[Round 2-Urth] Colette Reves
"Bon Appetit! (Enjoy Your Meal!)
Written by Adham T. Fusama
---
UN – HORS D'OEUVRE
"Ayo, bertarung lagi…"
"Non…" Colette menggeleng.
"Tidak? Maksudmu kau tidak mau bertempur lagi?"
"Ya… sudah cukup…" angguk Colette. "Dan vous tidak akan bisa memaksa moi…."
Colette memasukkan moncong pistol yang dimaterialisasikan ke dalam mulutnya. Dia menarik pelatuk dan… Hvyt menendang pistolnya. Colette menjerit begitu pistolnya terlempar, lebih-lebih sewaktu perutnya ditendang oleh makhluk merah tersebut. Colette pun tak sadarkan diri.
"Dasar tidak tahu diuntung," dengus Hvyt sebelum membawanya ke Jagatha Vadhi.
*
Colette mendengar ada yang memanggil namanya. Nadanya sedih. Suara itu terdengar bak dari kejauhan meski lambat laun terdengar semakin jelas. Kali ini diiringi dengan guncangan layaknya gempa kecil. "Teh Kolet… Teteh… bangun… hudang atuh, Teh…."
Colette mengerang, merasakan sekujur tubuhnya pegal meski entah kenapa rasa sakitnya sudah hilang begitu saja. Dia mengerjapkan mata. Semula yang dia lihat hanya pulasan merah dan hitam. Setelah beberapa kerjapan, barulah dia mendapatkan penglihatan yang jernih. Seorang bocah kecil sudah berada di sampingnya. Dialah yang tadi memanggil nama Colette dan mengguncang-guncang tubuhnya supaya bangun.
Colette mendelik kaget saat melihat bocah itu. "Oochoop?" dia langsung bangkit terbangun.
"Teteeeh…" Ucup tak kuasa menahan tangisnya lagi. Bibir bawahnya bergetar dan air mata meluncur. Dia langsung memeluk Colette, senang sekali karena Teteh-nya itu telah siuman. "Ucup kira Teteh udah… udah…. Ucup takut…."
Colette merasakan tubuh Ucup gemetar. Air matanya pun tak bisa ditahan lagi. Dia balas memeluk Ucup dan mereka pun menangis berdua. "Oh, Oochoop… syukurlah! Oochoop. Moi senang sekali vous tidak apa-apa," kata Colette betul-betul lega di tengah isak tangisnya.
Dia melepas pelukannya dan melihat Ucup. Dipegangnya pipi bocah itu dengan kedua tangannya. Wajah Ucup masih dibanjiri air mata. Namun, selain itu dia terlihat baik-baik saja.
"Oochop tidak apa-apa, mon ami?" tanya Colette memastikan, mengusap-usap lembut rambut pendek Ucup. Ucup membalas dengan gelengan.
"Ucup teu nanaon, Teh," jawabnya, sesenggukan, "Ucup tadi balik ke Bandung… tapi… tapi Ucup nggak ketemu Ibu. Ucup… Ucup malah disuruh gelut…. Ucup sieun… takut…."
Tangis Ucup meledak lagi. Colette paham kalau bocah itu pasti trauma menghadapi pertarungan yang begitu mendadak. Dia memeluk si pengamen cilik itu lagi. "Sudah, sudah… semua sudah berlalu. Oochoop tidak usah ingat-ingat lagi, oui?" kata Coco, mengelus-elus punggung Ucup dengan lembut. "Kita nanti cari Ibu vous lagi. Pasti ketemu. Oui?"
Ucup mengangguk lantas menangis hingga puas di pelukan Colette.
Colette tidak membahas apa pun soal pertarungan. Baik soal pertarungannya maupun menanyakan soal pertarungan Ucup. Dia tidak mau tahu soal itu semua. Dia tidak ingin Ucup mengingat-ingat kembali hal tersebut. Dia justru ingin menghibur Ucup sehingga pengamen cilik itu bisa melupakan segalanya dan kembali bergembira.
Mereka menggelar piknik berdua di Jagatha Vadhi yang serba merah. Colette ingin mereka bisa merasakan momen-momen menyenangkan seperti waktu mereka masih hidup di dunia. Dia mematerialisasi tikar kain juga sekeranjang kue-kue kecil yang manis menggugah selera.
Ucup gembira sekali sewaktu memakan cupcake stroberi yang dimunculkan Colette. Sepertinya, baru kali ini dia mencicipi kue seenak itu. Tentu saja seluruh makanan itu akan hilang sepuluh menit kemudian. Kue-kue yang sudah masuk ke perut pun akan hilang.
Kendati demikian, mereka tidak peduli. Kalau makanan sudah hilang, Colette akan memunculkan lagi makanan-makanan baru. Yang penting mereka bergembira. Mereka bernyanyi, tertawa, dan bercanda. Colette merapikan rambut Ucup, Ucup juga bermain-main dengan rambut Colette. Dia mengepang rambut keriting Colette menjadi dua, sebelum kepangan tersebut digelung sehingga mirip donat.
"Ini namanya kepang rambut Domba Garut," kata Ucup, tertawa-tawa. Colette juga ikut tertawa meski tidak begitu paham maksud Ucup.
Piknik mereka juga mengundang beberapa "tamu". Salah satunya adalah seorang gadis gemuk pendek berambut pirang yang menggemaskan. Colette cukup yakin gadis itu bukan dari ras manusia. Di matanya, si gadis lebih mirip patung gnome kebun yang sering dia lihat di pekarangan-pekarangan rumah tetangganya di Paris.
"Oh, bonjour, Mademoiselle," sapa Colette. Yang disapa tidak membalas, malah lebih tertarik pada keranjang piknik Colette. Dia menjulurkan lehernya, bahkan berjinjit-jinjit, seperti ingin mengintip isi keranjang tersebut.
"Kamu punya permen loli, nom?" tanya gadis itu. Jemari tangannya terbelit rikuh, mirip anak kecil yang sangat berharap diberikan permen.
"Lolipop? Vous suka lolipop, Mademoiselle?" Colette balik bertanya. Gadis itu mengangguk mantap. Colette tersenyum dan dengan sedikit gerakan tangan, dia memunculkan setangkai permen loli. "Voila! Ini permen loli buat Mademoiselle!"
Melihat aksi sulap Colette tersebut si gadis gnome terbelalak tak percaya. Dia melompat-lompat kecil sambil bertepuk tangan kegirangan. "Uwaaa! Kamu hebat nom! Kamu hebat! Aku mau, nom!"
Colette tertawa melihat ulah gadis tersebut. Dia menyerahkan permen loli itu yang langsung dilahap dengan riangnya. "Omong-omong, nama vous siapa?" tanya Colette.
"Aku Richella Elleanor, nom. Panggil saja Elle," jawabnya sembari menjilat-jilati permen loli pemberian Colette. "Nama kamu siapa nom?"
"Halo, Elle. Nama moi Colette dan ini Ucup," jawab Colette memperkenalkan dirinya sendiri dan Ucup yang sedang asyik menikmati puding. "Elle mau ikut piknik bersama kami?"
Tanpa ragu, Elle mengangguk serta langsung duduk bersama mereka. Maka, piknik mereka pun semakin meriah. Elle menyanyikan lagu-lagu lucu yang dipenuhi kata "nom". Colette melihat ke sekeliling, sebenarnya ada beberapa orang lagi yang tampak tertarik untuk ikut. Namun, beda dengan Elle, yang lain tampak lebih waspada.
Salah satunya adalah seorang kesatria tampan. Pria itu memiliki rambut pirang keemasan dan mengenakan zirah putih mengilap. Colette sempat memergokinya sedang memandangi puding Ucup. Tapi, saat tahu Colette tengah mengawasinya, dia membuang muka.
Colette melihat pipi pria itu merona kemerahan. Entah kenapa, ada kehangatan yang Colette rasakan sewaktu mata mereka tadi bertemu. Kehangatan yang membuatnya tersenyum bahagia.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Kedatangan Thurqk dan Hvyt membuat Colette dan yang lainnya bangkit bersiaga. Colette menyuruh Ucup untuk berlindung di belakangnya. Elle pun ikut bersembunyi bersama Ucup.
Thurqk memandang mereka dan senyumnya mengembang. "Selamat datang kembali, para pahlawan pemberani," katanya dengan suara yang dapat terdengar jelas oleh semua. "Aku ucapkan selamat, karena kalian semua telah lolos babak pertama. Dan, kuucapkan selamat pula karena kalian telah memberiku tontonan yang mengesankan."
Thurqk bertepuk tangan meski tak ada satu pun yang merasa senang atau bangga. Thurqk tak peduli. Dia melanjutkan. "Nah, karena kalian sudah membuatku senang, maka aku akan memberi kalian hadiah sederhana."
Kasak-kusuk cemas berdengung. Mereka—termasuk Colette—tahu, apa pun yang Thurqk berikan pasti bukan sesuatu yang menyenangkan. Bisa saja hadiah yang dimaksud adalah permainan gila lainnya. Lebih-lebih, si dewa merah tersebut menyunggingkan seringai mengerikan.
"Sebentar lagi, para Hvyt-ku akan membawa kalian ke pulau-pulau yang indah. Di sana, kalian bisa menikmati apa pun yang ada di pulau tersebut selama 10 jam. Anggap saja liburan. Kalian bisa bersantai, bersenang-senang, dan melupakan semua kesedihan yang ada. Lumayan menarik, kan?" kata Thurqk, berpromosi layaknya agen tour and travel. "Tapi, tentu saja, kalian minimal harus membunuh satu orang sebelum kalian kembali ke mari."
Colette dan yang lainnya menjerit serta menyerukan protes. Thurqk hanya tertawa. Dalam satu lambaian tangan, dia menyuruh para Hvyt membawa para peserta ke pulau masing-masing. Ucup dan Elle berteriak ketakutan begitu Hvyt menyerang.
Kepanikan melanda. Beberapa peserta ada yang tidak peduli dibawa oleh Hvyt, yang lainnya masih ada yang berusaha melawan, termasuk Colette. Dia menembaki salah satu Hvyt yang berusaha menangkap Ucup dan Elle. Si Hvyt menggeram marah lantas mengayunkan pedang dari tulang belulang.
Colette menjerit kaget. Dia sama sekali tidak siap dengan serangan tersebut. Refleks, dia berbalik memeluk Ucup dan Elle untuk melindungi keduanya, sementara serangan pedang Hvyt menyasar punggungnya.
"AWAS NONAAAAA!"
Colette menjerit, mendengar suara denting memekakkan telinga dari dua logam yang beradu. Entah bagaimana caranya, seseorang telah berdiri di antara dia dan Hvyt, menghentikan serangan pedang malaikat merah itu dengan pedangnya sendiri. Colette terbeliak karena orang itu adalah si kesatria putih.
Saat perhatian Colette teralih, dua Hvyt menyambar Ucup dan Elle. Keduanya berteriak, mengagetkan Colette. "AAAAAAAHH! TETEEEEEH! TOLOOOONG!" Ucup menjulurkan tanganya, berharap ditangkap dan diselamatkan oleh Colette.
"NOOOOON! OOCHOOOOP! ELLEEEEE!" Colette melompat panik, berusaha menggapai, tapi dia malah jatuh kembali ke tanah begitu Ucup dan Elle hilang dari pandangannya.
"Sekarang giliran kalian!"
Semua terjadi begitu cepat sampai-sampai Colette tak tahu apa yang terjadi. Dia berteriak merasakan deru angin kencang saat Hvyt membawanya bersama si kesatria. Hvyt melempar keduanya ke pulau bernama Urth setelah berkata, "Kembalilah ke tempat ini sepuluh jam lagi. Aku akan menjemput kalian. Itu pun kalau kalian selamat."
Colette mengaduh sembari mengusap-usap bokongnya yang sakit. Seseorang datang menghampiri dan instingnya langsung menyuruhnya untuk bersiaga. Colette mengacungkan pistol ke orang tersebut.
"Jangan bergerak!" seru Colette membuat si kesatria putih terkejut. Dia berhenti di tempat dan mengangkat kedua tangannya. "Vous mau bunuh moi, kan?"
"E-Eh? Bu-Bunuh? Ti-Tidak kok," jawab si kesatria gelagapan.
"Bohong! Si Truck resek itu bilang setidaknya harus bunuh satu orang! Vous pasti mau bunuh moi!" Colette tidak mau tertipu hanya karena pria di depannya tampak seperti orang baik-baik… juga tampan. Cowok ganteng biasanya psikopat, batin Colette di dalam hati.
"Be-Beneran kok," kata si kesatria, "Nenekku pernah berkata, jangan pernah menjahati orang apalagi punya niat membunuh. La-Lagipula, kalau aku ingin kamu mati, seharusnya aku biarkan Hvyt membunuhmu tadi, kan?"
Barulah Colette teringat. Kesatria itu memang menolongnya. Pada akhirnya, setelah memastikan pria di depannya itu tidak punya niat membunuh, Colette menurunkan pistolnya. Si pria tersenyum lalu menjulurkan tangan.
"Mari kubantu berdiri, Nona," katanya, menawarkan dengan lembut.
Mau tak mau, Colette merasakan pipinya memanas. Kalau saja dia tidak mengenakan bedak yang tebal, niscaya pria itu sudah bisa melihat rona merah di wajahnya. Di hadapannya, berdiri kesatria tampan yang tampak mengilau di bawah cahaya mentari. A knight in shining armor. Seperti di dongeng-dongeng saja.
Colette menelan ludah, menyambut uluran tangan pria itu. "Merci," ucap Colette lirih.
"Perkenalkan, nama saya Rex," kata si kesatria memperkenalkan diri sambil membungkuk sedikit. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama Nona?"
"Nama moi Colette."
"Colette? Baiklah Nona Colette. Sepertinya mulai sekarang kita bisa menjadi teman perjalanan," kata Kesatria Rex lagi-lagi dengan senyum karismatik yang membuat hati Colette terpincut.
Colette mengangguk saja. Mereka berdua lantas memindai lingkungan sekitar. Rupanya mereka berada di bibir hutan. Di depan mereka berdiri pohon-pohon besar dan lebat, belakang mereka adalah tebing yang berakhir ke laut. Tampaknya, mereka tidak punya pilihan selain masuk ke dalam hutan.
Colette tidak tahu apa yang akan dia hadapi di hutan tersebut. Hewan buas, tanaman pemakan manusia, hantu, monster… yang jelas Colette tidak mau berhadapan dengan mereka semua. Dia terlalu takut. Terlebih, ada yang aneh dengan hutan tersebut. Hutan itu menguarkan bau yang tidak biasa.
"Bau makanan…" kata Rex yang rupanya mencium hal yang sama. Colette kira tadi indra penciumannya sempat terganggu.
"Ja-Jangan-jangan ada orang yang memasak di dalam hutan. Pemburu mungkin," Colette berasumsi.
Tapi, Rex menggeleng. "Bukan. Seluruh hutan ini bau makanan," katanya, "Coba Nona lihat. Yang ada di pohon tersebut bukan buah."
Colette memicingkan mata untuk melihat apa yang Rex maksud. Dia terperanjat karena ternyata Rex benar. Alih-alih buah, pohon-pohon tersebut menumbuhkan pelbagai macam kue.
"Sacre bleu!" kata Colette. Pantas saja tadi dia mencium wangi manis dan hangat seperti perpaduan karamel dan kayu manis.
Colette kemudian mengikuti Rex yang maju ke arah hutan. Dia mengambil cambuknya sementara Rex mencabut pedangnya. Semakin dekat dengan hutan, Colette semakin takjub. Yang menggantung di dahan-dahan pohon ternyata memang makanan sungguhan. Aroma mereka sungguh menggiurkan, menerbitkan air liur, dan membuat perutnya keroncongan.
Sepertinya… mereka enak sekali, pikir Colette. Dia pun mengeluarkan tisu untuk memetik orange donut di dekatnya dan….
"JANGAAAN!"
Colette memekik kaget saat tangannya ditepis dengan keras oleh Rex. "A-Apa-apaan vous?" Colette menghilangkan tisu di tangannya sebelum mendelik kesal ke Rex.
"Jangan dimakan!" larang Rex, "Kita belum tahu makanan macam apa yang ada di pulau ini. Apalagi ini adalah 'hadiah' dari si Thuur. Bisa saja isinya racun atau sesuatu yang lebih parah lagi. Nenekku pernah berkata, kalau ada makanan yang terlihat mencurigakan maka jangan dimakan."
Barulah Colette tersadar. Lagi-lagi dia kurang waspada hingga nyaris mencelakakan dirinya sendiri. Dia tertunduk, malu pada dirinya sendiri. "Me-Merci. Terima kasih sudah mengingatkan moi," ucapnya.
Rex menarik napas maklum. "Yah, walau bilang begitu juga, sebenarnya…."
Colette kaget mendengar ada suara perut yang berkeruyuk. Dia juga melihat wajah Rex merah padam meski si kesatria itu bersusah payah mengatur ekspresi wajahnya supaya terlihat biasa-biasa saja. Colette terkikik geli.
"Sama. Moi juga lapar," katanya, sebelum mengeluarkan dua bongkah roti.
Rex terkejut. "Wah! Nona bisa melakukan itu? Hebat sekali!" puji Rex, takjub.
"Bon Appetit," ucap Colette mengulurkan salah satu roti untuk Rex. "Makanlah. Dijamin tidak ada racunnya. Tapi, mungkin cuma bertahan sepuluh menit."
"Sepuluh menit?" Rex mengerutkan dahinya sewaktu mengambil roti dari Colette.
Colette mengangguk. "Itu batas kekuatan moi. Setelah sepuluh menit, semuanya akan hilang. Termasuk roti yang sudah kita makan. Makanya, setelah itu, kita akan merasa lapar lagi. Tidak terlalu berguna, memang. O ho ho ho hon."
Rex tersenyum. "Ya, tidak apa-apa. Lumayanlah. Setidaknya kita bisa merasa kenyang sebelum waktunya habis," katanya.
Rex dan Colette pun memakan roti tersebut. "Hmmm, roti ini enak sekali," puji Rex dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Nona."
Colette tersenyum dan mengangguk.
*
DEUX – ENTREE
Di sisi lain hutan, Hvyt menurunkan seorang gadis berambut putih. Nama gadis itu adalah Zany Skylark. Dan sekarang, dia sedang menyapu pandangannya ke sekeliling dengan matanya yang berwarna pelangi. Zany tidak percaya apa yang dilihatnya.
Hutan di depannya itu menumbuhkan pelbagai jenis permen! Lolipop, marshmallow, permen karet, nougat, dan lain sebagainya. Bahkan, ada pohon yang semula dikira Zany sebagai pohon sakura. Namun ternyata, pohon tersebut menumbuhkan gulali berwarna merah muda. Air liur Zany menetes. Permen-permen tersebut menguarkan wangi yang segar, perpaduan wangi gula dan campuran perisa buah.
Perut Zany berbunyi menandakan dia sangat lapar dan memberinya alasan untuk memetik salah satu lolipop yang menjulur di ujung ranting. Zany mencicipinya dan dia melenguh nikmat. Lidahnya menari-nari kegirangan dibasuh cairan kaya rasa yang merembes dari permen tersebut. Segera saja seluruh tubuhnya dialiri perasaan gembira, hangat, menyenangkan, juga menimbulkan keinginan untuk memetik permen lainnya.
Ini benar-benar hadiah terbaik yang pernah Thurqk berikan!
*
Gadis berambut hitam panjang tersebut bernama SilentSilia atau biasa dipanggil Sil. Meski penampilannya mirip gadis manusia, Sil jelas bukan dari ras manusia. Dia tidak memiliki mulut. Apa yang ada di bawah hidungnya hanyalah bentangan kulit wajah tanpa lipatan bibir. Dan, meski dia punya dua tungkai kaki, dia tidak menggunakannya. Dia bergerak dengan cara melayang.
Saat ini, Sil sedang melayang-layang di sebuah lembah yang asri. Di kanan kirinya berdiri pepohonan yang berjejer rapi. Dahan-dahan mereka membentuk kanopi yang cantik di atas kepala Sil. Dari dahan-dahan tersebut tumbuh berbagai macam buah. Anehnya, satu pohon menumbuhkan tiga sampai empat jenis buah yang berbeda. Apel bersisian dengan jeruk, pisang bertetangga dengan aprikot, mangga bersebelahan dengan melon, dan lain sebagainya.
Sil terpesona akan keindahan tempat tersebut. Lebih-lebih, tak jauh di depannya terdapat sebuah danau kecil. Airnya berwarna putih, seputih mutiara. Saat Sil menghampirinya, ternyata danau itu berisi susu. Di sekeliling danau terdapat rimbunan bunga tulip pelbagai warna. Mangkuk-mangkuk kelopak bunganya menampung madu. Madu alami yang manis berwarna keemasan.
Rambut Sil bergerak-gerak antusias seperti tentakel gurita yang sedang menari-nari. Mereka sepertinya lapar. Sil juga. Maka, tanpa buang-buang waktu, rambut-rambut tersebut menjulur ke segala penjuru. Ada yang memetik buah, ada yang menyesap madu, ada pula yang menenggak susu.
Sil dirasuki perasaan bahagia secara bertubi-tubi. Rasa manis-pekat dari madu, manis-lembut dari susu, dan manis-asam-segar dari buah-buahan segera menyerbu ke dalam tubuhnya. Sil ingin segera memakan semuanya. Semuanya, semuanya, semuanya!
*
Nurin menggerutu karena tadi dia dijatuhkan Hvyt dengan agak kasar. Seharusnya dia diperlakukan dengan lebih baik karena dia menurut saja sewaktu disambar Hvyt. Tapi, barangkali Hvyt tersebut tidak tahan dengan aroma busuk yang menguar dari tubuhnya.
Nurin mendengus geli. Ada sedikit kebanggaan karena bau badannya yang menjijikkan itu mampu membuat malaikat mual. Atau, jangan-jangan Thurqk sendiri—si dewa itu—akan mual juga kalau mencium baunya. Jika benar begitu, Nurin merasa dirinya jauh lebih hebat dari sang dewa. Ternyata dia memang lebih hebat dari tuhan.
Tapi, biarlah nanti saja dia memikirkan soal kemahakuasaannya itu. Sekarang dia sedang berada di sebuah padang rumput yang luas. Dia benci berada di tempat terbuka dengan angin kencang seperti ini. Kalau ada musuh, dia tidak bisa mengaktifkan kekuatannya secara maksimal.
Nurin sedikit lega karena dia tidak melihat ada satu musuh pun. Di sana cuma ada sebuah bangunan yang terbuat dari kayu bercat merah tanah. Bangunan tersebut berdiri di kaki jurang. Ada rekahan yang membelah dinding jurang tersebut dan membentuk tebing yang dialiri sungai.
Di mata Nurin, bangunan itu mirip seperti kandang sapi atau kandang kuda. Tapi, yang membuatnya heran, dia tidak mencium bau sapi atau kuda di angin yang berembus ke hidungnya. Dia malah kaget sewaktu mencium ada aroma daging panggang.
Nurin bersiaga, yakin ada orang di dalam sana. Namun, begitu dan melongok ke dalamnya, dia terperanjat. Ternyata bangunan itu bukan kandang melainkan restoran all you can eat atau semacamnya. Di sana terdapat meja-meja panjang dan buffet-buffet yang berisi hidangan daging yang lezat.
Sepanjang mata memandang, di hadapan Nurin hanya ada daging. Daging bakar, steak, sosis, ayam bakar, ayam goreng, dan yang lain sebagainya. Di ujung ruangan malah ada pemanggang besar yang sedang memanggang seekor babi. Aroma hangat, gurih, dan berbagai jenis rempah langsung menggelitiki indra penciumannya. Tanpa ragu lagi, Nurin menyambar daging terdekat dan segera memuaskan rasa lapar yang sedari tadi melanda.
Nurin terbahak-bahak riang. Semua daging itu miliknya!
*
Zacharias Eithelonen perlu mengucek matanya untuk memastikan apa yang dihadapannya itu bukan fatamorgana. Setelah yakin matanya tidak salah lihat, demon laki-laki yang biasa dipanggil Zach tersebut mengerutkan kening. Di depannya ternyata benar-benar ada sebuah istana megah yang seluruhnya terbuat dari cokelat batangan.
Dinding-dindingnya terbuat dari cokelat putih, lantainya terbuat dari cokelat hitam yang menyerupai marmer, dan tiang-tiangnya pun terbuat dari cokelat susu. "Menakjubkan," ungkap pria bertanduk tunggal tersebut, kendati wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.
Zach mengeluarkan tombaknya sebelum masuk ke dalam istana. "Halo? Ada orang di sini?" tanyanya kepada udara kosong. Suaranya bergaung, menandakan kalau istana itu tidak berpenghuni. Kendati demikian, Zach tidak menurunkan kewaspadaannya. Dia lebih suka ada musuh yang muncul di depannya ketimbang yang mengendap-endap di belakang.
Zach melangkah secara hati-hati. Suara sepatunya bergema di aula besar tersebut. Wangi cokelat yang merupakan pernikahan sempurna antara vanila, kokoa, dan susu merasuk ke hidungnya. Meskipun demiian, dia tidak begitu terpengaruh. Perutnya memang berbunyi tapi ketidaksukaannya pada makanan manis seperti cokelat membuatnya mampu menahan godaan aroma cokelat yang terkutuk.
Zach sampai di depan sebuah tahta yang juga terbuat dari cokelat. Dia menoleh ke kanan kiri dan belakang, memastikan sekali lagi memang tidak ada siapa pun di sana. Lalu, dia melangkah naik ke tahta tersebut. Senyumnya mengembang sewaktu dia duduk di atasnya.
*
Colette dan Rex masuk semakin dalam ke perut hutan. Semakin jauh mereka berjalan, semakin takjub mereka dibuatnya. Pohon-pohon kue yang semula menyapa kini digantikan oleh pohon-pohon makanan ringan, di mana mereka menemukan kacang dan jagung berondong meletup-letup di dahan.
Colette menghirup udara sekitar. Harum yang sudah tak asing itu langsung mengantarkannya ke kenangan indah di Cirque du Reves. Dia begitu mengenal aroma gurihnya kacang, bersanding dengan aroma mentega di jagung berondong, yang kemudian disalut oleh manisnya karamel.
Colette direngkuh oleh kerinduan yang meluap-luap. Perutnya keroncongan, merengek-rengek ingin menikmati jagung berondong, kangen akan cita rasa rumahnya tersebut. Ya, dia ingin mencicipi mereka sedikit saja, untuk mengobati rasa rindunya itu. Namun, Rex menghalanginya lagi. Dia tersenyum, memegangi tangan Colette.
"V-Vous tidak lapar?" tanya Colette, heran karena Rex terlihat tidak terpengaruh oleh bau-bau yang menggiurkan di sekeliling mereka.
"Sedikit," jawabnya, "Tapi, nenekku pernah berkata, anak laki-laki tidak boleh termakan oleh hawa nafsu. Terlebih, tadi aku sudah makan roti dari Nona."
"Ta-Tapi, itu kan sepuluh menit yang lalu."
"Kenyangnya masih terasa kok," kata Rex. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan."
Rex menarik lembut lengan Colette, mengajaknya menjauh dari pohon-pohon jagung berondong. Mereka lantas sampai di tempat yang sedikit lebih normal, di antara pohon-pohon buah. Kendati demikian, tetap saja ada kejanggalan di sana, sebab satu pohon bisa menumbuhkan lebih dari satu jenis buah.
Colette terpukau. Dia mendongak, melihat kanopi yang dirimbuni oleh bebuahan ranum di atas kepalanya. Keasyikannya itu terusik sewaktu dia mendengar ada bunyi keresak dan kerisik, seperti ada dahan yang digoyang dan ranting-ranting yang dipatahkan. Colette bersiaga. Rex juga.
"Sepertinya suara itu berasal dari sana," Rex menunjuk tanah lapang tak jauh dari mereka. Dengan berhati-hati, mereka berdua melangkah ke sana.
Setibanya di pinggir hutan, mereka bersembunyi di balik pepohonan. Colette melihat ada danau kecil tak jauh di depannya. Airnya berwarna putih seperti susu. Dan, di pinggirnya, ada seseorang yang sedang mengupas tumpukan buah.
Colette mendelik kaget. Dia menjerit tertahan dan tanpa sadar memeluk Rex dari belakang saking takutnya. Jantung Colette berdebar kencang sementara kedua tungkai kakinya gemetar hebat. Dia yakin yang dilihatnya tadi bukan manusia melainkan… setan!
Ya, dia yakin sekali! Mustahil manusia biasa bisa melayang.
"Sssstt! Nona Colette jangan teriak! Nanti ketahuan!" bisik Rex, yang terkejut karena dipeluk dari belakang oleh Colette.
"M-Moi takut!" rintih Colette, "I-Itu setan, kan?"
"Setan? Bukan," jawab Rex, "Dia peserta, sama seperti kita. Aku pernah melihatnya di Jagatha Vadhi. Kalau tidak salah namanya Sil."
"S-Sil?" Colette memberanikan diri da mengintip dari balik bahu Rex.
Dia terkejut saat melihat rambut Sil memanjang ke segala arah, menggerayangi pepohonan, lalu memendek kembali seraya membawa buah-buahan. Beberapa buah yang berkulit keras dikumpulkan untuk dikupas dulu, sementara buah lainnya yang berkulit lunak 'ditelan' oleh rambut itu. Ya, ditelan! Colette semula tak percaya namun rambut-rambut Sil memang seperti kawanan ular, yang mencaploki buah-buahan, juga meneguk air dari danau. Dia lebih kaget lagi sewaktu tahu kalau ternyata Sil tidak punya mulut.
"Tapi… kondisinya aneh," bisik Rex.
"A-Aneh? Aneh bagaimana lagi? Sil itu sudah aneh dari ujung rambut sampai ujung kaki!" Colette memprotes dengan suara tertahan.
"Bukan itu!" kata Rex, "Sewaktu di Jagatha Vadhi, dia seperti gadis yang pendiam seakan tanpa emosi. Tapi sekarang, coba Nona perhatikan ekspresinya."
Colette mengikuti saran Rex. Ternyata Rex benar. Ada sesuatu yang 'salah' pada Sil. Sil seperti… kesurupan. Ah, bukan. Seperti pemadat yang terpengaruh zat adiktif, begitu buah-buahan menjalari rambutnya lalu masuk ke tubuh melalui kepala.
Badan mungil Sil agak bergetar, laksana dialiri listrik statis. Tangannya juga, sehingga dia kesulitan mengupas buah-buahan tersebut. Jemarinya tercuat-cuat ganjil seperti kaki laba-laba yang tengah meregang nyawa. Sil juga menggaruk-garuk wajah dan lehernya. Getarnya semakin hebat. Seluruh tubuhnya seolah sedang dikerubungi jutaan serangga.
"Ada yang salah dengan buah-buahan itu. Ada yang salah dengan makanan di pulau ini," bisik Rex membuat Colette menelan ludah. "Sepertinya… dia kecanduan…."
Dengan rakus, Sil mengonsumsi buah-buahan yang ada di depannya itu. Dia sudah tidak peduli lagi jika buah-buah itu belum dikupas. Yang ada di pikirannya sekarang hanya makan, makan, makan, makan, dan makan.
Rambut Sil juga menjadi lebih agresif. Mereka melesat dengan kecepatan tombak yang dilempar. Mereka mengincar lebih banyak buah-buahan. Salah satu 'sulur' rambutnya melesat ke arah Rex dan Colette, menghunjam ke pohon tempat mereka bersembunyi. Refleks, Colette menjerit ngeri.
Jeritan tersebut sampai ke telinga Sil. Kedua membeku sewaktu Sil menoleh tajam ke arah mereka. Colette terbelalak melihat mata Sil yang putih seutuhnya. Ada murka yang terpancar. Detik selanjutnya, Sil menyerang mereka.
"NONA COLETTE, LARIIII!" seru Rex, mengacungkan pedangnya. Sil datang sambil menghunjam-hunjamkan tanah dengan rambutnya.
Rex tidak gentar. Dengan gagah berani, dia berseru dan berlari menyerang Sil dengan pedang teracung ke depan. Sil meluncurkan rambutnya. Rex terkejut sewaktu rambut tersebut melilit di pinggangnya, dan….
"GYAAAAAAAAAA! NENEEEEEEEEEEK!" Rex memekik nelangsa begitu dilempar Sil ke udara dan hilang entah ke mana.
Colette sampai melongo di buatnya. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi. Dan, dia juga tak sepenuhnya yakin dengan apa yang dia lakukan. Saat sadar, dia sudah memegang gunfire lalu dengan polosnya membakar rambut Sil.
Sil terkejut. Colette memang tidak mendengar ada jeritan tetapi dia bisa melihat rambut Sil berkelojotan, panik, berusaha memadamkan api yang membakar mereka. Sil berguling-guling ke tanah seperti cacing kepanasan lalu menceburkan diri ke danau susu untuk memadamkan api yang membakar rambutnya.
Jantung Colette berdegup menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Sil pingsan? Dia segera mengetahui jawabannya begitu rambut Sil menghunjam ke tanah di dekat kakinya. Colette memekik kaget, apalagi sewaktu Sil muncul dengan kemarahan yang membara. Colette tahu kalau tadi dia sudah membuat keputusan yang buruk. Dia pun buru-buru berlari ke dalam hutan.
Sil melesat ke hutan untuk memburu Colette. Dia menghancurkan dahan-dahan pohon yang menghalangi dengan kekuatan rambutnya yang mengerikan. Tak jauh di depan, Colette berlari dengan segenap ketakutan di dada.
Sil menyerang mangsanya itu. Colette melompat menghindari rambut Sil yang menghancurkan batu di dekat kakinya. Dia menyambar dahan pohon di atasnya, berayun, dan mendarat lagi ke tanah. Rambut Sil datang menyerang, kali ini Colette menghindar dengan bersalto ke samping. Menggunakan kemampuan parkour-nya, Colette mengantisipasi setiap rentetan serangan yang dilancarkan Sil. Dia melompat ke batang pohon, melentingkan tubuhnya dari dahan ke dahan, dan berlari zig-zag membuat Sil kesal.
Sil yang mengamuk mulai merobohkan pepohonan. Colette diancam oleh ketakutan baru. Kalau dia tidak segera meloloskan diri, bisa-bisa dia mati tertimpa pohon. Colette terus berlari hingga keluar dari hutan dan tiba di sebuah bukaan. Dia pikir dia akan selamat, tapi nyatanya….
"Uwaaaaa!" Colette buru-buru berhenti karena ada jurang yang menganga di depannya.
Jurang itu sangat dalam dengan lebar mencapai beberapa puluh meter. Mustahil Colette melompatinya. Dia menengok ke kiri dan kanan, berharap menemukan jembatan. Sialnya, tidak ada yang bisa digunakan untuk menyeberangi jurang tersebut.
Jurang di depan, Sil di belakang. Colette dihadapkan oleh opsi yang tidak menyenangkan. Akhirnya dia memilih untuk melompat ke jurang sewaktu Sil melempar dahan pohon yang cukup besar ke arahnya.
Colette berteriak sewaktu tubuhnya meluncur ke bawah jurang. Deru angin menerpa wajahnya dengan kencang. Tapi, dia bersicepat menghentikan teriakannya. Dia bahkan menggigit bibir bawahnya supaya tidak bersuara.
Colette berusaha untuk fokus menguasai dirinya dari rasa takut. Kedua tangannya terentang ke depan… dan sebuah tongkat trapeze pun muncul. Colette tergelak senang begitu ada dua utas tali tambang yang tersambung dari tongkat trapeze-nya ke pasak di ujung jurang.
"Jules Leotard!" Colette menamakan aksinya tersebut dari nama atlet trapeze ayun legendaris.
Colette berayun kemudian mengaduh ketika menabrak tembok jurang yang berbatu. Tangannya tersentak, nyaris melepaskan tongkat trapeze-nya. Dia bersyukur karena berhasil mencegah dirinya jatuh. Colette menarik napas lega. Kakinya mencari-cari pijakan di dinding jurang.
"O ho hon! Moi selamat! Moi selamat!" katanya senang. Sekarang dia tinggal naik ke atas.
Akan tetapi, kelegaan dan kegembiraannya tersebut datang terlalu cepat. Colette menjerit karena rambut Sil nyaris menombak kepalanya. Rambut tersebut menghancurkan bebatuan di sampingnya.
Sewaktu Colette berbalik, dia melihat Sil sudah berdiri di pinggir jurang. Rambutnya bergerak-gerak liar. Dengan kekuatan yang mencengangkan, sulur-sulur rambut Sil memancang tanah. Bagaikan tarantula raksasa, Sil merayap di dinding jurang.
Colette terpaksa melompat lagi begitu dua sulur Sil terhunus ke arahnya. Kedua tangannya terkepal di depan dada, mirip anak kecil yang memegangi tali tas ransel. Sebuah jetpack warna kuning lemon kemudian muncul dan membawanya terbang.
Colette memutuskan untuk kabur dan mencari Rex. Akan tetapi, yang datang berikutnya sungguh di luar dugaan. Colette tak percaya ada orang lain yang juga mengenakan jetpack. Orang itu berambut putih, terbang ke arahnya sambil tertawa.
"HAHAHAHAHA! KAU MANGSAKU!"
Colette menjerit sewaktu orang itu menubruknya. Keduanya berputar-putar jatuh. Colette memekik pusing. Akan tetapi, dia harus segera mengendalikan arah terbangnya. Dia pun menghentikan rotasi tubuhnya, menendang orang yang menubruknya tadi, dan menekuk tubuhnya ke belakang hingga terbang kembali ke atas.
Si penubruk mengikuti teladan Colette lalu menyusulnya terbang ke atas. Orang tersebut adalah Zany dan sekarang dia memunculkan pedang samurai. Colette terperanjat. Perempuan berambut putih tersebut memiliki kekuatan yang sama dengannya?
"Akan kucincang kau!" seru Zany, menyerbu ke arah Colette sembari menyabet-nyabetkan pedangnya.
Colette bersiaga, mengeluarkan pedang juga. "En Garde!" serunya, memasang kuda-kuda fencing di udara. Kali ini Zany yang terkejut mengetahui kekuatan Colette. Meskipun begitu, dia tetap melanjutkan serangannya namun keburu ditarik ke bawah. Zany menjerit kaget.
Rupanya rambut Sil. Sil menangkap kaki Zany dan menghantamkannya ke dinding jurang. Zany menjerit kesakitan. Jetpack-nya lenyap. Puas menghajar Zany, Sil menyerang Colette lagi. Colette tidak tinggal diam. Dia berusaha menebas rambut Sil tapi tak bisa. Yang ada, pedangnya malah patah.
Colette terbelalak. Dia terbang menghindari rambut Sil yang ujungnya membentuk bongolan berduri. Dia nyaris digebuk kalau saja Sil tidak keburu kesakitan. Dengan panik, Sil melompat ke depan, dengan delapan sulur rambut mengembang di udara, lalu mencengkeram bebatuan di dinding jurang seberang.
Zany, sembari bergelantungan di tembok jurang, baru saja menembaki Sil dengan uzi—pistol mitraliur. Zany berdecak sebal karena Sil tidak terluka sama sekali. Uzi-nya pun menghilang.
Colette yang menyaksikan semua itu mengambil kesimpulan kekuatan kedua lawannya yang mengerikan tersebut. Rambut Sil benar-benar mimpi buruk dan kenyataan bahwa dia tidak bisa dilukai—meski akan kesakitan—merupakan mimpi yang lebih buruk lagi.
Sementara si perempuan berambut putih punya kekuatan yang sama seperti dirinya, kendati benda yang dimaterialisasi perempuan itu lebih cepat menghilang. Mungkin sekitar satu menit. Namun, parahnya, perempuan itu punya kekuatan menutup luka. Keningnya yang tadi bocor akibat dihantam Sil ke bebatuan sekarang sudah pulih seperti sedia kala.
Intinya, kekuatan mereka sangat mengerikan. Jadi, Colette memilih untuk kabur. Sayang, Zany keburu mengadang dengan jetpack tercantol di punggungnya. Zany menyeringai. Matanya berkabut, meski belum putih sempurna seperti Sil.
"Mau lari ke mana kamu?" tanyanya, memunculkan sebuah tombak. "Aku tak menyangka akan bertemu dengan orang yang punya kekuatan serupa. Tapi sepertinya, kamu tidak begitu hebat."
Colette mengacungkan tangannya untuk memunculkan pistol. Dia terlambat sebab Zany keburu melemparnya dengan tombak. Colette menjerit, pistol yang termaterialisasi lenyap kembali, walau untungnya dia sempat menghindar. Tombak tersebut melesat ke arah Sil, menancap beberapa sentimeter dekat perutnya.
Sil marah sebab sudah dua kali dia diserang Zany. Dia pun melesatkan tiga sulur rambutnya. Colette dan Zany terpaksa melakukan akrobat di udara demi menghindari serangan rambut Sil yang bertubi-tubi. Colette melihat kesempatan untuk kabur. Dia meluncur melewati dua sulur Sil yang menggurita. Zany mengejarnya.
Colette melesat ke udara. Dia ingin mencoba sesuatu. Tadi, saat berjalan bersama Rex, dia menyadari kalau ada sedikit perbedaan pada kekuatannya. Lebih tepatnya 'sedikit penambahan' kekuatan. Waktu dia hendak memetik donat, dia bisa memunculkan tisu tanpa melakukan aksi mime terlebih dahulu, sekaligus bisa menghilangkan tisu tersebut sesuai kehendaknya.
Dia ingin membuktikan apakah hal itu benar atau hanya kebetulan belaka. Saat Zany muncul di depannya, dia mencoaba mematerialisasi pistol. Ternyata benar! Di tangannya muncul pistol begitu saja padahal dia tidak melakukan gerakan tubuh seperti hendak menembak. Pistol itu diacungkan ke depan untuk memberondongi Zany dengan peluru.
Zany berhasil terbang mengelak. Marah dan geram, dia balik menyerang Colette, melesat ke arahnya dengan scythe di tangannya. Colette berniat menghilangkan pistolnya—"Adieu!"—supaya bisa mematerialisasi senjata baru. Akan tetapi, dia malah menjerit sewaktu dirinya jatuh. Rupanya jetpack di punggungnya juga ikut hilang.
Meskipun demikian, hilangnya jetpack tersebut membawa berkah serta tepat pada waktunya. Perut Colette mungkin akan robek disayat scythe Zany jika dia tidak jatuh. Sialnya, baru saja selamat dari satu serangan, serangan lain sudah datang menghampiri, karena sekarang Sil melesat dari bawah.
Colette memekik melihat Sil datang dengan kedua sulur melesat. Colette memaksakan diri untuk menghindar ke samping. Dia berhasil kendati lengannya tergores sedikit. Colette menahan perih yang menyengat dengan menggigit bibir bawahnya. Sekarang, dia perlu mencari cara untuk mengendalikan jatuhnya.
Dia pun menangkap sulur Sil dengan kedua tangannya. Dia memanfaatkan sulur tersebut seperti pemadam kebakaran yang turun menggunakan tiang. Tubuhnya berputar-putar saat "menuruni" rambut Sil. Untung, dia berhasil meredam kecepatan jatuhnya bahkan mendarat dengan selamat.
Eh? Mendarat dengan selamat? Mendarat di mana? Mata Colette terbelalak sewaktu ada perasaan ngeri yang menjalari kakinya. Begitu dia melihat ke bawah, dia menjerit kaget karena kedua kakinya mendarat di wajah Sil.
"AIIEEEEEEEE!" pekiknya, diliputi perasaan bersalah, "Pa-Pardon! Ma-Maaf! Moi tidak sengaja!"
Dia cepat-cepat melompat saat Sil mengamuk. Baru saja hendak mengeluarkan jetpack, Zany malah sudah keburu datang dan menubruknya dari samping. Jetpack Zany juga sudah menghilang dan dia mengikuti aksi Colette dengan memanfaatkan rambut Sil. Bedanya, dia bisa memanfaatkan sulur-sulur hitam itu dengan baik, berayun dari satu sulur ke sulur lainnya, dan akhirnya berhasil menangkap Colette.
Colette panik tatkala Zany membawanya melesat dengan jetpack baru. "Berhentilah menguik, Babi Kecil!" tawa Zany, mematerialisasi pisau di tangannya. "Kau makananku!"
Colette jelas tidak mau berakhir sebagai menu perempuan kanibal itu. Dia menyikut rusuk Zany sekuat tenaga, membuat Zany menjerit dan melepaskannya. Colette langsung memutar tubuh, mengayunkan tendangan ke pipi Zany. Selanjutnya, dia mematerialisasi jetpack dan kabur meninggalkan Zany yang gelagapan.
"KEPARAT!" Zany berseru marah. Dia segera mengejar Colette lagi. Nyaris saja dia berhasil menangkap mangsanya itu namun dia lupa kalau batas satu menit kekuatannya telah habis.
Jantung Zany mencelos sewaktu jetpack-nya hilang. "Si-Sial!" gerutunya. Kendati demikian, dia tidak kehabisan akal dan melempar rantai ke arah Colette. Lemparannya tepat sasaran. Rantai tersebut terbelit ke pergelangan kaki Colette. Colette memekik saat Zany berayun di bawah kakinya.
Zany tidak membiarkan Colette kabur. Dia menembaki mangsanya itu walau bidikannya meleset dan malah bersarang ke jetpack Colette.
"UWAAAAAAAAAAH!" baik Colette maupun Zany ketakutan sebab jetpack tersebut rusak dan membuat arah terbangnya oleng. Keduanya mengarah ke dinding jurang. Colette terpaksa menghilangkan jetpack-nya itu.
"Adieu!" serunya sebelum jatuh ke bawah.
Zany melepas pegangannya. Dia sudah bisa mematerialisasi jetpack lagi dan terbang ke atas. Dia melihat Colette melayang dengan kedua tangan dan kaki terentang. Detik selanjutnya, Colette sudah mengenakan wingsuit warna lavender. Bagaikan tupai terbang, Colette melayang-layang di udara.
"Bodoh! Kau seharusnya memunculkan jetpack baru!" ujar Zany, melesat ke arah Colette dengan parang terayun. "JADILAH MAKAN MALAMKU!"
Zany pasti akan mengenai kepala Colette kalau saja targetnya itu tidak terbang mundur. Zany terperanjat. Bukan! Bukan terbang mundur, melainkan ditarik oleh Sil. Colette menjerit sewaktu tubuhnya berputar-putar dililit oleh Sil.
"Dasar pengganggu!" geram Zany. Dia terpaksa mendarat ke bibir jurang terlebih dahulu sebab jetpack-nya akan segera hilang.
Colette memberontak di dalam belitan rambut Sil. Dia juga melihat Sil menumbuhkan lotus warna merah. Dia tidak tahu apa yang hendak Sil lakukan. Akan tetapi, detik berikutnya, Colette malah menemukan dirinya di pecinan kumuh.
Tubuh Colette membeku. Dia kembali ke lokasi pertarungan sebelumnya! Jangan-jangan, lotus tadi adalah sejenis mesin waktu dan dia baru saja terlempar ke masa lalu. Colette yang masih mencari tahu apa yang terjadi dikejutkan oleh suara jeritan.
"AAAARGH! COLETTE! TOLOOONG!"
Colette terbelalak, tak percaya melihat ada yang terbakar api hijau. "LAZOOO!" jeritnya, segera berlari ke arah temannya itu. Tapi, begitu didekati, Lazuardi malah berlari menghindarinya sambil terus terbakar dan berteriak-teriak.
"PANAAAS! SAKIIIT! AAAARGH! BANGSAT! COLETTE BANGSAT!" raung Lazuardi membuat Colette terkejut. Dia tidak menyangka Lazu akan berkata demikian. Tubuhnya langsung gemetar.
"La-Lazoo…."
"Katanya kamu mau melindungiku!" serunya lagi, berguling-guling di tanah dengan tubuh terpanggang, "Kau pembohong! Kau pembohong bangsat! Brengsek!"
Colette menggeleng bingung. Air matanya meluncur. "N-Non…. N-Non… m-moi… moi mau membantumu… ta-tapi…."
"PEMBOHONG! KEPARAT! BANGSAT! AAARGH! PANAAAAAS!" kobaran api hijau yang membara akhirnya melalap habis tubuh Lazuardi.
Colette menjerit. "NOOOON! LAZOOOO!" dia berlari ke arah temannya itu. Tapi, dia malah jatuh tersandung. Dadanya terasa sesak. Rasa bersalahnya semakin mencengkram. Di hadapannya, sekali lagi dia melihat temannya itu mati terbakar. Hanya saja, kali ini, temannya itu menyalahkan dirinya yang gagal menolong.
Air mata Colette meruah keluar. Sembari meringkuk di tanah, dia menangis penuh penyesalan, memanggil-manggil nama Lazuardi yang tak kunjung kembali. "Pardooon… Maafkan moi Lazoo… maafkan moi…."
"TETEEEEEH!"
Colette terkesiap. Kali ini dia mendengar suara Ucup. Kepalanya dengan liar memindai ke sekeliling sebelum menemukan Ucup sedang berlari ke arahnya. Benarkah ini? Benarkah yang dilihatnya itu Ucup.
"OO-OOCHOOP?" Colette masih menyangsikan matanya.
Dia melihat Ucup berlari ketakutan. Napasnya memburu serta air mata ketakutan mengalir di pipi bocah malang tersebut. "TETEEEEH! TOLOOOONG!" jeritnya.
Colette terbelalak menyaksikan ratusan Hvyt tiba-tiba muncul mengejar Ucup. "OOCHOOOP!" pekiknya. Dia bangkit dan bergegas menyelamatkan pengamen cilik tersebut.
Jantung Colette seakan berhenti berdetak sementara darahnya seolah berhenti mengalir. Di depan matanya, dia baru saja melihat salah satu Hvyt menebas tubuh Ucup. Kaki Colette langsung lemas. Jeritannya tak mengeluarkan suara. Dunianya hancur menyaksikan tubuh atas Ucup melayang ke udara dan jatuh berguling ke kakinya. Setelah berhasil membunuh Ucup, rombongan Hvyt tersebut melesat naik ke langit dan menghilang.
Napas Colette tercekat. Sekujur tubuhnya gemetar takut. Dia jatuh berlutut di depan Ucup yang bersimbah darah. "OOCHOOOOOOOOOOP!" teriaknya lantang, tak kuasa lagi menahan ledakan kesedihan di dada.
Dengan tangan gemetar hebat, Colette merengkuh potongan tubuh Ucup. "Oochoop… Oochoop… bertahanlah, Sayang…" isaknya. Tangannya mengusap pipi Ucup yang mulai dingin, "Jangan pergi, Oochoop… jangan tinggalkan Teteh…. Vous mau mencari ibu vous kan? Bertahanlah, oui? Bertahanlah Oochoop…."
"Teteh…" panggil Ucup dengan suara lemah.
"O-Oui, mon ami?" isak Colette, bercucuran air mata.
"Teteh pembohong…" rintih Ucup, membuat jantung Colette mencelos, "Teteh cuma bilang mau ngelindungin Ucup… tapi Teteh teu pernah bisa. Teteh payah, nggak guna. Teteh sialan…."
Udara di sekitar Colette mendadak membeku, menjalari kulitnya dengan kengerian dan perasaan gamang. "N-Non… Oochoop…."
"Ucup doain Teteh mati jiga anjing!" erang Ucup sebelum mengembuskan napas terakhir.
Colette tak percaya. Matanya terbeliak liar. Bibirnya gemetar. Napasnya tercekat. Badannya terguncang hebat. Namun, air matanya justru berhenti mengalir. Otot-otot di wajahnya menegang. Colette berusaha berdiri. Dengan sedikit limbung dia berjalan meninggalkan Ucup. Kulit pipinya berkedut ganjil sewaktu dia memaksakan diri untuk tersenyum.
"O hon," kikiknya aneh, "O ho ho ho ho hon."
Mendadak, dia merasa semuanya begitu lucu. Dia tidak tahu kenapa… hanya saja semua ini memang lucu. Dewa merah yang konyol… ajang bunuh-bunuhan… semua ini tak ubahnya lelucon jenaka. Semuanya begitu kocak, begitu menggelikan.
"O HO HO HO HO HO HON!" tawa Colette pecah, bergema ke seluruh pecinan. Gelaknya begitu kencang sampai-sampai dia perlu memegangi perutnya sendiri. Dia tertawa membayangkan Lazu yang mati terbakar. Dia tertawa mengingat Ucup yang diambil Hvyt. Dia tertawa melihat tubuh bocah yang sudah dia anggap adiknya sendiri tersebut terbelah menjadi dua.
Semuanya gara-gara dia. Gara-gara ketidakbecusannya. Gara-gara dia lemah. Dia hanya pandai bicara saja. Sok ingin melindungi tapi tidak berdaya. Dia… dia….
"MAAAAAAAAAAF!" teriak Colette dengan air mata yang menyembur lagi, "MAAFKAN MOI, LAZOO! MAAFKAN MOI OOCHOOP! MOI TIDAK BERGUNA!"
Colette berteriak-teriak ke udara kosong. Dia mondar-mandir tidak tahu arah seperti orang gila. "Maafkan moi!" isaknya lagi. Sebongkah granat muncul di tangannya. "Tapi… Tapi… moi akan membayar utang moi…. Moi akan bayar nyawa kalian dengan nyawa moi…. Lebih baik moi mati daripada hidup bersalah seperti ini!"
Tawa janggal terdengar lagi ditengai derai tangisnya. Tawa putus asa. Tawa kegilaan. Colette mengacungkan granat ke langit yang menggelegak berwarna merah-hitam. "Moi akan menyusul kalian! Tunggu saja, Oochoop, Lazoo," katanya. "TRUCK! VOUS JANGAN MACAM-MACAM DENGAN MOI! JANGAN COBA HALANGI MOI, DASAR DEWA GADUNGAN!"
Colette mencabut pengaman di granat tersebut lantas menjejalkannya ke mulut. Dia menutup mata, menahan napas, dan memasrahkan dirinya.
Au revoir, Oochoop, Lazoo, rintihnya perih di dalam hati.
Ledakan pun menggelegar dan Colette menjerit. Tubuhnya terlempar ke dinding jurang sementara Sil meledak berkali-kali. Colette tidak tahu apa yang terjadi. Dia sudah tidak di pecinan lagi dan sekarang tubuhnya merosot jatuh. Dia memekik kesakitan karena punggungnya tergerus bebatuan.
Kendati masih bingung dengan apa yang terjadi, insting bertahan hidupnya berteriak-teriak di kepala, menyuruhnya untuk menyelamatkan diri. Colette pun berbalik. Dia menjerit sewaktu pipinya tergores batu tajam. Tangannya menggapai-gapai, mencari pegangan supaya dia tidak jatuh. Jari-jarinya tergores dan berdarah. Sakitnya luar biasa. Meskipun begitu, Colette menahan semua dera yang ada. Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan rasa sakit! Dia harus selamat! Harus selamat!
Akhirnya, dia berhasil mendapat tempat untuk mencengkram. Colette mengerang, takut pegangannya tidak kuat. Syukurnya, hal itu tidak terjadi. Dia lega karena berhasil menyelamatkan diri. Sewaktu dia menoleh ke belakang, dia melihat Sil jatuh dengan tubuh menghitam penuh luka bakar di sana-sini. Sepertinya kesadarannya hilang, sehingga dia terus meluncur ke bawah sedangkan rambutnya tidak berusaha menolong majikannya itu.
Detik selanjutnya, Colette bisa menebak apa yang terjadi. Sepertinya, dia tadi memasuki alam bawah sadar, berada dalam pengaruh lotus Sil yang mungkin memiliki kemampuan hipnotis. Dia akhirnya tersadar begitu si perempuan berambut putih meledakkan Sil berkali-kali.
Colette lega bukan main karena semua yang terjadi tadi hanyalah halusinasi atau mimpi buruk belaka. Itu artinya Ucup belum mati—dia bersikeras meyakinkan dirinya kalau Ucup belum mati.
Akan tetapi, bukan berarti pengalamannya barusan cuma ilusi belaka. Tampaknya, Sil turut memancing rasa bersalahnya yang terpendam sewaktu mengirimnya ke alam bawah sadar. Selama ini, Colette memang memendam rasa bersalah atas kematian Lazu dan ketidakmampuannya melindungi Ucup.
Dia masih lemah. Dia tidak bisa apa-apa. Dia tidak bisa begini terus-terusan. Dia harus bisa lebih kuat. Dia harus bisa melindungi Ucup dan orang-orang yang disayanginya.
"Hahaha! Ledakan yang seru, bukan?"
Colette kaget karena Zany sudah ada di belakangnya. Dia memakai jetpack dan memegang senapan mesin. Colette terkesiap. Dia tahu perempuan berambut putih itu akan memberondongnya dengan puluhan peluru.
"Sekarang, giliranmu!" cengir Zany.
Colette mendorong tubuhnya begitu Zany menembak ke arahnya. Dia mengejutkan Zany dengan lompatannya yang berdaya tolak tinggi karena dia sempat mematerialisasi per di kakinya. Zany lebih kaget lagi sewaktu Colette memberondongnya dengan senapan mesin yang sama. "Le chagrin et la pitie!" raung Colette.
Zany menjerit serta menabrak jurang sewaktu menghindari tembakan Colette. Dia sendiri mesti bergantung lagi di sana begitu jetpack-nya hilang. Di lain pihak, Colette melesat ke udara dengan jetpack merah maroon-nya. Dengan anggun, Colette menjejak di bibir jurang seberang Zany.
Colette mendengar perutnya berbunyi. Selagi sibuk lari dan bertempur, dia sempat melupakan rasa laparnya. Tapi sekarang, matanya mulai berkunang-kunang. Dia memunculkan roti selagi Zany mengutuk marah dengan kata-kata kotor. Memang, roti itu tidak akan begitu berpengaruh namun dia butuh sedikit dopping untuk mengakhiri pertarungan ini.
"Le raid," kata Colette, memunculkan tongkat bisbol dari besi. Dia pun memukul bola ke arah Zany.
Zany terbelalak. Dia perlu melompat guna menghindari granat yang dipukul Colette. Granat itu meledak tepat setelah Zany mematerialisasi jetpack.
"Sini bolanya," kata Colette dingin, menjulurkan tangan sambil memain-mainkan jarinya, memberi gesture meminta.
Zany geram luar biasa dipermainkan seperti itu. "KEPARAT! DASAR MANGSA TIDAK TAHU DIRI!" raungnya, memunculkan gergaji mesin.
Colette tahu dia harus mencari cara lain untuk mengalahkan Zany. Dia melempar tongkat bisbolnya begitu Zany menyerbu dengan gergaji mesinnya yang meraung-raung penuh ancam. "MAMPUS KAU!"
"Wah, vous salah vous," kata Colette memasang kuda-kuda. Sebuah senapan muncul di tangannya. Bukan senjata api, melainkan senapan pelontar jala.
Zany terkejut dan kelabakan sewaktu jala yang ditembakkan Colette menyergap tubuhnya. Dia menjerit begitu kehilangan orientasi arah. Dia terbang menabrak pohon, gergaji mesinnya terlepas, dan akhirnya dia mendarat dengan kasar ke tanah.
Colette segera berlari ke arah Zany yang berusaha melepaskan diri dari jeratan jala sambil mengutuk. "Lepaskan aku, Bangsat! Lepaskan!"
"Adieu!" kata Colette melenyapkan jala begitu dia sudah ada di samping Zany. Kendati demikian, detik berikutnya dia memunculkan baton yang langsung dihantamkannya ke kening perempuan berambut putih itu.
Zany tak sadarkan diri. Dengan mudah, Colette memborgol tangan Zany lantas mengikat pinggangnya dengan rantai. Selanjutnya, Colette mematerialisasi jetpack lagi, kali ini dengan sabuk dan kait di pinggangnya. Kait tersebut dia cantolkan ke rantai di pinggang Zany. Sewaktu terbang, mereka melayang dalam posisi tandem.
Zany mulai sadar begitu Colette melayang-layang di antara jurang. Dia kaget begitu mendapati dirinya terbang dan terikat. Kepanikan serta-merta melanda. "Hei! Apa-apaan ini? LEPASKAN AKU!"
"Le Sang d'un Pute. The Blood of a Whore," kata Colette, sebelum terbang meluncur ke arah dinding jurang. Dia menjenggut rambut belakang kepala Zany dan mendorongnya ke depan.
Zany menjerit sebab Colette berniat menabrakkan kepalanya ke dinding jurang. Suara tumbukkan keras bergema begitu wajah Zany dihantam ke bebatuan. Zany memuntahkan darah dari mulut dan hidungnya yang hancur.
Tapi, Colette tidak berhenti di situ. Dia memosisikan kepala Zany tetap di dinding jurang lantas terbang dengan kecepatan tinggi sembari menggerus wajah Zany.
Zany menjerit dan berteriak kesakitan. Batu-batu tajam merobek-robek kulitnya, memuncratkan darahnya, dan menghancurkan wajahnya. Colette memerahkan permukaan tebing dengan darah Zany.
Tubuh Zany berkelojotan. Kakinya menendang-nendang, tangannya meronta-ronta. Jeritnya sudah tak keruan lagi, hanya berupa suara-suara tanpa arti. Tanpa ampun, Colette melumat kepala Zany hingga bola matanya lepas, lidahnya terpangkas batu tajam, tengkoraknya tercacah, dan otaknya terburai. Akhirnya, setelah tak kuat lagi, tubuh Zany pun berhenti berkejat-kejut.
Setelah Zany tidak bergerak lagi, Colette berhenti. Dia mengikat bom waktu di badan Zany, sekadar berjaga-jaga kalau perempuan itu bisa 'menumbuhkan' kepalanya lagi. Setelahnya, Colette pun melepas kait dan melempar tubuh Zany ke dasar jurang.
"Voila!" katanya, dengan kedua tangan terentang ke atas. Akhirnya selesai juga.
Napas Colette langsung terasa berat. Keringat dingin bercucuran di kening dan lehernya. Matanya semakin banyak diserbu kunang-kunang. Dia tak sanggup lagi. Dia sudah lemas. Lapar yang melandanya sejak pertama kali tiba di pulau ini sudah tidak bisa ditahan lagi.
Colette berusaha mencapai bibir jurang. Sayang, jetpack-nya keburu hilang. Dia juga terlalu lemah untuk berusaha mematerialisasi benda yang dapat menyelamatkan diri. Colette membiarkan dirinya jatuh.
Deru angin menerpa punggungnya, memberi sensasi dingin yang cukup menenteramkan sebelum tubuhnya menghantam tanah. Pandangannya mulai menggelap. Namun, sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, dia sempat melihat ada yang melompat dan menukik ke arahnya.
"Nonaaa…" sayup-sayup Colette mendengar seseorang memanggilnya.
Siapa itu? Rex?
*
TROIS – MAIN COURSE
Nurin sudah menduga ada yang tidak biasa dari makanan-makanan di pulau ini. Pertama, makanan tersebut tidak membuatnya gemuk meski dia nyaris menghabiskan seluruh menu daging yang ada. Makanan-makanan itu membuatnya kenyang hanya sebentar. Beberapa menit kemudian dia lapar lagi, dan akhirnya makan lagi, seakan seluruh makanan tadi menghilang begitu saja di perutnya.
Keanehan kedua adalah efek makanan tersebut. Ada dorongan aneh yang membuatnya ingin terus makan, memakan semuanya, entah itu kayu atau rumput. Tapi, tentu saja Nurin tidak berniat makan rumput karena dia ingin daging. Daging apa saja. Mungkin juga daging manusia. Sepertinya lezat jika dipanggang. Terlebih, daging-daging di sana sudah hampir habis semua. Mulut dan tangan Nurin belepotan minyak serta saos.
Keanehan ketiga, makanan-makanan itu sepertinya meningkatkan kekuatannya. Nurin menyadari hal ini saat bersendawa, di mana dia bisa menyemburkan kabut hijau beracunnya dari mulut. Juga, saat meludah, volume air beracun yang dikeluarkan tidak sedikit melainkan banyak. Dia seperti memuntahkan sebaskom limbah. Tentu saja Nurin tidak mempermasalahkan efek yang menambah kehebatan pada kekuatannya itu.
Yang dia permasalahkan adalah habisnya stok daging di sana. Nurin baru saja melempar tulang iga terakhir yang bisa dia gerogoti. Dia harus mencari daging lagi. Matanya yang berkabut kini menyalang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sewaktu Nurin keluar, dia melihat ada sesuatu yang melesat jatuh lalu meledak.
Nurin memekik kaget, mengira itu adalah meteor jatuh. Namun, setelah diperiksa ternyata bukan. Yang jatuh tadi adalah seonggok tubuh manusia yang kemudian meledak. Potongan-potongan tubuhnya berceceran ke mana-mana. Nurin yakin itu adalah salah satu peserta yang dikalahkan peserta lainnya. Siapa pun yang mengalahkan peserta malang tersebut, dia pastilah orang yang sangat sadis. Begitu pikir Nurin.
"Tapi, siapa pun dirimu, terima kasih atas makanannya," kekeh Nurin, menjilati bibir atasnya dengan lidah. Kebetulan sekali, dia belum pernah menyicipi daging manusia.
Dengan gembira, Nurin memunguti potongan-potongan tubuh tersebut sebelum melemparnya ke dalam pemanggang api. Liurnya menetes. Sebentar lagi, dia bisa berpesta.
*
Saat kecil, Colette pernah diajak ibunya ke sebuah pastry shop di Paris. Dulu, kehidupan mereka cukup sederhana dan uang mereka tidak terlalu banyak. Jadi, kunjungannya ke sebuah toko kue bisa diibaratkan kunjungan ke negeri dongeng yang penuh dengan cerita manis.
Colette ingat ibunya berkata kalau dia boleh memilih apa saja. Maka, Colette pun menyambangi etalase toko satu per satu. Di sana, kue-kue berlapis cokelat, bertabur gula, atau yang berhiaskan buah-buah berry mengilat laksana permata seakan memanggil-manggil namanya, meminta dia untuk memilih mereka. Colette masih ingat betapa basah mulutnya, nyaris menumpahkan air liur, saking banyaknya kue-kue lezat di depan mata. Pada akhirnya, dia memilih sebuah éclair bermandikan cokelat sementara ibunya memilih kue klasi baba au rhum.
Colette dan ibunya duduk di teras pastry shop, menikmati kue mereka dengan secangkir susu murni untuk Colette dan café au lait untuk ibunya. Colette memotong éclair-nya dengan garpu, menyuapkan potongan tersebut ke mulut, dan dia dibumbung ke surga oleh kenikmatan éclair yang tiada tara tersebut.
Cokelatnya yang mengalir kental dan hangat berpadu dengan adonan yang empuk. Belum lagi isi krimnya yang selembut awan, menyaput halus permukaan lidahnya laksana secungkil kebahagiaan di mulut. Colette memekik riang, malah sampai melonjak-lonjak di kursi, demi merepresentasikan kelezatan éclair itu. Sang ibu tersenyum melihat tingkahnya.
Colette tidak akan melupakan momen tersebut. Dia tidak akan bisa melupakan letupan rasa yang menggoda lidahnya. Bahkan dia masih mengingat aroma subtil yang membuatnya mengingat keceriaan Paris di musim panas, dengan mentarinya, semilir anginnya, serta pemandangan Kota Cahaya tersebut yang bagaikan disepuh emas.
Wangi adonannya yang gurih diselingi dengan harum vanili dari krimnya. Tentu saja mereka semua dipinang oleh aroma khas cokelat yang padat, solid, nyaris maskulin. Wangi-wangi yang sama membuatnya tersadar dari pingsannya selama beberapa jam. Sewaktu dia terbangun, dia mengerang merasakan kepalanya pusing dan badannya pegal-pegal.
Kendati demikian, semua rasa sakit itu segera terlupakan begitu dia menemukan dirinya di sebuah istana. Pupil Colette melebar dalam ketakjuban sementara rahang bawahnya jatuh dalam kesangsian karena ke mana pun dia memandang, di sekelilingnya hanya ada cokelat, cokelat, dan cokelat. Apakah dia masih berada di alam mimpi?
"Kamu sudah bangun, Nona?"
Colette terkejut sewaktu ada yang menghampirinya dari belakang. Sewaktu menoleh, dia malah menjerit dan beringsut mundur sebab yang tadi menyapanya adalah iblis bertanduk tunggal. "Eeeeeeekkk!" jeritnya ketakutan.
"No-Nona… jangan takut… aku—"
"Jangan mendekat!" jerit Colette histeris.
"Aku tidak akan menyakitimu, Nona," kata pria itu meyakinkan.
"Bo-Bohong! Vous pasti mau memakan moi juga!" tuduh Colette, teringat kalau sebelumnya dia dimangsa dan hendak dimakan oleh perempuan berambut putih.
"Memakanmu?" kening di bawah tanduk pria itu tertekuk. "Tidak. Aku tidak berniat memakanmu. Aku hanya ingin menolongmu."
"Mana ada iblis yang berniat menolong!" bantah Colette, merujuk pada tanduk di kepala pria itu.
"Iblis?" lagi-lagi pria itu tercengang. "Aku bukan iblis, Nona. Yah, setidaknya bukan iblis yang seperti yang kau duga. Namaku Zacharias Eithelonen."
"Z-Zacharias Ei—apa?" Colette kesulitan melafalkan nama belakang Zach.
"Panggil saja Zach."
"Zacques?" tanya Colette, mengonfirmasi.
"Ya. Dan aku suka aksen Nona yang kental," kata Zach mengomentari, "Lantas, siapa nama Anda, Nona Cantik."
Dipuji seperti itu Colette malah jadi salah tingkah. "Umm… Co-Colette. Itu nama moi."
"Nona Colette, ya? Nah, Nona Colette, boleh saya menolong Nona?" Zach menjulurkan tangannya ke depan, membuat Colette merasakan déjà vu. Dia teringat adegan yang sama sewaktu berkenalan dengan Rex.
Sepeti sebelumnya juga, Colette masih meragu. Di satu sisi dia tidak ingin percaya begitu saja. Di sisi lain, Zach sudah begitu sopan padanya hingga rasanya kurang ajar jika dia menampik tawarannya itu.
"Jangan takut," kata Zach dengan suaranya yang tenang, terkontrol, dan entah mengapa terdengar sangat membius. "Bukankah kalau saya jahat seharusnya Nona Colette sudah tidak akan berada di pulau ini lagi?"
"Ja-Jadi… ini bukan Jagatha Vadhi?" tanya Colette.
"Bukan. Kita masih di pulau tempat di mana Hvyt meninggalkan kita," jawab Zach. "Nah, mari, saya bantu Nona berdiri."
Akhirnya, setelah yakin Zach tidak akan menyakitinya, Colette menerima uluran tangan pria bertanduk tersebut. Zach menarik tubuhnya. Colette yang masih lemah terhuyung saat dia berdiri. "Ooops, hati-hati," bisik Zach, buru-buru merangkul tubuh Colette supaya tidak jatuh.
Ada perasaan malu serta sedikit risi yang dirasakan Colette sewatu Zack merengkuh tubuhnya. Tapi, dia tahu Zach tidak bermaksud macam-macam. "Merci…" ucap Colette, malu-malu.
"Nona pasti lapar," kata Zach, menuntun Colette ke sebuah meja makan panjang, "Mari kita isi perut dulu. Sebenarnya di sini hanya ada cokelat sih. Tapi, lumayan lah daripada tidak ada apa-apa."
"E-Eh… ma-makan?" Colette berhenti, sedikit ketakutan, "M-Moi tidak mau makan makanan di pulau ini! Berbahaya!"
"Berbahaya?" Zach mengerutkan keningnya.
"O-Oui… moi lihat Sil—salah satu peserta yang berambut panjang—ketagihan makan makanan di sini dan dia… dia jadi beringas."
"Ah ya, aku tahu gadis itu," kata Zach, "Aku melihatnya sewaktu kalian bertarung dengan gadis satu lagi."
"V-Vous melihat pertarungan di jurang?"
"Tentu," angguk Zach, "Kamu luar biasa. Makanya, saat kamu jatuh, aku segera melompat untuk menolongmu dan membawamu ke mari."
Ternyata bukan Rex yang menolong moi, batin Colette.
"Eh, Rex?" Colette terlonjak. Dia teringat kembali pada kesatria berzirah putih tersebut. Dia pun panik. "Eh, er, pa-pardon… se-sepertinya moi harus segera mencari teman moi…." Mustahil Colette membiarkan Rex begitu saja. Dia tidak mau meninggalkan temannya lagi. Dia tidak mau kehilangan temannya lagi.
"Eh? Teman?" Zach mencegah Colette untuk pergi begitu saja. Dia mencengkeram lembut pergelangan tangan Colette. "Kamu akan mencarinya ke mana? Dia ada di mana?"
"M-Moi tidak tahu," jawab Colette jujur, "Ta-Tapi moi tetap harus menolongnya."
"Hari sudah malam. Akan sulit mencarinya di tengah kegelapan," kata Zach, "Lagipula, siapa tahu masih ada satu atau dua peserta berdarah dingin yang berkeliaran."
"M-Moi tidak peduli! Yang penting moi bisa menemukan Rex," kata Colette bertekad bulat. Sekalipun demikian, isi perutnya tidak sepenuh tekadnya. Colette tertunduk malu begitu perutnya mengeluarkan suara berkeroncongan.
Zach tersenyum lagi. Dia memberi Colette sebutir cokelat. Colette hendak menolak, bahkan nyaris menjatuhkan cokelat itu dari tangannya seolah yang Zach berikan tadi adalah bara panas. Tapi, Zach meyakinkan Colette untuk menerimanya.
"Tidak apa. Cuma sebutir cokelat. Tidak akan ada pengaruhnya," kata Zach, "Aku juga sudah mencicipinya sedikit dan aku tidak berubah jadi beringas, kan?"
Colette melihat ke dalam mata Zach yang memiliki iris ungu serta pupil vertikal seperti reptil. Ada seulas kabut di sana, tanda kalau Zach memang sudah mencicipi makanan di pulau. Hanya saja, kabut di matanya itu tidak setebal kabut di mata wanita berambut putih yang dia kalahkan sebelumnya.
Barangkali kalau hanya makan sedikit memang tidak apa-apa….
Colette mengigit cokelat tersebut dan krim cokelat menyembur ke dalam mulutnya. Cokelat cair itu meleleh ke lidahnya lantas mengalir ke dalam kerongkongan. Rasanya seperti éclair yang dulu pernah dia cicipi.
Colette dibuai oleh sensasi surgawi. Saking enaknya cokelat itu, dia sampai melenguh nikmat sebelum buru-buru menutup mulutnya dengan jemari, malu karena dia baru saja bersikap agak vulgar di depan Zach.
"Pa-Pardon," ucapnya, meminta maaf seraya tersipu. "Cokelatnya enak sekali. Merci."
"Kamu mau lagi?" Zach menawarkan, "Buat bekal di jalan selagi mencari temanmu."
"N-Non…" tolak Colette, menggeleng. "Eh, ta-tapi mungkin boleh juga. Satu saja."
Zach tersenyum, menyerahkan sebatang cokelat hitam ke Colette. Tanpa ragu, Colette menyambar cokelat itu dan segera memakannya. Dia bahkan lupa dengan tata karma serta etika makan. Dia terlalu lapar untuk mengingat hal-hal sepele seperti ity. Yang dia inginkan hanyalah memanjakan perutnya yang kosong.
Zach duduk di kursi makan saat Colette asyik memakan cokelat batangan tersebut. Zach senang melihatnya. Dia mengangkat kaki kanan dan meletakkannya di atas kaki kiri. Colette menjilati jari-jarinya sendiri begitu selesai menghabiskan cokelatnya.
"Aku masih punya satu lagi lho," kata Zach, mengacungkan sebatang cokelat lagi.
"Bo-Boleh moi minta?" tanya Colette. Meski malu-malu, dia terlihat sangat menginginkan cokelat tersebut.
"Bagaimana kalau kamu ambil dari tanganku?" Zach tersenyum jahil.
"O hon," kikik Colette, "Jangan menggodaku, Monsieur. Berbaik hatilah pada moi."
Zach melompat ke atas meja makan. Melompat adalah kata yang kurang tepat karena Zach melakukannya dengan ketangkasan yang sedemikian rupa. Dia seperti menjejaki angin lalu mendarat dengan anggun. "Ayo ambillah, Nona Cantik," godanya.
Colette tertawa kecil lagi. Dia menggeleng malu-malu walau akhirnya naik juga ke atas meja. Zach mundur beberapa langkah saat Colette meletakkan pemutar lagu. Begitu dia berdiri berkacak pinggang, dia sudah mengenakan rok panjang mengembang berwarna merah.
"El tango de Colette."
Musik tango berdentum, kaki Colette mengentak, dan Zach mengulurkan cokelatnya. "Ambillah sayangku," bisiknya.
Colette mengibaskan roknya, menghampiri Zach dengan langkah yang sesuai irama lagu. Zach menyembunyikan cokelatnya ke belakang punggung, memutar tubuhnya, lantas membiarkan Colette melewatinya. "Ole, Nona! Ole!" kata Zach, seperti matador yang baru saja menggoda banteng dengan kain merahnya.
Colette tergelak. Dia memutar tubuhnya, membiarkan roknya mengembang bak kelopak bunga yang mekar. Tangannya terjulur, disambut uluran tangan Zach yang tanpa cokelat. Senyum sensual terkembang, kaki terentak, mengawali gerakan Colette yang berputar ke dekapan Zach.
Zach mendesis ketika punggung Colette menabrak lembut dadanya. Tangan kirinya terpagut bersama tangan kanan Colette, tangan kanannya menyembunyikan cokelat yang berusaha diraih Colette. "Tidak secepat itu, Nona," bisiknya, memutar Colette keluar dari dekapannya.
"Monsieur, vous nakal!" dengan penuh gairah Colette mengangkat dan mengibaskan roknya. Kaki kanannya turun ke bahu Zach setelah terangkat tinggi ke udara.
Zach pura-pura kesakitan begitu kaki Colette menekan bahunya. Dia mengaduh kecil dan jatuh berlutut. Colette mendekati Zach, meletakkan kakinya di atas paha pria yang sedang bersimpuh di hadapannya itu. Jemari Colette mengelus pipi Zach, naik ke rambutnya, lalu ke tanduknya. Desah penuh hasrat menggema, lebih-lebih saat Zach mengelus betisnya.
"Monsieur, vous cabul!" kikik Colette, mendorong dada Zach dengan ujung kakinya hingga pria itu jatuh terbaring.
Zach tertawa. Dia mengacungkan cokelatnya dan mengiming-iminginya di depan Colette. "Ayo, hukum aku, Nona!" pancingnya.
"Oh, vous membuat moi marah!" tawa Colette, mengentakkan kaki dan berputar. Kedua tangannya menyentuh leher, turun ke dada, lalu ke pinggang. Gerakannya syarat makna serta sinyal-sinyal gairah. "Begitukah cara vous memperlakukan wanita?" Colette mendesah.
"Lalu, cara bagaimana yang kau inginkan, Nona?" tanya Zach, bangkit dan menarik tangan Colette. Colette memekik, berakting kesakitan begitu jatuh ke dekapan Zach.
"Oh! Monsieur! Vous kasar!" rengek Colette.
"Bukankah ini yang kamu mau?" tanya Zach dengan ujung bibir terangkat. Dia menarik lengan Colette ke atas, memutarnya lagi sehingga dia bisa mendekap wanita itu dari belakang.
"Monsieur! Hentikan!" erang Colette. "Jangan perlakukan moi dengan kasar… karena moi begitu berharga."
"Tentu saja kau berharga, Sayangku," bisik Zach di telinga Colette. Dia merengkuh Colette lebih erat lagi. Dia menenggelamkan hidungnya ke lekuk leher Colette, membuat wanita itu seperti kehabisan napas. "Wangimu memesona…."
"Oh… Zacques…." Colette diambung ke sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tangannya gemetar memegangi tangan Zach yang turun perlahan dari dadanya.
Zach menggigit sepotong cokelat yang dipegangnya. "Kamu mau ini, Nona?" tawar Zach, dengan suara tidak jelas karena dia membiarkan potongan cokelat itu menggantung di antara kedua bibirnya.
Colette mengangguk penuh pengharapan. Dia mengigit ujung cokelat di bibir Zach hingga bibir mereka nyaris bertemu. Dia melenguh lagi, menikmati kelezatan cokelat menjalari bagian-bagian dalam tubuhnya.
Colette menjerit kaget tatkala Zach memutar tubuhnya hingga mereka kini berhadap-hadapan. Tangan kiri Zach memegang lembut tangan kanan Colette, tangan kanannya ada di pinggang, sementara tangan kiri Colette ada di bahunya.
Zach mendorong pelan badan Colette hingga menekuk ke belakang, sementara tangannya mengalungi pinggang pasangan wanitanya itu. Zach memajukan badannya ke depan. Hidungnya berhenti beberapa sentimeter di atas dada Colette. Sekali lagi, dia menarik napas dalam-dalam agar dapat mencium aroma yang menguar dari sana.
"Aroma tubuhmu… menggairahkan…."
"Zacques… cokelatnya…" pinta Colette.
Zach menarik tubuh Colette, tersenyum begitu wajah mereka berhadapan. "Ini, makanlah…" kata Zach, menyodorkan sisa potongan cokelat ke depan mulut Colette.
Tak sungkan-sungkan, Colette menyambarnya. Dia tak bisa menahan diri. Zach juga. Gelegak hasrat di dada pria itu sudah tak dapat dibendung. Dikecupnya leher Colette sementara gadis itu menikmati cokelat. Deru napas berat keduanya saling merajut udara di dalam istana. Di atas meja makan itu mereka berdua berbaring.
"Oh… Zacques… nooon…" rintih Colette.
"Nona… Nona… kau begitu menggiurkan," layaknya anjing, Zach terus mengendusi tubuh Colette, "Kau… kau membuatku lapar…."
Zach benar-benar gelap mata sewaktu dia menghujamkan giginya ke bahu Colette. Colette berteriak kesakitan, membuatnya tersadar.
"ZACQUES! NON!" jerit Colette, meronta-ronta ingin melepaskan diri karena kedua lengannya dikunci oleh tangan Zach. Kakinya menendang-nendang meski tidak membuat Zach melepaskan gigitannya.
"TOLOOOONG! ZACQUES! JANGAN!" air mata Colette menetes bersamaan dengan darah yang merembes dari kulitnya. Ketakutan baru melanda, ketakutan kalau-kalau dia tidak akan bisa lepas dari cengkeraman Zach dan berakhir sebagai santapan malam si pria iblis tersebut. Semuanya telah berakhir. Semuanya….
"HEI! LEPASKAN NONA COLETTE!"
Zach terkejut ketika ada yang menendang pintu istana. Seorang pria berambut pirang dan berzirah putih muncul dengan pedang teracung ke depan. Penampilannya agak kotor dan awut-awutan tapi selain itu dia berdiri gagah penuh tekad membara.
Colette tidak percaya. Dia tak menyangka Rex datang menolongnya. "REX!" jeritnya bahagia dipenuhi kelegaan dan rasa syukur. Colette memanfaatkan kesempatan ini dengan mendorong tubuh Zach sebelum berguling turun dari meja. Zach mengerang marah melihat Colette lari ke arah kesatria putih tersebut.
"Nona tidak apa-apa?" tanya Rex.
Colette menggeleng. "M-Moi baik-baik saja tapi moi tidak menyangka vous akan datang menolong moi. Merci!"
"Nenekku pernah berkata, kalau kamu mau membantu orang, bantulah sampai akhir," kata Rex, "Makanya aku mencari Nona ke mana-mana. Untung ketemu dan belum terlambat."
"Siapa kau, tamu tak diundang?" tanya Zach dingin. Sebuah tombak muncul begitu saja di genggaman tangannya, "Datang-datang mengganggu urusan orang lain saja."
"Namaku Rex dan aku datang untuk menolong Nona Colette."
"Namaku Zach dan kau merebut mangsaku. Dasar tidak tahu diri!"
"Mangsa?" dahi Rex tertekuk, "Orang sakit macam apa kau yang punya pikiran seperti itu?"
"Huh, tidak usah sok suci! Aku tahu maksudmu yang sebenarnya," Zach memasang kuda-kuda, "Takkan kubiarkan kau merebut makan malamku!"
Zach berseru lantang dan menyerang Rex. "Nona, mundurlah," kata Rex, sebelum maju menyambut serangan Zach.
Ujung tombak kecubung Zach menusuk ke arah Rex. Dengan lihai, Rex menghindar ke samping lalu melesat maju. "Palmnya Kingdom Sword Style!" Rex mengayunkan pedangnya ke arah Zach.
Zach terkejut dengan kecepatan Rex. Dia melompat mundur sambil mengayunkan tombaknya ke samping untuk menggebuk lengan Rex. Rex menunduk, menghindari ayunan tombak Zach yang menderu. Zach langsung memasang kuda-kuda begitu mendarat dengan mulus.
"Bersiaplah!" seru Rex, maju menyerang.
"Violet Slicer!" Zach mengibaskan lengannya secara horizontal, membuat Rex bingung mengapa dia melakukan itu.
Namun, Rex terkejut mendengar ada suara desingan yang meluncur ke arahnya. Dia menjerit kaget begitu zirahnya ditabrak sesuatu yang tak kasat mata hingga menyebabkan garis pipih panjang, seperti ada mata pedang yang menggores.
Rex mundur. Dia mengambil kesimpulan kalau Zach bisa menciptakan senjata tajam tak kasat mata, atau memanipulasi udara atau angin untuk menciptakan efek seperti senjata tajam. Zach menyerang lagi. Dia menjejak udara hingga mampu melompat tinggi, nyaris menyentuk langit-langit. Rex dan Colette terperangah dibuatnya.
"Violet Rain!" seru Zach, mengeluarkan satu tombak lagi. Dia melempar tombak berbentuk seperti petir berwarna ungu tersebut ke arah Rex.
Rex menghindar tetapi gagal mengantisipasi apa yang terjadi berikutnya. Suara gelegar halilintar bergaung memekakkan telinga begitu ujung tombak petir itu menusuk lantai. Colette memekik sambil menutup telinga sementara Rex terempas lebih jauh akibat terkejut mendengar gelegar tadi.
Mata Rex terbeliak ngeri. "Ga-Gawat," pikirnya, "Nona Colette! Larilah ke selatan, ke tempat Hvyt menurunkan kita! Dua jam lagi dia akan menjemput kita! Larilah! Aku akan menyusul setelah membereskan orang ini!"
"Ta-Tapi…." Colette ragu karena dia benar-benar enggan untuk meninggalkan temannya.
"LARI!" seru Rex, "Dia terlalu berbahaya! Aku pasti akan menyusulmu!"
Bu-Bukan begitu, Colette membatin.
Rex menyerbu Zach lagi. Mata pedang dan ujung tombak mereka saling beradu, berdesing, dan mendecing. Rex terkejut sewaktu melihat Colette belum beranjak ke mana-mana.
"NONA TUNGGU APA LAGI? LARI!" teriak Rex.
Colette terlonjak kaget. Kendati sangat berat hati, akhirnya dia berlari ke luar istana.
"Huh! Kau membuat makan malamku kabur!" geram Zach, menyerang Rex dengan dua Violet Slicer.
Rex yang sudah tahu tahu jurus tersebut mampu mengantisipasi. Dia menangkis satu Violet Slicer dan menghindari yang satunya lagi. Rex tahu kalau dia perlu mengakhiri pertarungan ini secepatnya. Dia pun memegang pedangnya dengan kedua tangan.
"Sword of Devoted!"
Pupil vertikal Zach membengkak. Dia bisa merasakan ada energi aneh merasuki Rex. Udara sekitarnya berubah padat dan menyesakkan. "Apa yang terjadi?" erangnya.
"Maaf, aku harus mengejar Nona Colette," kata Rex, "Permainan kita selesai sampai di sini."
Rex meraung lantang seraya menebaskan pedangnya. Zach melompat begitu deru angin berat dari kibasan pedang Rex menyayat semua yang ada di depannya. Zach mengambil keputusan yang tepat, sebab selanjutnya jadi dia pucat pasi ketika melihat tembok istana di belakangnya runtuh akibat angin tebasan pedang Rex.
Efeknya begitu mencengangkan bahkan sedikit di luar dugaan Rex. Hancurnya tembok di belakang Zach membuat seluruh istana bergetar. Firasat buruk menyergap keduanya. Mereka menjerit tatkala langit-langit istana runtuh.
"GYAAAAAAAAAA!" Rex berlari keluar diiringi teriakan panik.
Zach yang jauh dari pintu terlambat untuk melarikan diri. Sebuah kandelir cokelat jatuh di atas kepalanya. Dengan segera, dia mengayunkan lengan ke atas kepala, memadatkan udara untuk menciptakan force field yang melindungi dirinya dari reruntuhan.
Di luar, Rex memandang keruntuhan istana cokelat dengan perasaan bersalah. Seharusnya dia tidak perlu lepas kendali seperti itu. Zach pasti tewas tertimpa potongan-potongan cokelat seberat beton tersebut. Dia menarik napas panjang. "Padahal, nenekku pernah berkata…."
Kalimatnya tidak selesai sewaktu ada 'ledakan' kecil di tengah reruntuhan, membuat beberapa potong cokelat melanting ke udara. "AKU SELAMAAAAAT! YEAAAAAH!" seru Zach dengan kedua tangan terentang ke udara.
Rex tak menyangka Zach akan selamat dari timpaan puluhan ton cokelat. Zach tertawa-tawa riang dan bangga. Entah kenapa, dia tidak sekalem sebelumnya. Mungkin kepalanya tertimpa cokelat, pikir Rex.
"Kau pikir aku sudah mati, hah? Kau salah! Hahaha!" tawa Zach ke Rex, "Dan sekarang, kau tidak akan bisa mencegahku mendapatkan kembali makan malamku!"
Rex tersadar kalau dia sedikit melupakan Colette. Dia panik melihat Zach melompat-lompat ke arah selatan. "HEI! TUNGGU! JANGAN LARI!" Rex segera mengejarnya.
*
Agak jauh di dalam hutan, Colette terengah-engah setelah letih berlari. Dia merasa sudah berlari cukup jauh walau—berdasarkan pengalaman—dia tidak boleh meremehkan musuh. Mereka adalah orang-orang yang gigih, terus mengincarnya sampai dapat. Saat dia merasa sudah aman, biasanya pada saat itulah mereka akan muncul. Terlebih, hutan di pulau ini berbahaya. Terlalu lama berada di sana cuma akan membuatnya tergiur oleh aroma makanan-makanan enak.
Colette memutuskan untuk berlari lagi. Kali ini langkahnya terhenti. Tubuhnya segera bersiaga begitu mencium ada bau busuk. Semula dia mengira itu aroma buah-buahan yang sudah bonyok atau bangkai tikus. Lama kelamaan, bau itu semakin menyengat. Bau perpaduan isi toilet mampat dan tumpukan sampah basah.
Insting Colette langsung berkata kalau ada musuh yang mendekat. Mustahil hutan makanan ini menguarkan bau seperti itu. Dia segera memakai masker gas. Sebuah keputusan yang tepat sebab tak lama kemudian, seorang gadis berkacamata muncul dari balik bayang-bayang malam. Dialah Nurin.
Begitu berpapasan, keduanya terkesiap. Tapi, setelahnya, gadis kotor itu malah terkekeh dan menjilati bibir atasnya.
"Kau terlihat lezat," katanya, membuat Colette merinding. Meski dengan pencahayaan seadanya dari sinar rembulan, Colette bisa melihat mata gadis itu berkabut tanda dia sudah dirasuki nafsu makan yang tinggi.
Anehnya, ada sedikit keprihatinan dalam diri Colette saat melihat penampilan gadis itu. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada si gadis hingga badannya kotor dan bau. Jangan-jangan Hvyt menjatuhkannya ke bagian lain pulau ini, yang berisi sampah-sampah makanan. Tempat di mana tumpukan buah busuk, tulang ikan, dan roti berjamur berjibaku di pinggiran sungai susu basi yang aromanya lebih mirip cuka.
Terlebih, siapa pun pasti prihatin jika melihat ada orang yang dikerubungi lalat seperti gadis itu. Jadi, Colette pun mengeluarkan fogging machine dan menyemprotkan asap anti serangga ke Nurin. Nurin terkejut dan terbatuk-batuk. Lalat-lalat yang mengitarinya sempoyongan sebelum jatuh berguguran.
"Apa yang—UHUK—kau lakukan?!" jerit Nurin, mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghalau asap. Batuknya tak kunjung berhenti sedangkan matanya terasa perih.
"Tenang, Mademoiselle, sekarang lalat-lalat itu tidak akan mengganggu vous lagi," kata Colette, tersenyum.
Batuk Nurin semakin menjadi-jadi mendengarnya. "APA KATAMU? UHUK! MEREKA ITU SENJATAKU, BRENGSEK! UHUK! UHUK!"
"Eh?" jelas saja Colette kaget, "Orang macam apa yang menjadi lalat sebagai senjata?"
"ORANG SEPERTIKU, BANGSAT!" Nurin yang marah menembakkan ludah beracunnya.
Colette tidak siap tapi cukup sigap untuk menghindar. Ludah Nurin menenai batang pohon yang langsung membuat kulitnya melapuk. Colette terbelalak. Gadis di depannya itu punya tubuh beracun.
"Akan kubuat kau menderita!" Nurin meludah lagi, kali ini secara beruntun. Colette bersalto ke balik pohon. Di sana, dia selamat dari serangan Nurin.
Kendati demikian, menghindar saja tidak cukup. Colette melakukan tindak pencegahan dengan mengenakan pakaian pelindung. Dia harap, pakaian overall itu mampu melindunginya meski sedikit mengurangi kegesitannya.
Nurin geram karena mangsanya itu cukup lincah. Padahal, air liurnya yang hijau sudah mengalir lagi, mengingat betapa gurihnya daging perempuan yang dia habiskan tadi. Dia ketagihan! Dia mau lagi! Dia mau daging manusia yang enak, empuk, dan kaya rasa!
"Ayo, keluarlah, makan malamku!" kata Nurin, memancing. Dia mempersiapkan diri untuk mengembuskan gas beracun dari mulutnya. Dia menyukai 'modifikasi' kekuatannya yang satu itu.
"ENAK SAJA! DIA MAKAN MALAMKU!"
Baik Nurin maupun Colette sama-sama terkejut mendengar seruan tersebut. Apalagi suara itu datang dari atas. Keduanya mendongak, melihat Zach seperti baru saja melompat turun dari langit. Ujung tombak Violet Rain berkilauan, siap menghujam tanah. Zach melempar tombak petirnya itu ke Nurin.
Nurin berteriak dan melompat. Dia berhasil menghindar sebelum tombak itu menggelegar. Zach mendarat dengan dengusan sebal karena serangannya gagal. Yang ada, dia malah membuat Nurin semakin meradang.
"MAMPUS KAU!" Nurin menyemburkan kabut hijau beracunnya.
Zach dan Colette terkesiap. Kabut tersebut bergerak dengan kecepatan yang di luar dugaan. Gerakannya lebih mirip angin yang berembus ketimbang kabut yang biasanya merayap pelan. Zach berdecak, memadatkan udara di sekelilingnya guna menghalau kabut tersebut menyentuh tubuhnya. Sementara Colette memunculkan sebuah blower yang anginnya cukup ampuh menghilangkan kabut hijau itu.
"Bailleul Tornades!"
Nurin mengerang kesal sebab kabutnya lenyap begitu saja. Setelah udara sekitar steril kembali, Zach mengambil kesempatan dengan menyerang Colette. Colette terkejut. Nurin tidak membiarkan hal itu terjadi. Zach terpaksa melompat ke arah lain begitu Nurin menembakkan muntah racun ke arahnya.
Colette—yang merasa diincar dua orang—mengambil kesempatan untuk menjatuhkan salah satu musuhnya. Dia mengeluarkan pistol dan menembaki Nurin yang melompat ke balik pepohonan. Nurin mengembuskan kabut racunnya lagi. Colette memekik. Untungnya dia tidak apa-apa. Ternyata pakaian pelindungnya sangat berguna. Nurin mengerang kesal. Dia memutuskan untuk mundur dulu, lari, lalu mencari kesempatan menyerang saat mereka lengah.
"Vous mau ke mana?" tanya Colette yang mendarat di depannya.
Nurin kaget. Dia tidak menyangka Colette akan bersalto melewati kepalanya. Tak hanya itu, Colette pun melakukan serangan kejutan berikutnya. Dengan bertumpu pada kedua lengan, dia melakukan tendangan berputar.
Tendangannya masuk, mengenai dagu Nurin. Nurin menjerit kesakitan. Tubuhnya limbung ke belakang dan kepalanya menabrak batang pohon hingga dia merosot pingsan. Satu musuh berhasil di kalahkan.
Colette tidak punya waktu untuk menarik napas lega. Zach melompati semak-semak dengan tombak teracung ke arahnya. Colette melempar cakram Moulin Rouge-nya namun bisa dengan mudah ditepis oleh Zach.
Colette bersalto ke belakang menghindari mata tombak Zach yang menyerang kakinya. "Adieu!" dia menghilangkan masker dan pakaian pelindung supaya bisa bergerak dengan lincah.
Colette jadi teringat pada salah satu atlet akrobat yang pernah bergabung dengan Cirques du Reves. Namanya Guy Liberte. Dia adalah salah satu sahabat sekaligus guru Colette, yang mengajarkannya banyak keterampilan akrobatik. Selain akrobatik, Guy juga mahir dalam beladiri tradisional Prancis bernama "Savate".
Colette memang tidak pernah belajar atau diajari Savate tapi dia sering melihat Guy berlatih. Sekarang, Colette ingin coba mempraktikkannya. Memang, dia hanya bisa meniru gerakan-gerakan Savate walau sepertinya itu cukup berguna. Terbukti, dia sempat menjajal salah satu gerakannya, saat melawan gadis berambut putih, dan berhasil memberi tendangan ke pipi.
Berbekal kemampuan akrobatik, Colette akan memadukan Savate dengan parkour dan trapeze. Dia melompat ke dahan pohon sewaktu Zach berusaha menombaknya lagi. Memanfaatkan gaya ayun, dia berputar di dahan, lalu melempar dirinya ke arah Zach. Sasarannya adalah tangan Zach. Dia berhasil membenamkan tendangannya ke sana.
Zach meraung kesakitan. Tombaknya pun terlepas. Dia sama sekali tidak menduga serangan seperti itu. Colette belum selesai. Dia bertumpu lagi dengan kedua tangannya untuk memberi Zach tendangan berputar. Jurunya tersebut berhasil menumbangkan Nurin tapi kali ini berhasil dielak oleh Zach.
Colette kembali menjejak. Dia memutar tubuhnya dengan kaki kiri sementara kaki kanannya diayunkan ke pipi Zach. "Fouette Figure!"
Lagi-lagi, Zach berhasil mundur untuk menghindar. Tendangan yang sama dilancarkan kembali oleh Colette. Kali ini Zach sudah siap. Dia bersedia menangkap kaki Colette yang terayun ke wajahnya. Hanya saja, Zach tidak menduga sewaktu Colette malah menarik kakinya lagi. Alih-alih menyasar kepala, Colette menembakkan telapak kakinya ke paha Zach. "Chasse Bas!"
"UUUAAAAAAAARGH!" Zach menjerit kesakitan hingga jatuh berlutut. Tulang pahanya terasa seperti patah.
Colette berniat mengakhiri semua itu. Ujung kakinya dilayangkan ke dagu Zach.
"HNNGGK!" Zach memaksakan otot perut dan dadanya tertarik ke belakang demi menghindari tendangan Colette. Akibatnya, dia jatuh tersungkur kendati sukses menggagalkan serangan musuhnya itu.
Zach tidak mau menjadi target empuk. Dia memaksakan diri untuk berdiri dan lari. Sayangnya, nyeri di kakinya berdenyut kembali, membuat tubuhnya limbung hingga menabrak pohon.
"UUUWAAAAAAAAAAHHH!" Zach langsung merasakan pening karena kepalanya terantuk duluan. Tapi, tak hanya itu! Sekarang, dia pun panik, sebab tanduknya malah tertancap ke dahan pohon!
Colette bengong melihat Zach kelabakan berusaha mencabut tanduknya dari pohon. Kedua lengannya berusaha mendorong tubuhnya supaya bisa melepaskan diri. "Adadadaw! Adadadaw!" dia memekik-mekik pendek sementara kakinya bergerak-gerak panik dan resah.
Melihat pemandangan tersebut, mau tak mau Colette tertawa geli. Dia menutup mulut tapi tawanya meledak juga. "O ho ho ho ho hon!"
"O-Oi!" hardik Zach, keki ditertawakan seperti itu, "Da-Daripada tertawa seperti itu… le-lebih baik kau membantuku…."
"Itu kan tanduk vous sendiri. Masa vous tidak bisa melepaskannya?" kikik Colette, geli. "Lagipula, kalau moi membantu vous, nanti vous malah menyerang moi lagi, mau memakan moi."
"I-Itu…. Ke-Kenapa kamu malah berpikir seperti itu? I-Ini masalah hidup dan mati!"
Colette hendak menjawab lagi tapi keburu dikejutkan oleh gema suara Rex.
"NONA COLETTE! KAU DI MANA?" panggil Rex, terdengar tidak terlalu jauh dari tempatnya berada sekarang.
Senyum bahagia merekah di wajah Colette. "REX! MOI DI SINI!" balasnya. "MOI BAIK-BAIK SAJA!"
Tak lama, Rex pun muncul dengan agak tergesa-gesa. Dia lega melihat Colette tidak apa-apa… sekaligus bingung melihat Zach yang sedang dalam posisi aneh di pohon. "Ke-Kenapa dia?" tanya Rex bingung.
Colette tidak menjawab pertanyaan tidak penting tersebut. Dia segera berhambur memeluk Rex. "Oh! Rex! Syukurlah! Moi pikir vous kenapa-napa."
"J-Justru aku yang lega karena Nona tidak apa-apa," balas Rex, sedikit gelagapan dipeluk seperti itu. Pipinya merona merah.
"Ayo kita segera pergi dari sini!" ajak Colette.
"Ta-Tapi, ba-bagaimana dengan dia?" tanya Rex, menunjuk ke Zach yang masih berusaha mencabut tanduknya dari pohon.
Colette terkikik geli lagi. Dia kemudian melempar sebonggol roti ke kaki Zach. Zach jelas heran. "A-Apa ini?" tanyanya.
"Kalau vous lapar, seharusnya vous minta saja. Tidak perlu harus memburu moi," jawab Colette, "Anggap saja itu balas budi karena vous telah menolong moi. Merci. Ah, ya, roti itu akan menghilang dalam waktu sepuluh menit. Jadi, makanlah segera. Bon appetit."
Zach semakin tak percaya. Dia ingin sekali menolak tapi Colette dan Rex keburu pergi. "He-Hei, tu-tunggu! Aku tidak butuh roti! Aku butuh bantuan! Dasar sial!"
*
Colette dan Rex berlari ke arah selatan. Mereka memakan roti yang dimunculkan Colette lagi. Rex bercerita kalau dia mendarat di bukit roti raksasa sewaktu dilempar Sil. Di sana juga mengalir sungai madu yang diapit hamparan biskuit serta kue-kue kering.
"Tapi, tentu saja aku tidak memakannya," kata Rex dengan mulut penuh, "Apalagi, aku yakin roti di sana tidak seenak roti dari Nona."
Colette tersipu dibuatnya. Baru kali ini dia bertemu dengan pria seperti Rex. Begitu polos, begitu gentlemen, begitu gagah. Dia masih saja tidak percaya karena Rex mau bersusah payah mencarinya demi memastikan kalau dia tidak apa-apa. Mau tak mau, dia terpesona oleh sosok Rex. Jantungnya berdebar-debar dalam sensasi yang aneh sekaligus menyenangkan.
Debar tersebut mendadak berubah menjadi teror tatkala Nurin keluar dari balik pohon di depan mereka. Refleks, Colette menangkupkan tangannya ke wajah Rex. Rex gelagapan sebelum jatuh ke belakang. Dia kaget karena sebuah masker gas sudah terpasang di kepalanya.
"REX! LARIIIII!" seru Colette saat Nurin menyemburkan kabut racun. Dia sendiri hendak mematerialisasi pakaian pelindung. Sayang, dia terlambat. Kabut hijau itu keburu mengepungnya.
"NO-NONAAAA!" Rex panik. Dia mundur guna menghindari kabut. Tapi sekarang, dia malah kehilangan Colette. Kabut begitu tebal hingga dia tidak bisa melihat apa yang berlangsung di depannya. Dia hanya bisa mendengar Colette terbatuk-batuk. Suara batuknya mengerikan, seakan ada yang mencabik-cabik tenggerokan dan pita suara Colette.
Dan memang, begitulah yang dirasakan oleh Colette. Saluran pernapasannya—dari hidung hingga paru-paru—terasa seperti terbakar. Kulitnya yang terpapar kabut juga terasa panas seperti ada yang menyiramnya dengan air mendidih. Colette jatuh berlutut, terus batuk hingga darah keluar dari mulut.
Nurin tersenyum karena mangsanya berhasil dilumpuhkan. Dia mendekati Colette dan menjambak rambut perempuan itu. "Bagaimana rasanya?" kekehnya dengan wajah puas, "ENAK KAAAAAAAN?"
Tanpa ragu, Nurin kemudian menghantamkan dengkulnya ke wajah Colette.
"OHOK!" Colette memuntahkan darah bercampur muntahan. Kepalanya langsung pening luar biasa. Darah mengucur deras dari hidungnya. Sekujur tubuhnya menjerit-jerit kesakitan. Dera yang luar biasa tersebut membuatnya nyaris pingsan.
Nurin mengangkat badan Colette yang lemas dan mendorongnya ke pohon. "Aku belum pernah mencicipi daging negro sepertimu," bisik Nurin dengan napas berat dan suara bergetar menahan nafsu yang memuncak, "Tapi aku yakin… dagingmu pasti enak jika dipanggang."
Colette menjerit kesakitan—tubuhnya mengejang-ngejang—ketika Nurin menjilati leher dan pipinya. Kulit yang terkena jilatan tersebut melepuh seketika, seakan lidah Nurin terbuat dari solder panas.
"Akan kubuat kau menjadi budakku terlebih dahulu! Akan kubuat kau memanggang dirimu sendiri sebelum aku menyantapmu!"
Suara Colette tercekat. Napasnya mulai tidak keruan, diselingi batuk darah. Kulitnya, rongga-rongga tubuhnya, organ-organnya, sekujur tubuhnya—dari ujung kepala hingga kaki—digempur habis-habisan oleh racun Nurin. Rasanya seperti dicelupkan ke dalam lahar panas. Dan sekarang, ada suara-suara di kepalanya yang berteriak untuk meminta pertolongan perempuan berkacamata itu. Perempuan itu pasti punya penawar racunnya.
"To-Tolong moi… ohok… sakiiiitt…" rintih Colette lemah. Dia sudah tidak kuat lagi. Dia pun kehilangan kesadarannya. Kedua bola matanya berputar ke dalam kepala.
Seringai di wajah Nurin mengembang semakin mengerikan. Dia tertawa terbahak-bahak.
"APA YANG KAU LAKUKAN?"
Nurin terkesiap. Sewaktu dia menoleh, Rex sudah melesat cepat ke arahnya. Nurin menjerit, terpaksa melompat mundur hingga terjatuh. Dia tidak percaya kesatria putih itu nekat menyerbu padahal kabut belum menipis sepenuhnya.
Tampaknya Rex tidak peduli. Apalagi zirah dan masker gas membuatnya terlindung dari kabut racun. Rex lebih mengkhawatirkan Colette. Sewaktu dia melihat kondisi Colette yang mengenaskan, dia naik pitam. "APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN?"
Nurin berjengit ngeri. Kendati terhalang oleh masker, dia tetap bisa melihat sorot mata pria tersebut dipenuhi api amarah yang membuatnya bergetar jeri.
Nurin memekik panik. Si kesatria putih membuang maskernya lantas maju menyerang. "NEGRO! JANGAN DIAM SAJA! SERANG DIA! BUNUH!" seru Nurin.
Rex kaget mendengar ada suara sabetan di belakangnya. Sewaktu dia menoleh, ujung cambuk Colette membesut pipinya. Rex menjerit. "No-Nona Colette?" matanya terbelalak, tak percaya Colette baru saja mencambuknya.
Rex segera paham ketika melihat kondisi Colette yang seperti zombie. Colette pasti berada dalam pengaruh racun perempuan berkacamata itu. "Si-Sial," erang Rex, mengelap darah di pipi.
Nurin bangkit sambil terbahak. Dia merasa di atas angin. Keputusannya untuk menjadikan wanita hitam legam itu sebagai budaknya sebelum dimakan ternyata tepat. "BUNUH DIA, NEGRO! BUNUH PRIA ITU! TURUTI PERINTAHKU, BUDAK!"
Colette mencambuki Rex lagi. Rex terpaksa menghindar. Mustahil dia menyerang Colette. Kondisi Colette pun terlihat aneh. Ayunan cambuknya tidak mantap, lengannya gemetar, dan ada air mata yang mengalir. Colette seperti sedang melawan dirinya sendiri.
Kemarahan Rex semakin menjadi-jadi. Dia tidak sudi membiarkan perempuan bau itu melakukan hal menjijikkan semacam ini pada Colette. Dia menyerbu Nurin, Colette berusaha mengadang, tapi sebuah tombaklah yang berhasil mengenai Nurin.
"UUAAAAAAAAAARGH!" teriakan Nurin membahana ke seluruh belantara. Bahunya terpancang oleh tombak yang tadi melesat. Nurin berusaha mencabut tombak itu tapi dia tidak bisa. Dia merintih, menggeliat seperti cacing kepanasan. Napasnya naik turun tak beraturan menahan sakit. "Bangsaaaat! Bajingan kau! Dasar babi!"
Kutukan-kutukan putus asa Nurin ditujukan pada Zach yang keluar dari balik pepohonan. Dialah yang menombak Nurin. Zach terlihat bengis dengan ekspresinya yang dingin.
"Berani-beraninya kau merebut makananku!" geramnya pada Nurin, membuat perempuan itu semakin gentar dan terintimidasi oleh sorot matanya yang tajam.
"HA-HABISI MEREKA BERDUA, NEGRO!"
Dua senapan mesin muncul di tangan Colette. Tanpa bisa dia hentikan, Colette memberondong Rex dan Zach dengan puluhan peluru, diiringi derai tawa penuh kemenangan dari Nurin.
Rex melompat bersembunyi ke balik pohon sedangkan Zach melindungi diri dengan memadatkan udara. Meski demikian, terjangan peluru dari Colette terlalu intens hingga membuat Zach cemas kalau-kalau kemampuannya tak sanggup menahan serangan tersebut. Dia merasakan udara padat di depannya mulai pecah.
Untungnya, peluru Colette akhirnya habis. Sebuah kesempatan yang tidak disia-siakan oleh Zach. Dia melesat dan langsung meninju pipi Colette. Nurin serta Rex terbeliak ngeri.
"KURANG AJAR KAU!" Rex marah melihat Zach baru saja membuat Colette pingsan. Dia meraung lantang, menyerang ke arah pria bertanduk itu. Kendati demikian, baru setengah jalan, dia terpelanting ke belakang saat menabrak udara yang Zach padatkan.
"Kau diam saja di situ," kata Zach pada Rex yang terguling ke akar pohon. Zach kemudian menghampiri Nurin.
Nurin beringsut-ingsut tak berdaya. Dia ingin lari tapi tidak bisa. Semakin banyak dia bergerak, semakin sakit lukanya. "J-J-Jangan bergerak!" pekiknya, gemetar ketakutan, "J-J-Jangan mendekat! Di-Diam saja di sana! J-JANGAN MENDEKAT, KATAKU!"
"Diam saja kau gadis busuk!" Zach meludahi muka Nurin, "Ini pelajaran supaya kau tidak sembarangan merebut makanan orang lain!"
"Uhk!" seulas kemarahan muncul di dada Nurin. Dia ingin mengeluarkan kabut atau meludahkan racun tapi dia tidak bisa. Sakit yang menyerang bahunya begitu pedih hingga dia gagal berpikir jernih.
Kelegaan luar biasa dirasakan Nurin begitu Zach mencabut tombak di bahunya. Naluri untuk lari segera muncul, tapi Zach mencegahnya dengan menempelkan mata tombak ke lehernya.
"Jangan bergerak!" ancam Zach, serius.
Nurin pun tak bisa berbuat apa-apa selain memegangi luka di bahunya sembari terisak-isak. Meski demikian, tatapannya ke Zach menyiratkan dendam. Ekspresinya keras dilapisi amarah
Zach tidak ambil pusing. Dia justru menendang bahu Nurin yang terluka, membuatnya memekik kesakitan, tapi tidak lama. Tanpa ragu, Zach menusuk mulut Nurin hingga mata tombaknya menembus ke belakang kepala perempuan itu.
Rex menjerit kaget. Dia tak menyangka Zach melakukan hal tersebut. Nurin menggelepar-gelepar. Darah menyembur dari mulut hingga membasahi bagian depan pakaiannya. "Ohok! Grugh! Urgh!" Air mata mengalir dari balik kacamatanya. Matanya memancarkan ketidakpercayaan sementara tangannya menggapai-gapai bingung ke tombak yang memancang di mulutnya.
Tak lama, sehela napas terakhir pun lepas dari raga Nurin. Tubuhnya berhenti berkelojotan dan matanya pun kehilangan cahaya kehidupan. Zach mencabut tombaknya setelah yakin Nurin telah dia habisi.
Rex masih mendelik ngeri melihat kebengisan Zach. Namun, dia segera melompat bangkit, khawatir Zach akan menyakitin Colette.
"Minggir," kata Zach pada Rex yang berdiri di depan Colette.
"Tidak akan!" Rex menggenggam pedangnya dengan dua tangan.
"Kau hanya membuang-buang waktu," kata Zach membuang tombaknya ke tanah. Rex kebingungan, "Semakin lama kau menghalangiku, semakin luas penyebaran racun di tubuh Nona Colette."
"A-Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rex dipenuhi kebimbangan tapi tidak melunakkan kesiagaannya.
"Aku akan mengisap keluar racun-racunnya," jawab Zach, "Aku punya daya tahan tubuh yang kuat, lebih kuat dari manusia mana pun. Dan, aku juga bisa melakukan regenerasi."
Rex semakin galau. Di satu sisi dia tidak mau percaya begitu saja, di sisi lain dia tahu kalau Colette sangat membutuhkan bantuan, dan hanya Zach yang memberikan penawaran terbaik. Keraguannya semakin diuji ketika secara mengejutkan Zach malah tersenyum lembut.
"Tenang saja. Aku tidak akan menyakitinya," kata pria bertanduk itu, "Percayalah."
Rex menelan ludah. Akhirnya dia mengangguk, mengizinkan Zach untuk mendekati Colette. "Awas! Jangan sampai kau macam-macam!" Rex mewanti-wanti dengan serius begitu Zach berlutut di samping Colette.
Zach cuma mendengus ringan menanggapi ancaman Rex. Dia mengelus rambut Colette yang berantakan. Wanita yang malang, batinnya. Penampilan Colette terlihat kacau, dengan luka di sana-sini. Dia pasti sangat menderita namun berjuang keras untuk melewati semua dera.
Zach tersenyum, membelai lembut pipi Colette yang masih basah oleh air mata dan peluh. Dia juga menghapus darah di hidung serta mulut wanita itu, sebelum memperbaiki tulang hidungnya yang patah. Setelah itu, penampilan Colette jadi sedikit lebih baik.
"Terima kasih untuk rotinya, Nona," ucap Zach, tulus. Dia pun menurunkan kepalanya—membuat Rex berjengit—lantas mengisap racun dari bekas jilatan Nurin yang telah menghitam di leher Colette.
*
QUATRE – DESSERT
Deru angin panas menerpa punggung Colette begitu dia jatuh menuju dasar neraka. Kepanikan melanda. Dia menjerit-jerit tapi tak ada suara yang keluar. Dia meronta-ronta tapi tubuhnya tak bergerak. Raganya membeku.
Toloooooong! Seseorang, tolong moi!
Hanya jerit tanpa bersuara yang bisa dia lakukan. Semakin dalam dia jatuh, semakin menghitam pandangannya, semakin jauh kesadarannya. Akan tetapi, sebelum kesadarannya benar-benar hilang, dia sempat melihat ada yang melompat dan menukik ke arahnya.
"Nonaaa…" sayup-sayup Colette mendengar seseorang memanggilnya. "Nonaaaa… bertahanlah…."
Siapa itu? Rex?
"Nonaaaa… sadarlah…." Sosok itu semakin dekat, mengulurkan tangannya.
Sa-Sadar? Apa maksunya? To-Tolong… selamatkan moi….
"Nonaaaa!"
Sosok itu berhasil menggapainya namun kegelapan keburu menyergap. Semuanya menghitam. Pekat.
Ah… jadikah ini mati yang sebenarnya? Tidak begitu buruk.
"NONAAAA BANGUNLAAAAAH!"
Colette membuka matanya, terbelalak kaget karena ada yang berteriak di dekat telinganya. Napas langsung megap-megap seperti orang tenggelam yang berhasil mencapai permukaan air, membuat dadanya naik turun tak beraturan.
Rex dan Zach bersorak riang sewaktu Colette sadar. Colette sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Dia melihat Rex diliputi kecemasan yang menguap. Dia juga melihat ada Zach yang bersandar lemah di batang pohon. Sejak kapan pria itu datang?
"R-Rex…? Zacques…?" katanya dengan suara lemah. Dia terbatuk-batuk ketika berusaha untuk bangkit dan duduk.
"Oh, syukurlah, Nona! Syukurlah Nona selamat!" Colette kaget karena Rex tiba-tiba memeluknya dengan erat. "Kupikir… kupikir aku akan kehilangan Nona. Padahal… padahal nenekku pernah bilang…."
"Rex…" Colette masih dilanda kebingungan. Apalagi sekarang Rex terisak. Apa yang terjadi? Hal terakhir yang dia ingat adalah saat dia keracunan kabut hijau. Tapi sekarang badannya terasa jauh lebih ringan.
Colette juga heran sewaktu melihat Zach tersenyum lemah padanya. "Z-Zacques…" katanya serak. Dia mengkhawatirkan kondisi Zach yang tampak pucat pasi. "V-Vous baik-baik saja?"
Zach nyengir. "Aku tidak apa-apa," jawabnya berbohong.
"Dia yang menyelamatkanmu, Nona," kata Rex, menghapus air matanya. "Dia mengisap racun yang ada di tubuh Nona. Racunnya juga bukan racun biasa. Racun itu tidak bisa dibuang. Begitu diisap, racun tersebut malah pindah ke tubuh Zach."
Colette kaget mendengarnya. "Be-Benarkah?"
"Tidak," kata Zach menggeleng, "Tidak semua. Masih ada racun yang tersisa. Aku tidak bisa mengeluarkannya. Satu-satunya kesempatan untuk menolong Nona Colette adalah dengan membawanya ke si Trunk, er, si dewa merah itu."
"Kau benar," Rex paham, "Ayo Nona, kita segera kembali ke tempat semula. Beberapa menit lagi Hvyt pasti akan menjemput kita."
"Be-Benar," Colette mengangguk setuju, "Ayo kita sama-sama berangkat. Si dewa itu juga pasti bisa mengeluarkan racun di tubuh Zaques."
Zach terkekeh kecil. Kekehan skeptis. Dia menggeleng. "Kalian pergi saja duluan. Aku akan menyusul."
"Non!" kata Colette, "kita pergi bersama, oke?"
"Waktu kalian tidak banyak," lanjut Zach, "Aku hanya akan menghambat kalian. Lebih baik kalian pergi sekarang, kalau tidak Hvyt akan meninggalkan kalian."
"NON!" Colette jelas-jelas menolak saran Zacques tersebut. Dia bahkan menepis lengan Rex yang hendak menggendongnya. "KITA PERGI BERSAMA! KAMI TIDAK AKAN MENINGGALKAN VOUS DI SINI!"
"Sudah kuduga kau akan berkata begitu," desah Zach sebelum beralih ke Rex. "Hei, Sobat, kau tidak akan mengingkari perjanjian kita kan?"
"Pe-Perjanjian? Perjanjian apa?" Colette merasakan dingin yang tidak mengenakkan.
Rex mengangguk. "Tentu. Nenekku pernah berkata, kalau sudah berjanji haruslah ditepati," jawabnya.
Zach terkekeh geli, "Terima kasih, Granny's Boy," ejeknya, "Tolong jaga Nona Colette baik-baik, ya?"
Colette semakin tidak mengerti. Dia menjerit begitu Rex membopongnya. "Maafkan aku, Nona," kata Rex.
"A-Apa-apaan ini? Rex! Turunkan moi!" pinta Colette, panik.
"Ah, Nona," kata Zach, "Rotimu enak sekali. Terima kasih, ya…."
Deg! Jantung Colette serasa berhenti mendengar ucapan tersebut. Zach bahkan menghadiahkan sebuah senyum manis, membuatnya menjerit-jerit dan meronta-ronta sewaktu Rex membawanya pergi.
"NOOOON! REX! TURUNKAN MOI!" Colette memukul-mukul dada Rex, "Kita harus tolong Zacques! Tolong berhenti! REEEX! NOOON!"
Tapi, Rex tidak berhenti. Dia malah mempercepat larinya, membuat Colette semakin histeris. Tangannya terjulur-julur, berusaha menggapai Zach yang semakin menjauh.
"NOOOON! ZAAAACQUES! REX, JANGAN TINGGALKAN DIA! REEEX! TOLONG, JANGAN TINGGALKAN DIA!"
Air mata Colette meruah, tahu kalau dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong pria yang telah menyelamatkannya itu. Tak peduli seberapa keras dia berusaha, Rex hanya akan mempererat pelukannya, dan mempercepat larinya, sehingga perlahan-lahan Zach menghilang dari pandangan.
Perlahan-lahan, Zach lenyap ditelan gelapnya malam.
"NOOOOON! ZAAAAACQUES!" Colette melolong, lagi-lagi menyisakan kepedihan atas ketidakmampuannya menyelamatkan orang yang berarti baginya.
Zach hanya mendengus dan menggelengkan kepala. Dia tidak mengerti mengapa dia yang seorang demon malah menyelamatkan manusia. Manusia yang dulu memperbudaknya. Zach tidak tahu apa yang membuatnya merasa seperti ini.
Padahal… yang wanita itu lakukan hanyalah memberinya sekerat roti.
Zach menarik napas. Bisa-bisanya dia bersikap melankolis seperti itu di situasi seperti ini. Dia harus mengeluarkan racun di dalam badannya. Dia tidak tahu apakah racun itu mau keluar dari tubuhnya, juga tidak tahu apakah tubuhnya bisa beregenerasi sebelum dia tewas kehabisan darah. Lebih-lebih, kalaupun dia selamat, bagaimana caranya dia keluar dari pulau terkutuk ini tanpa bantuan Hvyt?
"Argh! Keparat! Peduli setan!" gerutunya, mengusir seluruh pikiran-pikiran pesimis tadi. "Kalau belum dicoba, siapa tahu, kan?"
Maka, dia pun melancarkan jurus Violet Slicer. "Dan, semua ini cuma gara-gara sepotong roti. Hahahaha," Zach tertawa penuh ironi. Detik berikutnya, dia menyayat perutnya dengan cakram tak kasat mata.
Zach mengigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang tak terperi tatkala darah menyembur keluar. Warnanya merah kehitaman bercampur lendir hijau dan kuning. "Ugh! Si-Sial! T-Tak kusangka akan sesakit ini!" erang Zach, mencoba menutupi perutnya yang terbelah dengan lengannya yang gemetar.
Tak tahan lagi, dia pun jatuh terkulai. Darahnya yang berbau busuk menggenangi tanah. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Jangan-jangan… dia tidak akan selamat. Jangan-jangan… dia keburu kehabisan darah sebelum lukanya tertutup kembali.
Jangan-jangan….
*
Colette masih menangis di dalam bopongan Rex walau dia sudah berhenti meronta-ronta. Dia pasrah dibawa oleh Rex yang kini larinya sudah lebih stabil. Napas Rex terdengar berat dan kelelahan. Tapi, dia bersikeras untuk melanjutkan. Tinggal sedikit lagi. Tinggal beberapa puluh meter lagi. Kakinya yang sudah letih dan sempoyongan tidak dihiraukan.
"Moi pikir… vous orang yang baik…" isak Colette, marah pada Rex, "Ternyata vous malah meninggalkan Zacques yang sedang sekarat. Moi benci vous!"
Rex tidak menjawab. Dia diam saja dan terus berlari. Akan tetapi, tak lama kemudian, Colette mendengar suara yang sama sekali tak terduga. Dia mendengar sebuah isakan. Sewaktu dia mendongakkan kepala, dia melihat mata Rex berkaca-kaca. Kendati demikian, ekspresi Rex mengeras, seolah tengah berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
"R-Rex…" Colette dibuat bingung oleh sikap laki-laki itu.
"Saat aku menolong Nona…" suara Rex sedikit bergetar dan tersendat, "… aku bertekad untuk benar-benar menolong dan melindungi Nona. Namun, nyatanya… aku malah tidak berguna…."
Setitik air mata meluncur di pipi Rex yang masih mengeras, berusaha tegar.
"Aku malah lengah, sehingga harus terpisah dari Nona… membiarkan Nona menghadapi banyak marabahaya…" getar di suaranya semakin kentara, ditingkahi dengan isak yang semakin sulit dibendung, "A-Aku… aku bahkan tidak tahu harus bagaimana saat Nona keracunan. Aku tidak berdaya. Aku yang ingin melindungi malah tidak bisa apa-apa. Rasanya… Rasanya begitu menyakitkan…."
Colette menekap mulut. Air matanya turut meluncur. Dia tidak menyangka Rex merasakan kegetiran yang sama dengannya.
"Aku iri pada Zach," lanjut Rex dengan mata yang basah sepenuhnya, "Dia mau mengorbankan nyawanya untuk Nona. Zach membuatku merasa malu dan marah pada diriku sendiri. Tapi, aku bersyukur sewaktu dia memintaku berjanji untuk menyelamatkan Nona. Dia memintaku untuk membawa Nona pada si dewa gila itu. Karena cuma itulah satu-satunya harapan kami untuk menyelamatkan nyawa Nona."
Hati Colette semakin trenyuh dan teriris. Dan tadi, dia malah mengatakan kalau dia membenci Rex, tanpa tahu beban yang dipikul oleh pria itu.
"Karena itulah aku minta maaf," isak Rex, tidak bisa menahan kesedihannya lagi, "Aku minta maaf karena terpaksa meninggalkan Zach…. Aku tidak ingin kehilangan Nona. Aku cuma ingin Nona selamat. Terlebih… aku pun ingin menghormati permintaan terakhir Zach. Dia telah mengorbankan nyawanya sendiri demi Nona. Adalah sebuah penghinaan besar jika aku menyia-nyiakan pengorbanannya. Karena itulah… karena itulah aku minta maaf pada Nona…."
"Sudah…" rintih Colette dibanjiri air mata, "Sudah cukup. Jangan minta maaf lagi. Moi yang seharusnya minta maaf pada vous." Perasaan malu begitu kental hingga terasa menyesakkan.
"Tolong… bertahanlah, Nona…."
Colette mengangguk. "Oui," jawabnya sebelum memeluk Rex. Dia melingkarkan lengannya ke bahu kiri Rex, dan menyandarkan kepalanya ke bahu kanan Rex. Di sana dia menangis, berkelimpahan duka sekaligus rasa syukur yang mendalam.
"Me-Merci…" bisiknya kepada Rex di tengah tangisnya, "Merci beaucoup…."
Rex mengangguk. Laju larinya akhirnya melambat dan digantikan dengan langkah yang sedikit goyah akibat kelelahan begitu mereka sampai di bibir hutan, di tempat pertama mereka tiba. Tak jauh di depan mereka, Hvyt sudah menunggu.
Colette memejamkan mata, membiarkan angin laut membelai-belai tubuhnya dengan terpaan yang terasa ramah. Akhirnya… selesai sudah.
Ya… semuanya telah berakhir…
… setidaknya, sampai saat ini.
***
cie cie.... Sama Rex teteh kolek... nyaris sempurna saat kutemukan ada typo ditengah-tengah. Dan adegan di dalam istana coklat itu...hmmm membuat melenguh mesra #eh. Salah pulau kayaknya ini author nya. Penguasaan karakter oke, cman Rex nya kurang rasanya...
ReplyDelete8,5 dari Ucup buat teteh kolek
O ho ho ho hon. Merci Tamz
DeleteGitu dong, ngasih nilai nggak nanggung kayak di R1
Good luck buat Oochoop :*
SO MUCH FEEEEELSSS!!
ReplyDeleteRasanya saya pingin nangis baca ini, benar2 drama yang luar biasa, apalagi pengorbana zach yang epic.
well whatever.
entah kenapa rasanya pertarungan lawan zany kerasa kepanjangan, walaupun keren abis pertarungan di udara pakai jetpack, dan lagi adegan di istana coklat itu saya kira referensinya dari hansel&gretel soalnya si zach yang tadinya baik tiba2 pingin makan colete.
Dan terakhir saya bingung itu Sil tau2 tewas kena machinegun (yah gak masalah sih soalnya Sil emang ribet). Selain itu semuanya udah bagus, as expected from the editor.
Semoga Collete bisa melanjutkan perjuangan Rex di ronde2 berikutnya.
8/10 from me.
Merci beaucoup Monsieur Fathur
DeleteTerasa kepanjangan ya? Sebenarnya pertarungan awalnya lebih pendek, tapi kata author moi bilang aksinya kurang all out makanya moi, Sil, dan Zany syuting tambahan deh. O ho ho ho ho hon.
Sil nggak mati sih sebenernya. Mungkin cuma pingsan aja karena dia kan ga bisa dilukai. Dan itu Zany ngeledakin Sil secara beruntun walo author moi kayaknya emang lupa untuk describe pake apa Zany ngeledakin Sil :v
Sekali lagi merci. Doakan moi selalu ya. ;)
wah wah....
ReplyDeleteCollete puas sekali sepertinya dikelilingi pria-pria tampan
canon-nya asik, dan battlenya pas...
sayang si Sil matinya misterius dan ada beberapa typo yang cukup mengganggu saat membaca
overall nice, semoga lolos ke R3 :)
8/10
Iya dong, moi kan kasmaran ama mereka! Kyaaaaa~~~!
DeleteSebenernya Sil ga mati sih. Mungkin cuma pingsan. Toh yang dibutuhkan cuma bunuh 1 orang, jadi cuma bunuh Zany aja. O ho ho ho hon!
Merci Monsieur Riad!
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete==Riilme's POWER Scale on Colette Reves' 2nd round==
ReplyDeletePlot points : B
Overall character usage : B+
Writing techs : A-
Engaging battle : B
Reading enjoyment : B+
==Score in number : 7,8==
Saya beneran geli banget sama Colette di sini. Berasa macem protag shoujo manga, wwww Apalagi pas adegan sama Zach, nyaris ga kuat bacanya (not in a bad way, I just can't stomach something as cheesy as that). Kesannya semua laki" = gentlemen ya di sini, kebetulan banget Adham dapet dua yang digebet sejak ronde sebelumnya.
Penderitaan Colette berasa, tapi saya masih ragu apa ini udah sampe dasarnya. Colette belum keliatan cukup kena mindbreak, setidaknya saya penasaran apa lagi yang bikin dia terus ikut pertandingan ini (salah satu skenario saya, Colette udah ga punya alasan andaikata Ucup ga ada).
Unek"nya mungkin bagian awal sebelum ke pulau lumayan panjang.. Dan entah kenapa, di sini kok saya malah ngerasa bahasa gado" Colette mulai mengganggu. Tapi yah ini lebih ke unek" doang alih" kritik sih, jadi ga usah terlalu dipikirin
Siapa yang nyangka author moi bisa nulis shoujo manga. O ho ho ho hon.
DeleteSoal mindbreak, sebenarnya author moi sudah nyiapin, tinggal tunggu momennya.
Eh, masa sih gaya ngomong moi bikin ganggu? ''orz
Oh well, merci monsieur riilme :3
Where's the ***
ReplyDeletesaya ngebaca 3 Pharagraph dibawah ini sekali jalan yang bikin saya ngerasa dipaksa ngebut.
"NOOOOON! OOCHOOOOP! ELLEEEEE!" Colette melompat panik, berusaha menggapai, tapi dia malah jatuh kembali ke tanah begitu Ucup dan Elle hilang dari pandangannya.
"Sekarang giliran kalian!"
Semua terjadi begitu cepat sampai-sampai Colette tak tahu apa yang terjadi. Dia berteriak merasakan deru angin kencang saat Hvyt membawanya bersama si kesatria. Hvyt melempar keduanya ke pulau bernama Urth setelah berkata, "Kembalilah ke tempat ini sepuluh jam lagi. Aku akan menjemput kalian. Itu pun kalau kalian selamat."
dan saya (subjektif banget) ngerasa kalau alinea baru itu berasa terlalu formal apalagi kalau Adham makai Triple Enter. berasa tersendat tiap pharagraf.
Setelah masuk Zany (battle scene) semuanya jadi readable.
Aerial Battlenya benaran bikin saya +1 di Final Verdict apapun yang terjadi (because i love action scene)
WHAT? MAKAN GRANAT, MELEDAK DAN CUMAN TERPENTAL? what logic u use? Tom and jerry?
Soalnya dalam ilusi kan seharusnya si Collete bisa gerak dan kemampuannya tetap aktif. (ngelihat roundnya Sil)
dan setelah Scene Zany. semuanya berasa tone-down. beneran tone down. tobatnya zach juga menambah ke anehan...
Final Verdict: 7.3 + Aerial Battle = 8.3
O ho ho ho hon.
DeleteSukur deh ada yang suka aerial battle-nya, walo banyak yang bilang kepanjangan :D
Merci monsieur Rampengan.
Nangis abis baca part Rex ngantar Coco ke pinggir Pulau.. :'(
ReplyDeleteKetawa ngakak sama bagian Sil yang dibuat persis kayak laba-laba di Spiderman >.< wkwkwk jalan pake Silianya >.<
Sial Sil dibilang Setan,
dan ouch... ga ada Ular yang menari di atas tubuh X, yang ada Coco nari *piiiiip* sama Zach >:( Ini harus dikasih Rate M, HARUS
Ummi kasih 9 >.<
Maafkan author moi yang semena-mena. O ho ho ho hon.
DeleteMerci mademoiselle sihaloho :3
Curse you Colette, and curse all of you onion ninjas!!!
ReplyDeleteOk, tapi ada beberapa WTF momen di sana, salah satunya ketika Sil mati... what the heck just happened?! Tapi bagian Le Raid bikin saya cengar cengir sih, "Sini bolanya!"
Lastly, WTF with that lust scene on gluttony island?!
Score 9
O ho ho ho ho hon.
DeleteOm Zoel ga tau istilah food porn? :P
Merci
Fuuuuuwah. Makin seru nih kali kedua baca canon Colette ini. Battle favorit akrobat Colette-Nurin sama Nu-Co vs Za-Rex. Penjelajahan karakterisasi + kemampuan yg baik jadi poin plus. Si Zach ga nyangka bisa gitu XD tapi setelah kalah sepertinya pikiran iblis ini jd lebih jernih(?), ngorbanin diri pula. Cara pengorbanannya emang kebilang biasa, tp bawaan karakter2 yg ada di sana waktu pengorbanan itu lumayan ga biasa. Kalo ini prtunjukan teater dan mereka yg jadi aktornya, saya bakal kasih standing applause buat akting mereka.
ReplyDeleteTentang penulisan mah oke. Jarak antar paragraf rada renggang aja karena spasinya. Kritikannya paling di narasi dua kalimat ini: Tanpa ragu, Elle mengangguk serta langsung duduk bersama mereka. Maka, piknik mereka pun semakin meriah.
Kesannya narasinya jadi buru2, dan janggal aja sih kebacanya. Btw kalo sempat mampir lagi ke canon si Ange Noir(?) ya, Bang. :D Adieu!
8.7/10
Merci beaucoup Monsieur Hariz. :*
DeleteKepada semua yang telah mengapresiasi petualangan moi, moi ucapkan merci beaucoup! Feedback bagi kalian begitu berharga. Tetap dukung moi ya, karena moi juga begitu berharga. O ho ho ho ho hon!
ReplyDelete