Pages

April 15, 2014

[ROUND 1 - K] RAFA GRAFITO - 24 JAM MENJELANG KERUNTUHAN

[Round 1-K] Rafa Grafito
"24 Jam Menjelang Keruntuhan"
Written by Marowati

---

Rafa kembali menjejakkan kaki di tanah kelahirannya, planet
Gliese 518g. Sebuah planet yang berada sangat jauh dari tatasurya.
Juga teramat jauh dari jangkauan kenangannya. Sebagian besar
ingatannya tentang kehidupan Gliese 518g memang telah pulih sewaktu
berada di Jagatha Vadhi. Tapi sebagian yang lain masih tetap menjadi
misteri baginya.

Kedatangannya ke tempat ini bukan sekadar untuk bertarung, melainkan
mencari jawaban atas petaka yang telah menimpa planetnya dan petaka
lain yang sedang mengancam Bumi. Awalnya, ia mengira akan mendapati
kondisi planet yang luluh lantak akibat ledakan dahsyat 20 tahun lalu.
Seingat Rafa, ia sempat melihat cincin raksasa menara Katai Merah
hancur lebur. Ledakan itu membuat seluruh peradaban di Gliese 518g
mengalami keruntuhan dalam sekejab.

Namun kenyataannya, ia melihat kubah menara Katai Merah masih berdiri
kokoh. Rafa mendonggak menyaksikan layar hologram berlogo huruf A yang
lebih mirip segitiga merah muncul di atap. Layar tersebut menampilkan
jam digital dengan angka [23:45:32] dan terus berkurang.

Rafa memicingkan mata. Ia memastikan matanya tidak salah lihat bahwa
hari masih pagi dan jam digital pada kereta listrik menunjukkan pukul
10. Rafa mulai berspekulasi bahwa jam hologram tersebut bukan
menunjukkan waktu yang berjalan melainkan sisa waktu yang tersedia
bagi Rafa untuk menyelesaikan pertarungan ronde pertama. Ia menduga
jika Thurqk telah mengirimnya melintasi dimensi menuju planet Gliese
di masa lalu, tepatnya 24 jam sebelum planet Gliese 518g mengalami
keruntuhan.

Rafa mengamati sekitarnya. Kondisi bangunan masih utuh dan bisa
digunakan, tapi makhluk hidup yang berada di sana berupa kilasan
cahaya sejenis hologram. Sepertinya mereka tidak akan terpengaruh oleh
pertarungan yang sedang berlangsung karena mereka hanya rekam alam
dari kejadian masa lalu.

Planet Gliese 518 g berupa daratan tandus layaknya di Bulan. Kehidupan
ditopang oleh bangunan berbentuk kubah yang melingkupi kawasan
pemukiman. Sumber energy planet berasal dari menara Katai Merah yang
berada di khatulistiwa.
Menara Katai Merah yaitu berupa bangunan pembangkit listrik tenaga
katai merah (sejenis panel surya/solarcell). Bentuknya mirip cincin
pada Saturnus karena bangunan itu dibuat menggelilingi planet Gliese
518g dengan ditopang pilar-pilar raksasa yang menancap kuat di
permukaan planet.

Pilar penyangga menara adalah gedung kokoh yang dijadikan pemukiman.
Sehingga kehidupan di Gliese 518 g berada dalam kubah menara katai
merah. Kubah raksasa itu sanggup menampung seluruh penduduk. Aktivitas
mereka layaknya manusia Bumi. Mereka juga mengembangkan usaha
pertanian, peternakan, bisnis jasa, dan penelitian ilmiah. Ambisi
penduduk Gliese 518 g adalah mengubah kawasan tandus menjadi subur
layaknya di Bumi. Kecanggihan tekhnologi mereka memang mendukung
kehidupan, tapi belum sanggup menciptakan kehidupan.

Dan ambisi tersebut membuat para ilmuwan gencar melakukan berbagai
penelitian dan percobaan ilmiah. Hingga sebuah kecelakaan di
laboraturium menyebabkan kehancuran seisi planet. Seorang ilmuwan
bernama Helios diduga menjadi biang keladi percobaan gagal itu.

***

Hologram kereta listrik berhenti di hadapan Rafa. Para penumpang yang
berwujud hologram berhamburan turun. Rafa mengenali salah seorang
penumpang itu sebagai Freon muda yang sedang mengandeng seorang
balita. Balita itu tak lain adalah Rafa yang terlahir dengan nama
Grafit.

Rafa ingat kenangan 20 tahun lalu di tempat itu. Pagi itu, Freon
mengajaknya ke laboraturium untuk menemui Ayahnya. Sayangnya, rencana
pertemuan itu gagal karena Ayahnya menolak ditemui. Grafit(Rafa kecil)
telah diasuh oleh Freon sejak ia berumur 2 tahun. Tepatnya setelah
masa penyusuan selesai, Ibunya harus kembali bekerja sebagai ilmuwan
dan menyerahkan Grafit untuk diasuh Freon. Ibunya tewas dalam
kecelakaan di laboraturium saat Grafit berumur 3 tahun.

Sebagai pengasuh, Freon bertanggung jawab penuh atas Grafit. Freon
berperan sebagai pelindung sekaligus guru bagi Grafit hingga Grafit
berumur 17 tahun. Freon memiliki kemampuan mengendalikan pikiran
Grafit untuk patuh kepada dirinya. Ia juga diharuskan mengisolasi
keterikatan emosi Grafit pada orangtuanya agar bocah itu tidak manja.
Tapi Freon melanggarnya.

Rafa mengikuti hologram Freon dan dirinya semasa kecil menuju kawasan
terbuka di luar stasiun. Tempat berupa taman dengan hamparan rumput
hijau dan tanaman dalam pot. Tempat berkumpulnya para hologram
penghuni planet yang sedang melatih kemampuan mereka mengendalikan
elemen.

Rafa memperhatikan para hologram yang sedang berlatih mengendalikan
elemen dengan seksama. Sesekali ia menirukan cara mereka
mematerialisasikan partikel atom di udara menjadi api, air, es, angin
dan benda lainnya yang bisa dijadikan senjata. Tak semua percobaan
Rafa mengendalikan elemen berhasil. Kadang ia gagal mematerialisasikan
elemen yang diinginkannya. Misalnya saat mengunakan elemen oksigen dan
hydrogen untuk menghasilkan cambuk api tapi Rafa malah memunculkan
semburan air.

Rafa memaki dirinya sendiri yang masih amatir menguasai kemampuannya
itu. Sekian tahun hidup nyaman di Bumi, membuat Rafa lalai dan tak
mengasah kemampuannya sama sekali. Kemampuan yang pernah diajarkan
Freon itu telah tertidur selama 20 tahun dalam alam bawah sadarnya.
Beruntung, Freon yang ada di hadapannya hanya hologram sehingga Rafa
tidak mendapat hukuman atas kebebalannya itu. Rafa tersenyum geli saat
menyaksikan Grafit kena jewer Freon karena gagal menciptakan cambuk
angin.

***

Seorang gadis berkulit coklat sedang mangamati Rafa dari kejauhan.
Namanya Sjena, gadis pengendali bayangan nan brutal. Dari balik magic
glasses-nya, ia menganalisa kemampuan bertarung Rafa.

"Masih petarung amatir," cibir Sjena sembari membidik Rafa dengan
'darts' fake fire yang ia arahkan ke leher Rafa. Sekali tembak maka
satu peserta telah berhasil ia singkirkan.

Semburan fake fire melesat ke leher Rafa. Ekor mata Rafa menangkap
kilasan sinar berbentuk anak panah itu, ia meloncat menghindar. Sinar
itu meleset dan hanya menggores lehernya.

Rafa berhasil menangkis 5 anak panah api dengan pedangnya. Ia waspada
terhadap serangan yang akan menerjangnya. Matanya menyapu
sekelilingnya, mencari sosok yang telah menyerangnya barusan.

Sjena muncul dengan sepasang pedang di tangannya. Ia menyerang Rafa
dengan tebasan bertubi-tubi. Ia makin geram ketika pedang Rafa
berhasil menangkis serangannya dan malah terkesan menghindar.

Sjena tak sudi berlama-lama bertarung dengan Rafa. Masih ada 3 orang
lagi yang harus dihadapinya dalam turnamen ini. Sjena melancarkan
serangan 'Golem hand' yang membuat Rafa jatuh terjerembab terkena
pukulan bayangannya sendiri. Kemudian Sjena memantik 'Sword' dan
menghunjamkannya ke tubuh Rafa yang terkapar di lantai.

Rafa berguling menghindari serangan Sjena. Sambil menahan nyeri di
badannya, Rafa melecutkan cambuk angin yang membuat Sjena terhempas
membentur dinding kaca.

Sjena meringis menahan nyeri. Wajah dan lengannya lebam. Ia
menertawakan dirinya sendiri yang bisa dilukai seorang amatir.

"Hahaha…hanya segini kemampuanmu, hidung kuda?" cibir Sjena sambil
memantik 'Canon'. Sepuluh detik kemudian ia menembakkan bola api yang
menimbulkan ledakan di hadapan Rafa. "Game over, now!"

Ledakan itu menghancurkan lantai keramik dan merobohkan tembok dalam
radius 10 meter di sekitarnya. Asap mengepul dari bekas ledakan.
Beruntung, Rafa sempat menyelamatkan diri dan berlari menjauh dari
Sjena.

***

Perempuan berambut pelangi dengan hiasan sayuran di kepalanya mengucek
matanya. Ia mengamati sekelilingnya yang dipenuhi oleh tanaman hijau.
Tanaman itu tertata rapi dalam petakan lahan berbentuk kotak berukuran
2 x 3 meter. Mendadak ia menjerit histeris saat mendapati dirinya
duduk di atas hamparan tanaman sawi. Ia merasa bersalah karena telah
membuat tanaman sawi itu rusak.

"Maaf, maafkan aku. Aku tak bermaksud merusak tanaman ini," katanya
sambil bersujud dan membenturkan jidatnya ke tanah. Perempuan berwajah
sendu bernama Mba Irwin itu beringsut perlahan. Ia mengibaskan tanah
yang menempel pada pakaiannya yang berwarna hitam.

"Maaf, apa Anda pemilik tanaman ini? Maaf, aku tak sengaja merusaknya.
Maafkan, aku," kata Mba Irwin pada gadis berambut merah yang sedang
mencabuti sawi.

Gadis berambut merah itu tak lain Anette, sang Suster Darah penyuka
sayuran organik. Ia tak menghiraukan Mba Irwin dan berlalu menuju
petakan pohon tomat yang dirambatkan pada tiang-tiang plastik. Lalu ia
beralih ke petakan tanaman wortel, oyong, dan kentang. Ia menyibukkan
diri dengan memenuhi keranjang berisi sayuran dan buah-buahan.

"Apa, Anda hendak membuat sup, Nona? Bolehkah aku membantumu?" ucap Mba Irwin.

"Berisik!" ketus Annete. Ia menarik sepasang jarum dari pinggang dan
melemparkannya ke arah Mba Irwin.

Kedua jarum itu menempel di leher Mba Irwin. Hanya menempel tapi tidak menancap.

"Maaf, ini kukembalikan jarum Anda," Mba Irwin menyodorkan jarum yang
sempat menempel di lehernya.

Annete menyelipkan jarumnya ke tempat semula. Ia mencabut belati di
pinggulnya. Ia melemparkan belati itu dengan sasaran dada kiri Mba
Irwin. Tapi belati itu malah terpental dan menyerang balik Annete.
Darah mengalir dari belati yang menancap di lengan kiri Annete.

"Maafkan aku. Aku tak bermaksud melukaimu, aku mohon jangan
menyerangku," pinta Mba Irwin sambil bersujud di hadapan Annete.

"Argh!" Annete mencabut belati yang menancap di lengannya. Lalu
menusukkan sepasang jarum di sekitar lukanya untuk menghentikan
pendarahan dan membuat lengannya mati rasa. Ia tak ingin terganggu
rasa sakit saat melampiaskan kekesalannya pada Mba Irwin.

Annete menikam Mba Irwin dengan belati. Berulangkali ia menghunjamkan
belati ke tubuh tapi Mba tak terluka sedikitpun. Tubuh Mba seperti
pegas yang mementalkan serangan Anette. Tak jarang kulit Annete yang
tersayat belatinya sendiri karena serangannya berbalik.

Mba Irwin menangis melihat Annete yang berlumuran darah. Tubuhnya
gemetaran. Keringat dingin membasahi pakaiannya. Sedih, takut dan
kasihan berbaur dalam hatinya. Ia tergugu sambil duduk memeluk
lututnya.

Mba Irwin tak ingin melukai siapapun tapi ia tak berdaya ketika
tubuhnya membalikkan serangan orang lain. Mereka yang menyerang Mba
Irwin akan celaka oleh senjata dan serangan mereka sendiri. Mba Irwin
hanya diam dan tak pernah melakukan perlawanan apapun.

Annete terengah-engah. Ia kelelahan usai menyerang Mba Irwin dengan
membabi buta. Serangannya sia-sia, Mba Irwin tak tergores sedikitpun.

"Maaf, aku harus pergi. Ada pertikaian yang harus kulerai," ucap Mba
Irwin sebelum menghilang dari hadapan Annete. Ia berteleportasi menuju
tempat Rafa dan Sjena yang sedang bertarung.

Annete mendengus kesal. Ia memunggut keranjang sayurannya. Kemudian
melangkah menuju gedung lain yang memiliki dapur.

***

Mba Irwin muncul ketika Rafa sedang memantik cambuk api untuk
menghalau serangan Fake fire Sjena. Kehadiran Mba Irwin membuat
konsentrasi Rafa buyar sehingga bukan cambuk api yang muncul melainkan
semburan air yang muncrat dan berbalik mengguyur Rafa.

Sjena terkikik sambil melesatkan 'Throwing dagger' ke arah Mba Irwin dan Rafa.

"Hahaha… dua lalat basah mati sekali tebas," ejek Sjena.

Mba Irwin membalikkan badan. Ia memejamkan mata saat pisau api nyaris
menyambar wajahnya. Pisau api itu malah terpental dan berbalik
menerjang Sjena.

Sjena tak sempat menghindar. Ia jatuh terkapar dengan perut
mengucurkan darah tersayat 'Throwing dagger'.

Mba Irwin histeris. Ia berlari menghampiri Sjena yang tergeletak tak
sadarkan diri di lantai.

"Maafkan aku, Nona. Maaf…" Mba Irwin terisak-isak. Ia berlutut di
dekat kaki Sjena.

"Balut lukanya," Rafa menyodorkan gulungan perban yang ia ambil dari
kotak P3K kepada Mba Irwin.

"Apa yang Anda lakukan? Mengapa gadis ini diikat?" tanya Mba Irwin
ketika Rafa mengikat tangan dan kaki Sjena dengan rantai.

"Gadis ini liar dan berbahaya. Sebaiknya dia dikurung di ruang gelap
agar tak membahayakan oranglain," kilah Rafa. Rafa sempat membaca
pikiran Sjena sewaktu menyentuhnya sehingga ia tahu jika Sjena takut
kegelapan.

Rafa agak menjauh saat Mba Irwin membalut luka di perut Sjena.
Kemudian Rafa membopong Sjena dan membawanya ke museum fotografi. Ia
mengurung Sjena di ruang gelap tempat cuci cetak foto manual.

***

Layar hologram berlogo huruf A warna merah menunjukkan angka
[20:17:42] dan terus berkurang.

Annete telah menemukan dapur yang ia cari. Ia sedang memotong sayuran
mengunakan pisau cadangan yang belum pernah ia gunakan. Seulas senyum
terukir di bibir Annete. Aroma segar menguar dari uap sup sayuran yang
hampir matang. Membangkitkan selera dan kenangan manisnya bersama
Rendi. Membuatnya melupakan rasa sakit dan darah yang merembes pada
perban di lengan kirinya.

Rendi mengajarinya banyak hal. Mengajarkan padanya bahwa keadilan itu
tegas, kesalahan adalah alasan. Namun selalu ada alasan untuk
melakukan kesalahan . Sebuah definisi yang terkesan ambigu dan
seringkali bertentangan dengan pemikiran Annete.

Lalu Rendi menunjukkan pada Annete buku tentang dunia yang indah.
Dunia yang futuristik dan penuh utopia. Mirip dengan dunia yang sedang
ia singgahi sekarang. Tempat megah dipenuhi keramaian para hologram
tapi terasa hampa. Dunia yang aneh dan berbeda dengan apa yang dia
alami di kotanya dan pelatihannya menjadi Damon.

Annete menuang sup ke dalam 2 buah mangkuk. Ia meletakkan keduanya di
atas meja. Ia duduk sembari menikmati semangkuk sup hangat. Ia percaya
kalau serat dari sayuran organik akan mempercepat pemulihan lukanya.

Jemari Annete bersiap menarik jarum di pinggangnya ketika seorang
lelaki bersorban menghampirinya. Lelaki itu mengenakan jubah coklat
dengan sebilah pedang lengkung yang menyembul di balik jubahnya.

"Selamat siang, Nona. Jika angin tak menipu penginderaanku, aku
merasakan aroma tanah yang menguar dari mangkuk ini," sapa lelaki
bersorban itu dengan santun. "Nama saya Reeh Al Sahr'a. Bolehkah saya
singgah sebentar di sini, Nona?"

"Aku Annete. Silakan, makanlah sup sayuran ini jika berkenan." Annete
beranjak meninggalkan meja. Ia meletakkan mangkuknya ke bak cuci
piring.

"Terimakasih, sup ini lezat sekali. Bagaimana caranya mencampurkan
tanah ke dalam masakan tapi tidak membuat kuahnya keruh?" kata Reeh
memancing obrolan.

"Itu bukan tanah melainkan oyong. Sejenis labu yang daging buahnya
lunak dan beraroma tanah basah," sahut Annete cuek.

"Hm, menarik sekali. Sayangnya, aroma tanah tak bisa menutupi bau
darah yang tercampur di dalamnya. Sudah berapa orang yang kau bunuh?"
Reeh menghunus pedangnya. Ia memasang kuda-kuda sebagai antipasi
serangan dadakan dari Annete.

"Kau korbanku selanjutnya!" sahut Annete sambil melempar empat jarum
ke arah Reeh.

Dua buah jarum berhasil ditepis oleh pedang Reeh. Dua lainnya menancap
di leher lelaki itu. Membuat Reeh sempat sesak napas saat jarum itu
menutup syaraf pernapasannya.

Dengan gesit, Annete memunggut keempat jarum yang dibuang Reeh. Ia
harus menjaga agar jarum istimewanya utuh selusin. Lalu ia menyerang
Reeh dengan lemparan sepasang belati. Keduanya berhasil ditangkis oleh
pedang Reeh.

Annete bersalto dan mendaratkan tendangan di wajah Reeh. Membuat Reeh
terhuyung dan nyaris terjatuh. Kemudian ia meraih sepasang belatinya
yang tergeletak di lantai dan menikam Reeh berulangkali. Diselingi
pukulan, sikutan, dan tendangan yang menghajar badan Reeh tanpa ampun.

Reeh beringsut mundur. Ia agak kewalahan menghadapi kegesitan Annete.
Ia juga sedang frustasi karena angin di tempat itu sedang tak
bersahabat dengannya. Angin dalam kubah raksasa itu membisu saat ia
panggil. Bagi Reeh, angin adalah separuh jiwanya. Tanpa bantuan angin,
tebasan pedangnya kehilangan tenaga.

Sepanjang pengembaraannya melintasi berbagai benua dan samudera, baru
kali ini Reeh merasa dikhianati angin. Ia mendapati kejanggalan pada
hembusan angin. Ia mendengar dua bisikan angin. Yaitu bisikan lembut
dari angin di dalam kubah dan lengkingan angin di luar kubah.

Angin di luar kubah menjerit memanggilnya agar keluar dengan mengirim
butiran pasir yang mengetuk-ngetuk dinding kaca. Sedangkan angin di
dalam kubah menahannya agar tetap berada di dalam kubah dan
mengabarkan bahayanya di luar kubah. Namun Reeh tak bisa memanggil
keduanya untuk membantunya.

Reeh menghalau serangan Annete sambil menyanyikan syair pemanggil
angin. Terdengar merdu bagai dentingan genta angin yang mengiringi
tarian pusaran pasir di luar kubah. Hembusan angin di dalam kubah
menyahut panggilan Reeh dalam bentuk angin lesus mini.

Annete menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Nyanyian Reeh
membuat kepalanya berdenyut. Matanya terasa berat. Tapi Annete
berusaha melawan kantuk. Ia tak ingin tertidur. Ia benci bermimpi.

Annete meraih meja dan melemparkannya pada Reeh. Meja itu hancur
terkena tebasan gelombang angin dari pedang Reeh.

Reeh tersenyum puas. Ia telah berdamai dengan angin di sekitarnya.
Kini, ia dapat meminta hembusan angin untuk membantunya. Ia membalas
serangan Annete dengan tebasan pedang bertubi-tubi. Reeh berhasil
mengimbangi kegesitan Annete. Bahkan ia telah membuat Annete terdesak.

"Beristirahatlah dengan tenang, Annete," ucap Reeh sambil menebaskan
pedangnya sekuat tenaga.

Annete masih sempat menghindari tebasan pedang. Sayangnya, ia tak bisa
menggelak saat pilar beton menimpa dirinya. Ia terkapar berlumuran
darah di bawah gencetan pilar beton. Perlawanan Annete berakhir sampai
di sini.

***

Layar hologram berlogo huruf A warna merah menunjukkan angka
[19:27:53] dan terus berkurang. Siang mulai tergelincir menjelang
senja.

Usai mengurung Sjena dalam ruang gelap, Rafa mengajak Mba Irwin ke
rumah sakit. Ia mencemaskan kondisi Mba Irwin yang tampak pucat dan
lesu. Rafa sempat membaca pikiran Mba Irwin saat keduanya berjabat
tangan. Ia merasa iba atas perjalanan hidup sang Peacemaker itu.

Sempat terbesit niat untuk menghapus kenangan menyedihkan dalam
pikiran Mba Irwin. Tapi bayangan Shiren membuat Rafa mengurungkan
niatnya. Ia tak mungkin menjadikan Mba Irwin sebagai perempuan ketiga
yang ia hapus memorinya. Ia tak sanggup mengkhianati istrinya.

"Berbaliklah, aku akan menggeringkan pakaianmu," pinta Rafa agar Mba
Irwin berdiri memunggunginya.

Rafa beraksi menyemburkan hawa hangat dari telapak tangannya yang
berpendar kemerahan. Beberapa saat kemudian pakaian Mba Irwin telah
kering.

"Makasih, maaf telah merepotkanmu," ucap Mba Irwin sambil tertunduk.
Ia merasakan lantai yang dipijaknya bergoyang. Pandangannya menjadi
buram. Selanjutnya ia jatuh terkulai di lantai. Mba Irwin pingsan
karena kelelahan.

Rafa membopong Mba Irwin dan berlari ke ruang rawat rumah sakit. Ia
membaringkan Mba Irwin di ranjang salah satu bangsal. Para dokter dan
perawat tak ada yang bisa memberikan pertolongan karena semuanya hanya
hologram.

Rafa mengambil selang infus dan perlengkapannya. Ia mengamati hologram
dokter yang sedang memasang infus pada pasien. Lalu menerapkannya pada
pemasangan infus di tubuh Mba Irwin. Rafa bersyukur, tubuh Mba Irwin
mengizinkan jarum infus menembus pembuluh darah.

Setelah memastikan Mba Irwin berbaring dengan nyaman, Rafa beranjak
meninggalkan rumah sakit. Ia melangkah menuju laboraturium tempat
Ayahnya bekerja. Ia berharap bisa menemukan jawaban tentang misteri
keruntuhan planet Gliese 518g di sana.
***

Langit telah menurunkan tirai malam. Menyembunyikan sinar katai merah
di balik selimut kegelapan. Layar hologram berlogo huruf A warna merah
menunjukkan angka [15:37:28] dan terus berkurang. Setengah hari telah
terlewati dan pertarungan masih akan berlanjut.

Rafa masih berkutat di laboraturium selama berjam-jam. Mengumpulkan
segenap informasi tentang Helios dan penelitiannya. Tapi ia tak
menemukan satupun petunjuk yang terkait nama Helios. Tak ada seorang
ilmuwan yang bernama Helios.

Rafa beralih menyelidiki dokumen terkait kecelakaan laboraturium yang
menewaskan Ibunya. Dokumen itu menyebutkan nama Hydra sebagai salah
satu nama korban tewas. Hydra seorang ilmuwan perempuan beranak satu,
mantan istri dari Etan.

Rafa menemukan folder pribadi milik Hydra. Folder itu berisi
sekumpulan catatan bantahan atas teori yang dikemukakan oleh Etan.
Tampaknya Hydra menentang proyek penelitian yang sedang dikerjakan
Etan. Dalam catatan itu terlampir denah lokasi penelitian dan sejumlah
foto pemandangan di Bumi.

"Demi Grafit, anak kita, aku takkan membiarkanmu meneruskan proyek
itu, Etan!" bunyi tulisan terakhir dalam catatan itu.

"Etan?" nama itu terasa sangat asing oleh Rafa. Sosok seorang Ayah
yang belum pernah ia temui. Bahkan ia tak pernah tahu wajah orang
bernama Etan itu. Ia melacak dokumen lain yang terkait nama Etan. Tapi
yang ia temukan hanya data singkat tentang korban kecelakaan
laboraturium. Etan termasuk salah satu korban yang terluka parah dan
dirawat di sebuah ruangan khusus di rumah sakit.

Rafa mencetak dokumen yang ia butuhkan. Dimasukkannya gulungan kertas
serupa plastik itu ke dalam saku hoodie. Lalu ia bergegas ke rumah
sakit.
***

Bisikan angin menuntun Reeh ke museum fotografi. Ia hanya
melihat-lihat sekilas aneka foto dan kamera yang dipajang di museum.
Angin memberitahunya bahwa ada seorang gadis yang disekap di kamar
gelap. Dari angin pula Reeh mengetahui cerita pertarungan antara Sjena
dan Rafa.

Di dalam kamar gelap, Sjena siuman. Ia berusaha menghalau rasa
takutnya dengan memantik fake fire berbentuk kucing. Pendaran sosok
kucing itu membuat ruangan menjadi temaram. Sjena terlalu lemah untuk
membebaskan diri dari belenggu rantai.

Tebasan pedang Reeh menjebol pintu kamar gelap. Ia membebaskan Sjena
dari belenggu rantai.

Tanpa berterimakasih, Sjena langsung kabur meninggalkan Reeh. Ia
berteleportasi ke sebuah gerai makanan instan. Menjarah makanan untuk
mengisi perutnya yang telah seharian kosong.

Reeh hanya terkejut sesaat. Ia masa bodoh dengan kepergian Sjena. Lalu
melanjutkan langkahnya menuju rumah sakit. Bisikan angin menuntunnya
untuk menemui Mba Irwin yang masih terlelap di ranjang rumah sakit.
***

Sjena mendongak, ia memandangi layar hologram yang menampilkan angka
[12:00:54]dan terus berkurang. Seingatnya, layar tersebut menunjukkan
angka [23:55:47] disaat kedatangannya di tempat itu. Sjena menduga jam
digital itu semacam bom waktu yang akan meledak usai turnamen.

"Masih ada 12 jam untuk menyelesaikan permainan. Gimme space!" gumam Sjena.

Sjena mengamati Rafa dari kejauhan. Ia terlanjur mendendam pada pemuda
yang ia juluki hidung kuda itu. Tapi ia menahan diri untuk tidak
bertindak gegabah. Ia mewaspadai kehadiran Mba Irwin yang akan
mengacaukan serangannya terhadap Rafa. Ia bisa celaka jika Mba Irwin
mendadak muncul dan membalikkan serangannya. Senjata makan tuan.

Sjena bersembunyi di balik tembok ketika melihat Reeh berjalan menuju
bangsal Mba Irwin. Sebuah ide berpijar di benaknya. Ia bisa
memanfaatkan Reeh untuk menghabisi Rafa. Syukur-syukur kalau Rafa dan
Reeh saling bunuh, maka ia dapat memenangkan turnamen tanpa buang
energi.

Hanya satu masalah yang masih mengganjal, Mba Irwin. Sjena memutuskan
untuk menjauhkan Mba Irwin dari kedua lelaki itu. Ia berteleportasi ke
ruang rawat Mba Irwin. Dalam sekejab, Sjena telah berdiri di samping
ranjang Mba Irwin. "Hai,
gimana kondisimu? Sudah membaik?" sapa Sjena sok ramah.

"Kamu? Maaf, aku tak bermaksud mencelakaimu," ucap Mba Irwin agak
kaget. Ia buru-buru melepas jarum infus yang menancap di lengannya.
Lalu turun dan bersembunyi di bawah ranjang. "Kumohon, pergilah! Aku
tak ingin kalian saling menyakiti lagi," pinta Mba Irwin.

"Hei! Jangan ganggu Mba Irwin!" pekik Rafa sambil menembak Sjena
dengan senapan laser.

Sjena mengaktifkan 'Shield' yang ia jadikan tameng untuk melindungi
dirinya dari tembakan Rafa. Sjena meraih tangan Mba Irwin, lalu
berteleportasi. Ia membawa Mba Irwin ke sebuah bangunan yang terletak
100meter dari rumah sakit.

Di saat hampir bersamaan, Reeh tiba di ruang rawat Mba Irwin. Tembakan
laser Rafa menembus bahu kiri Reeh, membuat Reeh menjadi berang. Reeh
balas menyerang Rafa dengan tebasan pedang berkekuatan angin. Bangsal
tersebut menjadi porak-poranda diterjang gelombang angin dari pedang
Reeh.

Rafa terhempas membentur dinding. Senapan lasernya terlempar dan jatuh
di lantai. Ia melecutkan cambuk angin untuk menghalau serangan Reeh.
Tapi serangan Rafa ditelan oleh pusaran angin ciptaan Reeh.

Rafa meraih senapan laser yang tergeletak di lantai. Ia menembakkan
laser ke atap dan plafon di atas kepala Reeh hingga runtuh. Runtuhan
atap menimpa Reeh. Mungkin runtuhan atap takkan membunuh Reeh, tapi
setidaknya benda itu dapat menghentikan serangan Reeh sementara waktu.

Rafa berlari meninggalkan Reeh yang tertimbun reruntuhan atap. Ia
bergegas mencari keberadaan Mba Irwin. Rafa mencemaskan Mba Irwin.
Meskipun kebal terhadap serangan fisik dan magic, tapi Rafa tahu jika
Mba Irwin sebenarnya rapuh dan bisa mati. Ia takkan membiarkan Sjena
mencelakai Mba Irwin.
***

Kesunyian membekap malam. Pertarungan Rafa dan Reeh yang terhenti
membuat Mba Irwin tak bisa berteleportasi menemui Rafa. Teleportasinya
hanya berfungsi mengirimkannya ke lokasi pertikaian. Kini, Mba Irwin
hanya bisa duduk mematung di balkon sebuah apartemen. Ia duduk di
samping Sjena yang merangkul bahunya.

Sjena memandangi angka jam hologram yang makin menyusut. [08:00:18]
dan terus berkurang. Masih tersisa 8 jam menjelang turnamen berakhir.

Dinihari mulai mengusir kegelapan dari cakrawala. Semburat cahaya
mulai menampakan diri di ufuk timur. Seakan tak sabar untuk menjemput
sinar katai merah dan menyambut pagi datang.

"Kenapa kau resah? Bukankah seharusnya kau senang karena pertikaian
mereka berakhir tanpa campur tanganmu?" ejek Sjena. "Asal kau tahu,
kau hanya dijadikan tameng oleh Rafa. Lelaki berhidung kuda itu ingin
membunuh lawan tarungnya dengan memanfaatkan kekebalan tubuhmu yang
membalikkan serangan mereka. Seperti yang kualami misalnya," lanjut
Sjena memprovokasi Mba Irwin.

"Tidak, kamu keliru Sjena. Rafa orang baik. Dia takkan berbuat selicik
itu," kilah Mba Irwin.

"Benarkah? Jangan tertipu dengan penampilannya semata. Besok pagi akan
kutunjukkan padamu jatidiri Rafa yang sesungguhnya. Rafa juga seorang
pembunuh!" tegas Sjena.
***

Sjena menepati janjinya. Jam 8 pagi Sjena mengajak Mba Irwin
berteleportasi menuju rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Sjena
mengajak Mba Irwin mengamati Rafa dari tempat persembunyian.

Rafa keluar dari rumah sakit sambil mendorong Reeh yang terkulai lemas
di kursi roda. Badan Reeh tampak dipenuhi luka. Ia membawa Reeh menuju
sebuah pintu yang terletak di dinding kubah kaca.

Sebuah lorong bening muncul ketika Rafa menyentuh pintu kaca. Lalu
Rafa mendorong kursi roda Reeh sekuat tenaga ke dalam lorong itu.
Sesaat kemudian lorong itu melesak keluar kubah. Menghempaskan tubuh
Reeh ke hamparan padang pasir tandus di luar kubah.

"Selamat jalan, Reeh," ucap Rafa saat menyaksikan tubuh Reeh dilahap
pusaran angin gurun. Rafa menyeka buliran airmata yang menyisip di
sudut matanya.

"Selamat Rafa, kau telah berhasil menyingkirkan Reeh," ujar Sjena.

Rafa terkesiap saat melihat Sjena dan Mba Irwin berada di hadapannya.
Ia tak menyangka Mba Irwin menyaksikan tindakan kejinya kepada Reeh.
Ia tertunduk tak sanggup menatap mata Mba Irwin yang dipenuhi
kekecewaan.

"Aku tak bermaksud membunuh Reeh, aku hanya membela diri," kata Rafa.

"Membela diri dari orang yang sedang sekarat?" tanya Mba Irwin penuh emosi.

"Ak..aku hanya memenuhi permintaan terakhir Reeh. Ia minta dikuburkan
di padang pasir," kilah Rafa.

Mba Irwin tergugu. Ia jatuh berlutut di hadapan Rafa. Ia menangis
sambil membentur-benturkan jidatnya di lantai. "Maafkan aku. Kumohon
berhentilah bertarung. Jangan ada lagi pertumpahan darah di antara
kita," pinta Mba Irwin.

Sjena menyeringai. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang Rafa
yang sedang lengah. Ia menghunjamkan sepasang pedang ke tubuh Rafa.

Kegesitan Sjena membuat Rafa kurang sigap. Ia hanya mampu menangkis
sebilah pedang. Sedangkan satunya menusuk perut Rafa. Darah segar
mengalir dari luka di perut Rafa.

Sambil memegangi perutnya, Rafa melecutkan cambuk api. Sjena merangkul
leher Mba Irwin yang ia jadikan tameng untuk membalikkan serangan
Rafa.

"Maaf Sjena, aku bukan tamengmu!" jerit Mba Irwin sembari melepaskan
diri dari rangkulan Sjena. Mba Irwin berteleportasi tepat sedetik
sebelum cambuk api membakar Sjena.

Pertarungan Rafa dan Sjena telah berakhir dengan kematian Sjena.
***

Dentuman keras terdengar. Ledakkan dahsyat itu bersumber dari laboraturium.

"Jam berapa sekarang?" tanya Rafa cemas.

"Jam 00:10:43, ada apa, Rafa?" sahut Mba Irwin yang sedang berjalan
sambil memapah Rafa.

Keduanya telah berada di depan pesawat antariksa yang dulu digunakan
Grafit dan Freon melarikan diri ke Bumi. Waktu mereka hanya tersisa
sepuluh menit sebelum planet Gliese 518g mengalami keruntuhan.

"Cepat masuk! Waktu kita tak banyak lagi," paksa Rafa.

Ia dan Mba Irwin bergegas masuk ke dalam pesawat bersamaan dengan
sosok hologram Freon dan Grafit. Kini, Rafa duduk di bangku Freon
sedangkan Mba Irwin duduk di bangku Grafit.

Pesawat antariksa yang ditumpangi Rafa dan Mba Irwin hampir lepas
landas. Rafa segera mengaktifkan portal antar dimensi agar mereka
selamat dari ledakan dahsyat itu. Namun, alat yang dibutuhkan malah
tidak berfungsi. Dan muncul pesan peringatan di monitor yang berbunyi,
"Hanya satu yang menjadi pemenang sejati!"

"Sebentar, aku akan memeriksa kerusakan mesin," kata Mba Irwin sambil
melepas sabuk pengamannya.

"Jangan, tetaplah di sini. Kita akan pergi bersama," cegah Rafa. Ia
menggenggam jemari Mba Irwin.

"Pergilah dulu, nanti aku berteleportasi menyusulmu." Mba Irwin
melepas genggaman Rafa. "Jangan cemas, aku kebal terhadap serangan
fisik dan magic. Ledakan ini takkan membunuhku jika aku belum mau
mati." Mba Irwin tersenyum manis.

Mba Irwin turun. Ia berlari menjauh dari pesawat antariksa.

"Selamat jalan, Rafa. Tuanku Antakaba, jemputlah aku. Aku tak mau
hidup sendirian di sini," ucap Mba Irwin saat melepas pesawat Rafa
lepas landas.

Mba Irwin merentangkan kedua tangannya. Ia menyambut sosok Antakaba
berwujud ksatria berzirah api. Tubuh Mba Irwin sirna ketika Antakaba
memeluknya.

***

"Maafkan aku, Mba Irwin. Terimakasih atas segala pengorbananmu," ucap
Rafa sembari menyeka buliran airmata yang menyisip di sudut matanya.

Untuk kesekian kalinya, Rafa menyaksikan cincin raksasa itu remuk.
Menara katai merah yang sempat menjadi rumahnya, kini telah musnah.

*END*

25 comments:

  1. Hmm... Info dump yang terlalu banyak bikin saya kurang menikmati ceritanya, terutama karena cerita ini terlalu pendek untuk info dump sebanyak itu. Dari segi karakter, kenapa Rafa jadi terkesan terlalu naif? Ini model Highlander "There can be only one!" No need to save others, it's save your own arse buffet~

    Use 'em, or kill 'em all~

    7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih atas penilaian dan komentarnya :). akan kujadikan pembelajaran untuk tulisan berikutnya (pasrah kalo Rafa yang didepak Thurqk :D)

      Delete
  2. uwaaa baca ini bikin gw malu T^T
    ternyata bener Rafa jadi OOC di cerita Mba Irwin. sori banget ya Marowati T^T

    dan dunianya... alamak jaan! gw salah bikin juga ternyata. haihh... yawdah deh gw anggep aja gw masuk realm sebelum ledakan terjadi. setidaknya gw jadi punya alasan ngapa si Rafa lari buru-buru...

    buat reviewnya.
    terlalu banyak infodump - informasi cerita yang bikin begah. Batasan setiap orang dalam menerima info beda-beda. gw jujur ngerasa agak terganggu dan sialnya, ngaruh ke feel baca cerita.
    gw jujur susah ngerasain dalemnya emosi karakter di sini. mereka kayak cuma sekedar tempelan dari charsheet (sori...). mudah2an ini cma karena mood baca gw lagi jelek..
    gunain batasan waktu, misal lima menit lagi meledak, sepuluh jam lagi akan bla bla bla, seharusnya bisa digunakan untuk ngebangun tensi. Tapi di sini gw agak ngerasa itu ga digunain secara maksimal. mereka semua ga ngoyo untuk sebuah tujuan menyelamatkan diri (perhaps). true, gw akui kalo semua OC di blok K emang rada2 cuek/lethargy/pemalas/nirmotovasi... jadi mgkn emang susah ngedrive mereka. gw cma harap sih, time limitation ini beneran jadi sesuatu yang bisa ngasi mereka alasan.

    dan endingnya... napa tiba-tiba ada ksatria berzirah api yang kayak Antakaba? dan momen kemunculannya cma pas lagi mau lepas landas?
    do i miss something here?

    nilai: 7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih atas penilaian dan komentarnya yang mencerahkan :). aku masih butuh banyak belajar lagi dalam merangkai cerita. [bersiap mengemasi koper Rafa ;)]

      Delete
  3. Baca ini rasanya aneh.. Kayak, pas Reeh sama Anette, beberapa saat dipersilakan makan sup, tau" habis itu langsung berantem. Terus Rafa bopong Mba, Reeh entah kenaoa ngebukain ruangan Sjena gitu aja
    Intinya, buat saya dinamika antar karakternya berasa ganjil. Terus ini mungkin saya doang, tapi Rafsa sendiri ga keliatan menonjol sebagai karakter utama cerita selain waktu flashback dia di awal

    6/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih atas penilaian dan komentarnya yang akan kujadikan pembelajaran. :)

      Delete
  4. Seharusnya informasi sedetail ini disertakan sebagai prolog (cerita kematian Rafa). Selain menghindari miskomunikasi antar author tentang realmnya, juga untuk mencegah pembaca terdistraksi dari cerita yang harusnya berfokus di konflik antar karakter, bukan masa lalu Rafa.

    Tapi aku maklumi karena Rafa sendiri tidak punya banyak ingatan di sini, karena lama hidup di bumi. Dan reaksi orang pada umumnya adalah : mencari tahu masa lalunya. Bagiku yg udah baca charsheet, hal ini bisa dimaklumi. Tapi sayang, nggak semua orang baca charsheet, jadi ga semua ngerti apa yg dialami Rafa sebelum sampe kesini. :(
    Oke review dimulai

    Plot : Harusnya dengan hitungan mundur itu, cerita bisa lebih intens dan menegangkan. Misalkan mereka sadar, kalau itu adalah saat2 kehancuran planet dan mereka berlomba2 mencari jalan keluar, entah menggunakan pesawat, atau semacamnya. Namun ada beberapa pihak (preferably Sjena :p ) yang bakal ngehancurin pesawatnya sebelum dinaiki atau bahkan nembakin pesawat yg udah terbang pake cannon.
    Dgn plot itu, meskipun dgn battle yg minim tapi ketegangannya masih tetap berasa.
    Tapi sayang, cerita ini terkesan digarap buru2, sehingga di beberapa adegan terasa aneh, seperti saat Anette lagi makan sup terus tiba2 bertarung.
    Mungkin bakal lebih bagus kalo mereka sempet ngobrol dulu (karena aku nangkep image Anette disini cukup friendly ketimbang cerita lain lho) lalu sampe Reeh tanpa sengaja nyanyi bikin tidur sehingga Anette marah dan nyerang Reeh.

    Endingnya mungkin dimaksudkan untuk dramatis, tapi sayang pembaca kurang dapet feelnya :(
    Karena ga ada satu 'perjuangan' sebelum mereka bisa masuk ke pesawat. Andai mereka berkorban darah utk bisa masuk ke pesawat, tentunya itu bakal lebih keren.

    Lalu kalimat endingnya "
    Untuk kesekian kalinya, Rafa menyaksikan cincin raksasa itu remuk.
    Menara katai merah yang sempat menjadi rumahnya, kini telah musnah."
    Kurangnya peningkatan tensi dalam cerita membuat adegan terakhir ini jadi miss. Jadi kesannya datar banget, ga ada dinamika.

    Karakter : Karena ceritanya terkesan dibuat terburu2, maka karakteristik para karakter pun terkesan nggak nyampe. Sjena yang licik turun tingkat jadi barbar dan liar. Tapi aku menghargai kesediaan author yg udah make skill2 Sjena yang super ribet dan juga battle voice yang bahkan ga ada di charsheet. Makasi banyak ya, maap udah bikin bolak balik liat charsheet Sjena, dan maap juga soal hidung kuda >.<

    Reeh yang versi Mba jadi Sinbad kharismatik (ini juga soal style authornya yg puitis sih, jadi Reeh jadi lebih kharismatik) juga turun pangkat jadi Sinbad biasa aja. Aku juga minta maap sih udah bikin Reeh jadi semacam sand pirate (krn sama sekali ga ada bayangan ttg Reeh sebelum baca ceritanya).

    Lalu soal karakteristik Rafa sendiri.. Aku belum dapet feelnya. Sejauh ini masih sekedar 'pemuda random yang naif' karena ceritanya sendiri lebih memfokuskan pada masa lalu Rafa ketimbang karakter Rafa sendiri, yang jadi bumerang buat author. Sangat disayangkan :(

    Kalo soal Anette, aku ga bisa nilai karena kita semua ga ada yang tau sifatnya Anette gimana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. well saking panjang kritiknya sampe nggak muat >.<
      maafkan akuhhh

      Battle : Diawali dengan tanda tanya dari pembaca dan diakhiri dengan tanda tanya yang lebih besar.
      "Lho kok battle?"
      "Eh kok udah lese?"
      "Eh kok udah mati aja?"
      Pertanyaan itu berkecamuk di pikiranku saat baca.
      Taktik licik Sjena seharusnya bisa jadi plot twist yang jleb, tapi sayangnya author masukin sudut pandang Rafa sehingga twistnya jadi miss.
      Penggambaran adegan serasa kurang dramatis, emosi karakter kurang tergali, dan battlenya pun terlalu singkat.
      Lalu motif battle juga ga terasa. Andai dari awal battle direncanakan utk sekedar kill and win, tanpa motif tertentu, ga banyak bicara langsung serang, seperti yg ada di ceritaku, mungkin battle bakal lebih enjoyable.
      Tapi karena adanya dialog antar battler, dimana mereka setidaknya berusaha utk berkenalan, ini yg nggak digali author. Baru kenal tau2 bertarung, rasanya awkward. Lebih baik kenal lalu sayang atau nggak usah kenal sekalian dan bertarung, bukan? >.<

      Overall cerita ini ok buatku, cuma sayang kurang dipoles disana sini sehingga pesan yg ingin disampaikan jadi miss dan plotnya malah jadi bumerang buat author. Kalo dikerjain cepet2 gara2 mepet deadline, sungguh disayangkan.. Ide konflik yang seharusnya brilian malah jadi runtuh.

      Mungkin nilai ini agak kejam, tapi aku ngasi nilai berusaha seobjektif mungkin dan memperjelas poin2 kekurangan author. Semoga nilai ini nggak membuat author terpuruk, tapi malah termotivasi utk menulis karya yang lebih baik lagi. Semangat yo >.<

      Dariku 5.5/10

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
    3. Makasih Sjena.. eh Bayee atas penilaiannya (duh, dapat nilai merah nih). Makasih banget sudah meluangkan waktu untuk menuliskan kritikan yang renyah & gurih ini :). Aku memang terpaku pada character sheet yang tersedia saat nulis ini. Maksud hati menceritakan semua karakter secara manusiawi, tapi hasilnya malah patah semua :(. (Rafa bersiap meloncat sebelum diceburin ke neraka sama Thurqk :D)

      Delete
  5. ane agak-agak bingung bacanya, siapa yang kawan, siapa yang lawan. kadang mereka seperti berteman kadang bertarung
    tapi pertarungannya cukup seru, mudah dibayangkan
    Rafa nya juga sedang berjuang menguak masa lalu

    nilainya ane kasih 7

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Reeh, :). Rafa memang lagi bingung bedain kawan sama lawan di tunamen ini. Rafa masih meragu dengan tindakannya. Mungkin Rafa bakal alih profesi jadi pengasuh anaknya Freon kalo didepak sama Turqk. :)

      Delete
  6. rada ga enak bca endingnya :D
    "loh ko udah slese?? kirain msih ada trusannya"

    btw "Balut lukanya," Rafa menyodorkan gulungan perban yang ia ambil dari
    kotak P3K kepada Mba Irwin. <--- itu dpet dri mna ?? ._.

    7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah berkenan membaca. :)
      kotak P3K selalu tersedia di tiap bangunan, sebagai fasilitas standar keselamatan di kota futuristik.

      Delete
  7. "WHAT?" - some freeman in the street-

    Umi ngerasa konsep countdown waktu yang diberikan oleh si Thurqk ini keren parah >.< Dewa galak itu bisa juga bikin aturan yang keren >.<

    oke umi ingin sedikit bertanya pada mba(?) Marowati. Kenapa serangan jarumnya Annete pas di kebun sawi enggak mental balik ke dia malah lengket di leher Mba?

    trus si Reeh kok bisa nyium bau darah dalam sup yang dikasih Annete?

    Sama satu lagi, rasanya Sjena yang anaknya sadis begitu ga masuk akal lebih mentingin laper dan melewatkan begitu saja kesempatan bunuh Reeh.


    Nah itu tadi pertanyaannya yang akan Umi sambung lagi dengan saran :
    - Umi ngerasa konflik antar karakternya keren, cuma kurang diolah lagi biar ada feel klimaksnya. Mungkin bisa dinaikin intensitasnya menjelang akhir?

    - dan Endingnya, berasa enggak masuk akal karena, darimana munculnya Antakaba? dan Mba seharusnya ga mati? kan itu serangan fisik..

    Yak segitu dulu komen dari Umi, nilai dari Umi 7/10.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Umi, yang telah berkenan membaca dan beri penilaian. :)
      Baiklah, akan kujawab pertanyaanmu.
      1.Jarum Annete cuma nempel di leher Mba Irwin untuk menunjukkan bahwa Mba kebal serangan benda tajam, sejenis jarum beracun sekalipun. Biarpun menempel di kulitnya, tapi Mba takkan melukainya.

      2.Reeh bisa mencium bau darah dalam sup karena ada tetesan darah dari luka Annete yang tak sengaja jatuh & tercampur dalam sup. (Lengan Annete luka kena belati sewaktu menyerang Mba)

      3.Sjena masih lemas & trauma saat dikurung di ruang gelap. Sjena takut dengan kegelapan. Sjena memilih untuk memulihkan kondisinya dulu sebelum melanjutkan pertarungan.

      4.Kemunculan Antakaba sebagai wujud kobaran api adalah perlambang kepasrahan Mba Irwin yang sedang putus asa. Mba ingin mati agar bisa bertemu dengan mendiang Antakaba.

      Delete
  8. Maaf moi banyak skip bacanya karena di bagian awal terlalu crowded karena info dump. ''orz

    Tapi moi mengapresiasi konsep countdown-nya yang cukup keren. 6.8 dari moi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Collete :). Iya, maaf kalau membuatmu tak nyaman karena pemaparan setting yang kepanjangan.

      Delete
  9. Saya bacanya agak males di awal-awal, itu bikin pusing. Battlenya ngasih kesan gak jelas, kadang-kadang temenan, berikutnya langsung pukul-pukulan walaupun menurut saya adegannya cukup keren.

    7/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -