Pages

April 6, 2014

[ROUND 1 - A] VOLATILE - THE LAST DOUGHNUT.

[Round 1-A] Volatile
"The Last Doughnut"
Written by Orange Doughnut

---

Di sebuah rumah sakit, kamar no. 32a.

“Vola, pernahkah kamu menonton drama thriller dimana beberapa orang diambil acak dan kemudian dikumpulkan serta diminta membunuh satu sama lain hingga satu orang dinyatakan keluar sebagai pemenang. Bukankah ini genre cukup populer baru-baru ini? Apa namanya, ah, iya. Battle Royale,” kata seorang dokter muda yang terlihat berbicara kepada pasiennya yang sedang terbaring di ranjang putih.

“... Aku rasa aku pernah menontonnya. Itu kelihatan menarik,” kata pasiennya sambil mencoba duduk dan menyandar di sebuah bantal putih miliknya.

“Iya kan? Tapi, kamu tahu, apa yang menyebabkanmu berkata bahwa drama tersebut menarik?” sambung dokter itu lagi.

“Karena itu mirip game, mungkin. Tidak, tidak. Hmm, mungkin tepatnya aku hanya ingin mendapatkan hiburan dengan melihat orang satu sama lain saling bunuh-membunuh layaknya ayam sabungan,” kata pasien itu lagi sambil mengambil PSP yang berada disampingnya.

“Mungkin itu benar. Tapi, aku menanyakan hal yang lebih fundamental disini. Nggak tahu? Menyerah?”

“Hmm,.....,”

“Aku kasih tahu ya, kenapa kamu berkata dan berpendapat bahwa drama tersebut menarik adalah pertama, karena mereka adalah fiksi. Khayalan. Bualan kosong yang diperindah dengan plot dan karakter yang menarik. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku di realita. Mungkin, kamu akan menjerit ketakutan jika genre seperti ini katakanlah sebuah reality show yang sering ditayangkan tiap minggu di televisi.”

“Alasanmu masih meragukan.”

“Dan anggaplah kamu masih menyukai genre tersebut meskipun reality show, tapi ada satu hal lagi yang masih membuatmu mengatakan menarik. Hal itu adalah karena kamu merupakan seorang penonton. Penonton tidak ikut terlibat dalam acara tersebut, tidak ada resiko yang berarti seperti kehilangan nyawa karena kita menonton di batas aman. Namun, anehnya, kita masih bisa merasakan perasaan dan rasa deg-degan yang dialami seorang karakter tersebut pada saat pertarungan kan? Lain ceritanya jika kamu adalah seorang karakter yang entahbagaimana bisa tersesat dan mengikuti game itu. Aku rasa, pemikiranmu akan berubah.”

“Hmm, mungkin. Aku rasa, pendapatmu cukup benar. Tapi, itu irrelevan dengan kasus yang aku alami. Dan kita ada di dunia nyata. Aku meragukan jika tiba-tiba saja aku dibawa oleh malaikat merah, ketemu Tuhan yang menyuruhku membunuh satu sama lain, dan akhirnya aku menang,” katanya lagi.

“Masuk akal. Namun, kamu tahu, sebentar lagi mungkin kamu akan merasakannya. Genre itu. Atau bisa kubilang game ya?”

“Maksudmu?”

“Aku berbicara tentang metode pengobatan penyakitmu dari tadi loh. Ini,” kata dokter muda tersebut sambil melemparkan sebuah iPhone yang kelihatan masih baru. “Keadaanmu sudah dalam kondisi kritis, namun tidak cukup untuk membahayakan nyawamu. Tapi kerusakan dalam otakmu telah parah hingga merusak neo cortex tempat penyimpanan memori jangka panjangmu. Jika hal ini berlanjut, maka bisa dipastikan 80%, tidak, 100% ingatan serta pengetahuan di dalam otak jeniusmu akan corrupt dan hilang. Yah, anggap saja kasusnya seperti harddisk eksternal yang punya troubleshooting, dan komputer memintamu untuk memformat semua data yang berada disana. Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Format or Cancel?”

“Cancel.”

“Tentu saja. Aku juga mengekspektasikan jawaban tersebut. Sebagai orang yang hilang ingatan nanti, aku bisa katakan kamu adalah orang baru, sama seperti bayi yang baru lahir, namun lahir di usia yang kesembilanbelas.”

“Bukan itu alasannya. Jika aku hilang ingatan dan pengetahuan, aku akan kehilangan Ii dan project yang selama ini aku geluti. Selain itu, Ii pasti akan merasa bertanggung jawab terhadap apa yang menimpa kepadaku.”

“Tapi, kamu tahu, itu ada loh. Tiba-tiba dengan kekuatan cinta, keajaiban, dan doa, ingatanmu pulih kembali. Ya, kalau tidak salah aku pernah melihatnya di—”

“Di fiksi kan? Apa kamu bodoh ya? Kamu sendiri yang bilang, fiksi itu adalah bualan kosong. Jangan-jangan kamu dokter gadungan?”

“Tunggu, tunggu. Aku hanya bercanda. Beneran. Uhm, kembali ke topik. Jadi, opsi yang tersisa jika kamu memilih ‘cancel’ hanya satu.”

“Apa? Jangan bilang aku harus menjual diriku?” kata Volatile yang merupakan pasien di kamar itu.

“Ahaha, jika kamu menginginkannya aku setuju. Tidak, tidak. Maafkan aku,” kata dokter itu lagi setelah dilempar bantal oleh Volatile. “Jalannya mudah. Kamu ikut dan berpartisipasi pada game itu, menang, dan penyakitmu akan sembuh. Namun, sebelum itu, kamu harus...”

“Apa yang kamu katakan? Ikut game itu? Game apa?”

“Aku tidak bisa mengatakannya dengan jelas. Tapi, aku punya koneksi. Dia berkata ada sebuah pertarungan antara berbagai orang dari seluruh realms, dan jika kamu menang, maka keinginan mu mungkin akan terkabul.”

“Hei, apa kamu percaya dengan bualan kosong itu?”

“Setidaknya aku percaya dengan secercah cahaya yang bernama harapan,” kata dokter itu dengan serius. 

“Baiklah. Aku percaya denganmu. Dirimu terlihat serius sehingga aku tidak bisa mengatakan kamu bercanda. Jadi, aku harus mati?”

“Ya, kamu harus mati terlebih dahulu. Sebagai dokter, aku lebih menyarankan dirimu untuk memilih opsi satu loh. Meskipun kamu hilang ingatan, tapi paling tidak kamu masih bisa hidup dengan kakakmu. Opsi kedua mengandung resiko mati yang lebih besar, atau bisa dikatakan, jika kamu kalah, kamu tidak bisa hidup lagi di dunia ini. Apa kamu mengerti dengan resiko ini?”

“A-aku mengerti. Tentu saja aku mengerti. Hanya ada dua jalan ini kan? Kalau begitu, aku memilih jalan kedua. Dan apa aku harus mengulangi alasan yang telah kukatakan satu menit tadi?” kata Volatile sambil masih memainkan PSP yang berada di tangannya.

“Baiklah, jika keputusanmu itu. Aku rasa kamu sudah dewasa untuk memutuskan segalanya. Kalau begitu,” nada dokter itu kembali semangat, “Selamat datang ke dunia fiksi yang kamu pikir tidak pernah kita masuki. Semoga kamu menang dan keluar sebagai pemenang. Ah, iya. Ini ada oleh-oleh. Donat terakhir yang kamu makan di dunia nyata,” kata dokter itu sambil meletakkan sekotak donat di pangkuan Volatile.

“Apa aku akan mati?”

“Ya, kamu akan mati. Dan hidup kembali. Ingat itu di dalam otakmu dan yakinkan itu di dalam hatimu.” bisik dokter tersebut di dekat telinga Volatile.

“....Seperti biasa, kebiasaan burukmu itu,” jawab Volatile setelah mendengar apa yang dikatakan oleh dokter tersebut. “Ah, aku akan merindukanmu disana. Jika begitu, beri salamku kepada Ii. Katakan aku sayang kepadanya. Seribu kali sayang,” kata Volatile menunduk kebawah. “Dan mungkin kita akan bertemu lagi nanti.

Selamat tinggal, Ii,” katanya sambil mengambil satu buah donat yang berada di bungkusan yang diberikan dokter tersebut. 

Dia menggigitnya perlahan-lahan, sambil melimpahkan air matanya. Dokter muda yang berdiri di depan ranjangnya menundukkan kepalanya, dan menitikkan satu buah air mata juga.

“Selamat tinggal juga, Vola,” kata dokter muda tersebut.

Disaat dokter tersebut mengakhiri perkataannya, badan Volatilepun roboh dan jatuh tanpa nyawa lagi. Yang tersisa hanyalah dokter dan donat yang berisi racun di tangan Volatile.

Dan dari sinilah ceritapun dimulai.

---

What are you think about Lucia Chelios?

Crink. Crink. Crink.

Dari jauh terlihat percikan api muncul disaat tabrakan antara dua buah senjata berwarna hitam.

Satunya adalah pedang hitam yang dipakai oleh Volatile yang keadaannya hampir terpelanting. Sedangkan satunya lagi adalah baton hitam milik Lucia yang sekeras material yang belum bisa diidentifikasi keberadaan bahannya. 

Sekali lagi, baton hitam itu menyerbu masuk ke dalam daerah pertahanan Volatile. Volatile telah memprediksikan ini, namun karena gerakan refleks Lucia yang terlalu cepat, membuat Volatile memundurkan satu langkah kakinya kebelakang, menyiapkan kuda-kuda, dan menusukkan pedangnya untuk melawan serangan dengan serangan.

Alhasil, kedua senjata tersebut terpelanting sejauh sepuluh meter akibat gaya tumbukan yang besar diantara keduanya. Volatile tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan segera mencabut satu lagi pedang yang berada di pinggangnya. 

Keadaan mulai terbalik. Lucia yang melihat serangan yang akan datang itu segera bersiap dengan baton yang hanya tersisa di tangan kirinya. Namun, serangan pedang terlalu ganas untuk dihadapi dengan satu baton saja. Karena itulah, disaat pedang hitam Volatile mencoba merobek daging dada Lucia, dia membuang dirinya ke samping kanan, bergantung kepada gaya gravitasi yang menjatuhkannya ke sekumpulan botol bir kosong yang berserakan di tengah jalan.

Akibatnya, tebasan pedang hitam Volatile hanya memotong angin kosong dimana satu detik tadi Lucia berada. Namun, tebasan itu tidak berhenti sampai disitu saja, tapi pedang itu bergerak ke bawah dan kemudian menuju ke aspal yang membuat aspalnya terbelah menjadi dua saking kuatnya serangan yang dilancarkan oleh Volatile tadi.

“Ah, ah,....,” desah nafas Volatile yang mulai kelelahan akibat mengeluarkan energi yang tidak sedikit. Dia menatap Lucia yang masih terbaring di tumpukan botol bir kosong, dan mulai mengorek-ngorek saku labnya dan mengeluarkan satu buah donat miliknya.

---

Lucia yang terbaring langsung berdiri dan mengobservasi keadaan. Dia melihat keadaan Volatile. 

Dia tidak mencabut pedangnya yang terbenam di aspal kah? Apa dia kelelahan? Sepertinya dia benar-benar kelelahan.

Untuk situasi yang normal, mungkin ini adalah kesempatan emas bagi Lucia untuk melancarkan serangannya karena Volatile masih terlihat ngos-ngosan. Namun, situasinya juga tidak menguntungkan. 

Satu batonnya terlempar sejauh sepuluh meter dan dia hanya punya satu buah senjata untuk melancarkan serangan. Energinya juga -meskipun tidak seburuk Volatile- agak menurun. Apalagi jika melihat kemungkinan Volatile hanya berpura-pura lemah dan menunggunya lengah untuk menghancurkan dirinya.

Kesimpulannya, dia tidak bisa bertindak sembarangan sekarang. 

Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang? Ya, observasi menunggu gerakan selanjutnya yang dilakukan oleh lawannya. Barulah setelah itu dia akan berpikir apa yang harus dia lakukan nantinya.

---

Volatile menggigit donat yang dia keluarkan tadi, dan tiba-tiba matanya menatap pada sesuatu yang ada di aspal tempat dia berdiri.

Benda itu adalah sebuah topi trucker berwarna putih. Dia memungutnya, dan berkata kepada Lucia yang telah menyiapkan kuda-kudanya menunggu dia menyerang.

“Hei, ini punyamu kan? Tadi terjatuh saat kamu menghindar,” katanya sambil melemparkan topi tersebut ke arah Lucia.

Lucia yang melihat topi itu menuju kepadanya mundur sejauh tiga langkah. Akibatnya, topinya terjatuh lagi ke aspal berdebu itu. 

“Hei, bukannya itu sedikit tidak sopan. Padahal aku telah repot-repot memungutnya dan mengembalikannya kepadamu,” kata Volatile.

“Dan kamu akan segera melancarkan seranganmu kepadaku saat aku lengah menangkap topi itu kan. Aku sudah tahu rencanamu,” Lucia berkata. 

Meskipun begitu, dia sebenarnya tahu bahwa tidak ada jebakan apapun yang mengancamnya meskipun dia menangkap topinya. Jarak antara dirinya dan Volatile cukup jauh dan meskipun Volatile berakselerasi, dengan kemampuan refleksnya, dia bisa menghindar dengan mudah.

Namun, dia menjawab seperti itu untuk memastikan dan menimbang kembali kondisi dan keadaan Volatile.

“Yasudahlah. Omong-omong, kamu benar-benar menyedihkan ya?” kata Volatile tiba-tiba sambil masih menggigit donat yang berada di mulutnya.

“Haa...?” Lucia tidak mengerti apa yang sebenarnya anak ini katakan.

“Aku bilang, kamu menyedihkan. Eits, eits, jangan marah dulu,” kata Volatile saat melihat Lucia hendak melemparkan botol bir kosong yang berada dibawah kakinya kepada Volatile. “Aku tidak bermaksud buruk kok mengatakan itu. Anggap saja ini sebagai girl’s talk.”

Lucia masih menahan dirinya karena penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Volatile.

“Lihat saja. Kamu telah kembali ke kotamu. Daerahmu. Tapi, apa yang kamu lakukan? Menyerang gadis tidak berdaya sepertiku saat aku lagi makan. Bukankah itu buruk. Jika kamu tidak sendirian, tentunya kamu akan lebih sibuk untuk bertemu keluarga atau orang terdekat atau orang tersayangmu terlebih dahulu dibandingkan mengurusi urusan game ini kan? Sama halnya dengan kejadian tadi. Kamu tidak percaya dengan orang lain. Aku yang dengan baik hatinya memungut topimu dan memberikanmu saja tidak dilayani, ck, ck. Kasihan.”

“....”

“Yah, jadi kesimpulanya, kamu sendirian. Rumah tidak ada. Keluarga tidak ada. Merasakan kehangatan manusia satu sama lainnya tidak pernah kamu rasakan. Iya kan? Apa aku salah?” kata Volatile sambil tersenyum.

“..... Berisik,” sifat kalem Lucia mulai hancur. 

“Eh?” kata Volatile melongo.

“Berisik. Berisik. Berisik. Kamu jadi orang berisik banget ya? Dan kamu tahu, aku tidak suka dengan orang sepertimu.”

“Eh? Eh? Eh? Sebentar, tunggu dulu, Lucia. Aku tidak bermaksud menge—,”

Tiba-tiba kalimat Volatile dipotong oleh suara desiran angin akselerasi dari Lucia. Dia telah mengambil ancang-ancang dari tadi, dan dengan kekuatan refleksnya dalam sekejap mata dia telah berada di depan Volatile. Tepat berada di depan Volatile dan mencoba menghantamkan baton hitamnya kepada Volatile.

Volatile hanya tercengang melihat keadaannya yang tiba-tiba berada di ujung tanduk. Donat yang masih digigitnya jatuh ke tanah saking terkejutnya. 

Tapi, dia masih bisa dengan sigap menangkap baton Lucia. Terdengar tulang tangan kanannya remuk oleh baton yang disertai oleh energi kinetik yang tidak bisa dihitung seberapa besar kekuatannya. 

“Akhhh.....,” teriaknya sakit.

Tapi, serangan itu tidak berhenti sampai disitu saja. Di tangan kiri Lucia tergenggam sebuah senjata yang bukan berbentuk baton, tapi itu adalah...

Botol bir kosong tadi.

“ Anything Works Just Fine,” kata Lucia sambil meneriakkan jurusnya. 

Botol bir itu segera menuju ke kepala Volatile. Menubruk dan hancur berkeping-keping. Akibatnya, darah mulai mengalir dari sela-sela rambut hitam Volatile.

Namun, tidak hanya itu. Memanfaatkan kelengahan Volatile, Lucia mencengkramkan tangannya ke leher Volatile. Mengangkatnya tinggi-tinggi hingga Volatile tidak bisa bernafas. Dan tanpa menunggu Volatile kehabisan nafas, dia segera meluncurkan baton hitam keras miliknya ke mulut Volatile tanpa pandang bulu. Bermaksud menghancurkan rahang dan kerongkongan Volatile yang terlalu banyak bicara.

---

Kata orang, sungai yang tenang adalah sungai yang paling berbahaya. 

Karena apa? Karena disana ternyata buaya yang bersiap menunggu mangsanya lengah dan menerkamnya.

Sama halnya dengan Lucia. Meskipun dia bersikap kalem dan santai diluar, namun perasaannya tidak pernah mati atau dingin. Mungkin saja karena dia adalah perempuan jadi dia cukup sensitif dengan hal ini.

Apa yang dia dengar dari Volatile tadi, entah benar atau salahpun, dia tidak tahu. Tapi, hanya satu hal yang dia ketahui, yaitu dia tidak suka melihat orang lain bertingkah lebih tahu tentang perasaannya daripada dirinya sendiri.

Karena itulah, buaya itu menampakkan dirinya keluar karena tidak sabaran melihat mangsanya mengejeknya dari tepi sungai.

---

Kenapa semuanya menjadi seperti ini?, pikir Volatile.

Padahal dia hanya berkata apa yang dipikirkan olehnya saja. Dia juga tidak tahu apakah perkataannya itu merupakan fakta ataupun hanya bualan kosong belaka. 

Namun, tujuannya hanyalah agar dia bisa berteman dengan Lucia. Atau lebih tepatnya berkoalisi.

Awalnya, dia akan mengatakan kepada Lucia bahwa Lucia adalah makhluk yang menyedihkan dan sendirian. Kemudian, dia akan bilang, ‘Aku juga sendirian sekarang. Jika begitu, bagaimana kalau kita berteman saja?’ seperti itu dalam pikirannya.

Dan merekapun bekerjasama untuk menghabisi peserta lain dalam pertarungan ini.

Tapi, keadaan berkata lain. Persuasinya malah membuat Lucia menjadi naik darah. Akibatnya, dia telah berhasil dengan suksesnya mencapai maut.

Volatile hanya tersenyum menunggu baton milik Lucia mengoyak mulutnya.

---

What are you think about Colette?

“Ah, hari yang cerah,” kata sosok laki-laki yang memakai mantel berwarna perak tersebut sambil menyusuri jalanan becek melewati toko-toko kumuh yang ada.

Dia berada diantara kerumunan massa yang berjalan tanpa menghiraukan keberadaannya. Karena dari awal, dia tidak bisa terlihat. 

Namanya adalah Stallza, seorang Spiritia Master. Dulunya dia adalah pemilik kedai terkenal bernama ‘Black Tavern Alley’, namun karena sekarang dia sudah mati, mungkin lebih tepatnya dia adalah mantan pemilik kedai. 

Langkah kakinya membawanya ke sebuah pasar. Disana terdapat kerumunan orang yang saking banyaknya tidak bisa dihitung. Di pasar itu terdapat berbagai kedai yang menawarkan barang dagangannya, mulai dari ikan, apel, hingga barang perabotan dan pakaian.

Stallza yang merasa lapar mengambil satu buah apel dari tempat dagangan tersebut. Dia menggigit apel tersebut, dan kemudian mengambil satu lagi ke saku celana panjangnya.

Tiba-tiba dia melihat di tengah kerumunan orang banyak di pasar tersebut terdapat seorang sosok berpakaian eksentrik. Setelah dia melihat lebih teliti, ternyata tidak hanya pakaiannya, tapi juga wajah hingga rambutnya pun terlihat aneh. 

Stallza mulai membongkar ingatannya lagi. Jika dia tidak salah, hanya satu orang yang mempunyai karakteristik unik dan eksentrik seperti ini yang ikut berpartisipasi pada game ini. Ya, dia adalah Colette, si badut.

Sosok Colette berdiri di tengah kerumunan massa, namun seperti halnya Stallza, eksistensi serta keberadaannya tidak disadari oleh orang lain. Padahal, kelihatannya Colette seperti ingin menarik perhatian orang lain.

Stallza memperhatikan lebih seksama lagi. Sekarang badut itu mulai menggerakkan tangannya ke atas dan bawah di udara kosong seperti menarik tali yang tidak terlihat oleh mata. 

Sedetik kemudian, sebuah benda termaterialisasi di tangan Colette setelah dia menyelesaikan gerakan itu. Benda itu ternyata adalah balon berwarna merah. Colette kemudian memegang balon tersebut di tangan kirinya.

Apa dia yang sebenarnya dia lakukan. Ah, aku ingat. Badut biasanya kan memang punya balon dan dia akan membagikannya kepada anak-anak di didekatnya.

Stallza memperhatikan lagi saat ada seorang anak yang berjalan mendekati Colette. Anak tersebut berhenti di depan badut itu, namun kelihatannya tetap tidak bisa menyadari keberadaan Colette ada di depannya. Tapi, anehnya Colette tetap menjongkok dan mengambil satu buah balon digenggamannya dan mencoba memberikan kepada anak itu.

Namun, sebelum balon itu mencapai tangan anak itu, si anak tersebut sudah pergi karena dipanggil oleh ayahnya. 

Melewati Colette yang masih memegang balon berwarna merah tersebut. 

Sendirian meskipun ditengah kerumunan orang ramai.

---

“Eh, apa dia menangis?” kata Stallza heran. 

Sebagai seorang gentlemen, tentu saja, Stallza tidak bisa membiarkan seorang perempuan menangis di depannya. 

Aku harus menghiburnya. Tapi, bagaimana caranya? Ah, aku ada ide.

Stallza mengambil sebuah kristal berwarna biru laut dari tas pinggangnya. Dia berkonsentrasi kemudian bergumam,

“Come to me, to your master, Helia,” katanya hingga tudung yang menutup wajahnya terbuka. 

Sedetik kemudian, muncullah sebuah makhluk berwujud ubur-ubur berwarna biru transparan di atas kepalanya.

“Terbangkan balon itu sehingga semua orang bisa melihatnya,” kata Stallza senang karena berpikir jika balon tersebut terbang dan semua orang bisa melihatnya maka Colette pasti akan senang juga.

Perlahan-lahan balon yang dipegang oleh Colette melayang melawan gaya gravitasi yang ada. Colette baru menyadari keanehan tersebut setelah melihat tubuhnya sendiri melayang setinggi dua meter. 

Dan disaat itulah, Stallza menyadari kesalahan yang diperbuat olehnya. 

---

“Wii, balon moi kenapa bisa terbang seperti ini?” heran Colette saat ketinggiannya telah mencapai tiga meter.

“Tidaaak. Jika moi seperti ini terus, maka moi akan ke luar angkasa,” katanya lagi sambil mencoba melepaskan genggaman tangannya dari balon tersebut.

Namun, tangannya tidak bisa melepaskan balon tersebut. 

Balon itu bukan sekedar balon. Balon tersebut dibuat dari hatinya yang paling dalam. Dia berpikir bahwa sesuatu yang diciptakan olehnya akan berguna dan membahagiakan orang lain. Sama halnya dengan balon merah ini.

Balon ini dia ciptakan untuk anak laki-laki yang melihatnya tadi. Melepaskan balon ini sama saja dengan meletuskan balon ini di hadapan anak kecil tadi.

“Kejam. Ini kejam,” kata Colette sambil mencoba mencari jalan bagaimana caranya supaya dia bisa turun lagi kebawah tanpa meletuskan balon ini.

Tiba-tiba sebuah pisau memasuki daerah pandangannya dan sepertinya menargetkan ke balon tersebut. Pisau itu sepertinya datang dari arah bawah. Dari seorang pria bermantel perak yang memandanginya tadi.

Colette yang melihat kemungkinan itu dengan segala upaya mencoba untuk menghalau pisau tersebut, namun sayangnya, kecepatan pisau itu terlalu tinggi dan meledakkan balon tersebut di udara.

Sekarang, hati Colette hancur berkeping-keping layaknya balon yang kini hancur tercerai berai ditiup oleh angin.

---

Sejak kecil, Colette suka melihat ekspresi penonton yang menonton sirkus mereka setelah usai. Wajah senang, gembira, tawa, dan bahagia tergambarkan di wajah mereka saat Corlette melambaikan tangannya kearah penonton tanda pertunjukan selesai.

Ya, wajah seperti itu, ekspresi seperti itu yang dia ingin lihat lagi. Namun, apa ini?

Sekarang keberadaannya tidak disadari dan tidak bisa dilihat. Hingga menyelamatkan sebuah balon saja dia tidak bisa.

Colette marah kepada dirinya, namun dia juga marah kepada orang yang melakukan ini sejak awal. 

Ya, sekarang Colette melihat dia sebagai musuh. Musuh yang harus dimusnahkan.

---

Stallza kaget sekagetnya saat kaki Colette telah menjejakkan di tanah lagi. Colette segera menggerakkan tangannya layaknya sedang menikam, dan kemudian muncullah sebuah pisau. Dia kemudian segera melemparkan pisau tersebut kearah Stallza.

Bukannya menerima ucapan terimakasih telah menyelamatkannya, Stallza malah diberikan lemparan pisau super cepat yang hampir saja tidak dia sadari. Akibatnya, pisau itu hampir mengenai kepalanya jika dia tidak menghindar.

Cewek ini berbahaya.

Batin Stallza mengatakan kebenaran itu, dan dia tahu itu bukan hanya pikiran kosongnya belaka. Stallza segera berlari melewati kerumunan, mencoba untuk kabur dari Colette.

Colette yang melihat mangsanya mengambil langkah kaki seribu segera berlari mengejar. Dia dengan gesitnya berhasil melewati kerumunan massa tersebut tanpa menabrak satu orangpun. Beda dengan Stallza yang hampir tiap belokan selalu menubruk seseorang.

“Vousssss, lâche....,” teriak Colette yang sekarang tinggal beberapa meter lagi dari Stallza. Dia mulai menggerakan tangannya lagi laksana memegang sebuah pistol, dan seperti tadi, keberadaan pistol muncul perlahan-lahan dari tangannya.

Kerumunan massa yang mereka lewati kini telah jarang, dan sekarang jalanan telah sepi tinggal mereka berdua saja yang kejar mengejar sehingga target terlihat jelas oleh Colette. Tanpa ragu lagi, Corlette menekan pelatuk pistol tersebut dan menyemburkan timah panas sebanyak empat butir kearah Stallza.

Stallza yang tadi melarikan diri kini mulai mengambil tindakan ofensif juga. Dia dengan sigap mengambil salah satu kristal yang ada di tas pinggangnya, dan segera memanggil spiritnya.

“Feraaa!!”

Blaar. Besi berwujud seorang gadis muncul didepannya, dan melindunginya dari hantaman peluru yang dimuntahkan oleh Colette.

Tapi, sebelum Stallza bernafas lega, Colette telah muncul di depan matanya sambil memegang gatling gun. 

“Oi, oi. Sialan. Ini benaran?” katanya sambil memegang kristal satu lagi ditangannya. “Hidra, Spiritialis mode.”

Tiba-tiba saja, dari punggung Stallza tumbuh sayap perak yang sangat cocok dengan mantel perak yang dipakainya.

Disaat itu peluru gatling gun yang dipegang oleh Colette sudah dimuntahkan. Namun sayangnya, Stallza telah meluncur lurus kebelakang dengan sayap di punggungnya terbang meninggalkan Colette yang kesal karena kehilangan targetnya.

---

Encounter and Angel.

Ii maafkan aku. Sepertinya, aku tidak bisa menepati janjiku. 

Aku akan mati.

Baton Lucia sedikit lagi hampir sampai ke kerongkongannya. Volatile hendak memejamkan matanya saat maut itu akan menyambarnya. Ya, meskipun dia tahu, memejamkan mata tidak akan bisa menganulir rasa sakitnya, tapi paling tidak, dia bisa lari dari realita ini.

Tapi, dari langit tiba-tiba muncul benda itu. Seperti bintang jatuh yang membawa harapan hidup bagi Volatile, benda itu turun dari langit dengan kecepatan yang luar biasa, menabrak Lucia dari samping, dan membebaskan Volatile dari maut.

“Eh?” Volatile terduduk di aspal akibat tumbukan yang tadi terjadi. 

Dia melihat ke atasnya, dan menemukan seorang pria bermantel perak dengan kedua sayap perak di punggungnya, berdiri membelakanginya dengan mendongakkan wajahnya kearah dia.

Angel?

---

Takeoff yang dilakukan oleh Stallza saat menghindar dari peluru panas Colette tadi sangat tidak sempurna. Dia hanya menendang udara dan membiarkan tubuhnya mengikuti aliran udara yang berada di atmosfir, sehingga saat dia mencapai ketinggian dua kaki dari permukaan tanah, keseimbangannya belum tercapai.

Disaat itulah, dia melihat percikan dan bunyi dentuman yang terjadi di bawah. Dia memperhatikannya dengan lebih seksama lagi, dan menemukan situasi dimana terdapat dua orang cewek sedang bertarung dengan sengitnya dibawah.

Sayangnya, pertarungan itu hampir berakhir. Cewek yang berjas putih itu telah kehabisan tenaga dan cewek yang satu lagi tanpa pandang bulu meluncurkan serangan mautnya.

“Hee~, kelihatan menarik. Sepertinya ini akan menarik,” kata Stallza sambil menukik turun dengan tajamnya ke arah cewek yang ingin menghabisi nyawa cewek yang satu lagi.

“Aku harus menolongnya,” kata Stallza dengan penuh semangat. ‘Dan mendapatkan hutang budinya.’

Kalimatnya yang seperti seorang hero itu terdengar menggelikan. Tapi, kamu tahu, Stallza dari awal tidak punya maksud untuk menolong cewek itu dengan cuma-cuma. Jika dia menolong cewek itu, maka cewek itu pasti akan berhutang budi kepadanya dan menolongnya mengalahkan badut dan musuh lain yang berada di game ini. Itulah yang dipikirkan Stallza. 

Dan karena perhatian Lucia terpusat kepada Volatile, dia tidak tahu bahwa Stallza dengan tendangan mautnya berhasil menghantamnya dari sisi kiri atas.

Baaam!! Tumbukan itupun terjadi. Dan Lucia terpelanting sejauh sepuluh meter, sedangkan Stallza segera berpose keren sambil melihat kearah cewek yang diselamatkan nyawanya oleh Stallza.

---

“Hei, kamu tidak apa-apa?” kata sosok itu saat melihat Volatile terduduk lemas di aspal berdebu.

“Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Terimakasih, Ii...,” kata Volatile sambil mengangkat pantatnya dari aspal dan melihat Lucia yang ternyata terpelanting akibat gaya kinetik yang diberikan oleh sosok tersebut.

“Ii...? Siapa itu?” bingung Stallza sambil melihat kesekelilingnya apakah ada sosok laki-laki selain dirinya. 

“Ah, maaf. Namaku Volatile. Salam kenal,” kata Volatile lagi saat dia sadar bahwa dia secara tidak sengaja mengucapkan kata itu lagi.

“Namaku—.”

Sebelum Stallza menyelesaikan kalimatnya, terlihat sosok Colette di ujung jalan yang kelihatannya berhasil mengetahui lokasinya. Volatile juga saat itu melihat Lucia yang sekarang telah mulai pulih. 

Melihat keadaan yang tidak menguntungkannya itu, dia segera menggenggam tangan Stallza dan menariknya.

“Hei, kita mau kemana?” 

“Kamu sedang dikejar badut tadi kan? Melihat keadaanmu, aku sudah cukup bisa menyimpulkan kamu juga terdesak. Keputusan yang paling masuk akal disini hanyalah kita melarikan diri dulu.”

‘Tapi, kenapa kamu lari membawaku juga?’ Stallza ingin menanyakan itu namun menghentikan pikirannya dan menyerah kepada situasi.

---

Mereka berlari selama tigapuluh menit, dan berhenti di sebuah bangunan tua yang sudah tidak ditinggalkan lagi. Dari bentuknya, bangunan tersebut sepertinya dulu adalah sebuah sekolah.

Stallza mengikuti langkah kaki Volatile yang membawanya masuk ke sekolah tersebut, dan segera tiba di sebuah ruangan yang sepertinya adalah bekas laboratorium IPA yang sering dipakai.

Disaat itu, Volatile langsung mengobrak-abrik mencari perban untuk menutupi luka di atas kepalanya itu. Sementara itu, Stallza hanya memperhatikannya dari jauh dan tidak mengerti apa yang dilakukan oleh cewek berkacamata ini.

‘Ah, ini sama saja buang-buang waktu. Dan situasiku juga tidak semakin membaik. Apa aku salah mengambil keputusan dengan menyelamatkan cewek ini? Apalagi sejak tadi dia tidak menunjukkan rasa berhutang budi kepadaku? Jangan-jangan, dia adalah tipe orang yang tidak mempedulikan orang lain lagi. Apa aku bunuh saja dia selagi bisa ya? Ya, ya. Barang tidak berguna harusnya dibuang saja kan?’ pikir Stallza sambil memperhatikan punggung Volatile yang menghadap kearahnya.

Kesempatan. 

Stallza mengeluarkan pisau lemparnya dan menggenggamnya erat-erat. Dia berjalan perlahan-lahan mencoba tetap tenang untuk menusukkan pisaunya tepat ke belakang jantung Volatile. Tangannya telah terangkat, dan dia langsung menghujamkan pisau itu sekuat tenaganya.

“Ii, tenang saja. Kali ini aku pasti akan menyelamatkanmu. Tenang saja. Kali ini aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu. Ya, siapapun.”

Saat Stallza mendengar kalimat yang diucapkan oleh Volatile, tiba-tiba pisau Stallza berhenti satu sentimeter dari targetnya. Entahkenapa. Stallza juga tidak mengerti. 

‘Hei, diriku. Apa-apaan ini? Kenapa kamu berhenti? Jangan bilang, kamu bersimpati dengan cewek ini?’ teriak Stallza keras-keras dalam hatinya.

Dan kesempatan itupun hilang saat Volatile membalikkan badannya kearah Stallza. Stallza yang masih terpaku dengan pisau yang berada di tangannya. Volatile melihat pisau itu dan... 

‘Tamatlah riwayatku’, pikirnya.

Dan dia hanya tersenyum tanpa berbicara lebih lanjut tentang masalah itu.

“Ah, pisau yang keren. Sayang disini juga tidak ada,” kata Volatile yang entahkenapa mengabaikan pisau yang masih ada di daerah pertahanannya.

Stallza hanya tercenung melihat reaksi Volatile itu, dan kemudian dengan segera menyarungkan kembali pisaunya. “Kamu mencari apa?”

“Racun dan senyawa berkonsentrasi rendah seperti air,” kata Volatile singkat.

“Air? Bukannya air banyak ya? Dan racun juga untuk apa?” sambung Stallza heran.

“Air disini tidak murni. Banyak zat aditif yang telah ditambahkan. Apalagi logam berat yang mengotori perairan. Apa yang kamu harapkan dari daerah kumuh seperti ini?”

“Eh, kalau begitu, aku bisa menolongmu. Kamu punya rencana ya sebenarnya?”

“Ii, Ii. Ternyata penyakit bodohmu itu nggak hilang-hilang ya? Yaiyalah,” jawab Volatile.

“Ii?”

“Ah, maaf,” kata Volatile sambil melirik iPhonenya yang memperlihatkan titik yang merepresentasikan player yang berada di game tersebut. “Eh, ini. Lucia dan si badut itu tidak bertarung satu sama lain ya? Dan kelihatannya mereka menuju kesini. Sialan. Jangan bilang, makhluk biru rendahan itu yang mengatakan lokasi ini kepada mereka.”

“Eh, mereka telah mengetahui lokasi kita? Jadi, bagaimana?”

“Tenang saja, Ii. Ini adalah pertaruhan dengan resiko tinggi, tapi sepertinya tidak ada lagi rencana yang memiliki tingkat keberhasilan setinggi ini. Bagaimana kalau kita hadapi mereka sekarang dan pastikan kita menang?” kata Volatile sambil tersenyum kepada Stallza.

“Ya, aku percaya padamu,” sahut Stallza.

---

The Last Encore Performance.

Lucia bertemu dengan Colette setelah Stallza dan Volatile kabur dari TKP. Mereka mengadakan gencatan senjata terlebih dahulu, karena Lucia masih ingin menghabisi Volatile terlebih dahulu dan Colette juga masih bernafsu mengejar Stallza yang meletuskan balonnya.

Dan disinilah mereka tiba di sebuah bangunan tua yang berbentuk sekolah. Disana telah menunggu kedua orang itu.

Stallza dan Volatile telah menunggu mereka. 

Lucia yang masih dipenuhi dengan amarah langsung berakselerasi menuju kearah Volatile yang mengeluarkan sebuah kotak hitam dari saku jaslabnya dengan tangan kirinya.

Dari posturnya terlihat bahwa Volatile tidak berniat untuk bertahan dari serangan Lucia. Karena yang menyambut serangan baton dari Lucia adalah Stallza. 

Lucia yang melihat itu hanya tersenyum. “Stallza, aku tidak punya urusan denganmu. Apa kamu melindungi wanita itu?” 

“Aku juga tidak punya urusan denganmu. Tapi, paling tidak, aku membutuhkan bantuannya untuk menyelesaikan urusanku. Jadi, jangan salahkan aku,” jawab Stallza yang kini menahan serangan baton Lucia dengan tangan kanannya.

Sementara itu, karena tulang tangan kanannya telah remuk oleh baton Lucia, Volatile memegang kotak hitam itu dengan tangan kirinya. Dia membuka perban yang berada di atas kepalanya. Darah dari luka yang diakibatkan oleh pecahan kaca bir tadi mengalir turun kebawah, mengalir menuju kotak berwarna hitam itu.

Darah itu kemudian diserap oleh kotak hitam itu, dan warnanya berubah menjadi warna merah menyala. Dan disaat itulah, Volatile mengaktifkan sistemnya.

“Equilibrium System, Activated.”

Namun, tidak jauh dari situ juga ternyata Colette telah mengaktifkan Revesnya juga. Sejak Lucia menginisiasi pertarungan tadi, dia telah bergerak gerak tidak jelas mencoba membentuk senjata tertentu. 

Dan saat Volatile telah mengaktifkan sistem, dia telah menyelesaikannya. Sebuah meriam besar kuno yang moncongnya menghadap kearah Volatile. 

Lucia yang melihat itu hanya tersenyum. “Heh, strategi yang bagus. Disaat kamu menghadapiku, dia mengaktifkan jurusnya ya? Tapi, kamu tahu, aku juga tidak sendiri. Colette, bagianmu, hancurkan dia,” teriak Lucia kepada Colette.

“Roger,” sahut Colette yang segera menyalakan sumbu meriam besar tersebut, dan sedetik kemudian suara berdentum keras bergema seantero sekolah itu.

Volatile yang terlambat satu langkah karena mengaktifkan sistemnya menjadi tidak bisa bergerak. Bola besi itu telah menuju kearahnya dan dalam beberapa detik lagi akan menghancurkannya.

Stallza yang melihat serangan itu langsung bergerak meninggalkan musuh yang dihadapinya. Dengan kecepatannya, dia segera berada diantara bola besi itu dan Volatile. Mengangkat tangannya dan berteriak sekuat tenaganya.

“Platina. Aura, come to me, to your Master.” 

Dari dalam tanah, muncullah dua buah spirit yang menjelma sebagai unsur platinum dan emas yang segera bertindak sebagai pertahanan untuk menahan dari serangan meriam Colette.

“Ii....?” kata Volatile lagi.

“Bodoh, sudah kubilang beberapa kali juga. Aku bukan Ii. Namaku Stallza. Sang Spiritia Master,” kata Stallza sambil tersenyum kepada Volatile menunggu dentuman itu terjadi.

Dan, baaam!!.

Suara letusan terjadi. 

Stallza dan Volatile tidak menerima dampak langsung dari ledakan tersebut. Namun, angin ledakan melemparkan mereka berdua.

Stallza yang terpelanting bersama Volatile segera memeluk Volatile, dan membiarkan badannya menerima seluruh rasa sakit akibat menghantam tembok sekolah yang menahan mereka dari angin ledakan tadi.

Dia muntah darah, dan tulang punggungnya remuk.

Volatile yang mulai menyadari keadaannya hanya terpaku melihat pengorbanan Stallza. 

Dan dari kejauhan, terlihat dua orang cewek tersenyum bangga melihat kemenangan telah berada di depan mata mereka.

---

Aku bodoh. Meskipun dari awal aku tahu bersamanya adalah sebuah kesalahan dan kegagalan, aku masih tetap bersamanya. 

Aku mencoba membunuh dan menusuknya dari belakang, tapi sejak awal aku tahu aku tidak bisa melakukannya.

Dan sekarang, aku bertindak layaknya hero yang menyelamatkan seorang heroine. Meh, aku pasti akan muntah jika aku melihat tindakanku saat melindunginya tadi.

Dan sekarang apa yang aku dapatkan? 

Tidak ada. Selain tulang remuk dan darah yang mulai mengalir dari mulutku. Aku akan mati dan tidak mendapatkan apa-apa. Inilah akhir dari orang yang munafik yang selalu berbicara aku akan melindungimu itu. Aku tahu itu, dan aku masih melakukannya.

Aku benar-benar bodoh.

Tapi jika kamu bertanya, apakah aku menyesal telah menolongnya?

Aku akan jawab tidak. Aku tidak akan menyesal. 

Jadi, sebelum mati paling tidak aku harus memberikan hadiah kepadanya. Ya, kepada Volatile.

---

“I-I-i, tidak. Stallza, kamu tidak apa-apa?,” kata Volatile sambil mengguncang-guncang tubuh Stallza yang kini telah tergenang dengan darah yang keluar dari mulutnya. “Stallza, Stallza.”

“A-Aku tidak apa, ueeek,” sebelum Stallza menyelesaikan kalimatnya sekumpulan darah merah keluar lagi dari mulutnya. Sepertinya akibat tumbukan itu tidak hanya menghancurkan punggungnya, tapi juga organ dalamnya. 

Volatile hanya terdiam. Dia berpikir ini adalah salahnya sehingga Stallza menjadi seperti ini. Tapi, dia tidak ingin mengatakannya. Dia takut.

“Jangan pedulikan aku. La-lawan mereka, Vola,” sambungnya lagi sambil mengambil kristal yang ada di kantungnya. “Hidra. Oksida. Come to me. Sintesis mode.”

Dari kristalnya muncul ubur-ubur biru yang merepresentasikan unsur Hidrogen dan sebuah huruf O yang merepresentasikan unsur Oksigen yang melayang diantara mereka berdua bersintesis membentuk H2O, sebuah molekul air murni.

“Kalahkan mereka. Dan aku baik-baik saja. Tenang saja. Aku hanya akan tertidur sejenak. Saat aku bangun nanti, dan pertarungan ini telah selesai, tolong berikan aku penghargaan ya?” kata Stallza lagi. ‘Seperti sebuah ciuman mungkin,’ lanjutnya dalam hati.

Volatile hanya tersenyum melihat Stallza yang kini terbaring tidak berdaya di depan koridor sekolah. Dia kemudian mengedarkan pandangannya mencari lawannya.

Dan ternyata Lucia dan Colette telah berada di depan mereka sejak tadi.

“Uhahahahaha, what, apa ini? apa ini drama? Lol. Lucu, lucu banget. Sialan lucu. Apa kamu melihatnya, Colette?” kata Lucia tertawa terbahak-bahak karena menahan tawannya sejak tadi.

“Ya, ya. Moi melihatnya. Moi melihatnya,” sahut Colette lagi. “Wii, moi pengen muntah.” 

“Hei, kenapa kalian tidak menyerang kami sejak tadi?” teriak Volatile karena tersinggung dengan candaan mereka.

“Kenapa? Aku rasa tidak baik menyerang lawan yang sudah tidak bisa bertarung lagi. Selain itu, kita mendapatkan tontonan yang bagus kan, Colette?” sahut Lucia lagi.

“Vrai. Moi juga merasakan begitu. Tapi, moi juga sudah bosan, Lucia?”

“Roger,” kata Lucia sambil mencabut batonnya dan berlari kearah Volatile.

Volatile tidak menghindar. Dia mencabut salah satu pedangnya dari pinggangnya dan berteriak,

“Concentration-Concept, Activated.”

Pedang yang berada di tangan kirinya bergerak menyedot air murni yang melayang diatas kepalanya tadi sementara serangan Lucia telah masuk ke dalam daerah pertahanannya. Tidak sempat mengelak, dia dengan sekuat tenaganya menggerakkan tangan kanannya yang remuk itu lagi ke baton milik Lucia.

Tangan kanannya berhasil menangkap baton milik Lucia, dan pedang di tangan kirinya segera dilayangkan ke arah dada Lucia. 

Lucia yang melihat serangan itu segera mengelak dengan membelokkan badannya kearah kanan. Namun, serangan Volatile belum selesai. Dia segera mengubah arah pedangnya kearah kanan juga, dan akhirnya pedang tersebut menyentuh kulit tangan Lucia.

Tidak ada luka yang terbentuk. Tidak ada darah yang keluar. Namun, Lucia merasakan sesuatu yang aneh terjadi di dalam tubuhnya. 

Dia mencoba menggerakkan badannya, namun anggota badannya terlalu berat untuk bergerak mengikuti perintah otaknya. Seakan-akan sejumlah besar cairan masuk ke dalam pembuluh darahnya, mengalir dan menambah beban berat tubuhnya. 

“Heiiiiii, apa yang kamu—.” 

Sebelum Lucia menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba dia menangis. Namun, yang keluar dari matanya bukan air mata, namun air darah. Tidak hanya itu, dari hidungnya, dari telinganya,dari mulutnya, hingga pori-porinya kulitnya pun mengeluarkan darah merah. 

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah. Hentikaaaaaan.” Lucia berteriak kesakitan.

“Baiklah, aku kabulkan permintaanmu. Semoga kamu tenang di alam sana, Lucia,” katanya yang masih memegang pedang hitam itu. 

“Hemolisis.”

Dalam sekejap, tubuh Lucia mulai menggembung seperti balon. Sedikit demi sedikit badannya mulai membesar dan membesar, hingga di titik tertentu badannya tidak bisa lagi menahan volume yang sebesar itu dan Lucia pun meledak layaknya balon.

Dia meledak dengan mengeluarkan darah yang mengalir dengan derasnya. Koridor sekolah yang tadinya berwarna putih sekarang dihiasi dengan percikan-percikan darah yang tersebar kemana-mana.

Darah Lucia yang sudah tidak bisa diidentifikasikan lagi mayatnya.

---

“Hei, apa yang vous lakukan pada Lucia?” 

Itulah yang pertama kali Colette katakan kepada Volatile saat Lucia telah mati.

“Heh, kamu baru bersuara setelah temanmu mati ya? Bukannya menolong saat dia lagi kesusahan tadi? Yasudahlah. Hmm akh, jurus yang tadi ya? Apa kamu tidak pernah belajar di SMA tentang tekanan osmotik. Keadaan dimana ketika larutan konsentrasi rendah masuk ke larutan konsentrasi tinggi melalui membran semipermeabel itu namanya hemolisis. Yah, sama seperti Lucia tadi. Aku hanya mentransfer larutan air murni berkonsentrasi rendah kedalam tubuhnya tepatnya kedalam pembuluh darahnya yang berkonsentrasi tinggi. Karena tekanan osmotik, larutan dalam tubuhnya semakin banyak, dan karena tubuhnya tidak bisa menampung semua larutan itu lah akhirnya dia meledak.

Ada pertanyaan?”

Colette hanya terdiam mendengar penjelasan Volatile.

“Ah, kamu bertanya, bagaimana jika dibalik ya? Bagaimana jika larutan berkonsentrasi tinggi berada di dekat larutan berkonsentrasi rendah? Aku rasa kamu akan tahu jawabannya,” kata Volatile sambil mengangkat pedang hitamnya dan menyerap semua darah Lucia yang tertinggal di sekitar koridor sekolah tersebut.

“Hei, hei. Hentikan. Maafkan moi, maafkan moi,” kata Colette yang kini mulai ketakutan saat melihat darah Lucia yang bergerak-gerak di sekitar kakinya. 

“Kamu tidak ada salah apa-apa kok. Kenapa harus minta maaf?” jawab Volatile yang berlari menuju ke Colette.

Colette segera menggerakkan tangannya seperti ada di dinding di depannya dan kemudian, seperti biasa, muncullah dinding kaca yang sangat tebal di depannya.

Namun, semuanya telah terlambat. Gerakan mime Colette terlalu lambat sehingga Volatile telah masuk kedalam daerah pertahanannya. Dia menggerakkan pedang hitamnya menyentuh kulit Colette.

“Tidaak!!” Colette berteriak.

Dalam sekejap, semua darah yang berada di dalam tubuh Colette terhisap kedalam pedang tersebut. 

“Krenasi.”

Terbalik dengan keadaan Lucia. Tubuh Colette sekarang mulai terlihat semakin kurus. Cairan darah yang berkonsentrasi rendah di dalam tubuhnya tertarik dan berpindah kedalam cairan berkonsentrasi tinggi dalam pedang hitam Volatile.

Ya, dan sekarang tubuh Colette tidak tersisa satu darahpun. 

Yang tersisa disana hanyalah wajah dan badannya yang kurus akibat semua cairan ditubuhnya hilang. Hingga airmata saja tidak mengalir dari kedua matanya.
---

The First and Last Appearance of Lazuardi.

“Stallza, jadi apa yang kita lakukan sekarang? Tidak ada orang lagi kan selain kita,” kata Volatile yang kini duduk tercenung di atas atap sekolah melihat rona merah matahari sore. “Mau donat?” kata Volatile.

“Ah, terimakasih. Ini sebagai penghargaan terhadap jerih payahku ya. Dan ada satu orang lagi kok. Lazuardi? Kenapa kamu melupakannya?” kata Stallza mengambil satu buah donat dari tangan Volatile sambil memandangi cahaya matahari sore juga.

“Apa dia orang? Bukannya dia parasit. Makhluk menyedihkan yang selalu bergantung pada inangnya. Menggerogoti apa yang ada di dekatnya, dan terlebih lagi dia selalu bertindak inosen masalah itu.”

“Aku tidak bisa membantahnya. Tapi paling tidak, dia punya sifat baik kan?”

“Sifat baik ya? Kamu tahu apa yang dilakukan selama pertarungan tadi berlangsung?”

“Tidak. Aku tidak melihatnya sejak awal.”

“Dia berada diatas bangunan dimana aku bertarung dengan Lucia. Dia mengejar kita, dan memberikan informasi lokasi kepada Lucia. Dan di akhir, dia cuman bisa mengendap-ngendap seperti tikus dan mengadu domba kita. Iya kan, Lazu?” kata Volatile sambil melihat kearah pintu masuk menuju atap sekolah itu.

Stallza terkejut saat melihat Lazuardi yang berjalan keluar dari tempat persembunyiannya. Wajah Volatile tidak menunjukkan apa-apa selain rasa kesal.

“Yahaha, tidak kusangka aku ketahuan,” kata Lazuardi tiba-tiba.

“Apa kamu M? Meskipun aku menghinamu, kamu tetap tenang banget dan bersembunyi ya? Padahal, aku ingin memancingmu keluar dengan obrolan tadi,” kata Volatile.

“ Ahaha, aku merasa dipuji. Terimakasih.”

“Aku tidak memujimu, bodoh,” kata Volatile.

“Hah, yasudahlah. Kalau begini, bagaimana kalau kita akhiri saja semuanya disini? Sok kita sudah punya hero,” dia menunjuk kearah Stallza. “Heroine,” katanya lagi sambil menunjuk ke Volatile. “Dan aku adalah hmm, Last Boss mungkin. Bukannya ini menarik?” katanya sambil tersenyum.

Volatile diam saja mendengar Lazuardi bicara. Sementara itu, Stallza memakan donat yang diberikan oleh Volatile tadi.

“Eh, apa kalian ingin mendengar analisisku dan prediksiku sebelum bertarung. Baiklah, anggap saja ini sebagai handicap. Kamu tahu kekuatanku? Ya, Enshaka. Itu adalah kemampuan parasit seperti yang kamu bilang. Singkatnya, aku bisa menjadikan makhluk hidup atau mati sebagai inang hanya dengan menyentuhmu atau menyentuh pedangmu. Jadi, anggap saja, kamu menyerangku, dan kemudian aku menyentuh pedangmu, dan voila, pedangmu menjadi diriku. Atau anggap saja, Stallza menyerangku dengan spiritnya, dan spiritnya menyentuhku, maka voila, spiritmu menjadi diriku. Bukankah ini kemampuan yang lumayan bagus? Maaf, aku bercanda. Jadi kesimpulannya, kalian tidak punya satu persen pun kemungkinan menang melawanku.”

“Analisis yang menarik, parasit. Beda dengan penampilan luarmu, ternyata parasit sepertimu punya pemikiran yang cerdas dan jenius,” kata Volatile.

“Terimakasih banyak. Terimakasih banyak,” jawab Lazuardi.

“Tapi, ada satu hal yang tidak kamu tahu. Aku jauh lebih jenius dibandingkan dirimu. Aku tidak akan pernah mengakui makhluk rendah sepertimu bisa melebihi tingkat intelektual seorang manusia. Jadi, ya itu, selamat tinggal.”

Volatile berkata seperti itu sambil mendorong Stallza yang berada didepannya dengan kuat. Stallza terdorong dengan sangat kuat hingga mencapai Lazuardi. 

Lazuardi terkejut hingga dia tertubruk oleh Stallza. Akibatnya, Stallza terserap oleh Lazuardi. Dari segala macam karbohidrat, protein hingga enzim yang berada di dalam tubuh Stallzapun diserap oleh Lazuardi. 

Stallza pun mati dibunuh oleh Lazuardi tanpa berkata satu patah katapun.

“Kamu bisa menyerap mineral, vitamin, karbohidrat, protein dan segala macamnya kan. Jadi, bagaimana kalau aku masukkan racun ke dalam tubuhmu? Tidak, tidak. Aku juga tidak berpikir hanya dengan sedikit racun bisa membunuhmu. Jadi, bagaimana jika aku menambahkan 20 Molar Potassium Sianida di dalam tubuhmu? Apa kamu mati? Atau kamu tidak akan mati?” kata Volatile.

“Meskipun aku mati akibat racun itu, jika aku bisa menghindar dari racun itu, tidak akan ada masalah kan? Atau jangan-jangan..... Tidak mungkin, kamu....”

“Benar. Donat yang Stallza makan tadi telah kulumuri racun. Aku mendorong dirinya agar dia mati dan dirimu mati. Satu kayuh dua tiga pulau terlampaui kan? Jadi, selamat tinggal.”

Volatile berkata sambil meninggalkan atap sekolah yang kini hanya tersisa Lazuardi yang telah merasakan efek racun di tubuhnya. Tubuhnya mulai terlihat aneh dan tidak berapa lama kemudian, dia berhenti bergerak.

“Selamat tinggal, Stallza.”

---

13 menit yang lalu.

“Nitra. Kalia. Carbona. Come to your master. Sintesis mode,” kata Stallza sambil menahan tubuhnya di dinding koridor sekolah setelah pertarungan berakhir.

Dari atas kepalanya, muncullah senyawa KCN yang kini diambil oleh Volatile. Sebuah racun yang sangat mematikan. Racun yang bisa menyerang pembuluh darah jantung serta menutup aliran darah sehingga menyebabkan korban mati.

“Apa kamu sadar dengan keputusan yang kamu buat, Stallza?” kata Volatile.

“Iya, aku tahu aku tidak bisa bertarung lagi. Tulang punggungku sudah retak. Organ dalamku juga kebanyakan sudah tidak berfungsi. Fakta dimana aku masih hidup dan bernafas disini saja sudah keajaiban. Jadi, daripada aku mati sia-sia, lebih baik aku mati demimu, Vola.”

Volatile hanya terdiam menahan air matanya yang hampir keluar.

“Ah, dan donat itu. Aku minta satu sebagai penghargaan atas pengorbananku ya? Donat yang dilumuri racun kah? Aku penasaran dengan rasanya.”

“Rasanya tidak enak,” kata Volatile lagi menahan nafasnya.

“Hmm, sepertinya. Jika begitu selamat tinggal, Vola. Ah, dan ingat. Aku tidak bisa bergerak dengan cepat lagi. Jadi, saat Lazuardi muncul, harap kamu dorong aku sekuat tenagamu. Dan game ini akan jadi milikmu,” kata Stallza. 

“Omong-omong, supaya lebih dramatis, bagaimana jika kematianku di atas atap sekolah ini dan untuk terakhir kalinya aku juga ingin melihat cahaya matahari sore. Bagaimana menurutmu, Vola?”

“Ya, sepertinya itu lebih baik daripada mati di atas ranjang rumah sakit, aku rasa,” kata Volatile yang mengangkat tubuh Stallza menuju ke atas atap sekolah dimana kematian telah menunggu Stallza berada.

The End.


22 comments:

  1. Ish! Lagi2 moi dibilang badut! Moi ini mime artist! >,<
    7,5 dari moi

    ReplyDelete
    Replies
    1. pandangan umum kk. maafkan aku.

      sebenarnya nggak bisa bedaiin antara badut dan mime artis sih.

      yah, tapikan itu juga dari pendapatnya stallza jadi bisa salah dan bisa benar kan (emang salah sih sbnarnya).

      jd, marahin stallza aja kk.

      makasih udh baca dan komen kk.

      Delete
    2. Moi mampir karena dapet anulis mulu.

      Openingnya is a joy to read. Dan pembangunan karakter Volatile ternyata tidak seribet charsheet-nya. Kudos for vous karena berhasil mendeskripsikan Volatile dan kekuatannya dengan lebih mudah dicerna. And to be honest, she's quite cool. So, monsieur admin, please be cated, moi gives Volatile 7,5

      Delete
    3. **tepuk-tepuk bahu coco**

      Delete
  2. Membaca tulisan dari Lazuardi, Collete, dan Lucia bagai menyantap tiga main-course berturut-turut. Dan betapa menyenangkan bertemu tulisan anda yang "relatif lebih ringan" daripada entri blok A lainnya, sangat cocok untuk jadi dessert.

    Pandangan saya seperti ini, jika cerita lain disusun dari detail-detail kecil yang ditumpuk menjadi bangunan besar. Tulisan anda adalah bangunan besar yang kemudian diberikan kepada pembaca sepotong kecil demi sepotong kecil
    Pendekatan ini seharusnya memberikan pembaca "ekspektasi", rasa ingin untuk mengenal Volatile dan Equilibrium System-nya lebih jauh di ronde berikutnya.
    Oleh karena itu, saya cukup yakin Volatile akan maju ke ronde selanjutnya.

    Komplain saya sebagai berikut:

    Setelah saya baca character sheet, Equlibrium System ternyata adalah kemampuan yang sangat "keren". Sayangnya narasi pertarungan yang tidak mengalir membuat saya kurang bisa menemukannya kehebatannya dalam pertarungan, dan terpaksa bergantung ke dua hal yang (menurut saya) kurang menarik:
    1. Character Sheet
    2. Volatile sebagai narator berjalan (kebutuhan Volatile untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi terhadap lawannya)

    Tantangan saya, entry berikutnya, coba tulis suatu cerita di mana pembaca yang pertama kali, akan langsung memiliki impresi bahwa "Volatile itu keren" tanpa baca character sheet, tanpa Volatile sebagai narator berjalan


    Satu lagi
    >“Tapi, ada satu hal yang tidak kamu tahu. Aku jauh lebih jenius dibandingkan dirimu. Aku tidak akan pernah mengakui makhluk rendah sepertimu bisa melebihi tingkat intelektual seorang manusia. Jadi, ya itu, selamat tinggal.”

    padahal
    Ketidaksukaan : tidak suka dipanggil jenius [dari Character Sheet]

    How weird. She doesn't like acknowledgement from others of her being a genius, yet, she self-claimed herself of being genius, even superior than others.

    Kesimpulan: Potensi besar, tapi banyak yang harus ditingkatkan dan diperbaiki.
    Nilai: 7.5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih kk atas sarannya kak. membantu sekali.

      untuk cerita yg ringan, mungkin karena kebiasaan aku yg dari kemarin kearah sol, jadi kebawa2 kesini.

      dan iya, aku juga menyadari scene battlenya berantakan. klo untuk kekuatannya juga, sepertinya disini aku terlalu menekankan pada dramanya sehingga bagian 'keren'nya volatile jadi hilang.

      sebenarnya, aku juga pengen bikin dia terlihat keren sih. tapi, entahbagaimana, dia disini jadi malah diselamatin tiga kali ama stallza. aku juga tidak menyangka.

      klo untuk masalah jenius itu. kan emang biasanya, orang nggak suka dipanggil jenius sama orang lain, tapi dia mengakui dirinya jenius.

      yah, kyk otaku yg nggak mau dipanggil otaku, tapi dari dalam hatinya dia mengakui dia adalah otaku, kyk gitu mgkin ibaratnya.



      makasih udh baca kk.

      Delete
  3. Pertama kali saya baca dari paragraf pertama, saya pikir ini akan menjadi kombinasi pertarungan apik yang didominasi oleh equilibrium system.
    Ternyata malah menceritakan battle yang "mediocre" dan hubungan volatile-stallza yang "hampir" menjadi romance?? (menurut saya)

    7/10

    ReplyDelete
  4. Saya pengen apreasiasi karena sebeenrnya ssya idah baca ini, tapi ragu buat komen
    Saya beneran susah ngikutin apa yang dinarasiin, sampe sempet berkesan kayanya cuma yang nulis yang ngerti apa isi tulisan ini
    Meski gitu saya pengen coba saran, mungkin lain kali bikin draft yang isinya scene apa aja yang pengen kamu masukin per bagian, terus tulis dan liat kerasa enak diikutin atau ngga

    5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, kalau saya sih ... mungkin karena saya pernah baca tulisan-tulisan si Hamdan sebelumnya, jadi meskipun struktur kalimatnya agak berantakan, saya masih bisa mengerti narasinya.

      Hmm ... :/

      Delete
  5. “Tentu saja. Aku juga mengekspektasikan jawaban tersebut. Sebagai orang yang hilang ingatan nanti, aku bisa katakan kamu adalah orang baru, sama seperti bayi yang baru lahir, namun lahir di usia yang kesembilanbelas.”

    seriusly? mengekspektasikan? antara out of context, out of Foreign language, atau out of Normal way of speaking...
    #just saying, gak ngaruh ke nilai cuman ngagetin doang.

    ternyata setelah lebih lanjut... Dialogmu aneh. sangat aneh.
    Saran: coba kamu omongin atau seengaknya mental speech dialogmu.

    Balon ini dia ciptakan untuk anak laki-laki yang melihatnya tadi. Melepaskan balon ini sama saja dengan meletuskan balon ini di hadapan anak kecil tadi.
    PELANGGARAN RULE TERTULIS.

    yah, saya punya feeling buruk... minimal baca cerita sendiri gak sih?
    atau baca mundur setiap pharagraph.

    Sering ketemu satu pharagraph gak nyambung sama 1 pharagraph tepat sebelumnya.

    Final Verdict: 5

    ReplyDelete
  6. Saya masih nggak mengerti apa maksud kalimat “What are you think about Lucia Chelios/Collete?” Kemungkinannya dua. Antara saya yang harus membaca daftar ungkapan dalam bahasa Inggris, atau kamu yang harus membaca ulang soal grammar :D

    Di tengah cerita, serius, saya hampir lupa kalau di blok ini ada Lazu juga. Dan si Lazu, entah kenapa, jadi sangat keluar dari karakternya.

    Pembukaan ceritanya oke, sedikit memberikan logika tentang kematian Vola dan motivasinya. Dan untungnya langsung dilanjutkan dengan adegan berantem tanpa banyak basa-basi lagi. Narasinya cukup enak untuk diikuti dari awal sampai akhir. Meskipun seperti kata Ivan, ada banyak kalimat yang tidak efektif sehingga malah mengaburkan makna yang ingin disampaikan.

    Kemudian masuk ke karakterisasi, saya tidak menyangka kalau Vola ternyata sedelusional itu. Menyangka Stallza sebagai Ii. Yah, jika kemudian terbentuk senyawa kasih dan reaksi sayang di antara mereka, sekalipun saya rasa aneh, tapi cukup lumayanlah buat bumbu cerita. Hanya saja saat awal pertarungan di sekolah itu, mengapa si Collete dan Lucia bisa semudah itu berganti target?

    Kemampuan Stallza dieksplor dengan cukup baik. Tetapi kemampuan sejati Lucia (Soul Fire Fist) belum sempat keluar.

    Yah, karena keseluruhan cerita ini cukup menghibur bagi saya, poin 7.5 saya berikan untukmu ;)

    ReplyDelete
  7. Oh, please, her English is so volatile.

    Volatile, nama yang keren yang mendorong saya untuk tertarik pada OC yang satu ini. Namun caranya menyerang dan menjatuhkan lawan, saya rasa tidak se-"canggih" namanya.

    Entah kenapa, ada peserta lain yang terkesan begitu "bodoh" sampai terjebak donat beracun. Padahal ini adalah Battle Royale. Kalau memperhatikan serial "The Hunger Games", para peserta demi survival seharusnya secara alami sadar bahwa mereka tidak bisa mempercayai apapun di tempat ini.

    +1 untuk "dramatisasi"-nya, ada sedikit pertautan emosional antara 2 OC yang sebaiknya tidak terlalu diumbar, anggap saja kerjasama sementara.

    Jadi ya, saya harap Volatile bisa lebih canggih lagi, dan saya beri modal poin 7/10 to support his survival.

    ReplyDelete
  8. Ah well... ane bingung antara mau komen soal teknis (grammar, dst) tapi udah dibante sama komentator lain, atau mengungkapkan beberapa kejanggalan-- yang juga udah diungkapkan sama komentator lain (soal Coco yang interaksi sama anak kecil itu)

    Jadi mending komentar soal alur aja.

    Mengesampingkan semua kejanggalan, ane cukup menikmati story ini. Tentang romance donat dan girls talk yang berujung pada kegagalan. (haduh, kalo mau ngajak aliansi kudunya bilang aja dari awal gak usah berbelit-belit)
    XD

    + 6 ya...
    :D

    ReplyDelete
  9. Apa yang mau saya komentari sebagian besar sudah dikomentari oleh komentator lain, terutama . Secara cerita ini memang ringan, tapi kayaknya terlalu "gampang" menilai musuhnya, jadi gregetnya ngga ada.

    Maaf, tapi tensi baca saya turun sejak nemu dua hal mengganjal di dua paragraf awal.
    - Paragraf awal, kurang kata "secara" sebelum "acak"
    - Paragraf kedua, seperti kelebihan kata "nya"

    Tapi seperti yang saya bilang tadi, ceritanya ringan. Dan ingat kata bang ivan, cobalah baca cerita sendiri sebelum posting, dan usahakan baca charsheet sendiri.

    +7 dulu ya

    ReplyDelete
  10. Sebelum mulai meracau tentang kesan, umi meracau dulu tentang kritik, here we go :

    - ini ga penting sih, kok Volatile-nya tahu dia harus mati untuk ikut game itu? padahal dokternya ga bilang apa-apa.
    - kakak, kalimatnya miew-miew
    -> "Merasakan kehangatan manusia satu sama lainnya tidak pernah kamu rasakan" -> jadi ->"kamu tidak pernah merasakan kehangatan manusia lain."
    -> "Karena disana ternyata buaya yang bersiap menunggu mangsanya lengah dan menerkamnya" -> "Karena disana ternyata ada buaya yang menunggu mangsa lengah dan siap menerkamnya"
    - typo : disitu, entahkenapa, diatas
    - Bahasa inggrisnya dimiringin kakak :3
    - kenapa Volatile manggi Stallza pake "Ii"? Kenapa Lucia tahu nama Stallza? umi agak bingung gimana Vola bisa tahu semua hal tentang musuhnya


    Kesan umi :
    - Uwaaaa... plotnya kereeennnn >.<
    - Stallza-nya romantis banget >.<
    - dan orz, Vola-nya kejem

    nilainya : 8/10

    ReplyDelete
  11. Aduh apa ya.. Nggak mulus :D

    Susunan katanya berantakan.. Banyak banget kalimat yang dijejali kata yang gak perlu atau kata yang diulang-ulang.. Beberapa kalimat majemuk yang seharusnya ada konjugasi atau sekedar koma, tapi gak ditulis, ditabrak aja.. Ada juga kalimat tanya yang diakhiri titik.. Ada lagi, banyak ini keknya, awalan/akhiran yang salah, kek misal harusnya ditinggali tapi yang ditulis malah ditinggalkan..

    Hal diatas bikin dialog dan narasinya terasa sangat aneh, pembaca dibikin konsentrasi ekstra buat sekedar ngikutin jalan ceritanya, hal yang fatal menurutku, sebagus apapun plot ceritanya kalo pembaca mau baca aja susah payah percuma.. Ini masih ditambah lagi sama banyaknya paragraf yang kontradiktif satu sama lain, padahal berurutan, kek awalnya diceritain ada bekas sekolah yang udah lama gak dihuni, eh di paragraf setelahnya dibilang kalo labnya sering dipake.. Banyak yang kek gini di sepanjang cerita.. Hal yang bikin aku harus baca berulang-ulang beberapa paragraf yang sama cuman buat ngerti artinya / inti ceritanya apa..

    Beberapa jurus Vola yang dia ucapkan malah jadi terkesan nggak keren karena abis ngucapin nama jurus, penjelasan jurusnya itu fungsinya apa, ngapain dan bagaimana, masih kurang.. Twist di akhir terasa dipaksakan, Lazu juga seolah dilupain trus inget di akhir dan ditulis seadanya..

    Sama Volatile nggak keliatan jeniusnya dimana.. Aku nggak baca charsheetnya tapi di awal ada hint kalau dia super jenius, punya project rahasia dsb, tapi pas diceritain malah dia orangnya cuman licik dan picik, jeniusnya nggak nampak..

    Trus englishnya belepotan.. Btw, lol itu singkatan, bukan kata yang normal untuk diucapkan :D

    Cerita keseluruhan biasa aja, nggak jelek, cuman rada susah diikutin..

    5/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -