Pages

June 22, 2014

[ROUND 3 - K5] COLETTE REVES - NON, JE NE REGRETTE RIEN (NO, I DON’T FEEL SORRY ABOUT ANYTHING)

[Round 3-K5] Colette Reves vs Primo Trovare
"Non, Je Ne Regrette Rien (No, I Don't Feel Sorry About Anything)

Written by Adham T. Fusama

--- 

"Ladies and gentlemen, selamat datang di Cirques du Reves!"

Colette dapat mendengar suara papanya di tengah tenda utama, menyambut para penonton yang akan menyaksikan penampilan mereka semua. Colette dapat mendengar suara gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai. Tubuhnya dijalari antusiasme yang membuatnya merinding.

Suara yang dia rindukan. Suasana yang dia rindukan.

Colette memejamkan mata dan mengatur napasnya untuk menenangkan diri. Tarik napas, embuskan, tarik lagi, tahan sebentar, embus lagi. Ya, dia siap. Dia sudah siap.

Moi harus bisa. Moi harus bisa. Moi bisa. Moi bisa. Moi harus menang. Moi harus bisa menang. Moi bisa menang.

Colette memberi sugesti positif pada dirinya sendiri. Dia tidak mau kalah lagi. Dia tidak mau menjadi orang lemah lagi. Selama ini dia berhasil bertahan karena ada orang lain yang membantu bahkan mengorbankan diri mereka untuk melindunginya. Dia tidak mau dilindungi lagi. Dia harus bisa melindungi diri sendiri bahkan orang lain.


Kali ini, apa pun yang terjadi, dia harus menang.

"Tak perlu lama-lama lagi, kita sambut… COLLETE!"

Moi siap!

Colette membuka mata dan untuk sepersekian detik dia merasakan jantungnya seperti melompat keluar. Dia pikir dia buta. Namun dia sadar kalau dia pasti sedang berada di ruangan yang gelap.

Colette membuat gesture menggunakan tangan ke depan matanya. Tak lama, sebuah night vision goggles muncul terpasang. Colette akhirnya dapat melihat meski seluruh seluruhnya dalam warna hijau. Dia berada di sebuah ruangan yang cukup luas. Dan tak jauh di depannya, dia melihat seorang pria.

Tubuh Colette menegang bersiaga. Dia nyaris menjerit kaget tapi berhasil menekap mulutnya. Dia bahkan menahan napas, takut suara napasnya dapat membuat pria itu menyadari keberadaannya.

Pria itu berambut panjang bergelombang dengan pakaian seperti kesatria zaman dahulu—meski tidak mengenakan zirah seperti Rex. Dia seperti orang yang melompat dari halaman buku sejarah. Pria itu celingukan ke kanan dan kiri. Matanya pasti belum beradaptasi dengan kegelapan meski tangannya menggenggam sabre—pedang anggar—dengan siaga.

Colette tersenyum. Ini kesempatan. Yang ada dipikirannya sekarang cuma serang, serang, serang, menang, menang, dan menang. Dia akan akhiri semuanya sekarang juga.

La Luciolethe firefly.

Colette melempar sesuatu ke pojok ruangan. Di tengah udara, sebuah tongkat berukuran sedang termaterialisasi. Bukan sekadar tongkat biasa melainkan glow stick. Tongkat tersebut mengagetkan si pria. Dia memutar lehernya dan bersiaga ke arah tempat jatuhnya glow stick tersebut.

Di saat yang bersamaan, Colette mematerialisasi sebuah senapan mesin. Senyumnya merekah. "Pardon, Monsieur. Au revoir!" bisiknya, mengarahkan moncong senjata ke pria itu, dan….

"AAIIIEEEEEE!"

Colette berteriak sewaktu ada yang menusuk bahu kirinya. Senapannya terlepas dan jeritannya mengundang perhatian si pria. Colette terjatuh ke lantai dengan bingung. Dia menjerit kesakitan sewaktu mencabut mata pisau yang tertancap di bahunya.

"HEI! SIAPA DI SANA?" seru si pria.

Apa-apaan ini? Kekuatan si pria?, pikir Colette. Dia memindai pandangannya ke segala arah. Matanya kemudian tertuju ke sebuah lubang di tembok. Lubang tersebut tidak ada sebelumnya dan kini ukurannya semakin mengecil kemudian hilang.

Jangan-jangan, seluruh ruangan ini adalah jebakan! Dasar Thurqk!

"Siapa kau! Sebutkan namamu!"

Colette beralih lagi ke pria itu. Sekarang si pria sudah melihat dan mengacungkan ujung sabre ke arahnya, tanda kalau mata si pria telah terbiasa dengan kegelapan. Colette buru-buru mengambil kembali senapannya.

Dia menembaki pria itu secara membabi-buta. Dengan sigap sekaligus anggun, pria itu menghindari tembakan Colettte. Tak ada satu pun peluru yang mengenai sasaran. Terlebih, nyeri di bahu semakin kentara membuat Colette melepaskan kembali senapannya.

"Lancang!" raung pria itu dengan nada angkuh. "Aku Primo Trovare! Sebutkan namamu!"

Pria bernama Primo tiba-tiba melompat mundur ketika ada mata pisau yang melesat dari lantai dekat kakinya. Colette melihat ada lubang di lantai yang tadi memuntahkan pisau dan sekarang mengecil sebelum hilang.

Dugaannya benar. Semua sisi ruangan gelap ini dapat menembakkan benda tajam. Kapan dan di mana benda-benda tajam itu akan melesat, dia belum tahu. Yang jelas, sekarang dia punya kesempatan untuk menyerang selagi Primo sedang lengah.

Colette memasang kuda-kuda. Kedua tangannya bergerak-gerak lucu. Dia dapat mendengar derai gelak tawa penonton yang terhibur melihat kemampuan juggling-nya. Satu persatu, muncul bola-bola aneka warna yang dilempar-tangkap oleh Colette.

"Bomb voyage!"

Colette melempar satu persatu bola di tangannya ke arah Primo. Meski terlihat seperti bola biasa, Primo tetap waspada. Dia melompat menghindar dan keputusannya itu sungguh tepat. Sebab, bola-bola itu kemudian meledak. Rupanya, Colette telah membayangkan sebuah bom di dalam bola-bola tersebut.

Ledakan beruntun tersebut menciptakan embusan angin yang cukup kuat hingga membuat Primo terempas ke tembok. Dia menjerit. Bukan karena menabrak dinding melainkan karena ada mata pisau lagi yang melesat dan menggores pahanya.

Colette tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia berlari, menyerang maju dengan sebilah pedang muncul di tangannya.

"En garde!"

Keduanya sama-sama berseru dan mengayunkan pedang. Satu bermaksud menyerang, yang lain bertahan. "Awas, Nona! Merunduk!"

Colette tidak tahu maksud Primo berkata begitu. Bisa saja dia berusaha menjebak. Kendati demikian, secara refleks, Colette mengikuti peringatan Primo. Sebuah pisau meluncur dan nyaris menancap di leher Colette kalau saja dia tidak menghindar.

Colette melompat mundur. Dia tidak mengerti. Kenapa Primo memperingatinya? Kenapa pria itu menyelamatkannya? Jangan-jangan, pria itu orang yang baik.

Jantung Colette bergetar laksana dawai. Keraguan merasuk.

Colette mengerang dan buru-buru mengenyahkan keraguan dari kepalanya. Baik atau tidak, itu tak penting. Dia harus menang. Terlebih, ronde ini adalah ronde pertarungan satu lawan satu. Tidak ada yang baik, tidak ada yang jahat. Tidak ada orang baik yang perlu dilindungi, tidak ada orang jahat yang perlu dikalahkan.

Yang ada cuma pemenang dan pecundang. Dia tidak boleh kalah!

"Katakanlah siapa namamu!" kata Primo.

"Kenapa vous begitu ingin tahu nama moi?" tanya Colette.

"Agar kita bisa memulai pertarungan ini secara resmi."

"Bukankah pertarungan kita sudah resmi dimulai sedari tadi?"

"Tapi, belum ada pernyataan resmi dari Nona," jawab Primo yang semakin membuat Colette heran. "Nona tidak memperkenalkan diri dan menyatakan niat bertarung dengan hormat denganku secara lisan, layaknya kesatria."

"Lalu, untuk apa moi harus melakukan hal merepotkan seperti itu?"

"Karena membunuh adalah dosa dan aku tidak boleh menghilangkan nyawa manusia," jawab Primo, "Namun, lain soal jika ada seseorang menantang duel. Atas nama duel, maka dosa membunuh dapat diampuni."

Colette tercenung mendengar jawaban Primo. Baru kali ini dia bertemu dengan orang sekaku Primo.

"Jadi… kalau moi tidak mengungkapkan secara lisan, artinya apa yang kita lakukan tadi bukan termasuk duel, dan akan berdosa jika kita saling bunuh?"

"Tepat," angguk Primo, "Nah, mari kita lakukan. Namaku—"

"Artinya, kalau vous menyerang dan membunuh moi, maka vous berdosa?"

"Tepat," jawab Primo lagi, "Karena itulah—"

"Jadi, vous tidak mau membunuh moi di luar duel karena itu dosa dan vous tidak mau berdosa, kan?"

"Sekali lagi, jawabanmu tepat," kata Primo, yang sudah kehilangan sedikit kesabarannya. "Karena itulah, mari kita mulai duelnya. Namaku Primo Trovare dan aku akan melawanmu secara terhormat dalam duel ini! Nah, sekarang giliranmu."

Colette mendengus dan tersenyum. "Kalau begitu, kita tak perlu jadikan ini duel. BIAR MOI SAJA YANG MENGHABISI VOUS!"

Colette menyerang lagi. Primo terkejut. "Uhk! Jalang!" Primo mempersiapkan sabre-nya.

Sayang, serangan Colette merupakan tindakan gegabah. Dia lupa waktu 10 menit sudah lewat dan goggle-nya menghilang. Colette memekik karena merasa buta tiba-tiba. Kesempatan tersebut digunakan Primo untuk menendang lawannya itu.

Tendangannya masuk. Colette terempas ke lantai diiringi jeritan. Kendati demikian, tidak ada waktu untuk meratap dan menangis. Colette berguling ke belakang, lalu berlutut sembari menggelontorkan bola-bola lampu ke segala arah. Dalam sekejap, ruangan yang semula gelap berubah terang benderang.

"La Ville-Lumière—the City of Light."

"Terima kasih karena sudah membuatku mudah melihat," ucap Primo, "Ternyata kau cukup sportif dalam bertarung."

"O hon. Sekarang vous anggap ini pertarungan?" Colette menyeringai. "Dasar naïf! Adieu!"

Primo kaget karena lampu-lampu tersebut lenyap seketika. Kegelapan melanda lagi. Colette mematerialisasi goggle sekaligus senapan mesin. Tanpa ragu, Colette memberondongi Primo dengan timah panas. Pria itu berusaha menghindar walau terlambat. Untung dia masih sempat melindungi kepala dengan mengorbankan tangannya.

Badan Primo yang bersimbah darah menabrak dinding di belakangnya lalu merosot ke lantai. Colette tersenyum. Dia menang.

"Maafkan aku Bapa atas dosa-dosaku, baik yang ada di pikiran maupun yang terucap oleh lidahku…."

Colette terkesiap mendengar lantunan doa lirih tersebut. Lawannya belum kalah.

"Bapa, curahkanlah seluruh kasihmu, angkat dosa-dosa ini, dan bantulah aku."

Ruangan gelap tersebut bersimbah cahaya kembali. Kali ini bukan karena Colette mematerialisasi sesuatu. Justru, dia terbeliak kaget karena muncul sebuah pistol busur bercahaya di tangan pria itu. Colette panik, tahu kalau senjata di tangan Primo bukan senjata sembarangan. Dia pun buru-buru memunculkan dinding pelindung.

Primo melepaskan beberapa anak panah ke arah Colette.

"CHATEAU DE VERSAILLES!"

Sebuah kesalahan lagi. Colette yang tergesa-gesa malah bersuara sebelum dinding pelindung di depannya termaterialisasi secara sempurna. Dinding itu rontok. Tak ada penghalang yang mengadang anak-anak panah itu untuk menembusi badannya.

M-Moi… kalah….

*

"Colette…" seseorang memanggilnya, "Colette kau sudah bangun?"

Mata Colette mengerjap dan akhirnya terbuka. Dia menemukan dirinya di sebuah kamar. Di sebelahnya, seorang pria telah menunggunya. Colette kaget karena pria itu adalah…

"ZACQUES!" pekiknya, segera bangun untuk mendekap pria bertanduk itu. "Zacques! Vous selamat! Oh, syukurlah, syukurlah, Zacques!"

"Ya, aku selamat. Tapi, aku tidak akan selamat kalau kau tetap berusaha meremukkan tubuhku."

Colette pun melepaskan pelukannya dan tertawa lega. Air mata meluncur tapi segera ia hapus. "Moi senang sekali, Zacques. Syukurlah. Dan, terima kasih karena telah menolong moi di pulau mengerikan itu."

"Sama-sama," angguk Zach meski tanpa senyum.

"Ah, ya, mana Rex?" tanya Colette.

"Dia ada. Tadi dia keluar dulu. Tenang saja."

Colette mengangguk dan tersenyum lega.

"Ah ya, mana Oochoop?"

"Ucup? Siapa dia?" Zach mengerutkan keningnya.

"Dia bocah pengamen kecil yang terpaksa ikut turnamen gila ini. Apa vous melihatnya?"

"Oh, pengamen cilik itu?" Zach merasa dia pernah melihat orang yang dimaksud, "Aku tidak melihatnya, maaf."

Entah kenapa, perasaan tidak enak segera menyelimuti hati Colette. Fragmen-fragmen ilusi saat dia berada dalam pengaruh lotus Sil berkelebat kembali di depan matanya. Dilanda kecemasan dan ketakutan, Colette segera melompat dari atas tempat tidur dan berlari keluar dari kamar.

"L-Lho… Colette?" Zach kaget. Dia mencoba mencegah tapi gagal.

Colette berlari seperti orang kesurupan dan berteriak lantang memanggil-manggil nama Ucup. Dia berlari ke sana ke mari, nyaris seperti orang yang kehilangan akal sehatnya.

"OOCHOOP! OOCHOOP! MON AMI! DI MANA VOUS?"

Colette terus mencari, tak peduli tenggorokannya sakit, tak peduli tungkai kakinya pegal. Ketakutannya semakin menjadi-jadi tatkala dia tak kunjung menemukan Ucup. Dengan nekat, dia mengarahkan kakinya ke istana Thurqk.

"THOORQK! KE MARI VOUS! DI MANA VOUS SEMBUNYIKAN OOCHOOP? DASAR KURANG AJAR!"

Belum sempat Colette melangkah lebih jauh menghampiri istana, dia keburu diadang Hvyt. "Mau ke mana kau, manusia?"

"Jangan halangi moi, pengganggu!" geram Colette, mematerialisasi flamethrower. "REVOLUCION FRANCAISE!"

Colette menyemburkan api dari senjatanya guna membakar Hvyt. Berhasil! Si Hvyt terbakar kendati dia tidak menjerit-jerit kesakitan. Colette tahu itu belum cukup. Dia melempar TNT dan membiarkan Hvyt meledak berkeping-keping.

Setelah penghalang berhasil dia habisi, Colette berlari lagi ke arah istana. Dia tak sadar ada rantai yang melesat dan melilit lehernya dari belakang. Dia pun tercekik dan jatuh ke belakang begitu rantai menarik lehernya.

Colette terbatuk-batuk. Jemarinya menjalar panik, berupaya melepaskan rantai dari lehernya. Belum sempat terbebas, Hvyt yang tadi menginjak perutnya agar dia tetap di tanah. Colette memuntahkan cairan bening pahit dari mulut.

"Kau pikir bisa mengalahkanku, manusia lemah?" Hvyt tak peduli Colette mengerang kesakitan.

"Di-Di mana Oochoop?" Colette bersikeras menemukan pengamen cilik itu.

"Bukan urusanmu," Hvyt menarik rantainya, mencekik Colette hingga menggelepar sulit bernapas.

Hvyt juga menginjak tangan Colette keras-keras, tahu kalau wanita malang itu hendak memunculkan senjata. Colette menjerit parau karena lehernya masih dililiti rantai.

"Kalau kau benar-benar ingin bertemu dengan Ucup, maka menangkanlah turnamen ini," kata Hvyt. "Ingat… pecundang tidak berhak mendapatkan apa yang dia inginkan."

*

Colette mengambil napas sebanyak-banyaknya seolah baru saja terlepas dari lilitan rantai. Dia terbatuk-batuk. Sekujur tubuhnya lemas hingga cuma bisa berlutut dan menopang badan dengan lengan. Jantungnya berdegup tak keruan, terbayang lagi kejadian sebelum ronde ketiga dimulai. Kejadian yang membuatnya memutuskan untuk menang, apa pun yang terjadi. Semua dia lakukan demi bertemu dengan Ucup kembali.

Namun… di lain pihak… hatinya terasa bergetar. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata mengalir bagaikan air dan menyiram hatinya yang semula panas membara. Entah kenapa, dia merasa tenteram dan damai. Merasa disucikan.

Ada perasaan ganjil, seperti ada pencerahan yang baru saja dia dapatkan, yang membuatnya ingin meratapi dosa-dosanya.

Apa-apaan ini?

Keraguan muncul lagi. Haruskah dia membunuh demi menang? Tidak adakah cara lain untuk bertemu dengan Ucup tanpa harus membunuh?

Non, Colette. Tidak ada. Kuatkan diri vous. Ini pasti pengaruh kekuatan musuh. Ya, ini cuma pengaruh kekuatan musuh. Kuatkan diri vous. Vous harus menang.

Colette berseru lantang, menguatkan tekadnya sekaligus mengusir keraguan yang ada.

"Ladies and gentlemen! Inilah dia, keajaiban dunia saat ini! Kita sambut bersama… COLETTE REVES, THE MAGICAL MIME ARTIST!"

Dirasuki keinginan tunggal untuk menang, Colette bersalto ke arah Primo yang masih terkulai tak berdaya. Dengan kelincahan yang membuatnya banyak mendapat pujian, Colette menggenggam kedua pergelangan Primo.

Kemudian, muncul tali yang mengikat kedua pergelangan tangan lawannya itu. Tali-tali tersebut terjulur ke sebuah pasak yang muncul di pojok kanan-kiri ruangan, di mana ujung-ujungnya kembali lagi ke tangan Colette.

Colette melompat mundur, diiringi derai tepuk tangan penonton. Kedua tali itu dia tarik hingga tubuh Primo terangkat dan lengannya terentang. Darah di punggungnya menciptakan sapuan warna merah di dinding belakang. Berikutnya, Colette mengikat kedua ujung tali ke sebuah pasak di lantai dekat kakinya.

Colette mendengar ada suara lesatan. Dia menghindari sebuah mata pisau yang ditembakkan langit-langit ruangan. Sebuah ide muncul di kepalanya. Dia melakukan gerakan juggling lagi namun kali ini yang muncul adalah pisau pemecah es.

"Joyeux noel!"

Colette dapat mendengar musik sirkus mengiringi aksinya itu. Satu persatu, pisau tersebut dia lemparkan ke arah Primo. Primo menjerit kesakitan begitu lengan dan kakinya ditancapkan pisau oleh Colette. Pisau terakhir menembus lambungnya, membuat Primo muntah darah.

"Voila!" pungkas Colette, mengakhiri.

Penonton pun bersorak-sorai gegap gempita. Mereka berdiri, memberi tepuk tangan meriah. Seruan "Brava! Brava! Brava!" membahana tak henti-hentinya. Colette tak kuasa menyembunyikan senyum bahagianya.

Dia pun merentangkan tangannya dan menunduk, mengucapkan terima kasih. "Merci. Merci beaucoup," ucapnya, melempar ciuman kepada seluruh penonton.

"Sekali lagi, beri tepuk tangan yang meriah untuk COLETTE REVEEEEESSSS!"

Alangkah bahagianya dia. Dia menang. Ya, dia berhasil menang.

"Lihatlah dirimu sekarang, Nona…"

Colette dikejutkan oleh ucapan lemah Primo.

"Lihatlah dirimu yang telah berhasil dipermainkan oleh Thurqk…" lanjut Primo, di antara batuk-batuk darahnya.

Mata Colette terbelalak. Kata-kata pria itu begitu menghujam tepat sasaran hingga tungkai kakinya terasa membeku.

"Aku tahu, Nona…" Primo masih berusaha melanjutkan perkataannya meski dia semakin lemah dan ajal seperti telah di depan mata, "Aku telah melihat semuanya. Melihat hatimu. Keinginanmu. Masa lalumu."

Kali ini, rahang Colette menegang dan badannya seakan dialiri listrik hingga bergidik. Jadi… panah cahaya yang tadi….

"Aku tahu kesengsaraan hatimu, Nona Colette…" Primo semakin membuat Colette gemetar bagai dawai karena dia mengetahui nama wanita itu. "Aku tahu… dan aku memaafkanmu."

Colette tak tahan lagi. Apa-apaan semua ini? "A-Apa… maksud vous?"

"Jangan mau dipermainkan Thurqk lagi, Nona…" suara Primo semakin lirih namun kini ada seulas senyum tulus yang tersungging di wajahnya yang penuh darah, "… tapi jangan pula engkau menyalahkan dirimu sendiri… karena aku telah memaafkanmu."

"Me-Memaafkan moi…?" gemetar Colette semakin hebat. Apa yang telah dia lakukan?

"Ya… aku memaafkanmu…."

Dan Primo pun mengembuskan napas terakhirnya dengan senyum. Dia mengikhlaskan kepergiannya.

Napas Colette semakin tak keruan hingga akhirnya menimbulkan isak. Air matanya tumpah, tak kuasa ditahannya lagi. Apa yang telah dia lakukan?

Dia hanya ingin menang.

Dia hanya ingin bertemu lagi dengan Ucup. Apa itu salah?

Dia hanya ingin bertahan hidup. Apa itu salah?

Jangan mau dipermainkan Thurqk lagi, Nona….

Apakah selama ini dia dipermainkan oleh dewa gadungan tersebut? Ya. Dan dia tak kuasa untuk melawannya.

Derai tawa terdengar. Tawa dari penonton. Bukan tawa karena mereka terhibur melihat aksinya, melainkan tawa mengejek. Mengejek kebodohannya.

"Ladies and gentlemen, mari kita beri tepuk tangan yang meriah buat Colette yang telah berhasil menghiburku! HAHAHAHAHAHA!"

"N-Non…" kaki Colette lemas, tak sanggup menahan dirinya. Dia jatuh ke lantai, jatuh dalam penyesalan mendalam. Apa yang telah dia lakukan?

Tapi jangan pula engkau menyalahkan dirimu sendiri… karena aku telah memaafkanmu….

"NOOOOOOOOOOOOOOON!" jerit Colette, tak tahan lagi. Air mata penyesalan membanjiri wajahnya. Dengan sekuat tenaga, dia mengutuki dewa keparat tersebut. "THURQK! PUTEEEEEEEEEEEEE!"

Ratusan lubang kecil lantas muncul di keempat sisi dinding ruangan. Dan, tanpa basa-basi, mereka menembakkan ratusan benda tajam ke seluruh penjuru. Colette tak sempat melakukan apa-apa.

***

 @AdhamTFusama

17 comments:

  1. Hmm.. Untuk ukuran sesuatu yang dibikin menjelang deadline, saya ga banyak nemu cela di entri Colette ini. Pertarungannya rapi, motif karakter believable, dan ga ada poin berantakan dari presentasi ceritanya sendiri.

    Tapi mungkin ada satu yang ngebedain antara entri ini dengan entri lawan.
    Yaitu karakter milik masing-masing penulis.

    Secara subjektif, saya lebih suka entri Primo karena r3nya berhasil ngebuka kemungkinan untuk ngegali banyak hal di pertandingan berikutnya. Singkat kata, saya ngeliat 'potensi' di sana. Di sisi lain, sekalipun sekali lagi saya bakal bilang kalo ga ada kekuarangan berarti dalem setiap battle Colette sendiri, tapi rasanya dari karakter ini ga banyak yang bisa 'ditawarkan' kepada saya sebagai pembaca. Ga banyak kupasan masa lalu Colette, motivasinya pun kayaknya cuma berputar di antara Ucup dan glimpse of despair karena dilibatin di permainan maut dadakan ini.

    Shared score dari impression K-10 : 8,1
    Polarization -/+ 0,2
    Karena saya lebih suka entri Primo, jadi entri ini saya kasih -0,2

    Final score : 7,9

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merci Monsieur Sam.
      Pardon kalo canonnya kurang memuaskan karena ditulis mendekati deadline.

      Delete
  2. Anonymous23/6/14 08:02

    Po:

    Minusnya:

    - Kurasa perubahan perasaan Colette kerasa buru2. Moodnya berpindah dengan cepat dan karakternya kerasa nggak konsisten bukannya berkembang. Kepribadiannya justru kalah kuat dibanding Primo di sini, krn Colette kerasa ingin menang dan ingin menang aja meski akhirnya nyadar. Gestur2 khas dari mimenya udah nggak keliatan lagi dan justru kyk dipaksain di komentar2 announcer atau penonton. Battlenya juga kerasa terburu2 meski teknik penulisan masih memadai. Maksudnya, serangan2 Primo nyaris nggak dikasih porsi sama sekali meski keliatannya Colette kewalahan pas adegannya pindah ke Colette. Transisi antar adegan masih patah-patah mungkin krn buru2. Dan nggak ada unsur kejutan di battle.

    Plusnya:

    - Karakter Primo digambarkan dengan baik. Teknik materialisasi makin variatif terutama utk Bomb Voyage. Teknik penulisan masih rapi seperti biasa. Diksinya oke dan untuk banyak adegan individu masih bagus meski transisinya yang bermasalah. Dan twist komentator menjadi Thurqk itu bikin permainan potensi yang asik.

    Nilai dariku 7,5.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merci Monsieur Po.
      Iya, ditulis buru-buru. O ho ho ho hon.

      Delete
  3. Come on, Author. Just break her mind already! :v
    Make Coco break and turn her into sla-- ehm, I mean doll :p
    Saya tidak terlalu tahu mengenai Primo, sih. Tapi kenapa tidak pake sisi gelapnya Primo untuk bertarung di sini? Dari segi karakter, si Coco ini stabil dari ronde 1 sampai sekarang. Itu bagus, meski rasanya masih seperti dia adalah orang paranoid biasa.

    Nilainya.... 8. Tidak ada typo :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oke oke, kalo lolos ronde selanjutnya deh. O ho ho ho hon.
      Sebenarnya mau eksplor Primo lebih banyak tapi nanti keburu deadline. Pardon. O ho ho ho hon.
      Ga ada typo? Bagus lah kalo ga ada (ato ga kentara) soalnya author moi ga ngedit terlebih dahulu. ''orz

      Delete
  4. Narasi pertarungannya bagus gan. cuma ga tahu ane yang bacanya buru-buru atau tulisannya yang buru-buru, battlenya jadi kerasa buru-buru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nilai 7,5 , lebih 1 dari Primo karena ane lebih suka narasi di battle Colete

      Delete
    2. O ho ho ho hon.
      Iya terburu2. Pardon, Monsieur Epicu
      Merci buat nilainya

      Delete
  5. hmmm...entri ini agak bikin gw ilfil sama Colette :(
    gw suka dengan kenaifan dan motivasi dia sebelumnya. tapi sekarang dia kayak terlalu haus kemenangan... mgkn gara2 gw ga baca R2 juga sih... tapi leap of faith ini bikin my kokoro shock desu :'(

    dari segi canon, to be continued-nya Colette keknya selalu berakhir di kondisi despo ya? (note gw cuma baca R1 dan R3 jadi ga tahu kek apa yang ke dua). i kinda like it.

    nilai: 7.9
    sori Dham... tadinya gw maw kasi 8.2 tapi gara2 leap of faithnya Colette, gw jadi nurunin segitu >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. O ho ho hon. Merci Monsieur Hinokun.
      R2 itu panjang lho jadi mungkin bakal menjematani sehingga leap of faith-nya tidak bikin kokoro shock desu :D
      Tapi author moi akui, canon yang ini kurang tergali gara2 dia nekat jadi deadliners :v

      Delete
  6. Ini ada potensi untuk dikerumuni onion ninja, tapi sayangnya terlalu pendek dan buru-buru, malah terasa hambar.

    Anyway, saya lebih suka ini ketimbang canon Primo yang IMHO kurang perjuangan.

    Score 8

    ReplyDelete
  7. Entri ke 23…
    Dan saya masih bingung.
    Saya sempat ketemu ama ucup – Colette di longe, saya juga lupa namanya :v. dan saya disuguhkan kedekatan ucup dan colette. Dan selesai. Kenapa selesai? Karena saya juga masih menemukannya sampai di sini.
    Kak sam pernah nanya ke saya, “kamu itu bikin karakter itu udah nentuin bagaimana ceritanya nggak?” dan saya tertohok. Karena saya sendiri belum ngerumusin cerita buat Luna dengan baik. Alhasil, saya sampai begadang buat bikin cerita Luna bakal menarik dengan bikin semacam blueprint tentang dia. Semuanya. Nah, itu yg ga saya temuin di colette. Untuk penulis sekaliber kak adham, apakah ide tentang ucup ini sudah cukup? Well, saya ga bakal protes sih kak, karena ide memang sepenuhnya milik penulis :v… tapi tetap aja, seorang penulis punya pembaca karya2nya kan?
    Nah, lain2nya justru bagus. Narasi, alur, dll. Mungkin plot twistnya sedikit mendadak dan membuat saya terkejut, tapi saya no problem dengan hal itu.
    Untuk nilai, saya ngasih: 7.0
    Semangat kak :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merci beaucoup Mademoiselle Lazuardi :3

      Delete
  8. Replies
    1. O ho ho ho hon. Monsieur admin nakal!
      *Ketjup balik*

      Delete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -