BATTLE OF REALMS 4: AFTERLIFE
[ROUND 7 - SEMIFINAL] END OF LIMIT
Written by Glen Tripollo
---
The Lament
of a Bespectacled Man
Satu
bulan? Satu tahun? Entah berapa lama waktu bergulir sejak aku terjebak di dunia
antah-berantah yang mereka sebut Nanthara Island ini. Bahkan, aku tak yakin waktu
masih berjalan sebagaimana mestinya. Terasa lambat dan menyengat. Seolah harapan
yang kumiliki perlahan-lahan menguap, tergantikan oleh keraguan yang bertumbuh
semakin kuat.
Makhluk
merah itu, Thurqk—aku lebih suka menyebutnya psikopat berkostum norak—entah
dari mana dia berasal. Muncul begitu saja di hadapanku dan mengaku sebagai dewa
yang menciptakan alam semesta. Kupikir, untuk ukuran seorang pelawak dia cukup
berbakat. Namun, itu baru pada awalnya. Semua berubah ketika aku melihat dengan
mata kepala sendiri kemampuan aneh yang dia miliki. The power of will, that’s a
real deal. Dia adalah makhluk brengsek dengan kekuatan mengerikan. Apapun
yang dia kehendaki, maka terjadilah.
Bukan
berarti aku mengakuinya sebagai dewa. Tentu saja tidak. Dewa tidak memiliki
batasan kemampuan, sedangkan Thurqk? Ada, walau masih berupa spekulasi, aku menyadari
satu hal, batasan yang menurutku cukup
fatal. Walau kecil kemungkinannya, namun hanya itu harapan yang tersisa untuk
diyakini saat ini, di luar dari keyakinanku atas perlindungan dari Tuhan atau
takdir apa yang tengah menungguku. Sekecil apapun, that’s worth to try. Aku berencana untuk menyerang di saat yang sama
sekali tak dia duga.
Sebelumnya
ada lima puluh lima makhluk tak bersalah yang mendadak dikumpulkan di Nanthara
Island ini. Lima puluh lima peserta yang masih diliputi dengan sejuta tanda
tanya di pikiran mereka, lalu dipaksa menjalani pertarungan hingga mati.
Tujuannya hanya satu, menghibur Thurqk. Mereka yang kalah akan dibangkitkan
kembali untuk kemudian dijadikan mainan. Tahu ‘kan permainan yang disukai
seorang psikopat? Penyiksaan, yang perlahan dan menyakitkan. Lalu, bagaimana
dengan yang menang? Mereka akan dipaksa bertarung kembali dan memperjuangkan
hidup mereka.
Thurqk
menjanjikan mereka satu hal, yaitu kehidupan kedua bagi satu peserta yang
tersisa. Apakah benar seperti itu adanya? Tak ada yang mengetahui, dan aku enggan
mempercayai setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Masih
tergambar jelas bagaimana Thurqk membantai satu persatu peserta di tanah lapang
di depan kastil Devasche Vadhi. Tanpa perasaan dia mempreteli harapan dan
semangat juang mereka, menghancurkan setiap organ tubuh mereka, dan memastikan
mereka musnah tak bersisa setelah menerima penderitaan yang tiada terkira. Bagaikan
seorang anak kecil yang menyiksa serangga, tak lebih dari sekedar hiburan dan
pemuas rasa penasaran semata. Setiap jerit kesakitan mereka, mengiris hati
hingga terasa ngilu.
Kalau
ditanya siapa di sini yang paling berperan dalam jalannya pertarungan demi
pertarungan di Nanthara Island, jawabannya sudah pasti diriku. Aku terlalu
lemah untuk menolak secara tegas perintah Thurqk. Pertama dia mengancamku akan
memasukkanku ke dalam neraka. Kupikir, itu tak masalah, selama aku bisa
menyelamatkan mereka semua. Tapi, Thurqk kembali menyerang rasa percaya diriku
dengan mengancam akan membunuh setiap anggota keluargaku dengan cara yang
sangat tidak manusiawi. Aku terpaksa menggigit bibir dan menjadi bidaknya dalam
mewujudkan semua yang dia inginkan.
Untuk
mendukung pekerjaanku, Thurqk memberikan otak super. Otak yang mampu berkembang
pesat dalam tempo cepat, membuatku mampu mengetahui hal-hal baru secara instan.
Di dunia, aku hanyalah seorang akuntan biasa. Di sini? Aku bagaikan dewa
teknologi. Tak ada perangkat keras dan jaringan yang tak dapat kumanipulasi.
Ketika
kusadari kemampuan otakku telah berkembang ke tahap yang luar biasa, jiwa memberontakku
tumbuh semakin kuat. Dengan berpegang teguh pada harapan yang perlahan-lahan
terkikis, aku menggunakan hak istimewaku dalam mengendalikan pertarungan untuk
menyusun strategi serangan balik terhadap Thurqk. Sempat terdiam dalam keputusasaan,
hingga akhirnya aku berhasil menemukan sebuah rahasia. Rahasia yang tersembunyi
di dalam sebuah ruangan di lantai empat kastil Devasche Vadhi. Sebuah awal dari
jawaban yang selama ini kupertanyakan. Mengembalikan kehidupan para peserta dan—bila
mampu—kehidupanku juga.
Di
dalam ruang rahasia itu terdapat sebuah tabung raksasa yang di dalamnya
melayang-layang puluhan kristal berwarna-warni, persis seperti yang pernah
kulihat dibawa oleh salah satu Hvyt, malaikat merah bertubuh raksasa dengan
sayap hitam lebar milik Thurqk. Kristal yang kuduga sebagai ekstrak jiwa, inti,
atau pun kernel dari kehidupan itu sendiri. Selama kristal tersebut belum
dihancurkan, maka masih ada secercah harapan mereka yang telah musnah dapat
kembali lagi. Itu teori awalku, tentu saja aku membicarakan masalah
probabilitas di sini. Aku mempertaruhkan sisa umurku untuk membuktikan kebenaran
tersebut.
Untuk
mengambil kristal, aku tidak bisa sendiri. Aku membutuhkan beberapa makhluk
berkemampuan khusus yang memiliki tujuan yang sama denganku. Maksudku, aku tak
mungkin mampu melawan para Hvyt sendirian bila mereka menyergap atau menangkap
basah diriku. Saat itulah, sesosok hantu gadis kecil muncul. Abby namanya, dan
dia sangat antusias mendengar setiap celotehku mengenai rencana untuk
mengalahkan Thurqk. Seolah dirinya selama ini menyembunyikan kebencian yang
besar terhadap makhluk biadab itu.
Abby
membuatku merasa lebih tenang ketika dia menyatakan akan turut serta membantu mewujudkan
rencanaku. Walau begitu, hati kecilku masih meragukannya. Sebagai strategi, kusampaikan
alur rencana dengan versi berbeda kepadanya. Dengan begitu, seandainya dia
berkhianat di tengah jalan, itu tak akan jadi masalah besar. Sedikit perubahan
dan masalah selesai. Bagaikan permainan catur, aku harus mempersiapkan beberapa
bidak untuk dikorbankan di saat-saat yang menentukan. Ada yang aneh? Entah
sejak kapan sikap licikku muncul. Tapi kurasa, mengalahkan Thurqk tidak cukup
hanya dengan mengandalkan kebaikan semata.
Kumanfaatkan
Abby sebagai pengalih perhatian para Hvyt dengan cara memintanyan menghilang
dari lingkungan kastil. Sementara aku menggunakan kesempatan untuk turun ke
lantai terbawah kastil untuk menemui enam belas peserta yang tersisa. Tepat di
dalam labirin, tempat yang sesungguhnya menjadi beban terberat untuk kudatangi
langsung seorang diri. Menatap wajah-wajah mereka para korban kebiadaban
Thurqk.
Aku
menceritakan semuanya kepada mereka, dengan penuh kejujuran dan keberanian yang
tersisa. Berharap mereka bersedia bekerja sama. Kedengarannya mustahil memang,
dengan sengaja mengorbankan beberapa orang demi mencapai tujuan bersama.
Lagipula siapa yang sampai hati memutuskan kematian dirinya sendiri di dalam
perjuangan-kembali-hidup yang hasilnya tak pasti?
Namun
di luar dugaan, sepertinya aku cukup berhasil meyakinkan mereka untuk
menyatukan tujuan. Selanjutnya adalah membuka kesempatan bagi mereka untuk
berjuang di medan sesungguhnya.
Lalu,
pertarungan selanjutnya pun dimulai dengan Thurqk yang bersikeras menahanku di
balkon terbang tempatnya duduk dan menyaksikan pertarungan. Saat para peserta
muncul dari balik ruang tahanan, saat mata mereka menatap diriku dengan sinis.
Aku menyadarinya, keberadaanku di sini—terpaksa ataupun tidak—mengesankan bahwa
aku telah mengkhianati harapan mereka.
***
End of Limit
Pintu
sel yang terbuat dari tulang belulang hewan itu akhirnya terbuka, membuat Nolan
tersadar dari tidur panjangnya dengan napas memburu dan keringat yang membasahi
sekujur tubuhnya. Darah masih mengalir dari keningnya yang tersayat hingga ke
dagu, membasahi jenggot sebelum akhirnya menetes ke atas permukaan batu di
bawahnya. Nolan menahan nyeri di sekujur tubuhnya, beberapa bagian bahkan
terlalu lemas untuk digerakkan.
Nolan
berusaha membuka kedua matanya. Namun apa daya, dia hanya sanggup mengangkat
kelopak mata sebelah kiri dan memandang sekitarnya dengan penampakan
samar-samar. Lebih parah karena dia tak lagi mampu merasakan mata kanannya.
Seolah bagian yang tertutup kelopak itu hanya menyisakan ruang kosong.
“Ma-ma-mataku
…,” gumam Nolan panik. Dia mengangkat lengan kanannya, bermaksud untuk
memegangi rongga mata kanan yang terasa nyeri menggunakan telapak tangan, namun
tak ada yang terjadi. Nolan telah mengangkat lengan kanan setinggi sembilan
puluh derajat, dan dia tak mampu merasakan keberadaan telapak tangannya.
Perlahan-lahan melirikan mata, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada
dirinya. Hingga akhirnya dia berteriak tanpa suara, karena ternyata dia tak
lagi memilikinya.
“Th
… Thurqkkhh … aa-appa yanghh kk-kau laku-kk-kan?” gumam Nolan susah payah
mengucapkan kata demi kata. Dia menelan ludah, namun bukan ludah yang ia
rasakan melainkan anyir seperti besi berkarat. Darah. Napas Nolan kembali
menderu akibat panik. Air mata mengalir dari mata kirinya, mengikis darah
kering di pipi. “Bahkan … kau memotong lidahku …,” gumam Nolan dalam hati sebelum
akhirnya menjatuhkan diri ke atas permukaan batu dan melepas tangis.
***
“Kaukah
itu, Nolan?” sebuah suara yang menyapanya kembali membuat Nolan tersadar.
Ditatapnya seorang perempuan yang tengah terluka, memakai jubah aneh yang dia
kenali sebagai Claudia, salah satu peserta.
“Jangan
bicara dengannya lagi, dia pengkhianat,” ujar Stallza ketus. “Kurasa dia pantas
mendapatkannya.”
Nolan
yang baru menyadari bahwa dirinya berada di dalam sel yang sama dengan empat
orang peserta yang selamat berusaha untuk menguasai diri. Dengan susah payah
dia berusaha menarik perhatian mereka dengan mengangkat tinggi-tinggi tangan
kirinya yang masih utuh. Seketika tatapan para peserta tertuju padanya. Nolan
menatap area di sekitarnya, mencari-cari suatu benda yang dapat dia gunakan,
hingga dia menemukan potongan gagang kacamatanya di bagian belakang tempatnya
duduk.
Dengan
gemetar karena tak terbiasa menulis menggunakan tangan kiri, sekaligus juga
menahan nyeri yang luar biasa, Nolan menggoreskan salah satu ujung gagang
kacamatanya ke batuan lembab yang mudah terkikis permukaannya. Keempat peserta
mendekati Nolan, penasaran dengan apa yang hendak dituliskannya.
“Lantai
empat, di antara ruang ketiga dan keempat,” gumam Claudia membaca tulisan
Nolan. “Apa … apa maksudmu ini adalah lokasi? Lokasi kristal yang kaubicarakan
sebelumnya?”
Nolan
menganggukkan kepalanya pelan, lalu kembali menggoreskan gagang kacamatanya ke
batuan lembab. Kali ini dia membuat sebuah gambar yang lebih buruk daripada
gambaran seorang anak TK.
“Apa
yang dia gambar?” tanya Stallza. Sementara Ursario dan Lazuardi hanya menatap
dalam diam.
“Apa
itu … Thurqk?” tebak Claudia. Nolan kembali membalas dengan anggukannya yang
lemah. Namun, belum sempat Nolan melanjutkan gambarannya, seorang Hvyt muncul
di depan sel mereka.
“Pertarungan
selanjutnya akan segera dimulai,” kata Hvyt. Nolan memandang Hvyt dengan heran.
Pertarungan terus berlanjut, itu artinya Thurqk mulai berani mengendalikan sendiri
jalannya pertarungan.
Keempat
peserta yang tersisa menatap Nolan nyaris secara bersamaan, sebelum akhirnya
mereka menyerahkan diri dan membiarkan Hvyt membawa mereka keluar dari dalam sel.
“Kau
tetaplah di sana, Nolan. Ah, maaf, aku lupa kau tak lagi memiliki kaki untuk
berjalan,” ejek Hvyt seraya membawa pergi keempat peserta, meninggalkannya
sendirian.
“Thurqk
… seandainya aku sempat memberi tahu mereka semua tentang kelemahanmu yang saat
ini makin kusadari. The power of will
milikmu, tak akan berguna terhadap orang-orang yang berada di luar jangkauan
pandangmu … seandainya aku bisa dengan mudah menyampaikan ini kepada mereka…
seandainya…”
Sambil
menitikkan air mata, Nolan kembali menjerit dalam kesendiriannya. Sebuah
jeritan paling menyayat hati …
meskipun
tanpa suara.
TO
BE CONTINUED
---
[ROUND 7]
Pertarungan Pertama:
Stallza vs Claude & Claudia
Stallza vs Claude & Claudia
Arena:
Jagatha Vadhi
Pertarungan Kedua:
Arena:
Cachani Vadhi
Aturan pertarungan:
- Tak ada pilihan lain selain bunuh lawanmu, kalau tidak Hvyt tak akan datang menjemputmu. Waktu pertarungan adalah dua hari, tanpa perbekalan apapun di arena yang sangat luas tersebut.
- Thurqk mengawasi peserta lewat ruang kendali di Devasche Vadhi, sementara Nolan yang sudah tak berguna masih terjebak di dalam sel bawah tanah Devasche Vadhi.
- Misi khusus (tidak wajib): setelah memenangkan pertarungan, gunakan segala cara untuk menolong Nolan keluar dari sel dan memberikannya benda paling berharga, sebuah laptop. Mungkin akan berguna pada saat final nanti.
- Pemenang akan ditentukan oleh banyaknya vote. Walau demikian, bila ada komentator yang hendak memberikan nilai berupa angka, diperbolehkan, namun sudah bukan menjadi bagian dari penilaian.
- DEADLINE: 30 Desember 2014 cara pengiriman cerita masih sama dengan ronde sebelumnya, menggunakan format judul [ROUND 7] NAMA KARAKTER - SUBJUDUL kirim ke battleofrealms.id.submission@blogger.com
Panitia akan menyelesaikan Canon-nya sebelum Desember 2014 berakhir, sehingga pertarungan Final nanti akan sepenuhnya menjadi milik peserta yang lolos. Silakan persiapkan plot terbaikmu.
No comments:
Post a Comment
Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.
- The Creator -