Pages

May 12, 2014

[ROUND 2 - RYAX] STALLZA - PULAU SANG RAJA


[Round 2-Ryax] Stallza
"Pulau Sang Raja"
Written by Yafeth T. B.

---



"Sang raja memandangi cermin

Menatap keagungannya

Dalam balutan tulang belulang"

Sajak satir Ventinis.



I
Portal merah itu tidak membawanya kembali ke Jagatha Vadhi. Tepat setelah melewati portal itu, Stallza berhadapan dengan sekelompok Hvyt yang dengan segera mengerubunginya. Lalu Stallza tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.

Saat kesadarannya pulih, Stallza sedang menatap langit merah dengan rerumputan yang lebat dan tinggi mengelilingi tubuhnya yang terbaring. Angin membelai lembut puncak rerumputan, menimbulkan suara berdesir yang menenangkan. Ditambah tempat yang empuk untuk berbaring, rasanya saat-saat dirinya dipaksa bertarung hanya seperti mimpi. Kedamaian ini lebih terasa seperti kenyataan.

Lalu Stallza merasakan tempat tidur barunya berbunyi. Suaranya seperti geraman yang teredam. Pria itu menoleh ke samping. Dan ia mendapatkan kulit lunak berwarna merah muda yang berdetak-detak dan sedikit berlendir.

Stallza segera bangkit. Dengan cepat ia mengumpulkan segenap informasi dengan matanya. Tempatnya terbaring bukanlah tanah. Kulit berdetak itu memiliki pemilik, dan tampaknya pemiliknya marah. Geraman itu semakin mengeras, disusul guncangan hebat yang membuat Stallza terjungkal. Pria itu menghantam tanah beberapa detik setelahnya. Untuk pertama kalinya ia tahu benda apa itu.

Sebuah ulat raksasa berwarna merah muda beringsut pelan menjauhi Stallza. Sosoknya bagaikan timbunan lemak bergelambir dengan ratusan kaki yang bergesekan dengan rerumputan setiap kali ia bergerak. Bagian atasnya tampak lebih merah dari bagian tubuhnya yang lain. Luasnya seukuran tubuh pria dewasa.

Stallza mengangkat wajahnya ke langit. Di atas sana masih ada beberapa titik-titik bayangan merah kehitaman.

"Jadi kalian melemparkan aku dari atas sana?" kata Stallza. Pria itu mencibir. "Untungnya aku sudah kehilangan tubuh fisikku. Kalau tidak mungkin aku sudah mati."

Stallza bangkit berdiri. Sesaat kemudian seekor belalang sembah raksasa berwarna merah dengan corak hitam melompat keluar dari rimbunan rumput. Stallza menunduk sambil mengambil belatinya, bersiap bila sewaktu-waktu belalang sembah itu menyerangnya.

Hal itu tidak pernah terjadi.

Belalang sembah itu bahkan tidak mempedulikan keberadaannya. Dengan tenang makhluk itu berjalan ke arah rumput yang dirusak si ulat raksasa. Stallza memperhatikan saat makhluk itu memotong-motong pangkal rerumputan di sekitarnya, namun ia hanya mengambil sedikit di bagian dekat akarnya. Setelah beberapa saat akhirnya makhluk itu pergi.

Stallza mencium bau segar. Seperti gabungan beberapa jenis bau jeruk. Asal bau itu dari bagian pangkal rumput. Stallza meraih rumput di dekat kakinya dan memotongnya dengan belati. Bau yang sama menguar keluar bersama getah yang lengket.

Pria itu mengambil getah itu sedikit di ujung jari, mengendusnya sebelum akhirnya mencicipinya. Ia mengharapkan rasa menjijikkan saat getah itu menyentuh pangkal lidahnya. Tetapi ternyata rasa getah itu cukup segar, benar-benar menyerupai sari jeruk. Selain itu getah rumput merah itu segera mencair di dalam mulut. Tidak ubahnya dengan minuman segar. Semenit kemudian Stallza telah memotong beberapa rumput lain dan mengisap getahnya.

Setelah beberapa menit Stallza merasa cukup puas. Rasa haus yang tidak sempat ia rasakan sejak pertarungan telah dilenyapkan getah rumput aneh itu.


"Sekarang apa yang akan dilakukan makhluk itu. Membawakan makhluk-merah-entah-apa-lagi untuk kuhadapi? Membawa peserta lain? Atau memutuskan tidak jadi pengecut dan menghadapi kami semua?" kata Stallza pada dirinya sendiri.

Ia mengangkat kepalanya. Titik-titik berwarna merah kehitaman yang disebut-sebut sebagai Hvyt itu membawa beberapa orang lain ke berbagai tempat.


"Dan sekarang peserta lain pun datang," kata Stallza.

Stallza mengeluarkan kristal Helia dari dalam sakunya dan memanggil Spiritia itu. Ia segera melakukan Spiritialis dengan mahkluk berbentuk ubur-ubur itu dan segera melayang meninggalkan rerumputan di sekitarnya.

Tempat itu bukan hutan berwarna merah, melainkan padang rumput merah. Stallza mencibir. "Makhluk berselera rendah yang tidak tahu warna lain selain merah dan hitam".

Stallza kembali menengadah, mencari apakah masih ada Hvyt yang membawa peserta lain. Dari atas langit, selembar kertas melayang pelan ke arahnya.


~~~



II

Surat itu tiba di tangan Stallza seolah memang ditujukan kepadanya. Isi surat itu juga memakai bahasa dan aksara yang ia pahami, seolah siapapun yang membuat surat itu paham siapa dirinya. Tetapi yang tidak Stallza pahami adalah isi surat itu.



JANGAN IKUTI APA YANG THURQK INGINKAN.



Stallza mengernyit. Apa maksudnya? Pertarungan yang ia lakukan adalah terpaksa. Dirinya dibawa ke dunia serba merah ini dengan terpaksa. Semuanya karena terpaksa. Meski ingin melawan, sesuatu yang terlalu kuat memaksanya patuh. Dan siapapun yang menulis surat ini berkata ia sedang mengikuti apa yang makhluk berselera rendahan itu inginkan? Jika bisa, ia akan pergi dari tempat ini. Tapi hal itu tidak bisa ia lakukan sekarang. Belum. Masih ada yang harus ia cari—entah apakah itu benar-benar ada di sini atau tidak.



Stallza tidak sadar saat empat Hvyt terbang cepat ke arahnya. Keempat Hvyt itu sudah berada di sekelilingnya dan menyarangkan pukulan dan tendangan saat Stallza sadar akan keberadaan mereka.



Satu pukulan ke kepala. Satu hantaman lutut ke selangkangan. Satu pukulan ke punggung. Tendangan penghabisan ke arah perut. Dunia seakan berputar terlalu cepat di sekitar Stallza. Cairan yang baru saja ia minum berguncang dan keluar dari perutnya pada tendangan penghabisan. Lalu pandangannya menjadi gelap. Semua terjadi kurang dari lima detik.



Satu Hvyt menjadi korban muntahan Stallza. Makhluk itu berdecak, namun ekspresinya tetap datar. "Dia sudah siap," kata Hvyt itu.



"Bagaimana dengan sang raja?" tanya Hvyt yang lain.



"Dewa sudah membangunkannya. Pertunjukan segera dimulai. Sebaiknya kita bergegas sebelum dia marah."



Ketiga Hvyt yang lain mengangguk serempak. Mereka berempat memegangi Stallza dan terbang menuju sebuah portal merah yang muncul di atas kepala mereka. Sesaat kemudian mereka telah berada di arena pertandingan berikutnya.



~~~



Gedung-gedung tinggi menyambut Stallza. Kepalanya masih berputar-putar di dalam tempurungnya, tetapi rasa sakit di tubuhnya sudah tidak ada lagi. Ia bangkit dan menemukan dirinya sedang berada di tengah lapangan yang lebar. Di sekelilingnya penuh dengan gedung-gedung tinggi dengan papan-papan yang menampilkan gambar bergerak. Tidak ada manusia di tempat itu. Sebagai gantinya terdapat banyak mesin-mesin berbentuk manusia yang bergerak sangat halus, seakan mereka adalah manusia biasa.



"Mereka mirip sekali dengan automaton," kata Stallza.



"Mereka semua adalah android dan gynoid."



Suara parau membuat Stallza menoleh ke belakang. Di belakang Stallza berdiri sesosok makhluk berjubah hitam dengan topeng berbentuk tengkorak. Wujudnya seperti manusia, tetapi Stallza tidak bisa melihat wajahnya.



Stallza segera merogoh kantung tas pinggangnya. "Siapa kau?" Ia siap memanggil Spiritia manapun yang kristalnya ia pegang saat ini jika ia melihat ancaman sekecil apapun.



"Tidak perlu seperti itu, Tuan Stallza," kata sosok itu. "Keberadaanku di sini adalah untuk menolong Anda."



"Aku tidak percaya," balas Stallza.



"Tentu saja aku tidak berharap Anda mempercayai apa yang kukatakan saat ini. Maka dari itu akan kubuktikan bahwa aku ada untuk menolong Anda," kata sosok bertopeng tengkorak itu.



Sebuah ledakan tiba-tiba meruntuhkan salah satu gedung tinggi di belakang Stallza. Sulur-sulur tanaman raksasa menjalari seluruh bangunan itu dan membuatnya menjadi serpihan-serpihan. Puluhan android dan gynoid tampak ketakutan melihat reruntuhan itu dan berlarian menjauh. Tetapi secara aneh tubuh Stallza tidak bergerak dari tempatnya. Ia terpana saat melihat kehancuran itu, seakan sedang menyaksikan kekuatan alam yang mengalahkan kebanggaan manusia.



Sosok bertopeng tengkorak melesat ke arah Stallza bagaikan bayangan dan menyambar tubuhnya. "Sebaiknya Anda tidak di sini jika Anda tidak ingin mati," kata sosok itu saat membawa tubuh Stallza menjauh.



Jika saja Stallza tinggal lebih lama tiga detik, tubuhnya pasti sudah remuk oleh puing-puing gedung itu. Sosok bertopeng tengkorak sudah membawanya ke puncak sebuah gedung tinggi. Dari atas tempat itu ia bisa melihat dari mana sumber kekacauan tadi berasal.



Di bawah sana tampak jelas seorang gadis berambut hijau berdiri di atas batang tumbuhan yang bergerak liar. Stallza bergidik ngeri saat membayangkan jika dirinya seperti gedung yang dihancurkan itu.



"Gadis itu bernama Nemaphilia. Kau tidak ingin berurusan dengan tanaman miliknya," kata sosok bertopeng tengkorak itu seolah mengerti pikiran Stallza.



"Dia peserta?"



Sosok bertopeng itu menoleh. "Tentu saja. Tidak ada yang dibawa ke pulau ini selain peserta."



"Lalu kau sendiri siapa?"



Sosok bertopeng tengkorak itu beringsut mundur. Untuk sesaat Stallza mengira ia melihat topeng tengkorak itu bergerak, seakan-akan sosok itu sedang tersenyum.



"Di salah satu dunia di luar sana aku bisa dianggap sebagai kingmaker. Aku adalah orang yang menempatkan raja ke takhta mereka. Aku yang memilih mereka, dan aku membantu mereka hingga tiba ke sana," kata sang topeng tengkorak.



"Lalu mengapa kau muncul di depanku?"



Sosok bertopeng tengkorak membentangkan kedua tangannya. Mata Stallza melebar saat melihat tangan-tangan itu berbentuk tulang belulang.



"Engkau adalah sang penyelamat yang ditunggu-tunggu, Stallza. Seluruh pulau ini merinding saat dirimu tiba di sini. Mereka semua menanti-nantikan kedatanganmu sejak lama, dan penantian itu akhirnya berakhir di sini," sosok itu membungkuk, tangan kanannya menyilang ke dadanya. "Salam bagimu, wahai raja. Hamba, Ryax, siap melayani Anda."



~~~



Nemaphilia yakin ia sudah meremukkan pria itu. Tetapi saat baby blue miliknya membuat reruntuhan itu menjadi tanah, ia tidak menemukan apapun di bawah sana.



"Cih! Manusia yang beruntung!" seru gadis itu. Matanya menyapu ke sekeliling, berusaha mencari tempat yang sekiranya memungkinkan untuk bersembunyi.



"Terlalu banyak tempat untuk bersembunyi," Nemaphilia menoleh ke samping kirinya. "Bukankah kau yang mengatakan kalau peserta lain ada di sini?"



Di belakang gadis itu, sesosok makhluk berjubah hitam dengan topeng tengkorak membungkuk. "Hamba memang merasakan keberadaannya di sini. Tetapi orang itu sempat melarikan diri saat melihat sulur tanaman yang mulia Ratu Nemaphilia," kata sosok itu dengan suara parau.



Nemaphilia berbalik. Ia menatap sosok berjubah hitam itu dengan tajam. "Maksudmu ini semua salahku?"



Sosok itu membungkuk lebih rendah lagi. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak bermaksud seperti itu."



"Sebaiknya kau jujur," kata Nemaphilia. "Atau berikutnya kau yang akan berubah menjadi tanah, Ryax."



~~~



"Aku tidak ingin menjadi raja atau apapun," kata Stallza.



Sosok berjubah di depannya menegakkan tubuhnya. "Apa Anda tidak ingin memiliki kekuasaan?"



"Tidak," jawab Stallza tegas. "Apalagi jika ini adalah akal-akalan Thurqk. Aku tidak ingin bertarung hanya demi memuaskan keinginannya!"



"Anda tidak perlu mengikuti keinginan makhluk itu," kata Ryax. "Dia tidak punya kuasa apapun di sini."



"Benarkah?" Stallza mengangkat wajahnya. Langit di atas kepalanya berwarna merah darah. "Bukankah ini masih di dunia miliknya?"



"Memang benar, Tuan," kata Ryax. "Tetapi pulau ini memiliki kekuatannya sendiri. Bahkan Thurqk sekalipun tidak bisa menguasai pulau ini."



Sebelah alis Stallza terangkat. "Kalau pulau sekuat ini ada, mengapa Thurqk tidak berusaha menguasainya? Mengapa malah menjadikan tempat ini sebagai tempat pertarungan?"



Ryax menaruh tangan tengkoraknya ke dagu. "Mungkin…," makhluk berjubah hitam itu terdiam sejenak. "Mungkin karena terlalu banyak teknologi di sini," lanjutnya setelah beberapa saat, seakan tidak yakin pada apa yang ia katakan.



Kini kedua alis Stallza bertautan. Di tempat Stallza pun tidak ada mesin-mesin dan gambar-gambar bergerak yang terpampang di papan-papan. Di Ventinis hanya ada kapal-kapal udara yang digerakkan uap, itupun hanya dimiliki para saudagar kaya atau bangsawan saja. Automaton – boneka bergerak mirip manusia – hanya dimiliki keluarga kerajaan dan hanya untuk kebutuhan hiburan saja.



Keluarga kerajaan. Para bangsawan. Tentu saja. Apa yang tidak mereka miliki?



Salah satu automaton itu dimiliki sang putri mahkota—satu-satunya keluarga bangsawan yang dihormati Stallza. Gadis berambut hitam yang berkilauan dengan senyum yang menularkan kebahagiaan dan cinta untuk semua orang, tidak peduli darimanapun kasta orang-orang itu.



Stallza menepis bayangan sang putri dari kepalanya. "Jika itu alasannya, seharusnya aku pun tidak akan bisa menguasai pulau yang bahkan namanya tidak kutahu ini," kata Stallza.



"Itu bukan hal yang penting, Tuan," kata Ryax. "Yang terpenting adalah pulau ini memilih Anda dan berkenan menjadikan Anda sebagai rajanya. Anda akan segera mengerti semua teknologi ini. Anda akan terbiasa dengan layar monitor yang Anda sebut sebagai papan-papan itu."



"Satu hal yang perlu kautahu, Ryax," kata Stallza. "Aku tidak pernah berminat menjadi raja. Di sini atau di Ventinis sekali pun." Meski Stallza tidak menampik keinginan melihat wajah sang putri sekali lagi.



Sekali lagi berusaha Stallza menepis bayangan sang putri yang tersenyum padanya saat mereka berdua berada di kebun anggur – kali ini ia butuh lebih banyak usaha dari sebelumnya.



"Benarkah?" Ryax terkekeh-kekeh. "Aku akan meninggalkan Anda untuk berpikir sejenak. Tetapi semakin lama Anda di pulau Ryax ini, Anda pasti semaking ingin memilikinya. Inilah pertandingan kedua untuk Anda, tuan."



Sosok Ryax beringsut ke belakang. Perlahan sosoknya memudar lalu menghilang seperti asap.



"Ryax?" Stallza mengernyit. "Makhluk itu dan pulau ini memiliki nama yang sama?"



~~~



III



Stella menatap sosok Stallza dari kejauhan. Di samping kanannya, sesosok makhluk berjubah hitam itu berdiri. "Apa yang menurutmu sebaiknya kita lakukan, Ryax?" tanya gadis berambut merah dan biru itu.



"Apapun yang nona lakukan, saya yakin nona akan menang," jawab makhluk berjubah hitam di sampingnya.



"Sepertinya dia cukup kuat," kata Stella mencibir.



"Tapi dia tidak sekuat nona Stella," kata Ryax.



Stella tersenyum lebar. "Kau benar," kata gadis itu. "Tidak ada yang bisa mengalahkan sihirku." Tubuh gadis itu berubah menjadi api. Dalam sekejap ia melesat menuju ke tempat Stallza.



~~~



Salam perkenalan Stella pada Stallza adalah hujan bara api dan hujan jarum-jarum es yang dilesatkan bersamaan ke arah pria itu. Stallza menerimanya dengan memanggil Almena.



Penampilan Spiritia itu seperti layaknya penampilan para gadis terpelajar di Ventinis. Berambut cokelat yang dikepang menyatu, pakaian kemeja lengan panjang (Almena lebih memilih menggulung bagian lengannya), rok selutut berwarna hijau, sepasang sepatu kulit sebetis dan sebuah kacamata. Almena juga memakai sebuah mantel berwarna kelabu di pundaknya.



Saat Almena melihat bola api dan jarum es melesat turun dari langit, gadis itu segera tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan cepat ia menarik mantelnya dan melemparkan mantel itu ke udara.



Almena berseru dengan suara nyaring pada mantelnya, "Terbukalah!" Seketika mantel itu membesar dan berubah menjadi tudung raksasa yang melindungi dirinya dan sang tuan.



Tudung Almena melindungi siapapun di dalamnya dari serangan bertipe panas atau dingin. Tetapi tudung itu lemah terhadap serangan benda fisik yang tajam. Seperti jarum-jarum es yang jatuh menimpanya saat ini. Setiap kali jarum-jarum es membentur tudung di atas kepalanya, gadis itu akan memekik ketakutan dan menangis.



"Bersabar sedikit, Almena," kata Stallza sambil mengusap kepala Spiritianya itu. Hantaman jarum es ketiga yang diterima tudung Almena membuat gadis itu jatuh terduduk.



Stallza tahu bahwa sebenarnya gadis itu yang menerima semua serangan itu. Ia mendekap tubuh gadis itu. Setiap kali panas dan dingin menghantam di atas kepala mereka, tubuh gadis itu bergetar. Stallza tahu ia harus bertindak. Tetap berlama-lama di bawah tudung ini tidak akan baik untuk Almena.



Stallza mengambil beberapa kristal dari dalam tas pinggangnya. Melihat itu Almena langsung memegangi tangan tuannya.



"Tuan ingin memanggil mereka sekaligus?" tanya Almena. Ada ketakutan terpancar dari mata cokelatnya.



"Aku tahu batasanku. Tenanglah," jawab Stallza. Ia memeluk dan mengelus kepala Spiritianya itu untuk membuatnya tenang.



Menggunakan Spiritia bukannya tanpa bayaran. Satu Spiritianya ditukarkan dengan sepersepuluh eksistensinya. Jika ia memakai lebih itu ia akan menghilang. Dalam keadaannya sekarang itu berarti untuk selamanya.



Di tangannya saat ini terdapat lima kristal. Jika ia menggunakan kelimanya sekaligus, maka eksistensi jiwanya akan mengalami guncangan sementara. Satu serangan saja bisa berakibat sangat fatal jika itu terjadi.



Stallza menggeleng. Tidak bijak untuk melakukan itu. Apalagi dalam keadaan dirinya tidak tahu musuh akan menyerang dari mana.



Tapi musuhnya pun tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Stallza tahu Ryax membawa dirinya ke puncak sebuah gedung tinggi. Begitu tudung yang melindunginya hilang, maka semuanya selesai.



Sebuah strategi tiba-tiba melintas di kepala Stallza.  Ia berada di ketinggian, berarti ia masih bisa turun. Ia menghentakkan kakinya ke lantai di bawah kakinya. Cukup keras, tetapi tidak berarti mustahil dihancurkan. Ia tersenyum. "Itu bisa kulakukan," katanya sambil melihat kristal-kristal di tangannya.



"Phosporosso, Cupria, Nicca, aku memanggil kalian," kata Stallza.



Phosporosso adalah pria dengan perawakan tinggi dan memakai setelan jas unik. Warna di sisi kirinya berwarna merah menyala, sedangkan sisi kanannya berwarna putih bersih. Sangat kontras dengan  matanya yang berwarna biru tua. Phosporosso juga memakai topi tinggi dengan warna sebelah menyebelah seperti setelan jasnya.



Phosporosso membungkuk. Ia membungkuk di hadapan Stallza. Topinya  diletakkan ke dada. "Kami siap membantu tuan," katanya dengan sopan.



Cupria tampak seperti gadis berusia 15 tahun dengan rambut cokelat dan mata berwarna karamel. Gadis itu memakai baju zirah dan helm tembaga. Kakinya tidak berhenti bergetar semenjak muncul.



"Kau gugup karena suara keras atau karena berdiri di depan Stallza?" Gadis berjubah di samping Cupria menegurnya. Gadis itu adalah Nicca. Penampilannya seperti anak laki-laki dengan rambut biru langit yang dipotong sangat pendek.



Nicca menoleh ke kiri dan ke kanan. "Anda tidak memanggil dua kakakku?" tanyanya pada Stallza.



"Tidak. Ferra dan Koboldia tidak sesuai untuk mengatasi situasi ini," jawab Stallza. Ia memapah tubuh lemas Almena untuk kembali berdiri.



"Siapapun yang menyerang saat ini mengendalikan serangan api dan es. Dengan Almena masalah itu sudah teratasi. Tetapi tidak akan lama," Stallza melihat Almena yang kini bersandar di dadanya. Napasnya semakin berat.



"Ja – jadi kita akan menghadapinya sekarang?" tanya Cupria gugup.



"Tapi tidak secara langsung," jawab Stallza. Ada keyakinan terpancar dari matanya.



Stallza mengulurkan tangannya ke Cupria. "Aku akan melakukan Spiritialis bersamamu dan Phosporosso, bersamaan," katanya.



"Itu pastinya akan berat," kata Nicca.



"Tapi harus kulakukan," kata Stallza. Ia menatap keempat Spiritianya bergantian. "Ini tidak ada apa-apanya. Aku tahu itu."



Cupria dan Phosporosso mengangguk. "Kami mengerti," kata Phosporosso.



Stallza menyerahkan Almena pada Nicca. "Aku mungkin butuh bantuanmu setelah tudung ini hilang, Jagoan," katanya pada Nicca.



Nicca menyeringai. "Berikan saja perintah, akan kulakukan," katanya. Ia memegang tangan Almena.



Almena tersenyum lemah. Tenaganya semakin terkuras setiap kali bara api atau jarum es menghantam tudung kain buatannya. Tetapi kakinya tidak segoyah sebelumnya. Ia melihat tangan Nicca yang menggenggam tangannya berpendar.



"Terima kasih sudah membantuku berdiri," kata Almena.



"Aku cuma mengurangi gravitasi badanmu, kok. Bukan masalah besar," balas Nicca. Ia menyeringai. "Serahkan sisanya pada kami, kak."



Tubuh Cupria bersinar. Sosoknya berubah menjadi baju zirah yang menyatu bersama Stallza, menggantikan jubah yang digunakan sang tuan. Di tangan kirinya terdapat sebuah tameng tembaga setinggi dirinya. Di pinggang kirinya tersampir pedang.



"Sepertinya tangan kiri Anda penuh," kata Phosporosso.



"Tangan kananku masih bebas," kata Stallza.



Phosporosso mengangguk. "Baiklah," katanya, "Aku akan mencurahkan semuanya ke satu tangan itu."



Tubuh Phosporosso berubah menjadi bola cahaya yang melekat ke tangan kanan Stallza. "Spiritialis!" seru pria itu. Cahaya di tangan kanannya lenyap, digantikan sebuah meriam kecil.



Melakukan Spiritialis – penyatuan diri dengan para Spiritia – memakan tenaga yang cukup banyak. Apalagi dengan dua Spiritia sekaligus. Saat bersatu, sang pengguna dan Spiritianya akan menyatu secara keseluruhan – tubuh, pikiran, panca indera, kepribadian, eksistensi. Tetapi dengan dua Spiritia, Stallza harus berbagi dirinya dengan kedua Spiritia berbeda kepribadian itu.



Setelah merasa tenaganya cukup pulih, Stallza mengangkat tamengnya ke atas sambil bertumpu dengan satu lututnya. Tangan kanannya menekan lantai. "Almena, kembalilah," kata Stallza.



Almena mengangguk. Sosoknya bersinar sebelum kembali menjadi kristal yang melesat ke dalam tas Stallza. Nicca yang memegangnya segera melompat ke bawah naungan tameng Stallza begitu sosok gadis itu menghilang.



Tepat setelah Almena kembali ke dalam tas, tudung yang melindungi Stallza menghilang. Ratusan bara api dan jarum-jarum es menyambutnya beserta suara keras saat mereka membentur tameng milik Cupria.



Nicca memeluk Stallza. "Semuanya siap," katanya dengan suara keras untuk mengimbangi kebisingan di sekitarnya. Telapak tangannya yang menyentuh tubuh Stallza berpendar kebiruan.



Stallza mengangguk. "Pegangan yang kuat!" katanya pada Nicca.



Stallza menutup matanya. Berkonsentrasi pada kekuatan Phosporosso yang mengalir di dalam dirinya. Ia merasakan udara panas berulang-ulang naik dan turun di dalam meriam di tangan kanannya. Ia merasakan tekanan dan dorongan kuat untuk memuntahkan semua isi meriam itu. Lalu saat ia merasakan kekuatannya cukup, ia mendorong seluruh udara itu melewati meriam menuju lantai yang ia pijak.



Lantai itu hancur bersama bunyi dentuman keras dari meriam di tangan Stallza. Menurutnya kekuatan meriam di tangannya cukup memberikan ruang melarikan diri yang tidak lebih dari ukuran tubuhnya. Mungkin paling lebar sepuluh kaki. Tetapi bukan seluruh lantai.



Apa yang terjadi ini tidak seperti dugaannya. Bara api dan hujan jarum-jarum es memperparah kondisi atap gedung itu. Struktur bangunan itu semakin rapuh, membuat Stallza dan Nicca terperosok ke bawah hingga sepuluh lantai.



Jika bukan karena kemampuan Nicca dalam mengendalikan gravitasi, tubuh Stallza yang semakin berat akibat zirah yang ia kenakan pasti sudah menjadi bubur saat ia menghantam lantai keras.



Stallza menengadah. Dari lubang di atas kepalanya ia melihat sumber darimana semua api dan es itu. Sosok itu terlihat seperti manusia – lebih tepatnya tampak seperti seorang wanita berambut panjang, tetapi sebelah kiri tubuhnya terbungkus lidah api dan sebelah kanan tubuhnya memutih bagaikan es.



"Dia bukan lawan yang bisa diatas secara langsung," kata Nicca. "Lagipula kita terjatuh terlalu jauh. Aku tidak bisa mengendalikan orang itu dari sini."



"Tidak," kata Stallza. "Kita masih bisa menyerang. Aku masih punya Plumbina."



"Kalau memanggilnya sekarang, Anda akan terjebak dalam debu beracunnya juga," balas Nicca.



 "Kau benar," kata Stallza. "Karena itulah aku pertama-tama harus membuat perlindunganku."



Stallza memejamkan mata, merasakan sebuah penghubung yang menyatukan dirinya dan kedua Spiritia di badannya. Setelah cukup lama akhirnya ia menemukan penghubung itu, bersinar terang di permukaan alam bawah sadarnya seperti sebuah mutiara kembar.



Stallza menyentuh penghubung di alam bawah sadarnya. "Spiritialis selesai," bisiknya. Baju zirah, tameng, pedang dan meriam di tangan kanan Stallza lenyap, berganti dengan jubah yang biasa ia gunakan. Sosok Phosporosso dan Cupria berubah menjadi kristal dan melesat kembali ke dalam tasnya.



"Anda berlindung dari asap beracun Plumbina hanya dengan jubah biasa?" tanya Nicca. Alis kanannya terangkat.



Stallza menggeleng pelan. "Kini giliranmu untuk melakukan Spiritialis bersamaku. Jauhkan semua debu dan asap Plumbina dariku," kata Stallza.



Nicca mengedikkan bahunya. "Asal kau tidak masalah aku melihat isi kepalamu."



Stallza tersenyum. "Bukannya dulu kita sering melakukan itu?" katanya.



Nicca tersenyum senyuman lebar. "Seperti saat perang besar dulu?"



"Seperti saat perang besar dulu," balas Stallza.



Stallza memejamkan mata dan menepuk kedua tangannya. "Spiritialis!" serunya. Tubuh Nicca berubah menjadi bola cahaya berwarna biru yang merasuk ke dalam diri Stallza. Saat pria itu membuka mata, warna matanya berubah menjadi biru tua, sewarna dengan warna mata Nicca.



Stallza tidak menunggu waktu. Ia segera mengambil sebuah kristal berwarna hitam legam dari dalam tasnya. "Aku memanggilmu, Plumbina," katanya

.

Kristal itu berubah menjadi gumpalan asap yang mengepul dan berputar-putar di satu titik. Stallza memakai kemampuan Nicca untuk mengendalikan asap itu untuk menjauhi dirinya.



"Sudah lima," kata suara wanita dari dalam gumpalan asap. Suara itu terasa suram dan menekan, seolah semangat hidup seseorang tersedot hanya dengan mendengarnya.



"Aku ingat, Plumbina. Aku menghitung berapa banyak Spiritia yang kupakai setiap kali bertempur," kata Stallza. "Bagaimana kalau kautunjukkan sosokmu padaku?"



Gumpalan asap di depan Stallza perlahan-lahan membentuk sosok seorang wanita ramping berambut hitam legam sepinggang. Plumbina memakai gaun hitam, kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Sebuah cadar hitam menutupi setengah mukanya, menyisakan dua mata berwarna hitam dengan tatapan malas. Di pinggang kanannya tersampir pedang. Di tangan kirinya terdapat guci tanah yang ditutupi kain putih.



"Perintah?" tanya Plumbina.



"Kalahkan orang di atas sana," jawab Stallza.



Plumbina menengadah. Dari lubang yang ditimbulkan Stallza ia bisa melihat sosok yang membara dan membeku sekaligus. "Setengah-setengah," katanya.



"Setengah-setengah yang menyusahkan," kata Stallza.



Plumbina mengangguk. "Mudah," kata gadis itu.



Plumbina membuka guci tanah yang dipegangnya. Tangan kanannya merogoh ke dalam guci itu dan mengambil segenggam debu berwarna hitam. Ia melemparkan debu itu ke udara, dan dalam sekejap sosoknya telah berubah menjadi gumpalan debu hitam.



Gumpalan debu Plumbina menggulung-gulung ke atas, melewati lubang yang dibuat oleh Stallza saat terjatuh. Semakin lama gerakannya semakin cepat, hingga akhirnya menyembur dengan sangat kencang ketika tiba di luar.



"Kau mati," kata Plumbina dari dalam gumpalannya pada si sosok setengah-setengah.



~~~



Stella berkeringat. Pertarungan melawan asap hitam yang berbicara itu telah membuat tenaganya terkuras. Apalagi asap itu tidak terpengaruh oleh api ataupun es. Stella bahkan telah mengubah tubuhnya menjadi asap untuk mengimbangi lawannya. Tetapi asap yang dilawannya terlalu lincah.



"Siapa kau sebenarnya?" seru Stella. Napasnya terengah-engah.



Asap itu berputar-putar di satu titik dan menjelma menjadi sosok wanita bercadar. "Plumbina," jawab wanita itu dengan suara nyaris berbisik.



Stella meludah. "Nama yang aneh," katanya.



"Terima kasih," balas Plumbina.



"Itu bukan pujian, tolol!" seru Stella. Gadis itu menarik sebuah tongkat berwarna merah dengan bola kristal di ujungnya. Diarahkannya bola kristal itu ke arah Plumbina.



"Kau akan merasakan kepanasan yang teramat sangat. Api akan membakarmu dari dalam ke luar. Kulitmu akan meleleh, demikian pula tulang-tulangmu. Penderitaanmu tak akan berakhir hingga kau menundukkan diri dihadapan aku, Ratu Stella Sword!" seru Stella.



Plumbina menelengkan kepalanya ke kiri. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan musuhnya. Menunduk pada orang lain selain tuannya? Itu tidak ada dalam pemahamannya.



"Plumbina hanya boleh tunduk pada Stallza," balas Plumbina. Guci di tangan kirinya menghilang. Aura gelap memancar keluar dari sosoknya.



"Kau akan terbakar oleh api neraka! Siksaannya akan menyiksa tiap jengkal tubuhmu!" seru Stella. Matanya membelalak. Kemampuannya membuat orang dapat tersiksa hanya dengan membayangkan siksaan yang ia katakan. Tetapi wanita bercadar di depannya tampak tidak terpengaruh sedikitpun.



Stella tidak pernah mengalami ini. Dua jurus andalannya tidak berhasil. Wanita bercadar di depannya tidak terpengaruh sama sekali. Wanita itu bahkan masih bisa menarik pedang dengan anggun dan menghunuskan pedang itu ke arahnya.



"Heh, jangan kira senjata manusia bisa melukaiku. Tidak akan! Cepat panggil laki-laki berjubah itu!" seru Stella penuh amarah.



"Tidak bisa," balas Plumbina. Pedang di tangan kirinya berwarna hitam, namun tampak berkilauan saat diterpa sinar dari lampu-lampu neon di sekitarnya. "Tidak perlu."



 "Apa maksudmu? Lawanku adalah dia! Kalau aku tidak mengalahkannya, aku tidak akan bisa menjadi ratu yang sebenarnya!"



"Menyerahlah," kata Plumbina. Matanya menatap dingin pada korbannya. "Dan matilah."



Gerakan Plumbina seanggun tiupan angin. Dalam satu tebasan lembut wanita itu menorehkan luka di perut lawannya. Hanya sebuah luka kecil, tetapi itu sudah cukup.



"Heh, kaupikir itu cukup untuk membuatku mati? Jangan ha–" Kalimat dari mulut Stella terhenti. Tubuhnya berguncang hebat. Kakinya kehilangan kemampuan menopang dirinya. Cairan darah dan busa membuncah keluar dari perutnya. Telinganya berdenging. Cahaya remang-remang neon di sekitarnya terlihat sangat terang. Udara terasa terbakar di dalam hidungnya.



"A – pa –"



"Racun," jawab Plumbina singkat seakan ia tahu apa yang ingin ditanyakan musuhnya. "Dan Plumbina bukan manusia."



Plumbina berjalan menjauh, meninggalkan Stella yang sekarat dalam kubangan muntahannya sendiri. Dari sudut mata kirinya ia melihat samar-samar sosok berjubah yang memakai sebuah topeng tengkorak di wajahnya. Ia tidak mempedulikan sosok itu. Ia tidak melakukan apa-apa. Itu bukan tugasnya. Tugasnya sekarang sudah selesai.



~~~



IV



Ravelt Tardigarde tidak menduga dirinya akan sesial ini. Pikirnya ia akan menunggu hingga jumlah peserta tersisa tiga orang sebelum turun dalam pertarungan. Tetapi takdirnya berkata lain.



Ravelt bertemu dengan Nemaphilia. Dan gadis itu tampak tidak senang melihat dirinya.



"Aku suka pohon, aku suka wanita, tapi aku tidak suka pohon yang ingin membunuhku. Atau wanita yang mengincar kepalaku. Atau keduanya," kata Ravelt. Keringat mengalir deras di lehernya. Napasnya memburu. Nemaphilia tidak memberinya waktu cukup untuk mengatur ritme napasnya.



Sulur-sulur tanaman raksasa yang ditunggangi Nemaphilia kembali menyerang. Dengan cekatan Ravelt menghantam satu sulur yang mengarah ke jantungnya dengan siku kanan, sedangkan kaki kanannya menjejakkan sulur lain dan melesat ke arah Nemaphilia.



Nemaphilia tersenyum. "Bagus. Mendekatlah kemari, pria tampan," katanya sambil melepaskan bunga-bunga dandelion ke arah Ravelt.



Ravelt menyeringai. "Dengan senang hati, nona tanaman."



Pria itu menerjang ke udara yang dipenuhi bunga dandelion tanpa tahu apa yang ia hadapi. Beberapa bunga menempel ke bajunya, beberapa melekat ke rambut pirangnya. Ravelt berputar menghindari saat beberapa sulur tajam menyerang sisi kirinya. Semakin banyak bunga dandelion yang menempel di badannya.



"Kau menikmati pertunjukan bungaku, Tampan?" tanya Nemaphilia.



"Lumayan," kata Ravel. Pria itu mencoba untuk tenang. Tetapi napasnya menjadi berat dan menimbulkan bunyi. Sesuatu yang tidak biasa. Selama hidup ia tidak pernah merasakan begitu susah untuk bernapas seperti yang dirasakannya saat ini. Apakah karena ia tidak lebih dari roh yang dipadatkan? Atau karena udara di tempat ini yang terlalu panas?



"Menurut dugaanku tenagamu sekarang sedang berkurang," kata Nemaphilia. Senyumnya merekah.



Mata Ravelt melebar. Ia yakin tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahannya. Tetapi bagaimana bisa wanita tanaman di depannya tahu kekuatannya melemah? Ravelt melihat bunga-bunga dandelion yang melekat di baju dan rambutnya semakin lama semakin banyak. Bagaimana mungkin?



"Kurasa sekarang kau kebingungan, Tampan," Nemaphilia melangkah menyusuri cabang-cabang besar yang mengarah ke tempat Ravelt. "Kau bertanya-tanya mengapa bunga yang menempel di dirimu semakin banyak, bukan?"



Ravelt menatap tajam wanita berambut hijau yang berjalan ke arahnya. Gerakannya anggun. Senyumnya manis. Tetapi aura yang memancar dari tubuh wanita itu terasa mengerikan. Ia mencoba menggerakkan kakinya, tetapi kakinya tidak bertenaga. Bahkan untuk membuka mulutnya pun tidak bisa.



"Oh, jangan menatapku seperti itu, Tampan. Nanti kau semakin lemah." Nemaphilia menyentuh pipi Ravelt. "Sayang sekali, kau harus mati di sini. Jangan marah. Ini pertandingan. Dan aku ingin menguasai kota ini."



Tangan yang menyentuh pipi Ravelt terasa dingin, membuat pria itu bergidik. Tiba-tiba matanya teralih ke sosok di belakang Nemaphilia. Sosok berjubah hitam yang memakai topeng tengkorak.



Mata Ravelt membelalak. "Kau!"



Sosok di belakang Nemaphilia mengangkat tangan tengkoraknya dan menyentuhkan jari telunjuknya ke mulut – jika bagian yang terlihat seperti deretan gigi terkatup di topeng itu masih bisa dikatakan sebagai mulut. Sosok itu menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan, seolah tidak mengijinkan pria itu mengatakan apa yang ingin ia katakan.



Tetapi Ravelt tidak mematuhinya.



Sosok itu beberapa saat lalu berdiri di belakangnya, membisikkan berbagai pujian akan kekuatannya. Berkata bahwa ia bisa menjadi raja di tempat ini. Menjadi raja, berkuasa. Sesuatu yang dulu gagal ia lakukan. Ia bisa memulai kembali sekarang. Itupun jika ia bisa mengalahkan semua peserta yang ada di pulau ini. Namun kini sosok itu berdiri di belakang wanita berambut tanaman, seolah-olah ia sudah mengikuti wanita itu sejak lama.



"Ry—" Teriakan Ravelt terputus oleh ratusan bunga biru yang entah dengan cara apa tumbuh di mukanya. Ia tak sempat meneriakkan nama sosok hitam itu. Dan sosok itu tersenyum – deretan gigi di topeng tengkorak itu membuka.



Mata Ravelt menatap nanar saat sosok itu menyibak tudung hitamnya dan menunjukkan sosok aslinya: tengkorak berjubah dengan puluhan kabel yang menyambung ke belakang kepalanya. Ryax membungkuk perlahan padanya, seolah sedang memberikan hormat. Tetapi Ravelt tahu itu bukan penghormatan. Itu adalah penghinaan pada mereka yang tidak layak menjadi seorang raja, namun sangat bernafsu untuk meraih kedudukan itu.



"Tidak sopan melihat ke tempat lain jika seorang wanita berbicara padamu, Tampan," kata Nemaphilia yang menyadari tatapan musuhnya tidak lagi untuknya. "Tapi aku mengerti. Kau pasti bosan akan keadaan seperti ini, berada dalam keadaan antara hidup dan mati karena itu aku akan mengabulkan hal yang paling kauinginkan saat ini."



Nemaphilia menjentikkan jari. Tanaman baby blue yang tumbuh di wajah Ravelt seketika menyebar dan menutupi seluruh tubuh pria itu. Saat seluruh bunga biru itu mekar, sosok bernama Ravelt tidak ada lagi di depan Nemaphilia.



"Nah, Ryax. Satu peserta sudah kuhabisi. Masih ada berapa yang harus kuhadapi?" tanya Nemaphilia tanpa menoleh. Ia berjalan melewati tubuh Ravelt yang perlahan berubah menjadi tanah.



"Termasuk pria berjubah tadi, Yang Mulia Nemaphilia masih harus melawan enam orang lagi. Ah, maaf. Sekarang sisia lima," kata Ryax. Tengkorak itu kembali menutupi kepalanya dengan tudung hitam dan mengikuti sang wanita tanaman. Ia menoleh saat berpapasan dengan gundukan berbentuk manusia yang sebelumnya bernama Ravelt dan meninju gundukan itu hingga hancur.



"Sisa lima?" Nemaphilia berbalik.



Ryax membungkuk. "Benar, Yang Mulia. Tampaknya pria berjubah yang lolos dari Yang Mulia telah mengalahkan satu peserta lainnya."



"Bagaimana kau bisa sangat yakin akan hal itu?"



"Hamba memiliki banyak mata dan telinga di seluruh pulau ini. Tidak ada yang hamba tidak ketahui. Dan semua yang hamba ketahui akan hamba beritahukan pada Yang Mulia."



Nemaphilia tersenyum puas. Sangat membantu sekali menemukan seorang hamba yang tahu segalanya di tempat yang tidak ia kenali ini. "Bagus, bagus sekali, Ryax. Sebentar lagi aku akan menguasai pulau ini. Saat itu tiba, aku akan mengangkatmu sebagai perdana menteriku. Lalu kita akan mengalahkan Thurqk dan menguasai seisi dunia ini!" serunya penuh semangat.



"Tentu, Yang Mulia," kata Ryax. "Tinggal sembilan jam lagi, dan semuanya akan menjadi milik Yang Mulia."



~~~



Carol mengamati layar tablet di dalam sebuah ruangan yang nyaman. Lampu neon menerangi seluruh ruangan itu sementara ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa yang empuk.



Carol tersenyum. "Jadi sudah dua orang yang mati. Bagus sekali," kata gadis itu.



"Anda pasti senang karena tidak perlu melawan musuh sekuat Stella Sowrd."



Carol menoleh ke sumber suara itu. Sesosok makhluk berjubah hitam berdiri di samping sebuah lemari buku di sebelah kirinya. Kepala sosok itu tertunduk. "Tentu saja," kata Carol.



"Anda tidak ingin keluar sekarang?" kata sosok berjubah hitam.



"Meski aku tahu kekuatan mereka tidak seberapa untukku," Carol berdiri, "akan lebih bagus kalau mereka saling menghabisi terlebih dulu. Aku lebih suka menghemat tenaga untuk melawan yang lebih kuat."



"Thurqk?" tebak sosok berjubah hitam.



Carol mengangguk mantap. "Tentu saja!" katanya dengan suara riang. "Makhluk yang berkata dia adalah dewa namun tidak bisa menguasai teknologi di sini? Yang benar saja. Mana sudi aku mengakuinya? Aku baru berada satu jam di sini dan sudah menguasai semuanya."



"Itu berkat kemampuan belajar Anda yang luar biasa, Nona," kata sosok berjuba hitam.



Carol melambai-lambaikan tangannya di depan wajah. "Tentu saja. Kau sekarang sedang berhadapan dengan pustakawan terhebat di seluruh dunia, Ryax."



Sosok berjubah hitam mengangkat wajahnya yang tampak seperti tengkorak. "Tentu saja, Nona."



~~~



V



Stallza tidak pernah merasakan sesemangat ini. Setelah Plumbina melapor padanya—dengan kata-kata singkat yang nyaris susah dipahami—ia tahu bahwa wanita setengah-setengah yang dilawan Spiritianya telah kalah.



"Wah, wah. Tampaknya Anda sedang merasa senang sekarang," kata Ryax. Sosoknya tiba-tiba saja muncul di samping Stallza, membuat pria itu melompat karena terkejut.



"Bisakah kau muncul dengan lebih baik?" seru Stallza.



"Maafkan aku. Tapi aku ingin memberitahukan sesuatu yang penting yang lupa kukatakan pada Anda," kata Ryax.



"Apa itu?"



"Waktu Anda sisa sembilan jam sebelum penobatan," jawab Ryax.



"Aku masih belum setuju dengan tawaranmu," kata Stallza.



"Benarkah?" Ryax tertawa. Suara paraunya membuat tawa itu terdengar seperti batuk sekarat pria tua. "Aku yakin sebentar lagi kau akan setuju, tuan Stallza. Sebentar lagi." Sosok Ryax kembali hilang bagaikan asap, meninggalkan Stallza kembali sendirian.



Stallza tidak tahu berapa banyak yang harus dilawannya di pertandingan kali ini. Tetapi siapapun yang berani menyerangnya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghabisi orang-orang itu. Ia merasa begitu yakin bisa melakukan apapun dengan semua Spiritia kuat yang ia miliki. Jika musuh menyerang dengan api dan es, maka Almena bisa mengatasi mereka. Jika mereka menyerang dengan pedang atau peluru, maka Cupria bisa menghadang serangan mereka. Jika ia terluka, maka Iodesa bisa menyembuhkannya.



Stallza melihat apa yang terbentang di bawah kakinya. Ratusan, mungkin ribuan, bangunan-bangunan tinggi menjulang. Ratusan papan yang disebut layar monitor oleh Ryax. Entah berapa banyak automaton di bawah sana.



Di sebuah layar monitor Stallza melihat gambar-gambar bergerak yang lucu. Gambar-gambar itu terlihat seperti lukisan buatan tangan yang hidup yang sedang memerankan sebuah cerita.



Seorang pria biasa yang melawan sang dewa. Meski harus terluka parah dan kehilangan teman-teman, akhirnya pria itu berhasil membunuh sang dewa. Ia pun menggantikan dewa itu dan membangkitkan kembali teman-temannya yang tewas.



Seandainya itu bisa ia lakukan saat di Ventinis. Seandainya ia punya kekuatan seperti sang dewa untuk membangkitkan kembali teman-teman seperjuangannya. Seandainya ia tidak perlu kehilangan tubuhnya.



Stallza berandai-andai. Seandainya ia bisa menguasai pulau yang tidak bisa ditaklukkan oleh Thurqk, maka bisa saja ia berbalik dan melawan dewa itu. Ia tidak perlu menuruti keinginan dewa itu dengan mengikuti pertandingan-pertandingan ini. Ia akan merebut posisinya, dan dengan kekuatan sang dewa ia akan melepaskan semua orang di sini. Ia akan menghidupkan mereka kembali, juga dirinya sendiri. Ia akan kembali ke Ventinis, dan dengan kekuatan dewa yang  ia miliki, semua orang yang berani merendahkannya di sana akan ia taklukkan. Tidak perlu ada perang lagi. Cukup dengan jentikan jari, para bangsawan atau orang-orang kaya akan tunduk padanya.



Stallza terbuai oleh angan-angannya sendiri. Ia tidak sadar saat sebuah cahaya melesat keluar dari dalam tasnya dan berubah menjadi seorang pria yang memakai topi tinggi.



Baju pria itu tidak berwarna setengah-setengah seperti sebelumnya. Kini seluruh pakaian yang menempel di badannya berwarna putih bersih. Phosporosso menatap tajam ke arah Stallza yang melamun di pinggiran atap sebuah gedung, cukup jauh dari gedung yang mereka hancurkan.



"Hei," tegur Phosporosso.



Stallza tidak menoleh. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Phosporosso yang berdiri di sampingnya.



"Hei!" hardik Phosporosso.



Sang tuan tetap tidak mempedulikan dirinya.



Dengan geram Phosporosso menendang perut Stallza. Pria itu terhempas dan terseret ke belakang. Berguling beberapa saat sebelum akhirnya berhenti.



Lamunan Stallza dipaksa berhenti bersama rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia berdiri dengan susah payah. Ujung matanya melihat Phosporosso dalam pakaian serbaputih berjalan ke arahnya.



"Kau menendangku? Untuk apa?" seru Stallza.



"Untuk kebodohanmu yang nyaris membuat semua Spiritia tidak lagi bisa mendengarkan suaramu," jawab Phosporosso geram.



"Apa yang sudah kulakukan!?"



"Apa kau mendengar suaramu sendiri saat ini?! Kau bertanya apa yang sudah kaulakukan? Sekarang jawab aku, apa yang menjadi perjanjian antara kau dan kami!"



Stallza ingat saat di masa perang besar. Saat-saat ia mengalahkan pemilik Spiritia yang serakah dan membebaskan mereka. Sebuah janji membuat mereka setuju mengikutinya. Dan Phosporosso kembali mengingatkan Stallza akan janji itu.



"Aku tidak boleh menyombongkan diri dan menggunakan kalian dengan niat serakah, seperti yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kalian sebelum aku," kata Stallza.



"Dan dari apa yang kaubayangkan, apa yang akan kaulakukan terhadap kami?"



Dalam khayalan Stallza, semua Spiritia miliknya tidak lebih sebagai alat. Ia menggunakan mereka tanpa peduli berapa banyak yang akan rusak atau bahkan musnah. Ia sangat yakin saat berhasil mengalahkan sang dewa, ia bisa membangkitkan mereka kembali. Dalam satu khayalan yang terasa sangat nyata, ia telah melanggar perjanjiannya.



Stallza menunduk. "Maaf," katanya. Penyesalan memang datang terlambat. Jika Phosporosso memukulnya sekali lagi, atau membuatnya terlempar dan menembus beberapa gedung, Stallza dengan senang hati menerimanya. Itu adalah hal yang layak ia terima.



"Pergi ke mana kesombonganmu, Stallza? Bukankah kau ingin menguasai seluruh dunia ini? Membunuh sang dewa dan menjadi dewa di tempat ini?"



"Aku menyesal. Jika kau mau, lakukan apapun yang kausukai. Kau bisa memukulku atau apapun. Aku mengaku bersalah."



Phosporosso kini semakin dekat padanya. Stallza menutup mata, bersiap menerima serangan apapun dari Spiritianya itu. Tetapi serangan itu tidak pernah datang.



Phosporosso menepuk pundaknya. "Setidaknya tuan tidak pernah melakukan itu kepada kami. Dan semoga saja tuan tidak pernah lagi berpikir menganggap kami alat," katanya lembut.



Stalla membuka matanya. Pakaian dan topi Phosporosso kini berubah dan tersenyum padanya.



"Sosokmu menjadi merah," kata Stallza.



"Aku kembali ke wujud ini karena Anda telah menerima pesan kami, tuan," kata Phosporosso dengan sopan.



Phosporosso melangkah mundur dan membungkuk. "Kami berharap Anda tidak lagi memperhatikan perkataan menipu dari makhluk itu. Jika dia datang lagi, panggil aku. Aku ingin memberikan sesuatu yang layak untuknya," kata Phosporosso.



"Akan kuingat saat Ryax mencoba mempengaruhiku lagi," kata Stallza.



Sosok Phosporosso bersinar dan berubah menjadi sebuah kristal bening dengan inti merah. Stallza mengambil kristal yang melayang di depannya itu dan dengan hati-hati memasukkannya kembali ke dalam tas.



~~~



Sesosok makhluk biru mengamati Stallza dari kejauhan. Ia melihat saat pria berjubah itu berbicara sendiri, saat sesosok pria lain muncul dan menendangnya, lalu saat pria itu menghilang kembali. Semuanya tampak aneh di matanya.



"Jadi makhluk itu yang bernama Stallza, Ryax?"



Sosok berjubah hitam di belakangnya bergerak maju. "Benar, tuan Emils. Seorang pemanggil. Dia tidak ada apa-apanya tanpa makhluk panggilannya," kata sosok itu dengan suara parau.



"Jika aku ada di sana, mungkin aku bisa merebut tasnya. Dengan begitu dia tidak punya apa-apa lagi," Emils tersenyum. "Dan saat itu terjadi, aku dengan senang hati akan menusuk makhluk rendahan itu dan membuatnya kering."



Sebuah desingan peluru terdengar diikuti bunyi tembok yang retak akibat hantaman peluru. Emils berdecak. "Ah, kupikir dia tidak melihatku."



"Anda terdesak?"



Emils mendengus. "Jangan remehkan kemampuan para slime!"



Ryax membungkuk. "Tentu saja. Tentu saja, tuan Emils."



Mata Emils beralih ke arah asal peluru itu. Jauh dari tempatnya bersembunyi, seorang gadis berambut putih sedang mengarahkan ujung senjata ke arahnya. Lalu sebuah peluru lagi melesat ke arahnya.



~~~



VI



Luna berdecak kesal saat pelurunya meleset. Sekarang targetnya sadar ia bersembunyi di mana. Sosok biru targetnya menatap ke arahnya. Gadis itu memutuskan menembaknya sekali lagi. Tetapi seketika sosok biru itu menghilang.



Menghilang sepertinya tidak tepat untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh makhluk biru itu berubah menjadi air dan jatuh begitu saja ke lantai. Tidak ada gunanya menembak genangan air.



"Makhluk biru yang lincah," desis Luna. Gadis berambut putih itu bergegas berdiri dan menyelempangkan senapan jarak jauhnya ke pundak.



Luna segera menuruni atap gedung. Ia harus segera mencari target baru. Berlama-lama mengejar satu buruan akan menghabiskan waktunya.



"Sisa berapa jam lagi, Ryax?" kata Luna pada sosok di sampingnya.



Sosok berjubah hitam itu terbang melayang, membuatnya tampak seperti asap. "Masih ada tujuh setengah jam lagi, nona Luna."



"Bagus," kata Luna. "Apa kau sudah menemukan target berikutnya?"



"Tak jauh dari sini ada wanita tanaman bernama Nemaphilia. Dia target yang lebih mudah disasar dibandingkan Emils."



Luna kembali berdecak. "Kenapa tidak mengatakan itu dari awal?"



"Maafkan saya, Nona."



Luna tidak melihat saat Ryax menyeringai di sampingnya. Perhatiannya tertuju pada tangga darurat yang terasa tidak berujung.



~~~



Emils meresap melalui lantai atap yang dipijaknya. Gadis yang menyerangnya pasti tidak menyangka ia bisa melakukan itu: mengubah dirinya menjadi cairan dan meresap melalui celah lantai atap itu lalu turun ke lantai di bawahnya. Setelah mendarat di lantai, Emils meluncur dengan cepat menuju tangga darurat. Beberapa kali Emils berpapasan dengan android yang terkejut saat melihat ada genangan air yang bisa bergerak. Tetapi ia tidak peduli. Toh tidak ada android yang cukup cepat menyingkirkan dirinya dengan kain pel atau penyedot cairan.



"Sekarang siapa yang harus kuhadapi? Di luar sana masih ada lima orang yang bergerak. Dan sialnya aku tidak tahu seberapa jauh mereka dariku," kata Emils. Ia bersembunyi di sudut tangga darurat yang tidak terlihat, menghindari sebuah robot pembersih yang getol mengejarnya sejak dari lantai teratas.



"Aku bisa membantu Anda jika Anda kehendaki," kata Ryax. Sosok berjubah hitam itu berjongkok di samping Emils yang masih berbentuk genangan air.



"Bantuan seperti apa?"



"Seluruh kota, bukan, seluruh pulau ini adalah tempat bermainku. Aku bisa kemana saja yang aku mau. Aku juga bisa membawa Anda  ke manapun yang Anda mau," jawab Ryax.



"Oh? Kenapa kau tidak mengatakan itu sebelumnya?"



"Karena Anda tidak bertanya."



"Baik, kalau begitu bawa aku."



"Dan tujuan kita?"



"Orang yang berani menembakku tadi."



Emils mengubah sosoknya menjadi manusia. Di saat bersamaan robot pembersih melihat dan mengejarnya. Dengan cepat Emils mengubah tangannya menjadi pedang dan menebas robot itu menjadi dua.



"Hebat sekali, tuan Emils," puji Ryax.



"Tentu saja," kata Emils bangga. "Nah, sekarang bawa aku."



Ryax mengulurkan tangannya yang berupa tulang belulang pada Emils. "Raih tanganku."



Emils meraih tangn Ryax tanpa mengatakan apapun.



"Anda tidak takut?" tanya Ryax.



"Takut? Untuk apa?" balas Emils.



"Karena wujud asliku tidak seperti apa yang terlihat."



"Tidak seperti manusia, maksudmu?" Cairan biru di tubuh Emils tergelak. "Jika wujud aslimu manusia, maka aku tidak akan sudi bekerjasama denganmu."



"Jadi Anda sudah tahu dari awal, ya?"



"Jangan remehkan para slime, ingat?"



Ryax tertawa parau. "Anda benar, tuan. Slime adalah yang terhebat."



Sosok Emils dan Ryax diselimuti asap hitam yang berputar-putar. Beberapa android penjaga yang datang setelah melihat sebuah robot pembersih hancur melalui layar monitor terjebak dalam asap itu. Sistem ventilasi di jalur tangga darurat secara otomatis aktif untuk mengeluarkan asap itu, namun secara tiba-tiba asap itu menghilang. Demikian pula sosok Emils dan Ryax.



~~~



VII



Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berbaring dengan tenang sambil menatap langit, meskipun langit di atas kepalanya berwarna merah darah. Warna yang semakin lama terlihat semakin membosankan.



Pulau itu masih berada di dunia serba merah, dunia yang dikuasai si dewa merah, Thurqk. Dilihat dari sisi manapun, tidak mungkin tempat ini tidak dikuasai oleh dewa itu. Stallza menghela napas panjang. Nyaris saja ia jatuh dalam jebakan.



Jangan ikuti apa yang Thurqk inginkan. Kata-kata di surat misterius  itu kembali melintas di kepala Stallza. Siapapun yang menuliskan surat itu pasti tahu apa yang sedang terjadi. Dan pastinya itu bukan Thurqk atau siapapun yang patuh pada si dewa merah itu.



"Wah, wah. Kulihat Anda sedang bersantai, tuan Stallza."



Suara parau itu kembali. Stallza menegakkan tubuhnya. "Dan kau baru saja mengganggu waktu santaiku," kata Stallza. Tangannya merogoh ke dalam tas pinggangnya, siap memanggil kristal manapun yang ia dapatkan.



"Tahan dulu, tuan. Aku bukan lawanmu," kata Ryax.



"Mengapa aku harus percaya padamu?"



Ryax mengabaikan pertanyaan Stallza. "Kelima orang yang tersisa itulah yang menjadi lawanmu, apa tuan lupa?"



"Itu yang kaukatakan," jawab Stallza kasar, "dan itu yang Thurqk ingin kami percayai, bukan?"



"Sudah kukatakan dewa itu tidak punya kuasa di sini," kara Ryax gusar.



"Benarkah? Buktikan jika demikian."



Ryax tampak bergetar. Stallza menggenggam sebuah kristal di dalam tasnya. Phosporosso.



"Baik, akan kubuktikan," kata Ryax geram. Sebuah portal hitam tercipta di samping kirinya. Ia mengulurkan tangan dan menarik sesuatu dari dalam portal itu.



Hvyt.



Leher makhluk bersayap itu tercekik oleh tangan tulang belulang Ryax. Makhluk merah itu memberontak, mencoba mengatakan sesuatu. Namun cengkeraman tangan Ryax tidak mengijinkannya mengatakan apapun.



"Tidak ada seorangpun yang berani melakukan ini," geram Ryax. "Tidak ada kecuali mereka yang berani melawan Thurqk!"



Ryax meremas leher Hvyt yang ditangkapnya hingga putus. Darah berwarna hitam memencar ke segala arah, membuat Stallza terkejut. Tubuh tidak bernyawa itu jatuh begitu saja ke lantai atap gedung, sedangkan kepalanya menggelinding entah ke mana.



"Andapun bisa melakukan itu, tuan," portal di samping Ryax menghilang. Makhluk itu menyapukan tangannya di udara. Seketika di hadapan Ryax muncul meja penuh dengan hidangan yang lezat. "Mula-mula kita coba dengan ini. Anda bisa menciptakan asap beracun, bisa mengendalikan benda-benda, pastinya Anda juga bisa menciptakan makanan seperti ini, bukan? Buktikan pada si dewa membosankan itu bahwa Anda punya kekuasaan sebesar dirinya."



Perut Stallza berbunyi saat bau makanan-makanan itu mencapai hidungnya. Ia tergoda untuk mengambil Carbia dan menyuruhnya menciptakan makanan seperti yang dilakukan oleh Ryax. Tetapi kata-kata Phosporosso masih teringat di benaknya.



"Manusia tidak hidup hanya dari makanan. Apa gunanya semua ini kalau aku harus melanggar prinsipku sendiri? Aku tidak akan memakai teman-temanku seperti alat untuk memuaskan keinginanku sendiri," balas Stallza.



Geraman Ryax semakin keras. Ia menyambar Stallza sebelum pria itu siap dan membawanya ke sebuah gedung yang sangat tinggi di pulau itu. Segala sudut pulau itu terlihat. Semuanya penuh warna-warni yang menarik. Musik-musik yang menyenangkan telinga yang belum pernah didengar Stallza memenuhi segala penjuru. Untuk sesaat Stallza melupakan ia berada di dunia serba merah.



Ketika Stallza melihat wajah Ryax, ia sadar makhluk itu sedang berusaha menipunya lagi.



"Lihat semua ini? Anda bisa menguasai semuanya! Sisa lima peserta lagi. Anda hanya butuh beberapa jam saja dan semua ini akan menjadi milik Anda!" ujar Ryax. Suara geramannya terdengar berat dan menekan.



"Bukankah semua ini milikmu? Bukankah ini semua diberikan Thurqk? Untuk apa aku memiliki semuanya ini? Ini bukan sesuatu yang kuinginkan," jawab Stallza.



Ryax berteriak kesal. Ia memegang tangan Stallza dan membawanya kembali ke tempat pertarungan pertamanya. Sosok wanita setengah-setengah masih tergeletak di sana, dalam kubangan muntah dan darah yang sama, bernapas dengan susah payah akibat racun dari Plumbina. Api dan es tidak terlihat lagi di tubuhnya. Sosok itu tampak seperti wanita biasa sekarang—terlepas dari warna rambutnya yang merah dan biru, setengah-setengah.



"Bunuh dia!" seru Ryax. "Yang perlu kaulakukan hanya mengakhiri penderitaannya! Pastilah semua pesuruhmu itu setuju denganku!"



Stallza menoleh ke arah Ryax. Dari jarak dekat wajah makhluk itu terlihat jelas. Apa yang dikira Stallza sebagai topeng ternyata adalah wajah asli makhluk itu. Seluruh kepalanya adalah tengkorak asli.



"Pergi dari hadapanku, tengkorak! Aku tidak mau mengikuti apapun yang kaukatakan!" seru Stallza.



"Apa kau tidak punya kesombongan sedikitpun!? Apa kau tidak ingin berkuasa!? Lihat mereka! Mereka ingin membunuh siapapun yang berani menghalangi tujuan mereka. Kau, yang terkuat di antara semua peserta ini malah tidak mau melakukan itu. Apa kau gila!?"



"Aku yang akan menjadi gila jika mendengarmu!" seru Stallza geram.



Tangan Stallza menarik dua kristal keluar dari tasnya. "Iodesa, Phosporosso, aku memanggil kalian!" serunya.



Sosok Phosporosso muncul dengan rupa serba putih. Sosok pria itu muncul di depan Stallza, dan tanpa diperintah ia melesat ke arah Ryax. Pukulan demi pukulan dilancarkan, namun dinding asap yang dihasilkan makhluk hitam itu berhasil menangkis serangannya.



Iodesa muncul setelah Phosporosso. Setelah mengangguk pada Stallza, gadis berambut jingga itu segera bergegas menuju wanita berambut setengah-setengah. Iodesa memangku kepala wanita itu dan meletakkan tangannya ke kening wanita itu.



"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan dia?' tanya Stallza pada Iodesa.



Iodesa memejamkan mata. Telapak tangannya mulai berpendar "Cukup lama," kata Iodesa. "Racun Plumbina termasuk yang paling kuat."



"Kubantu."



Suara Plumbina terdengar diikuti sosoknya yang tiba-tiba muncul tanpa dipanggil.



"Tapi—"



"Itu racunku," kata Plumbina. "Akan kuambil kembali," gadis berambut hitam itu menoleh ke Stallza.



Stallza mengangguk.



Plumbina berpindah ke samping Iodesa. Dengan lembut jari-jari lentiknya menyentuh luka tebasan pedang di perut si wanita setengah-setengah yang kini tampak menghitam.



"Kembalilah," kata Plumbina pelan, nyaris terdengar seperti bisikan. Warna hitam pada luka itu memudar, seolah-olah tertarik oleh jari-jari lentiknya.



Saat warna luka itu kembali memerah, Plumbina menoleh pada Iodesa. "Selesai," katanya pada gadis itu. "Giliranmu," katanya sebelum tubuhnya bersinar dan lenyap.



"Terima kasih," kata Iodesa. Pendaran cahaya di telapak tangannya semakin terang. Wanita yang disentuhnya berteriak kesakitan. Tetapi Iodesa tidak beranjak dari tempatnya. Apa yang terjadi pada wanita itu adalah reaksi yang wajar saat penyembuhan terjadi.



Mengetahui wanita berambut setengah-setengah itu akan selamat, Stallza mengalihkan perhatianya pada Phosporosso. Pria itu menghajar Ryax tanpa ampun. Setiap kali tangan atau kaki Phosporosso menyentuh pertahanan Ryax, sebuah ledakan akan timbul dan menghancurkan pertahanan itu.



Ryax terdesak. Ia membentangkan tangannya dan berteriak keras. Seketika semua benda-benda berteknologi tinggi di sekitarnya berkumpul dan menyatu dengan dirinya. Sosok Ryax membentuk sebuah automaton raksasa menyerupai kerangka manusia setinggi gedung berwarna hitam legam.



"Hei, tuan. Bagaimana kalau kita bersama-sama melawannya," teriak Phosporosso pada Stallza.



"Aku setuju," seru Stallza.



Sosok putih Phosporosso berubah menjadi cahaya dan menyatu dengan tubuh Stallza, membentuk dua meriam yang melekat ke lengan pria itu.



"Mari kita hancurkan!" seru Stallza. Suaranya dan suara Phosporosso terdengar menyatu.



"Tidak akan bisa, makhluk lemah!" seru automaton Ryax. Ia mengangkat tangannya, bersiap melayangkan tinju ke arah Stallza.



Stallza melebarkan kaki. Kedua lengannya mengarah ke satu titik. Kepala automaton. Stallza menahan tekanan dan panas di dalam meriam di tangannya hingga mendapatkan tenaga yang pas. Saat ia melepaskan tenaga itu, sepasang bola api raksasa melesat keluar dengan suara dentuman yang sangat keras. Tubuh Stallza terdesak mundur beberapa kaki, namun ia tidak terluka akibat dorongan balik meriam di tangannya.



Ryax membatalkan niatnya meremukkan Stallza saat melihat kedua bola api itu melesat ke arahnya. "Tidak ada artinya!" teriaknya. Ia mencoba menangkap kedua bola api itu dengan tangannya, namun bola-bola api itu malah menghancurkan tangannya. "Apa!?"



"Masih ada lagi!" seru Stallza.



Sekali lagi Stallza menembakkan bola api dari meriam di tangannya. Sekali lagi automaton Ryax mencoba menangkapnya dengan tangannya yang tersisa. Dan tangan itupun ikut yang hancur.



Tubuh tanpa tangan itu adalah sasaran empuk untuk tembakan ketiga meriam Stallza. Kali ini tidak ada yang menghalangi bola apinya menghantam kepala automaton Ryax. Bagian kepala Ryax meledak hebat, disusul seluruh bagian tubuhnya bagaikan rantai ledakan. Gemuruh dan deru gelombang menggetarkan gedung-gedung tinggi di sekitarnya, tetapi Stallza tetap bergeming.



"Kita berhasil!" seru Stallza gembira.



Namun kegembiraan itu lenyap saat tawa parau Ryax terdengar menggema. "Kau tidak mengalahkan apapun, Stallza. Aku adalah pulau ini, dan aku berada di manapun. Tetapi kau baru saja menunjukkan keberadaanmu pada musuh-musuhmu. Mereka yang akan mengalahkanmu," kata suara itu. Tawa itu menggema kembali sebelum lenyap, meninggalkan Stallza yang semakin siaga.



"Sepertinya titik ini akan menjadi satu-satunya pertahanan kita," kata Stallza pada Iodesa.



Gadis berambut jingga itu mengangguk. "Aku akan membantu sebisaku," kata Iodesa.



~~~



VIII



Luna menghentikan larinya saat mendengarkan gemuruh dari kejauhan. "Suara apa itu?" tanyanya pada sosok Ryax yang melayang di sampingnya.



"Hanya seorang peserta yang menghancurkan gedung tanpa alasan, nona," jawab Ryax.



Luna berdecak. "Berani-beraninya dia mengacak-acak kotaku!"



"Apa Anda ingin menyerang orang itu terlebih dulu?" bisik Ryax parau.



Luna berpikir sejenak. "Boleh juga. Apa dia jauh dari sini?"



"Tidak, nona. Dia berada tidak jauh dari sini."



"Siapa namanya dan apa kemampuannya?"



"Namanya Stallza, kemampuannya adalah memanggil makhluk-makhluk untuk membantunya dalam pertarungan."



Luna tersenyum. "Lawan yang mudah," gadis berambut putih itu memeriksa peluru di senapan laras panjangnya. "Yang penting membunuh si pemanggil, maka makhluk panggilannya tidak akan bertahan lama."



Luna bergegas meninggalkan gedung itu melalui pintu belakang. Menyusuri gang sempit yang gelap untuk bersembunyi dari peserta lain sebelum mendapatkan posisi yang bagus. Memasuki jalur pejalan kaki dan berbaur di tengah keramaian android dan gynoid. Menyeberangi jalan dan memasuki gedung lain.



Luna menembak kepala beberapa android penjaga yang mencoba menghalanginya memasuki gedung. Beberapa android lain datang menyerbunya. Luna kembali menumbangkan mereka dengan mudah.



"Kalian tidak ada apa-apanya!" serunya gembira.



Di depannya terdapat lift yang terbuka. Luna menembaki beberapa gynoid yang ingin memasuki lift itu dan berlari masuk sebelum pintunya tertutup.



"Lantai teratas!" seru Luna di dalam ruangan lift.



Silinder baja itu berdentam sejenak sebelum bergerak naik. Di dalamnya Luna tidak berhenti mengetuk kakinya. "Kupikir teknologi di sini sangat canggih! Kenapa lama sekali!"



Pintu lift terbuka setengah menit kemudian. Kini Luna berdiri di lantai lima puluh, masih satu tangga menuju atap. Sekali lagi gadis itu menembaki android yang berpapasan dengannya.



Saat Luna tiba di atap gedung itu, sesosok makhluk biru sudah menunggunya.



"Halo, nona," kata makhluk biru itu. Ia melempar sebuah peluru yang remuk ke depan Luna. "Sepertinya itu milikmu."



~~~



Tubuh makhluk biru itu bisa saja terlihat lunak. Tetapi serangan-serangan makhluk itu tidak bisa dianggap remeh. Tangannya yang berubah menjadi pedang sanggup menebas beton dengan sangat rapi. Gerakannya lincah seperti seorang yang mahir. Sedangkan Luna adalah pengguna senjata yang membutuhkan jarak untuk menyerang, sesuatu yang sudah jelas tidak diberikan oleh si makhluk biru.



"Ada apa, nona? Kehabisan peluru?" kata Emils.



"Akan kuberikan beberapa ke tubuhmu kalau kau memberiku jarak," seru Luna.



Emils terawa. "Orang bodoh mana yang mau mengabulkan harapan lawannya?"



Luna menunduk untuk mengelak dari tebasan Emils. Dengan cepat ia mencabut pistol semiotomatis dari pinggangnya dan menembakkan tiga peluru ke bola biru transparan di dalam tubuh makhluk biru itu. "Orang bodoh yang memberikan jarak terlalu dekat dengan lawannya," kata Luna.



Emils berhenti bergerak. Tangan pedangnya hancur menjadi cairan. Begitu juga seluruh tubuhnya. Si makhluk biru berubah menjadi lendir yang membasahi seluruh tubuh Luna.



"Iih," luna bergidik jijik. Untuk sesaat sang pembunuh berdarah dingin tampak seperti gadis biasa. Ia berusaha membersihkan lendir yang melekat di tubuhnya, namun jumlahnya terlalu banyak. "Makhluk menyebalkan!"



Luna mendengar Ryax tertawa di samping Luna. Dengan cepat gadis itu mengayunkan pistolnya ke wajah makhluk itu. "Kalau kudengar suara tawamu yang parau itu sekali lagi, akan kulubangi kepala tengkorakmu itu," katanya.



"Oh, jadi nona tahu wujudku?" Ryax kembali tertawa parau.



Luna membuktikan kata-katanya dengan menembakkan peluru dari pistolnya. Tetapi wujud Ryax berubah menjadi asap sesaat sebelum gadis itu menarik pelatuknya.



"Jangan marah padaku, nona. Sebaiknya nona menyalurkan kemarahan itu pada musuh nona," kata Ryax dari balik punggung Luna.



Luna berbalik, bermaksud menembakkan pelurunya kembali. Namun tangannya dihentikan oleh tangan Ryax tepat sebelum ia menarik pelatuk pistolnya. "Jangan lupakan apa yang menjadi tujuanmu, nona. Ingat, aku bukan musuhmu. Merekalah musuhmu," bisik makhluk itu.



Luna menarik napas panjang. "Baik," katanya, "tapi kalau kudengar tawamu sekali lagi, secepat apapun kau bergerak, aku pasti akan menembak mukamu."



"Apapun yang nona kehendaki, Ryax akan menjalankannya."



Ryax membungkuk hormat, menyembunyikan mulutnya yang menyeringai lebar.



~~~



IX



Jemari Carol sibuk menggerakkan pena di atas buku saat ia mendengar suara dentuman keras dari kejauhan. Gadis itu menegakkan kepalanya sejenak sebelum kembali sibuk dengan apa yang sedang ia lakukan.



Ryax yang berdiri di sampingnya menatap heran. "Apa yang sebenarnya sedang Anda lakukan, nona Carol?"



"Mempersiapkan senjata terhebatku," jawab Carol tanpa menoleh.



"Oh, pastilah itu senjata pemusnah massal," tebak Ryax.



"Bukan," jawab Carol. "Ukuran pemusnah massal terlalu merendahkan."



"Lalu? Apakah lebih hebat lagi?"



Carol tersenyum. Tangannya semakin cepat menuliskan kalimat-kalimat ke dalam buku di depannya. "Senjata ini akan memanggil kemarahan dewa. Pemusnahan manusia sebanyak apapun tidak akan cukup untuk melukiskan kemarahan para dewa."



"Tetapi apa gunanya seorang dewa jika Anda jauh lebih kuat dari semua dewa yang ada, nona?"



Carol berhenti. Ia menoleh dan tersenyum pada Ryax. "Apakah dalam cerita seorang jenderal akan turun lebih dulu ke medan pertempuran?" tanyanya retoris. "Tentu saja tidak akan,  bukan?"



"Ah," seru Ryax seolah tahu maksud Carol. "Jadi Anda menyuruh para dewa itu turun terlebih dulu?"



Carol mengangguk mantap. "Setelah itu baru aku yang maju, menghancurkan semuanya termasuk para dewa." Ia kembali menatap buku itu dan menuliskan beberapa kalimat lagi. "Dan sekarang senjataku selesai. Saatnya kita ke kota," kata Carol sambil menutup bukunya.



~~~



Tidak sulit bagi Nemaphilia untuk tahu darimana asal ledakan yang didengarnya. Cukup dengan melepaskan bunga-bunga dandelion yang disayanginya ke udara dan membiarkan mereka menjelajah. Bunga-bunga itu menjadi mata dan telinganya. Dan salah satu bunga itu menangkap sosok pria berjubah yang berdiri di atas sebuah gedung. Di bawah sana sebuah mesin berbentuk aneh tampak terbakar hebat.



"Jadi pria itu yang menimbulkan suara bising tadi?" Nemaphilia tersenyum. "Si tampan itu sepertinya lezat untuk santapan anak-anakku."



"Ah, sepertinya Ratu Nemaphilia telah menemukan mangsa kita yang melarikan diri," kata Ryax dari belakang Nemaphilia.



Nemaphilia tidak berbalik. Sejak awal ia sudah merasa bahwa makhluk berjubah hitam di belakangnya adalah pengecut dan penjilat. Dua hal yang ia benci selain manusia. "Mangsa kita?" Ia mendengus. "Kau mau menganggap dirimu berjasa? Dia adalah mangsaku. Sejak awal seperti itu!" seru Nemaphilia.



"Maafkan hamba, Ratu," kata Ryax. Lalu Nemaphilia tidak lagi mendengar suara paraunya.



Tangan Nemaphilia menyentuh dahan tempat ia duduk. "Ayo, kawanku. Kita ke sana," katanya.



Dahan yang diduduki Nemaphilia adalah milik sebuah pohon beringin raksasa. Tingginya setara dengan gedung lima puluh lantai. Nemaphilia menemukannya di dalam sebuah gedung, terkungkung dalam tabung yang diawasi ratusan android yang sedang menelitinya. Nemaphilia menghancurkan para android itu dan membebaskan si pohon. Dan kini pohon itu sudah bagaikan kudanya.



Pohon itu mulai mengangkat akar-akar depannya, menghunjamkan akar-akar itu kembali ke tanah, dan mengangkat akar-akar belakangnya sambil mengangkat tubuhnya ke depan. Jalan yang dilalui pohon itu sudah pasti hancur, demikian pula gedung dan semua mesin yang berpapasan dengannya. Semakin lama gerakan pohon itu semakin cepat. Titik yang dituju sang majikan, gadis Viridian yang duduk nyaman di dahannya, telah terlihat.



~~~



Luna bersedia melakukan apa saja demi mencapai tujuannya. Gadis berambut putih itu sangat yakin akan kemampuannya, ia sangat percaya diri bisa mengalahkan semua yang menghalangi impiannya. Dan lendir biru yang melengket di baju dan kepalanya saat ini berada di urutan terbawah dari daftar penghalang itu—terlepas dari betapa jijiknya ia terhadap lendir yang menempel di tubuhnya itu.



Awalnya Luna ikut demi melihat dunia penuh senyuman. Mungkin saat Thurqk membangkitkannya ia bisa menjalani hidup seperti itu di dunia asalnya. Atau di dunia lain. Atau di manapun itu. Yang terpenting ia tidak lagi harus membunuh orang dan hidup seperti gadis biasa.



Ironis. Dalam pertarungan yang harus ia lalui, nyawa adalah hal yang menghalanginya mencapai mimpinya. Demi bisa terlepas dari bayang-bayang masa lalunya yang kelam ia mulai membunuh. Dan demi terlepas dari bayang-bayang dirinya sebagai pembunuh, ia kembali harus mengambil nyawa.



Orang-orang ini sudah mati, pikir Luna saat pertama kali mengikuti pertandingan. Jika aku menembak mereka, aku hanya mengembalikan mereka ke bentuk roh mereka, tidak lebih dari itu.



Kini tujuannya berubah. Ia tidak butuh dunia lain. Pulau Ryax adalah surga yang ia impikan. Para android dan gynoid di pulau itu dapat dirancang supaya bertindak seperti manusia biasa. Ia bisa membuat mereka semua tersenyum dan berbicara lembut satu sama lain. Ia tidak perlu kembali ke dunia tempat semua kenangan buruknya bermula. Atau ke dunia lainnya yang belum tentu seindah apa yang ia harapkan. Pulau ini sempurna!



"Anda mendapatkan Stallza di saat yang tepat, nona. Tinggal menarik pelatuknya, dan satu lagi penghalang impian Anda akan lenyap," bisik Ryax di samping Luna. Suara paraunya seakan menghipnotis gadis itu.



Dari teropongnya tampak jelas wajah lelah Stallza. Pria itu tidak tahu apa yang akan datang padanya. Hanya dengan satu tarikan pelatuk kecil untuk menghancurkan kepala pria itu.



Desiran gairah memenuhi aliran darah Luna. Rasa itu kembali dirasakannya. Saat-saat ia merasa semua nyawa targetnya berada di bawah kendalinya, seakan ia berkuasa atas hidup mereka tanpa mereka ketahui. Rasa yang Luna akrabi sejak lama.



"Tidak, Ryax," kata Luna. "Kupikir akan lebih menyenangkan kalau menyisakan yang satu ini sebagai makanan penutup."



"Apa?!"



Luna bangkit dari posisinya. "Sisa tiga orang yang perlu kuhadapi. Yang satu berjalan ke tempat ini, sedang yang lain bersembunyi entah di mana. Menurutmu mana yang lebih menantang?"



Ryax tidak ingin menjawab pertanyaan retoris seperti itu.



"Aku tidak menembak target yang diam seperti boneka. Tidak ada tantangannya," kata Luna. Gadis itu menarik lendir biru yang menempel di rambut dan wajahnya dan membuang lendir itu jauh-jauh. "Lagipula aku ingin mencari tempat untuk membersihkan lendir-lendir sialan ini."



Ryax berusaha menahan geramnya. Tidak hanya Stallza, semua peserta yang tersisa tampaknya tidak lagi mau mengikuti perkataannya. Tetapi ia harus bersabar menjalankan perannya. "Apapun yang nona katakan adalah yang terbaik untuk nona," katanya pelan.



~~~



X



Carol melangkah dengan riang menyusuri selasar gedung yang lengang. Di belakangnya tampak puluhan robot hancur berantakan dan sesosok makhluk dari batu yang berjalan lambat.



Carol berbalik pada makhluk batu di belakangnya. "Golem, tugasmu sudah selesai. Sekarang menghilanglah," ujarnya gembira. Seketika sosok batu itu menghilang bagai asap.



"Kemampuan Golden Tongue yang luar biasa, nona," puji Ryax.



"Tentu saja," kata Carol. Ia menjentikkan jari. Sebuah portal tercipta di depannya. "Hm… buku apa yang harus kupanggil selanjutnya?"



"Bagaimana kalau buku yang nona tulis tadi?"



"Itu senjata terakhir," kata Carol. "Aku tidak akan menggunakannya di sini dan mencelakai diriku."



Ryax mengangguk-angguk. "Tindakan yang cerdas, nona."



Carol tidak menanggapi pujian itu. Ia memasukkan tangan ke dalam portal di depannya dan mengambil sebuah buku. "Buku bertema sci-fi. Ini yang kubutuhkan."



Carol menarik napas panjang-panjang sebelum membaca kalimat di dalam buku itu keras keras. "Portal itu tidak ubahnya sebuah cermin, dan di depan cermin itulah si gadis berdiri. Cermin yang akan menghubungkan dirinya dengan tempat yang ingin ia tuju. Tetapi penggunaan portal itu tidak gratis, seperti halnya segala hal yang ada di dunia ini. Demi pergi menuju tempat yang baru, ia harus mengorbankan apa yang dimilikinya. Namun si gadis hanya punyaseorang teman seperjalanan. Maka si gadis menyerahkan nyawa teman seperjalanannya sebagai bayaran."



Sebuah cermin besar tiba-tiba muncul di belakang Ryax. Makhluk itu terlambat menyadari apa yang dibaca Carol saat tubuhnya perlahan ditelan oleh cermin itu.



"Maaf, teman seperjalanan. Tapi ini semua demi menjadi penguasa. Tidak apa-apa, kan?" kata Carol dengan riang. "Lagipula aku bisa meraih posisi itu tanpa bantuanmu sama sekali."



 Ryax meronta saat tubuhnya perlahan terserap ke dalam cermin. Namun usahanya sia-sia. "Gadis sialan! Kau sama saja dengan yang lain! Aaaarrrrggghh!!" Itulah kata-kata terakhir makhluk itu sebelum seluruh dirinya hilang ke dalam cermin.



Portal berbentuk cermin itu telah menerima bayarannya. Kini kontrak antara dirinya dan si gadis sudah terjalin.



"Tunjukkan tempat Stallza, si pria berjubah," perintah Carol pada cermin itu. Cermin itu beriak bagaikan permukaan air sebelum menunjukkan wajah lelah Stallza.



Carol tersenyum puas. Bayangan Stallza tampak sangat jernih, seakan ia benar-benar berada di depan Carol. Di sana juga ada dua orang lain, tetapi Carol tidak menganggap mereka penting. "Sekarang mari kita beri sedikit kejutan pada mereka," katanya lagi. Sekali lagi cermin itu beriak.



Dengan langkah riang Carol berjalan menuju cermin. Permukaannya beriak kacau saat tubuh ramping Carol mulai berjalan menembusnya. Saat seluruh tubuh gadis itu telah menyeberang, tugas cermin itu sudah selesai. Tubuhnyapun hancur seketika.



~~~



Semakin dekat. Nemaphilia dapat merasakannya. Panas dan asap semakin terasa. Dua hal yang ia benci, namun tetap saja ia dekati karena di sana juga ada penghalang impiannya. Ia  tidak boleh terlambat dan memberi wakti pada si pria berjubah untuk menyiapkan diri. Nemaphilia sendiri sebenarnya tidak tahuapa kemampuan pria itu. Tetapi jika ia bisa membuat kebakaran sehebat itu, bukan tidak mungkin ia bisa mengendalikan api.



Nemaphilia berdecak. Mungkin sebaiknya ia memenuhi seluruh tempat itu dengan bunga dandelionnya sebelum tiba di sana. Dengan begitu ia bisa mengurangi kekuatan si pria berjubah dan peserta lain yang mungkin akan berkumpul di sana setelah ledakan tadi. Ide cemerlang itu membuatnya tersenyum lebar. Idenya memang selalu luar biasa!



"Baiklah, itu bisa kulakukan," kata Nemaphilia. Gadis tanaman itu membentangkan kedua tangannya ke samping. "Keluarlah dan hiduplah, anak-anakku," serunya.



Rambut Nemaphilia merupakan tempat hidup ribuan biji. Salah satunya adalah biki-biji bunga dandelion. Saat gadis Viridian itu membentangkan tangannya, biji-biji itupun melepaskan diri mereka.



Pohon beringin raksasa yang ditunggangi Nemaphilia menggerak-gerakkan batangnya untuk menghasilkan angin. Biji-biji dandelion itu melayang pergi dari induknya dengan dorongan angin itu, mendahului sang induk menuju ke panggung pertarungan terakhir.



~~~



Luna tidak sempat dan tidak menemukan  tempat untuk membersihkan diri. Sosok gadis tanaman yang menunggangi pohon beringin raksasa bagaikan mangsa yang menggoda hasrat pemburunya.



Sasaran baru ini lebih menantang. Jauh lebih menantang dibandingkan seorang pria yang kehabisan tenaga. Luna sangat yakin dapat dengan mudah menghabisinya kapanpun ia mau. Tetapi gadis tanaman ini berbeda. Gadis itu tangguh dan akan menjadi masalah besar jika dibiarkan hidup lebih lama lagi.



Luna menyeberangi lima gedung dari tempat ia membunuh Emils hanya demi mendapatkan tempat yang lebih stategis. Menaiki puncak gedung itu seperti sebelumnya—menembak siapapun yang menghalangi jalannya—dan berhasil tiba dengan selamat. Semuanya dilakukan kurang dari sepuluh menit. Tepatnya tujuh menit dua puluh detik.



Dalam tujuh menit dua puluh detik, Luna telah menghancurkan dua ratusan android, sepuluh robot penjaga berukuran besar, dan puluhan gynoid yang berpapasan dengannya. Pintu menuju atap gedung telah ia pasangi jebakan berupa bom mini yang diperolehnya dari robot penjaga yang ia hancurkan. Tiga puluh detik untuk merangkai mekanisme jebakan yang tidak akan membuatnua celaka. Luna mengambil empat puluh detik untuk memasang senapan snipernya dan berbaring. Dalam delapan menit tiga puluh detik ia telah kembali ke posisi siap menyerang.



Dari teleskop  senapannya Luna dapat melihat jelas siapa saja targetnya. Sosok Stallza, sosok si manusia tanaman bernama Nemaphilia yang mendekat dengan kecepatan yang tidak masuk akal , bahkan wanita dengan rambut merah dan biru—yang untuk ukuran gadis sebaya Luna termasuk norak—yang bernama Stella. Panggung yang sangat pas untuk mengakhiri semuanya. Tetapi Ryax berkata masih ada tiga lagi yang bertahan. Dan si rambut norak tampaknya sudah tidak bisa dihitung sebagai peserta lagi.



Saat ia bertanya-tanya di mana peserta yang dimaksud Ryax, dari sudut teleskopnya Luna melihat sebuah cermin muncul secara ajaib. Dan dengan ajaib pula sesosok gadis seumuran dirinya dengan rambut karamel yang diikat di kanan—lagi-lagi gaya rambut yang norak menurut Luna—muncul dari dalam cermin itu.



"Siapa nama gadis itu, Ryax?" tanyanya pada makhluk berjubah hitam yang berdiri di belakangnya.



"Namanya Carol, nona," jawab Ryax.



"Dia termasuk peserta yang tersisa?"



"Benar," jawab Ryax. "Dan pria berjubah di bawah sana bermaksud menambah orang yang tersisa dengan menolong Stella."



Luna berpikir sejenak. Apa harus menembak si pria berjubah terlebih dulu, si gadis yang baru datang, atau manusia tanaman yang mendekat? Atau menembak gadis berambut jingga yang tampaknya sedang menyembuhkan si rambut norak? Atau mengakhiri penderitaan si rambut norak yang kini tubuhnya berguncang hebat di pangkuan si rambut jingga? Terlalu banyak pilihan dan hanya sedikit waktu yang ia miliki.



Luna terkejut saat melihat Carol dan Stallza tiba-tiba ambruk dan atap gedung tempat keduanya berada dipenuhi biji-biji bunga dandelion. Dengan anggun biji-biji bunga itu melayang dan melekat ke seluruh tubuh keduanya.



Luna terlalu fokus pada Stallza sampai-sampai tidak menyadari bahwa seluruh pulau telah dipenuhi biji bunga dandelion. Saat ia sadar, biji bunga itu pun telah menempel di badannya.



Luna mencoba bangkit untuk menyingkirkan biji bunga dandelion yang menghalangi pandangannya, tapi tubuhnya tidak dapat digerakkan sama sekali. Seakan-akan energi di seluruh tubuhnya tersedot oleh sesuatu yang tak terlihat.



 "Apa-apaan ini!?" pekik Luna. Gadis itu mulai panik saat lutut dan pergelangan tangannya tidak bisa digerakkan.



"Ini adalah jurus dari Nemaphilia. Bunga-bunga dandelion ini menyerap kekuatan makhluk hidup di manapun mereka hinggap," kata Ryax. Makhluk berjubah hitam itu berjalan ke samping Luna.



"Lalu bagaimana bisa kau masih bisa berdiri?"



Ryax tertawa parau. "Karena aku tidak sama seperti kalian," katanya. Makhluk itu berjongkok di samping Luna dan membuka tudung jubahnya, menunjukkan rupa aslinya pada si gadis yang kini ketakutan "Berbeda dengan para peserta seperti kalian, tubuhku ini tidak akan bisa dihancurkan. Selama pulau ini masih ada, akupun masih tetap ada. Lagipula tidak ada energi kehidupan yang tersisa dari tulang-tulang mati seperti ini, bukan?"



Luna bergidik ngeri. Selama ini ia mengira sosok di balik jubah itu adalah manusia. Tetapi yang dilihatnya saat ini adalah sosok tulang belulang yang saling bersambungan dengan ratusan kabel.



"Kau terkejut, nona? Sudah sepantasnya. Orang yang benar-benar bangga pada dirinya sendiri tidak akan berpikir bahwa ini aneh. Mereka bahkan tidak akan peduli! Gadis bernama Carol di bawah sana membuktikan itu, meski aku tidak suka caranya." Ryax memajukan kepalanya. "Kau ternyata pecundang. Tidak berbeda dengan Ravelt, pria yang dibuat menjadi gundukan tanah oleh Nemaphilia. Kau tidak pantas untuk pulauku ini!" seru Ryax dengan suara parau.



"Ta—tapi katamu aku bisa menguasai pulau ini karena kekuatanku di atas mereka."



Ryax tertawa terbahak-bahak. "Kau tertipu, Nona! Kau, kalian semua, kalian semua bodoh! Aku adalah perwujudan kesombongan pulau ini, dan kalian berpikir aku menganggap kalian? Aku adalah raja yang sesungguhnya! Kalian semua hanya boneka yang menari di tanganku!" Seakan teringat sesuatu yang menarik, Ryax cepat-cepat menambahkan, "Dan yang membawa Emils ke depanmu adalah aku. Dia tidak tiba-tiba ada di sana."



Luna terhenyak. Terlalu banyak kejutan yang tidak menyenangkan membuat matanya mulai basah. "Ja—jadi sejak awal…"



"Ya," bisik Ryax. "Kalian semua kumanfaatkan, sama seperti Thurqk memanfaatkan kalian sebagai mainan. Tidak ada dunia baru yang bebas kekerasan seperti bayangan naifmu itu, Nona. Dan lagi, kalau mau jujur, kemampuanmu hanya sedikit lebih tinggi dari kemampuan si biru tadi. Tidak akan mungkin kau mengalahkan Nemaphilia atau Stallza atau Carol. Apalagi mengalahkan Thurqk! Hahahahahaha!"



Air mata Luna tumpah tanpa bisa dibendung lagi. Kepercayaan dirinya runtuh bersama tawa parau Ryax yang berdengung di telinganya.



~~~



XI



Biji bunga dandelion telah menyebar ke seluruh penjuru. Mata dan telinga Nemaphilia kini ada di semua tempat, bahkan di sudut tersempit sekalipun. Dengan mata dan telinga di mana-mana itu, Nemaphilia tahu bahwa seorang gadis berambut putih tengah mengamatinya dari kejauhan sambil mengarahkan senjata padanya.



Hanya dengan satu tatapan dari Nemaphilian, biji bunga dandelion di atas kepala gadis itu berkerumun dan melekat di tubuhnya. Gadis itu cukup beruntung karena tubuhnya terlindungi lendir biru. Jika tidak, maka tidak akan mungkin gadis itu duduk seperti saat ini.



"Aku berbaik hati menyisakanmu sebagai yang terakhir, nona manis," kata Nemaphilia. "Saat ini aku mengejar buruanku yang lepas."



~~~



Ini di luar rencananya. Dalam rencana Carol, korban pertamanya adalah Stallza. Lalu siapapun orang yang mendekatinya setelah itu akan menjadi korban selanjutnya. Atau sekalian saja memanggil Menara Sang Pendosa, sebuah menara besar dalam cerita yang baru saja ia tulis, dengan ujung teratasnya menyentuh langit untuk mengusik ketenteraman para dewa. Tetapi saat ini gadis itu bahkan tidak punya kekuatan untuk berdiri.



Carol melupakan satu faktor bernama Nemaphilia. Ia lupa pada apa yang disaksikannya dari layar tablet saat Nemaphilia membunuh peserta bernama Ravelt hanya dengan biji-bijian. Pertama-tama dengan biji bunga dandelion, lalu dengan biji bunga baby blue. Pertama-tama melumpuhkan mangsanya, lalu menghancurkan tubuh mereka saat sudah tidak berdaya. Persis seperti seekor laba-laba. Nemaphilia menebarkan kabar kematian pada siapapun yang menjadi sasarannya—semua orang di pulau ini.



"Sial!" gerutu Carol. "Seharusnya aku tidak mengorbankan Ryax tadi." Gadis itu mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan akhirnya berhasil berdiri kembali meski dengan susah payah.



Carol sedikit terhibur saat melihat tubuh kepayahan Stallza tak jauh darinya. Setidaknya ia tidak sendirian terjebak dalam jaring maut berwujud biji dandelion ini. Ia tidak ingin targetnya direbut si gadis tanaman. Dengan susah payah Carol mengambil pistol dan menodongkan larasnya ke arah pria berjubah itu.



"Menyingkir dari rencanaku, sampah!" seru Carol pada Stallza. Jari telunjuknya bergerak perlahan di pelatuk pistol itu. Sesuatu yang dulu sangat mudah ia lakukan, namun menjadi sangat sulit saat ini. Pandangannya kabur dan berputar-putar. Carol lupa mana yang terjadi lebih dulu setelah itu: suara letusan pistolnya atau tubuhnya yang ambruk.



Biji bunga dandelion mengerubungi tubuh Carol, membawa gadis itu dalam dunia mimpi yang sangat jauh. Di sana, para dewa yang marah telah menunggunya.



~~~



Stallza merasa mendengar seseorang berteriak ke arahnya. Saat ia menoleh, sesosok gadis yang entah muncul dari mana ambruk begitu saja tak jauh darinya. Tangan kanan gadis itu memegang senjata yang meletus saat tubuhnya menghantam lantai atap yang keras.



"Iodesa, bagaimana keadaanmu?" tanya Stallza.



"Aku tidak apa-apa, tuan," jawab Iodesa. Ia khawatir pada sang tuan. Jika sang tuan memintanya melakukan Spiritialis, maka ia akan meninggalkan wanita setengah-setengah di pangkuannya saat itu juga. Tetapi saat ia menatap mata sang tuan, Iodesa tahu sang tuan tidak menginginkan itu.



"Apa yang harus kulakukan, Tuan?" tanya Iodesa.



"Pulihkan wanita itu sebisa mungkin. Jangan biarkan dia mati," jawab Stallza lemah. Meriam di lengannya telah lenyap. Sesaat kemudian, kesadarannya ikut lenyap.



~~~



XII



Stella menggeliat di dalam pangkuan Iodesa. Kesadarannya kembali. Saat ia membuka matanya, ia sadar sedang berada dalam pangkuan seorang gadis. Dan gadis itu menangis.



"Siapa… kau?' tanya Stella.



Gadis itu tampak terkejut. Ia menyeka air matanya. "Namaku Iodesa," jawab gadis itu.



"Iodesa? Aku tidak tahu ada peserta bernama Iodesa. Ryax tidak…" Stella tertawa miris. "Ah, sial. Tengkorak itu pergi begitu saja saat tahu aku kalah," ia menatap Iodesa. "Lalu, apakah kau tahu wanita bercadar yang bernama Plumbina?"



Iodesa mengangguk. "Dia temanku," katanya. "Dia juga membantuku menyembuhkanmu dengan menarik kembali racunnya."



Alis mata Stella terangkat. "Jadi kau dan wanita itu sama? Apa itu berarti kalian bukan manusia?"



Iodesa kembali mengangguk. "Kami adalah Spiritia. Tuan kami adalah Stallza."



Stella tersenyum lemah. "Lalu untuk apa kau menyembuhkanku? Aku bermaksud membunuh tuanmu tadi."



Air mata di mata Iodesa kembali mengalir. "Karena tuan percaya padamu. tuan lebih memilih menyuruhku menolongmu daripada dirinya sendiri."



"Memangnya siapa tuanmu itu? Orang yang naïf?"



"Tidak," jawab Iodesa tegas. "Tuanku hanya tidak suka melukai orang tanpa alasan. Apalagi membunuh mereka."



"Ini pertandingan hidup dan mati, kalau tidak membunuh, maka akan terbunuh."



"Ini adalah pemaksaan dari makhluk bernama Thurqk."



Stella kembali tertawa. "Kau tahu orang-orang menyebut itu apa? Naïf."



Iodesa tampak tidak senang. Ia memalingkan matanya dari Stella. "Terserah katamu. Aku hanya menjalankan apa yang diperintahkan tuanku."



"Maaf kalau itu menyinggungmu," kata Stella.



"Tidak perlu minta maaf. Setelah kau sembuh, aku akan segera kembali pada tuanku."



"Kalau begitu kau bisa kembali ke tuanmu sekarang. Aku sudah pulih."



"Kau belum bisa berdiri."



Stella menopang tubuhnya dengan sikunya dan mendorong tubuhnya. "Kau lihat? Aku bisa duduk."



"Biji bunga ini akan melumpuhkanmu kembali dalam sesaat."



Stella melihat berkeliling. Di sekitarnya memang terdapat banyak biji bunga yang melayang-layang. Tetapi saat biji-biji itu menyentuh tubuhnya, pilihan mereka hanya terbakar atau berubah menjadi kristal es. 



Tak jauh dari tempatnya ia melihat si pria berjubah yang ia kejar tadi dan seorang gadis yang belum pernah ia lihat. Sebuah keinginan untuk menghabisi mereka sempat menggelitik dirinya, tetapi dengan segera ia membuang jauh-jauh pikirannya itu. "Aku tidak tahu bagaimana biji-biji ini bisa membuat mereka lumpuh. Tetapi yang pasti biji-biji ini tidak akan menggangguku," katanya.



Iodesa mengangguk pada Stella. Gadis itu bangkit dari tempatnya. "Kalau begitu aku kembali."



Iodesa melangkahkan kaki cepat menuju tempat tuannya terkapar. Di belakangnya, Stella mulai merapalkan mantra. Sebelum gadis berambut jingga itu tiba di tempat tuannya, Iodesa melihat bunga-bunga api terbang ke berbagai arah dan membakar semua biji bunga di sekitarnya.



~~~



Nemaphilia mulai merancangkan bagaimana membunuh semua orang yang tersisa. Yang pasti ia akan membunuh si pria berjubah. Salahnya sendiri. Seandainya pria berjubah itu tetap bersembunyi, mungkin ia tidak perlu mati sekarang. Lalu bagaimana cara membunuh pria itu? Apa seperti ia membunuh si pria tampan dengan menjadikannya gundukan tanah? Atau mungkin menusukkan sulur-sulur tajam tunggangannya? Terlalu banyak pilihan dan Nemaphilia punya banyak waktu untuk melakukan semuanya.



Beberapa blok lagi. Tinggal beberapa blok lagi menuju kemenangannya. Nemaphilia menginginkan nama besar. Ia ingin semua orang yang ikut pertandingan ini tahu kekuatannya. Ia tidak ingin menjadi seperti peserta yang kalah—hancur di dalam api yang menyala-nyala.



Beberapa blok lagi. Namun tiba-tiba semua bayangan kemenangan itu buyar saat ia melihat lidah-lidah api yang menari-nari. Lidah-lidah api itu bagaikan memiliki nyawa, bergerak dengan tujuan yang jelas, mengejar dan menghancurkan semua biji dandelion yang ia sebarkan.



Nemaphilia menggeram. "Melompatlah!" serunya pada tunggangannya.



Pohon beringin raksasa tunggangan Nemaphilia merespon. Dengan satu sentakan ia melempar dirinya ke atas. Dan saat mendarat, sang pohon telah berada tepat di sisi gedung yang ditujunya.



Betapa terkejutnya Nemaphilia saat melihat di atas gedung itu sosok yang menjadi targetnya berdiri tegak. Tetapi ada yang berbeda dengan pria itu saat ini. Mata pria itu berwarna merah. Dalam penglihatan yang ditunjukkan Ryax Nemaphilia melihat mata pria itu berwarna karamel.



Di belakang pria itu juga ada seorang wanita berdiri. Biji-biji dandelionnya tidak dapat menyentuh wanita berambut setengah-setengah itu.



Keduanya menatap tajam pada Nemaphilia. Dan Nemaphilia membenci tatapan seperti itu.

~~~



XIII



"Kenapa!?" seru Nemaphilia. "Seharusnya kalian sudah terkapar saat ini!"



Stella mengangkat tangan. "Pertama, biji-biji mengganggu ini tidak bisa menyentuhku. Kau lihat sendiri, bukan? Mereka akan terbakar atau membeku. Dan kedua, aku yang menyingkirkan biji-biji mengganggu ini dari badannya," katanya sambil menunjuk ke arah Stallza.



"Kalian berdua adalah peserta, bukan? Seharusnya kalian saling membunuh!"



Stella mengedikkan bahunya. "Aku sudah kalah, dan aku tidak peduli mau jadi apa setelah ini," kata Stella. "Lagipula si tampan ini sudah menolongku, jadi aku sekarang hanya membalas budi."



Nemaphilia akhirnya meledak. Gadis itu berteriak keras. Sulur-sulur beringin tunggangannya bergerak liar menyerang ke arah Stallza dan Stella. Stallza bergeming, sedangkan Stella melemparkan bola api ke sulur-sulur yang menyerang ke arahnya.



Melihat serangan itu gagal, Nemaphilia semakin tidak terkendali. Ia melepaskan semua biji dandelion dan baby blue yang ia miliki.



"Bagaimana kau mengatasi semua itu, Tampan?" tanya Stella. Gadis itu menjentikkan jari. Seketika sebagian besar biji yang dilepaskan Nemaphilia meledak di udara.



"Kami akan menghancurkan semuanya tanpa membunuh gadis itu," kata Stallza.



Stella tersenyum. Kami. Pria itu tidak berbicara sebagai dirinya sendiri.



Seandainya ia tidak melihat apa yang terjadi sebelumnya, pasti ia menganggap si pria berjubah di depannya ini sebagai orang gila. Tetapi dalam pertandingan yang diselenggarakan makhluk merah gila hormat dan haus darah seperti ini, kegilaan adalah hal yang wajar, bukan? Karena itulah Stella tidak kaget saat melihat gadis bernama Iodesa itu tiba-tiba menyatu dengan tubuh pria berjubah yang dipanggilnya tuan itu.



Penyatuan tubuh pria dan wanita dalam bayangan Stella biasanya tidak seperti itu. Dalam bayangan Stella, mereka pertama-tama harus berciuman. Atau setidaknya berpelukan. Setelah itu terserah mereka. Tetapi penyatuan yang dilihatnya tidak seperti itu. Tubuh si wanita berubah menjadi cahaya dan merasuk ke dalam tubuh si pria. Lalu tiba-tiba mata si pria berubah menjadi seperti mata si wanita.



"Kenapa kau tersenyum!?" seru Nemaphilia.



"Bukan sesuatu yang penting," kata Stella. "Lagipula kukira manusia tanaman sepertimu tidak akan paham jalan pikiran manusia biasa seperti kami."



"Kalau begitu tidak perlu kauceritakan!" jerit Stella. "Aku akan membunuh kalian sekarang juga!"



Nemaphilia melepaskan serangan terakhirnya. Sebuah biji di pusat kepalanya jatuh  ke batang pohon tunggangannya dan tumbuh menjadi bunga matahari raksasa dengan kelopak berwarna lembayung.  Bunga itu menyebarkan bau busuk yang membuat Stella muak.



Stella berjengit. Meski ia mengenakan masker, bau busuk dari bunga itu masih tercium olehnya. "Aku lebih memilih racun si cadar tadi daripada bau busuk ini!" seru Stella. "Dan kenapa kau tidak terpengaruh?"



"Spiritia yang bergabung denganku saat ini mampu mengatasi racun dalam bentuk apapun," kata Stallza. "Dan aku pernah mencium yang lebih bau dari ini."



Stallza mengambil dua buah kristal dari dalam tasnya. Sebuah kristal biru dan sebuah kristal hijau. Keduanya berpendar dalam telapak tangannya. "Dengan perjanjian antara kita, aku memanggil kalian. Datanglah, Nitria dan Chlora," katanya nyaris berbisik pada kedua kristal itu.



Nitria muncul dalam sosok seorang gadis dengan sepasang sayap berwarna biru. Selain kepalanya, seluruh tubuh gadis bertelinga runcing itu diselimuti kabut dingin. Gadis itu membusungkan dada dengan senyum mengembang.



Chlora muncul dalam sosok seorang anak kecil berusia 10 tahun dengan empat pasang sayap di punggungnya. Sesaat setelah muncul, Chlora mengubah dirinya menjadi peri kecil yang segera menggelayut ke lengan Stallza.



"Iodesa ada di dalam, bukan?" tanya Chlora merajuk.



Stella berusaha keras untuk tidak tertawa mendengar percakapan yang (baginya) ambigu itu.



Stallza mengangguk. Mendapat jawaban seperti itu membuat pipi Chlora menggembung.



Nitria yang melihat Chlora yang merajuk tersenyum. Meski terlihat imut saat kesal, tetapi kalau sampai Chlora merengek di sini, semua orang akan terkena imbasnya. Untung saja ia dan Spiritia lain tahu cara cepat untuk menghiburnya. "Tuan pasti sangat percaya padamu sampai-sampai kau dipanggil saat ini, Chlora. Apa kau senang mendapat kepercayaan itu?"



Wajah Chlora dengan segera berubah ceria. "Benarkah?" tanyanya pada Stallza.



Stallza mengangguk. "Tentu saja, anak manis. Aku percaya kau mampu melakukan apa yang kuminta," tanya Stallza. Jari telunjuknya mengusap pelan rambut hijau peri kecil di lengannya itu.



Mata Chlora berbinar-binar. Ia sudah lupa pada kekesalannya beberapa detik lalu. Peri kecil itu menepuk dadanya dengan bangga. "Kalau begitu katakan saja, tuan, siapa yang aku harus tidurkan?" katanya penuh semangat.



Stallza menunjuk ke arah Nemaphilia. Bunga di atas kepala wanita itu masih menguarkan bau busuk. "Namanya Nemaphilia. Sepertinya dia sedikit kurang tidur. Bisakah kau membantunya?"



Chlora mengangguk. "Itu gampang!" katanya ceria.



"Kalau begitu, ayo kita bermain," kata Stallza.



Chlora segera melesat dari lengan Stallza menuju ke arah Nemaphilia. Gadis kecil itu terbang dengan gembira di sekitar gadis tanaman itu. Sayapnya menyebarkan debu-debu berkilauan. Sulur-sulur beringin tunggangan Nemaphilia berusaha menangkapnya, tetapi Chlora jauh lebih lincah dari sulur-sulur itu.



Nitria melirik ke arah Stallza. "Lalu apa tugasku, Tuan?" tanya Nitria dengan suara menggoda. "Kau tidak memanggilku sekarang hanya untuk menjadi hiasan, bukan? Cukup dengan Chlora, semua orang di sini bisa dibuat tidur untuk waktu yang lama."



"Menyatulah denganku," kata Stallza.



Stella bersiul. "Sepertinya akan menarik," bisiknya.



"Bukankah tuan sudah melakukan penggabungan dengan dua Spiritia sebelumnya?" tanya Nitria. Ada kekhawatiran tersirat dalam suaranya. "Apa itu tidak begitu melelahkan?"



Stallza menggeleng. "Iodesa sudah membantuku untuk memulihkan tenaga," kata Stallza. "Dan meski Chlora sendiri bisa mengatasi Nemaphilia seorang diri, masih ada biji-biji dan juga gas beracun ini."



Nitria tersenyum. "Sesuai keinginan tuan," katanya sambil membungkuk hormat. "Tetapi kuharap tuan bisa menahan dinginku sedikit lama."



"Tentu saja," kata Stallza. "Tubuhku cukup hangat untuk menahan dinginmu."



Senyum Stella tersungging lebar. Matanya membelalak saat kabut yang menyelimuti tubuh Nitria tersibak. Ia berharap mendapatkan 'pertunjukan' yang lebih menyenangkan daripada penyatuan yang ia lihat sebelumnya. Tetapi harapannya tidak terkabulkan. Belum sempat Stella melihat apa yang terdapat di balik kabut itu, tubuh Nitria telah berubah menjadi cahaya dan merasuk ke dalam tubuh Stallza. Melihat itu Stella berdecak kecewa. Ternyata apa yang disebut penggabungan para Spiritia memang membosankan.



~~~



XIV



Nemaphilia tidak pernah semarah ini. Ia tidak pernah merasa sangat terganggu seperti yang ia alami saat ini. Gadis kecil berambut hijau yang terbang mengelilinginya seperti lalat sangat susah dikalahkan. Saat sulur-sulur beringin tunggangannya akan melilit atau menusuk gadis itu, dengan mudah ia akan mengubah dirinya menjadi kecil dan meloloskan diri.



Lalu ada juga debu-debu berkilauan yang keluar dari empat pasang sayap gadis itu. Itu bukan debu biasa. Nemaphilia paham itu setelah matanya terkena debu itu. Sesaat setelah ia terkena debu dari sayap gadis itu, kepalanya dan matanya terasa sangat  berat.



"Aku tidak akan tertidur sebelum bisa mengalahkan kalian!" serunya geram. Nemaphilia mengarahkan bunga mataharinya ke arah si gadis berambut hijau, tetapi gerakan si gadis jauh lebih lincah darinya. Energi Nemaphilia sendiri sudah nyaris habis saat menggunakan jurus terakhir itu.



"Sudahlah, tertidur saja," seru si gadis berambut hijau dengan gembira. "Tidur itu lebih enak daripada bekerja, bukan?"



Nemaphilia berusaha mengabaikan kata-kata si gadis berambut hijau, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk mengikuti keinginannya sendiri. Tubuhnya  lebih menyukai kata-kata si gadis berambut hijau.



"Sial! Sial! Sial!" seru Nemaphilia. "Ryax! Tolong aku!"



Sosok Ryax hadir di depan Nemaphilia. Tubuhnya melayang dan tampak transparan, tetapi cukup jelas untuk memperlihatkan pada Nemaphilia wajah tengkoraknya yang tersenyum lebar.



"Ada apa, Ryax? Jangan diam saja! Serang mereka!" seru Nemaphilia kembali.



"Menyerang mereka? Untuk apa?" balas Ryax.



"Untukku! Untuk kemenanganku!"



"Kau? Menang? Apa kau tidak melihat dirimu sekarang? Kekuatanmu sudah terkuras, kesadaranmu direbut musuhmu. Dan kau masih berkeinginan untuk menang?"



"Berani-beraninya kau berbicara seperti itu pada ratumu?!"



"Sepertinya kau belum sadar," kata Ryax. "Aku tidak menganggapmu ratu, Viridian tolol! Aku adalah pemilik pulau ini. Akulah rajanya! Kalian semua adalah bonekaku yang diberikan oleh Thurqk untuk kupermainkan sesuka hatiku!"



"Apa?!"



"Ah, reaksi terkejut yang sangat khas." Ryax tertawa parau. "Gadis sniper yang kau lumpuhkan juga bereaksi sama seperti itu."



"Aku tidak sama sepertinya! Aku lebih kuat! Aku lebih hebat dari semua manusia ini!"



"Seakan kau dulunya bukan manusia."



Nemaphilia gusar saat masa lalunya diungkit oleh tengkorak di depannya. Dengan satu gerakan jari, sebuah sulur tajam meluncur ke arah Ryax. Tetapi sulur itu seketika membusuk saat menyentuh sasarannya. Pembusukan itu menyebar dengan sangat cepat sehingga hanya dalam beberapa detik saja seluruh beringin raksasa tunggangan Nemaphilia mulai layu.



"Kau!"



"Aku hanya membantu supaya kau segera menyingkir dari panggung ini," kata Ryax. "Dan kusarankan kau tertidur saja. Selamanya."



Nemaphilia akhirnya takluk pada kantuk. Tubuhnya jatuh ke tengah bunga matahari raksasanya. Kelopak bunga itu segera menutup saat ia berada di sana. Seketika bau busuk dari bunga itu pun berhenti menguar.



Chlora masih terbang berkeliling di sekitar bunga itu. Gadis itu tidak peduli apakah si gadis tanaman sudah terlelap atau masih sadar. Ia bahkan sudah lupa pada perintah sang tuan. Seperti anak kecil yang dibiarkan bermain oleh orang tuanya, gadis itu terbang dengan riang gembira.



~~~



"Sepertinya si hijau itu sudah berhasil membuat gadis tanaman itu tertidur," kata Stella. Ia berkali-kali menjentikkan jarinya untuk meledakkan dan membekukan biji-biji yang melayang ke arahnya. "Tapi semua biji-biji ini masih mengganggu kita meski induknya dikalahkan."



Stallza kembali merogoh kantung tasnya dan mengambil sebuah kristal. "Helia, keluarlah," katanya pada kristal itu. Sesosok ubur-ubur berwarna biru nyaris transparan muncul dan melayang-layang di depan Stallza.



"Aku sudah melakukan Spiritialis dengan dua Spiritia saat ini, jadi aku tidak akan memintamu untuk melakukannya juga. Yang kubutuhkan saat ini adalah kau membuat tubuhku melayang di udara sampai semua biji-bijian ini kuhancurkan," kata Stallza pada si ubur-ubur.



Ubur-ubur itu menggerakkan tentakelnya ke tubuh Stallza dan perlahan bergerak ke belakang pria itu. Saat berada di belakang pria itu, tentakel-tentakel si ubur-ubur bersinar dan menembus ke dalam tubuhnya.



"Hei!" seru Stella. "Apa yang seperti itu tidak apa-apa?"



"Tidak," kata Stallza. Perlahan kakinya terangkat dari tanah mengikuti Helia yang melayang ke atas. "Meski kelihatan menyakitkan, tentakel Helia sama sekali tidak berbahaya."



"Mungkin karena dia makhluk panggilanmu," kata Stella. "Aku tidak yakin apakah dia akan begitu jinak terhadap orang lain."



"Apa kau juga mau mencobanya?" tanya Stallza.



Stella menggeleng. "Aku bisa memanggil naga untuk terbang jika kuinginkan," katanya. "Tapi karena seseorang yang menyuruh makhluk panggilannya memberikan luka parah ke perutku, kemampuanku untuk melakukan pemanggilan tidak bisa kugunakan untuk sekarang."



Stallza tertawa. "Maaf," katanya. "Karena kupikir nyawaku terancam, makanya aku terpaksa menyerangmu."



"Untuk bagian terpaksanya sepertinya aku ragu," kata Stella. "Tapi karena kita berada di pihak yang sama untuk sekarang dan karena kau menolongku, kuanggap kita impas. Malah jika dipikirkan aku yang sebenarnya berhutang padamu."



"Membakar beberapa biji yang melekat pada gadis itu dan gadis di sana akan kuanggap sebagai pembayar utangmu," kata Stallza sambil menunjuk ke arah Carol dan Luna yang berada di kejauhan. "Asal jangan membakar habis mereka."



Stella menyeringai. "Kau mengurangi sedikit kesenanganku dengan melarangku melukai mereka. Tapi kupikir karena aku dan mereka telah keluar dari permainan, tidak ada gunanya juga membunuh mereka." Wanita berambut setengah-setengah itu menggerakkan jari-jarinya ke arah Carol dan Luna. Dalam sekejap lidah-lidah api muncu di badan mereka dan membakar habis semua biji yang melekat di badan keduanya. Seperti yang diminta oleh Stallza, tidak ada sehelai rambutpun dari kedua gadis itu yang terbakar.



Stallza mulai merasakan tubuhnya menggigil. Sebentar lagi ia harus melepaskan Spiritialisnya dengan Nitria, jika tidak ia akan mati beku. "Ayo, Helia," katanya pada ubur-ubur di belakangnya, "kita bekukan semua pengganggu ini."



Helia mengangkat tubuh sang tuan tinggi-tinggi ke udara. Kemampuannya sebagai Spiritia pengendali udara memampukan Helia membawa apapun melayang, selama itu terhubung dengan dirinya.



Dari atas udara Stallza dapat melihat jelas persebaran biji-bijian Nemaphilia. Sebagian besar telah dimusnahkan oleh Stella, tetapi masih banyak yang bergerombol di sekitar gadis berambut karamel di bawahnya dan gadis berambut putih yang ada di beberapa gedung dari tempatnya.



"Bunga dandelion itu mencoba menyerap energi kembali," kata Stallza pada dirinya sendiri. Ia merogoh ke dalam tasnya dan mengambil empat bilah belati yang tersimpan bersama kristal-kristalnya. "Kalau begitu sebaiknya kita bekukan sebelum energi semua orang habis."



Kabut dingin tercipta di sekeliling belati-belati Stallza. "Nitria, berikan kekuatanmu pada belati-belati ini. Sebarkan kabut dinginmu dan matikan semua biji itu sebelum mereka bertumbuh," bisiknya.



Permukaan keempat belati di tangan Stallza seketika diselimuti es tipis. Stallza tahu itu adalah tanda dari Nitria bahwa kekuatannya telah merasuk ke dalam belati-belati itu. Dengan cepat Stallza melemparkan satu belati menuju si gadis berambut putih yang terkapar di atap gedung. Satu belati lainnya ia lemparkan ke arah gadis berambut karamel di bawahnya. Satu belati menuju ke samping Stella, dan satu lagi dipegangnya.



Saat ketiga belati yang dilemparkan Stallza menancap, seketika es tipis yang menyelimuti mereka mencair dan melepaskan kabut dingin. Dengan cepat kabut itu menebal dan membekukan semua biji yang berada dalam jangkauannya. Tetapi kabut itu sendiri tidak membekukan manusia di sekitarnya.



"Chlora, kembalilah," seru Stallza.



 Gadis berambut hijau yang sibuk terbang mengelilingi kuncup bunga matahari raksasa segera menoleh dan mengangguk. Tubuhnya diselimuti cahaya berwarna hijau sebelum berubah menjadi bola cahaya dan melesat ke tangan Stallza.



"Kerja yang bagus, Chlora," kata Stallza sambil memasukkan kristal hijau milik Chlora ke dalam tas pinggangnya. "Sekarang giliranku."



Stallza melemparkan belati yang tersisa ke arah pohon beringin raksasa yang kini menjadi sebuah onggokan kayu mati. Segera setelah belati itu menancap, kabut dingin menyebar dan membekukan seluruh pohon itu beserta bunga raksasa yang menempel di dahannya.



"Apa si manusia tanaman itu tidak akan mati jika dibekukan?" tanya Stella.



"Tidak," kata Stallza. Tubuhnya kembali menggigil. Napasnya mulai berembun Batas waktu Spiritialisnya sudah hampir habis. "Es milik Nitria tidak mematikan, tetapi membuat siapapun yang berada di dalamnya tertidur."



"Lalu setelah ini apa? Kau sudah menyingkirkan semua biji bunga yang tersisa. Kau juga sudah membekukan sumber masalahnya. Sisa kau dan aku yang masih berdiri," kata Stella.



Stallza memerintahkan Helia untuk turun dengan menggunakan pikirannya—tentakel Helia memampukan Spiritia itu membaca pikiran sang majikan. Sosok ubur-ubur itu segera kembali menjadi kristal saat Stallza kembali memijak lantai. "Apa kau masih ingin bertarung?" tanya Stallza.



Stella mengangkat kedua bahunya. "Aku kalah telak. Jika kau memanggil wanita bercadar tadi atau membekukanku sekarang, kurasa aku akan kalah," katanya. "Peraturan di pulau ini adalah mengalahkan semua orang, tidak dikatakan harus membunuh mereka. Dan aku mengaku kalah. Kau yang sekarang menjadi rajanya."



"Aku tidak berminat menjadi raja," kata Stallza. Ia memutuskan hubungan Spiritialis antara dirinya dan kedua Spiritianya. Matanya kembali berwarna karamel saat kedua Spiritianya kembali ke wujud kristal mereka.



"Itu peraturan si dewa," kata Stella. "Selama kita masih ada di dunia ini, kita masih terikat dengan peraturannya."



"Jika kita menolak?"



"Maka itu adalah pembangkangan. Mungkin dia akan turun sendiri dan menghabisi orang-orang yang mencoba melawannya secara terang-terangan."



"Berarti jika kita menunggu saat yang tepat untuk melawannya, dia tidak akan bisa apa-apa."



"Mungkin," kata Stella. "Tapi keinginan kita masing-masing membuat kita bertahan. Selalu ada pikiran bahwa si Thurqk itu mungkin saja akan benar-benar mengabulkan permintaan kita, asalkan kita bisa memenangkan pertarungan ini."



"Lalu apa keinginanmu?" tanya Stallza.



"Aku ingin melihat kedua orangtuaku. Aku tidak pernah mengenal mereka sejak aku lahir," Stella menghela napas panjang. "Tapi aku sudah mati, kalaupun dibangkitkan kembali, kurasa aku tetap tidak akan bisa bertemu dengan mereka. Lalu tujuanmu sendiri apa?"



Stallza terdiam. Selama ini tujuannya hanyalah mencari cara untuk mendapatkan eksistensi tubuh fisiknya kembali yang hilang karena melanggar batasan penggunaan Spiritia. Tetapi apa yang akan dilakukannya setelah mendapatkan itu kembali masih belum ia pikirkan.



"Aku hanya ingin tubuhku kembali," jawab Stallza.



"Kau ingin hidup kembali?"



"Seperti itulah," jawab Stallza.



"Lalu setelah itu? Apa ada yang ingin kautemui?"



"Aku… tidak tahu."



"Sebaiknya kau mencari tahu dari sekarang," kata Stella.  Tiba-tiba tubuh wanita itu ambruk di depan Stallza.



Stallza mencoba mendekati Stella, tetapi wanita berambut setengah-setengah itu melarang. "Menjauhlah," katanya. "Tenagaku sudah habis. Lagipula dengan hilangnya kesadaranku, Hvyt yang akan datang ke sini akan segera tahu kau sebagai pemenangnya."



Stella merapalkan sebuah mantra pendek. Mantra pembeku. Sasarannya adalah kaki Stallza. Mantra itu tidak membekukan seluruh kaki Stallza, tetapi cukup untuk menahan agar pria itu tidak datang dan menolongnya. "Hemat tenangamu, Tampan. Musuh setelah ini akan sangat kuat," kata Stella sebelum kesadarannya hilang.



Stella terlelap. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu ayah dan ibu yang tidak pernah dikenalnya. Dan ia tertawa bahagia bersama mereka. Selamanya.



~~~



XV



Hvyt yang datang menjemput beberapa jam kemudian tampak heran melihat pulau itu. Ia berharap akan mendapatkan genangan darah di mana-mana. Tetapi yang terhampar di depannya hanya kerusakan gedung yang tidak berarti dalam ukuran Thurqk.



Saat menemukan satu-satunya orang yang masih sadar di pulau itu di atas atap sebuah gedung, sang Hvyt segera tahu apa yang terjadi.



"Peserta Stallza, lagi-lagi kau tidak membunuh mereka?" tanya Hvyt datar.



"Tidak ada keharusan membunuh mereka," jawab Stallza sama datarnya.



"Thurqk tidak akan suka ini," kata Hvyt itu.



"Persetan dengan makhluk itu!" seru Stallza.



Hvyt mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Jika kau berkata seperti itu lagi, maka aku akan—"



"Apa yang akan kaulakukan terhadap peserta yang berhasil menghancurkan sosok raja pulau ini?" potong Stallza. Matanya menatap tajam pada Hvyt itu.



Hvyt di depan Stallza seakan merasakan ada aura menekan yang memaksanya berlutut di depan Stallza. Ia bahkan tidak tahu apa yang mempengaruhinya untuk berkata, "Hormat bagi sang raja baru!"



"Terserah apa katamu, tetapi aku tidak berminat dengan gelar itu," kata Stallza. "Aku menginginkan informasi, bukan anugerah atau semacamnya. Jika Thurqk tidak memilikinya, sebaiknya dia memulangkan aku kembali ke Ventinis."



Hvyt di depan Stallza merasakan aura yang menekannya berkurang, tetapi tetap saja ia tidak bisa mengangkat tubuhnya kembali untuk berdiri. "Aku—Saya tidak tahu apa-apa tentang itu, tuan Stallza," kata Hvyt.



"Lalu apa yang diketahui sang pelayan dewa sepertimu? Itupun kalau Thurqk memang betul-betul seorang dewa," kata Stallza.



"Kami hanya bertugas mengantarkan peserta. Tidak lebih. Dan kami juga bertugas untuk menjemput mereka yang berhasil memenangkan pertandingan," kata Hvyt itu.



"Mereka yang masih hidup setelah pertandingan ini, apa yang akan terjadi dengan mereka?"



"Kami akan membawanya ke tempat yang disediakan yang mulia Thurqk. Seperti halnya semua orang yang menang akan diantar menuju tempat peristirahatan sebelum pertandingan berikutnya," jawab Hvyt. Hvyt itu heran mengapa ia mau menyebutkan semua itu pada seorang peserta. Tetapi aura yang memancar keluar dari peserta di depannya ini membuatnya tidak berkutik.



Pada saat itu datang pula beberapa Hvyt lain yang bermaksud menjemput Stallza. Awalnya mereka heran melihat salah satu kawan mereka berlutut di depan seorang pesera, namun saat mereka menginjakkan kaki di atap gedung itu, mereka pun dipaksa untuk berlutut.



"Kalian mau apa?" tanya Stallza tajam pada tiga Hvyt lain yang kini berlutut di depannya.



"Kami datang untuk menjemput Anda, tuan Stallza," kata salah satu Hvyt yang baru tiba.



"Dan melemparkanku seperti sebelumnya?"



"Tidak. Kami tidak akan melakukan sesuatu seperti itu," jawab Hvyt itu ketakutan.



"Lalu, ke mana kalian akan membawaku?"



"Kami belum tahu," jawab Hvyt yang lain. "Tapi kami akan membawa Anda dengan sopan, tuan Stallza."



Stallza mempertimbangkan tawaran mereka. Ia telah menggunakan hampir seluruh jatahnya hari ini. Memanggil Hydra untuk membuatnya terbang tak tentu arah hanya akan menguras tenaganya. "Aku terima tawaran kalian," kata Stallza. "Tetapi kalau kalian mencoba melukaiku, aku tidak segan-segan membunuh kalian!"



Keempat Hvyt di depan Stallza bersujud. Tanpa mereka sadari, aura sang raja yang memancar dari diri Stallza telah memaksa mereka untuk patuh. Mereka segera bangkit dan dengan sangat sopan mengangkat tubuh Stallza. Sayap-sayap mereka mengepak beberapa kali sebelum menerbangkan sang raja baru keluar dari pulau itu.

17 comments:

  1. Uwa ... Stella disini bisa baik banget ya sama si Stallza. Gila spiritianya banyak banget, pusing kalau melawan entrant satu ini. epic lah untuk battlenya.

    8.5 dulu lah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. "Bukan sesuatu yang penting," kata Stella. "Lagipula kukira manusia tanaman sepertimu tidak akan paham jalan pikiran manusia biasa seperti kami."



      "Kalau begitu tidak perlu kauceritakan!" jerit Stella. "Aku akan membunuh kalian sekarang juga!"

      Dialog itu agak membingungkan

      Delete
    2. Khilaf... Harusnya di situ adalah Nemaphilia. Khilafnya fatal lagi -_-

      Maafkan bagi yang baca. Saya teledor.

      Delete
  2. Hehehe. Yang bagian situ sebenarnya ada yang diedit, tapi pas disatukan rasanya memang membingungkan. Yang satu itu (dan mungkin beberapa lainnya) khilaf :p

    Terima kasih komentarnya :3

    ReplyDelete

  3. ==Riilme's POWER Scale on Stallza's 2nd round==
    Plot points : B+
    Overall character usage : B+
    Writing techs : B+
    Engaging battle : B-
    Reading enjoyment : B
    ==Score in number : 7,0==

    Yang pengen saya singgung pertama dari Stallza : Spiritia-nya. Beneran deh, rasanya kalo ada jadi ada seabrek karakter baru yang sebenernya kita ga kenal tapi dijejelin juga dalam cerita. Kalau semua entrant satu pulau, saya masih hafal dan bisa ngira" secara personal. Kalau Spiritia punya Stallza, berasa kayak seharusnya pembaca baca cerita tentang Stallza dkk sebelum sampe ke BoR dulu buat ngenal semuanya. Dengan asumsi pembaca awam yang ga baca character sheet, dari aspek ini cerita Stallza kurang 'ramah' buat saya - karena selain Spiritia-nya berasa sesuatu yang terpisah, saya jadi ngawang" soal batasan kemampuan Stallza dan list masing" Spiritia-nya. Mungkin emang faktor saya kurang demen sama karakter summoner yang kesannya nambah"in pihak baru, dan lebih suka yang macem Ravelt aja kalo kemampuan banyak tapi paling ngga semua emang kemampuan punya dia sendiri.

    Tapi terlepas dari itu, saya seneng banget gimana penulis bikin personifikasi dari pulau ini yang omnipresence dan bikin entrant saling bertarung. Meski battle kepotong" dan kadang berasa datar, banyaknya pihak yang terlibat dan alurnya cukup narik saya buat terus baca. Terus ada satu hal ga penting yang bikin saya bingung di awal dan akhir : kenapa Stallza mesti dikawal sama 4 Hvyt? Banyak amat, kayak ga puas aja udah ditemenin Spirita satu kampung #plak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sempat kepikiran bikin cerita masa hidupnya, sih. Tapi itu bisa panjang sekali. Saya pertimbangkan.

      Dan Hvyt itu jadi macam dayangnya yang megangi Stallza saat dia terbang, biar nyaman :v


      Terima kasih sudah berkunjung :)

      Delete
  4. Err..... kesan pertama saya setelah membaca: banyak typo yang mengganggu.
    Spiritia bejibun bikin pusing juga, tapi masih ditoleransi
    Stallza tipe-tipe MC yang naif tapi perjuangannya dia masih bisa diikutin

    7,7/10

    ReplyDelete
  5. Umi... Umi... *speechless*

    Umi habis baca semuanya dan rasanya kereeennnn..

    Konsep adu domba yang disediakan oleh pulau Ryax sendiri itu rasanya ga biasa. Umi waktu dengar Pride, yang kebayang gimana rasanya seseorang harus melawan perasaannya sendiri, perasaannya melawan dan dikalahkan sesuatu. Makanya keberadaan Ryax disini terasa out of the rule tapi ga berlebihan.

    Stallza juga kerasa banget deketnya sama para Spiritianya >.< berasa liat keakraban sahabat lama pas Stallza lagi ngobrol sama para Spiritianya. Jadi Umi kasih 7/10 deh nilainya >.<

    ReplyDelete
  6. keberadaan banyak Ryax nggak terduga >.< dan Carol keliatan cerdas banget di sini, bahkan lebih pinter dar Versi saya sendiri. <3 <3 Spiritia itu adalah sumber sakit kepala lain buat saya, baik waktu nulis maupun waktu baca

    Nilai : 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih :3
      Ini nilai sempurna yang jarang saya dapat.

      Delete
  7. entri ke-11, pas buat maen bola :3

    kak yafeth, satu kesan pertama pas saya baca entri stallza: harem master. itu spiritianya cewek semua ^////^

    lanjut ya kak...

    saya suka dg cara kakak bikin personifikasi si pulau itu sendiri. agak susah dijelasin pake kata2 sih tapi saya sendiri suka pas ngeliat adegan2 para OC ketemu ama si ryax-nya. teknik penulisan sih bagus, cuma spasi paragrafnya dobel... bikin bengkak mata :p. saya ga tau deh kenapa bisa kayak gitu, cuma pas ngirim ke emailnya enternya cukup 2 kali aja kak (yg pertama pas bikin paragraf baru, trus dienter 1 kali lagi, stop disini). kalo mau jelas enternya 2x coba "Remove Space After Paragraph" kak. nanti keliatan kalo pas enternya 2 kali jadi kayak paragraf biasa aja.

    satu hal yg pengen saya komentarin di sini: spiritianya. banyak banget kak! saya sendiri kemaren sampe pusing2 sendiri, ini mau pake yg mana buat canon saya? jujur sih, agak bingung juga, apalagi si luna itu menangnya bukan gara2 kemampuannya, tapi gara2 strateginya. well, akhirnya ketemu juga sih, tapi kasihan yg baca juga. udah battle royal, orang2 ga tau pesertanya siapa, tambah lagi ama spiritia (kemaren saya ngeluarin 4 ato 5, saya lupa). gitu...

    yg lain2 kayaknya udah ada di atas kak. overall, saya ngasih nilai 7.5. awalnya saya bakal ngasih nilai 7, tapi pas saya baca ulang, ternyata saya ketemo alasan yg tepat kenapa OC ini layak jadi final boss (walaupun di canon saya stallzanya mati duluan :p)

    semangat kak >.<

    ReplyDelete
  8. ternyata lumayan panjang jg kak, biarpun udah baca daftar spiritia ttp aja msh bingung spritia mana kekuatanya yg mana (cmn ngapal spiritia yg muncul d canon sndiri) #plok x3
    trus d bagian pertengahan stallza dcobai ryax sama kyk yesus dcobai setan xDD
    nema lumayan ooc sih, tp dimaafkan deh krn efek pulau
    battlenya ok kak, kemunculan ryax sbg sosok penghasut jg bagus :)
    nilai 8

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada yang sadar juga, ya? :v

      Makasih sudah mampir.

      Delete
  9. gan, peraturannya itu kan kalau ga salah harus bunuh minimal satu peserta trus kembali kan?

    pertarungannya seru gan, narasinya enak. tapi kadang-kadang ane rada boring klo pas lagi berantem Stallza masih sempet ngobrol panjang lebar sama spirita-spiritianya. jadi kurang kerasa tegang gitu.

    ide tentang pulau Ryax nya keren gan. tapi terakhirnya emang Ryax nya kalah ya? bukannya kata dia, dia itu ga bisa kalah karena dia adalah pulau itu sendiri?

    Nilai 8 gan

    ReplyDelete
  10. Saya nggak komentar banyak di canon ini karena sudah disebutkan beberapa komentator di atas, jadi langsung ke nilai....
    Nilai : 8

    ReplyDelete
  11. Itu typo banyak banget, nyolok2 mata author moi! Toloooong!
    Itu Spiritia-nya banyak banget, kasian author moi yang bego dan ga ngerti kimia! UWAAAAH! OTAKNYA NGEBUL! TUH LIAT OTAK AUTHOR MOI NGEBUL! #lebay
    O ho ho ho ho hon.
    Tapi moi suka ama adu domba si Stallza. 7,5 dari moi.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -