, dengan santainya melawan gravitasi. Bibirnya berulang-ulang menyiulkan aloutte, nadanya semakin keras dan jelas semakin dekat ia dengan Nurin.

Colette!

"Luna! Luna!" Nurin menjerit panik. "Ada ancaman, bereskan dia! Cepat!"

Luna mematuhi. Setelah menyambar senapan, ia langsung menghampiri Nurin untuk melihat ancaman yang dimaksud. Begitu ia melihat Colette, moncong senapan besarnya pun langsung terarah ke artis pantomim itu.

Colette lebih dahulu menciptakan sebilah pedang berwarna merah jambu dan melemparnya. Pedang itu berputar-putar dengan kuat dan cepat, menancap di kening Luna. Serangan itu membuat kepala Luna tersentak. Kakinya membawa tubuhnya mundur dua langkah, sebelum akhirnya ia ambruk telentang. Mata hitamnya tetap terbuka dan mulutnya menganga…

Ya, Colette yang Nurin kenal tak seperti itu. Bahkan Colette yang Nurin ketahui pun mungkin tidak bisa melangkah di dinding. Seketika Nurin mengambil langkah seribu, ingin mengulur waktu hingga staminanya sudah pulih, sedikit lagi saja, sebelum melanjutkan bertarung.

Langkah Colette lambat, hingga artis pantomim itu bahkan belum mencapai ruangan saat Nurin sudah meninggalkannya. Gadis pembawa wabah itu mencoba mencapai elevator, dengan niatan naik atau turun secepatnya demi menemukan tempat bersembunyi. Sayangnya langkahnya kembali terhalang.

Saat Nurin melihat pemuda itu, ia langsung tahu kalau itu pasti lawannya juga. Seeksentrik apapun selera fashion warga Paris, ia tak yakin akan menemukan seorang pria bertanduk satu, bertelanjang dada, dan berpakaian mantel kulit dan celana panjang hitam mengkilat, kecuali di acara cosplay… atau dalam turnamen. Tangan kanan pemuda itu menggenggam tombak berujung keunguan, yang mulai berpendar dan memancarkan listrik saat dia beranjak dari duduknya untuk menghadapi Nurin.

Lima. Ia harus menghadapi lima musuh sekaligus. Mungkin lebih. Dan sejauh ini, tiga dari lima itu hampir mustahil untuk disingkirkan tanpa kekuatan baru Nurin. Kalau pun ronde ini hanya disiapkan untuk menguji kemampuan transformasinya, tentunya penggagas sistem keamanan ini akan mempertimbangkan daya tahan kontestan yang terlibat di dalamnya?

Atau jangan-jangan siapa pun yang menjebak Nurin di sini hanya ingin dia mati?

Keparat kau Kaca Mata! umpat Nurin dalam hati, melimpahkan kesal ke Nolan tanpa bukti. Dapat ia rasakan kalau pria itu tak menyukainya. Mungkin dia sudah terlebih dahulu merasakan kekaguman Nurin kepada Thurqk, dan karenanya sekarang Nolan mencoba memanfaatkan sistem tidak jelas ini untuk menyingkirkan calon oposisinya.

Dan memang, pemuda bertanduk itu adalah lawan Nurin. Dalam sekejap dia menutup jarak, tiba-tiba telah berdiri satu tombak jauhnya dari posisi Nurin. Tombaknya ia gerakkan lurus, mencoba menghunjam dada Nurin.

"Cukup!" pinta Nurin parau, setelah ia berkelit, membiarkan lawannya lewat. "Aku bahkan nggak kenal kamu siapa! Biarkan aku pergi!"

Musuhnya tak mendengar. Pria bertanduk itu mengayunkan tombaknya ke samping, memaksa Nurin menunduk. Kewalahan, Nurin menyundul dagu pria itu dan melanjutkan dengan tendangan telak ke selangkangan. Pria itu terjatuh, memberi celah bagi Nurin untuk mencoba menginjak kepalanya. Tapi kali ini sosok bertanduk itu sudah terlebih dahulu berguling dan membuat jarak aman.

Kalau memang musuhnya ingin menjauh, Nurin tak keberatan. Dia berbalik untuk mencoba lari ke bagian lain koridor, tahu ia tidak akan bisa menang tanpa bantuan.

Colette berjalan dengan langkah-langkah tinggi, meninggalkan ruangan tempat Nurin sebelumnya berada, sekaligus menutupi jalan gadis pembawa wabah itu. Kini Nurin pun dihimpit oleh dua lawan sekaligus.

"Nurin..." Colette memanggil dengan nada monoton.

"Nurin..." ganti Si Pemuda Bertanduk yang bicara.

"Kau harus mati," mereka berdua berbicara bersamaan. "Mati. Mati. Mati," terus mereka mengulang kata yang sama dengan yang diutarakan Zany.

"Keparat kalian semua!"

Depan dihadang, belakang juga, Nurin menabrak pintu di sampingnya dan memutar gagangnya. Kebetulan pintu itu tak tak terkunci, hingga ia bisa masuk dengan mudah.

Tentu saja, tak ada jalan keluar konvensional di sana. Yang ia masuki hanya kamar hunian seseorang, dan ia masih berada di lantai enam. Karenanya kedua lawannya santai saja mengikuti.

Dan tahukah kau? Nyarlathotep bertanya dengan riang. Kau... selalu bisa berubah menjadi diriku.

Berisik!

Nurin berubah menjadi Anjing Tindaloos. Saraf-saraf dan organ-organnya berganti wujud menjadi partikel-partikel kosmis... untuk tiga detik saja. Sebelum transformasi itu selesai, Nurin sudah terlebih dahulu digerayangi rasa sakit tak terkira, mengembalikannya paksa ke wujud manusia.

Kepayahan, Nurin melihat ke belakang. Colette sudah menyusulnya, demikian pula dengan Si Pemuda Tampan. "Mati," ucap mereka mengancam. "Mati. Mati. Mati."

Kaki Nurin pun bergetar. Perutnya terasa melilit dan bulu kuduknya meremang. Maut telah datang.

Nyarlathotep sudah mengetahui pertarungan akan berjalan seperti ini. Pasti. Nurin yakin seluruh "bantuan" makhluk itu hanya bertujuan untuk menyingkirkan, atau membunuhnya. Untuk apa? Entah, mungkin agar dia bisa sepenuhnya mewujud di alam ini, membajak tubuh Nurin agar dia bisa melanjutkan apapun yang ia rencanakan terhadap Thurqk.

Sekarang, pertarungan akan berakhir. Alih-alih menjadi pemenang turnamen, ia malah akan bernasib seperti Colette dan Luna yang sejati: tewas begitu saja, dan tak dianggap oleh mereka yang tersisa.

Panik dan frustrasi, Nurin tak bisa menerima takdir itu.

Kau menyebalkan... ia menggeram kepada Nyarlathotep. "Dan kalian juga menyebalkan!" jeritnya, melepaskan wabah gas beracun yang dengan cepat memenuhi seisi ruangan. Colette terbatuk karena serangan mendadak itu, ketahanannya terhadap racun masih sama saja seperti sebelumnya. Artis pantomim itu mencoba mengatasinya dengan menciptakan masker gas, agar ia bisa melindungi diri dari infeksi lebih lanjut.

Rekannya, Si Pemuda Bertanduk, sudah terlebih dahulu melesat membawa tombaknya. Tidak seperti Colette, pria itu tak terlalu terpengaruh oleh gas Nurin...

Persetan kalian semua. Persetan!

Tombak menghunjam perut Nurin... namun gagal menembusnya. Kulit Nurin berganti menjadi kulit keras Tindaloos, walau wujudnya masih humanoid.

Kalau kalian semua segitu inginnya aku mati...

Kedua lengannya membesar. Matanya berpindah tempat ke dekat dagu, demikian pula dengan mulutnya yang membuka vertikal di atas. Dalam amarah dan keputusasaan, Nurin menggabungkan sekaligus wujud dirinya sendiri, Gug, dan anjing Tindaloos menjadi satu makhluk mengerikan.

Rasa sakit yang tadi mengunjunginya kembali datang, dengan intensitas lebih parah. Ia sudah tidak peduli lagi. Biarkan saja kalian datang! jerit batinnya kepada semua itu. Kalau memang aku harus mati, rasa sakit begini tak ada artinya!

Menakjubkan... puji Nyarlathotep terkesan. Harus kuakui, ini sangat menakjubkan.

Panas membara membakar Nurin dari dalam. Keringat bagai menetes dari tubuhnya, tapi bila diperhatikan lebih baik itu bukanlah tetesan air, melainkan kulit. Energi kehidupannya sudah begitu di ambang batas, hingga tubuhnya pun mulai tak dapat dipertahankan lagi.

Tangan besar Gug menyapu Si Pemuda Bertanduk hingga dia terlempar ke luar ruangan. Kepala Tindaloos menyeruak keluar dari bahu kanan Nurin. Kepalanya sendiri tumbuh di perut. Awalnya hanya satu, kemudian disusul oleh gugusan-gugusan kanker yang menyerupai dirinya...

Transformasi kacau itu membuat Colette tiruan sekalipun tak dapat bereaksi. Artis pantomim itu tertegun, mata hitam pekatnya terkunci ke Nurin. Darah mulai mengalir dari hidungnya, akibat dari otaknya yang memanas karena tak mampu mencerna wujud mengerikan di hadapannya.

Dia masih bisa bereaksi saat lengan Nurin memukul, menghancurkan lantai yang semula dipijak Colette. Colette berguling, melewati Nurin. Ia menciptakan lima pisau lempar, yang langsung ia coba lontarkan.

"Kau harus mati, Nurin!" teriak Colette parau.

Kelima pisau hanya menancap sebentar di tubuh Nurin, sebelum jatuh ke lantai. Kesemua senjata itu lebih seperti baru saja menancap di gunungan becek es krim, bukannya daging maupun tulang. Nurin masih merasakan sakitnya, tapi itu hanya membuatnya semakin gelap mata. Sambil meraung ia memutar tubuh, membuat Colette ikut terpental.

"BERISIK!" mulut di atas kepalanya bersuara. "BERISIK! BERISIK! BERISIK!"

Kakinya tak dapat digunakan lagi untuk berjalan, Nurin terjatuh dalam posisi berlutut. Masih ia merangkak maju, menyisakan ceceran genangan krem di karpet.

"Apa salahnya kalau aku pernah menjadikanmu budakku, hmm?! Ini kan turnamen maut! MEMANG ITU YANG SEHARUSNYA KULAKUKAN, BADUT KEPARAT!" tubuh Nurin membengkak dan membengkak, hingga ia nyaris menyentuh langit-langit. Kepala Gug dan Tindaloos bersatu, membentuk wajah raksasa... Ucup, satu-satunya peserta anak kecil yang dilihat Nurin, dan diduganya sebagai sosok yang ingin Colette lindungi.

Awalnya kepala Ucup masih memiliki mata, namun mata itu pun kemudian meleleh, menyisakan rongga hitam. Rongga kemudian terisi oleh mata lalat, yang membengkak dan membengkak, hingga hampir merusak tulang orbital yang menyangganya. Genangan hitam mengalir dari sudut matanya, memberi kesan kalau Ucup tengah menangis.

Walau yang di hadapan Nurin hanya Colette tiruan, transformasi Nurin kali ini tetap mampu menyentuh urat sarafnya. Colette menciptakan sepasang pistol merah jambu dan menembak bersamaan, mencoba menghancurkan wajah mengerikan yang gadis pembawa wabah itu ciptakan.

Serangan itu berhasil menembus kepala Nurin yang itu, tapi organ vital Nurin sendiri masih aman, tersembunyi jauh di dalam genangan tubuhnya. Nurin masih bisa memunculkan kepala lain lagi, yang menggigit tubuh Colette. Dia mencoba mengunyah, namun Colette mampu menciptakan peluncur granat untuk membuka pipi Nurin dan keluar dari sana.

Nyarlathotep mulai berbicara,

Maafkan aku, Manusia.

Nurin.

Tubuh Nurin masih membesar dan membesar, mengenai atap dan sisi ruangan. Ia tidak tahu lagi ia ingin menjadi apa. Akal pikirannya sudah larut bersama tubuh aslinya. Di mata Colette, dan Si Pemuda Bertanduk yang baru saja bangkit, tubuhnya yang sekarang hanyalah tumpukan tak karuan dari organ dan kulit. Ia hanya bergerak karena didorong oleh insting bertahan hidup.

Colette memunculkan senapan serbu berwarna pink dan mulai menembaki. Dari luar ruangan, Si Pemuda Bertanduk menghunjam tubuh Nurin dan menyengatnya dengan listrik. Tetap tubuh itu membesar, semakin menekan organ-organ vital Nurin ke pusat.

Sekarang  jelas kalau kau bukan sekedar bidak, masih Nyarlathotep berbicara.

Tumpukan organ raksasa itu menghitam. Baunya yang sejak awal tidak terasa menyenangkan itu semakin memburuk, demikian pula dengan penampilannya. Lengan, jantung, paru-paru, otak, semua bagian Nurin membusuk bersamaan, masing-masing memunculkan tentakel-tentakel panjang untuk meraih lawan.

Keadaan berbalik. Tiruan Colette dan pemuda bertanduk yang awalnya memburu Nurin kini harus menghadapi kengerian yang kondisinya kian tak enak untuk diolah oleh otak mereka. Masih, mereka berjuang. Colette mengandalkan pedang gandanya untuk memotong setiap tentakel untuk membekapnya, Si Pemuda Bertanduk bergerak kilat, menebas dan menusuk sambil berusaha menyakiti Nurin...

Dengan kekuatan seperti itu, kau pantas menjadi avatarku.

Saat Nurin akan mati untuk pertama kali, ia melihat seluruh kenangannya semasa hidup mengunjunginya, memberinya kilas balik pahit yang baru berakhir saat otaknya sepenuhnya berhenti berfungsi. Kini ia pun mengalami itu lagi. Ia mengingat kembali pertarungan pertamanya di turnamen ini, yang hanya terjadi karena lawannya, Celestia Hang, mengejeknya.

Organ-organ Nurin menyatu, membentuk kepala Celestia yang meleleh. Kepala itu merayap bagai ular, mendekati Colette. Colette menciptakan palu raksasa, melompat, dan menghancurkan gangguan itu.

Nurin mengingat kembali saat tangannya hancur, terkena tembakan peluru penghancur tank. Ia lalu bertarung di koridor, di tengah-tengah boneka dagingnya yang tak mampu melihat target, menghadapi Luna...

Kepala raksasa Luna tercipta di belakang, sama-sama melelehnya dengan kepala Celestia. Ia merayap cepat, mencoba menerkam Si Pemuda Bertanduk. Sosok berpakaian kulit itu sudah sukses diterkam dan tertelan... namun kemudian ia menciptakan ledakan listrik, yang memusnahkan kepala ganjil itu.

Nurin bahkan mengingat Colette, yang tengah ia hadapi, juga Zany dan Si Tanpa Mulut, sementara wajah ketiganya muncul bersamaan di depan dan belakang, memastikan Colette dan Si Pemuda Bertanduk tak memiliki banyak ruang untuk beristirahat.

Ia mengingat Si Rambut Karamel, sementara kepala raksasa Zany menindih Colette.

Ia mengingat Mba Irwin, saat kepala Tanpa Mulut dan Zany membekuk Si Pemuda Bertanduk dan menggigitnya.

Tubuh Nurin masih membesar, meruntuhkan lantai yang dipijaknya dan membawa dia, Colette, dan Si Pemuda Bertanduk ke lantai bawah. Tambahan ruang ini membantu Nurin saat ia memunculkan kepala Raksasha, Thurqk, Hvyt, Gug, Nolan, Tindaloos, Nyarlathotep...

Dan seketika, perlawanan Colette tiruan dan Si Pemuda Bertanduk pun tak lagi bermakna. Colette mencoba melarikan diri, agar ia bisa menyusun strategi yang lebih baik untuk menghadapi ancaman Nurin. Dia gagal. Saat ia ingin terbang menggunakan jetpack, tentakel-tentakel daging sudah terlebih dahulu meraihnya.

Si Pemuda Bertanduk bergerak kilat, terus menusuk dan menebas, mencoba untuk melemahkan Nurin. Namun dia justru tertindih oleh bobot salah satu kepala yang Nurin ciptakan.

Tunggu... siapa...

Gigi-gigi Zany dan Colette mencabik Si Pemuda Bertanduk. Lengannya tertarik lepas dan terasimilasi ke genangan tubuh Nurin. Pinggang bawah tergigit dan turut mencair, diikuti kemudian dengan ususnya, torso, lengan...

Siapa... aku?

Kepala Thurqk, Nolan, dan Ucup berlomba menggigit tubuh Colette. Artis pantomim itu berjuang sekeras yang ia bisa, namun pada akhirnya ia bernasib seperti rekannya sebelumnya. Gigi-gigi ketiga kepala mengoyak tubuhnya. Organ-organnya yang tertelan kemudian ikut lumer dan bergabung ke dalam tubuh Nurin yang masih terus membesar, menghitam, dan membusuk. Gas wabah menyeruak kuat, memastikan wilayah ini tak akan bisa dihuni dengan aman hingga beberapa dekade.

Lalu, setelah dua menit, tubuh mengerikan itu berhenti membesar. Sebaliknya, ia mulai menyusut dan menyusut, menyisakan genangan yang jauh lebih kecil dari sebelumnya. Tak terlihat lagi tanda-tanda keberadaan Nurin, Colette, Si Pemuda Bertanduk, maupun Luna, Malaikat Maut, Zany, dan penghuni bangunan yang terbunuh.

6
Aku adalah...

Genangan Nurin berpindah dari Paris kembali ke lorong, yang kini sudah sepi.

Aku adalah...

Warna krem berganti menjadi perak kehitaman. Alam mengakui kemenangannya dan mencoba menyembuhkannya kembali, demi kesenangan Thurqk, walau kondisinya sudah seperti itu.

Aku... bukan bidak.

Bukan budak.

Aku adalah... aku...

Sesosok tubuh menyeruak muncul. Kulitnya berwarna keperakan. Kelopak matanya membuka, memperlihatkan bentuk yang menyerupai mata lalat. Sepasang sayap lalat tumbuh di belakang punggungnya, terlalu kecil dan lemah untuk benar-benar digunakan terbang. Rahangnya membuka, menunjukkan gigi-gigi perak yang tajam.

Ujung-ujung jari Nurin memanjang dan meruncing. Tulang lengannya turut memanjang, hingga melebihi paha. Muncul tonjolan ganjil di keningnya, menyerupai mahkota kecil. Untaian rambut perak muncul menembus kulit kepalanya dan memanjang. Tubuhnya berubah, membentuk gaun yang terbuat dari tulang dan wajah korban-korbannya sejauh ini.

Ya...

Ia tertawa sambil melihat bentuk baru tangannya.

Tak perlu takut lagi.

Tawanya menguat, memenuhi seisi lorong.

Aku adalah... seorang ratu. Dan ini adalah alamku.

Karakter yang muncul
-Zany Skylark
-Enzeru Schwarz
-Luna Aracellia
-Zacharias Eithelonen
-Colette Reves

Setting
Paris, Prancis – realm asal Colette

7 comments:

  1. Sekali lagi Nurin berhasil memantapkan diri sebagai salah satu karakter yang layak ditakuti di turnamen ini. Konflik batin Nurin semakin berkembang, dan sekarang jauh lebih berasa ketimbang r4 yang sedikit nimbulin perasaan redundan selepas r3. Di entri ini Nurin keliatan banget 'monster'nya, dan saya jadi penasaran gimana Nya bakal terlibat lagi setelah ini (plus, gimana konfrontasi dengan Thurqk selanjutnya di canon ini).

    ReplyDelete
  2. Ursario : Oi, Granny. Kau tahu si Nyarey ini, bura?
    Ursula : Tentu saja aku tahu. Dia semacam Overlord dari dimensi yang sangat jauh. Bukan lawan yang bisa kita remehkan. Kita harus susun rencana sekiranya nanti bertemu dengan peserta wanita yang didampingi Nyarlathotep itu.
    ...
    Zany : Aku muncul, tapi sepertinya di versi yang ini si Nurin memenyimpan dendam padaku? I wonder why ...
    Cheril : Paris! Ini Paris!! Ayo semua Beary berkumpul untuk berfoto!
    Sal : Kota yang cocok untuk mengamen, ahay!
    ...
    Rex : Nenek!! Aku menemukan Menara Evil di sini! Tunggu saja. Akan kudatangi dan kubasmi semua kejahatan yang ada di menara itu!
    Yvika : *menangkap tangan Rex* Tahan dulu, bocah! Kau tidak bisa baca? Itu tertulisnya bukan Evil. Dasar.
    Elle : Waah, nom. Mommy Ivy dan Rex pegangan tangan, nom!
    *semua mata pun melirik*
    Leon : Cium! Cium! Cium!
    ....
    ....
    ....
    Baikai : *nyemil eclaire*
    Nema : *membantu Baikai menghabisi eclaire*

    ReplyDelete
  3. Mengingatkan saya pada Endingnya William Birkin di Resident Evil 2 Disc B.

    pemakaian lokasi dan penempatan drama bagus, tapi sayang ekspektasi saya mengenai Madness Nurin Vs 5 entrant berasa kebuang dengan cara battle 1-2-2 gini.

    Padahal mungkin 3 pertama masih bisa dibuat hidup agar 5 versus Blob Nurin lebih waw.

    Catatan: saya ngasih nilainya berdasarkan urutan Favor
    Nilai Anda
    ursario - 9
    claudia - 8.7
    Nurin - 8.4
    Yvika - 8.1
    Sjena - 7.8
    Sil - 7.5
    Stalza - 7.2
    Lazu - 6.9
    Salvatore - 6.6
    deismo - 6.3

    ReplyDelete
  4. Banyak sekali karakter yang terlibat di sini. Dan memang semuanya bisa jadi support untuk menjelaskan konflik internal Nurin dan tentunya exploitasi kemampuannya.

    Pembagian battle saat pertarungan dengan para entrant yang lain cukup bagus menurut saya untuk mengakali supaya Nurin bisa mencicipi setidaknya melawan masing-masing tiruan chara. Pembagian ini juga bikin kemunculan karakter dan pertarungannya tidak terasa sesak. Tapi, mungkin bakalan bagus juga kalau Nurin dihadapkan dengan mereka sekaligus.

    Saya mengharapkan kengerian lebih sejak encounter dengan para karakter yang muncul di awal. Tapi ternyata tidak. Sewaktu dengan Colette barulah kengerian yang paling kentara muncul. Poin plusnya, saya suka karena Nurin masih punya rasa takut dan nggak kehilangan sisi manusianya, terutama saat melawan Zany yang notabene regennya merepotkan itu. Terakhir, endingnya sangat menggambarkan bagaimana perkembangan Nurin sampai mejadi Empress of Flies yang sekarang, yang tentunya tidak mudah.

    Ngomong2, di "Malaikat Maut berjalan tertatih ke dapur, tampaknya telah berhasil menyelesaikan Seragam Sailor." kata menyelesaikan-nya bisa ambigu jadi konyol ya, alih2 menggunakan kata menghabisi. Mungkin kalau ga liat paragraf2 sebelumnya, bisa2 terbayang sang malaikat yang sudah selesai menyelesaikan seragam sailor yang dirajutnya sendiri. ;]

    Verdict: 8.5

    ReplyDelete
  5. battle awalnya g tlalu seru sih, krn g baca ronde kmaren jd agak kelewatan juga sama perkembangan karakter nurin
    tapi suka krn seting arenanya ada penghuninya (nurin emang butuh manusia dll buat jd bonekanya sih), trus konflik batin dan perjuangan nurin juga bagus banget kak :3
    trus gorenya jg msh ada, apalagi perubahan wujudnya itu ngeri banget :D
    dukung nurin sampai final
    nilai 9

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -