Pages

May 13, 2014

[ROUND 2 - KHRD] FLAGER IVLIN - MENGGILA!!!

[Round 2-Khrd] Flager Ivlin
"Menggila!!!"
Written by Hikaru Xifos

---

Satu gerakan kaki kanan yang sangat cepat, lawan di hadapan Flager langsung mendorong tubuhnya ke depan dengan kecepatan yang luar biasa. Flager tidak siap dengan serangan yang satu ini, kecepatan lawan yang dihadapinya sudah di luar perhitungan. Tidak ada waktu untuk menangkis atau menghindar!


Flager hanya bisa menjerit tertahan kala sebuah kepalan tinju tangan kanan lawannya dengan telak mengenai dadanya, hampir mematahkan beberapa tulang iganya. Memakai pelindung kain pun percuma, hanya bisa tahan terhadap sayatan dan tusukan tapi tidak bisa meredam benturan.


Lawan Flager rupanya tidak setengah-setengah, ia menggunakan kekuatan maksimal sampai-sampai Flager terpelanting ke belakang lalu menghantam reruntuhan tua hingga runtuh. Tubuhnya terkubur di dalam reruntuhan itu meskipun tubuhnya selamat dari tindihan material dan hanya terhimpit material yang sudah rapuh.


"Sangat... cepat," gumam Flager lirih, mengingat gerakan lawannya barusan. Darah segar terlihat mengalir dari sudut kanan bibirnya. Tubuhnya bergetar dengan keringat yang ikut bercucuran di wajah dan lehernya. Tangan kanan Flager mengusap-usap dadanya, menyentuh bagian yang terkena pukulan barusan. "Jika tidak cepat-cepat mereaksikan energi Ghranz pada bagian dada, jantungku pasti sudah langsung berhenti berdetak."


Berada di dalam timbunan reruntuhan selama beberapa lama memberi Flager waktu untuk memikirkan strategi, memperhitungkan setiap kemungkinan yang ada lalu membuat langkah selanjutnya.


"Sejak tubuhnya diselubungi aura berwarna biru itu, kemampuan geraknya menjadi luar biasa. Nah, harus bagaimana sekarang?"



--***--



Beberapa Puluh Menit Sebelumnya...



Flager baru saja selesai menulis data-data yang ia dapatkan dalam pertarungan sebelumnya sambil duduk. Setelah selesai menulis, ia tertegun melihat lembaran demi lembaran di bukunya yang baru ia tulis.


Stella, Bara, Eisted, dan Ai Lin. Ciri-ciri serta sketsa wajah mereka sudah lengkap ditulis oleh Flager sebagai data cadangan jikalau ingatannya terhapus karena menggunakan kekuatan kain.


Setelah menarik napas panjang, ia menutup buku itu lalu memasukkannya kembali ke tas bersama dengan pulpennya. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap puluhan orang yang tampak sedang sedang berdiri atau duduk saling berjauhan. Hanya sedikit yang berada saling berdekatan, lalu saling berbicara sebentar. Wajar, beberapa saat yang lalu mereka semua saling bertarung satu sama lain, saling membunuh, dan ikut pula terbunuh.


Flager sendiri tidak ingat bagaimana cara ia kembali ke tempat ini, ke tempat di mana ia berada sebelum pertarungan awal dimulai. Setelah pertarungan terakhir itu, ia pingsan. Saat sudah sadar, ternyata ia sudah berada di tempat ini.


Tubuhnya kembali segar dan sehat seperti sedia kala, energi Ghranz di dalam tubuhnya juga sudah maksimal. Mentalnya memang sudah tenang tetapi jika ia ingat pertarungan sebelumnya, kadang-kadang mentalnya menjadi tidak stabil.

Ia sadar, jumlah orang yang berada di tempat ini sepertinya sudah berkurang setengahnya meskipun ia tidak menghitung untuk memastikannya. Dengan tatapan tajam, Flager mulai mengamati satu-persatu orang-orang itu.


"Unik," pikir Flager sambil melongo sedikit saat melihat seorang perempuan yang tengah duduk menyamping agak jauh di depannya. Rambut perempuan itu berwarna-warni bagaikan pelangi indah yang menghiasi kesuraman tempat mereka berada sekarang. Kombinasi warna yang indah dari.... "Apakah itu sayur? Buah? Eh?" Flager tidak habis pikir.


Ia mengalihkan pandangannya ke tempat lain, tanpa sengaja matanya menangkap sosok Bara yang tengah berdiri tegap sekitar dua puluh meter di sebelah kanannya. Flager membelalakkan kedua matanya saat melihat Bara. Ia yakin telah membunuh anak itu di pertarungan sebelumnya tetapi mengapa bisa ia berada di tempat ini? Juga masih dalam kondisi hidup!


Flager berusaha mencari lawan-lawannya yang lain tetapi hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Eisted, Stella, ataupun Ai Lin. Entah di mana mereka berada sekarang.


Mendadak semua orang yang berada di tempat itu melihat ke atas, memandangi langit. Menyadari hal itu, Flager juga ikut mendongakkan kepalanya dan mendapati ada monitor raksasa di atas sana yang tengah menampilkan suatu adegan dengan Raja Dunia sebagai tokoh utamanya.


Flager mengamati dengan serius setiap adegan yang terjadi, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya. Perlahan ekspresi wajah Flager mulai berubah seiring adegan yang terjadi. Dari tenang, mulai bingung, membelalakkan kedua mata, hingga merinding ngeri. Beberapa teriakan dan geraman orang-orang di sekitarnya juga terdengar, beberapa bahkan ada yang memalingkan wajah agar tidak melihat adegan mengerikan yang tengah terjadi.


"Apa-apaan...?" Flager bergidik ngeri. Wajahnya terpaku pada layar saat melihat pembantaian sebelas orang yang dianggap membosankan oleh Raja Dunia itu. Tangan putus hingga kepala meledak, adegan luar biasa yang bahkan sanggup membuat beruang mungil, yang tengah berbaur di antara orang-orang di sekitar Flager, sampai termuntah-muntah karena tidak tahan menyaksikannya. "Itu... Salah satunya Ai Lin?"


"Nenekku pernah berkata, 'Jangan pernah membantai jika kau tidak ingin dibantai'," ucap seseorang dengan baju besi di seluruh tubuhnya. Flager menoleh ke arah asal suara tersebut. Orang itu berdiri sekitar sepuluh meter dari tempat Flager berada. "Yah, sepertinya orang itu membantai karena yakin tidak akan bisa dibantai balik meskipun semuanya berusaha membantainya agar tidak terbantai di dalam proses pembantaian ini," lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan iba ke arah monitor.


"Orang ini bicara apa, sih?" pikir Flager bingung.


"Ini adalah peringatan bagi kalian semua, wahai makhlukku," orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Dunia itu angkat bicara setelah selesai membantai. Flager dan yang lainnya kembali melihat ke arah monitor raksasa yang muncul di langit. "Aku selalu menepati janjiku, hanya saja, jangan berani kalian menentangku karena sesungguhnya siksaku sangatlah pedih," lanjutnya. "Satu dari kalian. Ya. Satu dari kalian yang berhasil bertahan hidup dan menghiburku dengan sungguh-sungguh. Akan kuhadiahkan kehidupan kedua." Raja Dunia itu akhirnya menutup perkataannya.


Kehidupan kedua? Semuanya mulai bergumam dan berbisik kepada diri sendiri. Beberapa ada yang terlihat menyeringai.


"Mendadak semuanya memiliki aura membunuh seperti ini," gumam Flager dengan wajah datar.


Tiba-tiba puluhan makhluk bersayap muncul masing-masing satu di hadapan mereka. Makhluk bersayap itu langsung mencengkeram tubuh orang di depannya lalu membawa mereka terbang seperti sebelumnya. Begitu pula yang terjadi dengan Flager. Makhluk bersayap itu mencengkeram kedua pundaknya, mengangkatnya agar berdiri, lalu dengan paksa membawanya terbang tinggi.

Flager sempat memberontak sedikit karena tidak tahan dibawa terbang dengan ketinggian ekstrem seperti ini. Apa daya, makhluk bersayap itu sangat kuat mencengkeram dirinya, hingga Flager tidak bisa berbuat banyak dan lebih memilih untuk menutup mata daripada harus melihat pemandangan di bawah.


Dalam sekejap teriakan penuh rasa takut langsung terdengar bagai simfoni di tempat itu, bagai sebuah lagu latar pengantar mereka ke medan pertempuran berikutnya—atau mungkin ke kematian mereka.



***



Beberapa Menit Kemudian...



Flager mulai membuka matanya saat menyadari makhluk yang membawanya terbang ini mulai melambat lalu turun perlahan.


"EH...!!?" Flager terkejut melihat ke mana makhluk itu akan membawanya mendarat.


Sebuah pulau! Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat siapa saja kebingungan dan tersesat di dalamnya. Sejauh yang Flager lihat, isi dari pulau itu adalah bangunan-bangunan tua berwarna cokelat dan abu-abu yang sudah terlihat hancur. Posisi bangunan-bangunan itu sangat berdekatan, beberapa bagian yang hancur bahkan menutupi batas antara bangunan satu dengan bangunan lainnya, hingga membuat pulau ini menjadi seperti labirin raksasa dengan bangunan-bangunan tua itu sebagai dinding pembatasnya.


Makhluk bersayap itu menurunkan Flager ke daratan, di bagian selatan pulau, lalu berdiri di belakang Flager yang langsung mengamati keadaan di sekeliling. Setelah beberapa saat, Flager berbalik lalu memandang ke arah makhluk bersayap itu.


"Jadi, apa maksud dari semua ini?" tanya Flager. Sebuah pertanyaan basa-basi, meskipun sebenarnya ia tahu bahwa dirinya akan dipaksa untuk bertarung seperti sebelumnya.


"Sederhana. Silahkan berkeliaran sesukamu di pulau ini, bunuh satu orang peserta lain, lalu kembali ke tempat ini. Waktumu sepuluh jam," terang makhluk bersayap itu datar.


Flager menaikkan sebelah alisnya mendengarkan penjelasan makhluk bersayap di depannya itu. Ia kemudian mengangkat jari telunjuk tangan kanannya ke depan wajah makhluk bersayap itu.


"Hanya membunuh satu peserta, kan?" Flager berusaha memastikan apa yang didengarnya barusan. Makhluk bersayap itu mengangguk mantap.


Satu gerakan pelan dari tangan kanan makhluk bersayap itu membuat sebuah monitor kecil muncul di depan wajah Flager, menampilkan sebuah daftar berisi enam nama beserta foto. Flager tertegun sesaat melihat monitor yang muncul mendadak itu sebelum akhirnya iseng menyentuhkan jari telunjuknya ke monitor itu untuk merasakan teksturnya.


"Keren! Benda ini tidak bisa disentuh dan bisa melayang-layang di udara seperti ini!" ucap Flager dengan wajah kagum saat menyadari jarinya menembus layar monitor yang setipis kertas itu. Makhluk bersayap di depannya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Flager.


"Selamat datang di pulau Khrd," ucap makhluk bersayap itu, "kau berada di sini bersama lima peserta lain yang namanya bisa kau lihat di monitor itu." Flager melirik ke arah monitor dan memerhatikan nama-nama itu. "Seperti kataku barusan, bunuh salah satunya lalu kembalilah ke tempat ini. Waktumu sepuluh jam. Kau tidak dilarang untuk bekerja sama dengan peserta lainnya." Makhluk itu mengakhiri penjelasan tambahannya lalu bersiap mengepakkan sayapnya untuk terbang pergi.


"He... Hei! Siapa namamu?" tanya Flager cepat saat makhluk bersayap itu mulai terbang tinggi.


Sejenak makhluk bersayap itu diam sambil memandang ke arah Flager.


"Hvyt," jawab makhluk bersayap itu sebelum akhirnya berbalik lalu terbang menjauh dengan cepat.


"Hvyt...," gumam Flager sambil mengambil buku di dalam tas yang ada pada pinggang kiri depannya. Ia mulai menulis ciri-ciri Hvyt beserta sketsa wajahnya.



***



Enam peserta kini sudah dikirim ke pulau Khrd, masing-masing diturunkan oleh Hvyt di pinggiran pulau, mengikuti beberapa arah mata angin, lalu diberikan arahan.



Bagian barat pulau: Primo Trovare.

Hvyt baru saja terbang meninggalkan Primo setelah memberikan sedikit arahan. Primo sendiri terus melihat ke arah mana Hvyt pergi hingga akhirnya tidak terlihat lagi. Ia tersenyum lalu menundukkan kepalanya. Angin menghembuskan rambut panjang yang menutupi sebagian besar wajahnya, menampakkan raut wajahnya yang tengah menahan rasa sakit hati dan sedih.


"Bapa, tidak ada kasih di tempat ini. Benar-benar harus membunuh," gumamnya pelan sambil menggeleng pelan.



Bagian barat daya pulau: Sjena Reinhilde.

Sjena terdiam sesaat setelah Hvyt terbang menjauh meninggalkan dirinya. Ia tidak peduli ke arah mana makhluk itu terbang dan lebih memilih berbalik lalu menatap reruntuhan tua di sekitarnya.


"Membunuh satu saja, ya? Cih, ini lebih mudah daripada yang sebelumnya," pikir Sjena.


Ia mulai berjalan ke antara reruntuhan itu dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, saatnya memulai perburuan.



Bagian tenggara pulau: Leonidas Evilian Lionheart.

Belum sempat Hvyt terbang meninggalkan dirinya, Leon sudah terlebih dahulu berjalan menuju ke arah tengah pulau, menjauhi Hvyt yang tengah kesal setengah mati karena sebagian besar penjelasannya barusan tidak didengarkan.


"Makhluk itu... barusan bicara apa, sih? Yang penting bunuh satu orang saja, kan?" pikir Leon dengan wajah datar sambil berlari-lari kecil. Tangan kirinya memegangi sebuah pedang di pinggang kirinya agar tidak terlalu banyak bergerak saat dirinya sedang berlari.


Ia benci menunggu. Lebih baik dirinyalah yang terlebih dulu menemukan musuh lalu membunuhnya. Wajar, yang ia ingat dari penjelasan Hvyt hanyalah agar dirinya membunuh satu orang peserta lain lalu kembali ke tempat ia diantar barusan.



Bagian timur pulau: Lucia Chelios.

Lucia merapikan topi yang ia gunakan lalu mulai mengedarkan pandangan ke sekitarnya setelah Hvyt yang mengantarkannya tadi sudah terbang pergi. Sejauh Lucia memandang, hanya bisa ditemukan rerumputan pendek di tanah, bangunan-bangunan tua yang sudah begitu rusak bahkan hancur. Otaknya mulai bekerja, membayangkan senjata apa saja yang bisa dibentuk dari benda-benda di pulau ini. Cukup minim. Ia menghela napas lalu mulai berjalan ke arah tengah pulau.


"Membunuh satu orang? Menemukannya saja sepertinya akan cukup sulit dengan adanya labirin ini," gumam Lucia dengan wajah tenang.



Bagian utara pulau: Ucup.

"UCUP MAU PULANG!!!" Ucup, anak kecil berusia 13 tahun itu, berteriak sejadi-jadinya ke arah Hvyt yang sudah terbang tinggi menjauhi dirinya.


"Berisik!" gumam Hvyt dengan wajah kesal sambil menambah kecepatan terbangnya.


Merasa teriakannya tidak ditanggapi, Ucup terdiam dengan wajah yang begitu tegang dan cemas.


"Membunuh satu orang? Bisa-bisa malah Ucup yang terbunuh duluan!" pikirnya panik.



***



"Rapuh. Cukup rapuh," batin Flager sambil mengibaskan kedua tangannya untuk membersihkan debu yang menempel. Barusan ia sudah merasakan tekstur dari reruntuhan tua yang banyak terdapat di pulau ini, berusaha untuk mencari tahu sejauh mana kepadatan reruntuhan itu.


Flager melipat kedua tangannya di depan dada lalu mulai berpikir. Melihat dari susunan reruntuhan ini, ia dan peserta lain pastilah sedang berada di dalam sebuah labirin raksasa. Jarak antardinding tidaklah terlalu besar, hanya berkisar antara dua hingga tiga meter, membuat siapa saja yang di dalamnya akan sulit bergerak bebas.


"Bumerang dan tongkat hampir mustahil digunakan, ya?" gumam Flager sambil memandang kosong ke tanah. Ia sedang membayangkan seandainya dirinya bertarung di dalam labirin.


Flager kemudian memutuskan untuk memeriksa keadaan dari atas. Ia mengalirkan lalu mereaksikan energi Ghranz pada kedua kakinya kemudian melompat ke salah satu puncak reruntuhan. Dari atas, ia memandangi keadaan di sekitar dengan wajah serius sebelum akhirnya menggeleng kecewa.


"Reruntuhan yang begitu tinggi dan tersusun sedemikian rupa ini membuat pengamatan dari ketinggian seperti ini hampir mustahil untuk dilakukan kecuali jika bisa terbang seperti Hvyt," pikir Flager kesal.


Dari atas, ia bisa melihat beberapa bagian labirin ternyata juga memiliki daerah yang memberikan ruang gerak lebih karena areanya cukup luas daripada yang lain, sekitar 10x7 meter. Cukup untuk melakukan pertarungan jarak dekat hingga menengah dengan kecepatan tinggi.


"Jadi, harus mulai mencari lawan, ya?" gumam Flager sambil melompat turun. Ia segera melesat cepat menuju ke tengah pulau. Ia yakin, peserta yang lain juga akan melakukan hal yang sama.


Ia melirik ke arah langit yang mendadak terutup awan cokelat, membuat beberapa bagian dari pulau ini mulai gelap.


"Mendung?"



*



"Aku tidak akan melakukan hal yang sama!" ucap Leon sambil merenggangkan tubuhnya yang cukup kelelahan setelah berlari cukup jauh. "Ya, beberapa peserta pasti akan menumpuk di tengah pulau ini untuk menemukan musuh tapi aku tidak akan melakukannya. Lebih baik menyerang diam-diam dari luar," lanjut Leon sambil tersenyum dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Fufufu, aku memang genius." Leon mengibas rambutnya, berusaha untuk berpose keren sejenak.


Setelah memasang pose keren dan narsis, ia memutuskan untuk kembali berlari, tapi kali ini ke arah barat daya—menuju titik di mana Flager diantar oleh Hvyt—lalu berpikir untuk bergerak ke utara dan memberikan sebuah serangan dadakan ke peserta lain yang duluan berada di tengah pulau.



*



"Membingungkan. Benar-benar menjengkelkan!" geram Lucia kesal. Ia sudah berjalan bermenit-menit lamanya di dalam labirin tetapi selalu kembali ke tempat semula.


Ia langsung melepaskan satu pukulan ke dinding labirin hingga menghancurkannya. Wajahnya terlihat begitu merah padam menahan amarah karena tidak bisa keluar dari labirin sialan ini. Awalnya memang terkesan mudah, tidak terlalu lama untuk menemukan jalan menuju ke tengah pulau. Tetapi semakin jauh ia berjalan ke tengah, labirin ini semakin terasa rumit dan membingungkan, belum lagi jarak antardinding bertambah menyempit hingga 1,5 meter saja.


Entah mengapa dirinya begitu cepat naik darah seperti ini. Biasanya dirinya tetap dapat bersikap tenang jika sedang menghadapi situasi seperti ini, tetapi sekarang terasa lain.


Setelah puas meluapkan emosinya melalui pukulan barusan, Lucia kembali berjalan pelan untuk mencari jalan ke tengah pulau. Sesekali matanya melihat langit yang sudah tertutupi awan hitam, pertanda sebentar lagi akan turun hujan.



*



"Ini Ucup ada di mana, sih?" Ucup menghentikan langkahnya lalu bertanya-tanya dengan wajah tanpa dosanya sembari melihat ke sekelilingnya. Nihil, ia hanya bisa melihat dinding reruntuhan berwarna abu-abu.


Setelah ditinggalkan Hvyt, Ucup memutuskan untuk berjalan menyelusuri labirin untuk menuju ke tengah pulau. Bukannya sukses, ia kini tersesat di dalamnya.

Ucup hening sejenak. Benar juga, berpikir keras tidak ada gunanya. Iapun mulai bersenandung ria untuk menambal rasa bingung di pikirannya.



*



Primo menghentikan langkahnya setelah cukup lama melewati labirin yang ada di pulau ini. Ia termenung sejenak sambil melirik ke sekelilingnya dengan tatapan serius. Ia merasakan ada sesuatu perasaan yang aneh tengah menjalar di tubuhnya—lebih tepatnya di pikiran dan hatinya. Perlahan kedua tangannya terkepal begitu kuat.


Daripada peserta yang lain, Primo adalah peserta yang sudah terlebih dahulu berjalan cukup jauh mendekat ke arah tengah pulau. Ia berhasil melewati beberapa labirin yang mengecoh karena tetap bersikap tenang dan memerhatikan susunan-susunan reruntuhan itu untuk mencari celah. Hanya saja kini ia merasa ada yang aneh.


"Bapa, secepat inikah bibit dosa dilepaskan untuk menggoda jiwa ini?" ucap Primo lirih dengan raut wajah kecewa. Perlahan ia mulai mengatur napasnya lalu mengendurkan kepalan tangannya yang menguat kemudian mulai berjalan kembali.



***



"Sialan, tempat ini merepotkan," batin Sjena kesal. Ia menendangkan kaki kanannya ke tanah sambil mengeluarkan beberapa kata sumpah serapah karena terjebak di dalam labirin dan tidak bisa menemukan jalan keluar setelah hampir setengah jam berkeliling dalam labirin.


Sebelumnya, ia sudah menghancurkan satu bangunan karena tidak bisa menahan kekesalannya. Rupanya hal itu justru merugikannya. Bangunan yang hancur itu justru menghalangi jalan-jalan labirin dan menghancurkan bangunan di sebelahnya pula. Alhasil, beberapa labirin menjadi sulit dilewati.


Ia memang tidak terlalu bisa membaca arah. Labirin yang ia lewati pun sebenarnya adalah pilihannya secara acak. Bukannya menuju ke arah tengah pulau, Sjena malah berjalan menuju ke arah barat laut—ke arah di mana Primo berada.


Menemukan titik buntu membuat Sjena tertegun sesaat sebelum akhirnya tersenyum simpul. Ia diam sebentar lalu berkonsetrasi sambil menutup mata.


[Teleport]


Sjena membuka kedua matanya hanya untuk menemukan seorang pria berambut hitam gondrong tengah berdiri memandanginya dengan wajah kebingungan.

Sjena sedikit terkejut tidak menyangkan perpindahannya yang acak itu justru membawanya mendekat ke peserta lain. Ini bisa disebut keberuntungan.


Ia langsung bersiaga. Dari foto yang diperlihatkan Hvyt, ia tahu siapa pria ini.



*



Primo agak melongo setelah terlebih dahulu menghentikan langkah kakinya. Tujuh meter di depannya mendadak muncul seorang perempuan dengan penampilan, yang bagi dirinya, begitu aneh. Belum pernah ia melihat bentuk kacamata seperti yang digunakan perempuan itu di zamannya berada. Dari foto yang diberikan Hvyt sebelumnya, ia tahu perempuan itu bernama Sjena. Kini Sjena tengah bersiaga di depannya.


"Eh, salam kenal, Nona Sjena," ucap Primo berbasa-basi sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang tengah menyerah, memberikan gambaran bahwa ia tidak ingin bertarung sekarang.


Melihat tindakan Primo, Sjena hanya tersenyum sinis, tidak menyangka mangsa bisa ditemukan secepat ini.


"Bingo! Anggap saja kita sudah kenal!" ucap Sjena nyaring sambil merentangkan tangan kanannya.


Tangan kanan Sjena mendadak diselimuti kobaran api dengan cahaya yang sangat terang dan menyilaukan. Api itu langsung mengecil dan berubah menjadi sebilah pedang yang langsung digenggam oleh Sjena. Ia langsung melesat maju ke arah Primo.


"Eh!?"


Mendadak Primo merasakan tubuhnya seperti tertahan sesuatu dan tidak bisa bergerak.


[Hold]


[00.02]


Tubuh Primo tetap tidak bisa digerakkan walaupun dirinya sudah mati-matian berusaha, sementara Sjena sudah berada lima meter di depannya dan terus mendekat dengan wajah yang penuh nafsu membunuh.


[00.01]


Tiga meter lagi, Sjena menarik tangan kanannya ke belakang dan bersiap untuk menebaskan pedang itu. Primo menutup matanya dan dengan tenang mulai berbicara di dalam hatinya.


"Bapa, lindungilah aku."


[00.00]


Tepat di depan Primo, Sjena menebaskan pedang itu ke arah lehernya dengan kecepatan tebasan yang sangat tinggi.


Primo membuka kedua matanya, menyadari kini ia bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Satu gerakan cepat dari kedua kakinya membuat dirinya berhasil menghindari tebasan pedang Sjena dengan cara menarik mundur tubuhnya dengan gerakan kaki yang begitu luwes. Setelah itu, ia segera melompat mundur menjauhi Sjena.


"Terima kasih, Bapa," ucap Primo.


"Cih, berterima kasihlah kepada waktu penggunaan [Hold] yang hanya dua detik," komentar Sjena sinis setelah mendengar ucapan Primo barusan.


Entah mengapa Primo merasa kesal mendengar ucapan Sjena barusan. Ia langsung memasang ekspresi wajah penuh amarah sambil mengepalkan kedua tangannya.


"Terkutuklah kau di neraka terdalam!" umpat Primo jengkel dengan tatapan tajam.

Mendadak Sjena merasakan aura di sekitar mereka berdua mulai berubah, seolah-olah seperti ada sesuatu yang besar akan muncul.



*****



Setelah sekitar satu jam berjalan, Flager akhirnya merasa jengkel karena belum juga keluar dari labirin yang ia lewati sekarang. Ia kemudian berkacak pinggang lalu menendang pelan salah satu sudut dari reruntuhan di dekatnya.


"Sialan! Belum juga terlihat jalan keluar!" ucap Flager kesal sambil berpikir keras. Tangan kanannya kemudian mengacak-acak rambutnya untuk membantunya berpikir sementara ujung kaki kanannya mulai menghentak-hentak pelan ke tanah dengan tempo teratur.


Setelah cukup lama berpikir, Flager menyadari sesuatu. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada lalu menundukkan kepalanya.


"Aneh," ucapnya pelan, "mengapa aku malah berpikiran untuk pergi ke tengah pulau? Ada apa di tengah pulau? Mengapa aku bisa tahu di mana tengah pulau berada? Lalu ada apa dengan perasaan ini?" Flager melirik ke bagian reruntuhan yang ia tendang barusan.


Ia menyadari ada yang salah dengan dirinya. Tidak biasanya ia merasa kesal seperti ini. Biasanya jika ia menemukan suatu masalah, ia cenderung akan memikirkannya untuk mencari solusinya daripada meluapkannya lewat emosi seperti barusan.


"Ada yang aneh dengan pulau ini," gumam Flager mulai waspada. Ia tahu, apapun yang sedang terjadi, pastilah emosinya sekarang sedang tidak terkendali. Ia bisa merasakan jumlah energi Ghranz di dalam tubuhnya mulai meningkat, pertanda amarahnya mulai muncul—yang kali ini muncul tanpa sebab yang jelas.


"Mungkin... peserta yang lain juga ikut merasakannya. Lalu, semakin kuat rasa emosi ini dirasakan atau dipikirkan, akan semakin kuat keinginan untuk mencapai ke tengah pulau. Cih, sepertinya hanya orang bodoh dan berpikiran pendeklah yang bisa melawan keinginan untuk pergi ke tengah pulau."



*


tidak terlalu jauh di arah belakang Flager, Leon tampak masih berlari sambil sesekali terengah-engah dan mengusap keringat yang mengalir di wajahnya. Saat tengah berlari cepat, mendadak Leon langsung bersin tanpa sebab.


"Pfft... apaan, nih?" ucap Leon sambil menggosok-gosokkan punggung tangannya ke hidung.


Sambil terus berlari, ia merasa apa yang dilakukannya agak membuang-buang waktu. Akan sangat lama untuk menemukan musuh jika hanya berlari menelusuri labirin yang membingungkan ini. Seandainya saja Manna miliknya tidak terbatas, tentu ia sudah menghancurkan dinding-dinding labirin ini agar lebih mudah menemukan musuh. Tapi kali ini cukup aneh, biasanya ia pasti sudah kelelahan jika berlari terus-menerus seperti ini. Tetapi kali ini tubuhnya terasa lain, seolah-olah ada perasaan yang membuatnya merasa semakin kuat.


Ia memutuskan melompat ke salah satu puncak reruntuhan agar bisa melihat objek lebih banyak. Dengan tatapan tajam Leon mulai memerhatikan keadaan di sekelilingnya, terutama di arah utara.


"Ahaa!!" Leon menemukan sesuatu. Dari sela-sela dinding labirin yang berlubang-lubang, Leon bisa melihat ada sesorang yang baru saja lewat lalu menghilang di balik dinding labirin lainnya. Tidak perlu banyak bukti lagi, ia yakin itu adalah salah satu peserta karena tidak ada makhluk lain lagi di pulau ini selain peserta.

Leon lalu melompat turun dan berlari ke arah orang yang ia lihat itu. Ini akan menjadi serangan mendadak yang luar biasa, batinnya.


Ia menghunuskan pedang di pinggang kirinya untuk bersiap melakukan serangan.

"Belok kiri... lurus... belok kanan... lurus... belok kanan... lurus... belok kiri... lurus... belok kanan... dan...."


Leon akhirnya menemukan seseorang tengah berjalan pelan di depannya sana. Jarak dirinya dan orang itu sekitar dua puluh meter, dan tampaknya orang itu tidak menyadari kehadiran dirinya.


"HYAAAAHHHH!!!" Leon berteriak nyaring sambil melompat ke arah orang itu. Tangan kanannya sudah bersiap mengayunkan pedang untuk menebas ke arah leher sasarannya.



*



Flager terus berjalan menelusuri labirin sambil berpikir keras. Rasanya sangat sulit untuk bertemu musuh di tempat seperti ini, kemungkinannya sangat kecil! Saat tengah berpikir, mendadak ia mendengar teriakan nyaring dari arah belakang. Sontak ia langsung berbalik dan menemukan seseorang tengah melompat ke arahnya sambil bersiap menebaskan pedang ke lehernya. Hei, rupanya kemungkinan kecil tidak mengakibatkan kemungkinan itu mustahil untuk terjadi.


Berpikir terlalu keras membuatnya tidak merasakan kehadiran orang itu. Beruntung, orang itu terlalu bodoh untuk berteriak sambil menyerang. Keadaan labirin yang sempit membuat Flager memutuskan untuk menghindar ke belakang.

Ia mengalirkan energi Ghranz miliknya ke kaki lalu mereaksikannya dengan sangat cepat. Flager langsung bersalto ke belakang untuk menghindar kemudian mendarat sekitar enam meter di depan si penyerang.


Tebasan pedang Leon hanya bisa membelah angin lalu menghancurkan tanah di bawahnya. Sekilas, ia melirik ke arah Flager sebelum akhirnya berdiri tegak dan menopang pedang itu di bahu kanannya lalu berpose sok keren.


"Hebat, kau bisa menyadari dan menghindari serangan dadakanku," ucap Leon sambil tersenyum sinis. Matanya kemudian melirik ke arah Flager dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, setelah itu ia mengangkat sebelah alisnya karena menyadari Flager terlihat tidak keren dengan warna yang serba abu-abu. Hitamlah yang terbaik dan terkeren. Pasti, batinnya.


Flager hanya bisa memiringkan sedikit kepalanya mendengar ucapan Leon. Baru kali ini ia merasa sangat mudah untuk menghindari serangan dadakan. Sejenak kemudian Flager mengamati penampilan Leon dan menyadari sesuatu.


"Kau... Leon?" tebak Flager sambil mengingat-ingat foto yang ditunjukkan Hvyt saat di pinggir pulau tadi.


Leon cukup terkejut saat menyadari Flager mengetahui namanya. Benar-benar orang yang luar biasa. Sudah berhasil menghindar dari serangan, kini si bocah abu-abu itu bisa menebak namanya dengan tepat, batin Leon.


"Hmm, benar," Leon membenarkan ucapan Flager sambil tersenyum keren. "Lalu, kau...." Leon memandang tajam ke arah Flager.


Flager diam menunggu kelanjutan kata-kata Leon sambil tetap bersiaga. Tangan kanannya yang tertutup kain sudah memegangi bagian dalam kain itu, bersiap untuk menarik senjata.


"...siapa?" lanjut Leon dengan ekspresi wajah serius dan dipaksakan untuk tetap terlihat keren.


"........." Flager diam mendengar ucapan Leon.


Mereka berdua diam tanpa kata, diam tanpa gerakan dan hanya saling menatap.



Hening.



Masih hening.



"Sialan," ucap Flager jengkel. Ia menarik bagian dalam kain lalu mengubahnya menjadi sebuah pisau dengan kepadatan tinggi sepanjang tiga puluh sentimeter. Menggunakan pedang akan sangat sulit di tempat sempit seperti ini sehingga Flager lebih memilih untuk menggunakan pisau.


Melihat lawannya tengah memegang senjata, Leon segera mengambil start terlebih dahulu untuk bertarung dalam jarak dekat.


Leon menusukkan pedang itu ke arah dada Flager tapi dengan gesit Flager segera bergerak ke arah kiri sambil melepaskan tusukan ke arah tangan kanan Leon yang memegang pedang.


Menyadari tangan kanannya menjadi sasaran empuk, Leon menarik tangannya mundur lalu bersiap melepaskan satu tendangan kaki kanan. Di luar dugaan, Flager rupanya sudah menarik sebilah pisau juga menggunakan tangan kirinya. Kini pisau itu sudah diarahkan untuk menusuk ke perut Leon.


Dengan gerakan kedua kaki yang bersamaan, Leon melompat ke atas untuk menghindar sambil menebaskan pedangnya secara vertikal ke arah kepala Flager. Sekilas, Leon membayangkan seperti hendak mengupas buah semangka.

Flager segera menyilangkan kedua pisaunya untuk menangkis serangan udara Leon. Rupanya itu membuat area dadanya menjadi terbuka sehingga dengan mudah menjadi sasaran empuk tendangan kaki kanan Leon yang bergerak seperti orang sedang menendang bola dengan kekuatan penuh.


Tendangan itu cukup kuat, membuat Flager sampai terpental beberapa meter dengan punggung yang langsung terhempas di tanah. Rupanya tendangan itu belum cukup untuk melumpuhkan Flager. Ia kembali berdiri untuk bersiaga, kali ini mulai serius untuk mewaspadai setiap gerakan Leon.


Setelah kembali mendarat di tanah, Leon mengamati dinding-dinding labirin yang ada di sebelahnya. Benar-benar sempit, sampai-sampai ia tidak bisa untuk menebaskan pedangnya secara horizontal. Jika terus begini, ia akan kerepotan untuk menyudutkan Flager. Ia mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa mengalahkan Flager dengan kondisi tempat pertarungan seperti ini.


"Eh? Bagaimana caranya, ya?" gumam Leon kemudian dengan wajah bingung. Tidak ada ide sama sekali yang terlintas di pikirannya. "Ah, baiklah! Harus menggunakan 'itu', ya?" gumamnya lagi sembari membuka kepalan telapak tangan kirinya. Tampak ada sebuah kristal kecil di kepalan tangan kirinya itu.

Flager diam mengamati kristal di tangan kiri Leon. Apapun itu, insting Flager menyatakan pastinya sesuatu yang membahayakan. Ia mulai bersiaga sambil mengalirkan energi Ghranz ke seluruh tubuhnya, bersiap untuk direaksikan jikalau ada kejutan yang diberikan oleh Leon.


Sadar Flager tengah mengamati kristal yang ia pegang, Leon kemudian melirik ke arah Flager.


"Hmmphh, kau pasti penasaran dari mana asal kristal ini, kan? Lalu bagaimana bisa muncul di tangan kiriku, kan?" tanya Leon pada Flager dengan nada tajam. Flager tetap diam, tidak menanggapi pertanyaan Leon yang hanya bisa membuyarkan konsentrasi saja. "Huh, jangan harap aku akan memberitahukannya kepadamu!" lanjut Leon dengan nada mengejek.

"Sialan, memangnya aku peduli!?" pikir Flager jengkel seraya mengepalkan kepalan tangannya menahan emosi.


Leon kemudian berkonsentrasi sambil menggenggam erat kristal di tangan kirinya. Dalam sekejap, kristal itu seolah-olah terserap masuk ke dalam tangannya lalu seluruh tubuh Leon diselubungi aura berwarna biru.


Flager bergerak mundur selangkah. Selubung aura ini mengingatkannya kepada kemampuan Bara di pertarungan sebelumnya. Apapun selubung aura ini, yang pasti membuat orang yang diselubungi bertambah kuat! Ia semakin yakin saat merasakan sensasi kekuatan Leon semakin meningkat drastis.


Tiba-tiba Leon melesat sangat cepat ke arah Flager dengan memanfaatkan dorongan dari kaki kanannya. Flager cukup terkejut dengan gerakannya, sepertinya Flager tidak menyangka bahwa Leon bisa bergerak secepat itu. Saat berada tepat di depan Flager, Leon melepaskan satu pukulan tangan kanan yang tepat mengarah ke dadanya.


Gerakan yang begitu cepat dan pukulan yang sangat cepat pula membuat Flager tidak sempat menghindar, terlebih karena sisi kanan dan kirinya sudah terhalang oleh dinding. Memakai pelindung kain sepertinya tetap percuma karena tidak menahan benturan sama sekali. Flager terpaksa menerima pukulan itu sambil menjerit tertahan setelah terlebih dahulu mereaksikan energi Ghranz di dadanya untuk meredam kekuatan pukulan dan mengurangi rasa sakit.


Leon tidak setengah-setengah dalam melepaskan pukulan. Terlihat dari kekuatannya yang mengerikan hingga membuat Flager terpelanting dan menghantam reruntuhan di belakangnya. Reruntuhan itu mulai ambruk dan materialnya nyaris menindih Flager yang tubuhnya sudah terkubur di bagian dalam reruntuhan.


Sejenak Leon diam menunggu dan mengamati tempat Flager terkubur. Nyaris tidak ada gerakan mencurigakan di sana. Ia memang sudah memukulnya sekuat tenaga, tetapi ia yakin Flager masih bisa bertahan dari serangan barusan.


Aneh. Baru kali ini dirinya merasa "sepanas" ini dalam bertarung. Dirinya seperti sedang dipenuhi oleh rasa semangat yang membara sampai-sampai rasanya ingin menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya, terutama Flager.


Setelah beberapa menit, Flager keluar dari balik puing-puing yang mengubur dirinya sambil memegang sesuatu. Sebuah bumerang bulat hitam yang sudah dimodifikasi. Diameter bumerang itu sekitar setengah meter dengan lubang berdiamer dua belas sentimeter di tengahnya sebagai tempat untuk memegang.

Flager mengambil ancang-ancang lalu melemparkan bumerang itu ke arah Leon dengan sekuat tenaga. Ia sengaja membuat bumerang seperti itu agar bisa melesat dengan lurus karena sempitnya tempat pertarungan mereka saat ini. Setelah melemparkan bumerang, Flager memegang kain pada bagian punggungnya.


Melihat bumerang itu melesat dengan cepat ke arah dirinya, Leon segera menundukkan tubuhnya untuk menghindari bumerang itu. Saat bumerang itu sudah melewatinya, Leon melesat maju ke arah Flager sambil bersiap menusukkan pedangnya.


Flager sendiri langsung menarik sebuah senjata dari kain di bagian punggungnya. Tepat saat Leon di depannya, Flager menebaskan pedang itu langsung secara vertikal setelah selesai terbentuk.


Leon menangkis tebasan pedang Flager sambil mengarahkan pukulan tangan kiri ke arah dada kiri Flager. Kali ini Flager bergerak ke samping kiri untuk menghindar lalu melepaskan tendangan kaki kanan yang cepat ke perut Leon yang cukup terbuka tanpa perlindungan.


Benar-benar, Leon sudah masuk ke tingkatan yang sangat luar biasa, dengan cepat ia melesat mundur untuk menghindari jangkauan tendangan kaki Flager.

Tidak mau kehilangan kesempatan bagus, Flager segera mereaksikan energi Ghranz pada kakinya lalu melesat maju mendekati Leon.


Pria itu cukup terkejut melihat gerakan Flager yang ternyata mampu secepat dirinya. Terpaksa, ia harus meladeni pertarungan jarak dekat menggunakan pedang, tendangan, dan pukulan, mengingat tempat pertarungan yang sempit sehingga menyulitkan menggunakan bermacam-macam teknik berpedang yang mereka miliki.


"Cih, sepertinya ini akan berlangsung sangat lama!" gumam Flager kesal.



***



Setelah satu jam lamanya berjalan, akhirnya Ucup berhenti berjalan lalu terdiam sesaat melihat pemandangan di depannya. Ia terperangah, tidak menyangka akhirnya bisa sampai di tengah pulau. Kini ia bisa melihat sebuah halaman yang sangat luas dengan air mancur yang sudah rusak di tengah-tengahnya. Pada setiap sudut dan sisi halaman itu, tampak banyak gerobak rusak dan bangunan-bangunan kecil yang terbuat dari kayu berdiri miring—nyaris roboh. Ucup menduga tempat ini dulunya adalah sebuah pasar atau pusat keramaian lainnya.

Ia berjalan pelan ke tengah halaman itu sambil tetap waspada seandainya ada musuh yang tiba-tiba menyerangnya. Saat sudah berada di dekat air mancur, perlahan Ucup merasa kesal entah mengapa, seolah-olah ada yang merasuki alam pikirannya saat kembali melihat pemandangan di sekitarnya.


Ya, pemandangan ini mengingatkan dirinya dengan tempat dari mana dirinya berasal. Sebuah pusat keramaian, kenangan buruk masa lalunya, dan... ibu. Ucup mengepalkan kedua tangannya, terasa amarah mulai masuk ke dalam pikirannya. Kematian ibunya sudah begitu lama, tapi entah mengapa saat ini tiba-tiba ia menjadi kesal jika mengingatnya.


"Ng...?" di sela-sela amarahnya, Ucup tertegun kala merasakan ada sesuatu yang dingin mengenai leher bagian belakangnya.


Ucup mengusap lehernya. Air? Ia kemudian mengangkat wajahnya untuk memandang langit yang sudah gelap, yang sudah mendung sejak beberapa menit setelah ia berada di pulau ini. Awan gelap itu mulai menjatuhkan rintik-rintik hujannya, mulai mengguyur pulau yang sedang "panas" ini dengan dinginnya gerimis.


Melihat hujan yang perlahan-lahan mulai lebat, Ucup nyaris berusaha tersenyum senang tetapi amarah dalam dirinya mencegahnya untuk melakukan hal itu. Di dalam pikirannya terlintas sosok ibunya, seorang figur yang sangat ia butuhkan, motivasi yang membuatnya masih mampu bertahan hingga sekarang. Sosok itu seolah-olah muncul di depannya, tersenyum, sambil menjulurkan tangan kepada Ucup.


Bagaikan seorang anak yang tengah melihat timbunan permen cokelat di hadapannya, Ucup membuka lebar kedua matanya sambil berjalan maju perlahan. Matanya tidak berkedip, tangan kanannya terjulur ke arah sosok ibu yang ia lihat, berusaha menggapai tangan sosok itu.



Terus melangkah melupakanmu...

Lelah hati perhatikan sikapmu...



"Eh?" sosok itu seolah-olah melayang menjauh tapi tetap tersenyum dan menjulurkan tangan.



Jalan pikiranmu buatku ragu...

Tak mungkin ini tetap bertahan...



"Ibu!! Jangan pergi, Bu!!" Ucup mempercepat langkahnya berusaha mengejar sosok itu sambil menitikkan air mata.



Perlahan mimpi terasa mengganggu,

'ku coba untuk terus menjauh...



Ucup mulai berlari mengejar sosok yang semakin mundur menjauhi dirinya itu. Perlahan tapi pasti, sosok yang diyakini Ucup sebagai ibunya itu mulai memudar. Kepanikan tampak tergambar jelas di wajah Ucup. Dulu, ia sudah kehilangan ibunya. Ia tidak ingin kehilangan lagi untuk sekarang.



Perlahan hatiku terbelenggu,

'ku coba untuk lanjutkan hidup...



Karena terlalu fokus memandang sosok itu, Ucup tidak memerhatikan langkahnya hingga tergelincir di rerumputan yang licin karena guyuran hujan. Seluruh tubuh dan wajah bagian depannya sukses mencium rerumputan yang becek. Pantang menyerah, Ucup berusaha bangkit sambil mengangkat wajahnya lalu memandang ke depan ke arah ibunya. Sosok itu diam lima meter di depannya, masih dengan sikap seperti sebelumnya. Sosok itu berdiri di dekat air mancur yang telah rusak sambil terus memudar, nyaris menghilang.


"Ibu..." ucap Ucup lirih sambil berusaha bangkit berdiri menggunakan kedua lututnya, tangannya menggapai-gapai ke arah sosok itu.


Tanpa ia sadari, ada orang lain di belakangnya yang tengah memegang sebuah tongkat pendek berjalan perlahan ke arah dirinya, bersiap menyerang. Orang itu berjalan dengan hati-hati sambil terus mengamati tingkah Ucup. Hujan yang semakin deras membuat langkah kakinya menjadi tidak terdengar.



Engkau bukanlah segalaku,

bukan tempat 'tuk hentikan langkahku...



"Bu, ini Ucup, anak Ibu! Jangan pergi, Bu!" Ucup merangkak perlahan ke arah sosok itu sambil menahan tangisnya.



Usai sudah semua berlalu,

biar hujan menghapus jejakmu...



Sosok itu seolah-olah lenyap oleh guyuran hujan yang semakin deras turun, disusul dengan bunyi ledakan yang terdengar nyaris berbarengan dari dua tempat yang berbeda. Satu dari arah depan Ucup, satunya dari arah kanannya.

Dari kedua sumber suara ledakan itu langsung terlempar sesuatu—lebih tepatnya orang—yang langsung menghantam dan menghancurkan air mancur di depan Ucup, serta memusnahkan sosok ibu yang dilihatnya.


Kini di depan Ucup telah muncul tiga orang yang sudah ia kenal dari foto yang ditunjukkan Hvyt saat mengantarkannya ke pulau ini.


Flager tengah mati-matian menahan telapak tangan Leon yang mencekik lehernya sedangkan Primo tampak tengah sekarat dengan tangan kiri sudah putus pada pangkalnya. Belum selesai, dari arah kanan Ucup, dari sumber suara ledakan barusan, muncul seorang perempuan berkacamata aneh yang sedang terbang tinggi sambil bersiap menukik ke arah Primo yang sedang sekarat.


Kejadian yang berlangsung cepat ini membuat orang yang berada di belakang Ucup menjadi terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.



-*-



"Kanan... atau kiri?" Lucia tertegun melihat dua jalan di depannya. Ia kemudian menyentuh ujung topi yang ia gunakan lalu membetulkan posisi topi itu sambil berpikir.


Instingnya mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan mencapai tengah pulau. Entah mengapa sejak awal ia berada di pulau ini setiap langkahnya seperti dituntun oleh semacam emosi kuat dalam dirinya.


"Kanan?" Lucia mengikuti apa yang dirasakannya.


Ia terus berjalan menelusuri labirin yang semakin menyempit itu hingga akhirnya membawa dirinya ke sebuah halaman yang cukup luas. Lucia terus berjalan ke tengah sambil mengamati sekelilingnya.


"Apa ini? Suram sekali," gumamnya sambil memandangi beberapa gerobak yang sudah rusak dan tergeletak di dekat reruntuhan.


Saat terus berjalan ke tengah, matanya menangkap sosok seorang anak kecil di tengah-tengah halaman itu. Lucia menghentikan langkahnya, berusaha mengingat-ingat foto yang ditunjukkan Hvyt beberapa jam yang lalu.


Ucup, batinnya. Mudah baginya menebak tanpa perlu melihat wajah anak itu karena hanya anak itulah yang memiliki rambut paling pendek di antara peserta lainnya. Lucia kini dilema, di foto itu ia tidak bisa melihat seluruh tubuh lawannya dengan jelas, tapi kini ia tahu bahwa Ucup sebenarnya hanyalah seorang anak kecil!


"Dia... anak kecil ini... juga peserta!?" batin Lucia berkecamuk. Meskipun anak itu peserta, ia tidak tega membunuh seorang anak-anak. Ia mulai mengutuki dirinya yang malah harus bertemu dengan anak itu terlebih dahulu.


Kesempatan bagus untuk membunuh.


"Tidak... aku tidak mungkin melakukannya!" Lucia menutup kedua matanya sambil menutup kedua telinganya, berusaha melawan keinginan yang ada di pikirannya.

Ini kesempatan bagus. Anak itu lawan yang mudah. Tinggal bunuh, kembali ke tempat semula, maka aku bisa menang mudah, kan?


"Tapi... dia masih anak-anak!" Lucia membungkukkan punggungnya berusaha melawan keinginannya. Semakin kuat ia berusaha melawan, keinginan itu semakin kuat. Ia sudah dipenuhi nafsu membunuh dan amarah yang besar. Benar-benar harus dilampiaskan!


Tunggu, lawan yang sebelumnya juga setelah dibunuh lalu kembali bangkit, kan? Jadi, tidak masalah, kan?


Lucia membuka kedua matanya seolah-olah menemukan titik terang.


"Benar," gumamnya dengan senyum kecil tersungging di bibirnya, "jika beruntung, anak itu bisa bangkit juga seperti 'orang itu', kan?" Lucia mengingat-ingat salah satu lawannya yang masih bisa ia temukan di tempat mereka semua berkumpul, berusaha mencari pembenaran akan perbuatan yang sebentar lagi ia lakukan. Seringai lebar tampak mulai menghiasi bibirnya.


Lucia mengeluarkan sebuah tongkat pendek lalu menggenggamnya di tangan kanan sambil bergerak maju perlahan mendekati Ucup. Saat berjalan mendekat, ia menyadari hujan mulai turun. Beruntung, ini membuat langkah kakinya menjadi tidak terdengar.


"Sedang apa dia?"


Lucia agak bingung melihat Ucup yang tengah memanggil-manggil seseorang. Ibu? Tapi dirinya sama sekali tidak melihat ada siapa-siapa di depan anak itu selain sebuah air mancur yang tengah rusak.


Hujan semakin deras, seirama dengan teriakan Ucup yang semakin nyaring hingga akhirnya disusul dengan dua buah ledakan yang suaranya nyaris bersamaan. Satu dari arah depan, dan satunya dari arah kanan. Sepertinya ada yang baru saja menghancurkan reruntuhan sebegitu brutalnya.


Lucia bisa melihat dengan jelas air mancur itu hancur karena dihantam oleh sesuatu yang muncul dari sumber suara ledakan itu. Ia kemudian menghentikan langkahnya berusaha untuk mencerna apa yang sedang terjadi.


Seorang pemuda serba abu-abu sedang dicekik oleh laki-laki berambut cokelat yang wajahnya dipenuhi nafsu membunuh lalu seorang pria yang terlihat sekarat dengan tangan kiri yang sudah putus.



-*-



Primo mengelap darah yang mengalir dari sudut bibirnya dan berusaha tetap fokus memandang ke depan, ke arah Sjena yang berdiri sekitar sepuluh meter di depannya. Dinding-dinding labirin di sekitar mereka sudah tampak hancur parah sehingga memberi ruang gerak lebih untuk bertarung.


"Sangat cepat...," gumam Primo lirih sambil berusaha tetap berdiri. Tangan kanannya berusaha untuk tetap memegang sebuah senjata mirip pedang yang berukuran begitu tipis dari yang biasanya tapi tetap memiliki panjang yang sama seperti pedang pada umumnya.


Primo benar-benar dibuat kewalahan dengan kemampuan Sjena, mulai dari kecepatanya yang mendadak bisa menjadi sangat cepat secara tiba-tiba hingga senjata yang bisa muncul dari arah mana saja, terutama dari api yang muncul dari tubuh Sjena.


"Apakah itu api terkutuk dari neraka?" batin Primo.


Sjena sendiri lumayan kelelahan karena terus-menerus mengeluarkan kemampuannya yang banyak menghabiskan tenaga dan memiliki efek samping yang merepotkan. Kini ia merasa pusing dan agak mual sehingga harus menjaga jarak untuk sementara.


Gerakan kaki Primo yang begitu luwes dan terkesan aneh baginya cukup menambah pertarungan ini semakin sulit. Terlebih lagi, sejak Primo mengumpat dirinya berkali-kali, entah mengapa ia merasa keberuntungan nyaris tidak berpihak kepadanya. Semua kemampuan yang ia miliki keefektifannya berkurang begitu drastis, bahkan terkesan tidak berguna.


"Bahkan [Fast Forward x8] barusan belum cukup untuk melawannya, ya?" batin Sjena kesal. "Bajingan ini lumayan juga," lanjutnya jengkel dengan wajah yang mulai penuh amarah.


Primo sempat melihat ada aura kegelapan yang begitu gelap tengah menyelimuti diri Sjena, sama sepertinya saat ini. Beruntung, Primo masih bisa menahan amarah dalam dirinya walaupun sangat sulit.


Benar-benar harus dibunuh.


"Ngh!! Dia... aku tidak.. aku...," Primo memegang kepalanya dengan tangan kiri, menahan perasaan gila yang mulai mengendalikan isi pikirannya.


Sungguh, ia tengah berada di dalam pilihan yang amat sulit. Primo seperti dipaksa memilih untuk berusaha melawan keinginan "iblis" yang merasuki dirinya atau sepenuhnya menerima amarah lalu mengalahkan Sjena.


Tidak masalah, cukup kali ini saja. Saat ini selesai, tinggal bertobat, kan? Lagipula Dia bisa mengampuni dosa sekecil ini, kan?


"Diamlah, iblis," umpat Primo jengkel, yang tanpa sadar justru menerima "iblis" itu ke dalam dirinya.


Melihat Primo yang tengah bertingkah aneh, Sjena segera memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang.


Ia bergerak maju hingga lima meter tepat di depan Primo.


[Slow Motion]


Sjena segera melepaskan satu pukulan cepat ke arah wajah Primo. Seperti baru tersadar dari halusinasi, Primo tersentak lalu berusaha dengan sangat cepat menghindari pukulan itu sambil bergerak mundur selangkah lalu bergerak maju kembali dengan tusukan pedang di tangannya.


"Dia... tidak, mengapa aku malah menikmati hal ini?" Primo memperlambat gerakannya, memberikan kesempatan bagi Sjena untuk menyerang kembali.


[Hold]


[00.02]


[Sword]


Sjena menggenggam sebuah pedang yang terbentuk dari api tubuhnya, bersiap menebaskannya ke arah Primo.


[00.01]


Satu tebasan melesat secara vertikal ke arah kepala Primo, bersiap memotong kepala itu menjadi dua bagian; mencerai-beraikan gumpalan daging lembut di dalamnya ke segala arah.


"Matilah, brengsek." Seperti kerasukan iblis, Sjena berkata-kata sambil tersenyum lebar.


[00.00]


"Tidak secepat itu!" Primo akhirnya bisa menggerakkan tubuhnya ke sebelah kanan untuk menghindar, walaupun harus merelakan tangan kirinya terpotong oleh pedang Sjena.


Darah langsung terciprat begitu kuat dari pangkal tangan Primo, membuatnya meringis kesakitan menahan rasa sakit yang begitu luar biasa.


"Masih bisa menghindar rupanya!" ucap Sjena jengkel sambil melirik ke arah Primo yang sempoyongan. Pedang yang ia genggam langsung berubah menjadi api dan menghilang dalam sekejap.


[Golem Hands]


Kini api itu kembali muncul di punggung Sjena dan langsung berubah menjadi tangan raksasa. Tangan itu sukses meninju tubuh bagian depan Primo tanpa bisa untuk dihindari.


Tubuhnya terlempar begitu kuat ke udara, dadanya terasa remuk, mungkin beberapa tulang iganya sudah patah. Ia terbang melayang di udara hingga beberapa meter dengan tubuh menghadap ke langit, memandangi langit yang dipenuhi awan hitam yang sudah menjatuhkan tetesan hujan. Air hujan itu sempat mengenai tubuhnya beberapa kali, membuatnya menutup mata sejenak. Semuanya seolah-olah menjadi lambat, ia merasa tenang karena perlahan amarah dalam dirinya mereda. Hujan ini begitu membuat perasaannya begitu damai.


Tidak, ia masih di udara. Jika ia di udara seperti ini, suatu waktu pasti akan jatuh ke bawah. Ah, Primo menyadarinya.


Waktu kembali berjalan seperti semula bagi Primo, kini ia bisa merasakan tubuhnya sebentar lagi akan melakukan pendaratan darurat di tanah.


"Sial," ucap Primo.


Tubuhnya menukik begitu cepat dengan punggung terlebih dahulu menghadap daratan. Selang beberapa detik kemudian, tubuh itu sudah menghantam sesuatu yang amat keras, yang bahkan rasanya sampai mematahkan tulang-tulang di bagian belakang tubuhnya. Primo meringis menahan sakit, darah dari pangkal tangan kirinya semakin deras keluar.


Sjena sendiri langsung menarik kembali [Golem Hands] dan berniat untuk menyusul Primo.


[Wings]


Api kembali muncul di punggungnya tetapi kali ini berubah menjadi sepasang sayap besar dengan aura api hitam di sekelilingnya. Ia mulai mengepakkan sayap itu untuk terbang ke arah di mana Primo sepertinya mendarat.



-*-



Leon mati-matian mengejar Flager yang terus melarikan diri darinya sejak beberapa menit yang lalu. Dengan mengandalkan energi Ghranz dalam tubuhnya, tentu mudah bagi Flager untuk bergerak cepat melewati labirin di depannya. Sementara Leon harus beberapa kali mengumpat karena tak kunjung-kunjung bisa mendapatkan Flager.


"Kampret, cepat banget!"


Ia sudah menggunakan kristal kedua untuk memaksa tubuhnya agar bisa bergerak secepat ini. Efek kristal pertama yang ia gunakan sudah habis untuk adu kecepatan gerakan melawan Flager di pertarungan beberapa menit yang lalu.


"Sisa empat lagi," gumam Leon menghitung sisa kristal yang masih ia miliki.

Sementara tidak jauh di depan Leon, di balik dinding-dinding labirin yang begitu rumit, Flager terus berlari sambil mereaksikan energi Ghranz pada kedua kakinya untuk mempercepat gerakannya. Sambil terus berlari, sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat apakah Leon berhasil menyusulnya atau tidak. Mulutnya sendiri tampak tengah berkomat-kamit menyebut angka.


"596.. 597.. 598..," ucap Flager lirih sambil terus berlari, "599.. 600..." Ia langsung menghentikan langkahnya lalu berbalik saat tengah berada di ujung sebuah bagian labirin yang lurus sepanjang sepuluh meter. Ia diam sesaat menunggu kedatangan Leon. "Apa sesuai dugaanku?" pikir Flager was-was.


Dari balik dinding labirin di seberang Flager, muncul Leon yang berjalan dengan sempoyongan dan napas yang terengah-engah. Ia sangat kelelahan. Bahkan, untuk berdiri pun ia harus bertumpu menggunakan tangan pada kedua lututnya. Seperti orang yang hampir kehabisan napas, Leon mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya.


"Jadi, memang benar 600 detik, ya?" pikir Flager sambil tersenyum sinis, mendadak semangat dalam dirinya begitu muncul. Energi Ghranz dalam tubuhnya seperti mulai meningkat, walaupun ia tidak terlalu memedulikannya untuk sementara ini.


Dari penggunaan kristal pertama Leon, Flager mulai menghitung berapa lama efek kekuatan Leon tersebut bekerja, apakah berhubungan dengan seberapa banyak digunakan ataukah berhubungan dengan waktu saja? Beruntung, sepertinya hanya masalah waktu saja.


Flager langsung melesat maju ke arah Leon sambil menarik sebuah pisau dari kain menggunakan tangan kanannya. Dengan semangat yang berapi-api, ia menusukkan pisau itu ke arah leher Leon.


Tidak terlalu beruntung, Leon menyadari serangan Flager dan masih sempat menghindar dengan cara mundur selangkah. Sekilas, Flager bisa melihat Leon memegang kristal di tangan kirinya.


"Cih," Flager langsung memutar tubuhnya untuk melepaskan sebuah tendangan keras ke arah kepala Leon.


Leon langsung meremas kristal di tangan kirinya yang entah ia ambil dari mana lalu tubuhnya mulai diselubungi aura berwarna merah.


Raging Bash...

Dengan santai Leon mengangkat tangan kanannya yang memegang pedang untuk menahan tendangan Flager, seolah-olah seperti menepis lalat yang terbang di sekitarnya. Ia terkekeh sambil tersenyum sinis.


"Terlalu lemah, Nak," ucapnya dengan nada penuh intimidasi.


Sadar serangan dipatahkan begitu mudah, Flager langsung menjauhi Leon menuju ujung labirin satunya. Ia tidak percaya, kakinya sudah direaksikan dengan energi Ghranz, seharusnya tendangannya tidak bisa ditangkis semudah itu!

"Brengsek!! kekuatan apa itu!?" umpat Flager kesal. Ia sadar, kini aura yang menyelubungi tubuh Leon sudah berganti warna, pastilah kekuatan Leon bukan fokus pada kecepatan lagi. "Jadi, kini yang meningkat adalah kekuatan fisik?" Flager mulai menganalisa.


Untuk mengetahuinya, tinggal serang saja, kan? Tidak perlu terlalu banyak berpikir, kan?


Flager mengacak-acak rambutnya. Perasaan aneh yang sejak tadi ia rasakan mulai muncul lagi, memaksanya untuk terus bertarung secara brutal. Tidak, ia harus tetap sadar. Membuat strategi haruslah dengan pikiran yang jernih!

Leon yang tengah melihat Flager seperti dilanda sakit kepala sebelah, mulai bergerak maju. Labirin semakin menyempit, memaksanya untuk menggunakan pukulan.


Aku sudah di atas angin. Tidak perlu memedulikan hal lain, terus saja menyerang. Kemenangan sudah di depan mata. Dia hanya orang brengsek yang pantas untuk dibunuh.


"Iya, ya? Benar juga, nih," Leon menyeringai lebar, menyetujui apapun yang muncul di dalam pikirannya. Baginya, kata-kata itu justru membuatnya bertambah kuat.


Pertarungan jarak dekat nyaris kembali terjadi, membuat Flager langsung berkonsentrasi begitu kuat, membuang segala perasaan dan emosi lain di dalam dirinya agar bisa tetap berpikir jernih. Kini Flager seolah-olah berada di dalam waktu yang bergerak begitu lambat, semuanya bisa terlihat dengan jelas, bahkan mata Flager memandang setiap gerakan Leon seperti sebuah peluang dan persentase. Ia bisa memperkirakan gerakan Leon selanjutnya hanya dengan mengamati kuda-kuda tubuh, arah gerakan, tatapan mata, pengaruh eksternal, hingga lekukan baju yang dipakai Leon.


"85% akan memukul ke arah dada, disusul pukulan tangan kiri 50% atau tendangan 35%."


Flager menundukkan tubuhnya, memaksa setiap otot dalam tubuhnya bergerak melampaui batasan normal dengan bantuan energi Ghranz. Ia berhasil menghindari pukulan tangan kanan Leon yang mengarah ke dadanya, kini ia memasang kuda-kuda bertahan untuk mengantisipasi serangan berikutnya.

Sebuah pukulan tangan kiri kembali diarahkan Leon, kali ini ke arah wajah Flager yang berada sangat dekat di depannya.


Dengan gesit Flager menepis tangan kiri Leon tanpa berusaha menahannya. Ia tahu, kekuatan Leon sangat besar kali ini, menahan serangannya sama saja dengan bunuh diri. Setelah itu ia segera melepaskan tusukan pisau ke arah perut Leon, bagian yang paling terbuka tanpa perlindungan.


"Ng?" mendadak ia bisa melihat ada kerutan dan gerakan kecil pada baju bagian perut milik Leon, disusul dengan mengencangnya kain celana bagian pahanya. "Serangan lutut?"


Flager membatalkan tusukannya dan lebih memilih menahan lutut Leon yang sudah bergerak ke arah wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya sambil melompat untuk menahan dampak benturan yang akan terjadi.


Hantaman lutut itu begitu kuat, sanggup melemparkan Flager ke udara hingga lima meter. Kedua tangannya pasti sudah patah jika tidak melompat mengikuti arah hantaman lutut itu.


Saat di udara, Flager menancapkan pisau itu kembali ke kain, mengubahnya kembali menjadi bagian kain. Ia kembali menari sebuah senjata, kali ini mirip seperti pisau hanya saja ujungnya seperti empat mata kail yang saling menghadap ke empat arah yang berbeda. Pada pangkal pisau itu terdapat sebuah kawat sebesar setengah diameter jari kelingkingnya yang langsung terhubung ke kain pada bagian dadanya.


Satu gerakan tangan yang cepat, Flager melemparkan pisau itu hingga menancap ke tanah yang berada dua meter di belakang Leon lalu menarik kawat yang terhubung. Tubuhnya langsung tertarik ke bawah hingga mendarat lalu bergerak maju untuk menyerang.


Leon sempat berbalik sambil melepaskan sabetan pedang yang luar biasa kuat di tempat sesempit ini. Dinding-dinding labirin di sebelahnya sampai ikut terpotong dan hancur terkena sabetan pedang Leon, bukan karena pedang yang sangat tajam tapi karena kemampuan fisik Leon yang sudah meningkat begitu drastis.

Flager langsung menunduk untuk menghindar. Tapi... jebakan, rupanya Leon sudah siap dengan pukulan tangan kirinya karena sudah menduga Flager pasti akan menunduk untuk menghindar. Tangan kiri itu sukses menghantam dada Flager hingga membuatnya tersedak lalu meringis.


Belum selesai, Leon mencengkeram baju Flager lalu melemparkannya ke belakang. Memperhitungkan kecepatan jatuhnya, Leon segera berbalik lalu memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak berlari cepat. Ia langsung menerjang ke arah Flager dengan tangan kiri yang langsung mencengkeram leher Flager, berniat untuk mematahkannya sekaligus membantingnya ke dinding labirin.


"HYAHH!!!" Leon berteriak nyaring sambil berlari mencekik Flager yang tergantung nyaris tidak berdaya.


Flager sempat memegang kainnya, mengubah kain pada bagian leher menjadi logam untuk menahan daya cengkeram tangan Leon.


Beberapa detik kemudian, Leon sudah tampak menyeret tubuh Flager di udara sambil membenturkan tubuh pemuda itu ke dinding-dinding labirin hingga dinding itu hancur. Leon sangat menikmati hal ini, sementara Flager mati-matian mereaksikan seluruh energi Ghranz miliknya ke bagian punggung untuk mengurangi dampak benturan dan rasa sakit yang ia derita.


Tiga.. empat.. lima.. dan terus bertambah jumlah dinding yang dihancurkan oleh Leon menggunakan tubuh Flager. Leon tidak memedulikan rintik hujan yang turun semakin deras, ia sudah dibutakan oleh amarah yang ia terima mentah-mentah hingga membuatnya ingin menghancurkan apapun di sekitarnya. Kini amarah itu semakin meningkat kala dirinya semakin mendekati bagian tengah pulau.


Leon melompat ke udara, begitu tinggi dan jauh, sambil tetap mencengkeram Flager. Lompatan itu bahkan membuat mereka sampai keluar dari labirin hingga akhirnya mereka mendarat bersamaan dengan Leon yang langsung membanting tubuh Flager pada sesuatu yang sangat keras di bagian halaman tengah pulau.


"UAGH!!" Flager menjerit. Tulang punggungnya terasa ditindih beban yang sangat berat. "BRENGSEK!!!" umpatnya kemudian.



*



Ucup seolah tersadar setelah mendengar teriakan nyaring Flager. Tatapannya kosong. Sosok ibunya hilang. Menghilang bersamaan dengan munculnya Leon, Flager, dan Primo. Perlahan raut wajah Ucup berubah, mulai dipenuhi dengan kerutan penuh amarah. Bibirnya terbuka, menunjukkan gigi-giginya kecilnya, mirip seperti singa yang sedang mengancam. Ia meremas pangkal kecrekannya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.


Sementara itu Leon tampak bengong sejenak sambil memandang bergantian ke arah semua orang yang ada di situ.


"Tunggu! Ka... kalian, kan....... siapa?"


"......"


"....."


"...."


"KEMBALIKAN...." Ucup langsung menghempaskan kecrekan itu ke tanah dengan amarah yang tidak tertahan lagi. "...IBU!!!"


Dalam sekejap, semua orang yang ada di sekitarnya merasakan tekanan yang begitu kuat pada diri mereka. Bahkan Sjena yang berada di udara pun sampai tidak mampu untuk terbang maju mendekati Primo, ia seperti ditahan oleh sebuah gelombang yang kasat mata.


Detik pertama, mereka semua seperti tertarik beberapa sentimeter ke arah Ucup. Lucia berusaha mati-matian untuk memukul Ucup dari belakang menggunakan tongkatnya, tapi nihil. Ia tidak sanggup bergerak dan hanya bisa tertarik maju sedikit. Leon sendiri terpaksa melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Flager karena berusaha menahan tekanan yang tiba-tiba muncul dan menyesakkan dada ini.


Detik kedua, mereka semua langsung terlempar dengan sangat kuat ke semua penjuru hingga sepuluh meter. Flager dan Primo yang terkapar di tanah sampai terseret tak berdaya di atas tanah yang becek karena guyuran hujan. Leon dan Lucia terpelanting mundur, sedangkan Sjena yang berada di udara harus rela terlempar jatuh menghantam gerobak yang berada di halaman itu.


Ucup mulai menghempas-hempaskan kecrekan itu berulang-ulang kali ke tanah sambil menangis diselingi umpatan penuh amarah.



Malam ini hujan turun lagi bersama kenangan yang mungkin luka di hati..

Kuingat saat ayah pergi dan kami mulai kelaparan; hal yang biasa buat aku hidup di jalanan..



"UWAAA!! IBU!!!" teriakan Ucup seolah-olah mengiringi iringan nada yang keluar dari kecrekannya, membuat semua orang yang ada di sekitarnya mulai berteriak menahan sakit kepala.


"BANG***SAT, APA INI..!!??" umpat Sjena kesal sambil menutup kedua telinganya. Ia baru saja kesal setengah mati karena melakukan pendaratan darurat di atas gerobak dan kali ini harus mendengar suara yang memekakkan telinga seperti ini.


Sementara itu, Primo menutup kedua matanya, berusaha menahan amarah dan keinginan-keinginan aneh di dalam dirinya. Ia seolah-olah ingin mati tapi berusaha melawan keinginan itu!


"Bapa, bantu aku," ucap Primo lirih sambil menutup mata dan menekan luka pada pangkal tangan kirinya.


Tak jauh dari tempat Primo berada, Flager berlutut sambil memegangi kepalanya yang pusing luar biasa. Semua ingatan masa lalunya seperti diaduk-aduk, beberapa penggalan kenangan buruk mulai bisa ia ingat kembali, semakin menyiksa mentalnya.


"ARGHH!!!"


Keinginan saat itu... ya, keinginan saat ia menikam jantungnya sendiri. Keinginan itu mulai muncul kembali saat ini. Ia tidak memiliki alasan untuk melakukannya, tapi keinginan itu seolah-olah memaksanya!


"Bodoh, aku tidak mungkin melakukannya!!"


Tak jauh di belakang Flager, terlihat Leon sedang berguling-guling di tanah sambil memegangi kepala karena menahan sakit yang teramat sangat.


"Tidak!! Aku belum mau mati!! Aku masih ingin makan pasta!!!" pekik Leon dengan raut wajah yang begitu tersiksa. Keinginan untuk mati perlahan muncul kala bayangan sesosok gadis manis terlintas di pikirannya, seolah mengajaknya untuk bertemu di alam sana. Aura warna merah yang menyelebungi tubuhnya sudah menghilang.


Melihat hal ini tidak akan ada habisnya, Flager memaksakan dirinya untuk memandang ke arah Ucup.


"Benda itu...." Flager memerhatikan kecrekan Ucup yang terus-menerus dihentakkan ke tanah. "Itu sumbernya, ya?"


Flager menahan rasa sakit di kepalanya lalu mulai bangkit berdiri sambil menahan sakit luar biasa pada punggungnya. Ia menarik sebuah bumerang dari kain, lalu bersiap melemparkannya ke arah Ucup. Sekilas ia bisa melihat Lucia baru saja berdiri dengan susah payah di belakang Ucup. Flager lantas menyeringai lebar, ia langsung mereaksikan seluruh energi Ghranz miliknya ke tangan kanan lalu mengambil kuda-kuda melempar.


"Sekali tendang, dua batu terhempas," ucap Flager sambil melemparkan bumerangnya yang berbentuk segitiga sama sisi itu.


Bumerang itu melesat sangat cepat. Melewati tangan kanan Ucup lalu lewat di dekat wajah Lucia yang terkejut karena ada serangan dadakan seperti ini.

Suara berisik itu berhenti. Sakit kepala yang dirasakan mereka semua mulai menghilang.


"Cih, meleset. Dasar sialan," gumam Flager kesal saat menyadari bumerangnya hanya mampu menyayat wajah bagian kanan Lucia.


Ucup sendiri terdiam lalu memutar kepalanya melihat ke arah kecrekannya. Kecrekan itu masih tergenggam di tangan kanannya, hanya saja saat ini tangan kanan itu sudah tergeletak di tanah yang berlumpur. Ucup membelalakkan kedua matanya saat melihat darah mengucur keluar dari pangkal tangan kanannya, jatuh ke tanah yang becek lalu larut oleh air hujan.


"UWAAA!!!!" anak itu berteriak sejadi-jadinya. Ia mengalami tekanan yang hebat dan rasa sakit yang luar biasa. Tanpa memedulikan kecrekannya lagi dan orang-orang di sekitarnya, ia langsung berlari menuju ke reruntuhan pada bagian timur untuk menenangkan diri dan bersembunyi.


Lucia yang berdiri di belakang Ucup tertegun sambil mengusap pipi kanannya. Ia memerhatikan telapak tangannya, merasakan sesuatu yang hangat tengah keluar dari luka di pipinya. Darah. Darah tanpa henti mengucur dari pipi kanannya.


"Kurang ajar!" ucap Lucia geram sambil memandang ke arah Flager di kejauhan. "Semua laki-laki sama saja! Sama-sama bajingan!!"


Ia langsung menghentakkan tongkat yang ia pegang. Tongkat itu langsung bertambah panjang. Dengan kekuatan penuh, ia berbalik lalu mengayunkan tongkat itu untuk menghancurkan bumerang milik Flager yang sudah melesat kembali ke arahnya, membuat bumerang itu pecah kembali menjadi partikel Ghranz lalu terbang kembali ke kain Flager.


Melihat hal itu, Flager sampai terperangah tak percaya. Kepadatan dan ketajaman bumerang yang ia buat sudah sangat tinggi, seharusnya tidak bisa dihancurkan semudah itu! Tongkat itu tampaknya terbuat dari material khusus! Tunggu, tidak, bukan itu yang jadi masalah.


"Apa-apaan ini...?" Flager terasdar akan sesuatu. Napasnya memburu dengan cepat kala melihat tangan Ucup yang tergeletak di tanah becek itu. Ia baru saja memotong tangan seorang anak kecil! "Brengsek, tempat ini membuat pikiran menjadi gila!" gumam Flager kesal. Ia hampir kehilangan semua akal sehatnya.


Mendadak Flager membelalakkan kedua matanya. Kini ia sadar semuanya. Ia sadar apa yang sedang terjadi. Ia menarik semua informasi yang ada, tindakan setiap lawan, menduga kemungkinan yang terjadi, merenungkan setiap kata-kata yang keluar, dan apa yang sedang dirasakannya saat ini.


"Begitu, pulau ini dipenuhi amarah yang kuat," gumamnya kesal, "terutama di bagian tengah pulau ini. Itulah alasan mengapa amarah ini memancing dan menuntun kami menuju ke tengah pulau, memaksa kami untuk terus bertarung dan saling membunuh seperti ini!"


Tidak ada waktu untuk berpikir. Semakin keras ia berpikir, emosi dalam dirinya akan meningkat. Kini ia nyaris tidak bisa bertarung dengan strategi, tapi hal ini justru menguntungkannya karena jumlah energi Ghranz dalam tubuhnya akan meningkat drastis.


"Jadi, kau memang harus dibunuh duluan, ya?" ucap Lucia kesal sambil berjalan ke arah Flager. Darah yang keluar dari pipinya sudah berhenti, kini ia hanya dipenuhi dengan nafsu untuk membunuh Flager.


"Wowowo, tahan di situ, Nona," ucap Leon tiba-tiba, yang sudah berdiri tegap sambil memegangi pedang miliknya. "Orang itu adalah mangsaku!" tambahnya sambil menunjuk ke arah Flager


Lucia hanya mengangkat sebelah alisnya mendengar ucaan Leon sambil terus berjalan maju.


"Siapa cepat, dia dapat," ucap Lucia enteng lalu mulai berlari cepat ke arah Flager.


Melihat Lucia yang sudah maju, Leon tidak mau kalah. Ia juga ikut berlari ke arah Flager.


Dua lawan dari dua arah yang berbeda sudah menyerang. Flager hanya bisa menarik napas panjang.


"Ini akan sangat brutal sekali," batinnya pasrah.


Ia menerima semua amarah yang ia rasakan meskipun tahu efek sampingnya akan sangat berbahaya. Jumlah energi Ghranz di dalam tubuhnya meningkat drastis bahkan sampai merembes keluar dari dalam tubuhnya dan berubah menjadi partikel Ghranz—sebuah benda yang mirip kabut atau asap putih yang sangat ringan.


Dengan cepat tangannya menarik kain di tubuhnya lalu memasangnya menjadi tudung dan penutup wajah, hanya menunjukkan kedua matanya saja. Tameng kain sudah diaktifkan secara permanen! Flager sempat terserang pusing sebentar karena beberapa ingatan dan kenangannya langsung mulai dihapus secara bertahap, namun Flager tidak memedulikannya.


Dengan satu gerakan cepat, ia menarik sebuah pedang tipis, tajam, dan memiliki kepadatan tinggi. Pertarungan jarak dekat langsung terjadi.


Leon dan Lucia menekan secara bersamaan, seolah-olah mereka berdua sedang bekerja sama untuk mengalahkan Flager.


Di tengah pertarungan, Leon kembali memakai kristal untuk meningkatkan kemampuannya. Aura berwarna merah kembali muncul menyelebungi dirinya. Flager sadar, hal ini akan meningkatkan kemampuan dan kekuatan fisiknya. Flager memilih menghindari serangan Leon ketimbang harus menangkis atau menahannya secara langsung.


Melawan dua orang seperti ini tentu saja sangat merepotkan. Saat Flager hendak menyerang salah satu dari mereka, ia justru diserang lebih dahulu oleh lawan yang satunya. Tidak bisa terus-menerus seperti ini! Ia harus fokus ke salah satu lawan!


Flager langsung mereaksikan energi Ghranz miliknya ke kaki lalu berlari menjauhi mereka berdua. Sontak saja Leon langsung mengikuti dengan kecepatan tinggi.

"Kurang ajar!" umpat Lucia kesal karena merasa dirinya paling lambat jika soal kecepatan berlari.


Sesuai dugaan, hanya Leon yang bisa mengikuti dirinya. Flager mulai bersiaga saat Leon menerjang dirinya dengan sabetan pedang yang begitu cepat.


Flager langsung menghindar ke samping sambil menepiskan tepi pedang milik Leon dengan pedang miliknya, bersiap melepaskan pukulan tangan kiri. Leon langsung menyeringai. Flager langsung menyadari ada sesuatu yang salah.


Explosion...

Ledakan langsung terjadi di antara kedua pedang mereka yang saling bersentuhan, menghempaskan tubuh Flager menghantam tanah. Pandangannya langsung kabur sesaat, kepalanya terasa sangat berat, punggungnya kembali merasakan sakit yang luar biasa.


"Apa-apaan pedang itu!?" batin Flager tak percaya. Ia langsung menghentakkan tubuhnya ke belakang untuk berdiri.


Leon tidak memberikan Flager waktu untuk beristirahat, dengan seringai lebar ia langsung bergerak maju untuk menyerang. Flager berpikir cepat, kali ini ia mulai mewaspadai pedang milik Leon, kelihatannya senjata itu memiliki kemampuan khusus.


Di pertarungan jarak dekat kali ini Flager benar-benar 100% harus menghindar tanpa berani menangkis serangan pedang Flager. Di saat menghindar, ia bisa melihat Lucia sudah mendekat ke arah dirinya dan Leon untuk turut ambil bagian di dalam pertarungan jarak dekat ini. Flager langsung memikirkan bagaimana caranya untuk menyingkirkan salah satu dari mereka, membuat pertarungan menjadi tidak serumit seperti yang akan terjadi selanjutnya. Percuma, ia tidak bisa memikirkannya.


"Cih!" Flager sadar, amarah ini membuatnya tidak bisa berpikir terlalu jauh. Ia hanya bisa membuat strategi untuk beberapa langkah ke depan saja. "Mari dicoba!"


Flager langsung bersalto ke belakang beberapa meter sambil menarik tiga buah bumerang berbentuk bintang menggantikan pedang yang ia gunakan. Saat sudah mendarat, ia memperhitungkan jarak dan posisi Leon serta Lucia sebelum akhirnya melemparkan ketiga bumerang itu secara bersamaan dalam satu gerakan putaran tubuh.


Satu diarahkan lurus ke belakangnya, satu ke arah Lucia, dan satunya lagi ke arah Leon. Flager sendiri segera bergerak maju ke arah Leon sambil menarik sebuah pedang tipis dengan kepadatan tinggi untuk menyerang dari balik bumerang yang ia lempar.


Leon segera bersiap untuk menghindari serangan bumerang Flager sambil mewaspadai gerakan Flager. Ia sedikit bingung mengapa Flager melempar ke arah belakang tetapi pandangan matanya terhalang oleh Flager yang sudah melompat untuk menyerang.


Leon mempererat genggamannya pada gagang pedang lalu bergerak ke samping kiri untuk menghindari bumerang yang mengincar ke lehernya, sementara Flager di hadapannya juga ikut bergeser agar bisa tetap berada di depan Leon.


"Kau menantangku rupanya," ucap Leon sambil mengayunkan pedangnya ke arah Flager yang sudah berada dalam jangkauan serangannya.


"Mengapa?" Flager sempat heran. "Mengapa menghindar? Bukankah pedang itu bisa dengan mudah untuk menangkis bumerang menggunakan ledakan yang tadi?" Flager langsung menundukkan tubuh bagian atasnya menghindari sabetan pedang Leon, sekilas ia melirik ke arah belakang Leon untuk memastikan sesuatu.


Flager segera memberikan serangan balasan dengan sabetan ke arah dada Leon. Untuk berjaga-jaga, Flager terlebih dahulu mereaksikan energi Ghranz ke seluruh tubuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Leon menangkis serangan itu menggunakan pedangnya dengan mudah, bahkan ia sempat tersenyum tipis.


Explosion...

Ledakan kembali terjadi, bersumber dari pedang Leon, membuat Flager langsung terlempar ke sebelah kiri karena efek ledakan itu. Kali ini ia sudah siap dengan tameng kain dan reaksi energi Ghranz di seluruh tubuh sehingga ledakan itu tidak terlalu berdampak pada tubuhnya. Ia hanya terseret beberapa meter di tanah sebelumnya akhirnya bangkit.


"...!!??" tepat saat Flager sudah terlempar dari hadapannya, Leon bisa melihat sebuah bumerang dari arah depan melesat begitu cepat ke arahnya. "Jadi begitu!!" Leon kini sadar alasan Flager melempar bumerang itu ke belakang. "Brengsek!" umpatnya.


Leon tidak sempat untuk bergerak menghindar. Ia tahu, dengan kecepatan bumerang yang begitu tinggi seperti itu akan sangat berbahaya jika ditangkis dengan cara biasa. Ia memilih langsung menyabet pedangnya ke arah bumerang di depan.


Explosion...

Bumerang itu langsung hancur dan berubah menjadi partikel-partikel Ghranz lalu terbang kembali dan melebur ke kain milik Flager. Sekilas Flager bisa melihat Leon langsung kelelahan dan gerakannya sempat terhenti.


"Sial, aku sudah menggunakan sampai tiga kali," gumam Leon terengah-engah. Tidak, ia menyadari ada satu hal yang terlewatkan, membuatnya harus membelalakkan kedua matanya. "Bumerang yang di belakang!" Leon tidak sempat bertindak, ia hanya bisa memekik kala sebuah bumerang menghujam punggung bagian kanannya lalu tembus keluar dari dada kanannya, memuntahkan begitu banyak darah segar.


"Berhasil," gumam Flager sambil tersenyum puas. Perlahan senyuman itu berubah menjadi seringai lebar. Ia bergegas berdiri untuk bersiap melakukan serangan penyelesaian kepada Leon.


Leon sendiri segera memajukan kaki kanannya untuk menahan berat tubuhnya yang nyaris jatuh ke depan. Pandangannya mulai kabur sementara itu tangan kanannya terasa lemas, membuat pedang yang ia genggam langsung terjatuh. Perlahan tangan kirinya memegangi luka pada bagian dada, berusaha menahan darah yang terus mengalir dari sela-sela ujung lancip bumerang yang bersarang pada tubuhnya. Detak jantungnya mulai bertambah cepat, antara tegang karena bayangan kematian akan datang lagi dan sakit yang begitu luar biasa.


Flager maju perlahan mendekati Leon dengan pedang yang sudah bersiap untuk ditebaskan.


"Tidak, ini bukan diriku."


Flager menghentikan langkahnya lalu memegangi kepalanya. Ia tidak percaya baru saja menikmati tindakannya yang hampir membunuh seseorang. Ya, ia tahu bahwa dirinya memang harus membunuh satu orang di pulau ini, tapi ia tidak pernah senang jika harus membunuh orang lain apalagi menyiksa korbannya. Kali ini lain, amarah ini benar-benar mengganggu pikirannya.


Perasaan ini sangat berbeda dengan pertarungan sebelumnya. Di pertarungan sebelumnya, ia tidak pernah mengerti mengapa ia bisa begitu tenang tanpa penyesalan sudah membunuh dua orang lawannya. Ia hanya bisa merasa begitu menyesal saat membunuh Stella saja di pertarungan terakhir itu. Wajar, Dark Kisses sudah mencuci pikirannya. Beruntung, ingatan tentang perintah dari Dark Kisses itu sudah terhapus oleh kain.


Konsentrasi Flager buyar, bumerang yang menancap pada punggung Leon langsung pecah menjadi partikel Ghranz dan kembali melebur ke kain Flager, membuat ukuran kain itu bertambah besar.


Leon sendiri langsung terhuyung-huyung lalu jatuh terlentang dengan darah yang terus mengalir. Tubuhnya menghantam tanah yang sangat becek penuh lumpur. Matanya terbuka sedikit, sempat memandangi langit yang mulai cerah. Hujan sudah hampir reda, awan terbuka, membuat langit biru cerah di atas sana tampak begitu jelas. Kesadarannya hampir menghilang, langit biru itu perlahan mulai meredup.


Termenung, pikiran melanglang buana seraya menikmati tiupan dingin angin senja.


Biru, gerai rambut biru itu...


"Fi....."


Leon berusaha mengangkat tangannya sambil menyebutkan nama seseorang tapi kesadarannya langsung menjauh. Ia pingsan, tangannya terhempas ke tanah, perlahan kedua matanya menutup lalu napasnya mulai teratur.


Flager diam sejenak melihat hal itu. Ia bingung ingin bagaimana sekarang.


"Bajingan yang lumayan," Lucia tiba-tiba berkomentar dari arah belakang Flager. Mendengar suara itu, Flager langsung menoleh ke belakang, melihat ke arah Lucia yang berdiri beberapa meter di belakangnya.



*



Lucia menghentikan laju larinya saat melihat Flager telah melemparkan tiga buah bumerang, salah satunya mengarah kepada dirinya.


"Hoo, menyadari keberadaanku juga rupanya, ya?"


Lucia mengayunkan tongkat miliknya lalu menghancurkan bumerang itu kembali seperti sebelumnya.


"Terlalu mudah," batinnya sambil tersenyum sinis. "Eh...? Ugh!!!"


Ya, terlalu mudah. Bahkan sangat mudah. Bumerang itu begitu rapuh! Sehingga begitu Lucia menghancurkannya, bumerang itu langsung pecah menjadi serbuk dan masuk ke matanya.


"Brengsek! Dia sengaja!" umpat Lucia, mengutuki tindakan Flager.


Selama beberapa menit Lucia bersusah payah mengeluarkan beberapa pecahan bumerang itu dari matanya hingga akhirnya ia merasa pecahan itu berubah menjadi seperti gas lalu terbang ke udara. Kini ia bisa melihat dengan jelas kembali.


Lucia cukup terkejut kala melihat Leon sudah terkapar tidak berdaya di tanah dengan luka yang parah pada dadanya.


"Apa yang terjadi?" pikir Lucia dengan wajah bingung. "Apa yang sudah orang itu lakukan?" pikirnya lagi sambil melihat ke arah Flager.


Ia tidak peduli, yang ada di pikirannya saat ini adalah membunuh Flager karena amarahnya begitu memuncak sejak Flager melukai pipi kanannya. Perlahan ia mulai maju mendekati Flager yang sedang berdiri mematung.


"Bajingan yang lumayan," komentar Lucia, diarahkan pada Leon. Ia cukup salut karena Flager mampu melumpuhkan Leon secepat itu. Flager langsung berbalik.

Mereka berdua berpandangan beberapa saat sebelum akhirnya Flager melirik ke arah Leon di belakangnya.


"Bunuh satu, lalu kembali ke tempat semula..." Flager mengulang kata-kata itu di hatinya. Ya, bunuh Leon sekarang lalu bergegas pergi dari tempat gila ini. Sederhana.


"Tidak semudah itu," ucap Lucia sambil menodongkan tongkatnya ke arah Flager, seolah-olah mengerti niat Flager selanjutnya. Tangan kirinya sibuk merapikan topi yang ia gunakan.


Flager kembali memandang ke arah Lucia, kali ini dengan tatapan tajam.


"Aku tidak memiliki urusan denganmu," ucap Flager tajam.


"Ya, tapi aku ada!" Lucia menyeringai lebar penuh amarah sambil mengelus pipi kanannya.


"Cih, begitu rupanya. Hal kecil yang membuat kesal bisa menjadi sebuah amarah!" Flager langsung berbalik, berniat untuk menghabisi Leon meskipun dirasanya ini terlalu kejam.


Lucia tidak membiarkan Flager begitu saja. Matanya segera melihat ke tanah, mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Batu. Sebuah batu sebesar setengah ukuran kepalan tangannya tampak di bawah sana, di dekat kakinya.


Lucia langsung mencuil batu itu dengan ujung kakinya lalu melemparkannya ke udara, dengan kekuatan penuh ia langsung memukul batu itu dengan tongkatnya ke arah Flager.


Headshot! Batu itu sukses mengenai kepala bagian belakang Flager, membuatnya langsung jatuh tersungkur ke tanah yang berlumpur. Ia langsung menggeram kesal, kedua telapak tangannya mengepal kuat. Perlahan Flager bangkit lalu menatap tajam ke arah Lucia, keinginannya untuk membunuh wanita itu begitu kuat.


Lupakan strategi dan rasa kasihan, persetan dengan risiko dan segala kemungkinan!


Flager langsung melesat cepat ke arah Lucia dengan pedang yang sudah direntangkan begitu lebar. Lucia sendiri sudah bersiap menyambut serangan Flager dengan kuda-kuda bertahan.


Dua logam akhirnya beradu lalu menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Kepadatan pedang Flager rupanya masih belum cukup tangguh menghadapi logam khusus tongkat pendek miliki Lucia, pedang itu langsung patah. Melihat hal itu, Flager langsung melebur pedangnya lalu menarik pedang baru lagi. Pertarungan jarak dekat di antara mereka berdua langsung terjadi.

Beberapa kali tubuh Flager harus terkena pukulan tongkat pendek itu. Begitu menyakitkan. Ditambah, cara bertarung Lucia cukup merepotkan karena wanita itu mampu memanfaatkan benda-benda yang ada di sekelilingnya dengan sangat baik untuk menjadi senjata. Bahkan salah satu serangan Lucia nyaris menghantam kepala Flager, namun serangan itu akhirnya meleset dan menghantam tanah hingga hancur.


Meskipun begitu, tetap saja, Flager masih di atas angin karena unggul dalam hal kecepatan. Tidak perlu repot-repot menggunakan senjata pengecoh lagi, ia cukup melesat menggunakan pereaksian energi Ghranz pada kaki ke samping Lucia lalu menusuk wanita itu tepat di jantung.


"Kau memilih lawan yang salah," bisik Flager dengan nada tajam ke telinga Lucia yang sedang sekarat.


"Kau memang bajingan," ucap Lucia sambil terbatuk-batuk mengeluarkan darah.

Dengan kasar Flager menarik pedangnya dari tubuh Lucia, membiarkan wanita itu jatuh mati ke atas tanah penuh lumpur.


Sesaat Flager tertegun melihat mayat Lucia lalu melirik ke arah Leon yang masih pingsan. Tidak, urusannya sudah selesai. Ia lebih baik pergi!


Flager menahan semua amarah dan nafsu membunuhnya lalu melesat pergi memasuki labirin, kembali menuju selatan.



-*-



Sjena mendekati Primo yang terkapar nyaris mati. Sejenak ia melihat luka parah pada pangkal tangan kiri Primo yang terus-menerus mengeluarkan darah.


Suara yang membuat pusing itu telah berhenti dan ia bisa melihat ada tiga orang—dua pria dan satu wanita—tengah bertarung serius tidak terlalu jauh dari tempat ia berada, tampaknya tidak terlalu memedulikan keberadaan dirinya atau memang tidak sadar karena sedang asyik bertarung?


[Sword]


Sjena memunculkan sebuah pedang di tangan kanannya, bersiap untuk menghabisi Primo.


"Inikah hukumanku? Karena aku sudah berbuat dosa?" ucap Primo lirih kala melihat pedang di tangan Sjena yang sudah bersiap menikam jantungnya.

"Upah dosa adalah maut..."


"Jangan banyak bicara di saat hampir mati," Sjena memberi saran yang sangat mengintimidasi.


"Ampunilah dia, Bapa, karena dia tidak tahu dengan apa yang sedang dia perbuat," ucap Primo sambil menarik napas.


"Aku tahu dengan apa yang kuperbuat. Aku membunuhmu, itu yang kuperbuat," ucap Lucia dingin berbarengan dengan gerakan tangannya yang menikamkan pedang itu ke dada Primo.



***



Beberapa Puluh Menit Kemudian...



Flager terengah-engah, nyaris seperti orang yang hampir mati. Tubuhnya sangat kelelahan luar biasa, efek menggunakan energi Ghranz begitu banyak, mentalnya begitu turun. Semua amarah tadi lenyap, digantikan dengan rasa bersalah yang terus menghantui dirinya.


"Sampai kapan kegilaan ini akan berlanjut?" gumamnya pelan, "inikah harga untuk sebuah kehidupan kedua?" ia mencengkeram kepalanya, berusaha membuang rasa bersalah yang dirasakannya.


Ia hanya bisa menggeleng pelan. Tiupan angin pantai membuatnya berhenti berpikir sejenak, menyadari dirinya sudah lama tidak pernah melihat pemandangan seperti ini. Jauh di ujung sana, tampak sebuah titik semakin membesar mendekat ke arahnya. Hvyt... yang ditunggu-tunggu sudah datang menjemput.



-***-



Beberapa Puluh Menit Sebelumnya...



"Udah aman?"


Ucup keluar dari balik gerobak setelah melihat Sjena berlalu begitu saja setelah menikam dada Primo. Dengan wajah khawatir anak itu mulai berjalan ke tengah halaman, di mana sosok ibunya muncul.


Selama beberapa saat ia mencari, tidak ada lagi sosok itu ditemukannya. Ucup hanya bisa mengumpat kesal sambil menahan perih pada tangan kanannya yang sudah putus. Ia tidak bisa menemukan sasaran untuk meluapkan amarah ini. Kepada tiga mayat ini? Itu tidak cukup.


Tiga? Hanya ada dua mayat. Ah, satu masih hidup. Ucup tertegun melihat salah satu dari tiga tubuh yang ada di situ masih bergerak, terutama pada bagian dada, seperti orang yang sedang tidur.


Perlahan itu mendekati tubuh yang terbaring lemah dengan luka di dada itu.

"Leon?" ucup mengenalnya dari foto dan nama yang ditunjukkan oleh Hvyt.

Ucup menyeringai lebar, kini ia bisa menemukan tempat untuk meluapkan amarahnya, terutama saat ia melihat pedang Leon tergeletak tidak jauh dari tubuhnya terbaring.


Ucup mengambil pedang itu dengan tangan kirinya lalu berjongkok di samping kepala Leon. Ia begitu bersemangat kala mengangkat pedang tinggi-tinggi itu lalu dengan sekali tebas berhasil memisahkan kepala Leon dari tubuhnya.



***





Song:

  1. Peterpan ~ Menghapus Jejakmu...
  2. Last Child ~ Diary Depresiku..

11 comments:

  1. ==Riilme's POWER Scale on Flager Ivlin's 2nd round==
    Plot points : B-
    Overall character usage : C+
    Writing techs : B-
    Engaging battle : B-
    Reading enjoyment : B
    ==Score in number : 6,0==

    Saya baca ini sampe akhir kepikiran, sebenernya ini bisa dibikin jadi sekedar Flager vs Leon aja, karena rasanya semua karakter lain yang dimunculin ga keliatan begitu relevan (apalagi Primo sama Sjena, yang kalo ga salah ga ada sangkut pautnya sama sekali sama Flager atau yang lain sepanjang cerita ini) - kebetulan nginget entri Nurin yang lumayan bagus tanpa perlu ngeluarin semua peserta satu pulau. Saya juga rada menyayangkan matinya Lucia di tangan Flager yang rada 'gitu aja'. Beberapa paragraf, terus dia mati. Kurang berkesan atau ada impact-nya, gitu.

    Lucu juga ngeliat lagi" di sini ada insert song kayak punya Reeh, apa ini ketularan dari Sjena juga? Dari segi battlenya meski rapi, saya pribadi bukan tipe yang demen battle head-on langsung, jadi buat saya berasa kurang bumbu. Satu lagi, kadang penggunaan awalan buat ngasih tau waktu kayak 'beberapa menit lalu' malah saya pikir ga dipake pun ga masalah kalo alurnya normal (di bagian terakhir bikin saya mengernyitkan dahi juga, 'beberapa menit lalu...', 'beberapa menit setelahnya...')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih komentarnya.. ^_^ saya akui, ronde 2 ini benar2 berat karena jumlah OC ada banyak dalam satu cerita..

      benar, adegan paling terakhir saya akui benar2 payah karena saya buat "seadanya" karena kehidupan real life saya lg menjempit (tugas kuliah + laporan praktikum menumpuk) dan diketik tengah malam.. harusnya pertarungan terakhir melawan Leon adalah battle "pamungkas" canon ini, tapi mendadak alurnya berubah kok malah jd ngelawan Lucia.. --"

      selebihnya memang benar2 kekurangan saya dalam kemampuan menulis dan membuat konflik.. semoga di R3 bisa lebih baik lg..

      Delete
  2. Wah penggunaan skillnya Sjena detail abis, makasi yo udah berkenan baca charsheet yg super ribet itu >.<

    Review dimulai deh.

    Plot : Awal2 plot kurang begitu menarik rasanya. Waktu adegan awal berupa pertarungan entah knp kurang nge-hook buatku. Lalu flashback adegan di Jagatha Vadhi itu referensi canonnya Leon ya xD, semua orang jatuh cinta sama Mba nih xD

    Tapi semakin ke belakang, plotnya semakin asik buat diikutin. Aku suka konsepnya, dimana semua karakter digiring jadi satu ke satu tempat lalu penghabisan dimulai. Tensi yang nggantung di akhir POV pun rasanya agak ngganjel tapi ga jadi masalah buatku sih.

    Btw ini typo ya?
    ["Aku tahu dengan apa yang kuperbuat. Aku membunuhmu, itu yang kuperbuat," ucap Lucia dingin berbarengan dengan gerakan tangannya yang menikamkan pedang itu ke dada Primo.]
    Harusnya itu Sjena kan?


    Karakter : Untuk Sjena, sarkasnya lumayan.
    Namun rasanya karakter2 kurang begitu tergali. Buatku terasa masih kurang begitu terasa feelnya. Ini IMHO sih.
    Kemarahan dalam bentuk pure rasanya kurang begitu masuk ke dalam karakter. Karena nggak ada 'trigger' yg memicu kemarahan mereka.

    Oke, Ucup sendiri dapet triggernya, namun sayang, adegan itu kurang feelnya. Harusnya bisa dibuat lebih dramatis lagi disana, masukan detail2 perasaan Ucup yg rindu pada ibunya, terus bisa ditambah "pesan terakhir" dari ibunya sebelum dia hilang dan Ucup marah.

    Untuk karakter lain, kemarahan disini masih sebatas "pikiran2 gila" dan masih blm bisa sampai kepada pembaca.


    Battle : Pacenya cepet banget, lack of detail. Battlenya sebenarnya oke, namun flownya terlalu cepat, pukul-tendang-hindar-pukul. Dan sayangnya aku sendiri kurang dapet battlenya, dan ketika si A terkena serangan, aku baru balik ke paragraf sebelumnya dan mencari2 detail apa yg terlewat tadi.

    Lack of emotion juga bikin battle disini kurang begitu melekat di hati pembaca :(
    Kurangnya penggalian tentang emosi karakter saat battle membuat battle ini masih terkesan plain buatku. Ini IMHO ya :D

    Primo dan Ucup tangannya putus tapi mereka terkesan nggak berasa apa2, dan masih bisa beraktivitas setelah itu tanpa musti terganggu banget dgn tangan yg putus.

    Saranku buat Author, saat bercerita dgn karakter orang lain. Bukan hanya 'how do i fight', tapi juga Author harus bisa masuk ke dalam karakter ini dan mengembangkan pikiran menjadi 'how do i feel' dan 'how do i think'.

    Lalu juga diksi. Kurangnya kata2 yang menarik membuat tulisan ini terkesan plain. Nggak musti kata2 indah, atau kata2 rumit yg artinya cuma bisa diketahui dari kamus. Tapi gimana sebuah jalinan kata bisa menarik pembaca, itu yg kurang menurutku.


    Technically, tulisan ini oke. Hanya kurang di karakterisasi dan diksi menurutku. Author belum menemukan style yg benar2 spesifik dan menarik. Membaca ini berasa kayak baca novel terjemahan (well, aku pernah sih baca tapi lupa..nah itu dia..ceritanya masuk sih tapi kata2nya nggak memorable dan perlahan terlupakan).
    Itu kenapa aku nggak suka baca novel terjemahan, meski orang2 bilang ceritanya bagus, difilmin ato blabla
    Tapi tata bahasanya nggak memorable buatku yg lebih nyari kepuasan (in a different way)

    Soal style, itu sih bakal dapet seiring waktu. Practice makes perfect!
    Review ini hanya didasarkan dari opini pribadi. Nggak ada maksud apa2 dibalik ini selain mengharapkan Author bisa improve lebih dari ini. Aku sendiri juga masih banyak perlu latihan kok xD

    Dariku 7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. waaa... rasanya jd "terbakar" semangat pas baca komentar ini.. saya akan coba improve lg kemampuan menulis saya terutama dalam jalinan antarkata.. T_T

      Eh, iya, typo kayaknya.. XD lg pusing gara2 diketik jam 12 malam, gak nyadar..

      terima kasih komentarnya.. kutipan di bawah ini bakal jd penuntun untuk cerita R3 nantinya..


      Saranku buat Author, saat bercerita dgn karakter orang lain. Bukan hanya 'how do i fight', tapi juga Author harus bisa masuk ke dalam karakter ini dan mengembangkan pikiran menjadi 'how do i feel' dan 'how do i think'.

      Delete
  3. Leonnya kereeennnn >.<
    Leonnya kereeenn... Menurut Umi karakterisasinya keren. Walaupun Primo kurang sih, tapi overall karakterisasinya dapet. Ucup yang bocah, Primo yang punya ketahanan tinggi menahan emosi, Sjena juga kerasa bringasnya >.<

    Umi kasih 6/10 deehhh >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya jd ngerasa malah Leon yg tokoh utama di canon ini.. --"

      Delete
  4. Aduh Hika...
    **Nangis terharu**

    Ini ketiga kalinya ada yang menggarap char Leon melebihi pengarangnya sendiri. Sementara ane yang selaku selfinsert malah nggak pernah memasukkan detail tentang Fia di tiap cerita, tapi beberapa orang malah sukses membangun emosi di dalam sana.
    DX

    Semua komentar ane bakalan subyektif, karena battle yang ditonjolin benar-benar Flager vs Leon. Dan setting kematian Leon yang wah itu menjadi nilai tersendiri buat ane.

    Sayang sekali ane gak bisa ngasih nilai, karena emang udah bersumpah (??) buat gak ngasih nilai ke rekan2 satu pulau (abisnya subyektif semua sih). Padahal sebenarnya ingin sekali ngasih nilai sempurna minus satu.
    XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. harusnya jadi Final battle pamungkas sih.. tapi gara2 ditulis waktu tengah malam (pas kita lg chat di FB itu), rada error ni otak.. jadinya agak payah pas ending. kurang greget..

      ahaa, ditunggu canon dari Leon~ XD

      Delete
  5. sama kayak R1.
    cara penulisanmu itu terlalu runut, dan actionnya memiliki detail yang sebenarnya salah sehingga terlalu bingung untuk digambarkan.

    Final Verdict: (Rival) jadi saya gak ngasih nilai!

    ReplyDelete
  6. saya gak bisa komentar banyak, sudah diwakili semua sama yang diatas...
    anyway, semoga canonnya bisa dibuat lebih menarik

    6/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -