Pages

May 9, 2014

[ROUND 2 - URTH] SILENTSILIA - I WANT TO EAT YOU

[Round 2-Urth] SilentSilia
"I Want to Eat You"
Written by authorhinataumi

---

Don’t eat too much, don’t sleep too much, don’t do everything too much. Because something that you do ‘too much’ will hurt you.

- The Author -

* * *

Sesosok makhluk merah terlihat terbang di belantara Nanthara. Kepakan sayapnya menyapu setiap awan dan menyisakan kibasan angin kencang bagi siapapun yang mendekat. Tubuhnya yang berwarna merah darah menyatu dengan langit di belakangnya. Hanya warna sayap dan celana yang berwarna hitam yang membuat ia berbeda dengan suasana mencekam langit Nanthara.

Ia terbang melintasi berbagai pulau hingga sampai pada sebuah gugusan pulau kecil, Satha Pranagathak. Sebuah gugusan pulau yang merupakan simbol dari dosa-dosa utama yang diciptakan oleh Dewanya.

Terdapat tujuh pulau yang menjadi bagian dari gugusan Satha Pranagathak. Pulau Khrd yang merupakan simbol dari kemarahan. Pulau Arsk yang diciptakan sebagai simbol dari ketamakan. Pulau Mhyr yang merupakan simbol dari kemalasan. Pulau Thvr simbol dari nafsu duniawi. Pulau Wyrn yang merupakan simbol dari kecemburuan. Pulau Ryax yang menyimbolkan kesombongan. Terakhir, pulau yang menjadi tujuannya, Pulau Urth, simbol kerakusan.

Ia memandang dengan tenang ke arah Pulau tersebut. Sebuah pulau yang berwarna-warni. Pulau yang kaya akan makanan. Sebuah pulau yang akan menyediakan apapun yang ingin kau makan.

Pulau yang berbentuk seperti pizza yang dipotong-potong menjadi enam bagian itu memiliki warna yang berbeda di setiap potongannya. Warna tersebut akan berubah-ubah sampai ada yang menempati potongan-potongan tersebut. Ketika salah satu potongan ditempati oleh sesosok makhluk, maka seisi potongan itu akan dipenuhi oleh makanan-makanan yang berasal dari dunia tempat sosok tersebut berasal.

Pada bagian tengah pulau terdapat lingkaran yang terus-menerus berputar seperti lolipop dan berwarna-warni. Warna-warna tersebut akan mengikuti warna dari potongan-potongan yang ada di sekitarnya. Ke-enamnya merupakan simbolisasi dari enam wujud kerakusan.

Terdapat enam dermaga di dalam Pulau Urth. Sesuai dengan jumlah potongan dari pulau tersebut. Hvyt, si Makhluk Bersayap Hitam, mengarahkan tubuhnya ke salah satu sudut di pinggir salah satu potongan. Dermaga Studiose.

* * *

Ketika menjejakkan kakinya pada dermaga Studiose, Hvyt merasakan pergerakan halus di dadanya yang bidang. Seorang gadis. Hvyt menatap gadis dalam gendongannya. Seorang gadis tanpa mulut dengan rambut hitam sebahu yang terjuntai.

Ya, sedari tadi ia memang menggendong seorang gadis berumur lima belas tahun yang sedang tertidur. Ia tidak tega membangunkan si Gadis, pun Dewanya tidak memintanya untuk membawanya dalam keadaan sadar. Bagaimanapun ia malaikat bukan?

“Bangunlah, Nona SilentSilia.” Hvyt mengguncang halus tubuh kecil di dalam pangkuan tangannya.

Gadis itu mengerjapkan matanya sedikit. Tangan yang sedari tadi ada di atas perutnya kini naik ke atas mengucek matanya yang malas membuka.

“Kita sudah sampai...” ucap Hvyt lagi. Kali ini perlahan ia turunkan kaki gadis itu. Tingginya dengan tinggi gadis itu sangat berbeda. Gadis itu memiliki tinggi tiga per empat kali tinggi Hvyt. Membuatnya mau tak mau harus menunduk untuk menatap gadis bergaun hitam itu.

Gadis itu terlihat menatap ke kanan dan ke kiri. Berkali ia mengucek matanya dengan tangannya. Sepertinya ia belum sadar benar dengan kondisi serta tempatnya berada kini. Dengan menatap Hvyt, rambut gadis itu perlahan bergerak memanjang dan membentuk beberapa kata.

[Kita,]
[ada di mana?]

Hvyt hampir saja tersenyum melihat pemandangan di sampingnya. Sebelah tangannya masih merangkul tubuh si Gadis yang masih terlihat sangat mengantuk. Gadis itu seperti anak kecil. Sangat berbeda sekali dengan apa yang ia saksikan dapat dilakukan oleh gadis ini saat berada di dunia Collin Burke.

“Kita... ada di pulau Urth, Nona.”

Gadis itu sepertinya mulai tersadar dengan keadaan lingkungannya. Tatapan nanarnya kini telah kembali. Gadis itu mundur selangkah dan memberi jarak antara dia dan Hvyt. Hvyt tersenyum melihat gerakan hati-hati sang Gadis.

[Kau adalah Hvyt.]

Hvyt mengangguk.

[Dan kau bukan Hvyt yang sebelumnya.]

“Benar sekali, Nona.” Hvyt mengerti sekali dengan keadaan peserta yang satu ini. Pengkhianatan membuatnya berubah total. Makhluk fana memang seperti itu. Bisa saling mengkhianati demi tujuannya sendiri.

[Lalu, ini?]

“Tempat pertarungan selanjutnya.” Ucap Hvyt lagi setenang wajah gadis yang ada di hadapannya. Mata nanar gadis itu tak menatap ke arah Hvyt.

Ia menggerakkan sekali lagi rambutnya membentuk kata-kata. Setiap helai membentuk satu kata.

[Apa aturannya?]

“Anda hanya harus membunuh satu dari enam makhluk yang ada dan kembali ke tempat ini.” Ia menjelaskan dengan tenang.

[Membunuh, lagi?]

“Ya, Nona. Maafkan saya untuk hal itu. Dewa Thurqk sangat menyukai penyiksaan.” Hvyt masih tidak bergerak dari tempatnya. Sementara gadis yang bernama SilentSilia itu sudah mundur tiga langkah dari tempatnya semula.

Gadis itu tak merespon kata-katanya. Ia hanya terdiam menatap ke sekelilingnya. Mereka masih di dermaga.

“Nona, anda tidak dapat berlama-lama di sini. Waktu anda hanya sepuluh awan terhitung dari detik ketika anda mulai menjejakkan kaki di Pulau Urth.” Ucapnya untuk memperingatkan gadis bersilia itu.

“Lihat ke atas!” Hvyt mengangkat jari telunjuknya menunjuk ke atas, “ketika seluruh awan merah itu menghilang, saat itu pula, waktumu habis.”

Hvyt menatap ke langit luas di atasnya. Tampak olehnya awan-awan merah yang bergerak melambai-lambai tertiup angin. Kesepuluhnya dalam keadaan saling berdekatan satu sama lain membentuk lingkaran sempurna. Berputar-putar searah jarum jam. Pandangannya kembali ke arah Nona Muda di hadapannya ketika dirasakannya ada yang menyentuh lengannya. Silia.

[Tadi kau bilang,]
[aku harus kembali kesini.]

Rambut si gadis bergerak-gerak turun setelah selesai membentuk kalimat-kalimat itu.

“Ya.” Hvyt mengeluarkan suara bariton-nya sambil menganggukkan kepalanya. Ia memang biasa diminta untuk bernyanyi oleh Sang Dewa sebelum turnamen ini dimulai.

[Bagaimana aku tahu posisimu di sini?]

“Anda tinggal kembali ke tempat ini.” Hvyt tidak mengerti, mengapa manusia harus mempersulit sesuatu yang seharusnya mudah.

[Kau tidak akan kemana-mana?]

“Ya, saya akan menunggu Anda di sini, Nona.”

Si Gadis terdiam sebentar. Lalu, gadis itu menarik tangan kanan Hvyt, perlahan ia menarik sehelai rambutnya dan mengikatkannya ke gelang di tangan Hvyt. Ikatan yang sangat kuat. Setelah itu ia mengangguk-angguk dan menatap ke arah tengah Pulau.

Hvyt masih bingung dengan apa yang dilakukan si gadis padanya. Tapi toh ia merasa lebih baik tak bertanya. Tak perlu. Dewa Thurqk selalu mengingatkannya untuk tak banyak bertanya. Banyak bertanya merupakan sebuah sifat yang tidak pasrah pada Tuhannya dan ia tak mau disebut sebagai pembangkang oleh Sang Dewa.

Gadis itu membalikkan badannya dan bergerak menuju hutan hitam putih di luar lingkaran Dermaga. Tubuhnya melayang-layang beberapa centimeter di atas jembatan. Bajunya yang sewarna dengan hutan tujuannya melambai-lambai ditiup angin.

Hvyt yakin, gadis itu tak punya niat untuk membunuh siapapun. Ia ingat kata-kata Dewa Thurqk sebelum menjadikannya sebagai Hvyt yang mengantar Sil,

“Ingat Hvyt, gadis ini, spesial. Keberadaannya yang sampai saat ini tidak mempercayaiku, namun tetap melakukan apa yang kuperintahkan, membuatnya berbeda. Ia masih mencari Tuhannya. Dan aku ingin memastikan bahwa ia menemukan-Ku.”

Tadinya ia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sang Dewa, namun demi melihat mata si Gadis yang seperti tidak menaruh minat terhadap kata bunuh, ia akhirnya paham. Gadis ini, di sini bukan ada untuk menghibur Dewanya. Gadis ini dipanggil ke Nanthara, untuk membuatnya melihat dengan pasti eksistensi Tuhan-Nya. Membuktikan sendiri keberadaan Sang Dewa.

Perlahan gadis itu menjauh, Hvyt ingat ketika ia tiba di sebelah pohon Rachta, gadis ini tertidur dengan sangat pulas. Ia sangat yakin, gadis ini sama sekali tidak melihat pembantaian sebelas orang dari Nanthara Island oleh Dewanya, Thurqk. Ia yakin Sang Dewa memang sengaja membuat gadis ini tertidur. Karena Sang Dewa selalu punya alasan untuk segala hal yang ia lakukan. Termasuk, menghidup dan mematikan makhluk.

Sebelum gadis itu terlalu jauh, Hvyt berpesan padanya dengan sedikit berteriak, “Sil, makanlah secukupnya dan segera kembali ke sini. Kau adalah simbol Studiose.”

* * *

Sil, gadis dengan rambut Silia menatap nanar ke arah hutan di hadapannya. Kali ini, tatapan nanarnya memiliki penyebab yang pasti. Perutnya yang lapar. Di detik pertama ia menginjakkan kakinya di tanah hitam-putih ini, perutnya langsung berontak minta diisi.

Ia merasa aneh. Ia sangat yakin penyebab laparnya adalah pertarungan di dunia Collin Burke beberapa jam yang lalu. Apalagi ia hanya makan tiga buah Rachta sejak tiba di Jagatha Vadhi. Namun, tidak mungkin sampai selapar ini. Ia sudah terbiasa untuk tidak makan selama berhari-hari.

Ini aneh. Bahkan sebelum tertidur tadipun aku memakan buah Rachta.

Sil memutuskan untuk mengabaikan sementara perutnya. Ide untuk hidup kembali serta menuntaskan apa yang belum ia selesaikan berputar di otaknya. Sebelum pertarungan kemarin, Thurqk mengatakan akan mewujudkan apapun yang diinginkan oleh pemenang turnamen ini. Hanya satu pemenang, yang berarti selama masih ada lebih dari satu Persona di Jagatha Vadhi, maka mereka akan saling bunuh.

Setelah pertarungan sebelumnya, berarti tinggal empat-puluh empat orang.

Sil mengingat kembali kalimat Hvyt yang mengantarkannya tadi.

“Anda hanya harus membunuh satu orang dari enam makhluk yang ada..”

Membunuh lagi.

Yang benar saja. Seorang Dewa membiarkan Makhluknya saling membunuh?

Di dunianya, tak ada yang namanya Dewa atau Tuhan. Yang ada hanya ilmu pengetahuan. Lihat saja dirinya. Hasil persilangan genetik antara Persona dengan Silium. Ilmu pengetahuan yang menciptakan segalanya. Bukan Tuhan atau Dewa.

Sil menghentakkan kakinya ke tanah dan melayangkan dirinya ke arah hutan hitam putih di hadapannya. Semakin masuk ia ke dalam hutan, ada perasaan aneh yang menjalar cepat dari dalam perutnya. Lapar.

Kelaparan membuat tubuhnya melemah. Perlahan tubuhnya melayang semakin rendah. Hingga akhirnya ia kembali menjejak tanah. Kepalanya pusing dan berputar-putar. Penciumannya memberontak ketika merasakan aroma yang sungguh menggoda.

Apa ini?

Ditatapnya sekitar. Hutan itu berwarna hitam dan putih. Tak ada warna lain selain kedua warna itu. Tapi ada yang aneh, dari luar, hutan ini seperti hutan biasa yang hanya berwarna hitam dan putih. Namun, saat ini, ketika ia sudah berada di tengah hutan, matanya menangkap sesuatu yang tidak wajar. Sesuatu yang membuatnya merasa semakin lapar. Sesuatu seperti...

Makanan?

Ia mengucek matanya berkali-kali untuk memperjelas penglihatannya. Baik di sisi kanan maupun sisi kirinya, depan maupun belakang, selain berwarna putih dan hitam, dipenuhi dengan makanan. Perutnya yang sudah lapar semakin lapar. Buah rachta yang sudah ia makan sebelumnya, tidak membekas sama sekali.

Bagaimana tidak, lihatlah, di kanannya, terdapat air terjun berwarna hitam yang membelah menjadi tiga anak sungai di ujungnya. Ketiga sungai itu menghasilkan tiga aroma yang berbeda. Sama-sama hitam, namun aromanya berbeda. Sungai yang paling pinggir beraroma kopi. Sungai yang ada di tengah memiliki aroma harum yang pekat membuat Sil yakin bahwa cairan itu adalah anggur hitam. Sementara sungai yang satunya adalah sungai cincau hitam.

Ugh, aku tidak suka minuman berwarna hitam.

Di sebelah kirinya, terdapat mata air berwarna putih yang lagi-lagi membelah menjadi tiga aliran sungai dan menyatu dengan sungai dari air terjun. Ketiganya membentuk tiga buah danau kecil di hadapannya. Terdapat sebuah jembatan kecil di tiap anak sungai itu.

Ha?

Ketiga aliran sungai tersebut juga memiliki aroma yang berbeda. Aliran yang menyatu dengan sungai kopi memiliki aroma lembut dan kental yang ia yakini sebagai susu. Sementara yang di tengah dan menyatu dengan sungai anggur hitam memiliki aroma pekat dari sake, minuman keras yang terbuat dari fermentasi beras. Terakhir, menyatu dengan aliran sungai cincau, dengan aroma khas cocoa, Coklat putih.

Kenapa tidak ada teh manis hangat saja sih?

Di hadapannya, pemandangan lebih aneh lagi. Pohon daging asap. Untaian kurma yang menjulur hingga ke tanah. Tanah yang terbuat dari gandum serta ketan hitam yang sudah matang. Belum lagi buah-buahan. Banyak lagi makanan-makanan yang lebih bervariasi daripada sebuah Rachta di sini. Terlalu banyak malah. Hingga membuatnya merasa bermimpi.

Walaupun ia tak tertarik untuk memakan makanan yang ada di sekitarnya, namun tak urung juga ia merasa takjub. Bagaimanapun dia tak pernah melihat hal seperti ini di kerajaan Lait. Ini merupakan hal yang baru baginya.

Aku bukan pemakan makanan yang seperti ini. Batinnya menatap aneh dengan semua makanan yang ada.

Namun, ketidaktertarikannya terhenti ketika matanya melihat sesuatu yang sangat ia kenali. Sebuah kumpulan tanaman merambat yang membentuk helaian-helaian tipis benang seperti benang laba-laba. Helaian-helaian tipis itu menyatu dibagian ujungnya dan membentuk kumpulan bulat-bulat lonjong lembut dan berbau harum. Buah yang hanya ada di negara Lait. Buah kesukaan Sil.

Ovali. I-itu buah Ovali?

Ya, Sil memang sejak hidup sangat suka memilih-milih makanan. Jika ia menyukai suatu makanan, maka makanan itu akan menjadi satu dari sekian banyak makanan yang akan ia makan terus-terusan. Dan buah Ovali adalah satu dari sekian banyak buah yang selalu menjadi makanan kesukaannya.

Menemukan buah kesukaannya di sini, ditambah dengan rasa lapar yang melilit perut, membuatnya tak lagi peduli dengan keanehan yang sedang ia hadapi saat ini. Langsung saja ia memakan buah Ovali itu dengan kalap. Ia ingin memakan buah itu lagi dan lagi. Satu tak pernah cukup. Kutukan dari Studiose telah dimulai.

* * *


“Hvyt sialan, dia kira aku apaan. Pake diiket tali segala.” Nurin membersihkan dirinya dari debu. Dia baru saja berhasil membuat pingsan Hvyt yang mengantarnya dengan bau tubuhnya. Walhasil ia dan Sang Hvyt jatuh dari ketinggian. Beruntung bagi mereka di bawah merupakan laut yang luas.

Dia sangat sebal pada Hvyt-Hvyt yang mengantarnya. Hvyt yang mengantarkannya ke tempat pertarungan sebelumnya, menghempaskan tubuhnya ketika tiba di tempat yang mereka tuju.  Sekarang Hvyt yang mengantarkannya ke tempat ini malah mengikatnya seperti kepompong. Melilitkan sebuah tali panjang ke seluruh tubuhnya dan menarik seutas talinya agar Nurin berada jauh di bawah selama penerbangan berlangsung. Walhasil, selama perjalanan, Nurin menggantung bebas di udara.

Sekarang, tubuhnya terasa sakit semua. Cukup lama hingga ia akhirnya dapat terlepas dari ikatan tali itu. Bekas ikatan juga masih terlihat di tangan dan kakinya.

“Ini sungguh menyebalkan. Dewa macam apa kau, Thurqk.”

Nurin memperhatikan lingkungannya dengan seksama. Saat ini, ia berada di sebuah dermaga kecil berbentuk bulat. Warna hijau mendominasi dermaga serta daerah di hadapannya. Tubuh Hvyt yang mengantarnya mengambang-ngambang di atas air laut yang ada di sekeliling dermaga.

“Tadi sebenarnya dia bilang apa sih?” Nurin mencoba berpikir dan mengingat-ingat apa yang Hvyt katakan sebelum jatuh pingsan.

Karena jaraknya dan Hvyt yang cukup jauh saat di udara, Nurin tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh makhluk terbang berwarna merah itu. Gadis itu mendudukkan dirinya di dermaga sambil menyilakan kakinya, berusaha keras untuk mengingat apapun yang diucapkan oleh si Hvyt.

Tadi, saat di Jagatha Vadhi, kenyataan bahwa si Dewa Thurqk itu melakukan pembunuhan keji pada salah satu musuhnya, Celestia, membuatnya sangat gembira. Bahkan ia sempat melupakan kenyataan bahwa ia berkemungkinan mengalami kejadian yang sama seperti ke sebelas orang tersebut. Namun sekarang, bayangan terbunuh dan disiksa sedemikian rupa membuatnya berpikir dua kali. Setidaknya, ia tidak ingin mati konyol seperti itu.

Samar-samar akhirnya ia mengingat apa yang di katakan oleh Hvyt-nya.

“Wahai wanita bau, Dengar! Aku tidak akan mengatakan ini dua kali. Jadi dengarkan baik-baik! Tujuanmu di pulau ini cuma satu, bunuh satu dari enam orang yang ada dan segera kembali ke sini agar aku bisa membawamu kembali ke Jagatha Vadhi.”

“Hem.. Sial. Bau katanya? Dia tidak tahu aja aku bisa lebih bau dari itu.” Setelah mengingat bagian penting itu, Nurin bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah pulau. Namun tak lama langkahnya terhenti kembali.

“Sepertinya ada hal lain yang dikatakan oleh si Merah itu.” Nurin kembali berpikir sebentar sebelum akhirnya dia kembali melangkahkan kakinya.

“Ah.. tidak penting ternyata. Hanya sesuatu tentang aku yang akan menjadi Nimis di pulau ini. Artinya saja aku tak tahu apa.”

Dia melangkahkan kakinya ke arah pulau. Begitu kakinya menjejakkan langkah pertamanya di tanah, hal mengejutkan terjadi. Perutnya lapar secara tiba-tiba. Lapar yang sangat lapar. Membuatnya tak mampu menahan. Berkali-kali bunyi nyaring terdengar dari perutnya.

Ia mendengus kecil. Bagaimana tidak? Sejak di Jagatha Vadhi, perutnya yang sudah terbiasa terisi dengan nasi, hanya terisi oleh buah Rachta. Ia mengelus perutnya, berharap hal itu dapat meredakan lapar yang ia derita.

Sayangnya, lapar itu semakin menjadi-jadi saat ia menatap ke sekelilingnya. Ia memang, sejak sampai di pulau ini, tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Sekarang ketika akhirnya ia memperhatikan, anomali di hadapannya mau tak mau membuat mulutnya menganga.

Begitu banyak ragam makanan fast food terhampar di hadapannya. Danau cola yang di atasnya tumbuh teratai pizza. Ilalang-ilalang berbentuk kentang goreng. Gletser yang menyemburkan kopi. Pohon-pohon yang berbuah donat. Serta berbagai tanaman yang berbuah makanan lainnya. Nurin seakan berada di surga. Ia melompat girang kesana-kemari.

“Surga... aku berada di surga... Surga....” teriaknya berkali-kali. Ia melupakan tujuannya bertandang ke pulau ini.

Nurin mendekati salah satu tanaman yang berbuah donat. Hendak memetik salah satunya. Namun kembali, sesuatu yang membuatnya menganga terjadi. Belum sampai satu meter jaraknya, tanaman tersebut mendadak layu dan mati dengan tiba-tiba.

Nurin kaget dan mencoba mendekati pohon donat lainnya. Sekali lagi, tanaman tersebut melayu dan mati. Ia berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dan selalu berakhir sama. Setiap tanaman yang ia dekati mati sebelum berhasil ia sentuh. Perutnya sekarang sudah menciptakan paduan suara yang cukup nyaring. Membuatnya mau tak mau  sebal dengan dirinya sendiri.

Seumur hidup -dan matinya- baru kali ini ia membenci kemampuan tubuhnya untuk menciptakan bau busuk. Akibatnya sekarang ia tak bisa memakan satupun makanan yang ada di tempat ini. Perutnya semakin keroncongan minta diisi. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Hai dewa jelek! Aku tahu kau kejam, tapi tak bisakah kau membiarkanku untuk makan. Aku lapar.” Ucap Nurin lirih sambil sesekali mengelus perutnya yang sedang memainkan orkestra kelaparan.

Angin tiba-tiba bertiup kencang ke arah Nurin. Membuatnya agak terdorong ke samping. Ia terpaksa menutup matanya agar debu tak masuk. Sedikit menyesal ia tadi mengeluh seperti itu. Pastilah dewa jadi-jadian itu mendengarnya mengucapkan kalimat itu tadi. Ketika angin berhenti berhembus, mata Nurin membuka perlahan dan matanya menangkap makanan berwarna hitam dan putih. Matanya berbinar. Banyak sekali makanan manis di sana.

“Mungkin di sana ada yang dapat kumakan. Terima kasih Dewa Thurqk. Terima kasih.”

Sambil berlari riang Nurin bergerak ke arah hutan hitam putih itu. Bayangan akan memakan makanan enak membuatnya merasa bahagia. Dan benar saja, ketika sampai di tempat itu,  makanannya dapat ia sentuh dan petik seperti makanan pada umumnya. Mungkin perbedaan dunia membuat tanaman-tanaman yang ada di hutan hitam-putih itu lebih kuat daripada tanaman di dunianya.

Rasa lapar membuatnya tak lagi membuang-buang waktu untuk memakan semua yang ada di sekitarnya. Tanaman-tanaman tersebut menjulur dengan bebas sehingga ia dapat dengan mudah memetik dan memakannya.

“Aku ada di surga. Aku ada di Surga...” Teriak Nurin sambil secara acak memetik dan memakan buah-buahan dan makanan yang ada di sana. Sehingga Nurin bisa memuaskan rasa laparnya. Semakin ia makan, semakin lapar ia rasa. Ia tak bisa berhenti. Perutnyapun perlahan membunting.

Ia tak menyadari keberadaan dirinya membuat seorang peserta lain terganggu. Sil.

* * *

Sil dengan beringas memakan semua buah Ovali yang muncul. Dengan sigap, silia-nya menangkap dan menyerap kandungan dari setiap buah Ovali yang muncul dari tanaman menyulur itu. Hampir seluruh silia-nya bergerak liar di udara, satu persatu menghisap buah-buah Ovali yang muncul di sulur-sulurnya. Hampir mirip Medusa yang sedang memainkan Game Whack The Mole.

Namun ketika bau busuk yang sangat menyengat merasuki indera penciumannya, pelipisnya, yang sangat jarang berubah bentuk, mengernyit. Ini kali pertama ia mengernyitkan kening sejak ia datang ke sini. Ke dunia yang diciptakan oleh Thurqk.

Bau itu sangat menyengat, membuatnya benar-benar kehilangan selera memakan buah Ovali. Bentuk buah Ovali membuatnya sangat tergiur. Namun aroma yang sangat menusuk hidung itu membuatnya terhenti. Tak pernah ia mencium bau sebusuk ini. Bahkan bau kotoran masih terasa nyaman di hidung bila dibandingkan dengan bau yang masuk ke indera penciumannya ini.

Kesadarannya pulih. Kelaparan masih sangat melandanya. Namun bau itu membuatnya mual. Ia memalingkan wajahnya sedikit untuk melihat penyebab timbulnya bau menyengat tersebut.

<Makanan... Surga...> Ia mendengar suara hati seseorang. Tapi ia tak tahu, ada di mana orang tersebut. Semakin lama, semakin menyengat bau yang masuk ke hidungnya. Angin yang tidak bertiup membuatnya merasa semakin tersiksa.

Ini terlalu menyengat.. aaaghhh...

Sil tidak tahan lagi dengan kerja indera penciumannya itu. Dengan satu hentakan keras  ia menghentakkan kakinya ke atas dan melayang menjauhi tempat yang sangat bau tersebut. Melayang melintasi potongan hitam putih menuju sebuah hutan yang berbeda warna yang bersebelahan dengan hutan hitam-putihnya. Hutan biru.

Ia terbang lebih rendah dari yang bisa ia capai. Perutnya membuncit ke depan. Ia seperti Persona hamil yang sedang memegang perutnya yang buncit. Tubuhnya lebih berat dari biasanya.

Sebenarnya, ia sedikit bingung apa yang menyebabkan nafsu makannya menjadi sebrutal itu. Seingatnya, semasa hidup ia adalah salah satu Persona yang sangat irit makan. Carl –Persona yang sudah menghancurkan hidupnya- sering memberinya berkantung-kantung buah Ovali dan ia selalu berhasil menjaga nafsu makannya hingga buah itu bisa bertahan lama di gudang penyimpanan makanan, sampai akhirnya habis.

Sil berhenti di udara, di antara hutan hitam-putih dan hutan biru yang berdampingan. Ia melihat ke sekelilingnya. Pulau itu berbentuk lingkaran. Ada tujuh warna yang ada di sekeliling pulau itu. Hitam, putih, hijau, biru, cokelat, ungu dan kuning. Entahlah ia tak mengerti.

Semua hal di pulau ini benar-benar membuatnya merasa ganjil. Bentuk pulau ini yang terlalu bulat. Warna-warnanya. Tumbuhannya. Makanannya. Laparnya. Bau menyengatnya. Ia tak tahu apa yang terjadi.

Sil melayangkan dirinya lagi. Bergerak ke arah hutan biru. Hutan yang penuh dengan roti-roti raksasa yang dihiasi selai berwarna biru. Bentuk roti itu terlihat sangat mewah. Terlalu mewah malah. Laparnya kembali menguak. Platyhelmythes yang hidup di perutnya sudah mulai melakukan demo besar-besaran lagi.

Ada yang aneh dengan pulau ini...

Matanya menatap ke bawah. Dilihatnya ada dua Persona yang sedang dengan lahap, terlalu lahap malah, memakan roti-roti raksasa tersebut. Salah satu Persona tersebut berambut kuning dengan baju besi yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Sedang yang lainnya, Persona wanita bertubuh atletis dengan rambut merah dan baju kuning.

Ksatria, eh?

Melihat Persona-persona yang makan secara lahap tersebut, Sil memegang perutnya. Perih. Lapar yang ia rasakan membuat perutnya terasa perih. Ia meremas gaun hitamnya. Kali ini ia yakin, rasa lapar yang ia rasakan ada kaitannya dengan pulau ini.

Sekarang, tanpa ia komando, tubuhnya sudah melayang mendekati kedua Persona itu. Sayangnya ia melupakan kenyataan bahwa ia memiliki tugas. Tugas yang Hvyt katakan padanya.

Ia lupa. Rasa lapar dan penasaran membuatnya lupa segala hal. Lupa bahwa ia harus segera menyelesaikan tugasnya. Sil melupakan kenyataan bahwa ia harus membunuh salah satu peserta untuk dapat kembali.

* * *

“Forente... Forente... Forente....”

Kata itu berulang-ulang berputar-putar di kepala Rex. Seorang pria berwajah tampan yang mengenakan baju zirah perang. Di samping baju zirahnya tergantung sebuah pedang yang tak dapat terlihat oleh siapapun yang berhati kotor. Mulutnya tak berhenti mengunyah semua yang bisa ia gapai.

Ia tak mengerti. Setelah sosok pria bersayap bernama Hvyt mengantarkannya ke pulau ini, tubuhnya tak bisa berhenti mengunyah. Apapun yang ada di hadapanya ia kunyah. Bahkan pasir biru di pinggir pantaipun ia masukkan ke mulutnya.

Ia tak mengerti. Ia tak paham. Perutnya sudah kenyang. Tapi mulutnya tak mau berhenti mengunyah. Tangannyapun tak berhenti meraih apapun yang bisa ia raih. Bahkan ia sampai tak bisa lagi bersuara karena mulutnya yang selalu penuh dengan potongan-potongan roti raksasa yang ia robek.

Siapapun... Tolong aku.... Tolong aku...

Rex tak tahu lagi harus apa. Ia sadar sepenuhnya bahwa baju zirah yang ia kenakan sudah terasa sangat sesak. Sesak yang membuatnya hampir kesakitan. Luka bekas pisau beracun di tubuhnya sekarang terasa seperti menguak lagi. Ulu hatinya terasa sangat sakit tertekan makanan yang sudah ia telan.

Oh.. siapapun... tolong aku...

Harapan itu terkabul ketika ada seorang wanita yang mendorongnya dengan keras. Wanita berpakaian kuning dengan rambut merah. Wanita itu tiba-tiba saja mendorongnya dan dengan heboh memakan apapun yang ada di hadapannya.

Rex yang terkejut, memandang terpesona ke arah wanita berbaju kuning yang ada di hadapannya. Baju kuningnya, rambut merahnya, topi merahnya serta kulit cokelatnya. Begitu indah. Membuatnya sangat terpesona. Kesemuanya itu mengingatkannya pada kue istana. Kue pelangi.


Mata Rex berbinar begitu mengetahui ia bahkan menemukan sebuah kue termahal dan terlezat di istana ini. Kue yang hanya boleh dimakan oleh raja itu, kini ada di hadapannya. Bebas tanpa kawalan dan boleh dimakan oleh siapa saja.

Dengan sangat sigap Rex berjalan mendekati kue pelanginya. Ia berjalan mendekat-mendekat, dan mendekat. Menyentuhkan tangannya ke arah kue tersebut. Kue tersebut kini menghadap ke arahnya, sudut potongnya kini sudah secara lurus berada di depan mukanya. Kue tersebut seoalh pasrah menyerahkan diri padanya untuk dimakan.

“Nenekku pernah berkata... makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” satu tamparan keras tiba di pipi Rex. Rex tersadar dari khayalannya dan menatap sesosok wanita berambut merah ada di hadapannya.

“O ho ho hon~ Vous avez été très irrespectueux. Beau, mais sarrasins.” Ucap wanita di hadapannya dengan nada tinggi. “Je déteste l'homme insolent.”

Rex terkesima. Ia menatap wanita di hadapannya. Wanita itu berbalik berjalan ke arah yang berlawanan. Sekali lagi, wanita itu menjelma menjadi kue pelangi. Mata Rex berbinar-binar dan berusaha menangkap kue itu lagi. Dan ketika tangannya berhasil menangkap sudut piring kue pelangi tersebut...

“Homme irrespectueux!” dan sekali lagi, sebuah pukulan mendarat di hidungnya. Membuatnya terdorong beberapa meter ke belakang. Darah merembes dari hidungnya yang penyok.

Rex mengusap darah yang mengalir dari hidungnya. Tatapannya beradu pandang dengan wanita cantik di hadapannya. Wanita itu terlihat mengelus-elus bagian bokongnya.

<Ada apa denganku?> Ucapnya dalam hati. Ia bingung. Entah apa yang terjadi dengannya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Pukulan wanita tadi membuatnya sedikti tersadar.

Dilihatnya wanita berjalan menjauh meninggalkannya begitu saja.

“Nenekku pernah berkata... tidak baik membuat seorang wanita kesal.” Rex bangkit dari duduknya sambil memegang hidungnya yang penyok. Berjalan mendekati wanita berbaju kuning tersebut.

“No, Nona... tunggu!” teriaknya, berharap wanita itu berbalik dan memberikannya kesempatan untuk meminta maaf.

Namun perhatiannya teralihkan oleh kemunculan sosok lain di dekat sebuah gunung roti Croissant. Warna hitam dari baju dan rambut sosok tersebut yang sangat kontras dengan dominasi warna biru di sekelilingnya, membuat sosok tersebut sangat menarik perhatian Rex. Dalam sekejap ia sudah melupakan si Wanita Kue Pelangi dan mendekati si Sosok Berbaju Hitam.

Sekali lagi, Rex terpesona. Pandangan matanya menyapu tubuh sosok tersebut dari atas sampai bawah. Seorang gadis. Sangat menggoda. Tubuhnya yang kecil, bulu-bulu putih yang berasal dari pinggiran gaun hitamnya, serta rambut sebahunya membuatnya terlihat menarik.  Nafsunya bangkit lagi. Matanya berbinar-binar dan mendekat ke arah sosok kue Blackforest dengan cream putih itu.

“Nenekku pernah berkata... tidak baik menyia-nyiakan makanan.”

Dan tepat ketika ia hampir menyentuh kuenya,  kue itu terbang menjauh. Meninggalkan Rex yang melongo dengan pemandangan di hadapannya. Kue tersebut terbang dan meninggalkannya begitu saja.

“TIDAAAAKKK......”

Rex duduk bertumpu pada lututnya sendiri. Tangannya memegang dadanya yang terasa sakit. Ia sedih. Blackforest yang ia inginkan meninggalkannya.

Namun itu tak berlangsung lama. Ketika menatap ke bawah Rex mendapati dirinya berdiri di atas tumpukan roti kerajaan yang sangat ia sukai. Roti favoritnya.

Masa bodoh dengan Blackforest...

Rex mencuil sedikit roti di bawah lututnya. Memakannya. Awalnya sedikit. Sedikit. Sedikit. Hingga akhirnya ia tak dapat berhenti makan lagi.

* * *

Nurin, si gadis yang dikerubungi lalat itu, mulai bosan memakan makanan manis di hutan hitam putih. Saat itulah matanya menangkap keberadaan hutan biru di samping hutannya.

Perutnya yang masih kelaparan langsung saja berbinar menatap surganya yang ternyata tak sesempit hutan hitam putih saja. Dengan setengah berlari, Nurin bergerak menuju hutan biru. Tentu saja, Nurin yang memang tidak terlalu suka olahraga itu, ditambah dengan jumlah makannya yang terlalu banyak, berlari dengan sangat lamban. Jauh lebih lamban daripada sebelum ia makan.

Tapi siapa yang peduli. Dia hanya ingin makan, makan dan makan. Hanya itu. Sesederhana itu. Semudah itu. Lagipula, gadis bau sepertinya akan lebih mungkin dijauhi daripada dipedulikan. Karena itu, meskipun dengan perlahan, ia tetap berlari untuk menyusul surganya.

Terima kasih, Dewa Thurqk. Kau memang Dewa. Aku yakin kau adalah Dewa~

Terengah-engah, akhirnya ia sampai di hutan biru. Matanya menyapu daratan luas penuh roti yang terhampar di hadapannya. Sandwich dan berbagai macam jenis roti berselai dan bersaos biru menggoda seleranya. Ia tidak mempedulikan keberadaan makhluk lain yang juga sama sepertinya. Memakan roti-rotian itu dengan lahap.


Dia bergerak mendekati salah satu gunungan roti yang ada di hadapannya. Dengan tenaga yang tersisa ia mencubit satu bagian roti yang ada dan memasukkannya ke dalam mulut. Lalat-lalat yang berada di sekitarnya berterbangan dengan liar membisikkan kelaparan yang juga mereka rasakan, sama seperti tuannya.

“Wuahuai lualat-luaalatku, akuo yuakwin kualianpun luapuar. Suamua sepertiku.” Ucapnya dengan mulut yang penuh dengan roti. “Suekalang kualian bebas untuok memuakan uapapuon..”

Dengan perintah itu, lalat-lalat Nurinpun berterbangan dengan liar menghinggapi makanan-makanan yang ada di sekitarnya. Ada yang hinggap di dekat sandwich daging. Ada pula yang hinggap di dekat roti manis. Namun ada pula yang memilih menetap di sekitar Nurin dan memakan roti yang ada di sekitar tuannya.

Tanpa sepengetahuan Nurin, salah satu lalatnya hinggap pada roti yang akan dimakan oleh orang lain di tempat ini. Kali ini, tanpa perintah ketika tahu dirinya terancam, si lalat langsung menggigit lidah orang yang akan memakannya. Orang itu langsung memuntahkan si lalat

“Blaaahhhh... Apa ini?” Orang tersebut memuntahkan sesuatu yang ada di lidahnya. “Lalat? Aku makan lalat? Yang benar saja!?”

Dengan gemas ia langsung menginjak lalat  yang hampir saja ia telan itu. Ia tidak tahu bahwa gigitan dari si lalat lebih berbahaya dari lalatnya sendiri. Gigitan yang mengandung telur. Yang segera dapat dipastikan, tidak butuh waktu lama untuk telur-telur itu menetas dan menjadi anak lalat baru.

“Arrrgghhhh.... ”

Tidak lama setelah itu, tubuh orang tersebut jatuh. Ia mengerang kesakitan. Luka di lidahnya membiru dan membusuk dalam waktu yang sangat singkat. Awalnya gigitan itu memerah. Lalu membengkak. Terasa gatal. Dan akhirnya larva keluar dari dalam luka yang membengkak itu. Nahasnya, bukan hanya satu larva yang keluar, banyak. Dan tak ada yang lebih mengerikan daripada sebuah larva lalat daging yang kelaparan.

“A...” adalah huruf terakhir yang keluar dari mulutnya.

Larva-larva itu mengerogoti otaknya dari dalam. Tubuhnya mengejang-ngejang sebelum akhirnya ia tak lagi bergerak di dalam baju zirahnya. Tidak berapa lama, ratusan lalat keluar dari dalam mulutnya yang menganga. Menyisakan larva-larva lain yang masih sibuk mengunyah di dalam tubuh tak bernyawa itu.

* * *

Sil melayangkan dirinya ke arah sebuah hutan berwarna ungu. Hutan yang sangat indah. Berbagai macam daging berwarna ungu beserta sungai soda dengan warna senada memancing matanya yang menatap nanar. Perutnya kembali melakukan aksi pemberontakan minta diisi.

Tadi di hutan biru, ia belum sempat menyentuh apapun. Makanan di sana terlihat sangat enak. Sayang, Persona berambut kuning itu tidak sopan. Membuatnya kehilangan selera makan. Ia lebih memilih pergi dari tempat itu daripada menjadi korban pelecehan seperti Persona berambut merah.

Sil segera melayangkan dirinya turun perlahan lebih rendah dari sebelumnya. Mencoba mendekati buah anggur ungu yang terlihat sangat menggodanya. Ketika sudah sampai di samping pohon anggur itu, Sil menggerakkan Silianya untuk memetik si anggur ungu.

Tapi bukannya menyentuh si anggur ungu, Silianya malah menyentuh lengan Persona lain. Kaget. Sil menarik Silia-nya kembali dan menatap pemilik tangan tersebut. Zach. Persona bertanduk yang pertama kali mengajaknya bercerita di Jagatha Vadhi. Musnah sudah rasa lapar yang dirasakan oleh Sil. Kini ia memperhatikan Zach yang makan dengan lahap tersebut.

Ada yang aneh dengan Zach. Sil terus menatap dengan serius Persona di sampingnya ini. Tak sedikitpun pria bertanduk itu menatap ke arahnya. Jangankan menatap, melirik atau menegur saja tidak. Dia hanya fokus dengan setiap makanan yang ada di hadapannya.

Ada yang lebih aneh lagi. Suara hati pria ini, sama seperti suara hati dari persona berambut kuning dan berbaju zirah di hutan biru. Sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya.

<Kenapa aku tak dapat berhenti makan.. Tolooonggg...>

Sil tak habis pikir. Kenapa Persona di hadapannya ini malah minta tolong. Kini otaknya menghubungkan potongan-potongan puzzle yang terpisah. Ia yang tiba-tiba kelaparan. Persona berambut kuning yang juga kelaparan. Zach yang makan dengan tak bisa berhenti. Tiba-tiba secara samar ia mengerti apa yang terjadi.

Keanehan yang ia rasakan sejak ia menginjakkan kakinya di sini. Kini ia tahu, apa yang menyebabkan semua itu. Semua Persona yang tiba di pulau ini akan memiliki rasa lapar yang besar. Atas kemauannya sendiri ataupun tidak. Seketika tubuh Sil merinding. Inilah yang dimaksud Hvyt saat ia meninggalkan makhluk bersayap itu di dermaga.  

“Sil, makanlah secukupnya dan segera kembali ke sini. Kau adalah simbol Studiose.”

Lagi, ia melakukan sesuatu yang bukan identitasnya. Bergidik ngeri. Dan satu-satunya jalan untuk menyudahi rasa lapar yang muncul adalah dengan... keluar dari pulau ini sesegera mungkin. Sekejap saja, Sil ingat dengan kata-kata Hvyt sebelum ia tinggalkan di dermaga.

“Anda hanya harus membunuh satu orang dari enam makhluk yang ada dan kembali ke tempat ini.”

Membunuh? Ya Sil tahu ia harus membunuh. Tapi untuk apa? Hanya untuk keluar dari pulau ini? Yang benar saja? Tapi memang tak ada cara lain untuk keluar dari pulau ini. Yang harus ia lakukan hanyalah, menemukan cukup alasan untuk membunuh satu Persona. Setelah itu ia harus segera keluar dari pulau mengerikan ini.

Sil tak habis pikir dengan sang Dewa. Apa yang sangat menyenangkan dari melihat orang lain membunuh? Mengapa Dewa semacam Thurqk harus merasa bahagia  dengan melihat makhluk-makhluk-Nya saling membunuh. Untuk apa dia menciptakan makhluk-Nya jika hanya untuk saling membunuh. Sil tidak paham semua itu. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Thurqk. Apa?

Sil harus mencari tahu. Tapi apa yang harus ia lakukan sekarang? Membunuh? Siapa? Zach? Tidak. Sil tidak akan membunuh Zach. Sil tahu ia harus membunuh, tapi bukan Zach orangnya. Setidaknya tidak dengan alasan ingin secepatnya keluar dari pulau ini.

Sekarang lebih baik jika aku menyadarkan pria ini terlebih dahulu.

Sil menatap ke arah Zach. Ia mengguncangkan sedikit bahu pemuda itu dengan tangannya. Tak ada reaksi. Sil pindah ke depan Zach dan menghalangi pemuda itu mengambil kembali anggur di hadapannya. Tanpa diduga Sil, pemuda itu malah mendorongnya.

<Maafkan Aku Sil. Maafkan aku..> Suara hati pemuda itu membuat Sil semakin yakin dengan teorinya.

Dengan satu hentakan, Sil menarik tubuh pemuda itu agar menghadap ke arahnya. Kedua tangannya berada di kanan dan kiri Persona itu.  Pandangan Pemuda itu masih saja ke arah anggur dengan tangannya yang mencoba meraih-raih anggur sebelah kirinya.

Sil mengguncang tubuh pemuda itu dengan keras. Pemuda itu masih tak bergeming dari anggur-anggurnya. Malah dengan sengaja mendorong Sil dengan keras. Sil tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Sil mengambil ancang-ancang tangannya dan satu tamparan keras mendarat di pipi Zach.

Sepertinya berhasil. Pikirnya ketika melihat pemuda itu bereaksi dengan tamparannya. Begitu melihat tatapan tajam dari pemuda itu, Sil tahu dia gagal.

“Jangan ganggu Aku!” adalah kalimat perintah yang pertama kali keluar dari mulut Zach sejak pertama kali Sil mengenalnya. Saat itu pula Sil tahu, pulau ini lebih berbahaya dari kelihatannya.

Zach, maafkan aku.

Sil berkonsentrasi untuk mengeluarkan Lotus di tangan kirinya sambil berharap warna yang keluar adalah warna yang paling rendah. Ketika lotus di tangannya muncul, Sil menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Apa yang pernah kau lakukan Zach?

Red Lotus. Lotus yang melambangkan dosa yang sangat berat.  Sil menatap pada Zach dengan ragu. Apapun itu, hal itu pastilah masa lalu yang sangat berat untuk Zach. Tapi ini satu-satunya jalan untuk menyadarkan pria ini dari pengaruh pulau ini.

Sil merasa bingung. Ia tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Terakhir kali ia menggunakan Red Lotus, korbannya yang tidak dapat terbang, menerjunkan dirinya dari awan gedung Revealer.

Namun Sil tahu ia harus melakukan sesuatu yang ekstrim untuk menyadarkan Persona di hadapannya ini. Akhirnya, dengan menarik nafasnya dalam-dalam. Dengan harapan ia dapat menyadarkan pemuda itu segera, ia tarik salah satu kelopak dan menempelkannya ke dahi pemuda itu.

Tidak perlu menunggu waktu lama untuk melihat Lotus itu bekerja. Zach yang tadinya berdiri tegak kini sudah terduduk dengan wajah pucat. Sangat pucat hingga membuat Sil yakin apapun yang akan keluar dari mulut pemuda ini adalah sesuatu hal yang mengerikan.

“Tidak... Bukan salahku!” Pemuda itu mulai meracau. Tangannya bergerak menjambak rambutnya. “Bukan!! Bukan salahku!! Itu salahmu!! TIDAK!! Primo mati bukan karena aku!! BUKAN! Lulu, Lulu yang membunuhnya!”

Primo?

Samar Sil mengingat nama itu terdapat pada panel besar yang ditunjukkan Sang Dewa sebelum ia diantarkan ke pertarungan sebelumnya.

Sil mencoba mengguncang tubuh Zach yang semakin bergetar. Ia tak boleh membiarkan Zach semakin lama tenggelam dalam halusinasi Lotusnya. Jika dibiarkan, halusinasi dari Lotus merah dapat membuat reka ulang setiap kejadian di masa lalu pemuda ini semakin menyakitkan.

“Tidak! Kau yang menghancurkan mereka. Kau yang menghancurkan kesebelas orang itu!”

Sil menghentikan gerakannya. Ia menatap Persona di hadapannya. Tidak percaya. Zach sedang mengatakan sesuatu tentang nasib Persona- persona yang tidak lolos dari lima puluh lima Persona yang ada. Sil terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Zach barusan. Dan kalimat Zach berikutnya membuat Sil geram.

“Kau menghancurkan mereka tidak di Jagatha Vadhi. Kau melakukannya di Devasche Vadhi. Aku tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan mereka. Kau! Kau yang melakukannya Thurqk! Kau!” ucap Zach dengan menunjuk-nunjuk tangannya ke satu arah.


Kali ini Sil yakin, Persona yang sedang ada di dalam halusinasi Zach adalah Dewa Thurqk. Sil bergeming. Tak tahu harus melakukan apa. Ada kengerian yang muncul di benaknya kini.

“Kau, menghancurkan mereka. Kau ledakkan otak mereka. Kau robek mulutnya. Kau putuskan lengan mereka. Kau hancurkan segalanya.. Kau...”ucap pemuda itu sambil sesekali meremas rambutnya. Kini Sil tahu dia telah melewatkan sesuatu selama ia tertidur tadi. Dan sesuatu itu... lebih mengerikan dari melihat tubuh Richella Elleanor yang gosong terpanggang listrik.

” Aku tidak lari!! Tidak. Aku tidak takut. I-itu, aku hanya menyelamatkan diri. Mereka membantai keluargaku. Mereka memperkosa kakakku. Kau tidak tahu apa-apa! Kau bukan Tuhan-ku!! Arghhh....”

Sil tahu, tak mungkin ia menunggu lebih lama. Sebentar lagi, halusinasi Lotus akan membawa pria ini ke tempat yang paling tidak menyenangkan dalam hidupnya. Tempat di mana Zach merasakan menjadi penjahat yang sebenarnya. Dan hanya ada satu cara untuk menyelesaikan halusinasi Zach secara paksa. Membuatnya merasa dekat dengan kematian.

Sil menggerakkan Silia-nya menuju leher pemuda itu. Dengan mengucapkan maaf dalam hati, Sil melilitkan Silia-nya dengan erat. Gadis itu mengingat bahwa salah satu alasan terbaik yang mampu membuat Persona mampu memaafkan diri dan masa lalunya adalah membiarkan Sang Persona menghadapi sendiri wajah kematiannya.

“Ekh... ekh.. lephaskan aku Thurqk... Lepaskan...” Pemuda itu memejamkan matanya. Jari-jemarinya menahan Silia agar tidak semakin mencengkram lehernya. Perlahan pemuda itu kehilangan nafasnya. Nafasnya tinggal satu-satu. Lidahnya menjulur. Tubuhnya menegang seiring dengan itu, “lephaskan akhu... Sil.”

Sil melonggarkan Silianya. Tubuhnya melemas. Tubuhnya bagai disiram oleh air. Lega. Kelegaan yang membuatnya langsung terduduk dari berdirinya. Ia benar-benar takut jika ia harus membunuh orang lain tanpa alasan yang benar-benar kuat.

Pemuda itu terbatuk-batuk ketika akhirnya ia terlepas sepenuhnya dari Silia gadis manis di hadapannya. Napasnya masih terengah-engah. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan sesak yang dideritanya.

Sil segera membentuk huruf demi huruf dari silianya.

[Maafkan aku.]

“Tak a-pa, No-na.” Ucapnya dengan sedikit terbatuk sambil menatap ke arah Sil. Zach duduk dengan kaki yang di selonjorkan ke depan. Kedua tangannya berada di belakang menopang tubuhnya yang membuncit.

<Terima kasih, Sil.> Ucap persona itu dalam hati yang didengar dengan jelas oleh Sil.

Zach menatapnya dalam. Mau tak mau Sil harus membuang mukanya. Matanya berbahaya. Masa lalu Zach sangat cukup untuk membuat pemuda itu bunuh diri. Ia tak akan tega membiarkan pemuda itu terjebak dalam rasa bersalah untuk kedua kalinya dengan teror mata.

<Kau malu-malu?> Lagi pemuda itu menggunakan alam pikirnya untuk berkomunikasi dengan Sil.

Sil menggerakkan Silia-nya membentuk sebuah kata.

[Malu?]

 <Wajahmu memerah, Nona.>

Sil sudah sangat terbiasa mendapat pertanyaan seperti ini dari para Persona yang harus ia hadapi setiap harinya. Tubuhnya sekarang sudah merasa agak tenang. Ia menatap langit di atasnya sambil memegang perutnya yang sangat lapar.

[Wajahku memang merah, Tuan.]

Zach tersenyum kecil.  “Kukira kau malu karena kuperhatikan. Ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang terjadi?”

Sil menggerakkan Silianya dengan sikap tak pedulinya.

[Kau terjebak pengaruh pulau ini.]
[Untuk menyadarkanmu,]
[Kubuat kau terjebak pada masa lalumu.]
[Lalu kucekek lehermu sebagai satu-satu jalan agar kau sadar dari halusinasimu.]

Mata Zach terbelalak. Ia menatap Sil dengan pandangan antara kesal, marah dan lega di saat yang bersamaan.

“Hei Nona, kau tahu apa yang telah kau lakukan padaku? Kau melepaskanku dari mulut singa hanya untuk membuatku masuk ke mulut buaya.” Dari nada tinggi yang dikeluarkan pria itu Sil paham bahwa pria itu kesal padanya.

Sil mengubah satu persatu Silia-nya lagi.

[Aku memasukkanmu,]
[ke mulut buaya yang tidak lapar, Tuan!]

“Bagaimana kau yakin bahwa buaya itu tidak lapar?”

[Karena akulah buaya itu!]

Sil merasa tak perlu menjelaskan alasannya pada pemuda itu. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke arah tengah pulau.

“Kau mau kemana?”

Zach bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Sil. Suara perut Zach yang kelaparan terdengar sampai ke telinga Sil.

<Oh.. bagaimana ini...Aku lapar... > Begitu mendengar suara pikiran Zach tersebut, Sil langsung berbalik menatap Persona tersebut.

[Tahan laparmu, Tuan.]
[Sekali kau makan,]
[kau tidak akan bisa berhenti!]

Sil berbalik berjalan kembali ke tujuannya. Ia sangat yakin bagian tengah pulau ini adalah tempat di mana para Persona suruhan Thurqk akan berkumpul.

[Ada gunungan makanan yang berputar-putar di sana.]

”Darimana kau tahu? Dan Silia-mu itu... menuju ke mana?”

Sil bingung dengan pertanyaan Zach yang terakhir.

[Silia?]

Bentuk Sil pada Silianya tanpa melihat ke arah belakang.

“Ini.” Ucap pria itu sambil menggoyangkan Silia yang menjulur panjang menuju ke satu arah. Sil akhirnya paham apa yang dimaksud oleh Zach. Itu adalah Silia yang terhubung pada Hvyt tadi.

[Bukan urusanmu, Tuan.]

Zach tak lagi mengajaknya bicara. Dari suara jalan setapak di belakangnya, ia tahu, Zach mengikutinya. Pikirannya melayang ke saat Zach berada dalam halusinasi Lotus. Kalimat demi kalimat yang ia dengar dari Zach ketika pria itu berhalusinasi membuatnya bergidik. Ia takut dan ngeri di saat yang bersamaan. Kini ia tahu, Dewa itu tak main-main dengan ucapannya.

Ia menatap ke langit. Dilihatnya awan merah itu tinggal lima buah di sana. Jiwanya semakin bergidik ngeri. Ia harus segera menemukan Persona yang membuatnya memiliki alasan kuat untuk membunuh. Ya.. membunuh.

* * *

Zany Skylark. Seorang gadis bermata pelangi. Seorang imagyn yang dapat menciptakan apapun yang pernah ada di muka bumi ini. Tiga perempat dari isi hutan kuningnya sudah habis ia lahap. Sekarang perutnya sudah membesar tiga kali lipat dari yang seharusnya.

Obesitas. Mungkin kata itu yang pantas disandangnya kini. Lipatan-lipatan lemak di sela-sela tubuhnya. Perutnya kini berlipat-lipat bagaikan tumpukan pancake di atas piring. Bajunya sudah robek sebagian di bagian perutnya yang besar. Rok-nya sudah putus kaitnya, tak tahan dengan ukuran besar pemakainya. Dasi merah yang ia kenakan sudah entah kemana. Ia sengaja melepasnya karena dasi itu serasa mencekik lehernya.

Ia keranjingan makan manisan disini. Terlalu banyak makanan manis yang sangat disukainya. Makanan-makanan dengan harga mahal yang tak pernah bisa ia dapatkan di dunianya. Ia jarang meminta pada keluarga angkatnya itu. Hidup di sana dengan limpahan kasih sayang saja sudah membuatnya sangat bersyukur.

Kini, di hadapannya, terdapat ribuan makanan mewah berjejer menunggu untuk dimakan. Siapa yang tahan?

Walaupun ada makanan jenis lain, seperti kue lemper dan penganan-penganan pasar seperti kacang rebus dan gorengan, namun pesona dari berbagai macam sponge cake dan makanan manis lainnya tak dapat ia abaikan begitu saja. Tak ada yang dapat mengabaikan makanan mahal, bukan?

“Masa bodoh sama Laute-laute yang dikatakan Hvyt itu. Masa bodo sama bunuh-bunuhan. Yang penting gue kenyang dulu. Bukankah tidak baik berperang dalam keadaan lapar?” ucap gadis bermata pelangi itu sambil terus menerus makan menuju ke bagian tengah pulau.

Ia tidak sadar, tubuhnya sedang menuju pusat dari pulau itu. Pusat tempat semuanya akan berakhir. Pusat dimana dosa akan ditagih. Pusat dari penghukuman penghuni pulau yang sangat rakus. Pusaran makanan.

* * *

Seorang wanita bertubuh gempal berkulit cokelat sedang berenang di tengah danau. Tubuhnya sudah tak se–atletis sebelumnya. Ia terlihat sangat bahagia. Setelah diperlakukan tidak senonoh oleh seorang pria berbaju zirah, ia kembali ke hutan cokelatnya.

Tadinya ia ke hutan biru untuk mencoba memakan daging yang kelihatannya sangat enak di hutan tersebut. Namun demi mendapat perlakuan tidak senonoh dari pria yang seharusnya pantas dihargai dengan tampilannya yang menggugah mata itu, ia, Colette Reeves, seorang Mime asal negara Prancis yang terkenal dengan kesopanan para prianya itu, merasa sangat direndahkan.

Ia mengelus-elus pantatnya yang tadi sempat diraba oleh pria berzirah itu.

“O ho ho hon~ désolé pour tout ce que mon cul.” Ucap Colette menatap miris pantatnya itu.

“Vous êtes mon type, beau seigneur. Malheureusement, vous êtes méchant.” Colette mengingat kembali ketampanan pemuda itu. Pemuda yang terlihat sangat kuat dan hot di matanya. Namun demi mengingat kembali apa yang dilakukan pemuda itu padanya, ia kembali menjadi kesal.

“Beau, mais méchante.”

Colette berenang-renang kembali di danau cokelatnya. Mungkin, di antara hutan lainnya, dialah yang memiliki hutan yang paling eksotis. Sebuah danau cokelat yang di hiasi dengan berbagai macam buah dan makanan celup cokelat di pinggirannya. Danau yang sangat terbuka. Ketika di antar oleh Hvyt tadi di dermaga, Hvyt itu hanya memintanya untuk memasuki goa di bawah sebuah tebing. Siapa yang menyangka bahwa ujung dari Tebing tersebut adalah danau Cokelat dan sereal. Berbagai macam buah tumbuh mengitari  danau tersebut.

Dia yang memang penggemar cokelat, dan berkulit cokelat, segera menenggelamkan dirinya pada danau cokelat itu sambil sesekali memetik buah-buahan di pinggirnya. Dia merasa sangat seksi karenanya. Bajunya yang kuning tentu saja sudah tidak dapat lagi dibedakan dengan warna danau itu. Cokelat kental itu memenuhi seluruh tubuhnya.

“O ho ho hon... Je suis dans les cieux. Merci, Monsieur Thurqk, Merci.. MOI EST ARDENTER!” Teriaknya. Tubuhnya terus berenang zig-zag kesana kemari. Semakin mendekati titik tengah pulau.

Ia sudah lupa dengan kengerian yang diciptakan oleh Dewa yang, katanya, menciptakan pulau itu. Kengerian yang masih membekas di seluruh langit Devasche Vadhi. Pembantaian sebelas orang yang, katanya, membuat bosan sang Dewa yang baru saja ia puja, Thurqk.

* * *

Lima dari enam. Sil sekali lagi menghitung jumlah Persona yang sedang saling menatap tegang. 

Satu. Sil menatap ke arah Zach yang ada di samping kirinya. Ia sedang bertatapan panas dengan Persona di samping kirinya.

Dua. Sil menatap Persona yang sedang di tatap oleh Zach. Tubuhnya berbalut cokelat pekat dari kepala sampai kaki.

Tiga. Ia menatap ke sebelah kanannya. Persona wanita bemata pelangi dengan perut gendut berlipat yang menatap tajam ke arahnya.

Empat. Ia menatap satu Persona lain yang berpakaian lusuh dengan ukuran tubuh yang tak jauh berbeda dengan si Mata Pelangi. Tubuhnya dikelilingi ratusan lalat dan menyebarkan bau busuk, meski tak terlalu terasa. Sil yakin, asal bau busuk yang menyadarkannya tadi berasal dari wanita ini.

Lima. Ia menghitung dirinya sendiri yang melayang-layang di udara.

Mana yang satu lagi?

Awan di atas sana hanya tinggal tiga lagi. Menandakan bahwa waktunya semakin sempit. Bahwa ia harus segera membunuh satu dari mereka dan segera pergi dari tempat ini.

Di hadapan mereka semua, terhampar sebuah lingkaran yang terus menerus berputar menuju pusatnya. Membuat pusaran dengan makanan dari keenam hutan sekitarnya. Pusaran itu seakan ingin menghipnotis siapa saja yang melihatnya.

“Serang dia dan dia lalat-lalatku!” ucap si Gadis Lalat dengan lantang menunjuk ke arah gadis Mata Pelangi dan Sil bersamaan dengan suara tembakan dari sebelah kirinya. Zach, sedang beradu dengan wanita berlumur cokelat.

Yang benar saja?

“Dia? Zany! Aku Zany Skylark.” Ucap Gadis Mata Pelangi yang bernama Zany sambil memegang sebuah semprotan serangga yang muncul entah darimana. Sil Sendiri segera terbang lebih ke atas. Silianya menangkapi satu persatu lalat dan meremukkannya.

“O ho ho hon~ Comment t'appelles, monsieur? Je m’appele Colette.” Satu tembakan lagi terdengar setelah wanita itu mengucapkan kalimat itu.

Satu hal yang menambah keanehan pulau ini. Walaupun wanita tadi berbicara dengan bahasa yang membingungkan di telinganya. Ia mengerti. Ia tahu maksud dari kalimat wanita itu.

“Kau sangat pintar, Nyonya Colette. Zach. Panggil saja aku seperti itu.” Zach memegang tombaknya dengan santai.

Sil berusaha berkonsentrasi kembali dengan Persona yang menyerangnya. Kini ia punya target pembunuhan. Ia tahu siapa yang harus ia bunuh. Membunuh demi membela diri dapat dibenarkan bukan?

Satu yang Sil yakini, entah apapun itu, hanya satu Persona di sini yang belum sadar sepenuhnya dari pegaruh pulau ini. Gadis bernama Zany terlihat sekali tak bisa berkonsentrasi dengan pertarungannya dan berkali-kali melihat ke pusaran makanan di tengah pulau. Suara hatinyapun sejak tadi mengatakan kalau ia sedang sangat lapar.

Lalat-lalat di di sekitar tubuh Sil semakin banyak. Ia disibukkan oleh kemunculan dari ratusan lalat yang sekarang mengerubunginya. Ia seperti sarang lebah yang dikerubungi para lebahnya sekarang.

“Kalian tak akan bisa apa-apa sekarang. Hahaha...” ucap si Gadis Bau. Sil mau tak mau turun mendekati tanah. Penglihatannya tertutupi ratusan lalat. Ia tak bisa terbang lebih tinggi.

Ahhh ini terlalu berbahaya.

Sil menggerakkan seluruh Silianya menangkapi lalat-lalat yang mudah berkelit itu. Lalat-lalat itu berusaha menggigit daging di tubuh Sil. Namun, gigitan-gigitan itu terasa seperti cubitan kecil saja di tubuhnya.

Mereka hanya bisa mengerubuti Sil sambil berdenging. Ukuran lalat-lalat itu lebih besar dari lalat-lalat di dunianya. Membuat Sil bukan hanya tak dapat melihat sekitarnya, ia juga tak dapat mendengar apa yang terjadi.

Ketika akhirnya Sil mendapat keleluasaan untuk melihat, yang dilihatnya sungguh mengerikan. Di hadapannya, Zany, entah apa yang terjadi, berubah menjadi ratu larva. Tubuh gadis itu dipenuhi larva sementara dirinya masih hidup. Inikah kekuatan gadis itu?

Sementara di belakangnya, Zach dan Colette entah apa yang terjadi, juga dalam keadaan yang tak jauh mengerikannya dengan mereka. Colette, tubuhnya penuh memar-memar biru. Cokelat yang tadi melumuri tubuhnya sudah bercampur dengan remah roti yang menjadi tanah tempat mereka berpijak. Sementara Zach, dengan perut buncitnya, juga sudah luka di sana-sini.

“Hahaha... dia sudah jadi bonekaku. Hahahaha... Sekarang giliranmu gadis tanpa mulut.”

O-ow... Kini Sil menyadari bahaya yang mengancamnya. Larva itu bukanlah kemampuan Zany. Ia menatap pada lalat-lalat yang menyerangnya kembali.

“Serang dia Zany!!” ucap si Gadis Bau pada Zany yang entah kenapa bergerak ke arah Sil.

<Tidak...Kenapa aku jadi menurutinya. Akhhh sakiiittttt...> Suara hati Zany terdengar sampai ke telinga Sil. Membuat ia semakin yakin bahwa saat ini, ia benar-benar dalam bahaya.

[Kau...]
[Apa yang kau lakukan padanya?]

Sil bergidik ngeri ketika melihat buntalan lemak di perut Zany mengeluarkan banyak sekali larva. Larva itu keluar masuk dari dalam tubuh Zany. Mengeluarkan lendir yang sangat menjijikkan.

“Apa?” Ia tertawa sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya,”aku hanya menjadikannya bonekaku.”

Zany bergerak perlahan menuju Sil. Ia bergerak pelan dengan tubuhnya yang gendut itu. Terlalu perlahan hingga Sil bisa dapat berkelit dengan mudah. Gadis lalat masih berada di tempatnya, tak bergerak sama sekali. Ia terlihat sangat kesal dengan apa yang dilakukan oleh bonekanya.

“Tembak dia sekarang!” teriak si Gadis Lalat.

Entah dari mana asalnya sekarang Zany memegang senapan laras panjang dan mengarahkannya ke Sil. Sil mencoba terbang menjauh. Namun satu tembakan dari gadis Mata Pelangi itu mengenai bagian belakang tubuhnya.

Ia memang tidak akan terluka jika terkena senjata tajam ataupun tembakan senapan. Namun Ia merasakan sakitnya sama seperti Persona pada umumnya. Tembakan Zany tadi tak ayal membuatnya jatuh dari ketinggian dan terhempas ke tanah. Ia meringis menahan sakit di tulang belakangnya yang pertama kali mencium tanah itu dengan keras.

“Kau hebat sekali, tak terluka meski ditembak. Sayang lalatku tak dapat menggigitmu. Padahal kau merupakan objek yang bagus untuk jadi bonekaku.” Gadis Bau itu mendekati Sil.

Sil tahu ia dalam bahaya. Ia harus segera bangkit dan melawan. Kalau ia tidak mau mati konyol. Bajunya saat ini sudah compang-camping. Hanya tinggal menunggu waktu hingga gadis bau dapat melihat tato rainbow lotusnya.

Sil mencoba bangkit dari posisinya yang terlentang dengan kedua tangannya sebagai penopang. Namun rasa sakit akibat hempasan tadi benar-benar sangat menyakitinya. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, berharap Zach ada di sana. Ia butuh bantuan.

Namun apa yang ia lihat di luar perkiraannya. Pria itu sudah menghilang. Sebaliknya ia malah melihat tubuh Colette yang tersangkut di salah satu pohon permen mawar. Ia tergantung dengan perut yang tertusuk duri dari pohon tersebut. Darah dan cokelat bercampur jadi satu meleleh dari tubuhnya. Pemandangan yang sangat mengerikan untuk Sil.

Saat ini, hanya ia, ‘boneka’ Zany dan Gadis Lalat yang ada di bagian tengah pulau itu. Senapan laras panjang di tangan Zany sudah berganti dengan pedang panjang yang terlihat sangat tajam di mata Sil. Ia tahu pedang itu tak dapat melukainya, namun tetap saja rasa sakitnya tak bisa ia tahan.

“Ya, bagus! Tusukkan pedangmu padanya Zany!” Gadis Bau itu terus saja berceloteh memerintah bonekanya.

Dengan sekuat tenaga ia layangkan kembali tubuhnya. Zany mengejarnya sambil berkali mengayunkan pedang di tangannya. Dari tubuh Zany, keluar lalat-lalat hasil dari pertumbuhan larva. Sil semakin ngeri melihat setiap lalat itu keluar dari tubuh Zany.

“Matilah kau!” lagi, celotehannya membuat Sil kesal.

Sil terbang semakin tinggi, ia tak bisa terus menerus lari begini. Ia harus membuat rencana. Pertama, ia harus membunuh Zany. Tapi dengan apa? Gadis itu tak punya senjata selain Lotus dan matanya. Jelas kedua senjata itu tak akan mempan dengan tubuh Zany yang sekarang. Tubuh gemuk berisi larva lalat.

Sil berpikir sambil terus-terusan menghindar dari tembakan panah Zany. Ya, pedang itu kini sudah berubah lagi menjadi panah. Setiap kali ia menembakkan satu panah, ia maju beberapa langkah. Hingga..

“AAAAAhhhh.... ” Sil yang sedang ada di atas, terkejut dengan pemandangan di bawahnya.

Zany, tertarik ke dalam pusaran makanan di tengah pulau itu. Tubuhnya tertarik ke bagian tengah pusaran dan timbul tenggelam di antara ribuan makanan. Ketika akhirnya Zany sampai di tengah, tubuhnya tenggelam masuk ke dalam pusat pusaran disertai dengan suara tulang yang meremuk. Tidak sampai sedetik, dari pusat pusaran, cairan kental berwarna merah menyembur.

Baik Sil maupun si Gadis Bau, sama-sama membelalakkan mata mereka. Terlalu mengerikan. Bahkan Dewa itu menciptakan sebuah pusaran makanan yang terlihat indah hanya untuk membunuh Persona yang ia ciptakan?

“Pusaran sial! Kau merusak bonekaku!”

Sil menatap tak percaya pada Persona di hadapannya ini. Ia menyaksikan sebuah kehidupan menghilang dan yang keluar dari mulutnya adalah ‘Sial’? Gadis ini, sama saja seperti Dewa itu, menikmati kesakitan yang dialami Persona lainnya.

“Kakak tahu? Lalatku sebenarnya sudah membunuh satu orang sebelumnya. “Ucap gadis itu menatap sedih ke arah Sil. ”Aku sudah berbalik menghadap Hvyt dan dia menolak kematian Pemuda berzirah itu. Katanya bukan kemauanku membunuh Pemuda itu. Kematiannya tidak diterima dan aku disuruh membunuh seorang lagi.”

Sil tak bisa lagi menatap nanar. Sudah jelas sekali sekarang  kengerian tergambar di wajahnya.

[Kau membunuh Pemuda berzirah itu?]

“Ya. Kalau tidak jumlah lalatku tidak akan sebanyak ini! Sayang Larva di tubuh Zany belum banyak yang ber-metamorfosis. Kalau ia kan lalatku bisa lebih banyak lagi.” Ucap gadis itu riang seolah itu bukanlah hal yang mengerikan untuknya.

[Kau tahu?]
[Kau membunuh?]

“Apa salahnya? Kan kita diciptakan untuk saling membunuh oleh Thurqk. Aku juga diciptakan untuk membasmi monster di Indonesia. Jadi, tak ada salahnya kan? Toh itu memang tugas kita.”

Sil terdiam. Dalam hati ia mengiyakan kata-kata gadis itu. Mereka memang diciptakan untuk saling membunuh di sini. Saling menghabisi nyawa satu sama lain. Tanpa pandang bulu. Tanpa perlu alasan. Sil kini semakin yakin. Ia benar-benar harus mencari tahu mengapa dewa itu menciptakan mereka.

Namun untuk memenuhi tujuan itu, dia harus membunuh terlebih dahulu makhluk kejam di hadapannya ini. Dalam kode etik Revealer company terdapat point di mana para Revealer diijinkan membunuh Persona yang bersalah. Di mata Sil, Persona di hadapannya ini sudah sangat bersalah. Membiarkan Persona lain mati hanya untuk bersenang-senang. Itu adalah kesalahan yang tak termaafkan!

Sekarang Sil hanya butuh tahu, apa yang harus ia lakukan untuk membunuh Persona bau di hadapannya ini. Selain lalat yang ada di sekitar tubuhnya. Gadis ini tidak punya senjata lain. Tubuhnya yang menggemuk pasti memperlambat geraknya. Hal ini terlihat dari dia yang tidak bergerak sejak awal pertarungan. Ia juga berkali menyingkir dari arah tembakan Zany. Kesimpulannya, tubuh gadis bau itu lemah. Sil hanya harus memperpendek jarak dan menempelkan Lotus. Setelah itu, Sil melirik ke arah Silianya.

Aku akan pergunakan Silia-ku.

Sil mencoba konsentrasi mencoba mengeluarkan kembali bunga Lotus di tangan kirinya. Tak berapa lama kedelapan kelopak Lotus muncul. Sil terpana ketika yang dilihatnya adalah kelopak-kelopak berwarna kuning pudar. Terlalu pudar. Lebih pudar dari lotus yang ia tempelkan pada Scarlet.

Yang benar saja? Gadis ini tak melakukan kesalahan besar?

Di saat seperti ini, Sil hanya dapat menyimpulkan satu hal, penerimaan gadis ini terhadap dirinya dan masa lalunya sangat tinggi. Kenyataan ini membuat Sil semakin was-was. Pengaruh lotus tak akan lama. Bahkan terbilang sebentar.

“Kenapa? Kakak takut padaku?”

Sil terdiam. Hanya ada satu cara dan itu harus dilakukan dengan gerakan cepat. Kalau tidak, ia tidak akan menang melawan gadis ini.

Baiklah!

Dengan rendah Sil terbang mendekati gadis itu. Semakin dekat, peciumannya semakin terganggu. Sil sampai sesak nafas karenanya.

“Serang dia!!!” ucap Gadis itu kepada lalat-lalatnya yang langsung menyerbu Sil.

Sekali lagi orientasi Sil hilang. Ia tidak dapat melihat. Beberapa lalat menggigit bagian belakang tubuhnya yang tadi terhempas. Membuat rasa sakit kembali ia rasakan. Ia berusaha keras untuk maju dan membunuh lalat-lalat sebisanya.

<Dia mau ngapain, sih?> Sil mendengar dengan jelas suara hati Persona Bau ini ketika sudah sampai di depannya.

Sil menempelkan sekelopak lotus pada pelipis Gadis Lalat itu. Si Gadis Lalat sempat bengong sebentar mendapati tangan Sil menempel di dahinya dan dengan segera ia memukul perut Sil. Membuat Sil terdorong ke belakang dan terhempas kembali ke salah satu pohon di belakangnya.

Sakit dari dalam tubuhnya menguak kembali. Ini sangat berbeda dengan pertarungan sebelumnya di mana ia hampir tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Kali ini tubuhnya dua kali terhempas. Rasa sakit kini terasa sangat nyata.

Dilihatnya Lotus sudah beraksi. Gadis itu mulai meracau tak jelas di hadapannya. Ia tahu, efektifitas lotus itu akan sangat sebentar. Dengan tertatih-tatih, Sil mendekati Gadis Bau itu. Ia sudah tak tahan lagi. Sakitnya sampai di otaknya. Membuat jalannyapun terhuyung.

Gerakkan Silia-nya perlahan mendekati leher si gadis, dengan sekali sentakan, Silia itu mencengkeram leher Persona itu dengan kuat. Gadis lalat itu mendelikkan matanya. Menjulurkan lidahnya mencoba untuk membuka saluran pernapasannya yang tertutup. Mencoba menarik napas melalui hidungnya yang tak menghasilkan apa-apa. Hingga akhirnya ia mengejang hebat. Tubuhnya tak bergerak lagi.


* * *

Sil menarik napas panjang sebelum akhirnya ia melayangkan tubuhnya yang kini terasa berat karena rasa sakit. Ditatapnya tubuh Colette dan Gadis Lalat yang sampai saat ini tidak ia ketahui namanya. Tubuh-tubuh itu terlihat tak berdaya. Lalat-lalat yang ada di pertarungan kini mengerubungi keduanya. Menjadikan mereka inang demi memproduksi generasi selanjutnya. Larva bertebaran kemana-mana. Membuat siapapun yang memandangnya jijik menahan muntah. Bagian tengah pulau yang berisi makanan itu kini dipenuhi dengan larva.

Sil mengarahkan pandanganya ke depan, tengbang meniti Silia yang tadi sengaja ia ikat pada Hvyt-nya di dermaga. Berharap Silia itu menuntunnya segera untuk keluar dari pulau ini. Bahkan setelah membunuh satu Personapun tak membuat rasa lapar di perutnya berkurang. Justru sekarang ia semakin lapar.

Rasa lelah, sakit dan lapar ditubuhnya menjadi satu. Harapannya cuma satu, segera keluar dari pulau ini. Namun harapannya pupus ketika melihat ikatan Silianya berujung di salah satu tanaman Ovali yang tadi ia makan.

A-Apa yang terjadi? Kenapa hanya sampai sini.

Badannya sudah lelah karena harus melawan Nurin dan Zany. Rasa sakit di seluruh tubuhnya yang sempat menghilang kini muncul kembali. Rasa takut mengawasinya. Muncul perlahan lalu menguak sampai ke pemikirannya. Ia takut. Ia takut jika harus terjebak di pulau ini. Ia takut jika ia tidak dapat keluar. Ia sangat takut.

B-Bagaimana ini?

Menangis. Sesuatu yang sudah sangat lama tidak ia lakukan. Sil terduduk di samping pohon sambil membuka simpul Silianya. Tubuhnya melemas. Ia gemetaran. Sementara awan yang terdapat di langit hanya satu dan semakin kecil ukurannya.


Apa yang harus kulakukan sekarang?

Sil menutup wajahnya. Menarik napas perlahan untuk menenangkan diri. Ia tak bisa melakukan apapun dengan pikiran kalut seperti ini. Sil mencoba berdiri. Ia ingat-ingat jalan yang ia lalui menuju tempat ini.

Godaan untuk memakan buah Ovali sangat besar. Tetapi ia tak mau menyentuh buah itu. Sekalipun buah itu sangat lezat rasanya. Sekalipun saat ini ia sedang sangat lapar. Tidak! Ia tak mau terjebak untuk kedua kalinya.

Sebaiknya aku lewat udara.

Sil menghentakkan kakinya melayang menuju arah datangnya. Sengaja ia melalui jalur udara untuk menjauhi buah Ovali yang ada di sepanjang jalan setapak. Samar-samar ia melihat sayap hitam terkembang di atas hitam putih lingkaran yang terapung. Ia sangat yakin itu Hvyt yang mengantarnya. Tak terkira betapa ia sangat lega menatap sayap hitam itu. Ia mempercepat laju terbangnya. Ia tahu, kini ia bertarung dengan waktu.


* * *

“Selamat nona, Silia. Anda berhasil mengalahkan diri anda sendiri.”

Hvyt mengatakan itu dengan suara tenang. Ia menatap tubuh lelah gadis di hadapannya. Gadis itu terlihat jauh berbeda dengan gadis yang ia antar sebelumnya. Penampilannya sungguh berantakan. Rambutnya acak-acakan. Bajunya robek sana dan sini. Bandonya entah terbang ke mana. Bulu-bulu di pinggiran gaunnya telah menjulur panjang mungkin tersangkut pepohonan saat bertarung. Dan terlihat jelas, gadis itu baru saja.. menangis.

“Bagaimana pengalaman anda di pulau ini, Nona? Menyenangkan?”  Ia tersenyum begitu melihat kedua alis gadis itu tertaut bersamaan dengan Silia-nya yang bergerak.

[Pulau ini mengerikan!]

“Sebenarnya pulau ini diciptakan Dewa untuk menguji, Nona. Menguji makhluknya akan kerakusan. Makhluk yang rakus akan dengan senang hati menuju bagian tengah pulau dan langsung memakan makanan yang ada di pusaran itu tanpa memikirkan bahayanya.” Ia terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan,

“setiap makhluk memiliki ujian yang berbeda. Khusus untuk Nona, ujiannya adalah melawan hawa nafsu untuk tidak terlalu memilih makanan dan mengendalikan kerakusan nona sendiri. Seperti nama hutan tempat anda bernaung, Studiose.” Ucapnya dramatis.

Terlihat di matanya Silia gadis yang sudah kelelahan itu bergerak membentuk kalimat sederhana.

[Lalu,]
[mengapa kau pindahkan ikatan Silia itu?]

Hvyt tersenyum. Ia tahu, pasti sangat mengesalkan begitu tahu hampir semua rencanamu berantakan.

“Dewa Thurqk yang memintaku memindahkannya kesana.” Ucapnya dengan tenang dengan tersenyum lembut.

[Kenapa?]

“Agar pertarungan ini tidak membosankan.”

Gadis itu menatap jijik ke arahnya. Seiring dengan jatuhnya gadis itu. Dengan sigap ia menangkap tubuh si gadis. Kesadaran gadis itu hilang. Hvyt tahu gadis ini hanya pingsan sesaat. Hvyt hanya tersenyum. Ia lega mendapati gadis ini sampai di dermaga dengan selamat kendati tubuhnya mengalami kelelahan yang sangat.

Ia tahu, gadis ini mulai mengetahui betapa mengerikannya Sang Dewa dan apa akibatnya jika melawan perintahnya.

Ia kembali tersenyum. Ya... Makhluk ciptaan Sang Dewa memang selalu bergitu. Hanya takut ketika merasa terancam. Hanya menurut ketika dibuat takut. Hanya mengerjakan perintah-Nya ketika neraka dipampangkan dengan jelas di hadapan mereka.

Terlalu sok berani. Terlalu sok suci. Namun pada akhirnya ciut hati dan ketakutan juga.

Hvyt mengangkat tubuh kecil itu dengan kedua tangannya. Meletakkannya tepan di depan dada bidangnya. Dengan satu kepakan sayap, iapun kembali terbang membelah belantara Nanthara.

Ia tersenyum. Ketika di antar gadis ini dalam keadaan tidak sadar. Ketika di jemputpun ia tidak sadar. Benar kata Dewanya. Gadis ini.... Spesial.

* * *

16 comments:

  1. Saya baca Sil bingung di part pertama kenapa Zach ampe begitu.....
    cuman disebut di satu kalimat kalao gak salah
    dan saya juga kurang suka battle Nurin dan Rex yang offscreen sama matinya Zany yang cuma "gitu aja"(mungkin karena Sil bukan battle type)
    tapi saya suka gaya bahasa author, dan pace story yang saya pikir pas menjadikan story ini enak dibaca..

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. hemm.. boleh tahu kakak Rayan, maksudnya begitu itu gimana yah (^.^)" Umi juga bingung kak Rayan bingungnya dimana :3

      Batle-nya Nurin sama Rex offscreen, actually Nope :3 Rex kan emang mati karena lalat-nya Nurin. ada kok dijelasin. di atas-atas tapinya :3

      dan yes, Sil tipe petarung yang ga ribut, prinsip berantemnya dia itu silent battle :3

      Zany matinya gitu aja? gomeeeennnnnn :3

      terima kasih sudah membaca >.<

      Delete
  2. Kurumizawa Ume10/5/14 23:06

    saya udah baca-baca, tapi masih binguung :3

    ReplyDelete
  3. ==Riilme's POWER Scale on SilentSilia's 2nd round==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B+
    Engaging battle : B
    Reading enjoyment : B
    ==Score in number : 7,2==

    Sebelum komentar, saya pengen bilang saya seneng sama satu hal ini : semua entrant jadi genduuuuut >_<

    Nah, sekarang soal isi ceritanya sendiri. Saya bingung, entah kenapa lebih lancar baca r1 Sil ketimbang ini. Ini masalah preferensi, tapi kayaknya banyaknya deskripsi atau paragraf ga pendek menurunkan kecepatan membaca saya, hahaha. Terus, kok saya malah jadi ngerasa semua karakter terlibat malah kayak plin-plan ya soal makanan? Tapi emang pulaunya begini sih ya.

    Rada menyayangkan Rex mati tanpa disebut nama selain 'orang itu', bikin kematiannya kerasa kurang jelas (cmiiw kalo saya salah orang). Satu lagi komplain saya, Colette yang ngomong full French beneran bikin ga ngerti nih orang ngomong apa sih sepanjang cerita.

    Sebagai penutup, saya jadi senyum juga tiap dibilang 'gadis ini spesial karena masih mencari Tuhan'. Karena Ummi nekenin ini, saya malah kepikirannya 'ah, sebenernya semua juga spesial kok, kalo ngga ga akan diambil jadi peserta sama Thurqk' #plak

    ReplyDelete
    Replies
    1. >.< wkwkwk, Iya semuanya harus gendut.. karena kurus itu terlalu mainstream :3

      Umi juga nyesek kok kak, abis post baca lagi, emang entah kenapa berasa berat bacanya dan lama *orz,

      dan emang Umi sebenarnya pengen nekenin, Rex, Zach itu makan bukan karena mereka yang mau, tapi full karena efek pulau. Soalnya mereka berdua karakter 'mewah' jadi penahananan dirinya cukup bagus,

      kalau Nurin sama Zany, karena mereka termasuk yang susah ngatur diri untuk ngeliat makanan, mereka jadi super rakus disini.

      sedangkan Colette, yahh.. dia itu termasuk karakter yang, ehmm... Elit? jadi Umi mikinya dia beneran harus ditunjukin sisi elitnya :3

      dan Sil,, ah lupakan dia. cerita udah cukup menjelaskan kenapa dia begitu :3

      Soal Rex, ew.. emng berasa off screen banget ya kak, matinya si Rex? Umi pengennya bikin kematian Rex jadi alasan kuat kenapa Nurin punya lalat banyak *orz...

      gomen soal coco *orz T~T

      wkwkwkwk... for the sake of canon.. this is for the sake of canon kak >.<

      Delete
  4. narasinya tebel tebel..orz bikin saya terpaksa skip sebagian karena ada bagian yang bikin pace baca jadi tersendat..

    Kenap semua orang bikin Rex mulai ucapannya dengan kalimat 'neneku pernah berkata..' orz padahal itukan cuma kutipan di saat2 tertentu aja, dan matinya juga menjijikan...

    battle ini intinya kebanyakan peserta matinya bukan karena pertarungan tapi karena efek pulau ya, mengerikan sekali...

    saya kasih nilai 7/10 karena Rex mati tanpa dapet adegan keren, huh!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaaa >.< maafkan Umi yanng bikin deskrip kepanjangan *orz. Umi lupa petuah kakak dulu~

      Entah kenapa lucuuu ngebayangin Rex pake catchphrase itu.. jadi Umi ga mau bikin daya tarik itu ilang. A-abisnya Rex doang yang cocok dikenain efek forente (makan dengan liar) jadinya Rex yang kena matinya kayak gitu *orz

      hu-umh, pada mati karena pulaunya bikin horor.

      wkwkwk, iya maaf lagi, karena Rex ga dapet adegan keren >.< Umi lagi sebel sama cowok cakep macem Rex sama Zach sih, jadinya Umi bikin mereka kalo ga matinya jelek ya menangnya memalukan XD

      Delete
  5. R2 jauh lebih baik dari R1.

    tapi benar bikin capek, dan bikin bingung di dialog si Collete.
    either way, jalur cerita utama si sil ini gak sempat ke Jagatha yah?

    yang saya acungin jempol di Ceritamu adalah "hook" yang sepertinya hanya ada di beberapa cerita veteran.

    yaitu "apa maunya Thurkey dengan turnamen ini?"

    Final Verdict: 7.7

    ReplyDelete
    Replies
    1. wogh serius kak? o.O >.<

      hehehe, iya maap, Umi lupa soal paragraf panjang *orz

      Sebenarnya sempat ke Jagatha kok kak :3 Sil bilang kan dia sempat makan buah Rachta abis dari dunia Collin sebelum tidur.. Sil ini tipe yang kalo tidur kebo. jadi ga kebangun :3

      tentang "hook" Umi pengen majuin motivasi Sil dari ronde ke ronde, makanya tetep ada yang nyambung. :3

      makasih kakak udah baca >.<

      Delete
  6. entry kedua :3

    setelah sekian lama, akhirnya saya baru tahu kalo sil ga punya mulut >_<

    oke, lanjut...

    narasinya bagus, walaupun (entah kenapa) saya lebih senang baca R1 kak umi. alurnya secara umum bagus, walaupun terasa agak datar di tengah2 (mungkin gara2 mereka makan2 ya?). saya justru lebih suka ama penutupnya. paragrafnya agak panjang, lebih banyak soal deskripsi dibanding dialog --> atau gara2 sil ga bisa ngomong ya ><

    overall, ini cerita yg bagus. saya kasih 7.5 ya...

    ReplyDelete
  7. Hmhm... pertama2 gw bakal bilang: narasinya bagus, ga bikin cape dan gw jarang avert eyes.
    apa ya.. gw ngebaca Sil ini kayak baca cerita yang ngalir natural. di depan doang tapinya. begitu dah mulai masuk battle, gw agak kaget karena seujug2 si Nurin attack. gw ga ngerti gimana cerita si Nurin bisa lewat gitu aja dari godaan Lust... eh Gluttony ni pulau.

    wait bentar, Rex mati ama Nurin kan? jadi ada flash back gt si Rex ketemu sama si Coco dan grepe2 Mime satu itu? kok mendadak gw gagal paham ya? >.<

    well, gw nilai R2 Sil 8/10 karena satu pertanyaan yang bikin gw bingung barusan. andai identitas si orang itu dijelaskan, mungkin gw bakal bisa lebih OOOOH~


    ReplyDelete
  8. battlenya emang biasa aja sih kak, tp suka krn smua jd gendut, perangkap pulaunya jg bagus kak, terutama plg suka romance(?) sil sama hvyt #plok x3
    nilai 9 :)

    ReplyDelete
  9. Entah kenapa pace baca saya jadi lambat banget di sini.

    Biar lebih mudah, saranku mending fokus ke satu atau 2 karakter aja battlenya. Ah, memang susah sih menurutku bikin porsi yang pas untuk karakterisasi dari beberapa karakter dan pertarungan di sebuah cerpen. Antara kepanjangan kisah karakter dan mengorbankan battle, atau kepanjangan battle dan mengorbankan kisah karakter. Untuk cerita satu ini, battle terlalu singkat hingga bikin ceritanya jadi agak draggy.

    Selain hal di atas, saya ga ada masalah sama tulisan ini~

    Score 8

    ReplyDelete
  10. Anonymous28/5/14 07:23

    Klo dr yg kuliat, gaya penceritaan Mbak Umroh emg lebih ke drama atau sehari2. Tapi krn konsep karakternya keren, jadinya cukup pas meski harus battle. Walaupun emg di bbrp bagian masih kerasa ada adegan atau dialog yg bisa dipotong. Kemampuan Sil sendiri jg digambarkan dgn baik.

    Cuma aja, porsi tarung Sil jadi agak kurang dinamis, krn nggak ada liku2 kejutan di tarungnya. Di sini Sil yg biasanya menelanjangi mental lawan, skrg malah nemu lawan yg udah kerasukan efek pulau, tempel lotus, dan menang. Pas lawan Nurin jg hampir sama, pdhl minimnya efek lotus ke Nurin mestinya bisa ngasih hambatan tersendiri yg bakal keren utk perkembangan Sil, tp ternyata Nurinnya jg gak tlalu jd ancaman berarti buat Sil.

    Nilai dariku 7

    - Po

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -