Pages

April 14, 2014

[ROUND 1 - I] LUNA ARACELLIA - FIRST DAY OF DARK MOON

[Round 1-I] Luna Aracellia
"First Day of Dark Moon"
Written by Karina Lazuardi

---

First Day of Dark Moon: Beginning.

Part 5, Scene 1

Luna terbangun dan mencium bau amis darah. Tentu saja. Tak mungkin ia melupakan bau yang familiar. Darah itu berasal dari mulut dan hidungnya, bagaimana mungkin ia tidak merasakannya?

"Aku, selamat?"

Luna memandang sekelilingnya. Buram. Hanya bebatuan dan rerumputan yang ada di sekelilingnya. Tampak jasad seseorang berada di sana, tak terurus. Mati.

Luna mencoba bangkit, tetapi tak bisa. Saat itu, ia mengetahui bahwa tubuhnya tak lagi bisa digerakkan. Bertahan hidup setelah jatuh dari lantai setinggi itu adalah hal yang mustahil, maka hal ini adalah suatu keajaiban yang luar biasa.

Luna kembali memandang langit. Tak ada rembulan, juga bintang-bintang. Sesosok makhluk bersayap perlahan muncul dan mendarat di sampingnya.

Makhluk itu mengucapkan sesuatu yang sulit dipahami.

Luna terdiam. Ia memang tak bisa menggerakkan tubuhnya, akan tetapi ia masih bisa bicara. Hanya saja, ia tak tahu harus berkata apa. Segala pertempuran yang telah dilalui membuat dirinya lelah.

"Adakah sesuatu yang ingin kau tanyakan?" Kali ini, makhluk bersayap menanyakan sesuatu yang lebih mudah dimengerti.

Luna hanya memejamkan matanya.

Part 1, Scene 1

Luna membuka matanya. Sebuah desain interior yang familiar terpampang jelas dalam penglihatannya.

Luna mencoba bangkit. Hampir seluruh bangunan itu telah tertutupi oleh debu. Namun, Luna tak ambil pusing. Baginya, hal terakhir yang diingatnya adalah bagaimana saat ia mati. Sebuah truk yang menabraknya tanpa basa-basi. Atau juga darah yang mengucur deras dari orang-orang yang dibunuhnya tanpa ampun.

"Mengapa aku masih mengingat hal itu?"

Luna kembali menggerakkan tangannya. Dan ia tahu, ini bukan mimpi.

Dengan satu gerakan ringkas, ia mengambil sebuah senapan sniper yang berada di sampingnya. AMW-F seri terbaru. Jenis yang sama seperti yang digunakan dalam perang Afghanistan dan Iraq. Akan tetapi, ia memilih senapan yang dibuat oleh Jerman itu karena peredam suaranya yang lebih baik dibanding seri sejenisnya (setidaknya menurut pendapatnya). Untuk amunisinya, ia lebih senang mengambil peluru yang bisa ditembak dalam jarak lebih jauh, Lapua Magnum kaliber 0.388.

Luna meraba-raba sakunya. Benda itu masih berada di sana. Seharusnya, dengan semua persiapan itu, ia tak akan kesulitan membunuh setiap orang yang mencoba mengusiknya.

Luna merapikan perlengkapannya. Ia memilih naik ke atas bangunan ini. Dua puluh empat lantai yang penuh dengan debu. Dalam hati, Luna berharap agar asmanya tidak kambuh saat ia mencapai lantai teratas.

Jaket hitamnya melambai pelan saat dirinya mulai hilang dari pandangan.

Part 2, Scene 1

Beberapa ratus meter dari bangunan tua itu, seorang wanita duduk di bangku taman. Lampu-lampu sudah menyala sejak tadi. Tak ada orang walaupun seharusnya taman itu biasa dikunjungi anak-anak muda dalam waktu ini.

Seekor lalat terbang menuju lampu taman. Tentu saja, lalat itu akan hangus terbakar karena panasnya lampu. Beberapa detik setelah lalat itu hangus, seekor lalat yang lain ikut terbang menuju lampu tersebut.

"Hahaha… itu yang terjadi jika kau tidak punya otak!"

Wanita tersebut tertawa sendiri. Ada seorang pria kantoran yang sempat lewat melintasinya, tetapi orang tersebut tidak mengacuhkannya.

Wanita itu menjadi jengkel. Segera saja ia menggerakkan tangannya ke arah orang itu.

"Aaarrggghhh…."

Orang itu menjerit kesakitan. Seluruh tubuhnya tampak kaku. Mulutnya mengeluarkan busa putih yang segera saja berubah menjadi merah. Matanya sudah terbalik ke atas; hampir tidak mungkin lagi melihat kornea matanya yang berwarna hitam. Seekor lalat tampak berlalu darinya.

Wanita tersebut mendekati pria itu dengan paras orang mati. Ia menggenggam rambut orang itu dengan kasar, lalu menghantamnya ke trotoar.

"Dasar! Lihat ke mukaku jika ingin berjalan! Minta izin sana!"

Wanita itu masih saja berteriak kesetanan. Pria tersebut masih menjerit kesakitan.

Setelah puas, wanita itu akhirnya berhenti. Ia memilih duduk dan menggerak-gerakkan tangannya. Pria itu sudah berhenti berteriak. Namun, kali ini, justru pria itulah yang menatap wanita itu dengan paras orang mati.

Wanita itu menggerakkan tangannya ke arah lampu taman. Orang itu mengikuti.

Lalu, pria malang itu memukul-mukulkan kepalanya ke tiang lampu taman. Wanita itu kembali tertawa.

"Hahaha… kau sama saja dengan lalat itu! Tak punya otak!"

Wanita itu tak berhenti tertawa. Ia bahkan tak menyadari, perbuatannya telah menarik banyak orang. Siapa yang tak penasaran melihat seorang pria kantoran, dengan tubuh penuh darah, menghantamkan kepalanya sendiri ke tiang lampu taman.

"Kyyaaaaa!!!"

Seorang perempuan paruh baya menjerit di tengah kerumunan. Wanita itu berhenti tertawa. Ia melihat sekelilingnya.

Lampu taman itu pecah. Karena tak ada bulan di langit, praktis tak ada yang menerangi tempat itu. Bintang-bintang pun tidak. Namun, dengan cahaya seadanya dari gedung-gedung kota itu, ia dapat melihat dengan jelas, kepala pria itu telah rata dengan tanah. Serpihan daging yang tersisa mengeluarkan bau asap gosong bercampur dengan sedikit mesiu.

Wanita itu masih terdiam. Lalu ia berkata pelan.

"Tunggu saja pembalasanku, wahai orang yang berani menghancurkan bonekaku."

Part 2, Scene 2

Bulu-bulu hitam berjatuhan dari langit. Ada seorang anak yang memungutnya, lalu membiarkannya lagi. Tampaknya ia sudah lupa dengan bulu itu.

Pria itu melihat ke sekitarnya. Tidak ada orang-orang yang bertingkah aneh atau lainnya. Banyak orang lain yang hanya lewat begitu saja, tanpa menyadari ada sesuatu yang aneh beterbangan di atasnya.

"Wanita tadi. Apa yang ia lakukan dengan lalat-lalat itu?" ujarnya tak mengerti. Kata-katanya merujuk pada seorang wanita yang berteriak-teriak histeris di sebuah bangku taman. Anehnya, pandangan orang-orang lain justru tertuju pada percikan darah yang perlahan menghilang dari taman itu.

"Sepertinya apa yang diucapkan orang itu benar adanya."

Ini dunia mereka, bukan dunia orang-orang itu. Mereka yang tak punya urusan tak berhak ikut campur. Dan mereka pun juga tak berhak melihat atau merasakan apa yang mereka alami saat ini. Memang tak ada gunanya juga, jika mereka ingin hidupnya selamat.

Pria itu kembali melihat langit. Tidak ada bulan sama sekali. Bintang-bintang hanya sedikit yang tampak di langit.

"Manusia itu sepertinya tidak mengerti dengan semua ini. Bukankah begitu, Thurqk?"

Sosok yang dimaksud tentu saja tidak berada di sana. Ia sedang mengamati mereka, entah di dunia mana. Mungkin saja, sosok yang mengaku "Tuhan" itu sedang tertawa terbahak-bahak sambil memutar-mutar seorang pria culun di kursi putarnya.

Pria itu tidak ambil pusing. Ia lebih tertarik pada kumpulan orang yang sedang memaki-maki dengan bahasa yang sulit dipahami.

"Bahasa Urdu. Tak kuduga, para imigran itu bisa juga menjejakkan kakinya ke tempat ini. makhluk haram itu…" gumamnya sambil memerhatikan seseorang yang memakai baju hitam. Tampak ia berusaha menjejalkan satu bungkusan besar ke kantung bajunya yang kekecilan.

Pria itu bersungut-sungut. Barang yang dimaksud sama haramnya dengan keberadaan orang-orang itu.

Ia sebenarnya tak ingin ambil pusing. Baginya, kembali dibangkitkan ke dunia ini merupakan satu pengalaman yang aneh—juga sulit dilupakan. Terlebih bagi seseorang yang telah akrab dengan kematian dan telah merasa bosan dengannya.

Namun, orang-orang itu masih saja mengganggu pikirannya. Kali ini, ia melihat kumpulan orang-orang itu mendekati dua orang anak perempuan. Salah seorang diantaranya memang tak terlihat ketakutan, tetapi tetap saja, berkerumun dengan niat seperti itu bukan hal yang baik untuk dilakukan.

Pria itu ingin menolong, tetapi yang terjadi di hadapannya justru merupakan sesuatu yang tak pernah dibayangkannya.

Salah seorang di dalam kerumunan itu terjatuh. Kepalanya pecah. Anak perempuan itu melompat mundur ke belakang. Orang-orang yang lain berteriak ketakutan.

"Lagi! Orang itu melakukannya lagi!"

Kali ini, pria itu yang kembali terheran-heran. Saat berada di Jagatha Vadhi, ia sempat melihat seorang anak perempuan menghancurkan sebuah pohon merah. Ia juga sempat menghancurkan tangan seseorang dengan sebuah senapan sniper. Rumor juga mengatakan bahwa anak tersebut dahulu juga menjadi penghuni tetap kota ini.

Thurqk telah memberikan titah. Sangat jelas, dan mereka seharusnya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan saat ini. Battle royale. Saling hantam. Bukan membunuhi orang-orang lain yang tidak masuk dalam urusan mereka.

Baru saja pria tersebut memikirkan hal itu, percikan darah kembali melintas di hadapannya. Bedanya, darah tersebut kini berasal dari tangan kirinya yang hancur.

Dalam sepersekian detik, ia memutar tubuhnya 90 derajat. Ia tidak ingin benda itu rusak, bahkan sebelum pertarungan itu dimulai. Peluru itu terus melaju hingga menghantam sebuah gedung. Beberapa saat kemudian, ia mendengar bunyi seperti kaca pecah.

"Nyaris saja," katanya kesal. Rupanya ia sudah masuk dalam area berburu sang pembunuh.

"Hahaha… aku anggap ini sebagai kata-kata terakhir sebelum aku mencabut nyawamu, anak kecil!" katanya sambil berlalu. Ia masih sempat melihat pemandangan kota di bawahnya, sebelum menghilang di tengah kegelapan malam.

Part 2, Scene 3

Seorang anak perempuan berambut putih tampak berlutut ketakutan. Ia nyaris saja mati jika seseorang berbaju hitam tidak berusaha menggoda anak perempuan lain yang ada di sampingnya.
Mereka sama-sama berlutut. Dan mereka sama-sama ketakutan. Walaupun mereka berasal dari dunia yang berbeda.

"Kamu tidak apa-apa bukan?" kata seorang laki-laki. Dari ekspresinya, tampaknya orang itu tidak memiliki niat buruk kepada mereka.

Anak perempuan itu mengulurkan tangannya.

"Ya, aku tidak apa-apa. Terima kasih banyak…"

Anak perempuan itu terdiam. Ya, ia terdiam. Karena laki-laki itu mengambil tangan anak yang salah—ya, anak perempuan di sampingnya juga mengulurkan tangannya. Lalu ia tersenyum.

"Apakah aku juga masih boleh berharap di dunia ini? Dunia yang sama sekali tidak menganggap kami ada sama sekali? Apa sebenarnya yang kau inginkan, Thurqk?"

Namun, tak ada seseorang yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Juga tentang pertanyaan yang disimpannya sebelum ia mati.

Ia mengamati selongsong peluru yang berada di tanah. Tak salah lagi, ini pasti berasal dari orang yang berusaha membunuhnya.

"Kaliber besar. Peluru ini memang tidak akan menembus perlindungan-ku, tetapi jika ia menyerang seperti tadi, kepalaku mungkin bisa saja jadi harta karun—sesuatu yang hilang dan tak mungkin ditemukan kembali."

Anak itu telah berhasil menguasai dirinya. Kali ini, ia mencoba bangkit. Baju hitamnya melambai-lambai ditiup angin.

"Akan tetapi, malam ini gelap sekali."

Kerumunan orang yang ada di hadapannya sudah lama bubar. Tak ada orang lagi yang melintas di hadapannya.

"Kau rupanya paham juga dengan nilai sebuah nyawa, Thurqk? Menghilangkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan pertarungan kami?"

Angin berhenti berhembus. Sepertinya, Thurqk menyaksikan segala yang mereka perbuat.

"Dasar dewa tua," katanya sambil tersenyum. Tentu saja, tak ada seorang dewa pun yang masih butuh makhluk hidup untuk menyalakan komputernya. Anak itu sepertinya bersimpati dengan pria berkacamata yang selalu saja dibentak-bentak oleh sang dewa.

Ia kini percaya—juga dengan seluruh kenyataan yang ada di depan matanya. Namun, ada satu hal yang mengganjal di pikirannya hingga saat ini.

Mengapa monyet itu tidak menyerangnya sejak tadi?

Ia tahu itu—tak mungkin ada orang yang bisa mengabaikan sesosok makhluk setinggi 2.5 meter yang menggenggam setandan pisang di tangannya. Apalagi jika ia berdiri tegak di tengah perempatan lampu merah sambil menyanyi tak jelas (tapi suaranya bagus, setidaknya menurut pengakuan anak itu beberapa hari kemudian). Dan sosok itu juga sempat melirik kepadanya.

"Mengapa ia mengabaikanku?" katanya kesal luar biasa.

Ia menendang sebuah kaleng kosong—mungkin sampah yang dibuang sembarangan oleh kawanan pria berbaju hitam tadi. Tendangannya tepat mengenai seseorang yang ada di depannya.

"Aduh. Siapa yang iseng melempar kaleng sih?" Orang tersebut tentu saja tak melihat bahwa anak itulah yang sebenarnya menendang kaleng kepadanya, bukan melempar.

Tetapi, anak itu menutup mulutnya. Bukan karena tendangannya tepat mengenai orang itu, tetapi karena ia melihat kilatan cahaya berwarna kuning dari pinggir kota. Dan saat itu, ia menyadari kesalahannya.

Pertarungan tersebut bukannya belum dimulai. Memang tak ada yang dimulai lagi, karena semuanya telah dimulai sejak mereka menginjakkan kakinya di tempat ini.

Tempat dimana sang pembunuh menghabisi musuhnya.

Part 2, Scene 4

Di sebuah perempatan lampu merah, sesosok pria tinggi tampaknya meninggalkan sebuah pembukaan yang menarik.

"Aku tak bisa melihat wanita itu lagi…" gumamnya sambil melihat ke sebuah taman. Ia memilih menaiki lampu lalu-lintas yang ada di sana. Percikan darah di taman itu sudah lama hilang, demikian juga dengan lalat-lalat dan wanita itu. Tak ada lagi orang-orang yang berada di sana.

"Hm… sepertinya mereka sudah bergegas ke gedung itu. Memang, tempat yang cocok untuk bersembunyi bagi seorang pembunuh."

Monyet itu turun sembari memikirkan seseorang yang melayang-layang di atasnya beberapa waktu yang lalu.

"Sayap hitam itu, berbeda dengan para babu Thurqk yang selalu saja terbang sembarangan di atas langit merah. Apa yang dilakukan malaikat yang telah mati di sini?"

Ia juga memikirkan seorang anak perempuan berambut putih yang ketakutan setelah peluru tersebut gagal membunuhnya.

"Anak perempuan itu selamat juga rupanya. Dia sungguh beruntung," katanya dalam hati sambil merujuk pada orang berbaju hitam yang hancur kepalanya ditimpa timah panas. Sebenarnya, mereka sempat berpapasan, tetapi monyet itu terlalu nervous untuk mengajak anak perempuan itu berbicara.

Baru saja ia ingin berjalan ke gedung tua itu, ia mendengar suara letusan dan kilatan cahaya berwarna kuning dari gedung itu. Ia memang beberapa kali melihat kilatan cahaya, tetapi ia baru sekali ini mendengar suara letusan.

"Hohoho, rupanya anak itu serius juga. Melepaskan peredam suaranya. Anak itu benar-benar tak takut mati."

Kali ini, ia mendengar suara letusan itu lagi, diikuti dengan bunyi seperti bebatuan yang runtuh.

Tak lagi terdengar bunyi tembakan. Tak ada yang berubah dari gedung itu.

Dan saat itu, monyet itu menyadari. Pembunuh itu telah berhasil menghabisi nyawa targetnya.

Orang itu tersenyum. Lalu berkata pelan kepada seseorang yang mengamati pertarungan mereka dari jauh.

"Kau berkata hanya akan menerima pertarungan yang menarik. Lihat semua ini. datar, membosankan. Apa yang menarik dari seseorang yang bersembunyi di tempat gelap dan menghabisi musuhnya satu-satu?"

Angin berhembus. Ia tahu bahwa Thurqk tidak mengharapkan komentar darinya. Hanya dia—sang dewa—yang berhak menentukan, pertarungan ini menarik atau tidak baginya.

"Ah, sudahlah. Aku juga tak mau peduli." Ia pun mengambil sebuah seruling dan menyanyikan sebuah lagu balada. Sebuah ungkapan duka atas berpulangnya nyawa seseorang, kembali ke asalnya.

Part 2, Scene 3.5

Forsaken building, beberapa waktu sebelumnya.

Bangunan itu masih tampak berantakan seperti sebelumnya, Namun, di sisi timur bangunan, tampak beberapa kristal yang hancur berkeping-keping dengan longsongan peluru di sekitarnya. Asap mengepul dari bebatuan itu, menandakan jejak pertarungan itu masih baru. Tak jauh dari sana, seorang anak perempuan berambut putih tampak kesal. Pakaiannya sama berantakannya dengan bangunan itu dan sungguh tidak sopan dilihat.

"Keluar kau, pengecut!" teriak anak perempuan itu yang segera dijawab dengan satu tembakan di dadanya.

"Kau hanya berani bermain kucing-kucingan dari dalam gedung gelap. Jika kau berani, hadapi aku satu-lawan-satu!"

Kali ini, sebuah tembakan menghantam kepalanya. Ia terhuyung sejenak. Bagaimanapun kuatnya lapisan batu igneus yang melapisi tubuhnya, tetap saja ia tidak dapat mencegah peluru tersebut meluncur dengan sangat cepat kepadanya.

Luna memilih diam. Prinsip utama seorang pembunuh sepertinya, jangan pernah terprovokasi dengan pancingan musuh. Apalagi, saat ini, ia tak mungkin bertarung dengan benda yang ada di sakunya. Ia hanya berharap dengan peluru senapan yang masih tersisa banyak di sampingnya.

"Kecepatan angin: 30 km/jam dari arah utara. Kecepatan peluru: 1150 m/s."

Ia menembakkan kembali peluru kaliber tinggi itu ke arah anak perempuan itu—yang secara kebetulan juga memiliki warna rambut yang sama dengannya. Anak itu kembali terhuyung.

"Berani-beraninya kau menghadapiku, Celestia Hang, dengan mainan anak-anak seperti itu? Kurang ajar!"

Sebuah makhluk bangkit dari bebatuan yang ada di sampingnya sebelum dihancurkan berkeping-keping oleh peluru Luna. Cel pun akhirnya gusar juga melihat pertarungan yang stagnan ini. Ia mencabut dua pedang yang ada di pinggangnya. Sebuah peluru kembali menghantam kepalanya, tetapi kali ini ia berhasil mempertahankan posisinya.

"Saatnya kau mati, tikus kecil."

Celestia berjalan ke dalam gedung. Luna yang telah mengantisipasi semua itu meninggalkan semua peralatannya. Ia tak mungkin berada di sana terus sambil berdiam diri selama lima menit. Jika ia berhasil bertahan, peluru-peluru pun tidak akan bisa menembus perisai yang melapisi seluruh tubuhnya.

Ah, andai saja pria berbaju hitam itu tiba-tiba tidak menghalangi pandangan teleskop sniper-nya, Celestia pasti sudah mati duluan. Dan ia tak perlu lagi membuat strategi untuk merubuhkannya di gedung ini.

Bulan memang tak bersinar malam ini. Namun, ia memiliki keuntungan lain. Gedung dengan 24 lantai. Tak ada jebakan di sini—siapa juga orang yang ingin datang ke sini—tetapi bukan berarti Luna tak dapat memanfaatkan seluruh bagian dari gedung ini. Bertarung dengan menggunakan senjata jarak jauh telah memaksanya memikirkan cara lain untuk bertahan hidup, sementara para musuhnya selalu berusaha mendekat untuk membunuhnya.

***

Celestia telah berada di lantai ketujuh. Tampak sebuah lukisan tua berada di dindingnya. Seperti lantai-lantai sebelumnya, seluruh tempat ini diselimuti debu. Celestia mulai terbatuk-batuk.

"Sial!" umpatnya sambil merobek sedikit dari pakaiannya dan menempelkannya ke hidungnya. Ia terengah-engah karena kelelahan. Selain karena ia harus mencari sang tikus kecil yang bersembunyi di seluruh bagian gedung, ventilasi tempat ini juga tak seluruhnya baik.

Celestia kembali menaiki anak tangga. Pada lantai ke-9, ia melihat selongsong peluru yang masih hangat saat dipegang. Celestia memandang sekitarnya dan menemukan satu set senapan sniper, lengkap dengan peluru dan alat-alat lainnya.

"Rupanya ia membidikku dari tempat ini," katanya sambil memerhatikan desain interiornya. Tak ada apa-apa di sini. Dari dalam gedung, ia dapat melihat bagian bawah gedung dengan cukup baik. Tempat ini rupanya menjadi spot point yang sangat baik untuk mencegah musuh naik ke bagian gedung yang lebih tinggi.

Dengan satu gerakan, ia memanggil makhluk yang terbuat dari batu—Amethys—dari langit-langit gedung. Bebatuan itu rubuh dan menimpa senapan itu hingga hancur. Namun, mesiu yang ada pada senapan itu bergesekan dengan bebatuan yang rubuh dan menimbulkan ledakan yang cukup besar. Celestia tersentak.

"Setidaknya, ia tidak dapat lagi menggunakan senapannya untuk membunuhku. Dasar!" ujar Celestia yang masih terbatuk-batuk karena debu mengepul hebat dari ruangan itu.

***

Luna mendengar suara ledakan. Sesuai prediksinya. Orang-orang yang terbakar emosi akan menghancurkan apapun yang berkaitan dengan musuhnya.

Luna tidak terlalu bodoh untuk meninggalkan senapan sniper-nya di sana tanpa mempersiapkan beberapa senapan cadangan yang dapat diambil dari ruang rahasia di gedung itu. Dari lantai ke-13, Luna dapat mengintai seluruh pergerakan Celestia dari teleskop senapannya. Ia dapat melihat sedikit retakan pada lapisan perisai itu.

Semua masih sesuai dengan teori dan prediksinya. Akan tetapi, ia harus membuktikan satu hal lagi. Sementara, ia masih belum mengetahui kapan kedua makhluk itu akan datang ke tempat ini.

Sebelum mereka datang, penyihir batu ini harus disingkirkan terlebih dahulu.

***

Celestia kini berada di lantai ke-15. Di tempat ini, penerangan jauh lebih baik dari lantai-lantai sebelumnya. Sebuah lampu pijar menyala di atas meja. Di bawahnya, terdapat beberapa tumpukan kotak yang tak jelas gunanya untuk apa. Di meja itu juga, Celestia dapat melihat sebuah kertas.

Selamat datang di rumahku. Luna.

Celestia kembali kesal luar biasa karena merasa dipermainkan. Ia kembali memanggil Amethys dari langit-langit gedung dan menghancurkannya tepat di atas meja itu. Namun, meja itu kembali meledak. Beberapa bagian dari meja itu mengenainya, diantaranya terasa basah seperti air.

"Sial," umpat Celestia. Ia tercengang, bagaimana anak yang dipanggil Luna itu bisa mempermainkannya sejauh ini. Dalam pikirannya, ia sempat mengingat masa lalunya. Ethan dan Evan.

"Bukan saatnya untuk memikirkan hal ini," ujarnya dalam hati. Lebih penting untuk menghabisi nyawa anak itu sebelum semuanya terlambat.

***

Luna menyambutnya dengan hunusan senapan di lantai ke-19. Celestia pun tersenyum.

"Terima kasih sudah menyambutku, Luna. Aku terkesan dengan sambutanmu. Sembilan belas lantai yang penuh debu dan jebakan kecil. Kau tidak berpikir tentang makeup-ku? Berani-beraninya kau!" teriak Celestia. Napasnya tersengal-sengal.

Luna masih terus terdiam sambil membidik Celestia.

"Ho… rupanya kau tidak takut mati. Baik, sebagai hadiah untukmu, aku biarkan kau menembakku satu kali saja. Setelah itu, pedangku ini yang akan menghabisiku.

Luna masih tetap membidik Celestia dengan senapannya.

"Baik, jika kau tidak mau memulainya, maka aku yang akan menyelesaikannya."

Dengan satu gerakan cepat, Celestia mengambil ancang-ancang dan mulai berlari ke arah Luna. Namun, saat Luna menghentakkan kakinya ke lantai, saat itu pula Luna menarik pelatuknya.

Peluru itu melesat dan tepat menghantam dada Celestia. Perisai igneus yang melapisi tubuhnya tetap kokoh, hingga peluru tersebut mengenai perisai tersebut. Peluru itu terpental, tetapi efek retakan yang dihasilkannya cukup besar. Celestia terpelanting ke belakang.

"Rupanya perhitunganku salah," ujar Luna tetap tenang.

Luna melemparkan sebuah kotak yang sejenis dengan kotak yang dihancurkan Celestia di lantai ke-15. Ketika kotak tersebut mengenai Celestia, Luna menembak kotak tersebut. Walaupun singkat, kotak tersebut meledak dengan dahsyat.

Perisai amethyst itu berguguran di lantai. Celestia terjerembab.

"Hingga saat ini, aku tak tahu hal apa yang dapat menghancurkan perisaimu. Aku hanya mencoba berbagai macam hal—dan kebetulan kombinasi ini yang paling cocok. Ledakan dari kotak accumulator, siapa yang menyangka perisaimu bisa hancur dengan itu?"

Luna merapikan rambutnya yang agak berantakan.

"Kamu pasti bertanya, kenapa aku bisa menemukan kelemahanmu? Aku juga tidak menyadarinya sampai berada di lantai ke-9. Pelindung tubuhmu rupanya bereaksi dengan karbondioksida, gas yang kamu keluarkan dari napasmu. Memang tak banyak, tetapi itu sudah cukup untuk mmebuat lingkungan asam dan membuat sedikit retakan di perisaimu. Ternyata gedung yang tinggi dan berdebu ini juga membuatmu kehabisan napas ya?."

Luna mengambil napas. Lalu ia tersenyum.

"Kamu pikir aku tidak melakukan apa-apa dengan senapan sniper itu? Mesiu yang meledak itu juga menghasilkan sedikit asam yang bersifat korosif. Dan teoriku benar saat percikan air aki itu membasahi tubuhmu. Sekarang, mengapa kita tidak berdamai saja dengan kenyataan? Kamu bisa menyerah dan meninggalkan tempat ini dengan tenang. Sekarang rumahku jadi berantakan. Aku jadi sedikit emosi."

Luna berjalan ke arah Celestia. Celestia mencoba bangkit. Seluruh tubuhnya kini dipenuhi rasa sakit. Saat itu, Celestia kembali mengingat masa lalunya.

"Aku… harus… aarrgghh!!!"

Dengan satu ucapan mantra, Celestia mengangkat tangannya. Seluruh lingkungan yang ada di sekitarnya berubah menjadi batu.

Celestia berjalan perlahan. Pandangannya buram. Sekujur tubuhnya kini menjadi semakin sakit. Butuh beberapa lama baginya untuk berjalan menghampiri Luna.

Ketika ia akan mengangkat pedangnya, Celestia merasakan sesuatu yang aneh dari perutnya. Lalu, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang luar biasa banyak. Tangannya menjadi gemetar dan tak mampu lagi menggerakkan pedangnya. Pedang itu kini jatuh ke tanah.

"Medusa." Luna telah dapat menggerakkan kembali tubuhnya. "Untung saja aku memikirkannya. Jika aku tak pernah mendapatkan kemampuanku dari cahaya bulan, aku mungkin saja tak percaya dengan sihir atau semacamnya."

Celestia mencoba mengucapkan sesuatu, tetapi darah yang justru keluar dari mulutnya.
"Kamu menggunakan sihir yang berkaitan dengan batu," kata Luna seolah mengerti apa yang ingin diucapkan oleh Celestia. "Dan salah satu sihir paling menakutkan yang berkaitan dengan batu adalah kutukan ini. Monster berambut ular yang membuat orang-orang yang ditatapnya menjadi batu."
Darah segar masih terus mengalir dari mulut Celestia.

"Tak ada sesuatu yang besar dapat diraih mengorbankan sesuatu yang sama besarnya. Dalam kasusmu, mungkin, tubuhmu sendiri. Aku sudah tahu, bukan usaha mudah untuk mencapai lantai setinggi ini, apalagi dengan kondisinya yang buruk. Dan kau memaksakan menggunakan sihir yang berbahaya itu saat ini."

Luna memandang Celestia dengan tatapan kosong.

"Darah segar dari mulutmu ya… aku tak dapat membayangkan bagaimana isi perutmu setelah dibedah."

Luna berjalan ke arah Celestia. Ia menarik rambutnya dan menyeretnya ke arah jendela. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan tubuh malang itu ke tanah. Bagi orang biasa, jatuh dari lantai ke-19 dalam kondisi seperti itu merupakan jaminan untuk sampai ke alam baka, tetapi tidak dengan anak itu. Ia masih bisa membuat perisai amethyst dengan sisa-sisa tenaganya.

Saat ia terjatuh di tanah, perisai tersebut hancur berkeping-keping.

Luna membidikkan senapannya kepada Celestia yang tak lagi berdaya. Dengan satu tarikan, peluru tersebut menghujam tepat di jantungnya. Celestia mengerang.

Dalam hati, Celestia masih sempat menggumamkan sesuatu.

"Ethan..."

Tubuh itu kini terbaring lemas. Untuk memastikan bahwa Celestia telah mati, ia membidik kepalanya. Kepala itu hancur, juga dengan sisa-sisa bebatuan yang berasal dari kemampuannya.

Luna menarik napas panjang. Ia tak menyangka masih dapat melakukan hal seperti ini. Ia merapikan benda-benda yang masih dapat dipakai. Lalu, ia memperhatikan senapannya.

"Aku lupa memasang peredam suara pada senapanku."

Part 3, Scene 1

Seorang pria muncul dari kegelapan malam. Benda itu kini berada dalam kondisi terbaiknya. Sudah diistirahatkan selama 10 menit.

Monyet yang sejak tadi memerhatikan pertarungan juga muncul keluar. Pria itu memandang sang monyet dengan tajam.

"Salvatore Jackson. Musisi keliling. Senang bisa bertemu denganmu, malaikat kematian. Oh, apakah aku menyebut kata yang salah? Bertemu malaikat kematian saat aku sudah mati? Sulit dipercaya?"

Pria itu hanya terdiam.

"Namaku Enzeru. Apa kau tahu perintah dewa Thurqk? Apakah monyet benar-benar tidak bisa mengerti apa yang diucapkan dewa? Sungguh menyedihkan."

Monyet itu tertawa.

"Hahaha, kau sungguh malaikat kematian yang aneh. Jadi, mengapa tangan kirimu bisa hancur seperti itu, wahai malaikat kematian?"

Enzeru tidak menjawabnya.

"Hahaha… jadi malaikat pencabut nyawa sama rendahnya dengan manusia yang akan dicabut nyawanya? Kalau begitu, mungkin saja derajatmu lebih rendah dari manusia yang akan mencabut nyawa."

Enzeru naik pitam. Ialu mengambil sebuah sabit panjang. Namun…

"Aduh!"

Salvatore juga mengambil sulingnya dan menghantamnya dengan keras pada tangan kiri Enzeru. Darah kembali mengucur deras dari tangannya. Enzeru mengerang kesakitan.

"Hahaha.. tidak baik bertarung dalam kondisi itu, Enzeru. Dari pada saling sikut, lebih baik kita main dangdut! Wohohoho…" teriak sang monyet sambil memainkan suling. Alunan musik koplo mengalun merdu dari seruling itu.

"Karena terlena," Salvatore melantunkan sebuah kalimat sambil berjoget

"Oleh pesona," Enzeru menimpali sambil berjoget tak kalah serunya.

"Alunan kopi, dangdut!" ujar mereka bersama-sama saat alunan suling itu akan berhenti.

Enzeru segera mengambil sabitnya dan melingkarkan ke leher Salvatore.

"Awas bila kau menyebarkan semua ini ke seluruh jagat Devasche Vadhi! Juga kepada Thurqk!" kata Enzeru. Mukanya memerah.

"Tenang saja. Seorang pria macho sepertiku tidak akan pernah ingkar janji. Lagipula, kau sepertinya punya sesuatu yang ingin dikatakan padaku."

"Tentu saja. Aku—"

"Tapi tidak saat ini. Aku masih ada urusan lain. Hohoho…" kata Salvatore. "Hati-hati mendekati gedung itu jika kau tidak ingin mati."

Monyet itu kini menghilang entah kemana.

"Dasar monyet sialan," kata Enzeru sambil menatap tajam ke arah suatu gang. Tak ada penerangan di sana.

"Rupanya ia ingin membiarkan aku mati sendiri di sini, ya?"

Matanya masih menatap ke arah gang tersebut.

"Di dunia kematian sekalipun, kau masih saja bermain kotor. Dan apa yang dia lakukan pada orang-orang itu?"

Tangannya mulai mengambil sabit kematiannya.

"Karena itu…"

Enzeru mengayunkan sabitnya sekuat tenaga.

"Mati kau!"

Sosok yang dimaksud segera menjatuhkan dirinya ke samping. Ribuan ekor lalat beterbangan di sekelilingnya. Ribuan lalat yang lain terbang ke arah Enzeru, membuat sabitannya melenceng ke samping. Sebuah rumah yang ada di sana hancur seketika.

"Black Light," ujar Enzeru.

Enzeru segera berpindah tempat pada gang yang sejak tadi ditatapnya. Rupanya monyet itu sudah mengetahui kekuatan gadis ini, sehingga ia memilih kabur saat merasakan kedatangannya. Enzeru seharusnya sadar saat melihat gelagat tak beres dari Salvatore tadi.

"Tak mungkin seekor monyet biasa bisa memperkirakan hal seperti ini, bukan?" kata Enzeru. Akan tetapi, ini bukan saatnya untuk memikirkan hal ini. Ada sesuatu yang lebih besar—dan juga bau—
yang harus diselesaikan segera saat ini.

Part 3, Scene 2

"Mana orang yang berani menghancurkan bonekaku?"

Wanita itu masih berada di tempat itu. Kompleks rumah murahan yang tampak sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Tak ada orang di sana—dan berarti tak ada sumber daya yang bisa dibuat wanita itu untuk dijadikan boneka.

"Keparat! Keluar kau! Tantang aku, Nurin, dengan berani! Bukan dengan gaya seorang pengecut!"

Sebuah gelombang raksasa muncul dari sebuah gang gelap. Nurin segera bereksi, lalat-lalat melesat terbang menghadang gelombang itu.

Gelombang itu pecah, diikuti dengan ratusan bangkai lalat yang berjatuhan di jalan.

"Kau rupanya cukup kuat. Aku tak menyangka bisa bertemu dengan orang-orang yang diberkahi dengan berbagai kekuatan yang unik."

"Bangsat sialan!" teriak Nurin sambil mengangkat satu tangannya. Kali ini, kumpulan gas menyembur dari tubuhnya. Kini, seluruh tempat itu telah diselimuti dengan kabut asap berwarna hijau.

Beberapa helai bulu berwarna hitam berjatuhan dari langit.

"Untung saja aku mengistirahatkan benda ini," kata Enzeru. Sepasang sayap berwarna hitam muncul dari punggungnya. Enzeru telah terbang ke langit.

Dari atas, Enzeru sempat melihat sosok berwarna kuning di atas sebuah gedung tak jauh dari tempatnya berada. Salvatore. Monyet itu tampaknya benar-benar tak bisa menghindar dari hiburan yang menarik.

Enzeru menggenggam death scythe-nya. Tangan kirinya yang hancur membuat genggamannya menjadi kurang baik. Selagi ia berusaha memegang sabitnya, sekilas ia melihat kilatan cahaya berwarna putih dari sebuah gedung.

"Anak itu. Rupanya ia juga mengamati pertarungan itu."

Benar. Luna juga mengamati pertarungan itu dari teleskop senapannya. Dari puncak gedung itu, ia bisa mengamati jalannya pertempuran dengan baik.

Kini, Enzeru dihadapkan dengan tiga pilihan. Pertama, Nurin. Wanita penyebar penyakit itu kini masih ada di jalan, tampak tersengal-sengal. Kabut hijau itu mulai menghilang perlahan, entah karena ia kelelahan atau penyebab lainnya. Kedua, Salvatore. Monyet itu memang diam di atas sana, akan tetapi ia tidak dapat memprediksi apa yang akan dilakukannya dalam pertarungan ini. Ketiga, yang paling mengkhawatirkan, tentu saja. Anak itu kini mengamati mereka dari jauh—mungkin sekitar 800 atau 1000 meter—sambil membawa senapan berburu dengan kemampuan membidik yang luar biasa.

Setiap orang yang biasa bertemu dengan kematian juga paham, orang ketiga harus dihabisi secepat mungkin. Akan tetapi, ia melihat Nurin.

Wanita itu makin kelelahan. Sepertinya, tubuhnya yang kurus itu terlalu rapuh untuk bertahan dalam pertarungan aktif seperti ini. Kabut itu semakin menipis. Enzeru kini dapat melihat wajah Nurin dengan jelas.

Enzeru mengambil keputusannya. Ia menyimpan sayapnya kembali dan kembali turun ke jalan. Setelah ia menginjakkan kakinya, ia segera berpindah ke tempat gelap, tak jauh dari sana. Nurin tampak kebingungan.

"Apa yang terjadi?" Salvatore rupanya juga kebingungan dengan keputusan yang diambil malaikat itu. Monyet itu tampak mencari-cari Enzeru.

Lalu, malaikat itu muncul perlahan di belakang Nurin. Wanita itu tidak menyadarinya sampai ayunan gelombang sebuah sabit raksasa hampir menebas kepalanya.

Namun, Nurin juga bukan petarung kemarin sore. Ia segera mengeluarkan gas berwarna hijau yang kembali memenuhi tempat itu.

Part 3, Scene 3

Dari kejauhan, Salvatore menggaruk-garuk kepalanya.

"Aku tak menyangka, ia masih bisa mengeluarkan gas itu walaupun sangat kelelahan."

Awalnya, Salvatore sempat menduga hal tersebut sebelumnya. Sayangnya, hal yang diduganya ternyata benar. Dan kini, situasinya menjadi lebih buruk baginya. Kepercayaan dirinya yang berlebihan untuk memanfaatkan pertarungan Nurin dan Enzeru runtuh seketika.

"Aku memang sengaja menunggu Enzeru untuk mengalahkan sang pembunuh itu. Pada awalnya. Namun, rencanaku terpaksa berubah saat wanita busuk itu menyelinap ke tempat ini. Aku tak tahu bahwa Enzeru tak dapat mendeteksi keberadaannya. Salahku juga, mengapa aku tak berlama-lama di sana," ujar Salvatore sambil merutuki dirinya sendiri.

Ia tak bisa bertarung dengan wanita. Lebih tepatnya, ia tak ingin menyakiti tubuh dan perasaan seorang wanita.

Karena itu, Salvatore merencanakan sebuah pertarungan terakhir dengan Enzeru setelah ia menghabisi dua wanita menyebalkan yang ada di sana. Akan tetapi, ia meremehkan kemampuan wanita lalat itu. Dan kini, ia harus menghadapi kenyataan, kedua orang itu tergeletak di jalan. Nurin tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya, sementara Enzeru meringis pelan karena tangan kirinya mulai tak berbentuk. Nanah dan darah berwarna hitam menetes dari tangan itu.

"Infeksi ya. Itu keahlianmu, Nurin. Wanita busuk penyebar penyakit."

Part 3, Scene 4

Enzeru berusaha bangkit. Ia ingin menghabisi wanita itu sebelum penyakit itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Salah satu kelemahan yang membuatnya repot adalah tubuh manusia ini. Ia mungkin memang malaikat pencabut nyawa manusia, tetapi ia diciptakan dengan tubuh manusia agar lebih mudah menghampiri manusia dan mencabut nyawanya. Ironis, memang.

Malaikat itu mengayunkan sabitnya ke arah Nurin.

"Kenapa ini?"

Ayunannya meleset. Sabit itu melenceng jauh dari kepala Nurin.

"Hahaha.. apa yang ingin kau lakukan, bonekaku?"

Seluruh tubuh Enzeru mendadak kaku. Tak ada lagi yang bisa dikendalikannya, kecuali mata dan pikirannya. Belum memahami seluruhnya, Enzeru justru "dipaksa" berlutut di hadapan Nurin.

"Bagus. Itu yang harus dilakukan bonekaku," ujar Nurin sambil berusaha bangkit. Kacamatanya sedikit retak karena harus terpelanting menghindar dari berbagai serangan Enzeru.

Salvatore segera turun dan menghampiri mereka.

"Hai, Non! Apa yang kamu lakukan pada orang ini? Tidak sepantasnya seorang wanita—!"

Salvatore segera menghindar ke arah kanan. Puluhan ekor lalat segera melesat cepat, beberapa diantaranya mengenai tangan Enzeru yang kaku.

"Aaarrgghh!!"

Salvatore terdiam. Lalat, gas beracun, dan mengendalikan orang. Ia benar-benar salah perhitungan. Apalagi ia juga tak mengetahui, Enzeru "hanya" seorang malaikat dengan tubuh manusia biasa.

Monyet itu memandang ke arah suatu gedung. Anak itu pasti sedang mengamati mereka saat ini.

"Hei, Non. Seorang wanita harus bersikap elegan. Sayang sekali, wanita cantik sepertimu justru berkubang dengan lalat dan bau busuk. Bagaimana mungkin seorang laki-laki tertarik padamu?"

Nurin kini tertawa terbahak-bahak.

"Lelaki? Hahaha! Bukan hanya laki-laki. Seluruh orang di dunia ini adalah bonekaku. Aku Tuhan mereka. Aku yang mengendalikan mereka. Dan kau berbicara tentang pasangan yang setara denganku, pengendali mereka? Yang benar saja!"

Nurin masih tertawa. Seekor lalat melintas di hadapan Salvatore. Ia tak menghindar, tetapi memukulnya dengan seruling yang kini tergenggam di tangannya. Lalat itu jatuh di hadapan Nurin.

"Ha? Masih mencoba bersikap sok keren di hadapanku? Baiklah. Mungkin boneka baruku bisa memberi sedikit pelajaran."

Nurin menggerakkan tangannya. Enzeru bangkit dan mengerang kesakitan. Ia mengayunkan sabitnya sembarangan ke arah Salvatore yang dengan mudah dihindari olehnya.

"Hei, Enzeru. Kau benar-benar tidak bisa mengendalikan tubuhmu lagi rupanya."

Sosok itu masih terus menjerit. Beberapa ekor lalat kini hinggap di bahunya dan mulai menggigitinya. Enzeru yang semakin kesakitan mengayunkan sabitnya dengan beringas. Tak jarang, ia menghantam bangunan yang ada di sampingnya dan menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya.

"Aku... memang… pencabut… nyawa…"

Enzeru mulai beringas akibat pengaruh Nurin.

"Tetapi… tidak seperti ini!!!"

Sebuah lengkungan besar keluar dari sabit itu, menghancurkan apapun yang ada di depannya.

Enzeru kini duduk berlutut. Nurin telah menurunkan tangannya. Dari debu yang mengepul, mereka masih dapat melihat sesosok monyet berdiri tegak di atas reruntuhan.

"Dasar. Untung saja aku masih punya jurus rahasia. Thousand Steps, bukan Thousand Island! Ingat itu, Non!"

Nurin menjadi jengkel. Ia lalu mengangkat tangannya, tetapi Salvatore telah berada di depannya.

"Keparaaattt!!!"

Dengan satu gerakan, ia menghantam Nurin dengan telapak tangannya. Nama yang disebut terakhir gantian terpental dan mendarat beberapa meter di belakang. Enzeru terjerembab di jalan.

Nurin mencoba bangun setelah dihantam sedemikian kerasnya oleh Salvatore. Namun, saat kepulan debu mulai menipis dan tak lagi menghalangi pandangannya, ia tak melihat monyet itu lagi.

"Kemana dia?"

Part 3, Unknown Scene

Dari kejauhan, Luna masih mengamati semua itu dari ujung senapannya. Ia harus hati-hati, karena debu dan kabut berwarna hijau masih mengepul di sana. Ia tidak memiliki banyak peluru lagi, sehingga sangat tidak bijak untuk menembak dengan random dan berharap salah satu pelurunya tepat mengenai kepalanya.

Awalnya, Luna hanya memperkirakan, ia dapat mengakhiri pertempuran ini dengan cepat. Namun, siapa yang menyangka bahwa Celestia tidak mati hanya karena seorang pria aneh muncul tepat di hadapannya dan salah diterjang oleh pelurunya? Ia memang sengaja membidik lengan Enzeru agar ia tidak dapat memanfaatkan kekuatannya dengan baik. Akan tetapi, justru orang itu menjadi budak sang penguasa lalat dan bertarung dengan orang lain, bukan dengannya.

Dan wanita itu. Sejak awal, ia sudah memperkirakan bahwa wanita itu akan banyak menyulitkannya dalam pertempuran ini. Karena itu, saat Luna mengetahui kekuatannya untuk mengendalikan orang, ia berusaha agar tidak ada orang yang bisa dikendalikan wanita itu. Prediksinya memang tepat; Thurqk akhirnya turun tangan dan melenyapkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan pertarungan itu. Angin yang berhembus semilir itu menjadi buktinya.

Namun, lagi-lagi takdir tak lagi bersahabat dengan Luna. Siapa yang mampi memprediksi bahwa anak perempuan yang gagal dibunuhnya tadi ternyata juga bisa memanggil makhluk-makhluk asing dari bebatuan di sekitarnya?

Dan gara-gara semua itu, ia hanya memiliki sedikit peluru untuk ditembakkan. Luna menggeram.
"Lain kali, aku akan hadiahkan peluru terakhirku kepada Thuqrk. Tepat di matanya," geram Luna sambil terus memantau pertarungan.

Part 3, Scene 5

Nurin dan Enzeru telah berada di halaman gedung. Salvatore telah menunggunya di sana.

"Hai, Non. Senang bertemu denganmu," kata Salvatore dengan hormat. Ia membungkuk sopan kepada Nurin.

"Apa maumu, monyet?"

"Hahaha… kau memang nona manis yang tidak tahu sopan santun rupanya," kata Salvatore sambil tersenyum. "Sebelum semuanya berakhir,  maukah nona mendengarkan satu permintaan terakhir dariku?"

"Apa?"

"Biarkan aku bertarung dengan Enzeru—bonekamu. Kau boleh menggunakannya sesuka hatimu, tetapi aku menginginkan pertarungan yang jujur. Aku tak ingin pertarunganku dan Enzeru diganggu oleh kabut maupun lalat darimu."

Nurin berpikir sejenak.

"Boleh saja. Tapi ingat, itu permintaan terakhirmu, monyet! Menang atau kalah, kau akan mati. Dan kau akan jadi pengganti bonekaku jika malaikat itu kalah!"

"Dengan senang hati," jawab Salvatore. Ia mengeluarkan serulingnya.

Ia mulai meniup serulingnya dan mengalunkan nada-nada yang sulit dicerna. Nurin tersentak dengan alunan iramanya.

Setelah suara serulingnya berhenti, Salvatore mulai melantunkan lagu yang tak kalah suramnya dengan alunan seruling tadi. Perlahan, suasana mistis mulai mengelilingi seluruh gedung, tak terkecuali sang pembunuh yang ada di dalam gedung.

"Hariwang."

Salvatore masih menyanyikan lagi itu. Nurin meringkuk di tempatnya. Salvatore terdiam dan tak menyadari sang monyet telah berada di depannya.

"Keparaaatttt!!!"

Dengan satu hantaman, tulang rusuk Enzeru patah. Sang malaikat terpental dan membentur pintu masuk gedung tua itu.

Nurin menggerakkan tangannya ke atas. Enzeru segera mengeluarkan sayapnya dan terbang ke langit. Tangan kanannya memegang sabit raksasanya. Dengan satu posisi, ia bersiap mengambil ancang-ancang.

Sabit itu terlepas dari tangannya dan melayang menuju leher Salvatore.

Namun, bukan Salvatore namanya jika ia tak mampu menghindar dari serangan itu. ia melompat ke atas dan mengelak kembali begitu bumerang sabit tersebut kembali berputar menujunya.

"Thousand Steps!"

Salvatore berlari di atas udara dengan bantuan bebatuan yang beterbangan setelah terkena dampak bumerang tadi.

"Buset… nyaris saja kepalaku hilang," ujar Salvatore sambil menyeka keringat.  Darah menetes dari tangan kiri Enzeru yang hancur ditembak tadi, mengotori dahinya yang baru saja dibersihkan.

Salvatore segera menghindar. Dalam sekejap, tempatnya berdiri hancur berkeping-keping akibat lengkungan tebasan dari sabit Enzeru. Malaikat itu kini gantian berada di sana. Sang musisi melihat wajah Enzeru yang beringas, tetapi matanya memerah.

"Kau pasti tidak ingin dikendalikan oleh nona bau itu, bukan?"

Salvatore mengeluarkan serulingnya. Akan tetapi, baru saja ia ingin meniup serulingnya, darah segar keluar dari mulutnya. Berkali-kali.

Salvatore berlutut dan memegang dadanya. Rupanya hantaman gelombang itu tak sepenuhnya bisa ditangkis olehnya.

"Mungkin paru-paru ya," kata Salvatore dengan napas yang tersengal-sengal. Ia kembali memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Hahaha… hanya begitu kemampuanmu, monyet? Tak apa-apa…" kata Nurin. Beberapa ekor lalat beterbangan di sampingnya.

"Bukannya kau berjanji?"

Nurin memandang Salvatore dengan heran.

"Ha? Kau masih percaya dengan janji? Ini soal bertahan hidup, monyet! Jika kau masih percaya dengan apa yang diucapkan lawan, kau akan mati! Tak ada orang jujur yang bisa bertahan hidup. Apalagi di dunia ini! Kau hanya kebanyakan makan pisang sambil membaca komik anak-anak, monyet dungu! Hahaha…"

Tawa Nurin melengking di tengah kegelapan malam.

"Dan menurutmu, hanya orang kejam yang bisa bertahan hidup? Benarkah?"

"Ha, kau benar, monyet. Dan kemarilah. Aku akan mengajarkan otakmu yang dungu tentang hal ini."

Seekor lalat terbang dan hinggap di tangan Salvatore. Ia tak mengusirnya. Dan lalat itu menggigit tangannya hingga terluka. Tampak tulang berwarna putih keluar dari lukanya.

"Sekarang, bagaimana? Apa kau masih tak yakin? Ha? Hahaha!!!" teriak Nurin sambil menggoyangkan tangannya. Monyet itu ikut bergoyang sebelum dihantam dengan keras oleh pukulan Enzeru yang menyerang dari belakang.

Salvatore masih terdiam.

"Non, bisa kau diam sejenak? Telingaku sakit jika kau terus tertawa melengking seperti itu."

"Kau, masih bisa-bisanya memerintahku? Kau sekarang hanya bonekaku. Salahmu sendiri, kenapa percaya dengan ucapan lawanmu. Sekarang, tanggung sendiri akibatnya!"

Salvatore kini memukul kepalanya sendiri ke dinding.

"Sudah mengerti? Apa ingin kuajari lagi? Hahaha…"

Nurin tertawa kesetanan. Salvatore kini bergoyang seperti orang bodoh. Enzeru masih berdiri di sana tanpa bisa menggerakkan tubuhnya.

"Hei, Nurin. Bisa kau hentikan semua ini? jika kau ingin membunuhnya, bunuh saja. Jangan kau permainkan—"

Enzeru tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Nurin menepukkan tangannya dan membuat kepala dua orang itu saling membentur.

"Kalian hanya boneka! Aku penguasa kalian! Diam kalian, boneka hina!"

Salvatore kini tersenyum.

"Non, aku tak mungkin bisa memukulmu. Bahkan, jika kau bebaskan aku dari penyakit ini sekalipun, aku tak bisa. Aku telah berjanji dengan diriku sendiri, tak akan pernah memukul wanita seumur hidupku. Kau pasti sudah merasakan pukulanku sebelumnya, bukan? Aku sengaja menahan diriku. Jika tidak, mungkin saja kau sudah mati sekarang."

"Karena itu, aku memanggilmu monyet, dasar idiot! Mana ada binatang yang bisa belajar? Hahaha…"

Salvatore kini terdiam.

"Binatang kurang ajar sepertimu tak pantas jadi bonekaku! Memalukan! Lebih baik kau mati saja!"

"Tepat seperti kata-katamu, Non. Aku memang tak ingin jadi bonekamu. Juga denganmu, Enzeru?"

Enzeru hanya memalingkan muka.

"Karena itu, aku bertemu dengannya sebelum ini."

"Siapa?"

"Anak yang ada di dalam gedung ini."

Nurin terdiam.

"Apa maksudmu?"

"Tidak apa-apa. Aku mengatakan hal yang sama kepadanya. Dan aku kagum, ia tidak menembak siapapun saat ini. Kau hanya berdiri saja di sana, Non, tanpa bergerak sedikitpun. Mangsa yang menggiurkan bagi seorang sniper sepertinya. Andai saja anak itu melanggar janjinya, kau pasti juga sudah mati," kata Salvatore.

"Diam kau, brengsek."

"Kau harus berterima kasih kepadanya bila bertemu nanti. Dan izinkan aku, Salvatore yang hina ini untuk pamit. Tawaran untuk hidup kembali memang menggiurkan, tetapi aku sudah mendapat sesuatu yang sudah hilang dari dunia ini."

Musisi itu meniup serulingnya. Alunan musik klasik mengalun mistis di tempat itu.

Langit perlahan menjadi semakin gelap. Angin berhembus kencang. Nurin mencoba mengendalikan lalatnya, tetapi lalat itu tak mampu mengimbangi kecepatan angin. Lalat itu turut terbawa angin dan menghilang dari pandangannya.

Alunan lagu itu berhenti. Namun, tak ada yang berubah dari lingkungannya. Angin berhembus semakin kencang. Kilatan petir sambar menyambar di langit.

"Muse. Dengan serulingku, aku memanfaatkan energi alam yang ada di sini dan mengubahnya menjadi kekuatan sihir. Kali ini, aku menggunakannya untuk mengubah tempat ini, Non. Thunderstorm, badai petir. Lumayan menarik bukan?"

Nurin terkejut. Ia berusaha mengendalikan mereka berdua, tetapi tiupan angin berhembus terlalu kencang.

"Tenang saja, petir itu tak akan mengenaimu dan gedung ini. Aku sudah berjanji untuk tidak menyakiti wanita lagi, bukan?"

Enzeru memandang Salvatore.

"Kau ingin bunuh diri?"

"Siapa bilang? Memang, tempat ini akan dipenuhi petir, dan mungkin saja aku juga bisa terkena sambarannya. Bukankah itu lebih baik daripada harus menjadi mayat hidup dan dikendalikan si nona bau?"

Enzeru hanya tertawa.

"Monyet, kau benar-benar membuatku sakit perut. Apa kau juga ingin membunuhmu?" kata Enzeru.

"Jika kau mau, silahkan mendekat kepadaku. Kita bisa saling berpelukan dan mati bersama" balas Salvatore.

"Najis."

"Hahaha… jika itu maumu, tak masalah."

Enzeru menatap kilatan petir yang ada di langit.

"Hei, monyet. Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Karena telah membebaskanku dari penderitaan."

"Kau yakin tidak ingin menyelamatkan diri? Masih ada waktu lho," kata Salvatore.

"Tidak, tidak perlu. Apalagi jika aku hidup kembali, aku hanya akan kembali mengejar-ngejar nyawa orang seperti halnya mengejar-ngejar anak ayam. Aku sudah hidup terlalu lama. Bosan juga jika melakukan itu terus-menerus," kata Enzeru.

Satu kilatan petir menyambar tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tercium bau gosong dari tempat petir itu menyambar. Salvatore memang menjamin keselamatannya, tetapi Nurin memilih menjauh dari gedung itu sebelum kilatan petir yang lain datang.

"Sudah dimulai ya…"

Beberapa petir kembali menyambar.

"Hooiii.. Luna… terima kasih…" teriak Salvatore dari halaman gedung.

Luna, yang sejak tadi mengamati semua yang terjadi, hanya terdiam. Saat Salvatore menghantam Nurin di kompleks perumahan, Luna tak bisa menemukan jejaknya. Di tengah kebingungannya, sang monyet justru muncul di belakangnya.

Luna masih mengingat, bagaimana monyet itu berusaha meyakinkannya. Dan monyet itu sama sekali tak melanggar satupun kata yang diucapkan dari mulutnya.

"Dasar. Membuatku repot saja," kata Luna. Namun, hatinya remuk.

Ia tahu. Monyet itu tak mungkin melawan Nurin maupun dirinya. Ia hanya bisa bertarung dengan adil melawan laki-laki. Hanya Enzeru yang bisa menjadi lawannya saat ini. Ia pun juga telah dikendalikan oleh Nurin.

Dan kini, sang monyet bercerita panjang lebar soal kejujuran dan niatnya untuk bunuh diri?

"Lucu sekali," gumam Luna.

Ia tahu, Salvatore sengaja mengorbankan dirinya. Hujan petir ini akan menghancurkan semua makhluk hidup yang ada di sekitarnya tanpa meninggalkan sedikitpun sisa. Tubuh Celestia yang tertimbun bebatuan di sana juga akan ikut hangus terpanggang.

Tak mungkin Nurin bisa menggunakan jasad mereka dan mengendalikannya.

Karena itu, saat Salvatore melambai-lambaikna tangannya dari halaman, Luna memilih naik ke atas gedung. Sebuah pistol flare tergenggam di tangan kanannya.

Dengan satu tembakan, sebuah kembang api meledak di langit.

"Lihat itu, Enzeru! Anak itu membalas sahutan kita!"

"Berisik, monyet! Petir ini menyalak terlalu keras! Telingaku bisa pecah!" teriak Enzeru. Beberapa petir kembali menyambar tempat itu.

"Salahmu sendiri!"

"Hahaha…"

Sebuah petir menghantam tubuh Enzeru. Salvatore tercengang. Juga dengan Luna. Walaupun mereka telah mengetahui itu akan terjadi.

Salvatore kembali mengambil serulingnya. Ia memilih requiem, musik yang biasa dimainkan dalam keadaan berduka atau kematian.

"Selamat tinggal, Luna."

Suara itu menghilang perlahan sebelum tempat itu dipenuhi oleh kilatan petir.

Part 4, End Scene

Nurin kini berada di pintu gedung yang sudah rusak akibat pertarungan tadi. Bau gosong masih tercium akibat sambaran petir. Dan ia tahu, sang pembunuh ada di dalam.

"Hujan petir. Tak kusangka, monyet itu punya jurus pamungkas juga rupanya."

Ia melangkah ke dalam gedung dan menemukan bekas pertempuran yang sepertinya tidak berasal dari pertarungannya melawan Salvatore. Tampak sekelilingnya dipenuhi bongkahan beton dan baja yang runtuh.

Nurin melihat ke atas. Sehelai kertas jatuh dan mengenai kepalanya. Saat ia membaca isi kertas itu, ruangan itu seketika dipenuhi kabut pekat berwarna hijau.

Namaku Luna. Selamat datang di kuburanmu.

Nurin mengangkat tangannya dan memerintahkan ratusan lalat naik ke atas. Namun, belum sampai lalat itu mencapai langit-langit gedung, sebuah kotak jatuh dan meledak. Hampir separuh ruangan itu mulai terbakar. Lalat-lalat itu turut terbakar dan jatuh ke lantai, membuat aroma busuk bertebaran di ruangan itu.

"Aku tak tahu trik apa yang kau gunakan, tetapi tempat ini yang akan jadi kuburmu, bangsat!"

Api di ruangan itu berkobar semakin dahsyat. Nurin masih melontarkan umpatan dan sumpah serapah. Lalu, kali ini, sebuah botol jatuh di hadapannya. Di dalamnya terdapat sebuah kertas yag digulung rapi.

Aku ada di atas. Cepat kesini, aku sudah lelah menunggumu masuk ke tempat kuburmu.
Ia melihat anak tangga yang masih utuh di pojok ruangan. Lalu ia bergegas naik sebelum ruangan itu terbakar sepenuhnya.

Luna mengamati pergerakan Nurin dari atas gedung dengan teleskop senapannya. Pertarungan dengan Celestia sebelumnya telah banyak meninggalkan lubang-lubang di gedung itu, sehingga ia bisa memantau dengan lebih leluasa.

"Peluru pertama, ya…"

Luna memasukkan peluru pertama dari tiga peluru yang tersisa di saku jaket hitamnya. Ia harus berhati-hati. Walaupun Nurin tidak segesit Celestia—malah cenderung terlihat lamban dan malas—ia dapat mengeluarkan kabut hijau yang membuat Luna tidak dapat membidiknya. Justru, Nurinlah yang dapat menyerang balik dengan mengeluarkan ribuan lalat dan menyerangnya bersamaan.

Sejauh ini, semua sesuai dengan apa yang direncanakannya. Kabut itu ternyata menjadi masalah baru, sehingga ia harus memikirkan rencana lain jika rencana semula gagal.

Luna masih terus membidik Nurin hingga ia berada pada anak tangga di lantai ke-11. Nurin tampak tersengal-sengal.

Lima detik lagi dan semuanya akan selesai. Nurin masih berada di sana. Luna telah bersiap menarik pelatuk dan menembakkan pelurunya ke arah kepalanya.

Akan tetapi, Nurin terjatuh dan keluar dari area bidikannya.

"Sialan!"

Dengan refleks, Luna kembali mengarahkan bidikannya ke arah Nurin. Namun, karena Luna telah menarik pelatuk senapannya, Luna hanya berhasil mengenai bahu kiri Nurin.

Nurin kini berada di lantai. Ia dapat melihat sebuah lubang menganga di langit-langit. Ruangan itu memang tidak terlalu terang, tetapi ia dapat memastikan, Luna membidiknya melalui celah-celah lubang itu. Apalagi ia juga dapat melihat langit malam dari lubang itu.

Ratusan lalat bermunculan di sekelilingnya. Nurin mengangkat tangan kanannya yang masih bisa digerakkan.

"Bunuh orang itu!"

Dalam sekejap, ribuan lalat itu terbang menyusuri lubang. Luna yang menyadari semua itu kemudian menghindar ke sudut ruangan yang agak gelap. Akan tetapi, lalat itu bukan makhluk yang bergerak atas perintah tuannya saja. Ia juga punya insting; target yang akan dibunuh kini benar-benar meringkuk di sana.

"Lantai 17 ya… bunuh dia!" teriak Nurin.

Kumpulan besar lalat itu menyerbu Luna. Ia memang tak mengharapkan hal ini terjadi, tetapi ia telah menyiapkan sesuatu untuk menyelamatkan diri.

Ia menembak botol berisi campuran bensin dan mesiu yang ada di depannya. Botol itu meledak dan membakar ruangan itu, juga lalat-lalat yang ada di sana. Sayangnya, rencana itu tak sepenuhnya berhasil. Beberapa lalat masih bisa menembus kobaran api dan melukai Luna sebelum akhirnya mati.
Luna menjerit kesakitan. Kini tangan kiri dan kaki kanannya terluka dan meneteskan darah kental berwarna hitam kehijauan. Walaupun demikian, Luna masih bersyukur. Setidaknya, Nurin tidak akan mengeluarkan lalatnya lagi sampai ia bisa memadamkan api atau sampai ke ruangan ini.

Luna menggenggam sebutir peluru yang tersisa di jaketnya. Semua ini diluar prediksinya. Dan ia akan "dipaksa" menggunakan sesuatu yang tak ingin ia gunakan lagi.

Luna memandang ke atas gedung dan melihat langit yang gelap. Tak ada bintang, apalagi bulan yang bersinar di sana.

"Akankah aku membunuh seseorang lagi?"

Saat itu, Luna mengambil keputusannya. la meninggalkan jaket hitamnya. Lalu, ia bergegas naik ke atas gedung, sebelum Nurin datang dan menghabisinya tanpa sisa.

***

Nurin telah berada di lantai ke-22.

"Dasar, di mana kau bersembunyi? Keluar kau! Dirimu akan jadi ganti boneka yang kau hancurkan malam ini!"

Nurin berjalan kembali mendekati anak tangga. Saat ia akan menaiki anak tangga, ia mendengar suara anak perempuan menyanyikan suatu lagu yang aneh.

"Quo luminis, inducam amelichea…"

Luna masih terus menyanyikan lagu itu hingga Nurin sampai ke puncak gedung.

"Ho… aku tidak tahu bahwa orang yang menghancurkan bonekaku adalah bajingan kecil yang tidak lebih dewasa dariku. Dimana sopan santunmu?"

Luna kini mendekapkan sebuah tongkat sihir kecil ke dadanya. Ia tak berhenti melantunkan kata-kata aneh dari mulutnya.

"Et flori decidenti, quo noctis..."

Nurin baru saja bersiap mengangkat tangannya ketika ia mengetahui lingkungan sekitarnya mulai diterangi oleh cahaya.

Bulan perlahan muncul dari awan hitam yang menutupi langit. Perlahan namun pasti, cahaya itu semakin terang hingga dapat menyinari seluruh kota. Luna menghentikan nyanyiannya. Ia memasukkan tangannya ke saku roknya.

"Kau rupanya bisa membuat bulan muncul dari langit rupanya. Tak masalah, jika aku bisa melihat darah keluar dari mulutmu dengan jelas!"

Sebuah peluru berwarna silver melesat di samping pipi kirinya.

"Apa—!"

Satu lagi peluru meluncur deras dari sebuah pistol laras pendek yang digenggam Luna dengan tangan kanannya. Pistol itu mengeluarkan kilatan cahaya putih mirip kunang-kunang. Kini, Nurin menyaksikan seorang anak perempuan berbaju putih, menatapnya tajam dengan mata merah dan ujung pistolnya.

"Uugh!"

Nurin baru saja ingin mengucapkan sesuatu saat peluru ketiga menghantam perutnya. Bukan hanya itu. Peluru keempat, kelima, dan keenam berturut-turut menghancurkan kaki kirinya.
Nurin mengangkat tangannya dengan kekuatannya yang masih tersisa. Puluhan ekor lalat muncul di sekitarnya dan menyerang Luna.

Luna tak tinggal diam. Ia mengelak dari serbuan lalat dan mulai menembak setiap lalat yang mencoba mendekatinya dengan kecepatan yang sulit diterima akal sehat. Cahaya bulan menerangi setiap peluru yang melesat dari pistolnya. Saat beberapa ekor lalat mendekat dan kecepatan pelurunya tak lagi bisa mengimbangi, ia menjatuhkan diri dan berguling.

"Mati kau!"

Nurin berteriak sambil mengendalikan lalat-lalat yang masih bisa dikeluarkannya. Luna kini terbaring di lantai.

Lima belas ekor lalat terjatuh dalam sekejap.

Luna melompat dan bangkit. Tangan kirinya kini juga memegang pistol yang sama. Baju putihnya kini telah berlumuran darah. Cahaya bulan membuat pemandangan tersebut menjadi menakutkan. Beberapa ekor lalat kembali mendekat, tetapi dengan segera dihancurkan oleh peluru-peluru yang dimuntahkan oleh pistol Luna.

"Ada apa dengan pistol itu? Mengapa ia tidak berhenti membunuh lalat-lalatku? Apa yang salah dari mereka?" teriak Nurin histeris.

Selagi Nurin meratapi kenyataan yang terjadi, Luna menembakkan sebuah peluru ke perutnya.
Wanita itu tersungkur. Luna kembali menembak kedua telapak tangannya agar ia tak bisa mengendalikan lalat itu lagi.

"S—!"

"Aku tak memberimu izin untuk bicara," kata Luna sambil menembak batu di depan kepala Nurin. Batu itu pecah, serpihannya terbang dan melukai kepalanya.

"Aku tak menyangka bisa menggunakan pistol ini lagi. Oh iya. Maaf, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Luna Aracellia. Orang-orang mengenalku dengan sebutan, Moonlight Scarlet. Atau begitu yang disebut oleh para kriminal itu. Sama sepertimu."

Luna menyeret kakinya yang terluka akibat serangan lalat dan berjalan ke arah Nurin.

"Tak ada yang akan kujelaskan padamu. Tak ada gunanya."
Nurin masih merintih kesakitan. Luna menembakkan pistolnya lagi ke perut Nurin. Dengan hati-hati, Luna menyeret wanita itu ke tepi gedung.

"Selamat tinggal."

Luna melempar Nurin dari atas gedung. Nurin masih sempat mengeluarkan gas pekat dan beberapa ekor lalat sebelum  ia benar-benar jatuh dan mendarat di tanah. Dengan satu gerakan kecil, Luna menghindari kabut itu dan menembak lalat yang berusaha mendekatinya.

Luna mendengar teriakan Nurin yang melemah, disusul dengan bunyi dentuman. Kepalanya mendarat tepat di bongkahan batu dan pecah seketika.

Tak ada orang yang bisa selamat dalam kondisi itu.

Luna menutup matanya dan berdoa. Untuk sepotong jiwa yang telah terpisah dari raganya. Setelah itu, ia memandnag bulan yang bersinar terang di langit.

"Apakah semua sudah selesai?"

Luna memilih untuk kembali ke bawah dan membereskan peralatannya yang tertinggal, sebelum utusan dewa Thurqk membawanya pergi. Namun, baru saja ia melangkahkan kakinya, ia kehilangan keseimbangan. Rupanya, petir Salvatore dan gas yang dikeluarkan Nurin tadi membuat sedikit kerusakan pada gedung itu. Kini, bagian gedung itu retak dan hancur berkeping-keping.

Luna berusaha melompat ke bagian gedung yang masih aman, tetapi terlambat. Bagian gedung itu rubuh dan jatuh, membawa Luna bersamanya. Ia tahu itu—jatuh dari ketinggian 24 lantai bukan sesuatu yang menarik untuk diulang. Sebelum tubuhnya mendarat dan hancur di tanah, Luna ingin menanyakan sesuatu yangtak mungkin dijawab kebanyakan orang.

Akan tetapi, mustahil rasanya. Thurqk mungkin sedang duduk sambil bertepuk tangan di meja kerjanya.

Part 5, Scene 1.5

Luna terbangun dan mencium bau amis darah. Tentu saja. Tak mungkin ia melupakan bau yang familiar. Darah itu berasal dari mulut dan hidungnya, bagaimana mungkin ia tidak merasakannya?

"Aku, selamat?"

Luna memandang sekelilingnya. Buram. Hanya bebatuan dan rerumputan yang ada di sekelilingnya. Jasad Nurin tampak tergeletak begitu saja tak jauh darinya.

Luna mencoba bangkit, tetapi tak bisa. Saat itu, ia mengetahui bahwa tubuhnya tak lagi bisa digerakkan. Bertahan hidup setelah jatuh dari lantai setinggi itu adalah hal yang mustahil, maka hal ini adalah suatu keajaiban yang luar biasa.

Luna kembali memandang langit. Bulan telah menghilang, demikian juga dengan bintang-bintang. Sesosok makhluk bersayap perlahan muncul dan mendarat di sampingnya.

"Luna Aracellia. Selamat atas pertarungan yang luar biasa ini. Aku yakin Dewa Thurqk tak sabar menunggumu di Devasche Vadhi. Adakah hal terakhir yang ingin kau ucapkan sebelum meninggalkan rumahmu?"

Luna terdiam. Ia memang tak bisa menggerakkan tubuhnya, akan tetapi ia masih bisa bicara. Hanya saja, ia tak tahu harus berkata apa. Segala pertempuran ini membuatnya lelah.

"Atau sesuatu yang ingin kau tanyakan?"

Luna hanya memejamkan matanya.

"Apakah semua ini hanya mimpi?"

First Day of Dark Moon: End.

11 comments:

  1. Pas baca bagian awalnya, reaksi saya "What in the world is this?"
    Bagian awalnya terasa surealis, menghanyutkan, tapi surealis. Saya baru bisa nangkep cerita mengenai bagian awal di pertengahan, dan ini alur ceritanya cukup konsisten. Aliran pertarungannya juga asik dibaca.

    Great fight~

    8/10

    ReplyDelete
  2. Ada beberapa kalimat yang entah typo atau bukan, tapi bikin bingung :

    "Ho… rupanya kau tidak takut mati. Baik, sebagai hadiah untukmu, aku biarkan kau menembakku satu kali saja. Setelah itu, pedangku ini yang akan menghabisiku.

    Dengan satu gerakan cepat, Celestia mengambil ancang-ancang dan mulai berlari ke arah Luna. Namun, saat Luna menghentakkan kakinya ke lantai, saat itu pula Luna menarik pelatuknya.

    Salvatore masih menyanyikan lagi itu. Nurin meringkuk di tempatnya. Salvatore terdiam dan tak menyadari sang monyet telah berada di depannya.

    Tapi selain itu, saya seneng sama ceritanya. Pemenggalan partnya awalnya berasa aneh, tapi belakangan jadi bisa dicerna juga. Battlenya pun lumayan apik

    8/10

    ReplyDelete
  3. Setuju sama Zoel, menghanyutkan. Kalau Bang Fachrul bisa ngemunculin kesan bagus dari para karakter kebanyakan lewat narasinya. Di sini kesan kuat semua karakter kegambarin secara epic lewat gabungan narasi sama dialognya. Menurut saya gabungan keduanya ngasih semacam sentimental feeling ke pembaca, terutama di awal, tengah-tengah waktu ada Sal, Nurin & Enzeru, pertarungan terakhir, sama pembicaraan penutup Hvyt dan Luna.

    Suka juga sama pembagian scene, ngingetin sama nashkah drama. Ide adanya scene 3.5 sebagai interlude, sama unknown scene yang nyerahin ke pembaca buat nentuin kapan tepatnya adegan itu terjadi, juga cukup menarik menurut saya. Scene juga paling berguna buat saya ngevisualisasiin pertarungan Nurin & Cel di awal. Jadi lebih emphasized.

    Sempet ada sedikit kebingungan awal waktu Enzeru bilang, "Kau ingin membunuhmu" ke Sal, ternyata maksudnya bunuh diri. Sama waktu "Salvatore terdiam dan tak menyadari sang monyet telah berada di depannya.", kayaknya typo, mungkin maksudnya Nurin yang terdiam.

    Selain OC authornya, Sal lumayan punya peran besar di sini. Ga nyangka dia bisa punya suicidal tendency juga kalo udah mendesak, dibalik sifat konyolnya. "daripada main sikut, mending berdangdut" itu lumayan bikin ngakak XD

    9/10

    ReplyDelete
  4. "it's not the bullet that makes the difference in distance of a gun. But the gun itself." - pernah baca quote dari buku senjata -

    Gomenasai~ Umi tak bisa menikmati narasinya. maaf banget. Narasinya berasa berat buat Umi. Entah kenapa. Umi juga ga tahu xox

    trus di part 1, Umi yakin itu intro. Tapi sekali lagi, Umi bingung. selain Nurin(itupun karena ada lalatnya), Umi enggak punya bayangan jadinya siapa-siapa aja yang ada di realms ini.

    Sejujurnya narasi yang di awal-awal aja tuh yang bikin Umi ngerasa berat, makin ke akhir ceritanya makin enak. Makin mudah dipahami. Entah Umi juga enggak tahu kenapa. Pengen ngasih saran, tapi kayaknya Umi sendiripun ga paham kenapa Umi ngerasa kayak gitu.

    aniway, Umi kasih 7/10 ya buat ceritanya :D

    ReplyDelete
  5. Narasinya enak, dialognya asyik, tekniknya rapi, battle-nya seru. O ho ho ho hon. Moi suka! Dan moi mengapresiasi pengaplikasian part-part di cerita ini. Ibarat makan, moi disuguhkan full meal course dengan porsi sesuai, ada jeda juga untuk napas, sebelum melanjutkan makan hingga kenyang tapi ga bikin kemerkaan :D

    Moi kasih 7,5 :D

    ReplyDelete
  6. Pas saya baca, ada beberapa typo yang mengganggu, jadi agak mengganggu.
    Pemenggalan diawal bikin bingung, tapi mulai ke bagian tengah cerita bisa dicerna.
    Battlenya seru~

    8.5/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -