June 22, 2014

[ROUND 3 - K14] ALTAIR KILATIH - PUSAKA TIGA MASA

[Round 3-K14] Altair Kilatih vs Xabi Anger Metallici
"Pusaka Tiga Masa"

Written by Fusyana

---


Mata

Aku hanya ingin kau melewati ronde ini, Kilatih.

Kalimat itu muncul di sisi bawah penglihatan Kilat, sekitar satu jengkal dari matanya. Kilat hanya meraba udara kosong saat mencoba untuk meraihnya. Seolah telah terinput langsung ke dalam pupil matanya sehingga dia tak bisa menyentuhnya.

Nolan.

Begitulan penulis pesan itu menyebut dirinya. Kilat tak tahu siapa dia dan di mana dia berada. Dia juga tak tahu apa tujuan sosok misterius itu.

Yang pasti, sudah tiga kali ini tulisan Nolan muncul di mata Kilat sejak tiga menit terakhir. Huruf-huruf yang berjejer dengan teratur itu tidak terpaku di satu tempat, melainkan mengambang dan bergerak kemanapun Kilat mengalihkan pandangannya.

Kilat tahu seluruh sel di tubuhnya terikat dengan, atau digantikan sepenuhnya oleh bio-nanotech. Teknologi yang tertanam di dalamnya memang memungkinkan Kilat untuk memasuki secara paksa sebuah wireless network hanya dengan memikirkannya, jika saja dia mau menginstall modul khusus dari Unit Cyborg Hunter. Dia memang menggunakan fungsi psionic-network, atau psi-net, setiap saat ketika sedang mengatur tingkat kalibrasi gravitasi Katana Putih melalui insting dan kondisi mentalnya, tapi psi-net bersifat lokal dan dianggap sebagai satu ekosistem dengan teknologi internal bio-nanotech.


Tanpa modul khusus Unit Cyborg Hunter, secara praktis tak akan ada medium perantara yang bisa menghubungkan ekosistem teknologi internal dari bio-nanotech di dalam tubuhnya dengan jaringan apapun di luar tubuhnya. Dan walaupun modul itu terinstall, hampir mustahil bagi siapapun untuk melakukan hacking dan masuk secara paksa ke dalam ekosistem internal nanotech dari tubuh seseorang.

"Hacking ekosistem nanotech di dalam tubuh? Seratus persen mustahil!" kata ayah Kilat, Altair Hali, di suatu sore, kepada Kilat Kecil dengan rasa keingintahuan yang besar.

Kilat ingat beberapa penggalan dari penjelasan ayahnya, "Secara default, sih, nggak ada link antara ekosistem internal dan jaringan luar, baik wireless network, TyFNet, pokoknya output kepada jaringan fisik dan nonfisik apapun. Nanotech, terutama bio-variantnya, nggak mengubah bentuk fisik tubuh pengguna menjadi robot dengan port usb di ujung jari atau di lubang hidung."

Kilat Kecil tertawa mendengar penjelasan Sang Ayah.

"Bio-nanotech akan menempel atau menggantikan sel terkecil dari tubuhmu, lalu mereka akan menjadi bagian dari tubuhmu secara natural. Mereka akan jadi jantungmu, paru-parumu, tulangmu, kulitmu, matamu, telingamu, semuanya. Lebih kuat, lebih tahan lama. Kamu nggak perlu berkeringat, kamu bisa melihat sangat jauh dan mendengar hal sekecil apapun dan berbagai tambahan fungsi kecil lainnya, tapi secara fisik nggak akan ada perubahan apapun antara tubuhmu sebelum dan sesudah melakukan prosedur instalasi nanotech. Kamu tetap manusia seperti biasa, nggak akan tiba-tiba jadi robot atau masuk ke dalam TyFNet."

Tangan Kilat Kecil asyik memainkan jemarinya kesana-kemari, tapi matanya tak mau lepas memperhatikan ayahnya yang sedang serius menjelaskan.

"Kalaupun user menginstall modul khusus untuk menghubungkan ekosistem internalnya dengan jaringan luar… Ah, begini saja, kamu tahu nggak sebesar apa sebuah komponen nanotech?"

"DNA?" jawab Kilat Kecil ragu-ragu.

Ayahnya tersenyum, "Lebih kecil lagi." Tawa yang hangat mengiringi kalimat itu.

Mendengar itu mata Kilat Kecil yang lebar berbinar penuh rasa kagum dan ingin tahu, "Kok bisa, Yah? Kok bisa? Kilat aja nggak bisa lihat DNA, gimana caranya Ayah bikin benda yang lebih kecil dari DNA?"

"Kamu lupa ya, Ayah kan jenius. Kamu lupa kalau Ayah ini orang paling jenius di Aquilla?" senyum sombong yang kekanakan terpajang lebar di wajah Sang Ayah.

"Waaah!! Ayah keren! Ayah keren!" Kilat Kecil mengangkat tinggi lutut mungilnya satu-persatu dan berjalan sambil melompat-lompat kecil mengelilingi ayahnya. Rambut hitamnya yang dikuncir kuda bergoyang ke kiri dan ke kanan. Kedua tangannya dia kepalkan dan dia angkat secara beriringan dengan gerakan lututnya. Sementara wajahnya terlihat penuh dengan kebanggaan.

Kilat Kecil melompat ke dekapan ayahnya setelah melakukan dua kali putaran mengelilingi tubuh Sang Ayah dengan tarian anehnya.

"Terus, Yah? Hacker nggak bisa masuk ke dalam jaringan nanotech sama sekali?" tanya Kilat Kecil dengan nafas terengah-engah.

"Teorinya memang bisa," Sang Ayah membenarkan letak kacamata yang sedikit bergeser karena lompatan Kilat Kecil ke dekapannya tadi. "Tapi prakteknya mustahil."

"Kok bisa, Yah?" Kilat Kecil menyapukan lengannya untuk mengelap keringat di keningnya.

"Bayangkan nanotech yang lebih kecil dari DNA tadi. Terus Ayah bikin dengan jumlah yang banyak banget sampai bisa nempel di seluruh sel tubuh manusia. Terus, masing-masing nanotech tadi bekerja seperti sebuah komputer, mereka bergabung dengan komputer-komputer lain sesama nanotech menyusun satu jaringan komputer yang super besar dan super banyak lalu mereka bekerja sama melindungi pemilik tubuhnya dari serangan hacker."

"Kalau gitu, kenapa hackernya nggak bisa nyerang, Yah?"

"Karena hackernya nggak punya komputer sebanyak itu," Sang Ayah tersenyum. "Secanggih apapun komputer hacker, daya komputasinya akan kalah kalau melawan jumlah nano-komputer yang super banyak tadi."

"Sebanyak apa, Yah? Banyakan mana sama bintang?"

Sang Ayah tertawa sombong mendengarnya, dia memegang tubuh Kilat Kecil dengan kedua tangannya dan mengangkatnya ke atas, "Banyakan nanotech ciptaan Ayah! Semua bintang di langit nggak ada apa-apanya!"

Semburat kebanggaan dan kekaguman keluar dari hati Kilat Kecil. Langit utara bersemu jingga menyambut malam. Kilat bisa melihat dengan jelas sisa-sisa cahaya matahari yang mulai habis ditelan bumi. Kilat Kecil merasa seperti sedang terbang, tubuhnya di udara diterpa angin dari muka, hatinya penuh dengan semangat dan kegembiraan. Dia meronta, menarik dan menendang kedua tangan Sang Ayah yang menyangga tubuhnya, agar dirinya bisa berteriak bahagia sambil menjatuhkan diri dari ketinggian ke dalam pelukan Sang Ayah.

"Ayah jenius! Ayah keren!" teriak Kilat Kecil sambil memeluk erat leher Sang Ayah yang terjatuh di lantai setelah menangkap tubuhnya.

Kilat larut dalam potongan kenangan hangat itu. Untuk sesaat, dia melupakan semua kesedihan dan perjuangan yang sudah dia lalui di alam kematian ini. Semua pembunuhan, semua pertarungan. Walaupun kedamaian sesaat itu segera hilang saat sebuah pertanyaan muncul.

Kilatih, apa kau ingin keluar dari dunia ini? Kembali ke duniamu?

Sejenak Kilat diam termenung, lalu berkata lirih, "Ya."

Dia mungkin memang sudah mati. Dan dia tahu dia tak pernah menyesali kematiannya. Tapi jika dunia kematian yang akan dia singgahi kedepannya hanya dipenuhi dengan kesedihan dan pertarungan tanpa arti seperti ini, Kilat tentu lebih memilih untuk hidup lagi. Dia masih muda. Masih banyak hal yang bisa dia lakukan di dunia.

Kalau begitu, kau harus bertarung. Hilangkan semua keraguanmu.

Lewati ronde demi ronde dari turnamen ini. Mungkin, kita akan bertemu…

Mungkin, aku akan membutuhkan bantuanmu.

"Bertarung? Membunuh lagi maksudmu?" suara Kilat meninggi. "Nggak semudah itu, tahu! Leon! Shu! Elle! Kuzu! Mereka semua nggak pantas mati! Apa hak Thurqk bikin turnamen ini!? Nyiksa orang gini!?"

Mata Kilat berkaca-kaca. Tapi tulisan di hadapannya masih terlihat jelas, diam dan tak berubah.

Kilat tak pernah sesedih ini. Dia selalu tersenyum semasa hidupnya. Dunia ini telah merampas semua senyum Kilat. Kilat lelah menghadapi turnamen ini. Dia tak terima. Dia ingin mengamuk, menghancurkan Thurkq beserta kerajaannya dan kembali ke dunianya.

Thurqk punya segala hak untuk membuat turnamen ini.

Kekuatan dan kekuasaan Thurqk membuatnya memiliki hak atas segala yang dia inginkan.

Satu-satunya orang yang berhak selamat dari siksaannya adalah orang yang menuruti segala keinginannya, Kilatih...

"Atau orang yang bisa numbangin dia," kata Kilat geram.

Ya...

Tulisan itu berhenti sesaat.

...tapi kau perlu melewati ronde demi ronde jika ingin menantangnya.

Kilat mengeryitkan keningnya, "Nolan… Siapa kamu? Apa tujuanmu sebenarnya?"

Kalimat demi kalimat muncul bergantian di mata Kilat.

Aku tak tahu, Kilatih. Aku… aku tangan kanan Thurqk, untuk sekarang.

Dan aku mengajakmu berbicara karena, entahlah… mungkin karena hanya kau yang bisa kuhubungi dari semua peserta yang ada, tanpa sepengetahuan Thurqk. Nanotech di tubuhmu dan semua teknologi yang ada di pulau ini membuatku sanggup, paling tidak, berbicara denganmu melalui matamu.

Mungkin... karena aku ingin memberitahumu bahwa ada seseorang bernama Nolan yang sedang duduk di kursi kontrol dan monitor di belakang istana Thurqk.

Bahwa Thurqk membutuhkanku untuk membantunya memonitor semua peserta, menyiapkan semua ronde dan membantunya menyebarkan semua persyaratan ronde kepada para Hvyt untuk disampaikan pada masing-masing peserta.

Bahwa sekuat apapun Thurqk, dia tidak Maha Mengetahui, tidak Maha Berada, tidak Maha Berkehendak.

Mungkin, ini pertama dan terakhir kalinya aku berbicara padamu. Semua yang kau lakukan setelah ini tergantung kepadamu. Aku sendiri tak tahu apa yang akan kulakukan beberapa menit kedepan.

Tapi aku berharap kau berhasil melewati semua ronde setelah ini, Kilatih.

Mulut Kilat terbuka kecil dan menutup kembali, tak tahu apa yang harus dia katakan.

Kata-kata Nolan kembali memudar di udara dan tergantikan dengan rangkaian huruf-huruf yang baru.

Sssttt..

Huruf-huruf itu kemudian menghilang dan muncul sebuah kalimat.

Hvyt datang, bersikaplah normal. Aku tak mau mereka curiga. :)

Dari atas langit, Kilat melihat sepasang Hvyt melayang turun dengan santai. Kilat berusaha keras menyembunyikan kebingungan dan keterkejutannya karena tulisan-tulisan yang muncul di matanya. Saat kedua malaikat merah tanpa emosi berhenti di udara tepat di hadapannya, secara refleks Kilat menatap mata Sang Malaikat satu persatu sambil melihat dengan seksama setiap detil ekspresi wajah mereka.

Kedua Hvyt hanya memandang kaku wajah Kilat yang menoleh bergantian kepada mereka berdua.

"Apa yang kau lakukan, Nona?" tanya salah satu Hvyt dengan nada yang seolah tak membutuhkan jawaban.

Kilat, menutup kelopak matanya sejenak, lalu membukanya kembali. Paling tidak, Kilat yakin bahwa memang hanya dirinya sendiri yang bisa melihat tulisan itu.

Salah satu Hvyt mengangkat tubuh Kilat dan meletakkannya ke pundaknya begitu saja, membawanya terbang menembus Portal Realm di hadapannya.

"Ronde 3 menantimu."

Kilat melihat kalimat Nolan lenyap perlahan demi perlahan dari pandangannya, tanpa sempat berfikir bagaimana dia harus merespon semuanya.

~~~~~


Sepuluh Menit Pertama : Rasa

Kilat ada di salah satu sudut di dalam sebuah ruangan kotak tanpa pintu dan jendela. Cahaya yang entah dari mana sumbernya menerangi ruangan itu. Masing-masing sisi ruangan berjarak sekitar sepuluh meter. Dinding, lantai dan atap ruangan itu terbuat dari lapisan batu dengan material yang sama. Kokoh, kaku dan hampa.
"Kau hanya perlu membunuh musuh dihadapanmu," Kata-kata yang tak kalah hampa, keluar dari mulut Hvyt berpalu. Suaranya bergema lirih di antara tembok-tembok batu. "Kau harus melakukannya dalam tiga puluh menit agar kau bisa keluar dari tempat ini. Atau kalian berdua akan mati di sini."
"Ya, lawanmu hanya satu. Kau tak perlu repot-repot mencari keberadaannya seperti dua ronde sebelumnya. Jadi, silakan berkenalan sendiri," kata Hvyt bertombak.
Setelah mengatakan itu, dua buah Portal Realm terbuka di dua sisi dinding yang berlawanan. Kedua Hvyt yang mengantar Kilat terlihat pergi menembus salah satu portal. Satu Hvyt lainnya terlihat memasuki portal di sisi dinding yang berseberangan.
Keheningan datang bersamaan dengan kepergian mereka. Di pojok ruangan yang terletak berlawanan dengan tempat Kilat berdiri, seorang pemuda berambut jabrik dengan beberapa tindikan di wajah menatapnya.
Dia berjalan ke arah Kilat sambil berkata gusar, "Ah, perempuan. Nasibku jelek banget. Namamu siapa?"
"Altair Kilatih," jawab Kilat sambil melangkah ke arah Pemuda Jabrik.
"Aku Xabi. Malaikat bajingan itu merintahin kita saling bunuh, Kilatih."
"Aku nggak mau bunuh-bunuhan lagi kalau bisa."
"Ah, orang baik," sedikit kekecewaan terpancar dari wajah Xabi.
"Tiga orang mati gara-gara aku. Dua orang mati di tanganku," Kilat menundukkan wajahnya. "Aku sama sekali bukan orang baik."
Xabi tersenyum hampa, "Aku beneran benci sama orang baik sepertimu, Kilatih. Sibuk sama rasa bersalah. Selalu ragu-ragu mau ngapain aja. Ngecek moral, belas kasihan, blah blah."

"Itu hal normal yang dilakukan semua manusia," suara Kilat meninggi.

"Hal normal yang dilakukan manusia normal di dunia yang normal," Xabi berhenti di tengah ruangan. Matanya tajam menatap Kilat yang berhenti beberapa langkah dihadapannya. "Tempat ini nggak normal, Kilatih. Nggak ada hal normal di sini dan orang normal nggak akan bisa ngelewati semua ini. Aku yakin kamu juga ngerasain hal yang sama. Orang yang berhasil ngelewati dua ronde terakhir itu orang-orang yang otak dan mentalnya sakit, orang-orang yang hatinya mati. Kita semua sudah nggak normal lagi, Kilatih."

"Terus apa maumu?" suara Kilat bergetar, jemarinya semakin kencang menggenggam gagang pedang yang hampir tak terlihat fisiknya.

"Membunuhmu, Kilatih. Membunuhmu!" Xabi memberikan penekanan terhadap tiap suara yang keluar dari mulutnya. "Aku ini penjahat, kriminal. Pembunuh. Aku sendiri yang bunuh ayah dan ibuku. Sekarang giliranmu, Kilatih."

"Berhenti ngomong dan coba, kalau bisa!" Kilat melompat dan memukul dagu Xabi sekuat tenaga untuk membungkamnya.

Xabi berusaha menghindar walau terlambat. Pukulan Kilat menghantam hidungnya, dan mengucurkan tetesan darah segar ke lantai.

"Bagus, bagus," dengan telapak tangan kanannya, Xabi mengelap darah di hidung dengan sekenanya. "Nggak ada sok ragu-ragu. Nggak usah pakai belas kasihan, rasa bersalah, moral! Keluarin tinjumu, Kilatih. Keluarin senjatamu. Ayo saling bunuh."

~~~~~


Altair Hali berjalan dengan tergesa-gesa. Di belakangnya, Nora, Sang Istri, berusaha mengejar suaminya sambil menggendong Kilat Kecil yang terlelap.

"Hali, Sayang… Ayolah, ini bukan saat yang tepat buat ngurusin pedang."

Sang Suami berusaha untuk tak menghiraukan permintaan istrinya. Tapi kemudian dia berhenti dan memutar badannya.

"Nora, percayalah. Aku sudah berkali-kali mengecek kalkulasi itu, aku sudah berkali-kali mengecek jejak digital dari layer demi layer sistem operasi kuno yang masih aktif di grid kontrol gravitasi yang jadi pondasi kota terbang ini sejak berabad-abad yang lalu dan semua bukti menunjukkan hal yang sama. Semua bukti menunjukkan variasi absolut bahwa kesadaran Diktator itu hidup di antara kita. Statusnya memang sedang nonaktif dan akan terus begitu sampai beberapa tahun yang akan datang, tapi dia benar-benar hidup. Dan dia akan bangkit saat Kilat dewasa nanti."

"Terus siaran berita di TV tadi apa? Kamu dituduh jadi anggota teroris gara-gara membantu Cyborg? Jelas-jelas itu bohong!"

"Tentu saja, Nora. Semua paten nanotechlogy yang kuciptakan nggak ada hubungannya dengan Cyborg. Ada perbedaan fundamental yang jelas sekali, bagi orang awam sekalipun. Mereka itu pemerintah, Nor. Mereka bukan orang awam."

"Kalau gitu ngapain kamu malah sibuk mau ngurusin pedang? Harusnya kamu keluar sana! Bikin konferensi pers dan jelasin ke dunia kalau kamu nggak ada hubungannya sama teroris!"

Hali menghela nafas dalam-dalam dan mendekati istrinya. Dia belai rambutnya dan dia kecup keningnya untuk menenangkan emosinya.

"Sayang, kamu dengar yang sudah kukatakan tadi. Mereka itu pemerintah. Mereka bukan orang awam. Mereka tahu semua paten nanotechnology yang kuciptakan nggak ada hubungannya dengan teroris dan Cyborg. Mereka tahu, Sayang… Mereka tahu."

~~~~~


Tak ada belas kasihan di mata Kilat. Tak ada keraguannya. Semua hal yang mengganggu pikirkannya –  Nolan, rasa bersalah, penyesalan dan kesedihan –  menggumpal menjadi satu dan mengeraskan hatinya.

"Kita nggak punya banyak waktu di sini. Kalau kau memang ingin bertarung, berdiri dan pukul aku, Xabi."

"Senang lihat kamu penuh semangat gini," jawabnya sambil terkekeh.

Xabi mengeluarkan sebatang jarum dari kotak kecil di sakunya. Di tangannya, jarum itu membesar berkali-kali lipat membentuk sebuah pedang silinder dengan ujung lancip. Xabi mengambil beberapa langkah ke belakang dan dengan cepat berlari ke depan sambil menghunuskan ujung pedang jarumnya dan mendorongnya ke mata kanan Kilat.

Kilat melihat dengan jelas arah serangan Xabi. Dia menarik kepalanya sedikit ke arah kiri, membiarkan pedang jarum Xabi menyisir sisi kanan rambutnya.

Kilat menundukkan tubuhnya dengan sigap. Saat pergelangan tangan Xabi berada tepat di atas pundaknya, dia kembali berdiri, mengangkat Katana Putih di tangan kanannya horisontal ke arah depan dan menusukkannya dengan cepat sampai ujung mata katana itu berhenti di sisi luar pelipis kanan Xabi, menyayat kulitnya sedikit agak dalam sampai darah membasahi pipinya.

Mata Xabi terbelalak melihat gerakan Kilat yang sangat cepat. Pedang jarum di tangan kanannya terjatuh karena hentakan pundak Kilat. Dia melirik katana sebening kaca di pelipisnya dengan ekspresi seolah tak percaya. Dia melepaskan pandangannya dari katana itu sejenak kemudian untuk melihat gadis di hadapannya.

Mata Kilat masih setajam elang, "Jangan setengah-setengah kalau kau mau serius membunuhku."

Xabi tersenyum kecut. Tanpa Kilat sadari, sebuah jarum berada di genggaman tangan kiri Xabi. Xabi mengarahkannya ke perut Kilat dan memanipulasi ukurannya. Ujung jarum yang membesar dan memanjang menusuk sisi kanan perut Kilat begitu saja.

~~~~~


Sepuluh Menit Kedua : Asa

Altair Hali menciptakan mesin fusi hidrogen pertamanya di umur tujuh tahun. Setahun sebelumnya, dia menciptakan sistem operasi terintegrasi untuk perangkat komputer terkecil di dunia, tak lebih besar dari seujung kuku. Dia menguasai dengan sempurna teknik pedang turun-temurun keluarga besar Altair di umurnya yang kesepuluh.

Bagi orang lain, dia adalah dua hal. Lawan yang mematikan atau ilmuwan hebat yang patut diwaspadai.

Bagi Nora, dia adalah sosok suami paling sempurna di seluruh alam semesta.

"Kamu terlalu manjain Kilat, Sayang," bisik Nora kepada Hali saat melihat Kilat sibuk melompat-lompat sambil mengayunkan pedangnya.

"Memangnya salah?"

"Nggak," jawab Nora singkat sambil menyandarkan pundaknya ke dada Hali.

Hali melingkarkan kedua tangan ke tubuh hangat istrinya. Tak jauh di hadapan mereka, Kilat terlihat sudah bosan dengan pedangnya dan kini melompat-lompat mengejar seekor kucing putih besar.

"Suatu saat, Nora. Suatu saat Kilat akan jadi pendekar pedang terbaik keluarga Altair. Aku lihat sendiri bagaimana cara dia memegang pedang. Dia lebih tertarik melihat kemana pedangnya akan bergerak daripada bagaimana cara menggerakkan pedangnya. Di satu sisi, teknik bepedangnya memang kelihatan sangat berantakan. Tapi di sisi lain, pedang itu terlihat seperti tangan ketiga Kilat."

Nora tertawa. Dia menggeser tubuhnya untuk menyandarkan punggung kecilnya di dada Hali yang lebar dan memeluk kedua lengan Sang Suami yang bersandar di depan dadanya.

"Ya jelas lah," kata Nora, senyuman manis merekah di bibirnya. "Kilat lahir dari pemilik otak paling jenius di planet ini dan cewek paling cantik di dunia. Kalau gede nanti, dia akan jadi gadis paling keren di seluruh penjuru galaksi."

Hali tertawa, "Kamu memang istri paling sempurna di seluruh alam semesta, Nora. Kalau boleh, aku bisa mengundang seluruh keluarga besar kita dan menikahimu lagi setiap hari, sepanjang tahun!"

~~~~~


Kilat mundur satu langkah, melepaskan perutnya dari tusukan pedang jarum. Kakinya lemas. Matanya berkunang-kunang dan setiap sel di perutnya seolah menjerit kesakitan.

Kilat menggigit ujung bibirnya keras-keras. Berharap otaknya bisa melupakan sejenak cucuran darah dan sayatan yang merobek perutnya itu.

"Gerakan bagus, Xabi. Licik, tapi efektif."

"Masih bisa berdiri, ternyata…" Xabi mengambil sebuah jarum lagi untuk dia jadikan pedang.

Terdapat dua bilah pedang silinder di kedua tangan Xabi. Satu langkah kedepan, pedang di tangan kanannya dia ayunkan ke dalam, ke arah leher Kilat. Kilat menahannya dengan Katana Putih. Di langkah kedua, pedang di tangan kirinya dia dorong ke depan, ke arah dada Kilat.

Kilat menggenggam Katana Putih dengan kedua tangannya. Dia melangkah ke kanan dan memutar tubuhnya tepat di saat pedang kedua hampir mengenainya. Kini dia berdiri lurus dengan Katana Putih berada tepat di hadapannya, masih menahan pedang di tangan kanan Xabi. Pedang kedua berada di antara Katana Putih dan dadanya.

Xabi bergerak ke kanan berusaha menggeser posisi kedua pedangnya. Kilat membiarkan Xabi melakukan manuver itu. Namun saat kedua pedang Xabi berdiri sejajar dengan kedua ujungnya berada tepat di depan dada Kilat, secara reflek Kilat membuat katananya menjadi seringan kapas dan melemparkannya pelan-pelan ke udara. Dengan cepat Kilat menunduk, membuat kedua pedang Xabi menusuk udara kosong. Kilat berguling ke kiri depan dan melompat di belakang punggung Xabi untuk mengambil kembali Katana Putih yang melayang di udara.

Bobot Katana Putih meningkat pesat. Kilat membiarkan beban katana di genggamannya mengambil alih arah lintasan gerak tubuhnya. Satu putaran ringan ke kanan dan mata pedang berfisik tembus pandang itu bersarang di punggung Xabi.

Xabi terjatuh ke depan tak kuasa menahan beban yang tiba-tiba. Rasa perih menyergap punggungnya.

"Bangsat!" pekiknya.

Kilat memanipulasi bobot Katana Putih sehingga kembali seperti semula dan bersiap melakukan satu serangan yang akan mengakhiri segalanya. Tetapi, Xabi mengangkat telapak tangannya. Pusaran angin kecil termaterialisasi sebelum terbakar membentuk topan api yang melahap tubuh Kilat, memutarnya dan menghempaskannya ke dinding di belakangnya.

Kilat mengerang kesakitan. Badannya terhentak ke dinding lalu terkulai di lantai. Dia berusaha berdiri tapi syok yang baru saja diterima oleh tubuhnya, ditambah dengan luka di perutnya yang masih segar memaksanya tersungkur mencium lantai.

Dia berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Dia biarkan pipinya yang lembut menempel di lantai yang entah kenapa terasa semakin lembab dan dingin. Saat nafasnya sedikit lebih teratur, Kilat duduk dan menyandarkan punggungnya ke tembok.

 "Aku tahu, Xabi," kata-kata Kilat terpotong sejenak saat perih di perutnya kembali terasa. "Aku tahu kau bukan pembunuh."

"Tahu apa kau," Xabi meludah ke lantai.

"Aku tahu, kamu cuma pura-pura jadi orang jahat biar aku mau bertarung serius," Kilat tersenyum. "Tenang saja, Xabi. Aku bukan cewek lemah. Aku baru saja menghajarmu, ingat?"

"Terus ngapain kamu duduk di situ, Kilatih?" Xabi berjalan beberapa langkah ke arah Kilat.

Kilat mengangkat tubuhnya dan berdiri, "Intinya, kuterima tantanganmu, Xabi. Aku sudah capek sama semuanya. Aku nggak akan sanggup lagi kalau di ronde ini ketemu sama orang-orang seperti Shu, Leon, Kuzu, Elle. Paling nggak, kamu sudah mau berusaha jadi orang jahat. Jadi, ayo saling bunuh, Xabi."

Xabi tertawa sejadi-jadinya.

"Kalau saja kita nggak lagi di neraka, kunikahi kamu sekarang juga, Kilatih."

Xabi melepas kaosnya, memperlihatkan dadanya yang penuh tato. Dia lalu melilitkan kaosnya pada gagang pedang jarum di tangan kirinya. Dia ubah bentuk dari ujung lancip pedang itu menjadi gepeng dan lebar seperti telapak tangan. Dia angkat pedang itu dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya dia letakkan di bawah bagian yang gepeng. Dari tangan kanan Xabi muncul pusaran api yang membakar ujung pedang itu sampai berwarna merah. Xabi lalu melemparkannya ke hadapan Kilat.

Kilat tahu apa yang harus dia lakukan. Dia melepas jaket putihnya, menarik celana hitamnya sedikit ke bawah dan membuka bagian bawah tanktop hitamnya ke atas, memperlihatkan sisi kontras perutnya yang putih bersih dan berlumuran darah.

Kilat membungkukkan badannya ke bawah untuk mengambil pedang yang baru saja Xabi lemparkan. Dia memegang gagangnya dengan tangan kanannya.

"Cowok emo sepertimu sama sekali bukan tipeku, Xabi," kata Kilat sambil melemparkan senyuman manis ke arah Xabi.

Kilat menunduk dan menaruh sisi panas pedang Xabi di depan sayatan segar di perutnya. Satu tarikan nafas dalam, lalu Kilat memukul sisi panas besi itu ke arah perut dengan tangan kirinya yang tertutup sebuah fingerless glove berwarna hitam.

Besi panas menempel erat di kulitnya. Kilat menekannya kuat-kuat. Dia juga berteriak sekuat-kuatnya mencoba melepaskan semua rasa sakit yang dia rasakan lewat mulutnya. Saat besi panas itu dia buang dari perutnya, bekas luka yang tadinya tak henti-henti mengeluarkan darah kini mengering, menyisakan rasa sakit yang luar biasa. Tapi paling tidak, Kilat tak perlu khawatir tiba-tiba pingsan di tengah pertarungan karena kehabisan darah.

Kilat membenarkan letak kaosnya dan mengambil kembali Katana Putih yang tergeletak di lantai yang semakin dingin. Wajahnya masih menahan sakit. Kalau saja dia bisa, mungkin ruangan ini sudah tergenang oleh keringatnya.

"Sudah? Oke. Tornado kecil seperti tadi terlalu susah dikontrol. Jadi siap-siap saja, Kilatih."

Xabi menciptakan tornado api dari tangannya. Pusaran api itu segera membesar menyentuh lantai dan langit-langit, menghangatkan ruangan yang dingin itu dan menerjang Kilat.

~~~~~


Sepuluh Menit Ketiga : Nyawa

Tornado api mengejar Kilat, berusaha melahap tubuhnya untuk yang kedua kali. Kilat mengambil beberapa langkah ke depan sekedar untuk mendapatkan sedikit momentum sehingga dia bisa melompat ke dinding di belakangnya.

Nanotech di sepatunya membantu Kilat tetap menempel di sana. Kilat memanfaatkannya dengan berlari secara horisontal di tengah-tengah dinding, menghindari tornado api yang menerjang dan berhamburan lenyap setelah menerpa sisi tembok di belakangnya.

Kilat melompat ke depan dan berlari ke arah Xabi. Xabi mengambil sebuah ketapel yang sedaritadi dia sembunyikan dan menembakkan sesuatu.

Kilat tak tahu benda apa yang melayang ke arahnya. Mungkin hanya batu atau besi, tapi benda itu bergerak dengan sangat cepat. Beruntung, mata Kilat melihatnya sebelum terlambat. Kilat menekuk lututnya sambil berlari dan melontarkan tubuhnya ke udara untuk menghindari peluru dari ketapel Xabi.

Dunia berputar dengan cepat. Kilat berlari di langit-langit.

Xabi tahu dia tak akan bisa menghindar. Maka dia keluarkan dua jarum lagi untuk menyambut Kilat yang sebentar lagi akan menerjangnya dari udara. Kali ini, dia membentuk kedua jarum raksasanya masing-masng menjadi pedang bermata dua.

Kilat menambah berat katananya. Dia jatuhkan tubuhnya ke bawah mengkuti berat katananya sebagai jangkar. Dengan cepat, Kilat meringankan berat katananya sehingga dia bisa dengan leluasa memutar tubuhnya di udara, mengembalikan posisi dunia yang jungkir balik menjadi normal seperti seharusnya. Kilat menambah berat katananya sekali lagi dan membiarkan mata pedangnya menyayat tubuh Xabi dari atas.

Xabi berusaha menghadang serangan itu dengan kedua pedangnya. Namun permainan berat Katana Putih membuat ritme gerakan Kilat menjadi tak tertebak sehingga Xabi tak bisa melindungi tubuhnya dengan sempurna. Katana Putih membentur titik berat yang salah dari kuda-kuda kedua pedang Xabi. Dengan mudah katana itu menembus pertahanan Xabi.

Bahu kanannya tersayat tebasan dari udara. Namun berbekal refleks dan keberuntungan, Xabi bisa segera melepaskan diri sebelum tulang bahunya remuk ditimpa katana yang tertarik oleh gravitasi bumi dengan membabi buta.

Katana Putih menggetarkan lantai di titik jatuhnya. Kilat mendarat dengan kedua kakinya, menahan gagang katananya agar tak ikut jatuh ke bumi.

Kilat meringankan semua tarikan gravitasi bumi dari Katana Putih. Dia melemparkan pangkal dari gagang katana itu ke perut Xabi saat Xabi berusaha menyerang tubuh Kilat dengan kedua pedangnya. Bobotnya yang ringan membuat Katana Putih terlempar dengan mudah. Di depan perut Xabi, Katana Putih kembali menjadi berat, membuat Xabi kehilangan nafasnya untuk sesaat ketika pangkal katana itu menghantam perut Xabi sehingga sabetan kedua pedangnya urung.

Kilat berari ke sisi kanan tubuh Xabi, mengambil Katana Putih yang sepersekian detik sebelumnya menghantam perut musuhnya. Kilat meringankan beratnya dan mengangkatnya dengan cepat ke udara. Menambah beratnya menjadi berkali-kali lipat dan mematahkan kedua pedang Xabi menjadi empat bagian.

Xabi meletakkan telapak tangan kanannya ke perut Kilat dan menciptakan tornada api, membakar sepenuhnya sisi depan kaos hitam Kilat, memutar dan melempar tubuhnya ke dinding, sekali lagi.

Kali ini, Xabi tak mau menunggu. Semua serangan Kilat membuat keseimbangan tubuhnya kacau dan nafasnya berantakan. Tapi Xabi tak peduli. Dia tetap berlari seadanya, menghunuskan pedangnya yang telah terpotong.

Kilat merasakan kembali sensasi tubuhnya yang membentur dinding dengan keras. Untuk sesaat, dunia seperti tak mengizinkan jantungnya berdenyut. Tubuhnya bergetar hebat. Samar-samar dia mendengar teriakan Xabi. Dia menoleh kesana-kemari berusaha mencari keberadaan Xabi dari pandangannya yang mengabur dan berputar.

Kilat tak berhasil menemukan Xabi di tengah kebingungan itu, tapi dia tahu Xabi ada di dekatnya. Kilat berguling ke kiri mengikuti instingnya. Dan Kilat benar. Dia merasakan lengan kanannya tersayat benda tajam tapi dia merasa bahwa dia telah berhasil menghindari sebuah serangan fatal.

Dunia seketika berhenti berputar. Kilat melihat dengan jelas Xabi mengumpat kesakitan di sampingnya karena salah satu jarinya patah setelah hunusan pedangnya menabrak dinding sekuat tenaga.

Kilat berdiri dan memperlebar posisinya dari Xabi. Dia merasakan hawa ruangan itu semakin dingin dari waktu ke waktu. Kilat tahu Xabi juga merasakan perubahan suhu yang drastis itu. Tapi mereka berdua memilih untuk tak mempedulikannya. Mereka akan tahu saat bahaya mendekati mereka dibalik suhu yang semakin dingin. Sayangnya, saat ini mereka tak punya waktu untuk memikirkan bahaya itu. Semua konsentrasi yang mereka punya sepenuhnya terpusat pada pertarungan hidup mati yang sedang berjalan.

Kilat melihat bagian depan kaosnya yang secara praktis sudah hilang. Dia tak ingin sobekan kain itu menghalangi gerakannya. Dia menarik kaos hitam tanpa lengan itu dan membuangnya ke lantai. Kulit putihnya terlihat bersih bersinar walau sebuah luka bakar terlihat dengan jelas di perutnya.

Kilat kini berdiri hanya dengan sebuah bra hitam yang menutupi bagian atas tubuhnya. Celana hitam yang juga sudah sobek di sana-sini membalut tubuh bagian bawahnya. Fingerless glove di masing-masing kepalannya sementara Katana Putih mantap di genggaman tangan kanannya, siap untuk menyerang.

"Kau keliatan luar biasa, Kilatih," Xabi berdiri dan tersenyum, sebuah pedang sepanjang dua setengah meter dia genggam dengan kedua tangannya.

"Kau akan mati sebentar lagi," cetus Kilat.

~~~~~


Mata Nora mulai berkaca-kaca.

"Jadi, karena itu mereka sama sekali nggak ngasih kamu izin buat ganti sistem operasi kuno di grid kontrol gravitasi? Itu sebabnya mereka ngasih pernyatan di TV tadi?"

"Ya," jawab Hali pelan. "Sepertinya mereka baru saja tahu bahwa diam-diam aku mengecek algoritma sistem operasi itu."

"Terus kenapa kamu langsung lari bilang mau upgrade Katana Putih? Apa hubungannya pedang itu sama semua ini?"

Hali mendekat dan mendekap tubuh Nora dan anak perempuannya yang sedang berada dalam gendongan Sang Istri.

"Pedang itu punya sejarah, Nora. Kakekku menempa pedang itu saat semua orang percaya bahwa besi salju nggak bisa ditempa. Ibuku menganyunkan pedang itu untuk pertama kalinya, lalu membawanya di seumur hidupnya dan menggunakannya untuk membunuh orang itu. Saat beliau meninggal, beliau mewariskannya padaku."

"Terus apa hubungannya sama Kilat?"

"Katana Putih adalah pusaka dari tiga masa. Aku akan menempanya kembali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, lalu memariskannya kepada Kilat. Sama seperti saati kakekku memariskan pedang ini kepada ibuku, dan ibuku kepadaku."

"Kamu ini gila ya? Kenapa nggak kamu aja yang pegang pedang ini trus hajar mereka sekarang juga. Kamu mahir berpedang kan!"

"Tenangin diri kamu, Sayang. Dengar… Ini bukan tentang kita, ini tentang Aquilla. Apapun yang akan terjadi padaku nggak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang akan dihadapi oleh Aquilla nanti. Saat hal itu terjadi, mungkin kita sudah nggak akan ada di dunia. Aku nggak tahu, bisa saja hanya secuil anggota pemerintah yang korup, tapi bisa saja mereka semua korup. Untuk itu kita harus mempersiapkan Kilat. Hanya dengan itu kita bisa menyelamatkan anak kita. Nyawa kita nggak penting sama sekali, Nora. Dibandingkan dengan keselamatan anak kita…"

"Hali…" Nora menangis sejadi-jadinya di pelukan Sang Suami.

"Kamu ingat kata-katamu sore tadi, soal lelaki paling jenius dan cewek paling cantik? Aku akan menggunakan kejeniusanku untuk menciptakan miniatur gravitasi di Katana Putih. Selama pedang itu ada di tangan Kilat, dia akan baik-baik saja. Dia akan sanggup melewati semuanya, Sayang. Percayalah!"

~~~~~


Xabi dan Kilat saling menyerang, tak ada seorangpun dari mereka yang mau bertahan. Sabetan demi sabetan pedang menciptakan suara dentingan dan gesekan yang tak ada hentinya. Mereka sama sekali tak menyadari perubahan suhu yang semakin drastis. Mereka terus bertarung saat sisa-sisa hembusan tornadi Xabi membeku, membentuk tumpukan es di segala penjuru.

Baru saat Kilat berguling di lantai menghindari pedang panjang Xabi dia sadar bahwa lantai yang dia pijak kini adalah es, dan ruangan itu telah membeku dengan cepat. Hal itu membuat mereka menghentikan pertarungan untuk sesaat. Berusaha menelan kenyataan di sekitarnya dan mencari tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

Sekarang Kilat tahu maksud Hvyt. Jika salah satu diantara mereka tak ada yang sanggup membunuh dalam tiga puluh menit, mereka berdua akan mati beku di ruangan ini. Dan waktu yang mereka punya semakin sedikit.

Kilat tahu Xabi bisa menggunakan tornado apinya untuk menghangatkan diri saat situasi semakin memburuk. Tapi Kilat yang kini separuh telanjang dengan luka bakar di perutnya, tak akan sanggup bertahan di situasi yang akan semakin memburuk. Sekuat apapun nanotech yang melindungi tubuhnya.

"Sudah nggak ada waktu lagi, sepertinya. Serangan terakhir?" Xabi melempar pedang panjangnya ke lantai.

"Ya, hidup atau mati," Kilat memasang kuda-kuda.

"Hidup atau mati," Xabi mengarahkan telapak tangannya ke arah Kilat.

Suhu menurun semakin drastis.

Seolah diberi aba-aba, pada hitungan ketiga Xabi melemparkan tornado api secara horisontal. Membentuk peluru api yang berputar dari atas ke bawah mengejar musuhnya. Kilat berlari ke belakang dan memutar ke samping. Peluru tornadi api mengejarnya, melelehkan tiap jengkal es yang tersentuh.

Kilat melompat dan menjejakkan kakinya ke dinding, melontarkan tubuhnya ke arah Xabi. Peluru tornadi api menghempaskan diri ke dinding, lenyap menjadi es setelah membakar sedikit bagian sepatu Kilat.

Kilat menyiapkan katananya. Xabi melemparkan peluru tornadi api kedua.

Kilat melempar Katana Putih ke arah Xabi. Xabi berhasil menghindar. Katana Putih tertancap di balok es di belakang Xabi.

Peluru api berputar, menantang Kilat. Kilat tak gentar, menerjang.

Xabi berteriak. Dia ada di atas angin. Dia akan membunuh seseorang, sekali lagi. Emosinya membuncah.

Emosi Kilat membuncah.

Gravity Burst aktif.

Tumpukan es yang mencengkeram Katana Putih retak, pecah dan telontar ke segala arah. Beberapa lapisan es yang tajam menembus punggung Xabi.

Kilat berteriak, tubuhnya menembus tornado api, hangus di beberapa sisi. Tangan dan lututnya dia tekuk di depan tubuh agar dadanya tak ikut hangus terbakar.

Xabi terkejut. Dia terlambat bereaksi saat Kilat menerjang dari udara dan menyarangkan pukulan telak yang mematahkan rahangnya.

Sisa-sisa angin dan api membeku.

Kilat mendarat di lantai es, tepat di samping kiri tubuh Xabi. Dia meraih pedang raksasa yang tergeletak membeku secara paksa, menggenggamnya dengan kedua tangan. Kilat memutar tubuhnya ke belakang dan menusukkan pedang panjang Xabi ke samping kanan. Menembus tulang rusuk Xabi dan memecahkan paru-parunya.

Kilat menjerit.

Lalu semua yang ada di ruangan itu membeku… 

…dan Portal Realm terbuka.

~~~~~


Binasa

Tubuh Xabi membeku tanpa nyawa.

Kilat meliriknya untuk yang terakhir kali sebelum Hvyt mengangkat tubuhnya dan menggendongnya di pundak.

Semua tenaga Kilat habis. Bekas sayatan dan lebam di sepanjang kulitnya mulai terasa sakit.

Dia ingin tertidur pulas, tapi begitu melihat Portal Relam, Kilat teringat akan sesuatu.

Nolan.

Kilat yakin wormgate mini itu berfungsi sebagai penghubung tak langsung antara semua realita dan istana Thurqk. Kilat percaya itulah sebabnya kenapa tulisan Nolan hanya telihat jelas saat dia berada di dekat Portal Realm.

Dia membuka matanya lebar-lebar. Mencari-cari sebuah kalimat di dalam matanya.

Mencari Nolan. Orang yang tidak Kilat kenali. Teman bicaranya untuk sesaat.

Kilat ingin mengatakan sesuatu padanya, bahwa dirinya telah memutuskan untuk terus bertarung dan memenangi turnamen ini. Kilat ingin tahu apa yang menurut Nolan harus dia lakukan setelah memenangi turnamen ini, jika dia bisa memenanginya. Apakah dia harus melawan Thurkq? Apakah Nolan akan membantunya? Atau apakah Thurqk terlalu kuat dan Kilat harus kembali ke Aquilla begitu saja?

Kilat berusaha mencari rangkaian huruf di dalam matanya, sementara Hvyt terbang semakin dekat menuju Portal Realm.

Kilat terus menunggu kemunculan kata-kata Nolan. Sampai Hvyt membawa tubuhnya memasuki Portal Realm dan hilang ditelan kegelapan.

Kata-kata Nolan tak pernah muncul.

Kilat mencari di setiap sudut matanya.

Kata-kata itu tak pernah ada.

~~~~~


Mata [Epilogue]

[Aku hidup di dalam syaraf-syaraf artifisial dari elektron-elektron yang terus bergerak.]

[Jasadku mati, tapi kalian tak akan bisa membunuh kesadaranku.]

[Karena aku abadi.] [Karena aku adalah satu-satunya yang sanggup menyelamatkan kalian dari kebodohan kalian sendiri.]

[Aku seorang Deneb.] [Namaku Mata.] [Dan aku melihat.]

[Aku melihat kebenaran dari kepalsuan pemerintah yang korup.] [Aku menghancurkan mereka dan menciptakan negeriku sendiri.] [Negeri yang kuat dan tak pandang bulu.] [Negeri yang besar yang ditakuti oleh siapapun di dunia.]

[Sampai, orang-orang bodoh menusukku dari belakang dengan pedang busuk yang tak terlihat.] [Menghancurkan negeriku dan menggantinya dengan negeri yang lemah dan tak berdaya.]

[Aku tahu.] [Walau kesadaranku tertidur di dalam lapisan-lapisan memori dari komponen kuno yang menyangga Negari Bodoh ini.] [Aku tahu.] [Karena aku melihat.] [Dalam tidurku, aku melihat.]

[Aku melihat negeri lemah yang dipimpin para pengecut.] [Negeri Sampah yang seenaknya berdiri di atas reruntuhan surga ciptaanku.] [Dan aku berjanji untuk mengancurkannya dan mendirikan kembali negeriku yang digdaya]

[Tapi untuk sekarang, aku melihat pedang terkutuk itu.] [Aku melihatnya ditempa oleh teknologi.] [Aku melihat jembatan rapuh terjalin secara temporer di ruang bawah sadarku.]

[Aku mengutuk pedang itu.] [Maka dalam tidurku aku melepaskan secuil kesadaranku.] [Dalam mimpiku, kantong kecil kesadaranku berjalan menembus jembatan rapuh yang kemudian hancur saat aku sampai di dunia seberang.]

[Dunia kaca.] [Dunia bening yang tembus pandang.]

[Tapi aku tetap terlelap.] [Dan terlelap.]

[Sampai duniaku hancur.] [Dan seorang dewa membangkitkanku di dunia yang berbeda.]

[Membuatku terbangun.]

[Sekarang, aku terjaga.] [Untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun, aku bisa melihat dunia dengan mataku sendiri, dari balik dunia tembus pandang yang fana.]

[Dunia merah.] [Dunia para malaikat jantan berwajah memuakkan.]

[Namaku Mata.]

[Aku bukan lagi seorang Deneb.] [Deneb Mata tertidur pulas di dunianya yang seharusnya.]

[Kini aku hanyalah Mata.]

[Dan aku melihat.]

[Aku melihat.]

~~end~~

--
Cheers,
fusyana :3 | FB

5 comments:

  1. Di tengah tren r3 di mana banyak banget oc yang manfaatin pertandingan kali ini buat momen flashback, ga nyangka kalau fokus flashback Kilat sama kayak entri saya.

    Saya suka gimana ngehubungin antara Nolan sama Kilat dan berkesan masuk akal, ga sekedar kayak karena Kilat ini 'dia yang terpilih'. Porsi flashback yang selang-seling di antara battle juga mirip kayak saya, entah kenapa saya lebih suka bacanya gini karena buat saya ga ganggu, dan bakal ninggalin kesan dragging kalo ditumpuk di satu part.

    Battlenya rapi seperti biasa, secara subjektif saya lebih suka ini daripada Xabi, mungkin karena lebih banyak eksplorasi karakternya.

    Shared score dari impression K-14 : 7,7
    Polarization -/+ 0,3
    Karena saya lebih suka entri Kilat, jadi entri ini saya kasih +0,3

    Final score : 8,0

    ReplyDelete
  2. kilat <3
    setengah telanjang <3
    jd pengen gambar adegan pas ngerobek baju itu XD

    keren seperti biasa fu, tp entah knp gak sekeren R2, mgkn karena ada faktor reeh-nya yg imba ya yg kemarin XD
    karena sy gak tau ttg teknik2 nulis story atau gmn, jd cm bisa komen kek gni XD

    btw, kukasih nilai 8.5~

    ReplyDelete
  3. kilat <3
    setengah telanjang <3
    jd pengen gambar adegan pas ngerobek baju itu XD

    keren seperti biasa fu, tp entah knp gak sekeren R2, mgkn karena ada faktor reeh-nya yg imba ya yg kemarin XD
    karena sy gak tau ttg teknik2 nulis story atau gmn, jd cm bisa komen kek gni XD

    btw, kukasih nilai 8.5~

    ReplyDelete
  4. Entri ke-20….
    Ah.. sang ksatria yang berada dalam dunia 36.000 detik… dan trivia, saya juga tertarik bikin judul 1800 detik dari sini :3
    Lanjut…
    Entah kenapa, saya pikir ini tidak seepik ronde kemaren. Saya justru baru menikmatinya di akhir2, dan itupun dibantu oleh narasi yg kakak bangun, bagus banget. Andaikan narasinya jelek, saya pasti bakal malas baca ketika entri ini keluar…. Hehehe…
    Saya suka soal flashback di sini kak. Enaknya, sisipannya pas. Tidak terlalu dipaksakan. Dan seperti cerita lainnya, saya ga terlalu merasakan kondisi torturenya. Kak glen bikin ruangan itu buat landasan battle kita kan :v
    Untuk narasi, top tier. Diksi,typo, dll, tidak ada masalah.
    Untuk nilai, saya ngasih: 7.5
    Semangat kak :3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -