Pages

May 12, 2014

[ROUND 2 - THVR] LAZUARDI - SAFIR

[Round 2-Thvr] Lazuardi
"Safir"
Written by Po

---

Kubangan

Apakah itu, yang mampu meminyaki lipatan lekuk tubuh seorang wanita hingga menggelinjang murahan?

Apakah itu, yang mampu menggelincirkan seorang raja dari singgasana emasnya?

Apakah itu, yang mengumpankan segala nikmat, namun menjarah bumi dalam peperangan?

Apakah itu, yang sanggup mewarnai sebentuk wajah hampa dengan kerinduan namun juga keputus-asaan?

Itulah nafsu. Api itu, bagaikan telaga yang menambah haus siapa pun yang mencicipinya, untuk diminum dan terus diminum.

Hingga dunia akan mencampakkan peminumnya dalam kubangan nanah.

---

Dari Planet Earnut menuju pulau gersang Cachani Vadhi. Lazu terduduk kelelahan di tanah merah setelah dijatuhkan dengan kasar oleh malaikat bengis. Beberapa kerikil tajam tertancap nyeri melukai lengan birunya.

Dan kemudian sebuah layar holografik raksasa terpampang di udara. Memperlihatkan sebelas makhluk yang Thurqk katakan mengecewakan.

Thurqk menghina sebelas tokoh itu. Mereka semua menyerbunya. Tapi selanjutnya yang terjadi hanya pembantaian. Dalam acungan telunjuk dan raut wajah yang tak acuh, semua penyerbunya meledak hancur menjadi sisa-sisa daging dan remukan tulang yang bertebaran di sepanjang dataran di bawah telapak kaki Thurqk yang membaja.

Itulah contoh dari akhir yang akan diterima oleh mereka yang tak mampu menghibur Sang Dewa. Lazu merasa pandangan Thurqk menembus layar itu dan menembus tubuhnya. Seolah mengatakan bahwa dia adalah yang berikutnya.

Hanya beberapa tarikan napas berselang sebelum sosok malaikat merah lain menyeret tubuh kecil Si Matoi, mengikatnya ketat dengan rantai tulang putih.  Lazu mencoba berontak, tapi tubuhnya lemas dan bergidik akibat pertarungan yang baru saja lewat. Ia hanya bisa mengeluh,

"Lepaskan aku...tolong..."

"Rantai ini diberkahi oleh Dewa Thurqk. Semakin kau berontak, semakin keras dia mengikatmu."

Sang raksasa merah memanggul Lazu di bahunya, membungkukkan badan, kemudian lepas landas dengan sayap hitamnya. Lazu menahan napas saat angin kencang menampar-nampar tubuhnya yang terbungkuk paksa dalam kelung rantai.

Panggulan si raksasa merah sangat kuat, namun makhluk besar itu terbang melintasi celah-celah sempit antara perbukitan batu. Permukaan karang merah mendekat dengan sangat cepat akan menghancurkan kepalanya!

"Aaaaa!!"

Lazu memejamkan mata kuat-kuat atas kenaasannya. Namun Hvyt hanya bermain-main. Sesaat kemudian, si raksasa merah mengelak lincah dan membetot Lazu bersamanya, menyelamatkan Lazu dari tabrakan maut dengan jarak hanya sejengkal antara kepala lunaknya dengan permukaan cadas. Lalu terbanglah dia semakin tinggi dengan Lazu  tergantung-gantung lemah pada ikatan rantai, terbang semakin cepat dan semakin jauh, Sampai angin yang panas berubah sejuk dan sampai awan kemerahan di sekitar mereka berubah warna menjadi putih.

Mata Lazu masih terkatup, namun perlahan bertambah rileks saat angin sepanjang kulitnya berubah sepoi-sepoi.

"Pulau Tujuh Dosa."

Mendengar suara Hvyt, Lazu membuka matanya. Jauh di bawah mereka, di bawah barisan awan,  terhampar gugus kepulauan berbagai warna. Pulau-pulau itu tampak kecil berkerumun, dengan variasi topografi yang berbagai macam.

Pulau berdinding bagai labirin raksasa. Pulau yang berkilauan warna-warni seperti tersusun atas batu mulia. Pulau yang menebar bau harum makanan yang bahkan dapat tercium dari langit.

"Ti...tinggi sekali!" Lazu berucap di tengah kencangnya angin dan birunya langit, takut namun mau tak mau juga kagum, atas kreasi Sang Dewa.

"Bila ingin selamat, bunuh minimal satu peserta lain. Lalu kembali ke titik awal tempat aku menjatuhkanmu. Batas waktu: sepuluh jam."

Termangu oleh pesona gelap kepulauan di bawah sana, Lazu tak begitu memperhatikan kata-kata Hvyt. Namun lain ceritanya saat Hvyt mengayunkan ikatan rantai di tubuhnya sampai melonggar dan lepas sama sekali tanpa pegangan.

"Ng...tadi kau bilang...menjatuhkan?"

Tubuhnya menggantung bebas di udara untuk sepersepuluh detik yang sangat lama. Lalu bagai ditarik sekuat tenaga oleh bumi,

"AAAAaaaaa!!!"

Si Kecil Biru menukik bagaikan misil liar lepas kendali, menembus atmosfer searah undangan gravitasi yang tak pandang bulu.

Jatuh, jatuh, dan jatuh.

Mulut dan mata Lazu terasa perih dan kering akibat kencangnya angin.

Jatuh, jatuh, terus jatuh.

Dataran luas itu semakin dekat menyongsong Lazu. Puncak-puncak tiang bertambah besar memenuhi lapang pandang dalam dua kedipan mata, lalu secepat itu pula menghilang karena terlewati.

Tanpa aba-aba, seluruh tubuhnya menghantam permukaan putih dengan empuk!

....Dengan empuk?

Dalam momen menentukan itu Lazu masih menganalisis,

"Permukaan putih yang sempat kulihat tadi seperti membentuk helaian. Dibandingkan dengan fleksibilitas ini yang memberikan inersia dan perlambatan gerak ekstrim namun tanpa efek bentur solid,"

Lazu memberanikan diri membuka matanya sedikit,

"bahan serat yang paling sesuai untuk interior struktur yang sedang kutimpa ini sesuai dengan..."

sambil menyisir kemungkinan di benaknya.

"Wol. Bulu domba. Kesimpulannya adalah....kasur?"

Tubuh Lazu yang kenyal semakin membal-membal di atas sebuah kasur tertutup satin putih, ranjang yang ukurannya menyamai sebuah pondok.

Sedetik kemudian, sebuah lingkaran cahaya muncul di ranjang tempat Lazu berbaring. Lingkaran cahaya itu bertuliskan namanya, Lazuardi.

Lazu pun paham akan perintah Thurqk yang disampaikan lewat Hvyt tadi. Untuk lolos, bunuh satu petarung lain. Lalu kembali ke titik awal di ranjang ini, yang berupa lingkaran cahaya dengan namanya.

Titik awal. Lazu melihat ranjang itu. Halus berhias lingkaran cahaya. Ia tahu hal pertama yang harus ia lakukan.

---

Lazu dapati puluhan ranjang empuk besar, seperti yang tadi ditempatinya, tersebar di seantero padang rumput. Diselingi tiang-tiang putih berukiran renaisans yang sekedar berdiri menyangga udara, dilalui semilir angin, Lazu merasakan kenyamanan yang bahkan melebihi laut tempat asalnya.

Si Matoi melihat lebih jauh. Sebuah bukit berbentuk kerucut terpancang beberapa mil di sebelah tenggara. Terlihat jelas oleh Lazu, karena tak ada lagi pohon, tebing, atau bukit lain di seluruh pulau ini yang setinggi struktur tersebut

Si Matoi Kecil berjalan, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan makhluk hidup. Langkah kecil itu menggesek rumput pendek setapakan jalan kecil pada sisi bukit hijau yang tegak mengayomi.
Di sebuah pelataran kecil dengan tiang-tiang putih, Lazu melihat dua sosok tinggi langsing. Tubuh mereka berlenggok centil, nyaris tanpa pakaian sama sekali. Lazu menatap wajah-wajah mereka, bola mata mereka berwarna emas mempesona.

Sebuah sensasi liar mulai menyesakkan dada Si Matoi Kecil. Ketika menatap wajah sosok cantik di hadapannya, Lazu menyadari hal yang sama sekali tidak logis. Para bidadari berwujud manusia, betapa pun cantiknya, semestinya tak pernah bisa menimbulkan pesona seperti apa pun untuk Lazu yang berasal dari spesies yang sama sekali berbeda.

Tapi kenapa Lazu merasakan sensasi hangat dan bergetar di bagian perut bawahnya? Kenapa pembuluh internalnya berdenyut-denyut tak karuan seperti hendak mengajak kawin para bidadari di hadapannya? Lazu mengalihkan pandangan ke bidadari satunya lagi. Hal yang sama kembali muncul. Seakan perhatian Lazu hanya terfokus pada wajah dan keindahan tubuh dari sosok yang sedang ditatapnya.

Bola matanya terisi kabut merah misterius, tanda sebuah sihir pesona yang hebat sedang mempengaruhinya.

Lazu tersenyum pada salah satu bidadari. Si wanita tersenyum balik dengan bibir merah muda yang sempurna, kemudian setengah menunduk hingga kepala mereka berada pada tinggi yang sama dan bibir mereka berjarak sejengkal satu sama lain.

Lazu bisa mencium aroma napas wanita itu, lebih wangi dibanding lavender, dan ia tak bisa melepaskan tatapannya dari bola mata emas sang bidadari. Sang bidadari membuka mulutnya perlahan dan keluarkan lidahnya hingga tepat sesenti di depan rongga mulut Lazu, air liur berbuih yang menggenang di lidah itu kental dan harumnya seperti susu yang sangat manis.

Lazu merasakan tubuhnya menggigil dan seperti akan meledak. Seperti sebuah refleks, kedua tangannya yang biru menggenggam kedua sisi kepala sang bidadari yang sedang menunggu. Tapi seperti ada yang berteriak-teriak dalam kepalanya. Teriakan itu panik dan menekan isi kepalanya.

Premis menunjukkan pesona interspesies ini tidak logis! Premis menunjukkan gairah ini serupa racun atau mantra!

Mata Lazu berpendar terang, saat itulah alur logika dan analisisnya menerobos gumpalan hasrat kebinatangan. Si wanita menunggu diperkosa. Namun kemudian cengkeraman Lazu pada dua sisi kepala si cantik itu, bertambah kencang.

"Pongio!!"

Cairan tubuh sang wanita terhisap ke dalam tubuh Lazu. Satu liter, dua liter, tiga liter, delapan liter. Tubuh si wanita berubah keriput seperti nenek-nenek. Lazu merasakan dorongan seksual yang dialaminya hilang. Si bidadari keriput jatuh ke tanah seperti onggokan sampah dengan mata membelalak.

Bidadari yang satu lagi kaget luar biasa dan melarikan diri. Lazu melirik sekilas pada wanita yang menjauh, ketertarikan seksual kembali melanda Si Matoi, namun kali ini logikanya sudah sangat tahu apa yang tubuhnya harus lakukan. Ia melepas tatapan dari bidadari yang berlari menjauh itu, dan gairahnya kontan hilang.

Kini hanya ada dia dan si wanita keriput. Lazu menyilangkan tangan di belakang punggung dan berjalan pelan mengelilingi tubuh lemah itu seperti menghakimi.

"Begitu bentuk fisikmu berubah dari penyakit, usia, atau kehilangan komponen tertentu, keadaan hipnotik yang menjangkitiku musnah. Berarti ada sihir pemicu gairah di sini, dalam dirimu, dan mungkin di seluruh pulau ini, yang hanya akan aktif dari tangkapan visual dan hanya aktif selama bentuk tubuh kalian tidak berubah."

Lazu menarik napas dan menunduk sambil menggenggam tangan sang bidadari.

"Baik sadar atau tidak sadar dengan kemampuan ini, keberadaan makhluk bidadari sepertimu  menjadi faktor distraktif mematikan bagi Para Terpilih yang dipaksa saling bunuh oleh Dewa Thurqk. Bila di pulau ini banyak makhluk sepertimu, pemecahan terbaik adalah meminimalisir kontak mata dan memancing agar para petarung lain melakukan kontak mata selama dan sebanyak mungkin dengan makhluk bidadari sepertimu. Bila ini adalah salah satu dari Pulau Tujuh Dosa, seratus persen probabilitas mengarahkan Pulau ini adalah Pulau Nafsu Birahi. Reaksi terperinci yang kualami secara identik saat melihatmu dan melihat temanmu tadi adalah bukti penyokong terkuat."

Lazu melakukan amputasi natural terhadap satu jarinya sendiri. Meski sakitnya bukan kepalang, tapi ia tahu pasti bahwa jumlah cairan yang baru saja diserapnya dari sang bidadari, lebih dari cukup untuk memperpanjang hidupnya dan mengkompensasi kehilangan cairan akibat luka amputasinya.

Dan jari yang putus itu bergerak seperti cacing memasuki lubang hidung sang bidadari. Menyusup ke rongga-rongga di tulang kepalanya. Mencapai, melapisi, mengakses struktur otak makhluk yang tadinya cantik tersebut.

"Akses area fungsional korteks otak besar: penyimpanan memori visual dan asosiasi. Tunjukkan pemetaan pulau Thvr. Tunjukkan titik-titik tempat berkomunal para bidadari."

Beberapa saat berlalu.

"Akses semua memori yang diklasifikasikan sebagai rahasia, mitos, legenda."

Berbagai kejadian dalam otak sang bidadari, berpindah ke jari parasit Lazu. Lazu pun terhentak saat bermacam informasi memenuhi pengetahuannya dengan sesuatu yang baru.

---

Pulau ini bernama Thvr. Pulau ini disinggahi oleh bidadari dan bidadara. Dalam diri setiap bidadari dan bidadara, terdapat sihir yang akan memicu birahi tiap makhluk yang datang. Entah dengan cara apa. Tapi sumbernya, ada.

---

Apakah itu, yang menginjak lumat semua alasan

Meracik, menanduk, menggumul nuansa hatimu sekeinginannya?

Apakah itu, yang mampu menundukkan manusia, monster, dan setan yang melata di dunia?

Apakah itu, yang memikat hatimu tiada dua?

Tersimpan jauh dalam rongga bukit Undak Ulir

Di bawah hijau Tetanah Syahwat Satha Pragathak

----

Pemandu

"Ma-makhluk apa kau?" Lazu terperanjat. Setelah jari parasitnya keluar dari hidung sang bidadari dengan membawa informasi peta pulau Thvr tanpa memakan tubuhnya, setelah jari itu menyatu kembali dengan tangan Lazu, setelah ia meninggalkan sang bidadari di sebuah danau untuk minum agar memulihkan kadar air tubuhnya, dan lima belas menit berjalan tanpa menemui satu makhluk pun,

...kini di depannya ada sebuah boneka kayu dengan ikat kepala, tinggi besar dengan sendi-sendi kayu yang nampak kuno.

"Kau yang makhluk apa!?" boneka kayu justru membalas bicara lebih keras. "Perkenalkan dirimu dulu sebelum menanyakan nama orang, bah!"

"Namaku Lazu!" Si Matoi langsung menjawab, "Badanku kecil...kau makhluk kayu?"

"Bukan!" Boneka kayu mendengus marah, "Aku adalah Manggale, roh pangeran batak yang mempesona. Aku di sini demi kehormatan, demi kejayaan tanah batak, demi cinta, dan demi..."

"Demi cinta? Kudengar di sini ada yang cantik-cantik lho."

"Ah? Benarkah? Dari wujudmu yang aneh...bukankah kau juga adalah peserta pertarungan tidak jelas ini? Kau tahu?"

"Pertarungan apa ya..." jawab Lazu pelan-pelan sambil mencari susunan skenario dialog. "Ah...aku tahu...pertarungan atas perintah Dewa Thurqk, bukan?"

"Nah itu dia, betul kau!" Manggale mengiyakan. Tapi dari jawaban makhluk biru ini... "Kau bukan peserta?"

"Bukan!" Lazu cepat-cepat menggeleng. Nada suaranya agak terlalu panik, sedikit terlalu keras.

"Jadi kau siapa?"

"Apa Malaikat Merah tak memberitahu padamu? Aku adalah pemandu wisata para peserta!" Lazu menemukan argumen. "Khusus untuk keluarga kerajaan, terdapat paket spesial berupa kunjungan ke keluarga bidadari ningrat, Famili Tuplaktubleng!"

"Namanya kok aneh sekali wew..."

"Jangan pernah meremehkan Famili Tuplaktubleng!" Lazu berusaha terlihat melotot tersinggung, "Meski nama keluarganya tak terlalu indah didengar, tapi banyak keluarga raja yang tergila-gila pada mereka. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Untuk ukuran pangeran, Anda terhitung cukup unik dengan tubuh kayu itu...jadi...mungkin saja..."

"Mungkin saja apa?" Manggale kembali bertanya penasaran, memajukan wajah kayunya mendekat ke Lazu.

"Puteri tercantik kerajaan bidadari adalah penyuka patung-patung kayu artistik...jika beliau tahu bahwa ada patung kayu yang hidup, berpenampilan necis, dan ternyata adakah pangeran pula, maka sulit kubayangkan akan seperti apa terpesonanya dia..."

"Apa?!" roman muka kayu Manggale mulai berubah. Nada bicaranya menjadi cempreng dan aneh.

"..Sebenarnya aku tak boleh mengatakan ini...tapi jangan sampai Anda bertemu dengan puteri bidadari tercantik itu...Aku takut Anda takkan bisa kabur dari beliau sekalipun Anda mau...bisa-bisa Anda diperkosa seumur hidup..."

"Diperkosa seumur hidup?!" lidah boneka Manggale terjulur dan terengah-engah seperti anjing kehausan. Wajahnya menunjukkan nafsu birahi yang sulit ditahan.

"...dan berbagai lubang di tubuhnya akan me.."

"Berbagai lubang!? Hai Pemandu Wisata, kau harus antarkan aku pada puteri bidadari tercantik itu!" Manggale mengangkat dagunya penuh gaya, "Ini perintah dari Manggale, roh pangeran batak. Jelas?"

Lazu menunduk khidmat sambil menahan urgensi untuk tertawa,  memiringkan mulut, atau keduanya. "Baik, Pangeran Manggale."

---

Lazu dan Manggale mencari-cari. Sebagai "Pemandu Wisata", Lazu berada empat meter di depan. Dari informasi dalam DNA bidadari yang sudah diperolehnya, Lazu mendapat informasi dan peta pulau ini di ingatannya. Tempat-tempat berkumpulnya bidadari dalam jumlah paling besar.

Setelah menaiki sebuah tebing terjal, mereka tiba di tempat itu, tempat yang Lazu incar. Sebuah lembah curam dengan puluhan bidadari ayu yang hanya memakai kain putih sebagai syal dari leher ke punggung dan tanpa apa pun lagi. Makhluk-makhluk sensual bersyal putih berlalu lalang, bercengkerama, saling berpelukan mesra, dan menggigiti telinga satu sama lain.

Tapi di sinilah Lazu mulai melaksanakan rencana. Bila ia sudah terlanjur terjerumus dalam kekangan Thurqk, ia harus berusaha untuk lolos.

Melihat sekilas warna-warna baju para bidadari, Lazu susah payah menghindari menatap wajah-wajah mereka. Dia sudah jera sejak pertemuan pertamanya dengan bidadari bermata emas.

Dan dia akan melaksanakan rencana yang paling simpel: dia tinggal menunjuk dan membuat pandangan Manggale fokus kepada satu bidadari, dan Manggale akan terkena sihir pesona. Dan bidadari yang Lazu tunjuk, itulah yang akan menerima peran sebagai "Puteri bidadari tercantik Famili Tuplaktubleng".

Tapi cara apa yang paling efektif?

"Wahai Pemandu Wisata!" suara Manggale terdengar dari belakangnya. Boneka kayu tersebut sudah akan melihat pemandangan seksual ini. Celaka. Lazu harus memutuskan cepat. Sebelum Manggale terpesona pada sembarang bidadari.

Tapi jurus kemudian, Lazu melihatnya. Seorang pemuda. Pakaiannya hitam. Berbeda dari semua bidadari yang berpakaian putih. Pasti adalah peserta. Rambutnya jabrik. Wajahnya sangar. Alisnya ditindik. Matanya...matanya yang paling penting.

Mata pemuda itu, sedang menatap tepat dan lekat ke arah satu bidadari. Lazu sengaja tak melihat wajah wanita itu, tapi selain pakaian putihnya yang minim, Lazu melihat bahwa sang bidadari mengenakan gelang pita warna biru.

"Pangeran Manggale. Anda lihat di sana, bidadari dengan gelang pita biru. Itu dia. Fokuskan pandangan Anda ke beliau. Fokuskan! Karena jika pandangan Anda teralihkan, berarti Anda sedang menghina sang bidadari. Fokus!"

Manggale pun mengikuti arah telunjuk Lazu. Kemudian melihat makhluk rupawan yang ada di arah itu. Dan di matanya mulai muncul kabur merah, tanda ia terjerat oleh sihir pesona birahi.

Lazu menarik napas. Pengaturan konflik sudah dimulai.

---

Menjadi roh tidak selalu menyenangkan. Di saat Manggale, roh pangeran tanah batak, mengincar sesosok wanita gemulai yang sedang duduk menatapnya dengan kaki mulus disilangkan menggoda, saat ia mendekat dengan langkah tegap perlahan untuk menghampiri sang puteri bidadari selayaknya keluarga raja yang terhormat, mendadak saja pemuda bengal  itu muncul. Dengan jarum menindik bibir dan alisnya, dengan rambut seperti landak diminyaki, secara tidak tahu malu si jabrik itu menggandeng paksa lengan si bidadari. Dan lalu si bengal bertanya bahkan tanpa berkenalan lebih dulu,

"Hei, cantik. Balutan kain ini tidak jelas fungsinya. Untuk menutupi tubuh? Tapi terawang nih. Paha dalammu terlihat jelas." begitu kata si bengal, tapi sambil tangannya malah meraba bagian tubuh si puteri bidadari yang sedang dibicarakan itu!

Manggale berang. Terdengar suara gugup dari sesosok belakangnya, "Ka-kalau aku sih...tidak akan rela jika bidadari idamanku dibegitukan orang lain..."

Roh pangeran batak itu merasuk dalam tubuh boneka kayunya. Sosok tinggi besar itu mendekat hingga tepat satu depa di depan pemuda jabrik dan sang bidadari cantik yang baru mulai saling menggelungkan lengan. Wajah bonekanya mengeras dan raut wajahnya berjengit marah,

"Perbuatan kau tidak senonoh, Pemuda Landak. Baiknya kau pelajarilah dulu cara yang sopan untuk mendekati wanita. Dalam tatakrama terhadap lawan jenis, meraba daerah pribadi perempuan bahkan sebelum memperkenalkan diri, merupakan penistaan adat sebagian besar daerah di Nusantara dan akan dianggap sebagai pelecehan. Hukuman yang tepat bagi pemuda asusila sepertim-"

"Heeeeehh!?" perkataan mirip petuah itu langsung terpotong oleh suara serak si pemuda yang spontan mendelik, "Apa urusanmu, Ikat Kepala! Kau mau kampanye? Kau mau ceramah? Lagakmu bikin perut cacingan!!"

Manggale terkaget-kaget mendengarnya. Lebih kaget lagi saat pemuda bertindik itu mendorong tubuh boneka kayunya dengan kasar sampai oleng ke sisi. Tak pernah ada yang berani berkata tidak hormat begitu padanya. Apalagi wajah sang bidadari idaman menjadi menatapnya ketakutan seolah ingin minta tolong padanya. Maka kedua lengan boneka itu pun bergerak cepat mencengkeram bahu si pemuda jabrik.

Sementara Xabi, pemuda jabrik tersebut, tak percaya kenapa semua orang begitu ingin mengganggunya. Mereka semua bertingkah seolah dirinya adalah pembangkang. Di mana pun ia berada, selalu ada sosok yang ingin mengaturnya. Mulai dari caranya berpakaian, kebiasaannya bermain musik, dan sebagainya.

Yang dia tahu, pulau ini memiliki keanehan. Penghuninya adalah bidadari serta bidadara, dan di samping pakaian minim serta wajah rupawan mereka, terdapat daya magis yang mampu membuat semua yang datang ke tempat ini mengalami rangsangan seksual luar biasa.

Tapi memangnya apa salahnya? Xabi masih muda. Jalan hidupnya membentang luas di hadapannya. Ini adalah pengalaman! Ya, pengalaman yang harus dia cicipi.

Di sinilah dia, pulau yang menawarkan nikmat sampai ke ubun-ubun, tapi kenapa si muka kayu berikat kepala ini mendikte caranya mendekati wanita? Apa maunya? Apa dari tadi si bidadari terlihat keberatan? Apa tubuh langsing berkulit halus itu menarik diri dari sentuhannya? Tidak, tidak sama sekali. Semua lancar, semua oke. Tapi lalu si muka kayu berikat kepala ini datang, dan apa yang terjadi? Wajah si wanita idaman ketakutan seperti minta tolong padanya. Dan kini sosok bermuka kayu ini mencengkeram keras kedua bahunya?

Kalau dia jual, Xabi beli.

"Makan nih, Muka Kayu!" Xabi mencabut sebuah jarum dari saku celana. Begitu menyentuh tangan sang pemilik, jarum itu langsung membesar sampai seukuran sebuah pedang. Xabi menebas lengan Manggale tanpa ragu. Manggale segera lepaskan cengkeraman sari bahu si pemuda jabrik demi menghindari arah tebasan pedang yang melengkung membentuk busur.
 Dan layaknya seorang pangeran, lengan si bidadari pun ditarik ikut bersamanya untuk melompat mundur bersamaan, memisahkan diri dari sang pemuda jabrik.

Belum sempat Xabi menikmati gejolak masa mudanya, bidadari ayu itu sudah dirampas dari tangannya. Di depannya Manggale memeluk bahu si wanita dengan rikuh untuk menahannya agar tak terjungkal akibat lompatan bersama tadi.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Manggale lembut. Bibir si bidadari bergetar, "Apa yang kalian lakukan...kenapa kalian hendak bertarung?"

"Ah, terbukti rupanya," Xabi berdecak sinis, "Sejak awal tujuanmu hanya untuk memperoleh si cantik ini kan? Ke mana tatakrama sampah yang jadi bualanmu tadi?"

"Kau...!!" Manggale tak bisa menahan amarahnya. Boneka mistis yang dikendalikan oleh rohnya itu, berlari dengan ganas menerjang Xabi. Namun sejak tadi si pemuda jabrik sudah menyiapkan sebuah ketapel berlapis logam di genggamannya. Xabi melangkah cepat ke samping, ketapel itu menembakkan biji-biji proyektilnya. Manggale menggeser batang tubuhnya tanpa mengurangi kecepatan. Dua tembakan meleset namun sang pangeran batak bisa merasakan deru angin yang menyertai lontaran ketapel itu tak main-main.

Manggale melompat tinggi dan kakinya terayun ke arah sentral dada Xabi dalam gerak beladiri Mossak dari tanah kelahirannya. Dalam waktu bersamaan Xabi melepaskan dua peluru ketapel ke dua titik sasaran di tubuh lawannya.

"Ugh!!"

Pelipis Manggale pecah ditembus biji proyektil ketapel. Pipinya terkena tembakan kedua dengan bunyi nyaring bagai tulang remuk. Untungnya yang pecah sebagian itu hanya kepala boneka Manggale. Sementara secara bersamaan, perut Xabi seperti tertohok batang pohon. Tendangan mendatar yang mengenainya sungguh keras bertenaga.  Lutut pemuda jabrik tersuruk mundur ke tanah. Manggale meraba wajah bonekanya yang gompal, diam-diam terkejut atas ketepatan dan kekuatan tembak pemuda itu.

Tapi sang pangeran tak mau kehilangan pamor, terlebih dewi pujaan hati mulai menatapnya bagai kucing betina di musim kawin. Inilah lelaki sejati, Manggale menyeringai dalam hati. Walau begitu, dia memaksa membuat kepala bonekanya melirik sang bidadari sekilas dan mengangguk gagah. Kesan pertama itu penting sekali, batin Manggale terhanyut dalam tebar pesonanya sendiri.

Kesalahannya adalah lirikan itu. Ketika hanya bermaksud melirik setengah detik, wajah sang perempuan yang sedemikian bercahaya begitu membuainya. Terlebih ketika bibir basah itu terbuka sedikit saja, seakan menunggu untuk dikecup hingga lumat...

"Bajingan!!"

Suara kayu tercabik menandakan kepala boneka kayu yang putus seketika. Roh Manggale kelabakan saat mengetahui Xabi sudah memenggal habis kepala bonekanya sengan satu sabetan pedang sepenuh tenaga. Boneka kayu tanpa kepala masih melompat jungkir ke samping, dua kakinya berputar sebat di atas kepala dan menghajar kepala Xabi, yang pasti sudah geger otak seandainya Xabi tidak membalikkan situasi dengan memutarkan pedangnya dan menusuk tempurung lutut boneka kayu sampai lepas dari engselnya.

"Kebusukanmu tak bisa bersembunyi di balik kata-kata, tolol!!" Xabi terus mengejar meski perutnya masih serasa ditimpa batu. Boneka kayu pun limbung karena kaki yang patah satu. Roh Manggale terpaksa memusatkan konsentrasinya untuk hal lain. Tubuh kayu terdiam. Tapi pedang Xabi mendadak bergetar kuat seperti ditarik sesuatu.

"Ah!? Hei!"

Manggale memejamkan mata di dalam boneka kayunya, dan pedang Xabi pun terlepas. Setelah melayang di udara sesaat, pedang itu malah balik melesat menuju leher sang pemuda.

"Pengendalian benda jarak jauh?!"

Xabi berhasil menghindar dengan melompat seadanya, namun gerakan pedang yang gesit itu merobek betisnya cukup dalam. Pedang liar itu kini berputar ke atas dan kali ini merobek daerah iga si pemuda. Suara tulang dan daging yang tertembus menandakan tebasan telak.

"Grrrhh...mau membunuhku dengan pedangku sendiri?!"

Pedang kembali berbalik. Xabi memaksa bergulingan di tanah berumput saat pedang itu terbang cepat sedepa dari pinggangnya dan menancap kuat pada batu putih di belakang.

Pemuda jabrik segera memanfaatkan situasi dan berlari menuju boneka Manggale sambil berteriak kencang, "Bila memenggal kepala tak mempan, akan kuobrak-abrik seluruh tubuh bonekamu itu!"

"Tolong hentikan!!"

---

Upeti bagi Surtor

Tiba-tiba sesosok makhluk kecil biru berlari sekencang-kencangnya dari balik salah satu pilar putih. Makhluk biru itu kemudian berdiri di antara kedua petarung, membuat Xabi ataupun Manggale ragu untuk melanjutkan. Dia adalah Lazuardi, membentangkan tangan dengan gugup di antara dua petarung.

Tapi keraguan hanya sesaat, karena Xabi melirik mata sang bidadari yang berdiri risih di belakang tubuh boneka yang berlutut tanpa kepala dan kaki. Melalui sela pinggang Lazu, Xabi menembakkan ketapelnya berdesing empat kali di titik yang sama. Ulu hati boneka kayu pun berderak pecah membentuk lubang besar yang membuat tubuh bagian atas boneka kayu menggantung tanpa tenaga.

Lazu menoleh ke belakang punggungnya, "Manusia besar! Hentikan tembakan proyektilmu! Lawanmu sudah tak berdaya!"

"Siapa kau, Makhluk Kecil!?!" Xabi melotot bingung, "Jangan menggangg-- awas!!"

Lazu menoleh balik ke depan. Udara bergelombang secara tak wajar, suatu jejak tipis meliuk ganas dari ujung-ujung jari kedua tangan boneka kayu, berkecepatan melebihi penginderaan mata biasa. Tiang-tiang putih dan bebatuan dilalui oleh sejumlah jejak tipis itu dan seketika terbelah tuntas menjadi potongan-potongan kecil.

"Serangan tajam yang tak terlihat..?!" Xabi membatin, sementara Lazu yang berada paling dekat kepayahan menghindar sambil berteriak semampunya, "Manggale! Hentikan hal ini. Lihat perempuan di belakangmu. Dia tak ingin kau hilang akal begini!"

Lazu menebak arah benang-benang dan menghalangi jalur serangan Manggale. Tapi dia tak tahu kehebatan senar itu. Tak ayal lagi, benang tajam itu meliuk memotong habis sebelah lengan Lazu.

"Jangan menghalangiku, Lazu! Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau pun tak ingin perempuan idamanmu diperlakukan seenaknya oleh siapapun!?"

"Dan apa hubungan semua itu dengan keinginanmu untuk membantai, Manggale!?"

"Dia yang mulai mesum terlebih dulu terhadap bidadariku! Dia pula yang telah menebas putus kepala boneka kayuku! Sekarang minggir!!"

"Kau gelap mata!!"

Xabi, dikuasai oleh panik akan senjata rahasia Manggale yang mengoyak belasan tiang batu bahkan permukaan tanah, dan melihat makhluk kecil biru yang menghalangi lawan tarungnya, berlari menjauh ke sisi sebisanya. Namun jalur-jalur tipis dari boneka kayu Manggale mulai mengembang seperti rangka parasut raksasa, dan melingkupi semua alternatif pengambilan jarak bagi si pemuda. Kemudian tanpa memberi kesempatan bernapas, semua jalur tajam itu menutup membentuk spiral maut, mencacah apa pun pada jalurnya bahkan daun-daun serta serangga.

"Ini untuk kekurang-ajaranmu, manusia tak beradab! Eksekusi mati!"

Sesaat setelah mengucapkan ancaman itu. Manggale terbelalak. Xabi terhenyak, semua pergerakan bagai melambat. Karena saat itu pula mereka memergoki Lazu yang nekat  berlari menyelinap ke dalam jalur serangan.

"Laz--"

"!!!"

Diiringi suara koyakan tajam memedihkan telinga, tubuh biru itu tercabik tanpa ampun menjadi serpih-serpih kecil yang buyar diterpa angin. Cairan biru bening terpercik-sebar mewarnai udara, pantulkan cahaya matahari yang sesaat kemudian menguapkan.

"Lazu!!" tenggorokan Manggale tercekat.

"Makhluk kecil!!" Xabi berteriak parau. Makhluk itu hanya berusaha melerai. Dia tak salah apa-apa! Kebencian sang pemuda terhadap Manggale tak tertahankan lagi. Sebuah tato di tubuhnya meliuk dan memudar dari dadanya. Itulah tato mistik yang menyegel kekuatan terlarangnya selama ini.

Dan mengayunkan kedua tangannya membentuk pusaran, Xabi memulainya.

"Bangkitlah, api kuno para raksasa. Surtor!!"

Tekanan udara berubah ekstrim, boneka kayu Manggale terseret paksa ke udara. Seperti layang-layang di tepian pusaran angin ganas, sang roh pangeran batak pucat pasi melihat apa yang baru saja terbentuk: sebuah pilar pilinan api yang bentangannya mampu melingkupi sebuah istana. Menyeruak mencakar awan, memangsa semua kehidupan yang dilewatinya menjadi pusaran arang tanpa daya.

"Sial...dia ternyata menyimpan sihir sedahsyat ini...tubuhku...!!"

Sambungan engsel Manggale terlepas dari sumbu-sumbu vital tubuhnya. Dua tangan kayu bonekanya bergetar saat ia menyibakkan benang-benang andalannya yang terpentang lurus menyasar kepala Xabi. Namun seketika itu pula tornado api raksasa membentuk lapisan yang bukan hanya melindungi si pemuda berambut tajam yang membentak kuat,

"Berilah petuah dari liang lahatmu sendiri!!!"

Tapi lapisan berkobar itu juga menjelma dinding maut yang melibas tanpa ampun, menggerus tubuh boneka kayu hingga meletup gosong berhamburan. Roh Manggale ikutlah musnah saat itu pula.

Xabi memejamkan mata dan menunduk lelah. Luka dalam di perut, dada serta tungkainya terus mengucurkan darah. Pilar menyala kehilangan api dan hanya menyisakan putaran angin melambat. Sebuah benda bulat melayang di udara terbawa oleh angin, Xabi telah mengendalikan benda bulat tersebut dan memberi jarak sejak awal sehingga objek tersebut tak terlalap api.

Ketika angin pun memudar, Xabi menangkap benda bulat biru yang kenyal itu. Itu adalah kepala dari Lazuardi. Mulut dari kepala tanpa tubuh itu terbuka perlahan.

"Makhluk kecil...kau masih hidup...?"

Salah satu keunikan tubuh Lazuardi adalah tidak memiliki organ vital khusus seperti jantung atau otak yang akan membuat tubuhnya mati bila organ itu hancur. Hanya saja, cairanlah yang sangat vital untuk Si Matoi, dan kepala itu semakin mengkerut akibat cairan yang terus-menerus hilang darinya. Inilah yang membuat kematian tetap menjelang.

Mulut Lazu bergerak lambat. Xabi semakin panik melihat makhluk menyedihkan ini. Meski sepertinya dia pun merupakan salah satu Makhluk Terpilih yang diharuskan bertarung oleh Thurqk, dia baru saja berusaha menghentikan Manggale dari menyerangnya. Segarang apa pun Xabi, batinnya tetap tersentuh,"A...apa yang bisa kulakukan untuk...membantumu...?"

Sepertinya ada suara samar dari mulutnya. Xabi mengernyit. Membaca gerak bibir itu.

"Dekatkan...telingamu...."

Tentu saja. Lazu ingin mengucapkan sebuah pesan terakhir. Xabi mendekatkan telinganya ke daerah wajah Lazu, bersiap menerima wasiat dari kepala si makhluk biru.

Dan sebuah sensasi geli serta kenyal terasa saat sesuatu dengan cepat mendesak masuk ke lubang telinganya.

----

Proses peraihan simpati dimulai. Lazu berdiri antara Manggale dan Xabi dan mengucapkan kata-kata 'hentikan', 'lawanmu sudah tak berdaya', agar terlihat baik dan naif di mata Manggale serta Xabi. Namun ketika serangan benang Manggale mengepung, Lazu hanya memusatkan perhatian pada arah pergerakan masing-masing benang yang tersusun rapi di udara.

Ketika benang mulai bergerak, Lazu memperhitungkan gravitasi, arah angin, gerakan jari boneka kayu yang mengendalikan benang, dan melompat sekuat-kuatnya, agar kepalanya bisa lolos dari benang yang belum rapat, dan agar tubuhnya saja yang tercincang.

Setelahnya, tinggal menerima rasa sakit yang merobek-robek tubuh dan mendesak kesadarannya gila-gilaan. Toh kepalanya sudah lolos dari jerat benang.

Yang mana pun yang menang, Lazu akan mendapatkan simpati darinya. Dan sisanya adalah keberuntungan. Xabi ternyata bisa mengendalikan angin dan api sekaligus saat tatonya memudar. Dan memang dari awal, Lazu sudah memprediksi bahwa pemuda berpenampilan pemberontak, adalah berpikiran sederhana dan mudah diarahkan responnya.


----

Segel dan Sayap

Kepala Lazu menghilang seluruhnya seperti puding jeli yang masuk ke kepala Xabi melalui telinga.

"Apa yang kau lakukan!? Dasar makhluk tak tahu--"

"Aku tak punya jalan lain, Xabi....Namamu Xabi kan? Aku sempat mengakses memori dasar di otakmu tadi...maaf..."

"Kau mengakses...otakku!?" Xabi terperangah. "Tapi mestinya aku tak bisa bicara bila kau mengakses otakku, tapi kenapa..."

"Aku tadi hanya menempelkan tubuh pada lapisan luar otakmu sesaat saja untuk mengetahui informasi dasar tentangmu...aku tak sampai memakannya..."

"Memakan!? Kau mau memakan otakku?!"

"Sudah kubilang...aku tak memakan otakmu...aku sudah pindah dari sana...aku memakan dan menempati bagian lain pada dirimu...yaitu tato segel rantai di batang tubuhmu...yang tadi berubah bentuk saat kau mengeluarkan badai api..."

"Kau menempati rantai segel di badanku?" Xabi bertanya-tanya. Dia merasa seperti orang gila berbicara tanpa ada lawan bicara di sekitarnya. Tapi begitu ia melihat tato di dadanya, tato itu telah berwarna biru langit. Ya, tato itu telah menjadi Lazu.

"Untuk apa kau menempati dan memakan tatoku?"

"Aku melakukannya untuk bertahan hidup...bila saja aku tak menggerakkan bibir dan memintamu mendekatkan telingamu ke wajahku...bila kau tak menyelamatkan kepalaku dari badai api..aku pasti mati karena kehilangan cairan..."

"Dari mana kau tahu bahwa aku akan menolongmu setelah tubuhmu terpotong-potong oleh benang tadi?" Xabi masih sulit mencerna tindakannya sendiri.

"Itulah simpati. Ada makhluk kecil menghalangi dengan tubuhnya menghadap ke arah lawan. Punggungnya menghadap ke arahmu. Mengatakan pada lawanmu bahwa kau sudah tidak berdaya. Menunjukkan gelagat ingin melerai karena luka-luka yang kau alami. Kemudian ia mengorbankan tubuhnya sendiri hingga terpotong-potong oleh serangan pamungkas lawan. Tidakkah kau akan membalaskan penderitaannya dengan kekuatan apa pun yang kau miliki?"

"Berarti...dari awal aku sudah dimanfaatkan olehmu...?" Xabi mengertakkan giginya, menyadari betapa telatennya makhluk biru ini menggiring kondisi psikologisnya.

"Bagaimanapun...Dewa Thurqk berkata kita semua harus saling bunuh...aku tak ingin membunuh siapa pun...apalagi kau yang sidah menolongku...maka itulah aku tak mungkin tega memakan otakmu...namun bila aku mengatakan bahwa aku harus memakan sebagian tubuhmu untuk bertahan hidup...bahkan bila itu tato segel ini...apa kau akan tetap menolongku?"

Xabi terdiam. Dia mencoba mengerahkan kekuatan tornado apinya. Gagal. Ternyata Lazu mengincar tatonya sejak awal untuk berjaga-jaga pula agar bisa mengendalikan segel kekuatan si pemuda. Sepanjang Lazu masih di sana, menjaga bentuk dan fungsi tubuhnya serupa dengan tato segel, selama itu pula Xabi takkan bisa mengerahkan tornado apinya.

"Jadi...apa maumu?" Xabi menggaruk kepala.

"Aku ingin minta tolong padamu...bantulah aku menyelesaikan misi ini..."

"Membunuh satu peserta lain, maksudmu?"

"Ya."

"...Oke."

"Maaf merepotkan..."

"Tapi jangan makan otakku, Makhluk biru tengil!!"

"Tidak kok..."

"Kita akan ke mana?"

"Kita ke barat...ke arah bukit kerucut itu..."

Xabi melihat struktur itu berdiri tegak di kejauhan.

"Untuk apa?"

"Kau lihat, bukit itu adalah satu-satunya struktur tinggi di dataran ini..dari atas sana, kita bisa mengamati keadaan di bawah tanpa terhalang pepohonan atau jajaran tiang tinggi. Ini memberi keunggulan karena kita bisa mengamati bila ada pertarungan...mungkin kita bisa memanfaatkan kesempatan untuk membunuh yang sudah terluka berat...di antara mereka yang bertarung..."

"Apa?! Kau licik sekali! Tapi juga terus terang sekali! Tunggu, orang yang licik itu mestinya tidak terus terang kan? Apalagi orang yang terus terang itu mestinya tidak licik. Bagaimana ini maksudnya?"

" . . . . Kalimatnya bikin bingung. Daripada bingung, kita mulai mencari saja. Aku menumpang di badanmu ya..."

"Yasudlah."

Maka mereka pun mulai menyusuri jalan yang berkelok. Mendaki sebuah tanjakan yang cukup terjal meski sepanjang jalan tampak kasur-kasur mewah diselingi barisan bunga dafodil kecil-kecil di kedua sisi tanjakan.

Timbul pula keinginan Lazu untuk beristirahat sejenak, mengingat perbedaan kontras antara tempat ini dengan Cachani Vadhi.

Masalah dimulai pada saat Lazu terlalu nyaman. Tubuhnya terikat pada Xabi sebagai tato segel, sehingga dia cukup diam saja dan menikmati pemandangan yang hijau menenangkan itu. Lama-lama matanya pun terasa berat.

"Xabi...aku tidur sebentar ya...Hati-hati...jangan sampai melakukan kontak mata dengan para bidadari arau bidadara..."

"Huh, dasar. Ya sudah sana."

Seolah hanya memejamkan mata beberapa detik saja, mata Lazu terbuka mendadak. Sesuatu seperti kue mochi panas berukuran ekstra jumbo tengah menghimpit tubuhnya. Terdengar suara-suara mengerang aneh seperti kucing dipaksa mandi. Apa ini? Lazu mencoba melihat lebih seksama gumpalan kue mochi panas berwarna coklat susu itu.

"Oh...ahh...ahh...Xabi...kamu sungguh gagah...staminamu prima...uhh...lebih dalam sedikit tusuknya, Sayang..."

Suara wanita! Seketika Lazu tersentak kaget. Yang menghimpitnya ini bukan kue mochi. Ini bukit dada seorang manusia perempuan!

"Xabi! Sedang apa kau!?" Lazu terkaget-kaget. Tapi yang merespon pertama kali malah bidadari pemilik dada seempuk mochi itu.

"Iiihh! Apa ini, Xabi? Tato biru di badanmu...punya mata dan bisa bicara!? Itu sangat...sangat..."

"....Sangat...liar?" suara Xabi menyahut.

"Ah...kau benar. Tatomu itu sungguh liar menawan..ayo kita lanjut lagi..."

"Tu, tunggu...ini sudah ronde ke berapa? Bijiku sudah nyut-nyutan.."

"Berhenti bicara dan mulai memompa!" sahut bidadari itu tak karuan. Tak perlu menunggu lama, tubuh Lazu pun tergencet sesak di antara dua tubuh berkeringat yang mulai bergoyang-goyang bersama dengan bunyi basah dan becek.

"Xabi...kau...bukankah sudah kubilang bahwa jangan berkontak mata dengan..."

Lazu tersadar. Mestinya ia ingat bahwa Xabi adalah pemuda berdarah panas yang mudah terbakar birahi. Bila Lazu tak terlalu kesulitan menipunya, apalagi keadaan pulau ini, yang memiliki sihir peningkat nafsu birahi.

Di tengah suara teriakan penuh nafsu birahi dan gelinjang kedua tubuh yang saling berpagut, Lazu mengumpat pada dirinya sendiri.

Tapi persetubuhan itu tak seberapa lama, karena kemudian sebuah sabit hitam raksasa berputar bagai baling-baling seraya melesat nyaris saja mencukur habis rambut Xabi beserta batok kepalanya sekalian,

"Parabola ordinat limakomalima! Menunduk atau kau mati, bodoh!!"

..jika saja Lazu tak melihat melihat lintasan melengkung dan percepatan benda itu dari awal dan segera berteriak panik. Xabi yang terkejut untungnya masih sempat menghindar. Tapi tidak demikian dengan sang bidadari.

"Uwaaaa!! Apa itu?!" teriak Xabi dengan keringat dingin di pipinya.

Terdengar suara tulang dan daging yang tercacah. Xabi membelalak takut dan marah melihat sang bidadari yang masih menempel padanya, kini sudah tak berkepala. Hanya ada leher kutung yang tak henti menyemburkan darah menciprati badannya.

Tak lama kemudian, secara aneh leher dan tubuh telanjang itu mulai berubah hijau gelap, bau asam yang sangat pekat menebar seiring dari tubuh itu keluar genangan yang membusukkan ranjang yang Xabi tadinya tempati.

"Tubuh bidadari itu...kenapa..." Xabi bertanya-tanya, tubuhnya bergidik ngeri. Lazu menoleh ke belakang dan melihat sabit hitam itu membelah ranjang-ranjang berseprai satin di tepi mata air dan terus melaju kencang menembus serpihan bulu-bulu domba yang beterbangan. Lalu seperti bumerang, sabit itu terus berputar dan kembali ke arah datangnya semula.

Sebuah tangan menangkap sabit besar logam itu seolah ringan saja.

"Dia...melayang di udara?" Lazu dan Xabi menengadah, melihat si pemilik sabit: sesosok tubuh yang mengepakkan sayap hitamnya sepuluh tombak di atas mereka.

Lazu mengedip. Sosok itu lenyap?

"Apa yang-"

Dua bilah logam beradu kencang! Beruntunglah Xabi memiliki refleks hebat yang cukup untuk menangkis serangan mendadak itu dengan pedangnya. Entah bagaimana caranya, sosok bersayap itu telah berpindah tempat dalam sekejap dan memulai serangan tanpa basa-basi.

Xabi terkesiap melihat wajah penyerangnya dari dekat. Pria itu berambut tajam-tajam, hampir sama sepertinya, hanya saja tatapan matanya sangat berbeda. Mata itu kosong, tajam namun seperti tak memiliki keinginan. Tanpa perubahan raut wajah sedikit pun, sosok itu mengubah arah genggaman sabitnya dan berputar untuk melakukan serangan kedua. Ayunan yang besar dan sangat kuat itu, Xabi masih sempat menangkisnya, namun dia merasa seolah pedangnya sedang ditanduk oleh banteng raksasa.

"Ugghh..!"

Pedang Xabi terlepas dari genggaman. Si pemilik pedang pun terhempas jauh hingga menghancurkan sebuah tiang putih di sisi timur dataran landai. Punggung Xabi kram untuk beberapa saat, tangannya gemetar.

"Tenaganya...betul-betul edan! Dan apa-apaan wajah tanpa emosi itu!"

Xabi lekas bangkit dan memanjat tiang putih lain dua langkah di belakangnya. Betis dan bahunya kembali mengucurkan darah segar akibat luka pertarungannya dengan Manggale yang tidak ringan.

Tapi dia menarik napas dalam-dalam. Mengeluarkan ketapel kebanggaannya. Si sayap hitam hanya melirik sekilas dari jarak seratus langkah, untuk kemudian meluncur gesit di udara dengan kepak sayapnya yang berbunyi berat.

"Xabi, kau lihat matanya?"

"Memangnya kenapa? Jangan ganggu bidikanku!"

"Bukan, dia melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu! Dan dia tak melakukan gerak berpindah instan seperti tadi tapi justru memilih untuk terbang mendekat!"

Peluru logam ketapel ditembakkan dua-tiga berturutan. Si sayap hitam, Enzeru Schwarz, masih tak berkata-kata. Menambah kecepatan di udara seperti elang hitam, ia menghindari trajektori tembakan ketapel yang menyasar dan melubangi sejumlah tiang batu di sekitarnya.

"Melompat mundur!"

Lazu berteriak begitu mendadak dan nyaring di dekatnya, Xabi terpaksa bertaruh dan melompat mundur dari puncak tiang.

Ketika hendak turun, untuk sepersekian detik, sebuah sensasi geli menjalar di dada dan berpindah ke kaki Xabi. Tubuh pemuda bertindik itu sedikit miring saat ia menjatuhkan diri ke padang landai.

Enzeru yang melihat itu menyangka Xabi hilang keseimbangan. Sorot mata pria bersabit itu diwarnai sedikit emosi. Terburu-buru. Ia menyempitkan jarak dua sayapnya dan terbang belasan meter ke atas kepala lawannya. Matahari menyorot dari belakang tubuhnya membuat sayap hitamnya berkilau dan tubuhnya bagaikan perwujudan kegelapan itu sendiri.

Namun Xabi sudah menjejak di tanah dan dua tangannya terlanjur dalam posisi siaga. Dalam dua tembakan akurat, sebelah sayap hitam Enzeru patah di bagian pangkalnya.

"!!!"

Akibatnya arah terbang Enzeru menjadi melenceng. Tubuhnya bahkan kian limbung di udara. Xabi yang panas jadi ikut terburu-buru, dia kembali membidik, kali ini di antara kedua mata Enzeru. Tembakan dari jarak hanya empat langkah ke udara? Xabi tak mungkin seberuntung ini.

Hanya saja Xabi terlambat melihat bahwa Enzeru tak menggenggam apa pun di tangannya.

...karena kedua betis Xabi kemudian mendadak putus dari sambungan lutut. Sabit melayang itu memenggal dua tungkainya dari belakang. Darah dan pecahan tulang membasuh udara. Xabi berteriak sejadi-jadinya, urat-uratnya menegang.

Enzeru menangkap sabit raksasa dan menyampirkannya di bahu. Napasnya tenang seperti baru bangun tidur.

"Kkh-kau berani memotong kakiku....pasti akan kubalas.." Xabi merintih sambil menahan nyeri. Otot betisnya  berserakan di rumput tak jauh dari kutungan kaki.

"Kau takkan bisa." Enzeru menyahut dengan lirikan singkat, "Kau terluka atau tidak, aku lebih kuat. Dalam permainan ini, yang dicari adalah yang terkuat. Itu saja."

"Jadi bagaimana jika...ada yang lebih kuat darimu?"

Mendadak sebuah siluet telah muncul di belakang Enzeru tanpa suara. Enzeru terperangah. Bagaimana mungkin ada yang dapat menyusup di belakangnya tanpa menimbulkan bunyi?

Tentu saja itu karena yang di belakangnya adalah Lazu. Si Matoi berdiri tegak di sana dengan tubuh yang lebih tinggi dan ramping dari biasanya, bahkan sampai hampir mencapai dua meter.

"Dia...Lazu...tiang putih yang sempat kupanjat tadi bertransformasi menjadi dirinya...?" seru Xabi sambil melirik tatonya. Tatonya telah hilang!

Ternyata sesaat setelah berteriak agar Xabi melompat turun dari tiang putih untuk menghindari Enzeru, Lazu langsung melepaskan komponen dirinya dari badan Xabi, menyebabkan Xabi merasa ada sesuatu yang menjalar geli di tubuhnya.

Lazu kemudian melilit masuk ke struktur tiang putih yang Xabi pijak sebelumnya.

Maka tiang putih, yang lalu berada tepat di belakang tubuh Enzeru, pun digerogoti oleh tubuh parasit, dan terwujudlah Lazu Pilar. Lazu yang hampir setinggi dua meter.

Tanpa pikir panjang, tangan Lazu terulur nekat dari belakang, melewati atas bahu Enzeru, meraih gagang sabit hitam yang digenggam oleh makhluk menyeramkan itu.

Si sayap hitam tersentak kaget melihat ada yang berani mencoba merebut sabitnya. Sambil memutar tubuh, sikunya ditohokkan keras ke wajah Lazu. Hantaman itu membuat Lazu kesakitan dan terpelanting ke belakang, namun sifat membal tubuh Si Matoi ikut berefek pada dua tangan birunya yang masih menggenggam sabit Enzeru, dan justru membuat efek tak terduga.

"Apa?!"

Bahkan Enzeru sang Personifikasi Kematian, tak mengira bahwa hantaman sikunya pada makhluk ini akan membuat gaya regang kuat pada lengan biru yang menarik sabitnya itu, sampai lepas dari genggamannya. Tubuh itu lebih membal dan berdaya pegas dari karet! Lazu mendarat bergulingan dan bangun susah payah, tapi sabit Enzeru telah berpindah ke tangannya.

"Mayat bidadari yang kau penggal tadi terkena racun, melihat jenis kerusakan otot serta kedalaman pembengkakannya, kemungkinan enam puluh empat persen adalah jenis hidroklorida yang larut dalam bentuk pemuaian udara. Berarti zat semacam itulah yang terkandung dalam sabit ini."

Kemudian Lazu barulah tersadar. Respon tarung makhluk bersendi seperti manusia dalam mengantisipasi musuh yang berjarak terlalu sempit, tujuh puluh persen adalah dengan hantaman sendi seperti siku atau lutut. Si sayap hitam ini pun tak terkecuali.

Dan satu hal lagi, ternyata tubuh Lazu yang kenyal bisa memberi efek regangan dan membuat daya lenting.

Lalu apa yang bisa dilakukannya dengan itu?

"Mau apa kau?" Si sayap hitam dengan sangat cepat sudah ada di hadapan Lazu dan dalam satu sentakan, dia berhasil merampas kembali sabit besar miliknya. G
Makhluk tanpa ekspresi ini sedemikian kuat! Dengan kelabakan Lazu hendak merebut sabit untuk kedua kali, namun kali ini Si sayap hitam jauh lebih siap.

Gagang sabitnya diputar menjauh dari rengkuhan Si Matoi, kemudian dengan ganas Si sayap hitam membalik arah mata sabitnya hingga berbelok dan menikam tembus pinggang Lazu!

Namun Lazu pejamkan mata, memberi dirinya sugesti untuk mengabaikan nyeri, mendorong telapak kuat-kuat ke batang gagang sabit sehingga timbulkan efek dorongan membal yang cukup kuat. Bilah sabit yang tajam malah berhadil dipaksanya terpental keluar dari tubuhnya

"Kau menganggap ini hanya permainan

Si sayap hitam menebaskan sabitnya menyamping sekuat tenaga dalam hawa beracun mematikan, tubuh Lazu masih terus maju sembarangan meski pikirannya sedang mengatur skenario tarung sekian langkah ke depan. Akibatnya fatal, sabit berenergi racun itu menembus perutnya hingga ambrol. Cairan tubuh Lazu memancar deras bersama nyeri menjalar dan racun anyir yang menumpulkan sensasi, bersama sebagian hidupnya yang hilang.

Tapi sesuatu dalam nurani Lazu seolah menggedor-gedor. Memaksanya terus maju.

Maka Lazu pun batal menghindarkan tubuh ke belakang. Ketika Enzeru mengayunkan serangan penghabisan, Lazu menatapnya lurus dan justru merunduk dalam langkah dipercepat sehingga mempersempit jarak.

Senjata sepanjang itu tak cocok untuk jarak dekat. Sedangkan aku? Setiap kemampuanku untuk mencelakakan, dimulai dari menyentuh.

Ayunan gagang sabit terlihat dari kiri diagonal. Lazu geser posisi telapaknya memutar, pergerakan gagang membentur kekenyalan kulit birunya dalam sudut yang tepat. Akibat daya pantul tubuh Lazu, keseimbangan lengan Enzeru goyah saat sabit itu terayun ke arah yang kacau.

Sebuah celah tercipta! Lazu menahan diri. Telusuri kemungkinannya. Lazu mengarahkan satu tangannya ke arah perut. Enzeru putar pinggangnya, namun dia gagal mendeteksi gerak kamuflase karena saat itu tangan Lazu yang satu lagi membelok vertikal dan meringkus sikunya, siku lengannya yang memegang sabit, dalam genggaman sepenuh tenaga.

"Pongio!!"

Sendi itu remuk dan lepas dari sambungannya! Darah dan cairan sendi di daerah sambungan siku Enzeru terhisap habis, sendi dan uratnya mengering rapuh tersebut dalam jeda waktu sedemikian singkat. Saat Lazu puntirkan cengkeramannya, kerat otot lengan si sayap hitam tercerabut menggidikkan dalam genggaman Si Matoi!

"Krrrkhhh!! Kurang ajar!!" Enzeru membentak keras didera rasa sakit pada satu lengannya yang kini cacat. Si sayap hitam menggunakan bahunya untuk mendorong mata sabit tepat ke arah perut Lazu yang telah jebol sebelumnya. Si Matoi tak mengira insting Enzeru sangat ganas, tak mampu menghindar.

Dengan suara seperti balon terpotong, tubuh Lazu terbelah dua. Cairan biru keluar dari tubuh kecil itu seperti ditumpahkan dari bejana.

Lazu ambruk ke tanah. Pinggangnya yang putus menyebarkan rasa nyeri dan perlukaan luar biasa. Bukan hanya itu, karena kemudian racun langsung menjalar kehijauan mencemari sekaligus menguapkan cairan tubuhnya. Dia kehabisan tenaga.

Si sayap hitam pun membungkuk dan mengibaskan sabitnya angkuh. Lawannya mati. Maka dia tinggal kembali ke titik awalnya di pulau ini.

Namun lalu dia merasakan hawa panas berpijar dari belakangnya.

Enzeru berbalik hanya untuk berhadapan dengan segulung dinding api menjilat-jilat.

Itulah kekuatan api Surtor dari Xabi yang bahkan telah tidak lagi memiliki tato khusus untuk menyegel kekuatannya.

Dilihatnya Xabi yang kehilangan kedua tungkai, berusaha sekuatnya untuk mengendalikan pusaran api-anginnya yang membesar. Namun meski keringat lelah dan sakit mengucuri wajahnya, Xabi tetap menyeringai puas.

Karena saat Enzeru hendak menghindar, sebelum sempat melebur ke dalam bayangan, ada dua tangan yang mencengkeram pergelangan kakinya dari bawah.

Lazu yang telungkup lemas karena efek racun yang dahsyat itu, belum mati. Genggamannya pada pergelangan kaki Enzeru itu lemah dan gemetar, tapi hentakan dan tendangan bagaimanapun dari Enzeru terhadap tubuh birunya, genggaman itu tak terlepas.

Enzeru mengangkat sabit raksasanya. Lazu meliriknya dari tanah dan tersenyum merendahkan,

"Terlambat. Berarti, dalam permainan ini..."

Kemudian sabit hitam itu terayun, memisahkan kepala bulat Si Matoi dari badan. Bersamaan dengan itu. dinding api Surtor membakar sayap hitam dan tulang bahunya. Enzeru berteriak kesakitan, kedua lengannya mulai meleleh.

Tapi saat dia melirik ke bawah, kepala Lazu yang ia penggal itu, masih menatapnya dan berdesis dingin,

"...kau kalah."

---

"Mba Irwin. Mulai sekarang, kau adalah kekasihku."

"Maaf, Tuan Enzeru...sejak kapan...?"

"Sejak kita bertemu di pulau ini dan gairah kita meningkat secara tak wajar. Sejak kau mencumbuiku dengan paksa di ranjang satin dekat taman itu tiga, dua, satu jam yang lalu tanpa henti."

"Maaf...aku tidak sengaja...!!"

" . . . . Ya terserah. Tapi bahwa kau telah jadi kekasihku, itu sudah tak bisa ditawar lagi."

" . . . Aku...pasrah saja..."

---

Bayangan wajah Mba Irwin tak terlihat lagi di mata tajam itu.

Si sayap hitam termangsa oleh tornado api, tubuhnya menjadi kerumunan abu dan arang hitam yang terbawa oleh angin timur.

Enzeru Schwarz, sampai pada kematian.

---

Lazu terbaring dengan tubuh terpenggal dua dan hampir-hampir meleleh, kondisinya mengenaskan. Beberapa belas langkah di depannya, Xabi tergolek lemah. dengan luka-luka di berbagai titik tubuh. Wajahnya yang memucat seolah kehilangan asupan darah, namun juga ada titik-titik hitam yang mulai meluas di wajahnya.

"Ke..kematian jaringan otot...? Kenapa kau...Xabi...?" Lazu merintih.

"Heheh...sepertinya aku terlalu memaksa, Lazu.." Xabi terbatuk-batuk namun darah dan gumpalan daging tenggorokannya ikut keluar dari mulutnya, "Tornado api yang kedua tadi...membuat darah dalam tubuhku menguap semua...te-ternyata mengendalikan elemen itu..beresiko sampai sebegini .."

"Berarti kalau begini...semuanya mati...begitukah...?" sinar mata Lazu pelan-pelan mulai meredup.

"Iya...kurasa begitu.." napas Xabi semakin terhenti. Dalam pandangannya, dunia menyempit seperti terlihat dari lubang intip.

"Tapi..."

"Kenapa, Lazu...?"

"Maafkan aku, Xabi...aku belum akan mati..."

"...Apa maksudmu..?"

"Ada diriku...diriku yang satu lagi..."

Seiring tubuh Lazu yang terbaring berubah menjadi lelehan hijau menebar asap racun, Xabi membelalak. Dari belakangnya, suara jernih Lazu kembali terdengar.

"Aku ada di belakangmu, Xabi..."

"Bagaimana bisa..."

"Aku melepaskan diri dari tubuhmu pada saat kau meloncat dari tiang...aku memecah diriku jadi dua...keduanya menginfeksi dua buah tiang putih yang ada berdekatan..."

"Aku tak bisa bergerak lagi, aku tak bisa melihatmu, Bodoh...kau benar-benar masih hidup...?"

"Ya...tapi karena ada satu diriku yang mati...efeknya adalah membuat diriku yang masih hidup pun, takkan bisa bergerak karena rasa sakit..." Lazu menyahut.

"Berarti kau selamat...ya...sial...dasar licik..."

Si Matoi tak kuasa menahan kesedihannya. Ia tak tega membunuh manusia seperti Xabi, yang mudah marah dan mudah memakai kekerasan dalam bertindak, tapi selalu jujur dengan dirinya sendiri.

Tidak seperti dirinya. Penipu yang berhati lemah. Yang tak tahu apa yang dirinya sendiri inginkan.

"Maafkan aku..." Lazu bergumam lirih.

"...Bicara apa kau..." Xabi terkekeh menyendat. Wajahnya sudah hampir menghitam seluruhnya. "Kau meraihnya dengan usahamu sendiri...kan...?"

" . . . . "

Langit memerah oleh pulasan senja yang datang. Burung-burung berekor putih mengepak pulang ke jalinan saran masing-masing, sementara bau dedaunan kering melintasi tiang-tiang putih yang berjajar di dataran berumput.

"Maka majulah, Parasit Biru..teruslah bertahan..."

Xabi menutup matanya. Wajahnya terlihat berbeda. Rambutnya terjatuh menutup tindikan alisnya, memberikan kesan seperti pemuda yang ingin menata dirinya. Untuk menjalani hidupnya bukan hanya untuk hari ini. Tapi ke depan.

Menuju sesuatu yang lebih bermakna.

Lazu menangkap semua warna itu dari jasad Xabi, menyimpannya dalam di balik matanya yang bergurat. Oleh setitik kesendirian.

---

Sepuluh menit. Dua puluh. Tiga puluh. Lazu melirik ke samping. Seorang wanita berambut pelangi berdiri di sampingnya, menatap serpihan arang yang tadinya merupakan tubuh Enzeru, kemudian ganti menatap mayat Xabi.

"Siapa kau...?" Lazu bertanya. Rasa sakit di tubuh Si Matoi mulai berkurang. Tapi masih tiga puluh menit lagi sampai dia bisa mulai menggerakkan lengan dan tungkai.

"Maaf...namaku Mba Irwin...aku adalah...salah satu dari Para Terpilih dalam pertarungan di pulau ini.."

"...Dan kau mau apa...?"

"Aku mengamati pertarungan kalian...dan Si Sayap Hitam, Enzeru Schwarz...aku adalah kekasihnya..."

Lazu menghela napas lelah. "Kau mengamati saja? Berarti kau tak datang untuk balas dendam..."

"Maaf..Dendam....pertarungan...saling bunuh...itu semua takkan memecahkan masalah..."

"Lalu apa? Apa yang akan memecahkan masalah?"

"...Kedamaian...Aku adalah Pembawa Kedamaian...itulah tugasku...tapi..."

"Tapi Enzeru...kekasihmu itu  menganggap ini semua sebagai permainan...berarti dia melarangmu melakukan tugas...kau tak boleh menghalangi pertarungannya, bukan begitu...?"

Wanita itu terdiam sejenak. Airmata menetes sampai ke pipinya.

"Aku hanya tak ingin menentang lagi...aku sudah mengkhianati mereka yang menjalin asmara denganku...aku tak ingin mengkhianati lagi..."

"Kau menganggap cara pandang kekasihmu itu pasti benar? Bahwa ini semua hanya permainan? Sesuatu yang sifatnya relaksasi? Hiburan? Pelepas penat?"

"Tidak...tapi seperti kubilang...aku tak mau berkhianat terhadapnya...aku tak tega menentang apa yang disuruhnya..."

"Berarti...justru kau berkhianat pada prinsipmu sendiri...bukankah begitu?"

Sontak wanita itu menoleh, bibirnya bergetar marah dan matanya bercucuran airmata. Sulit membalas perkataan Lazu tersebut. Maka dalam detik selanjutnya, sesaat setelah seberkas cahaya sore menyilaukan mata Lazu, Mba Irwin pun sudah tidak ada. Bagai halusinasi. Namun sehelai rambut melayang terjatuh ke tanah, hijau bagai ilalang muda.

---

Tujuh Dosa

Lazu melangkah. Kakinya bisa digerakkan. Berarti satu jam telah berlalu. Lazu Kausa terus berjalan ke arah tenggara pulau.

Menuju bukit kerucut di pusat pulau.

Namun bukan main kagetnya Lazu saat mencapai tanjakan tepi bukit. Di sebuah kasur berlapis satin pada tepi anak tangga batu, seorang lelaki paruh baya sedang bercumbu dengan dua wanita sensual, kumis pria itu menggesek leher-leher jenjang mereka bergantian seakan ingin membaui tiap aroma yang ada. Kedua wanita itu tertawa lepas dan menepuk manja pundak si lelaki.

"Seperti kelaparan. Seperti dicekoki sesuatu yang telah lama tak dicicipinya."

Lazu mengamati satu hal: pakaian kedua wanita hanya terdiri dari helaian minim kain putih transparan, persis sama dengan bidadari yang sudah dimakannya tadi. Tujuh meter di atas tangga batu alami, dua orang lagi perempuan dan dua lelaki rupawan dengan kain putih berjalan turun sambil bercengkerama dan saling meremas lekukan tubuh satu sama lain tanpa malu-malu.

Tapi lelaki di atas kasur berbaju kaus berkerah, sepatu kets untuk berlari, celana panjang dengan sejumlah objek kecil persegi tercetak samar di masing-masing kantung,  semua membentuk gambaran jelas bahwa seperti juga Manggale, Xabi, Enzeru, dan Mba Irwin, pria tersebut tak berasal dari tempat ini.

Bila para manusia cantik dan tampan ini nyaris telanjang, si lelaki memakai pakaian lengkap. Dan kerutan di dahi dari alis terangkat jengah serta napas memburu berlebihan seperti gelagapan, menjadi premis kuat bagi Lazu bahwa si lelaki sangat jarang dan tak terbiasa mengalami perlakuan ini.

Tapi di sisi lain, tangannya lembut melingkar ke balik punggung para wanita, tak terlalu kasar pula, dan mulutnya mengucap kata-kata manis mengemong wanita yang sedang rebah di rangkulan, yang lebih pantas menjadi anaknya. Itulah tanda bahwa lelaki itu pernah memiliki pula kehidupan asmara atau setidaknya seksual.

Lazu sontak berlari kencang dan melompat ke kasur raksasa dan menyelipkan badan biru kenyalnya di antara si lelaki dan wanita-wanita yang langsung memekik antara kaget dan kesenangan. Lelaki berkumis yang sedang asyik, dibuat mengernyit saat Lazu menarik-narik lengannya dengan paksa.

"Hei, apa yang kau-"

"Manusia Besar, bahaya! Makhluk-makhluk rupawan ini Sihir! Sihir Tujuh Dosa!"

"???"

Tommy Vessel, semula sangat sebal. Di saat dia berada di tempat yang penuh bidadari cantik begini, yang siap memberi kesenangan dengan tubuh-tubuh mereka, kenapa ada makhluk mutan biru mengganggu kesenangannya? Tapi lalu dia terdiam saat Lazu menyebutkan tentang Sihir Tujuh Dosa. Para bidadari merengut tak rela, namun Tommy terdiam dan memaksa tubuhnya mengikuti arah dorongan Lazu di belakangnya. Mereka sampai di sebuah mata air panas tak berpenghuni.

"Pulau Tujuh Dosa," Lazu acungkan telunjuknya ke atas seperti anak kecil ingin memberi jawaban, "Apa pernah ada yang bilang itu padamu?"

"...Umm...ya...kalau tidak salah
.Malaikat Hvyt...." Tommy masih berusaha menyusun kalimatnya. Kemolekan wanita pirang tadi masih bercokol di benaknya, dengan tubuh seperti berminyak dan tato tribal menyusup di belahan dadanya yang membusung.

Si lelaki berkedip-kedip pelan, pembentukan ekspresi mata dan wajahnya lamban seperti baru keracunan alkohol. Lazu genggam kedua bahu pria itu dan mengguncangkannya kuat-kuat sambil berteriak,

"Malaikat Merah yang bilang, bukan begitu!!"

Tommy terhenyak sadar. Perlahan logikanya kembali. Dia ingat betul bahwa sejak bertemu penghuni pulau ini, ia seperti terbius dan sekelilingnya bagai berkabut. Satu-satunya yang terlihat jelas adalah wajah dan tubuh para wanita yang mengundang tegukan air liur. Itu bukan hanya ketertarikan biasa, melainkan seperti hipnotis yang sangat kuat. Dan kini, dua-tiga menit telah berlalu setelah pergi dari dua wanita itu, pikirannya kini terasa jernih, beda dengan tadi.

Lazu menghela napas, "Dewa Thurqk memberikan gelar 'Dosa' pada pulau ini. Dosa bisa dibatasi definisinya sebagai pelanggaran aturan dari figur otoritatif absolut seperti Tuhan atau Dewa."

"Lalu kenapa?"

"Aspek lain yang hampir selalu dikaitkan dengan konsep dosa adalah bahwa dosa selalu memiliki konsekuensi. Menilik asal kata tadi, dikombinasikan dengan bentuk kepulauan menyerupai tengkorak,"

Segerombolan bidadari berpakaian minim melenggok ke arah mata air tempat mereka berada. Lazu segera menepuk punggung Tommy, dan mereka berdua beranjak sembunyi di balik bebatuan putih dekat pepohonan. Sementara Lazu masih terus berbisik cepat,

"Yang mana tengkorak pada kebudayaan manusia sering dikaitkan dengan kegelapan, kejahatan, ritual setaniah, dan juga dikaitkan dengan dunia Jagatha Vadhi yang serba monoton dari segi warna, premis menunjukkan sifat Thurqk yang Bermain Tuhan dengan sangat jelas."

"Apa maksudmu 'Bermain Tuhan'? Bukankah ia memang Dewa?"

"Thurqk menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan tempat megah sebagai panggung pertarungan untuk menghibur diri sendiri, perintahnya jelas dan sederhana. Berarti aspek-aspek pertarungan yang disamarkan pun sebenarnya dapat dilihat dari bentuk fisik. Pulau tengkorak bergelar Pulau Tujuh Dosa, penghuni pulau berupa bidadari berpakaian minim yang mengundang hasrat dengan tubuh dan wajah cantik mereka. Dosa yang terkait dengan kemolekan tubuh hanyalah: Nafsu Birahi."

"Maksudmu, bila kita menuruti nafsu birahi kita di tempat ini, itu akan menjadi sebuah dosa?" pria paruh baya mengernyitkan dahi. "Tapi memangnya kenapa?"

"Dosa membawa konsekuensi. Dalam sebuah pertarungan, konsekuensi terburuk adalah kalah. Syarat untuk menang adalah membunuh. Berarti syarat untuk kalah adalah terbunuh. Premis menunjukkan aturan tersembunyi: menuruti birahi berarti terbunuh."

Tommy menatap Lazu. Terdiam sejenak. Kemudian dia tersenyum perlahan, lalu menjadi tertawa keras.

"Hahahaha!! Aku suka caramu berpikir! Seperti sedang menganalisis aspek cerita dari sebuah permainan. Begitu rupanya, ya. Kalau begitu, berarti aku nyaris saja terbunuh karena melanggar aturan permainan Thurqk," lelaki berkumis itu membetulkan letak kacamatanya lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman, "Dan bila kau tahu hal-hal itu sejak awal, berarti kau sudah menyelamatkanku. Namaku Tommy Vessel."

Si Matoi Kecil menyambut jabat tangan itu. "Aku...Lazuardi?"

---

Lazu dan Tommy berjalan sambil menunduk, menghindari menatap bidadari sebisanya. Mereka melangkah cepat dengan wajah menekuk ke tanah seperti pemulung. Deretan tungkai jenjang dan jempol-jempol kaki montok (apa ini?) membuat mereka tak jarang harus menutup mata sambil tetap berjalan.

Hari semakin siang. Sebuah bukit kecil menarik perhatian mereka. Letaknya tepat di pusat pulau. Dan bentuknya seperti kerucut berulir. Ukiran spiral yang melingkari pinggir bukit tersebut ternyata adalah tangga.

Tommy mendongakkan kepala. Sudutnya terlalu curam untuk melihat apakah ada sesuatu - bangunan, orang, apa pun - di puncaknya atau tidak. Tapi perjalanan ke atas bukit saja mungkin akan makan waktu satu atau dua jam. Sepertinya tak mungkin ada peserta lain yang mau repot menaiki kerucut raksasa ini.

Maka itulah Tommy mengernyitkan dahi sewaktu Lazu mulai mendaki sederetan anak tangga pertama di tepian bukit.

"Ayo, Tommy..."

"Kau mau naik ke puncak bukit kerucut ini? Kenapa kita harus ke sini?"

Si Matoi tidak menjawab dan terus naik. Tommy mengangkat bahu dan mengikuti saja. Makin ke atas, pepohonan kayu semakin jarang, digantikan dengan makhluk seperti kelinci ungu. Bahkan bidadari dan bidadara tak tampak sama sekali. Saat di anak tangga ke dua ratus, mereka mulai ngos-ngosan. Kumis Tommy kembang-kempis mengikuti irama napasnya yang tak lagi teratur. Lazu pun merasa cairan tubuhnya makin berkurang saja.

Semakin ke atas, langit yang biru terlihat silau karena suatu sinar. Awalnya mereka menyangka bahwa matahari sedang ada tepat di atas bukit, tapi anggapan itu segera hilang saat Lazu melirik matahari yang baru naik enam puluh derajat. Yang berarti mungkin cahaya itu berasal dari sumber cahaya lain.

"Huff...hufff...Lazu, sebenarnya mau apa kita ke sini?"

"Tommy...apa kau tahu tentang...legenda Safir Tujuh Dosa...?"

Tommy melirik ke arah Lazu yang baru saja mengucapkan pertanyaan itu. Mata pria paruh baya itu melotot dalam rasa kaget seperti tersambar petir saat dia menjawab justru dengan pertanyaan balik,

"Apa...bagaimana mungkin kau bisa mengetahui istilah itu!?"

Lazu melirik balik padanya, bertanya lagi,

"Jadi kau tahu...?"

Roman muka Tommy berubah datar dalam sekejap.

"Tidak."

Mereka berdua hening sesaat, kemudian Tommy tertawa terbahak-bahak. Lazu memiringkan mulutnya, merasa kecele.

"Judul Film apa itu? Legenda Safir Tujuh Dosa? Sinetron pengganti program harian Mari Memasak bersama Thurqk Si Muka Saus Sambal? Hahahaha!"

"Aku pernah melihat bukit ini dalam ingatanku..."

"Hahaa..." Tawa Tommy melambat sampai akhirnya berhenti sama sekali. Lalu alis cokelatnya berkerut saat dia menyadari bahwa Si Matoi tidak sedang bercanda,

"Tapi, Lazu, kau ini berasal dari dunia yang berbeda denganku. Dan seluruh pulau ini pun hanya bagian dari alam kematian yang dibuat oleh Thurqk. Kenapa bukit spiral kerucut ini bisa ada di dalam ingatanmu? Kau sempat baca di mana?"

"Legenda itu mengatakan..." lanjut Lazu seolah tak peduli oleh pertanyaan si pria paruh baya,

"Apakah itu, yang menginjak lumat semua alasan

Meracik, menanduk, menggumul nuansa hatimu sekeinginannya?

Apakah itu, yang mampu menundukkan manusia, monster, dan setan yang melata di dunia?

Apakah itu, yang memikat hatimu tiada dua?

Tersimpan jauh dalam rongga Bukit Undak Ulir

Di bawah hijau Tetanah Syahwat Satha Pragathak

Yang 'kan jadikan dirimu manifesto seluruh pesona

Yang kendalikan cinta dan benci

Itulah Safir Tujuh Dosa

Cinderamata Kuasa Puteri Kejora

Para Terpilih, hina-busukkanlah kekelaminan

Agar satu-satunya Sang Manifesto Pesona

Ada di antara kalian"

Mendengar bait-bait yang Lazu ucapkan, pria berkumis coklat itu bergumam,

"Syair yang cukup indah, bukankah begitu...?"

Lazu tersenyum kecil, "Benar. Memang cukup indah...syair ini pun ada dalam ingatanku...apa kau tahu artinya...?"

"Tidak...aku tidak tahu..." ujar Tommy. Meski begitu,

"Hei...Lazu. Kau sadar, kan? Bahwa kita adalah peserta permainan mengerikan yang diselenggarakan oleh sesosok dewa gila berkulit merah? Bahwa kita adalah lawan yang diharuskan saling bantai agar diri kita sendiri selamat?"

"Ya...aku sadar..." jawab Lazu pelan, "Tapi...bila ini adalah permainan yang dimulai oleh Sang Dewa...maka kita semua dipaksa untuk ikut di dalamnya...dan saling membantai karena keterpaksaan...terlebih saling bantai sebagai hiburan...itu sangat menyakitkan..."

Lazu menundukkan kepala, "Kurasa...setidaknya aku harus mengenal mereka yang menjadi lawanku...seperti apa diri mereka...pemikiran mereka...untuk menentukan siapa yang bisa....kumanfaatkan..."

"Yang bisa kau manfaatkan? Nada suaramu sepertinya tidak yakin sendiri dengan ucapanmu tadi."

" . . . . "

"Kau bimbang, kan? Apakah semua lawan di sini memang pantas kau benci atau tidak? Justru itu yang sebenarnya kau rasakan, bukan?"

"...Kenapa kau bisa bilang begitu..?"

"Aku ini sudah hidup lebih lama darimu, Lazu. Aku pun pernah menjadi anak muda yang mencari jati diri. Tapi setidaknya kita bisa jadi rekan untuk sesaat."

"Tapi aku ini..memang suka memanfaatkan..."

"Yah karena kau sudah memberitahu dari awal, setidaknya aku jadi tahu hal ini dan bisa menjaga diri, kan. Heheheh."

" . . . . "

"Jadi, apa hubungan syair itu dengan mendaki bukit ini?"

"Bukit Undak Ulir. Tetanah Syahwat Satha Pragathak. Jelas sekali itu adalah bukit kerucut di pulau ini."

"Maksudmu, yang sedang kau cari adalah..."

---

Rem

Mereka tiba di puncak bukit kerucut. Kontras dengan daerah lainnya, puncak bukit hanya terdiri dari pelataran batu putih. Tak ada pepohonan atau rumput sama sekali. Dan di sini sama sekali tak ada bidadari berpakaian minim.

Hanya ada satu bidadari mungil, sedang duduk di pelataran batu beralaskan kain satin. Bidadari ini sangat berbeda dibanding yang lain. Pertama, pakaiannya berupa jubah putih sederhana tanpa sulaman, namun berlapis ganda menutup tubuhnya sampai melewati pergelangan tangan dan mata kaki. Meski kulitnya putih bersih, namun tubuhnya tidak sensual menggoda seperti semua bidadari yang mereka temui sedari tadi. Wajah dan tubuhnya ramping serupa anak gadis enam belas tahunan.

Yang paling mencolok adalah rambutnya yang biru halus dan helai-helainya bagai tak memiliki batas yang jelas dengan udara di sekitarnya, seperti lukisan cat air pada kanvas namun nyata.

Mata gadis itu terpejam seperti sedang tidur dalam posisi duduk manis.

Tommy mendekat dan berbisik pada Lazu, "Hei Lazu. Kenapa ada anak cantik ketiduran di sini?"

"Dia tidak sedang tidur..." jawab Lazu sambil mengamati bidadari kecil itu.

"Tepat sekaliiii~!"

Lazu dan Tommy menganga. Bidadari kecil itu entah sejak kapan telah berdiri tegak di depan mereka. Matanya masih tetap terpejam namun dia tersenyum.

"Aku memang tidak tidur. Namaku Rem. Apakah kalian datang ke tempat ini untuk menemui Puteri Kejora!?"

Wajah Tommy berubah terkejut. Bukankah Puteri Kejora itu adalah nama yang Lazu sebutkan dalam syair tadi? Tapi kemudian makhluk kecil di sebelahnya buka suara,

"Ya."

Tommy mendelik ke arah Lazu sekarang. Si makhluk biru ternyata memang sejak awal bertujuan mencari Puteri Kejora. Pria berkumis itu pun geleng-geleng kepala.

"Lazu. Ini tindakan yang sangat gegabah. Jelas-jelas batas waktu yang diberikan oleh Thurqk untuk membunuh satu petarung lain dan kembali ke titik awal adalah sepuluh jam. Kau malah sibuk menuruti keinginanmu mencari-cari kebenaran sebuah mitos yang tidak jelas asalnya."

"Justru...aku ke sini karena batas waktunya hanya sepuluh jam..
bila kita bisa mematikan cakupan sihir pulau ini, bila kita tak lagi perlu teralihkan oleh nafsu dan hanya fokus pada misi, bukankah penuntasan misi akan jauh lebih mudah?"

"Apa maksudmu dengan mematikan cakupan sihir?" Tommy bertanya dan hendak menentang, namun perkataan Lazu selanjutnya membuat mulutnya terkatup.

"Tidakkah rahasia ini...membuatmu penasaran untuk menguaknya?"

Si pria paruh baya pun menghela napas pasrah. Bagaimanapun, dia adalah seseorang yang sangat menggemari permainan, dan salah satu aspek yang paling mengasyikkan adalah membuka rahasia yang belum diketahui sebelumnya. Itulah jiwa mudanya yang ingin terus ia pelihara. Selalu terperangkap dalam masa kecil, hingga bisa melihat dari jendela mata anak-anak. Mata lugu penuh semangat yang siap menghadapi dunia sebagai permainan besar.

Selagi Tommy terdiam, si cantik berambut biru mendadak berceletuk ceria bagai baru dilamar, "Bila kau ingin menemui Puteri Kejora, akan kuantar~!"

Mendadak sebuah gemuruh besar mengguncangkan pijakan.

"Apa yang terjadi!?"

Titik sentral pelataran batu putih tempat mereka berdiri, mencekung menjadi sebuah lubang besar! Lazu, Tommy dan si bidadari kecil terperosok ke dalamnya. Mereka terjatuh, melesat turun ke dalam kegelapan yang melanda dan bergerak cepat memenuhi pandang. Si cantik malah memekik senang,

"Kita masuk ke dalam bumiii~! Ke tempat rahasia~!"

Mendadak kegelapan itu terhiasi oleh deretan obor, menyala kuning sepanjang interior dinding bukit yang kini menelan mereka. Angin dari bawah sana terasa menghantam wajah dan tubuh di tengah jatuh mereka yang terus menukik tanpa henti.

"Mari kita melambat sedikiit~" suara riang sang bidadari terdengar lagi dari samping Lazu. Seolah menuruti kata-kata itu, dinding interior bukit kerucut di sekitar mereka mulai berkedut-kedut aneh seperti pemandangan di balik riak air. Tubuh mereka mendadak melambat dengan sendirinya di udara. Lalu perlahan turun hingga menjejak lantai batu.

Dengan ini, mereka ada di dalam bukit. Tapi sama sekali tak terlihat seperti gua tanpa penghuni. Justru obor-obor kuning berukir cantik menghiasi dinding marmer krem, membentuk koridor megah dan luas menyambut mereka.

"Tommy." Lazu berbisik sambil melirik pada Tommy, jarinya menunjuk tanpa bisa ditahan.

Sang pria berkumis paruh baya, refleks menatap arah yang Lazu tunjukkan, dan langsung meneguk liur. Sesosok bidadari setengah telanjang duduk dengan memukau di sebuah singgasana dari kayu keemasan serta bebatuan mulia. Wajahnya keibuan namun sekaligus jalang, kulit mulusnya nampak basah dan licin, dan sebuah mahkota indah tersemat di kepalanya seakan sudah menjawab pencarian Lazu.

"Puteri Kejora..." mata Tommy mulai berkabut merah, menggila akibat terkena hipnotis birahi dari penampilan si bidadari, "Tubuhmu sungguh menjanjikan. Seperti permainan teka-teki yang tak akan memuaskan kehausanku sebelum kunikmati seluruhnya."

Berusaha mengelak dari sihir pesona namun gagal. Tommy Vessel dengan kalap menerkam sang puteri bidadari, dia langsung memagut pipi dan hidung si cantik itu tanpa malu-malu. Sang bidadari membalas dengan desahan manja yang membuat lutut Tommy semakin gemetaran, mata pria itu pun berubah menggila seperti mata kerbau liar.

Namun sebagai seorang pria yang sudah pernah menikah - meski berakhir tidak mengenakkan - Tommy masih bisa sedikit menahan nafsunya.

Disadarinya Lazu dan bidadari kecil rambut biru masih ada di belakangnya. Maka pria itu pun berkata, jelas-jelas terganggu, "Kalian, pergilah ke tempat lain."

"Baiklah. Ayo kita pergi..." jawab Lazu sambil berbalik melangkah ke arah lain sambil menggandeng tangan bidadari kecil di sampingnya.

"Eh?" paras mungil si rambut biru tampak kaget kendati matanya masih juga terpejam, entah buta atau apa. Apa ia tak menyangka Lazu begitu mudahnya menurut pada Tommy? Atau ia tak menyangka akan genggaman tangan biru itu pada tangannya?

"Angin berputar membentur dinding gua dan sedikit pembiasan cahaya dari sisi kanan koridor ini, suara gemericik mata air yang rambatan suaranya kira-kira berjarak seratus meter. Mata air menunjukkan keberadaan sungai dan sungai akan bermuara ke laut. Semua faktor yang dipadukan menunjukkan bahwa ada jalan keluar lain dari tempat ini. Kau mau berjalan-jalan bersamaku?"

Si cantik itu palingkan wajahnya ke ara Lazu. Kemudian senyumnya terlihat. Senyum itu...berbeda dari senyum mana pun yang Lazu pernah lihat sebelumnya.

"Tentu."

Maka mereka berdua pun melangkah menyusuri koridor marmer itu, ke arah timur laut di mana penerangan dari obor kuning digantikan cahaya matahari, dan mereka harus melangkahi susunan batu gamping hitam seperti mangkuk bertumpuk-tumpuk, di sela aliran sungai yang melengkung.

Saat sudah benar-benar meninggalkan gua dalam bukit, bidadari rambut biru memanggil Lazu. Berseru panjang, seolah jarak antara mereka cukup jauh, padahal genggaman tangan Lazu di tangannya saja masih belum terlepas.

"Makhluk keciiil~"

"Tinggimu sama denganku kok..."

"Di dalam bukit tadi, kenapa kau menunjuk bidadari bermahkota itu, sehingga pria berkumis coklat itu melihat ke arahnya? Tidakkah kau tahu, siapa pun yang bertatapan dengan bidadari mana pun di pulau ini, akan terkena mantra nafsu birahi dan..."

"Justru karena itu aku melakukannya." sahut Lazu pelan. "Aku ditugaskan...dipaksa ke pulau ini untuk membunuh satu peserta lain...dan lalu kembali ke titik awal lokasiku...tapi aku tak kuat bila harus membunuh pria itu sendirian...tubuhnya jauh lebih besar, dan dia tak mudah dikelabui..."

"Jadi sebagai jalan keluar untuk melaksanakan tugasmu yang terpaksa itu, kau sengaja membuatnya terkena sihir pesona?"

"...Karena peraturan...Dewa bernama Thurqk, mengisyaratkan bahwa melakukan perbuatan mesum pada bidadari di pulau ini...sama dengan bunuh diri...meski kenapa dan bagaimana bunuh diri itu bisa terjadi belumlah jelas untukku, tapi aku terpaksa mengandalkan godaan sihir pesona itu untuk..membunuh Tommy..."

"Dia belum tentu akan mati, lho~"

"Bila kecerdasan, kedewasaan dan ambisinya sesuai dugaanku, enam puluh enam persen dia takkan terhanyut dalam perbuatan mesum...karena beberapa waktu lalu pun aku bisa mengalahkan hasrat birahi karena logikaku mampu mendominasi..."

"Jadi, bila rencanamu belum pasti berhasil, untuk apa kau jauh-jauh datang mendaki bukit kerucut, hanya untuk menyaksikan Puteri Kejora bermesraan dengan pria berkumis itu?"

"...Setidaknya itu akan menyibukkannya cukup lama...karena aku lebih ingin mengamatimu..." kata Lazu, kini makhluk biru berkepala bulat itu tersenyum saat ia menoleh pada si bidadari remaja berjubah putih tanpa noda,

"Jubahmu tebal melilit leher sampai menutupi seluruh tungkai dan lenganmu, seperti gamis padang pasir. Namun bila diamati pada cahaya kuning dengan sudut tertentu seperti di sepanjang koridor marmer dalam bukit tadi..."

Ucapan Lazu membuat gadis cantik itu menyentuh-nyentuh ujung jubahnya sendiri,

"Tampak jelas motif bunga langka Krisantemum Kamlan yang sangat rumit menyerupai labirin, dan berpusat pada titik temu dalam lipatan simetrisnya. Yaitu insignia khusus pada ulu hati jubah putihmu, berupa lukisan permata nyaris transparan yang memendar dalam gelombang frekuensi khusus. Maka,"

Lazu melepaskan tangan birunya dari jemari lentik sang bidadari,

"Dipadukan dengan dirimu yang entah kenapa tak menimbulkan rangsangan seksual meski aku menatapmu berkali-kali, lalu seluruh fenomena alam di pulau ini yang menurutimu - puncak bukit yang mendadak terbuka tanpa ada mekanisme penggerak apa pun, jatuh dari ketinggian ratusan meter ke dalam bukit namun dengan pendaratan dilambatkan yang tak punya sebab peralihan gaya fisika yang logis selain menuruti komando verbalmu - tidak berlebihan jika,"

untuk kemudian menatap wajah cantik penuh kesegaran itu lekat-lekat,

"...Tak berlebihan jika aku hanya dapat membayangkan: Apa yang akan kulakukan jika aku memiliki kekuatan yang demikian besar? Kekuatan yang - seperti dalam bait syair yang kutahu dari memori bidadari - mengizinkanku untuk mengendalikan perasaan makhluk apa pun? Yang dengannya, bahkan perasaan alam itu sendiri akan bertindak berdasarkan keinginanku?"

Sang bidadari miringkan kepalanya sedikit ke sisi, rambutnya yang berwarna laut itu teruntai saat mendengarkan perkataan Lazu selanjutnya,

"Apakah yang akan kulakukan? Apakah yang harus kulakukan, bila aku dapat menguasai makhluk apa pun dengan sedemikian mudah? Apakah aku akan bosan akan kekuasaan? Ya, aku akan. Apakah aku akan menggunakan kekuatan dahsyat itu untuk bermain-main? Ya, aku akan."

Bidadari berambut biru itu mulai membuka matanya yang sedari tadi terpejam, saat Lazu menyimpulkan pada akhirnya,

"Bukankah begitu, Rem? Bukankah begitu..Safirem, Sang Puteri Kejora?"

Kedua mata tajam dan anggun itu biru. Bukan sembarang biru seperti kulit Lazu yang biru cerah. Tapi biru yang dalam dan tak berujung, yang dari dalamnya menyeruak cahaya beribu bintang. Si Matoi tersenyum kagum menatap paras itu, yang melebihi indahnya embun. Atau senja.

"Ternyata ketahuan, ya."

---

Sebelum apa yang disebut Nanthara tercipta,

Thurqk, Sang Dewa, pada suatu masa, mengarungi Multi Dimensi yang tak mengenal batas. Pada sebuah titik, matanya melihat sesuatu. Itu adalah sosok perempuan mungil yang meringkuk dalam tidurnya di tengah lautan kehampaan.

Sebuah keberadaan yang bukan merupakan hasil ciptaannya? Sang Dewa pun berusaha menyembunyikan keterkejutan. Ia hendak membangunkan sang bidadari biru. Namun si cantik terlelap begitu pulas, membuat Thurqk sekalipun tak tega.

Setelah beberapa abad, sang bidadari kecil terbangun. Thurqk menurunkan perintah pada si cantik, agar menjadi budaknya, budak Sang Dewa, atau mati.

Betapa kagetnya Thurqk ketika gadis itu membuat simbol permata safir yang nyaris memenuhi dunia vakum. Sang Dewa pun merasakan terpaan kekuatan unik yang membuat dirinya merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya selama ini.

Penyesalan.

Thurqk tak pernah menyesal, terlebih untuk kejadian seremeh ini. Tapi ia benar-benar merasakan itu, irisan pedih di nuraninya saat mengingat bahwa ia baru saja memaksa si cantik untuk menjadi budaknya.

Tak pelak lagi, bidadari rambut biru ini memiliki daya kuasa yang sama sekali tak bisa dianggap remeh, bahkan oleh figur dewa sekalipun. Thurqk mengerti. Kekuatan si rambut biru ini adalah...dia mampu mengendalikan perasaan siapa pun, apa pun, bahkan dewa sekalipun.

Namun beberapa saat kemudian, dorongan emosional itu menghilang dari Thurqk. Tampaknya si bidadari tak berniat bertindak atau melawan lebih jauh. Ia hanya menatap Thurqk polos dengan matanya yang memancar indah. Setelah sekian detik berlalu, Thurqk pun mencoba cara lain.

"Kau mau ikut bersamaku? Pasti kesepian berenang-renang dalam kekosongan ini, bukan?"

Di luar dugaan, si cantik menjawab, "Pertemuan ini sudah tertakdir, Thurqk Sang Penguasa Nanthara, Penguasa Para Terpilih."

"Kau tahu tentang Nanthara yang belum tercipta? Tentang Para Terpilih yang ada dalam desainku?"

"Pengetahuan itu sudah ada dalam benakku entah dari siapa dan entah sudah berapa lama. Aku harus ikut bersamamu, karena amanat yang harus kusampaikan ini amatlah berat."

"Amanat berupa apa? Amanat untuk siapa?"

"Amanat berupa kekuatan ini, Kekuatan Safir Tujuh Dosa, yang dapat menciptakan dan mengendalikan perasaan siapa pun dan apa pun. Amanat ini adalah untuk salah satu Terpilih yang akan kau tarungkan di Nanthara Island sekian milenium mendatang."

"Kau hendak menyerahkan kekuatan sebesar itu pada salah satu makhlukku?"

"Hanya pada dia, Satu Terpilih, yang mampu memurnikan pandangannya dari nafsu, untuk menatap kebenaran seperti adanya."

Thurqk membisu saja. Tapi saat si cantik melayang mendekat dan lalu diam menunggu tindakannya selanjutnya, maka Thurqk memberi isyarat kepala agar sang bidadari mengikuti arah terbangnya.

Kemudian mereka melesat dengan ledakan aura Thurqk yang membara dan kesejukan hawa safir dari si cantik rambut biru, jauh melebihi kecepatan tahun cahaya.

---

Thurqk menjentikkan jari untuk ciptakan gugusan yang terdiri dari tujuh pulau berbeda. Lalu ia menawarkan pada Safirem,

"Apa yang bisa kau kreasikan dengan kekuatanmu? Buatlah gugus kepulauan ini semenarik mungkin."

Maka Safirem menaburkan energi, kekuatan Safir Tujuh Dosa itu menerobos ke pusat masing-masing pulau.

Ia mencipta dan menanam bibit sihir yang berbeda untuk masing-masing pulau.

Tiap bibit akan menumbuhkan satu jenis hasrat, untuk siapa pun yang mendatanginya.

Kesombongan. Rasa Malas. Keserakahan. Lapar. Cemburu. Amarah. Birahi.

Dengan ini, salah satu arena perang Thurqk pun telah rampung.

Sampai saatnya pertarungan Para Terpilih dimulai, dan Safirem Sang Puteri Kejora menunggu di bukit kerucut pulau Thvr.

---

"Kisah yang aneh.." Lazu menggumam, "Berarti kau, seumur hidupmu, hanya menunggu kedatangan salah satu dari Sang Terpilih itu?"

Safirem menggeleng, rambut birunya mengulas udara seperti sebuah kerinduan yang tergenapi, "Aku tak harus menunggu lagi. Aku telah menemukannya."

"Siapa, memangnya?"

Mata biru yang dipenuhi kharisma lembut itu menatap Lazu dengan tenang.

"Oh...aku...bukan aku..." Lazu cepat-cepat menyela.

"Kenapa bukan? Kau mampu mengatasi godaan birahi dengan memaksimalkan analisismu."

"Aku hanya...penasaran dengan legenda yang kudapat dari ingatan bidadari...aku tidak..."

"Terlambat, Lazu." Sang Puteri Kejora tertawa merdu, "Akulah yang menemukanmu."

"Tapi untuk apa? Pengetahuan tentang wadah manifesto Safir Tujuh Dosa itu, kau bilang sendiri bahwa kau tak tahu asalnya dari mana. Memberikan kekuatan sebesar itu...kekuatan pengatur emosi...padaku?"

"Bukankah kau adalah parasit, Lazu? Bukankah interaksi tubuh parasitmu dengan suatu benda, akan memberimu kemampuan yang berbeda-beda? Kau tak perlu khawatir akan kekuatan ini. Paling juga efeknya akan beda."

"Iya, tapi-"

"Bayangkan ini, Lazu yang Baik Hati," ujar Safirem, membuat Lazu menunduk malu, "Meski kekuatan pengatur emosiku akan hilang karena kuserahkan padamu-"

"Tidak."

"...Meski begitu, aku ini tetap memiliki kekuatan yang cukup untuk membunuh Mba Irwin, yang tak mempan serangan fisik, dengan satu sentilan. Kau tahu kenapa?"

" . . . . "

"Karena aku bukan diciptakan oleh Thurqk. Aku, Puteri Kejora, adalah entitas yang...kurang lebih,"

Bibir itu masih tersenyum saat Safirem mengatakan hal itu. Hal penentu yang mampu membolak-balikkan dunia.

"...sama dengannya."

"Kau..." wajah Lazu berubah sontak. Puteri Kejora ini adalah...ia sedang berhadapan dengan...dengan...

"Yah, tapi masalahnya, kau bayangkanlah lagi. Aku yang seperti ini, sampai tidak tahu dari mana aku mendapatkan ilham ini. Bisakah kau bayangkan betapa besar suatu kejadian yang melatar-belakangi misteri ini? Sehingga aku tak dapat menalarnya?"

Si Matoi terdiam. Kata-kata dan analisisnya hilang dalam sekejap mata. Hilang.

"Maka itulah, aku...memintamu menerima kekuatan ini. Menjadi Wadah: Manifesto Safir Tujuh Dosa."

"Apakah...aku boleh menolak?"

"Siapa pun Sang Terpilih yang ternyata terbukti dan akhirnya kutentukan..."

"Kau tentukan!??"

"...dan akhirnya kutentukan sebagai Sang Manifesto, namun menolak, akan terhapuskan dari eksistensi. Aku dan Thurqk sudah sepakat atas kondisi ini."

Lazu terperangah. Dia berseru tanpa bisa ditahan,

"Kau keras kepala sekali! Seenaknya! Mentang-mentang Dewa!"

Safirem merengut dan balas berseru,

"Cukup untuk menyaingimu, kan!!"

Diam sesaat. Sehelai daun melewati kekosongan di antara wajah mereka. Rapuh. Manis.

"Cukup untuk jadi temanmu, kan?"

Dan mereka berdua tertawa riang, tak ubahnya sahabat masa kecil yang baru saja dipertemukan kembali.

---

"Mari," Safirem ulurkan tangannya membuka ke arah atas. Lazu menggenggam kulit halus itu. Seberkas sinar pun memancar keluar dari pertautan dua tangan itu. Sinar berbentuk permata safir raksasa.

"Ahh.." Safirem mengangguk, matanya pejam, "Seperti yang kuduga...kekuatan ini masuk dalam tubuhmu, dan tubuhmu menangkapnya, mengolahnya menjadi sesuatu yang lain."

"Begitukah?" Lazu menurut saja, hanya merasakan sejuk yang meliputi dari cahaya simbol safir itu. Ketika cahaya itu akhirnya pudar, mereka terdiam. Dan Safirem berbisik,

"Selesai."

"Begitu saja?"

"Lazu. Dari interaksi esensi antara kita tadi, aku harus mengatakan padamu bahwa...menerima kekuatan Safir akan memberi konsekuensi."

Lazu mendengarkan.

"Satu, ternyata kekuatan pengendali emosi dan hasrat sudah menghilang akibat sudah menyatu dengan dirimu, membentuk kemampuan lain. Dua, selama ini tubuh parasitmu bisa memperoleh kemampuan baru dari tubuh inang. Tapi penyatuan dengan Safir, menetralisir efek itu."

"Apa? Jadi meski menjadikan makhluk atau benda apa pun sebagai inang, aku selamanya takkan bisa mendapat teknik baru?"

"Ya. Tapi jangan khawatir. Karena hal ketiga yang harus kau tahu adalah, kemampuan ini kuberikan pada dasar esensimu. Dengan kata lain, jika kau membelah diri jadi seratus atau berapa pun,  masing-masing dari dirimu itu tetap akan memiliki kemampuan Safir ini. Kemampuan ini telah menjadi kemampuan dasar milikmu. Kemampuan ini telah jadi milikmu sepenuhnya."

"...Jadi mulai sekarang, tubuh parasitku tak bisa memperoleh kemampuan baru lagi...jadi semua teknik yang mungkin akan kudapatkan, telah dikorbankan untuk menerima kekuatan Safir yang jumlahnya satu..."

"Ya. Tapi lihatlah ke dalam esensimu yang sekarang, Lazu. Rasakanlah sendiri kemampuan barumu ini. Kemampuan memiliki cakrawala, kreasi, kedalaman yang bahkan tak bisa kuterka ujungnya."

"Aku..." Lazu terpekur, "Aku merasakannya...kemampuan ini...sungguh berlapis-lapis...kombinasi, percabangan, pengerucutannya..."

"Menarik, kan?" Safirem menyetujui, "Kau mengorbankan satu aspek dari kemampuan parasitmu saat menerima Safir. Safir pun mengorbankan into kekuatan pengatur emosinya saat berpadu dengan dirimu."

" Sebuah pengorbanan, untuk meraih yang lebih baik..begitukah?"

"Sangat sesuai dengan dirimu, kan?" Puteri Kejora masih menggenggam tangan Lazu. Pandangan mereka bersentuhan, sementara mentari yang sudah akan lelap, masih juga rela percikkan sisa spektrumnya yang jingga. Untuk membingkai tubuh mereka sejenak saja.

"Selanjutnya, adalah kehidupanmu. Pencarianmu. Walau mungkin kau akan temukan, sebuah tempat untukmu."

"Begitukah?"

"Mungkin tidak sendiri. Mungkin bersamaku."

Mata biru Safirem melembutkan Lazu dari kesedihan. Memberinya alasan untuk bertahan.

"Maka melangkahlah. Bila kau bertanya tentang kebaikan dan kebatilan dalam dirimu, maka carilah. Di dalam samudera. Di merekahnya bintang. Di balik inti semesta."

Tubuh Safirem memudar bagai sebaran cat air di kanvas angkasa.

Lazuardi menatap sekali lagi mata merindu itu, dan memahami. Bahwa selanjutnya ia harus melangkah sendiri. Lagi. Bahwa inilah saat berpisah. Sampai bertemu kembali, jika langkah mereka masih dalam pena takdir.

Hingga kau capai Relung Induk Langit: Khatea Ultima."

Langit mulai berhujan.

Langit mulai berbintang.

Langit tercenung sendiri.

Seperti Lazu.

---

Pelepasan Belenggu

Sebuah simbol Safir memancar tinggi di langit jauh. Segenap Satha Pragathak diliputi cahaya biru yang membawa kedamaian hati. Di saat hawa biru tersebut pudar, berangsur lenyaplah pula Sihir Tujuh Dosa di masing-masing pulau.

"A...apa ini...apa yang kulakukan?! Aku sudah membunuhnya karena hal sesepele itu.."

"Rasa laparku...hilang...uaaahhh! Perutku mau pecaaaah! Makan apa saja aku daritadi!"

"...Aku bersalah, nom...tapi harta ini tetaplah sangat nom, nom..."

"Ah-ah-ah-uh-uh-uh...mantap sekali licinnya...Ungh...Nona...Nona Rambut Pelangi
..maaf, aku lupa bertanya, siapakah namamu?"

----

Teriakan demi teriakan terus terdengar dari semua penjuru Kepulauan Tujuh Dosa. Entah apa yang terjadi, mendadak segenap pengaruh sihir yang melanda setiap jiwa para petarung dan penghuni pulau lainnya, punah tanpa sisa.

Kini, Para Terpilih telah terbebas dari Sihir Tujuh Dosa. Kesadaran serta fokus yang terpulihkan kembali, menuai kericuhan yang tidak kalah hebat. Mereka yang berambisi untuk mengalahkan, akan leluasa untuk menganiaya. Mereka yang tak bertarung, akan tersingkirkan.

Karena mengingat efek sihir yang sebelumnya mencengkeram, pertarungan di setiap pulau justru semakin memanas. Bila beberapa kejap lalu nurani mereka masih terkungkung dalam segala jenis nafsu, kini tali kekang yang melilit mereka seakan terlepas. Mereka kini berjuang atas keputusan mereka sendiri.

---



Sebuah tragedi. Azraq hanyalah seorang anak muda. Ada tiga hal yang paling membekas dalam ingatannya. Yang pertama adalah masa kerjanya di rumah makan timur tengah milik sang ayah. Pelatihan cara memperlakukan pelanggan, pertama kali menerima pesanan roti cane berkuah kari, suara benturan spatula dan wajan datar untuk martabak mesir. Yang kedua adalah bakat anehnya. Momen dramatis saat keran-keran di sekeliling tersentak menyemburkan derasnya air sehingga menjungkalkan orang-orang menyebalkan yang selalu memukulinya, itu membuatnya senyum-senyum sendiri. Dan yang ketiga adalah...Nisa.

Gadis yang disayanginya sepenuh hati. Gadis yang baru saja akan ditemuinya untuk membuka tirai kehidupan pernikahan. Tapi kematian menjemput Azraq tanpa kenal waktu. Pemuda itu tak sempat melamarnya, umurnya hanya sampai di sana.

Seharusnya begitu. Tapi di dunia kematian, ternyata terdapat medan pertarungan yang harus dia lewati. Dan dia harus mengalami sebuah kenistaan yang besar.

Di ranjang besar yang ditempatinya, dua sosok tubuh lain berbaring nyaris tanpa pakaian. Yang pertama adalah sosok bidadari penghuni pulau yang tertidur pulas. Wajahnya merona kemerahan, tampak puas dalam tidur.

Yang terakhir, perempuan muda dengan jaket merah muda tersampir di pundak seadanya. Di baliknya tak ada pakaian lagi. Wajahnya tampak tak acuh, muram. Jelas sekali di antara keempatnya, hanya si jaket merah muda yang tidak menikmati permainan panas yang baru saja mereda.

Permainan panas?

"Tidak...tidak...a-aku, tadi aku hanya...hanya terpengaruh suatu sihir...aku bukan tukang cabul..."

"Ya...ya ya. Kau bilang tadi, kau ini pelayan restoran ya. Yah, setidaknya pelayananmu tadi tidak mengecewakan." remaja perempuan menyahut sambil memakai gaun hitam serta jaket merah muda miliknya. Yang terakhir, sebuah belati disarungkan ke punggung dan sebuah tonfa dipegangnya dalam posisi siaga.

"Sebaiknya kita selesaikan ini sebelum ada sihir seks yang punya pengaruh aneh-aneh lagi. Ayo maju, Bekas Perjaka."

"A-apa maksudmu dengan 'sebaikny kita selesaikan'...bukankah kau dan aku...baru saja...baru saja..."

Azraq adalah pemuda yang sangat lemah dan gugup menghadapi wanita. Keadaan di mana dia baru saja disetir oleh nafsu birahinya sendiri sehingga menyetubuhi dua wanita sekaligus, membuatnya tak tahu harus berbuat apa.

Terlebih saat ujung sebuah tonfa hendak menghajar tulang pipinya, pemuda itu masih mampu menunduk hingga pukulan tonfa pertama hanya menggores pipinya sedikit, tapi Lulu memutar-mutar tonfa hingga kontan batangan itu menepak tengkuk Azraq.

Beruntung si pemuda segera mengeluarkan kekuatannya dan membentuk bantalan air yang segera menjadi alas tubuhnya yang terhempas jatuh. Mengumpulkan semakin banyak uap di udara dan menjadikannya air, Azraq membuat ombak yang melontarkan tubuhnya sendiri belasan tombak ke udara. Dia harus menjauhi Lulu. Mana mungkin melawan wanita? Terlebih wanita yang baru saja melakukan...itu...dengannya. Ini lebih tidak masuk akal dibandingkan keanehan apa pun seumur hidupnya!

"Maafkan aku, Nona...eh...Nona Pink...meski itu adalah perintah Dewa sekalipun, aku tak mau melawan  wanit- eh, di mana dia..."

Azraq menoleh ke arah permukaan tanah di mana wanita itu baru saja menghantamnya, namun justru ada sebuah bayangan yang meliputi dirinya dari atas. Ketika Azraq mendongakkan kepala, tumit sepatu Lulu sudah menyepak dagunya keras dalam gerakan mencangkul dari samping.

"Khh!!"

Dengan rahang retak dan pandangan bergoyang akibat serangan yang baru saja terjadi, dalam kondiai terpental cepat di udara itu Azraq kembali berusaha mempertahankan konsentrasi untuk mengumpulkan uap air agar menyediakan bantalan untuknya. Namun seperti sudah mengetahui sebelumnya, Lulu ternyata keburu berjumpalitan cepat dan menunggu di areal yang sedang dituju oleh pengendalian air Azraq.

"Apa..! Dia mengetahui lokasi incaran kendali airku...apa mungkin, jika wanita ini juga..."

"Belati Kala!"

Gadis Chronoss tebaskan tonfanya membentuk salib dan sebuah jalur cahaya merah muncul di udara sesuai gerakan. Azraq yang masih kesulitan mengendalikan arah tubuhnya yang terpental, terkena salib jalur tebasan yang melayang diam tersebut dan mendadak timbul luka dalam berdarah di pinggangnya, tak beda dengan terkena tebasan tonfa. Terpelanting ke atas akibat daya tolak teknik Lulu, perut pemuda itu pun terkena jalur tebasan kedua yang terpalang di udara, hingga tersungkurlah dia ke dasar gua untuk kedua kali.

"Perempuan ini...cepat sekali..." Azraq berusaha menahan, namun efek pukulan jejak tebasan tonfa pada perutnya terlalu kuat. Pemuda itu pun memuntahkan cairan lambung bercampur darah yang menggenangi bebatuan di sekitarnya.

"Baguslah, mungkin kau pikir hanya kau saja yang bisa mengendalikan air," Lulu mendekat sambil menyembunyikan tonfa di balik pinggang, "Kekuatan yang menjijikkan, aku tahu. Makanya aku heran kenapa kau bersemangat sekali memakainya."

"Apa kau memang tahu...ke mana saja arah pengendalian airku tadi...jangan-jangan kau dapat mendeteksi tiap tetes air yang kukendalikan...sehingga.." Azraq bangkit perlahan-lahan sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berputar.

"Mungkin dalam mengendalikan, kau jauh lebih hebat, tapi penginderaan airmu tidak ada apa-apanya." Lulu menyahut cepat. Kemampuan khusus gadis Chronoss itu memang juga berhubungan erat dengan air, namun siapa sangka Lulu telah melatih kekuatan itu untuk hal yang sangat berbeda dibanding Azraq.

Si pemuda melangkah susah payah, kepalanya seperti ditimpa batu, perutnya masih berontak mual dan kram hebat akibat serangan lawan barusan. Namun tak mau menyerah, Azraq mengumpulkan sejumlah besar uap air dari kelembaban udara. Dia merapal mantra pembekuan dialek timur tengah, dan mewujudkan puluhan piringan es dengan tepi-tepi tajam di sekitar tubuhnya.

"Apa boleh buat...Nona Pink...kau terlalu kuat untuk kuanggap sebagai wanita biasa...Latiif Chakramaa!!"

Cakram-cakram es itu melesat ganas memotong tiang-tiang-tiang batu putih tanpa berhenti dan menuju gadis Chronoss. Namun Lulu mengandalkan kecepatan gerak dan memulai penginderaan airnya. Rute laju setiap cakram es itu justru tergambar jelas berupa getar-getar halus di kulitnya. Melangkah maju dengan luwes, dua buah cakram melewati batang lehernya. Tiga lagi nyaris membabat punggungnya namun satu putaran badan Lulu membawanya mengayunkan tonfa dan memecahkan senjata terbang itu berurutan.

"Ah...dia sungguh hebat..." Azraq membatin tanpa bisa dicegah, "Tapi bagaimana pun...aku juga punya sesuatu yang harus kulakukan...aku harus kembali pada Nisa, belahan jiwaku. Aku akan menikahinya! Kau tak bisa mencegahku!"

Belasan cakram yang tersisa mendadak mengubah arahnya mengejar titik-titik vital tubuh Lulu. Si gadis Chronoss kini balik terkejut, ia memang cepat, namun proyektil es itu mengepung tubuhnya bagaikan penjara berputar yang rapat!

Dua cakram menancap di deret tulang punggungnya! Lulu memekik kesakitan. Darah muncrat membasahi jaket merah muda itu tanpa bisa dicegah. Azraq sendiri terkejut karena kelancangannya menyakiti wanita. Tapi bukankah ia hanya berusaha mempertahankan diri? Dia mengibas-ngibas kecil kedua tangannya dan membuat semua cakram terbagi dalam dua formasi yang terbang menukik menyasar kedua bahu Lulu. Tapi bukan keturunan Dewi Waktu namanya jika tak punya teknik lain di balik wajah muramnya.

"Gelincir Kala!!"

Figur Lulu sontak menghilang dari titik sasaran, meninggalkan semua cakram es yang saling bertabrakan di udara hingga pecah berantakan dalam bunyi-bunyi bagai puluhan jendela pecah. Azraq tak sempat bereaksi ketika sesosok bayangan merah muda melompat dengan kegesitan yang telah menghujani tubuhnya dengan empat kali babatan tonfa menyilang di dagu, leher, rahang kiri-kanan, serta dua tendangan lutut di kemaluan, bahkan sebelum Azraq sempat menoleh.

Seolah tubuh Lulu mengalami perubahan konsep waktu sehingga mampu bergerak sedemikian cepat. Dan nyatanya memang demikian. Teknik Lulu yang baru dikerahkannya tersebut, membuat satu detik bagi orang lain menjadi lima detik bagi Lulu, sehingga gerakan remaja perempuan itu lima kali lebih cepat dari sebelumnya. Azraq bahkan tak sempat mengangkat tangannya untuk sekedar bertahan karena hantaman Lulu begitu beruntun. Kini pemuda itu bagai karung pasir hidup yang terlonjak ke sana-sini rentetan serangan sang gadis Chronoss.

Hanya saja Lulu menjadi terhanyut dalam kenikmatannya menghajar sang pengendali air. Dia mengingat Belati Bulan yang dibawanya, belati legenda yang mampu melakukan pemanggilan jiwa para makhluk untuk melaksanakan perintahnya. Dan dia mengingat ketidakmampuannya menggunakan belati tersebut, ketidakmampuannya melakukan teknik sang ibunda, Rena Chronoss, Sang Perintah Waktu yang tak tersentuh. Dia malah dianugerahi bakat penginderaan air yang sama sekali tak diinginkannya. Itu lebih buruk dibandingkan menjadi anak haram sekalipun.

Karena itulah dia melampiaskan kebencian itu pada pria di hadapannya yang juga mampu mengendalikan air. Tapi lengah tetaplah lengah. Dia lupa bahwa dua cakram es Azraq masih bersarang di punggungnya, sementara Azraq yang sudah babak belur dengan muntah darah berulang kali, justru melihat jelas hal itu.  Maka saat mukanya membentur lantai batu akibat hantaman tonfa kesekian kali, sang pemuda pun menyilangkan kedua tangannya dengan cepat,

"Kuwwirath Chakrama!!"

memerintahkan dua senjata tajamnya untuk bergerak menggulung makin dalam ke batang tulang punggung lawan. Lulu yang masih berada dalam percepatan waktu sekalipun terlambat setengah detik. Sekuat tenaga perempuan itu memaksakan pengendalian air untuk mencairkan es yang tengah menembus masuk dalam dagingnya, namun percuma.

"Bajingan-!"

Jaket merah mudanya tersayat bersama luka yang tertoreh dalam di batang punggungnya, Lulu jatuh terguling dengan hanya memakai gaun hitam yang pun tercabik di bagian belakang. Sederet rusuknya terpotong di beberapa bagian, bahkan beberapa urat vital tulang punggungnya terkoyak, satu tangan dan satu kakinya tak bisa digerakkan karena gelombang nyeri saraf pusat yang tak henti-hentinya.

---

Pancingan

Baik Azraq dan Lulu sama-sama tergeletak lemah. Lantai dan tiang batu hancur di sana-sini, seperti berubah warna menjadi merah darah dari luka-luka yang mereka terima. Namun efek serangan yang lebih mematikan jelas diterima oleh Lulu yang terjatuh di tepi sungai. Napasnya sudah tak kuat menahan beban tubuh sampai tersedak air liur sendiri pun membuat gadis berponi itu terbatuk-batuk kesakitan. Dia berusaha menyeret tubuhnya sampai sungai. Mungkin dia bisa menyelam untuk meloloskan diri.

Namun saat itulah terjadi perubahan situasi yang tak terduga. Sebuah tangan biru bening muncul dari dalam permukaan air sungai. Disusul dengan sebuah kepala bulat bersorot mata penuh rasa penasaran. Itu adalah Lazu!

"Ma..makhluk apa kau!?" Lulu terkejut luar biasa saat sosok biru itu menggenggam tangannya. Ia ingin menghindar namun saat itu juga punggungnya bagaikan akan putus oleh cakram-cakram es Azraq yang tertanam di dalamnya.

"Kau...kau sangat menderita, kan?" makhluk biru bertanya gugup, "Bila aku membunuhmu...itu akan meringankan deritamu...kan?"

Ya, ternyata setelah Lazu bertemu dengan Sang Puteri Kejora, makhluk laut itu melihat bahwa hampir seluruh area pulau Thvr ini dilalui oleh sejumlah sungai yang bercabang-cabang namun juga saling berhubungan. Ini sangat memudahkan Lazu, karena begitu menyelam dalam air, Si Matoi mampu berenang dengan laju luar biasa cepatnya.

Dengan leluasa Lazu mengitari lingkar luar pulau bidadari tersebut. Melihat posisi matahari yang sudah hampir tenggelam serta para kumbang tanduk malam yang mulai keluar dari sarangnya di pepohonan, estimasinya mengatakan bahwa sudah enam jam berlalu.  Yang berarti waktu yang tersisa hanya empat jam.

Mengingat kembali, tatapan Thurqk yang begitu lalim tanpa kenal ampun. Lazu merasakan tubuhnya seperti dihimpitkan ke tembok besar. Ia harus menuntaskan misi ini secepatnya, secepatnya. Meski itu berarti ia harus...membunuh.

Tapi...dia sudah pernah melakukan itu. Dia sudah pernah membunuh, bahkan memakan bidadari cantik berbola mata emas di pulau ini. Dia sudah pernah. Dan bahkan itu hanyalah untuk berjaga-jaga. Dan bila ia tak segera bertindak, bukan omong kosong yang menantinya.

Tapi nasib yang sama dengan sebelas makhluk itu, sebelas makhluk yang telah Thurqk berangus tanpa berkedip dengan kedahsyatannya yang menggetarkan.

Jadi...salahkah ia jika membunuh karena terpaksa? Karena ia tak ubahnya ikan yang akan dipanggang hangus oleh pemiliknya jika tak menari-nari dalam akuarium?

Membunuh karena terpaksa...mungkin bisa dimaafkan. Mungkin. Ia hanya harus membunuh orang yang tepat. Memilah-milah berbagai faktor dalam pertimbangannya, Lazu sampai pada kesimpulan bahwa sebuah pembunuhan yang ia lakukan, bisa menjadi beban moral yang bisa dibenarkan apabila: yang ia bunuh adalah makhluk jahat. Namun jahat itu sangat subjektif. Atau, yang ia bunuh akan menderita berkepanjangan bila hidup, atau akan lepas dari penderitaan bila mati. Penderitaan. Lagi-lagi istilah yang sangat subjektif.

Ujung pemikiran yang serba ambigu. Tapi Lazu sudah putus asa, logikanya tertindih oleh menit dan detik yang terus berkejaran. Arus air sungai berlalu menyusupi tubuhnya yang melesat cepat, namun setiap ia mengayuh, pikirannya seperti memutarkan adegan yang diulang-ulang.

Padang rumput pesisir barat. Hutan cemara di timur laut. Ngarai bunga Plakoda di utara. Hanya ada pemukiman-pemukiman kecil dari para bidadari yang bingung dan menatap kosong setelah sihir pesona terlepas dari tubuh mereka. Tak ada figur yang berpakaian beda, tak ada yang bertarung. Lazu kembali menyisir wilayah yang belum ia lalui, semua untuk mencari peserta yang bila dibunuh pun, tidaklah mengapa.

Sampai akhirnya ia justru memergoki pemuda dan pemudi yang saling bunuh di area lereng bukit kerucut yang justru tak jauh dari lokasi awal pencariannya. Ia pun menyelam dan mengintip diam-diam, sehingga Lulu yang sibuk bertarung dengan Azraq tak sempat merasakan kehadirannya di dalam air.

"A..apa..mau apa kau?" Lulu bergumam lirih saat tangan Lazu meraih kepalanya.

"Maafkan ak-"

Sebuah anak panah dari kristal es melesat begitu nyaris di depan hidung Lazu, memaksa Si Matoi melangkah mundur dan melepas genggamannya dari kepala si gadis Chronoss.

"Lepaskan wanita itu!"

Lazu menoleh pada seraut wajah yang bermata biru menatapnya garang. Seolah tak mengizinkan Si Matoi berbuat macam-macam pada sang perempuan. Namun Lazu tak habis akal.

"Lepaskan...? Manusia perempuan ini...sudah tak bisa berjalan akibat saraf pusatnya kau potong dengan senjata es...bukankah dari awal kau hendak membunuhnya...?"

"Jangan sembarang bicara! Aku tak mungkin membunuh seorang wanita tak berdaya!"

"Kau tidak semurah hati itu saat dia akan membunuhmu dengan gerakan super cepatnya tadi...jadi, tidakkah membunuh karena terpaksa itu...bisa dibenarkan...?" Lazu berujar retoris pada Azraq, membuatnya kesulitan menjawab.

Lazu melangkah maju perlahan, langkahnya hati-hati dan mengamati tiap perubahan gerakan sang pemuda.

"Sepertinya kau berusaha mempengaruhiku untuk mendukung apa yang akan kau lakukan pada gadis ini," Azraq bertambah berang karena menyadari bahwa Lazu baru saja mencoba memancing keluar sifat oportunisnya, "Aku hanya membuatnya tak mampu bergerak untuk berjaga-jaga agar dia tak lagi mencoba membunuhku. Tapi kata-katamu itu...beracun...kau licik..."

"Maafkan aku...aku tak ingin diam saja...sementara semua jalan keluar adalah buntu...jika saja aku bisa sedikit lebih kejam..." Lazu berkata namun sambil terus maju mendekati Azraq.

"Jangan mendekat!"

Saat Lazu berusaha menghasutnya sambil mendekat, Azraq sudah tak bisa lagi menahan kekesalannya, dan langsung melepaskan anak panah es ke perut Lazu. Terdengarlah lesatan benda runcing di udara yang lalu menembus permukaan daging, diikuti sebuah teriakan pilu. Teriakan meregang nyawa.

"!!!"

Wajah Azraq berubah pias seperti kehilangan darah

"Tidak...ke, kenapa...?"

Tapi kenapa makhluk biru itu seolah sudah sangat tahu bahwa proyektil itu akan menuju perutnya dalam detik itu? Kenapa ia bisa menghindar dalam saat yang tepat dengan satu langkah ke samping saja? Dan mengapa...anak panahnya...malah menembus leher Lulu yang berada tepat di belakang makhluk biru itu?!

"Dari frekuensi teriakan wanita yang terputus di belakangku tadi," ujar Lazu tanpa mengalihkan pandangan dari sang pemuda, "Otot pernapasannya sudah tak berfungsi total sejak detik kedua...dengan kata lain...kau baru saja membunuhnya dengan panahmu..."

"Tidak! Tidak! Kau merencanakan ini semua dengan akal licikmu!" seru Azraq mulai putus asa, "Kau pasti sengaja...melakukan sesuatu...agar panahku mengenai gadis itu...apa yang kau perbuat! Kau sungguh tega!"

"Lehernya tertembus panah dari depan sampai belakang..." Lazu berpaling sejenak, seolah ingin mengamati apa yang terjadi dengan sosok di belakangnya. Otomatis pemandangan berdarah-darah itu semakin terpampang jelas di mata Azraq, sosok Lulu yang tergeletak, mati membelalak dengan bersimbah merah dan leher tercabik oleh panah es. Panah es miliknya.

Tindakan Lazu mengenai sasaran. Makhluk biru itu sedari tadi mengeluarkan kata-kata provokatif seraya maju dan menggeser langkahnya sedikit-sedikit, hingga posisi Lulu menjadi tepat di belakangnya. Terbentuk garis lurus antara Lulu, Lazu dan Azraq.

Melihat kondisi mental Azraq pun, dengan segera Lazu memancing amarahnya agar sang pemuda melepaskan panah. Bahkan dari aliran dingin di telapak tangan Azraq pun, Lazu sudah sangat tahu kapan anak panah es akan terbentuk di udara dan kapan anak panah itu akan dilontarkan oleh pemiliknya. Sejak awal Lazu telah bersiap menggeser langkah ke samping, maka Lulu akan menjadi korban pembunuhan. Azraq akan menerima tikaman psikologis yang tak ringan.

Dan ia pun mengamati efek, hasil dari skenarionya: seakan ada kabel terputus di otak sang pemuda. Azraq baru saja menghabisi nyawa wanita cacat yang bahkan tak lagi mampu menggerakkan badannya.

Hanya saja Lazu melupakan sesuatu. Ia sudah bermain-main dengan sebuah gelombang pasang yang akan menelannya.

---

Safir

Diam-diam Azraq menggenggamkan tangan, memaksa dirinya untuk berdiri. Angin yang sangat dingin pun mulai berhembus. Lazu menoleh dan menyadari bahwa tiang-tiang putih di sekitar mereka mulai diliputi oleh lapisan es. Bahkan hamparan rumput di seluruh daerah mata air itu berubah menjadi bagai jarum-jarum biru pucat dalam radius setengah kilometer.

Bidadari dan bidadara di sekitar tempat itu bahkan tak sempat berlarian karena penurunan suhu drastis yang menimpa tempat ini. Mereka jatuh tertelungkup sepanjang jalan itu bagai patung-patung es, dengan tubuh mendingin dan kuku-kuku terliputi kristal putih.

Lazu menengadah, mulai ketakutan melihat gejala alam yang terjadi. Awan di atas kepala bergulung-gulung menemani langit yang menghitam serta angin yang mengguncang padang rumput. Padang beku.

"Manusia ini.....kekuatannya telah sampai pada tahap yang mampu mengubah cuaca..." bibir dan tubuh Lazu gemetar akibat hawa dingin ekstrim. Jangankan sosok Azraq, sungai beberapa langkah di depan pun tak mampu dilihatnya.

Teror itu baru dimulai. Butir-butir es kecil mengumpul menjadi pemandangan magis menyeramkan. Ratusan tombak trisula es melayang memenuhi pandangan Lazu, tersusun lapis demi lapis bagaikan formasi serdadu maut yang siap menghukum pancung. Terdengar kata-kata Azraq yang menekan dan penuh kebencian,

"Makhluk munafik sepertimu...takkan mungkin kubiarkan pergi dengan nyawa masih melekat di badan!! Badai Bilah Beku...Zilzaalaha!!"

Dengan titah tersebut, sebuah bencana alam mulai mengepung Si Matoi. Azraq telah memaksa awan di langit untuk menyirami bumi pulau Thvr. Bukan dengan tetes-tetes air, namun dengan ribuan pedang es runcing yang melesat rapat tanpa jeda bagai hujan meteor.

Hanya saja Azraq takkan menduga sebuah kekuatan yang baru diraih oleh Lazuardi, dari Safirem Sang Puteri Kejora.

..Mengorbankan sesuatu untuk meraih hal yang lebih baik, begitukah? Kalau begitu, mungkin teknik ini kusebut saja sebagai...

Pola-pola lengkungan berpusat sebuah simbol safir, berkilau terang dari dalam sekujur tubuh kecil itu.

"Sakrifar!"

Lazu mati-matian mengerahkan segenap penangkapan inderawinya untuk menemukan celah pada serbuan bilah senjata beku tajam dari langit yang menggebu-gebu. Bagaimana pun dahsyatnya kekuatan ini, bila semuanya dikendalikan oleh manusia dengan daya observasi terbatas, akan ada celah! Harus ada!

Si Matoi maju. Puluhan bilah pedang beku berkecepatan sangat tinggi mengincar puncak kepalanya. Lazu bergeser ke sisi dengan tiga langkah pendek membiarkan tubuhnya terbawa oleh sapuan angin yang menderu-deru.

Pedang pertama, kedua menembus bahunya sampai melesak ke dalam perut. Cairan biru menggenang keluar permukaan tubuh Si Matoi diiringi nyeri tikam yang menjalar kuat menumpulkan konsentrasinya.

Si Matoi memaksa dirinya. Jangan pedulikan tikaman dan cairan tubuh itu. Kalkulasikan arah pergerakan, iriskan perhitungan dengan ruang-ruang dalam aliran badai pedang. Lazu memutar bahu. Pedang-pedang es lainnya gagal menemui sasaran, namun empat lapis formasi ratusan pisau lain masih berdesing di atas kepalanya dan kali ini memecah dalam empat jalur.

Atas, kiri, kanan, depan. Tak menyisakan ruang gerak selain ke belakang.

Atau mungkin tidak juga. Pembuluh internal Si Matoi berpendar keemasan. Dengan teknik Sakrifar, Lazu mampu melakukan sesuatu yang mencengangkan: ia mampu mengubah fungsi satu jenis energi dalam tubuhnya menjadi jenis energi yang lain. Dan kini ia sedang mengubah seluruh fungsi energi pada molekul-molekul parasitnya, mengubahnya menjadi satu hal: kecepatan.

Lazu menunduk ringan. Tubuh bagian atasnya bermanuver tanpa henti dalam elakan dahsyat. Ia bahkan mempecundangi puluhan tombak trisula es maut yang berterjangan membanjir sekaligus terpaan ganas bilah-bilah hujan pedang.

"Dia mampu mengindari dan menepis bilah-bilah dalam badai pedang beku Zilzaalaha?! Dia bahkan...lebih cepat dibanding wanita berjaket pink tadi...!"

Dengan kata lain, karena perubahan bentuk energi, selama Lazu memusatkan pilihan energinya pada kecepatan gerak dan mengambil sumber energi dari kemampuan parasitnya sendiri, selama itu pula kemampuan parasitnya tak dapat digunakan.

"Responku masih lemah! Prioritasku...kiri-kanan-kanan-belakang-diagonal!!"

Mengkategorikan area arah serangan yang harus dihindari dan ditepisnya, Lazu berbalik arah dan melangkah mundur sambil terus melakukan rentetan defleksi untuk menangkis pusaran badai. Namun dua buah pedang memangkas cepat area betisnya, dua lagi menembus perut dan dadanya bagai sate. Lazu bergeming hanya sesaat.

"Namun pengorbanan ini...sepadan...aku berterima kasih, Puteri Kejora!" Lazu pun mengkombinasikan kecepatan barunya dengan sifat tubuh alaminya: dalam urutan koordinat spesifik, ia menepis hujan tombak trisula pada batang-batangnya yang tidak tajam dengan daya pantul dari tubuh kenyalnya. Bilah-bilah senjata kristal es justru menjadi saling bertabrakan, mengakibatkan kekacauan arah dalam pusaran badai Azraq yang tak terkendali.

Lazu mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Luka-luka mematri tubuh kecil itu dari segala arah, semuanya mengancam jiwa dengan cairan tubuhnya yang menipis sebagai tanda bahaya, bahkan sekujur tubuhnya diselimuti oleh lapisan es tipis.

Tapi kenapa ada rasa yang lain muncul dalam dirinya? Sensasi genting dan menggigil ini, yang sepertinya...hampir-hampir...menyenangkan?

Pusaran badai pisau dan selaksa trisula beku makin bergelombang membuncah dataran. Sosok Azraq yang mengendalikan ini semua tetap belum terlihat.

"Mati terkubur sekaligus tercincang oleh badai pedang es. Akhir yang pantas untukmu, Monster!!"

Akhirnya, sebuah kesalahan dari lawan. Berteriak sedemikian kencang sampai mampu terdengar di tengah deru angin badai, itu sama saja menberi peluang bagi Lazu untuk menghitung dan memilah arah datangnya suara. Lazu mengubah posisi kepala berulang kali, menyesuaikan penerimaan akustiknya.

"Gelombang rambatan suara. Dua puluh lima derajat ke timur, pola penyebaran arah suara yang datang berdasarkan formasi badai tombak dan pedang beku, efek interferensi, pilihan arah sumber suara: lima puluh meter di belakang!"

Lazu mengubah arah untuk kesekian kalinya. Namun semua perhitungan membuatnya menyadari kondisi tubuhnya yang mengering semakin cepat. Kontan kecepatan antisipasinya berkurang dan mengizinkan puluhan lapis tombak dan pedang beku untuk kembali menyasar lokasi-lokasi anatomis penting pada tubuhnya.

Leher Si Matoi nyaris tertebas putus, namun Lazu cepat-cepat memiringkan kepala hingga hanya bagian bahunya yang tersayat. Ada jalan.

"Sakrifar Bifurkatio!"

Energi parasit kini dialih-fungsikan memecah menjadi dua divisi: setengahnya tetap untuk melonjakkan kecepatan, dan setengahnya lagi dirubah menjadi sediaan energi untuk teknik penghisapan air miliknya.

"Pongio!!"

Azraq mulai bisa melihat siluet Lazu yang makin mendekat kendati kepayahan menghadapi serbuan elemennya yang begitu mendominasi. Tapi terkejutlah ia ketika akhirnya melihat lawannya tersebut: Lazu sedang melakukan serentetan tepisan dan hindaran dari kepingan senjata elemen esnya, namun ketika berulang kali ada pedang yang berhasil menembus tungkai serta lengan biru itu hingga mengeringkan cairan tubuhnya, ternyata berulang kali pula bilah-bilah es itu terserap dan menjadi suplai cairan tubuh untuk Si Matoi.

"Dia...menghisap kadar air dalam elemen esku?!" Azraq membatin terkejut melihat analisis Lazu yang mampu menanggulangi dehidrasinya. Meski ini tak mampu menutup lukanya, Lazu telah memikirkan solusi jitu: ia malah menjadikan badai ini sebagai sumber pemberi kehidupannya!

Dentingan benda tajam beradu berulang kali bagai lonjakan ritme tajam dalam orkestra tekanan udara yang meledak-ledak. Badai selaksa senjata ini melumat dataran Thvr menjadi tumpukan parit-parit menjurang yang tertanam  dalam pada kulit bumi.

Padang rumput area itu tadinya dihiasi sejumlah cemara tipis yang tersusun jarang di sela-sela barisan tiang putih tanpa atap, tadinya sinar matahari menghangatkan dedaunan, tadinya dataran itu punya keindahan yang tak bisa dipungkiri.

Namun ke mana semua itu kini? Semuanya berubah bagai daerah kutub bumi dengan bongkahan dan serpihan es di mana-mana. Awan yang kusam membawa badai beku pemusnah, si pemuda tampan yang mengendalikan seluruh kebekuan itu pun merasakan hatinya beku perlahan-lahan.

Azraq sulit merasakan apa pun, karena di depannya sudah ada monster yang harus ia enyahkan dari muka bumi. Makhluk yang mengatur skenario tragedi yang baru saja terjadi, makhluk biru bermata terang yang menjadi pengatur kematian gadis tak bersalah.

Namun kegentingan yang Lazu rasakan jauh lebih mendesak. Si Matoi merasa kesempatannya semakin tipis. Dia telah melakukan kesalahan besar, ia baru sadari. Ia telah membuat Azraq membunuh Lulu untuk menohok mental pemuda itu, tapi bukankah itu justru membuat Azraq menjadi lebih unggul dalam pelaksanaan misi di pulau ini? Kini pemuda itu hanya perlu kembali ke tempat datangnya semula - di mana pun itu - dan akan langsung menang.

...dan bagaimana bila kemenangan bagi satu peserta, berarti kekalahan mutlak untuk peserta lainnya...?

Lazu mengutuk dirinya sendiri. Kesalahan perhitungannya mendasar sekali! Hanya untuk menjatuhkan mental, ia telah memberikan jatah satu misi, yaitu membunuh satu peserta lain, secara cuma-cuma pada Azraq!

"Berarti hanya ada satu jalan penyelesaian...kau, Manusia Badai Es...tak boleh hidup..!!" mata Lazu menyala-nyala, paduan putus asa dan hasrat hidup, saat ia menerobos jajaran tombak terakhir yang hanya memisahkan dirinya dua belas langkah dari Azraq.

Si pengendali air langsung waspada setelah melihat kecepatan manuver Lazu yang tak terduga. Azraq memutarkan kedua tangannya dengan cepat dan membentuk piringan es yang membawa tubuhnya terbang tinggi membumbung. Lazu menengadah dan melihat badai trisula dan pedang es membentuk sebuah jalur ke angkasa serupa terowongan raksasa dengan ratusan senjata beku berseliweran memekakkan telinga sebagai dindingnya.

"Bagaimana aku...mencapainya..." Lazu memutar analisisnya namun tak ada jalan. Hanya saja ketika Azraq mengayunkan kedua tangan untuk merubah pedang-pedang esnya menjadi cakram raksasa, Lazu menemukan solusi yang efektif.

"Peluang untukku, lagi-lagi kau yang menciptakannya...Manusia Badai Es, memang kau terlalu naif..."

Lazu menghela napas dan sesaat ragu untuk menyerang pria baik ini. Kenapa mereka tak bertemu dalam situasi lain? Kenapa mereka terpaksa berposisi berlawanan dalam panggung hidup-mati ini?

Tapi tentu saja itu semua terjadi...karena ada yang memaksa mereka. Sorot mata Thurqk yang membayang itu kembali singgah di benaknya.

Maka Lazu pun terdorong untuk terus maju. Puluhan cakram es raksasa membelah angin dari puncak badai dan memburu Si Matoi. Tapi Lazu sudah siap. Mengacungkan tangannya ke udara, dan sinar biru memancar sejuk saat ia menyerap air dalam seluruh bongkahan es besar itu ke dalam tubuhnya. Pengganti cairan tubuhnya untuk beberapa menit. Semoga cukup.

Mendeteksi arah serbuan sepuluh cakram raksasa selanjutnya, benaknya membuat sebuah lintasan. Dan menjejaklah Lazu kuat-kuat ke lapisan es tebal di bawah kakinya, lalu dengan daya pegas kenyal dari tubuhnya, ia melompat jauh ke udara.

Dua cakram es menukik sedepa dari wajahnya di sebelah kiri! Lazu mengerutkan tubuh kemudian dengan sangat cepat menjejakkan kakinya pada cakram yang sedang melaju kencang itu. Dia memantul ke udara dengan cakram es Azraq sebagai pijakan!

"Apa!? Si Monster itu...!"

Bahkan Azraq pun dian-diam kagum terhadap daya adaptasi lawannya. Sementara itu Lazu terus mendaki angkasa dengan memanfaatkan proyektil-proyektil hasil kendali elemen Azraq, dan pada akhirnya jarak mereka berdua menyempit. Tapi Sang Pengendali Air dan Es tak mau menyerahkan kemenangan.

"Keras kepala kau, Monster! Biar kau kuenyahkan dengan tanganku sendiri!"

Azraq membentuk sebuah pedang es melengkung dan mulai melakukan tebasan-tebasan menyamping yang jitu. Lazu terlalu sibuk mencari partikel es untuk mengganti cairan tubuhnya, sehingga tubuhnya yang kecil justru tercabik di tiga bagian.

Setelah memulihkan konsentrasi, Lazu mencoba memukul wajah Azraq. Kena tepat di wajahnya! Tapi...

"!??"

Lazu terhenyak. Wajah Azraq terpental beberapa puluh sentimeter, tapi tak ada luka sama sekali di wajah pemuda itu! Pukulan Lazu ternyata hanya mementalkan saja, karena tubuh kenyalnya tak bisa melukai!

"Tch..bagaiman-"

Sebuah bogem mentah menghajar pipi Lazu sampai terpental balik. Kali ini Lazu kena batunya. Pukulan itu hanya sedikit memberi efek memar pada area pipinya karena kekenyalan kulit Si Matoi, tapi persarafan Lazu yang sensitif membuat rasa sakitnya berlipat ganda.

Azraq melihat hal ini dan memberi dua pukulan tambahan dan satu tendangan yang mementalkan Lazu di udara. Pria tersebut melompat menyusul targetnya sambil ulurkan tangan ke samping dan mengambil sebuah pedang dari badai senjata es. Namun saat pedang akan ditebaskan menghunjam leher Lazu, Si Matoi sudah memantul pada sebuah cakram yang sedang berputar untuk berbelok menghindar.

Azraq yang tak ingin tertipu segera menggerakkan jarinya menggunting dan dalam sekejap cakram yang sedang Lazu pijak sesaat tersebut terpatah dua dan membentuk empat pisau es bergerigi. Empat pisau gerigi berlesatan zig-zag untuk kemudian menusuk keempat anggota badan Lazu bersamaan. Namun sekali lagi Azraq harus kecele karena semua senjata es itu kembali diserap dan mengurangi dehidrasi tubuh Si Matoi.

"Kau...kenapa tidak mau mati juga..."

Lazu mendorongkan tangannya dengan sigap ke arah ulu hati Azraq. Si pemuda yang merasakan ada yang tak beres, segera menyergahkan siku untuk menangkis. Belum dirasa cukup, sebuah bilah es berbentuk pisau daging ditebaskannya untuk memutuskan lengan Si Matoi.

Namun itu sudah tertebak oleh Lazu yang langsung memuntir hingga mengapit sendi siku Azraq pada dua bagian lengannya. Dan dengan satu hentakan, terdengar bunyi krraaaakk kencang disertai nyeri luar biasa pada sendi siku si pengendali air yang retak dan lepas dari bonggolnya.

"Sendi sikuku dipatahkan dengan dorongan dari tubuh kenyalnya....sial..!!" Kini Azraq yang ganti menderita kerusakan setelah menyerang Lazu berulang kali.

Dengan sorot mata yang saling menerjang demi hidup, Lazu dan Azraq pun bergerak dalam pertukaran pertahanan dan serangan. Badai es dan kekuatan sihir elemen melawan analisis dan pergerakan rumit. Kedua petarung berganti-ganti pijakan pada sepuluh cakram es raksasa yang kini memuncak ke atas mata badai bilah beku.

Ketahanan tubuh mereka berdua hampir mencapai batasnya, maka Azraq pun mengambil inisiatif melakukan serangan puncak. Dia melayang sangat tinggi dengan cakram terbang. Kini pandangannya pada Lazu tak ubahnya pisau pembunuh.

"Bila kau memanfaatkan elemen sihirku...berarti itu berlaku sebaliknya pula...dengan mengerahkan kekuatan maksimalku, aku dapat mengendalikan air dalam tubuhmu! Kendalimu atas tubuhmu sendiri, aku akan merebutnya!!"

Lazu menyusul ke atas menggunakan efek pantul tubuhnya. Namun ketika itu pula Azraq merentangkan kedua tangannya. Dalam tempo cepat, seluruh partikel es dari gemulung awan, dari pusaran badai tombak trisula, dari tiap helai rumput dan setiap permukaan tubuh semua benda di dataran Thvr, semua terkumpul memusat.

Semua partikel es terurai berkeping-keping, membawa segenap hawa dingin dan berton-ton elemen es ke satu titik. Titik yang tepat di atas formasi tangan Azraq.

Dan semuanya berpadu di sana, berangsur membentuk sebilah tombak raksasa berkilauan dengan ketajaman serta daya perusak tak terukur.

Lazu yang masih melesat ke atas, tertegun melihat kreasi senjata raksasa itu yang menyimpan kekuatan mengerikan. Bilah itu membentang sampai memenuhi pandangannya.

"Apa yang dapat kulakukan..."

"Tak ada yang mampu membuatmu lolos dari kedahsyatan ini...Tombak Penggugat Bumi: Sharoiyya!!"

Sang Pengendali alirkan seluruh tenaganya dalan hempasan kedua tangan.

Tombak super itu menghunjam ke arah Lazu dengan kharisma mematikan.

Ekspresi Lazu kosong.

Ia terus melayang di udara. Tak tahu bagaimana cara berhenti atau menghentikan. Azraq dengan kuat melakukan gerakan mengembangkan dua telapak tangan, dan mendadak tubuh Lazu terbetot dan melesat ke atas semakin cepat. Ya, kadar air dalam tubuh Lazu telah dimanipulasi hingga mengendalikan arah gerakannya sendiri.

Si Matoi berusaha melawan, namun Azraq mengerahkan kekuatan penuhnya dan mempertahankan integritas formasi sihir elemen di kedua tangannya. Maka akibatnya, tubuh Lazu pun melaju ke atas menyongsong tombak Sharoiyya yang menukik tepat ke arahnya.

Dan pada detik terakhir, inspirasi menyentuh Lazuardi.

"Sakrifar."

Cahaya safir bersilangan di telapak tangan Lazu. Dan saat itulah, ujung tombak es raksasa yang baru saja menyentuh telapak tangan itu,

mencair,

terserap.

"Ini mustahil...! Kau...memanfaatkan..." Azraq terpaku, tak bisa menerimanya.

Lazu dengan kekuatan Sakrifarnya, memusatkan kekuatannya di satu titik: kemampuan penyerapan air.

Memanfaatkan gaya hidrokinetik Azraq yang membetot kuat tubuhnya ke atas, Lazu justru melesat bagai elang seraya tak henti menyerap molekul air dari senjata raksasa yang mencekamnya.

Seolah tombak raksasa itu menelannya bulat-bulat namun tidak, karena justru Lazu terus meluncur sebat ke angkasa sekaligus membuat jalur hampa di hadapannya sepanjang bilah tombak Sharoiyya. Retakan es di sekeliling jalur itu mulai terbentuk dan meluas.

Saat itulah hilangnya daya ikat antar molekul es, memperparah daya rusak pada badan tombak es raksasa. Sementara Lazu masih bergerak sampai nembus lapisan es terakhir yang ada di ekor tombak. Melontarkan dirinya menemui Azraq di tengah udara!

Gemuruh dahsyat bertalu memenuhi angkasa gelap. Bidadari dan bidadara terdiam tanpa bisa melepas pandangan dari laga yang memuncak di atas langit.

Hingga dengan membentuk terowongan hampa di titik sentralnya, Lazu membelah keseluruhan bilah tombak Sharoiyya!

Terjadilah letup ledakan besar berhawa kristal, memenuhi dataran Thvr dalam ombak tekanan angin berlapis-lapis dan menerbangkan semuanya tanpa daya.

Fragmen tombak penghancur berjatuhan bagai hujan meteor kristal seukuran tubuh-tubuh manusia. Bening berkilau namun juga membawa maut dan membuat ceruk-ceruk besar di sepanjang dataran Thvr.

"Dengan ini...selesailah..." Azraq merasa dunia berputar menyakitkan. Kelelahan luar biasa menderanya. Ia tak mampu mengangkat seujung jari pun saat tangan Lazu menghunjam dadanya di udara.

"Pongio!!"

Ia merasakan, tetes demi tetes air yang Lazu hisap dari tubuhnya. Dan bukan sekedar air. Lazu menghisap seluruh darah dari jantung dan cabang pembuluh tubuhnya. Tubuhnya dingin.

Dingin. Dingin sekali.

Bukankah seharusnya dingin itu, bersama air dan es itu, adalah berkah? Bukankah hujan juga menunjukkan rasa cinta dari Tuhan untuk makhluknya?

Namun dingin ini...menyakitkan. Mata Azraq pun tak lagi menunjukkan adanya jiwa.

Karena itulah dinginnya sang maut.

---

Terlambat

Masih di udara, Lazu memapah tubuh Azraq. Dengan kecepatan dan perhitungannya, ia menjejak di salah satu keping es besar, sambil membawa serta Azraq yang telah mati.

Berpindah ke bongkah es lain. Lebih dekat ke permukaan pulau. Meloncat ke sebuah pecahan es berbentuk lempeng tipis yang melayang turun perlahan.

Tiba di dataran Thvr yang telah mengalami perubahan iklim. Susah payah. Menyeret tubuh mati yang lebih besar dari tubuhnya, dengan luka-luka fatal memenuhi tubuh.

Lazu tak juga berkata-kata. Menggali lapisan es di daratan. Menguburkan jasad Azraq.

Dan ia menangis untuk lawannya yang berhati mulia. Lawannya yang ia hormati. Dia menangis untuk dirinya yang kejam. Dirinya yang penuh tipu daya.

Pandangan Lazu semakin buram. Cairan tubuhnya terus hilang. Karena menggunakan teknik kecepatan Sakrifar, tenaganya benar-benar habis.

Dia bahkan tak bisa menoleh lagi. Apalagi melakukan amputasi dan parasitisme untuk menutup kebocoran tubuh.

"Sayang sekali." sebuah suara. Sesosok tubuh menampakkan diri. "Mestinya kau tak menjerumuskanku sehingga bercumbu dengan Puteri Kejora palsu."

Lazu tahu suara itu.

"Tommy..."

"Aku meminta Safir Tujuh Dosa yang kau sebut dari awal, tapi dia tak tahu apa pun tentang itu. Pada akhirnya, godaan sihir pesona terlalu sulit kulawan, tapi untunglah sihir itu entah kenapa musnah dengan sendirinya. Aku terpaksa menggorok gadis cantik itu karena dia tak memberiku info."

"Tommy...maafkan aku..."

"Ini adalah permainan. Aku pun suka bermain. Kau telah memberiku banyak informasi tentang sistem permainan ini, dan aku berterima kasih. Tapi..." Tommy mengangkat bahu sebelum melanjutkan,

"Aku memiliki misiku sendiri. Baik pemuda itu, atau pun kau, tak bisa mengangguku."

Mata pria paruh baya itu berkilat-kilat menyeramkan, asing. Asing. Sebuah dadu tergenggam di tangannya. Tommy melempar. Dadu mendarat.

Terdengar suara geledek melintasi awan. Langit menggelap. Para bidadari menjerit berlarian. Lazu tak melihat kemunculan siluet sesosok kakek tua berjubah panjang yang menggenggam tongkat menyala-nyala diselimuti aliran elektrik yang berputar.

"Kau tak boleh hidup. Tak boleh ada saksi."

Tangan Tommy terangkat angkuh, siap memberi komando.

"Ada kata-kata terakhir?"

Lazu memejamkan mata, dan tersenyum.

"Terlambat..."

"Apa?"

"Aku...sudah lolos..."

Tommy ayunkan tangan memberi izin. Siluet kakek tua acungkan tongkat merapal mantra guntur. Seberkas petir dahsyat menggelegar turun dan menghunjam sampai ke dalam tubuh kecil Lazu, membuat tubuh kenyal itu pecah berantakan dan menguap seketika.

Tommy merapikan kerah kaus dan memasukkan dadunya ke kantung.

Ada sebuah mitos lain di tempat ini yang sedang ditelusurinya. Bahkan Lazu pun tak boleh mengganggu rencananya, meski itu berarti ia harus membunuh makhluk biru tersebut.

Karena ia harus menemui wanita itu. Sang rambut pelangi, Sang Pembawa Perdamaian, yang menyimpan kunci sebuah rahasia besar lain.

Tak layak bertanya, melangkahlah pada jalur bebatuan mulia

Terawal dari gelang Tak Beranjak ke dalam tungku Birahi

Mengambil dua tarian suara dari larung Amuk

Anyamkan pentakel darah bidadari menuju pundi Serakah dan belanga Lapar

Kala garam airmata peri tertabur pada pedestal Pongah

Cemburu terjelang oleh getar di bawah langit

Aliran pembebas tak pelak tersusup dalam genggam telapak tangan

Untuk wakili renyuh Sang Tanah Bagi Jiwa

Nan terasuk dalam Sang Wadah

Insani, Ragawi

Karbathraza! Karbathraza! Karbathraza!

Sang Wadah. Vessel. Tommy Vessel. Karbathraza.

Tengkuk pria paruh baya itu bergetar kesenangan, mengingat bait-bait penuh kegelapan dalam bab terakhir kitab bersampul kulit anjing hitam: kitab okultisme terlarang miliknya, yang membawa ramalan. Kitab yang ramalannya tergenapi, nyata, saat dia menginjakkan kakinya di pulau ini.

Tapi...

"Aku...sudah lolos..."

Apa maksud perkataan Lazu tadi?

----

"Lazuardi, Sakrifar. Lolos."

Sesosok Hvyt penjemput mendarat,  saat suara itu terdengar dari lingkaran cahaya yang bertuliskan namanya. Lingkaran cahaya itu ada di titik awal, tadinya terletak di punggung ranjang. Sekarang lingkaran cahaya itu terletak di punggung Lazu.

Tentu saja, karena sejak awal, hal pertama yang Lazu lakukan setelah tiba di pulau ini, bahkan sebelum mulai berjalan mencari ini dan itu, adalah menjadikan ranjang putih itu, tempat titik awalnya berada, sebagai inangnya. Sebagai Lazu yang baru.

Sehingga saat berhasil membunuh Azraq, telah lolos pulalah Lazu dari pertarungan ini. Karena sejak awal, ia tak pernah benar-benar meninggalkan titik awalnya. Ada satu Lazu yang bertahan tetap di titik awal.

Lazu, telah lolos. Dia memejamkan mata. Mendengarkan gemericik mata air di kejauhan, menikmati rasa lembaran satin halus dari jajaran tiang putih yang kadang singgah di tubuhnya dengan lembut.

Dan dirasakannya kekuatan itu. Meski berganti tubuh, Sakrifar nyatanya masih ada.

Hanya saja, ada yang mulai bangkit dalam dirinya. Dia masih mengingat tatapan mata Tommy Vessel yang menyimpan sesuatu. Layaknya sebuah peti harta terlarang.

Ini masih jauh dari selesai. Lazu membuka matanya, menatap ke angkasa. Tatapannya jernih. Entah isi hatinya.


---

8 comments:

  1. Selesai membaca dan sekarang saya akan berkomentar tentang canon Lazu
    Minus:
    -Banyak typo di awal-awal yang pastinya mengganggu
    -Terkadang saya jadi bingung sendiri karena gaya bahasanya (tapi masih diterima)
    Plus:
    -Lazu tipe karakter yang berpikir dan saya suka gayanya
    -Ngasih kesan "Ingin lanjutan"
    Semoga lolos sampai R3~

    7.8/10

    ReplyDelete
  2. ==Riilme's POWER Scale on Lazuardi's 2nd round==
    Plot points : B-
    Overall character usage : B-
    Writing techs : B-
    Engaging battle : C+
    Reading enjoyment : C+
    ==Score in number : 5,6==

    Kebetulan banget season ini ada sebuah anime berjudul Mahouka Koukou no Rettousei. Pas saya baca entri Lazu ini, beneran langsung ngingetin sama anime itu karena kebiasaan narasinya apalagi terkait battle, yaitu secuplik adegan disusul sama sederet penjelasan.

    Pemilihan kata sama kalimat dalam cerita ini sebenernya bagus, sayang buat saya kadang kebentur karena penulis kayanya maksain banget make kata kerja dalam bentuk dasar alih" pake bentuk 'me-', yang kadang kerasa ga pas dalam banyak kalimat.

    Sejujurnya saya ga masalah baca tulisan panjang kayak entri ini, dan saya akui bacanya cukup lancar sampai selesai. Tapi yang saya masalahin adalah kesannya buat saya banyak unsur dalam cerita ini yang berasa terlalu forced everything. Kayak, cerita panjang just for the sake of being long, dan semua karakter yang muncul ada just for the sake of being there. Entahlah, banyak titik di mana saya ngerasa sebenernya cerita bisa selesai, tapi penulis sepertinya memilih coba terus panjangin, gimana caranya biar include semua meski jadinya ga keliatan relevan.

    Karakter Lazu buat saya entah kenapa berasa hypocrite banget. Mungkin kesannya dia mahluk innocent yang sebenernya ga mau ngebunuh... Tapi ngeliat gimana dia banyak planning bahkan dari awal buat menang, ngadu domba, dan overanalyze everything, berasa semuanya cuma facade yang dia sendiri ga sadar udah bikin sementara sikapnya ngejustifikasi buat 'ngga, ini bukan karena aku mau lho'.

    Kayak entri Altem, canon Lazu ini punya kesan suddenly things escalated quickly to an astronomical level. Mungkin karena pas lagi dikasih pulau tujuh dosa, tapi saya pribadi kurang bisa nerima tiba" ada entitas yang dibilang setara Thurqk lah, Lazu jadi yang terpilih lah, dan lain sebagainya. Mungkin seharusnya saya ga nge-judge begini, karena gimana canon sebuah karakter emang harusnya suka" yang nulis. Tapi skalanya Lazu doesn't sit well with my preference.

    Satu yang saya seneng adalah dari dua ronde ini kebukti match Lazu selalu punya dua gimmick : 1) Adu domba dan 2) Lazu ternyata ada dua. Karena sempet mikirin cara menang yang serupa, saya udah nebak Lazu pake make cara gini juga buat menang. Ynag saya pikirin, mungkin justru unik (meski bakal overused) dan bisa jadi signature move sendiri kalau di setiap match Lazu make dua gimmick ini terus"an.

    ReplyDelete
  3. wkakakakak... well, ini masih kalah jauh dibanding 'lust' yang berhasil diciptain sama kak Adham *lirik sebel sama author Coco* Tapi Umi sukaaa banget. Karena Lust diwujutin bukan dengan perwujudan lust yang murahan >.<

    konsep legenda yang ditawarkan juga keren. konsep dewa yang ga hanya satu juga keren. Dimana-mana yang namanya dewa, ga cuma satu yang harus di sembah kan? toh Thurqk dewa, jadi di dunia ini, bukan cuma dia dewanya kan?

    wkwkkw

    aniway karena Umi suka Umi kasih 7/10 >.<

    ReplyDelete
  4. hmhmhm gw ga bakal kasih nilai buat yang ini. kecuali kalo diminta, dan kalopun diminta, gw pasti kasih 8.

    oke jujur lagi gw ga kuat bacanya pak Po. maaf T_T
    gw baca sampe Mba ilang, Xabi dan Enzeru mati. sampe situ gw puas. tapi begitu masuk ke part dua. gw ngerasa tensi ceritanya dah drop. kayak balik ke awal lagi untuk something yang sebenarnya sudah selesai.

    iyep, bagi gw, pas Xabi dah menyerahkan tongkat estafetnya ke Lazu, itu berarti kesimpulan. selesai. walau, gw ga gitu ngerti gimana caranya Xabi tiba-tiba that despo... karena lonjakan emosi dan chemistry mereka kayak ga gitu kebangun. jadi serasa tiba-tiba :'(

    mungkin suatu saat gw bakal coba baca bagian mulai dari Tommy Vessel. tapi serius, sampe Enzeru mati aja dah bagus kok. sementara gw ga kasi nilai dulu ya karena ga ada persetujuan dari pak Po :3

    ReplyDelete
  5. entri ke-8 :3

    satu kata untuk canon ini pak po: panjang. cuma, beda dengan ursa dan CC R1, saya bacanya harus dipaksa biar selesai. entah kenapa, tapi saya masih bisa ngebaca canonnya ursa tanpa capek. ga tau kenapa ._.

    satu poin lebih yg saya suka dari pak po, narasinya. nggak terlalu bagus, tapi unik. saya tahu beberapa tulisan yg memorable macam kak sam, kak ivan, ama kak heru. nah, pak po juga punya karakteristik sendiri yg bikin tulisan pak po beda ama tulisan mereka. untuk plotnya saya pikir ga ada masalah, cuma saya ga mikir aja kalo ternyata lazu bisa jadi dua ._. dan saya juga ga kepikiran soal itu.

    btw, ceritanya overall bagus, tapi panjangnya itu berpotensi ngebosenin orang. itu aja pak. overall, saya ngasih nilai 7.2.

    semangat pak po >.<

    ReplyDelete
  6. Ini yah, dari awal sampe akhir kayak gabungan sastra sama sains. Lumayan panjang, sih. Tentang kekuatan Safir, meskipun punya impact besar waktu lawan Azraq, tapi terlalu lama dibahasnya sejak ketemu Putri Kejora. Tapi tetep suka waktu dikaitin sama Thurqk dan konsep tujuh dosa yang emang diaplikasiin di ronde 2 ini.

    Penulisan rapi, cuma ada elipsis2 aneh yg titiknya kadang 4, kadang 3, dan kadang ada spasi yang nempel di selanya. Diksi banyak yang mengesankan dan ngga berlebihan.

    Dari segi alur ini bener-bener 'petualangan' banget bagi Lazu. Yang tahan godaan sama yang kegoda diceritain dengan baik. Lust yang dibangun sejak awal ngga ilang gitu aja sampe dialog Tommy yg katanya udah ngegorok si Kejora sesudah bercumbu sama dia.

    7/10

    ReplyDelete
  7. Anonymous24/5/14 22:45

    Oke, komentarku..

    Aku menikmati ceritanya dari awal, tapi bagiku ceritanya panjang, banget.. Jadi aku harus berhenti dan bagi2in pace yg pas untuk bisa lanjut baca ngikutin ceritanya lagi..

    Narasi cerita jelas dan padat, tapi ya gitu, kepanjangan.. Aku gatau ini kelebihan atau ga.. Tapi cerita yg begitu panjang bisa bikin bosan, it happens to me, Sir.. Semua pilihan kata bagus dan enak diikutin, tapi panjang T_T entah kalo bisa diringkas.. Karena keknya cerita emang bisa sedikit lebih diringkas, tapi aku gatau apa kesan yg dibawa cerita akan sama dgn yg ini atau ga..

    Jujur aku menikmati ceritanya Lazu dari R1, dan di cerita ini, aku juga menikmati sifat-sifatnya Lazu yang khas.. Narasi tentang sifatnya sendiri menyokong itu.. Lazu pintar yg mungkin kalo di dunia manusia (Bumi) adalah anak pintar dgn IQ tinggi yg dalam waktu bersamaan bisa kuliah psikologi, kedokteran, fisika, taktik, trik, detektif dan yg ga kalah penting: Bahasa Indonesia XD
    Ak suka dengan semua perkembangan karakter Lazu..

    Mungkin aku hanya komentar tehnis, karena ceritanya bagus, cuman (mungkin) bisa lebih baik kalo dibuat dgn lebih pendek.. Karena aku yakin aku bukan satu2nya yg cepat bosan sama penggalan penggalan paragraf yg sedang on the way membangun cerita inti itu sendiri..

    Aku baca telat dan sengaja dituntasin supaya bisa ngasih nilai hehe.. Semoga masih belum telat :3

    Overall bagus :D

    Aku kasih nilai:
    Delapan koma Sembilan per Sepuluh

    Go go go, Lazu!!!

    - the genius fart

    ReplyDelete
  8. Moi suka dengan gaya bertarung Lazu yang pake mikir. Tapi to be truthfully honest, it's agonizingly long. Moi berat banget bacanya. Narasinya sudah bagus tapi Monsieur Po masih kesulitan untuk menemukan formula yang tepat untuk bikin ceritanya jadi flow, fluid, dan lancar. So, kenyamanan membaca moi sangat sangat berkurang.
    Pada R1 moi kasih bonus nilai karena jadi yang pertama. Tapi kali ini moi ga kasih bonus ya. 6,5 dari moi.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -