[Round 1-A] Lucia Chelios
"A City of Nonchalant Violence"
Written by Adrienne Marsh
---
"Tempat yang tidak akan asing bagi salah satu dari mereka,
namun akan terasa sangat asing bagi yang lainnya..kah?"
Mimpikah ia tadi? Lucia Chelios menengadahkan tangannya ke langit
sambil berbaring di sebuah tempat tidur. Ia memandang ke jendela.
Makhluk merah bersayap itu sedang terbang meninggalkannya. Bukan mimpi
ternyata.
Ia kembali bangun dan melihat tongkat kecil yang tergeletak di bawah
tempat tidurnya. Tempat ini sama sekali tak berubah. Tas yang
tergeletak terbuka di atas kasur itu seakan tak tersentuh. Handgun
dibalik bantalnya masih ada disana.
Ah, sepasang pria hitam pertama yang tak beruntung itu. Mayatnya masih
dibiarkan bergelimpangan begitu. Tipikal kota ini. Tunggu saja sehari
atau dua hari mereka serta gunung mayat diluar kamar akan diangkut dan
ditanam jadi pupuk oleh siapapun yang menyuruh mereka.
Demikian batin Lucia sambil beranjak dari kasurnya dan membuka kulkas
yang dekat dengan wastafel cuci di ruangan yang seharusnya kamar
apartemennya semasa hidup itu.
Untung saja 'empat orang lainnya' tersebar di sekitar kota ini. Masih
ada kesempatan untuk menikmati bir yang ketinggalan ini, pikirnya lagi
seraya tangannya meraih sekaleng minuman berkadar alkohol rendah.
Antara toleransinya akan minuman keras sudah meningkat ataukah karena
kematiannya, tapi sedikitpun tak terasa pengaruh dari minuman itu
bahkan ketika Lucia menenggaknya bagai segelas air putih.
Kembali wanita itu memandang ke jendela keluar gedung, kali ini ia
menatap ke bawah. Jalanan masih saja ramai seperti biasa. Mungkin tak
ada salahnya Ia kembali turun ke bawah dan memastikan empat orang
lainnya yang dibawa terbang makhluk merah bersayap itu tahu akan
permainan yang mereka hadapi.
Oh iya, tak ada salahnya mencoba. Kaleng bir yang langsung habis dalam
hitungan detik itu dilemparnya ke sembarang arah. Kena satu orang,
dan setidaknya tidak memantul ke kepala orang lain.
Sudah wajar jika kakek tua bersinglet yang kepala licinnya terbentur
kaleng alumunium itu mengumpat,
Yang tidak wajar itu ketika dia menatap heran kepada Lucia yang
jelas-jelas sengaja duduk menggantungkan kakinya di luar jendela
apartemen itu sambil menatap balik kakek itu,
Yang kemudian berlalu seperti tak ada siapa-siapa.
Senyuman jahil Lucia seketika berubah menjadi seringai yang mengerikan.
****************
Handgun di balik bantal tidurnya sudah berpindah tempat ke dalam
sarung pinggangnya saat kakinya sudah melangkah menyusuri kawasan
pecinan itu. Tak ada yang peduli, refleks mengelak pun tidak.
Bagaimana tidak, wanita itu sudah tak terlihat lagi di mata
mereka...biarpun jikalau kelihatan, mereka juga terlalu sibuk dengan
urusan mereka sendiri. Entah itu bekerja, berbelanja, ataupun mencari
masalah seperti seorang preman yang sedang berlari melewatinya dan
menikam lari seorang pria berdasi yang sedang merokok di depan sebuah
warung bakmi. Orang-orang sudah terbiasa melihat darah disini.
Kalaupun ada satu orang saja yang mengangkat telepon, mungkin dia
hanya menghubungi ambulans.
Tanpa perlu dipanggil juga polisi pasti akan datang kemari. Kemudian
Lucia menyadari bahwa benda mati yang dipegangnya, asal sudah tertanam
ide jika benda itu adalah senjata maka wujudnya juga takkan terlihat
oleh orang lain.
"TUAN!!!"
Seorang gadis berlari menuju pria yang sekarat itu. Dengan panik
berteriak-teriak kepada orang yang berlalu begitu saja. "Orang ini
sedang sekarat!! Tolonglah! Kumohon!"
Tentu saja tak ada yang peduli terhadap kejadian sehari-hari itu. Ah,
ada seorang anak yang kebetulan bersepeda di sana. Batin Lucia yang
kemudian menjentikkan jari ketika dugaannya tepat. Anak itu
mengeluarkan ponselnya dan mendekatkan kameranya ke arah sosok pria
yang sedang sekarat itu. "Apa kalian tak punya hati!? Hei!!!" Gadis
itu menghalangi sang anak.
Anak itu bergeming.
"Sebentar, jangan-jangan.." Lucia segera berbalik dan berlari menuju gadis itu.
Mungkin Ia terlihat seperti badut, atau memang badut sungguhan. Tapi
Lucia takkan mengomentari lebih lanjut penampilan gadis yang harusnya
sedari tadi menjadi pusat perhatian setiap mata di jalanan ini.
Jawabannya sudah jelas.
"Apakah kamu seorang peserta?"
Gadis itu terperanjat. Bagus, dia bisa melihatku. Pikir Lucia yang
menoleh ke arah pria yang terkapar itu. Orang malang itu takkan
bertahan lama dengan darah yang sudah tergenang bak cat yang perlahan
mengering.
"Anda...anda melihat saya!? Bukankah seharusnya-"
"Kalau iya memangnya kenapa?" Kilah Lucia sebelum melanjutkan
kata-katanya. "Sebagai seorang Peserta, kau sadar kalau semua orang di
rumahku ini tak bisa melihatmu, bukan?"
"Saya sadar, tapi apakah mereka punya rasa emp-"
DOR!
"Empati? Yang mana?"
Tiga lagi tembakan meletus dari handgun di tangan kanannya. Yang tentu
saja, merupakan tindakan yang tak perlu dilakukan karena efek yang
muncul hanyalah seorang gadis berbedak putih plus lipstik merah hati
dan seorang anak yang terkejut hebat dengan lubang yang tiba-tiba
tercipta pada objek rekamannya. Anak itu berlari ketakutan, si gadis
hanya bisa menatap tak percaya. "A-anda..."
"Begini, bagaimana kalau orang ini adalah seorang jaksa yang baru saja
kembali setelah berjudi di salah satu kasino murahan di sini dengan
memakai uang suap dari seorang Bandar narkoba?" Gadis itu mulai
memandang ragu ke arah pria yang nafasnya sudah berhenti dan terbujur
kaku di trotoar jalan raya. "...Itu karanganku, jangan dianggap serius."
Ambulans pun datang dengan sirine bising khasnya, dan terlambat
seperti biasa. Begitu pikir Lucia.
"...Tapi orang ini adalah manusia. Ia masih hidup dan bisa
diselamatkan!" Badut itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Dan kita sudah mati... Oh dewata, ini sebabnya kenapa aku berhenti
hidup mengejar nyawa."Air mata kasihan yang muncul dari
ketidakberdayaan si wanita badut dalam menyelamatkan orang asing yang
diangkut dengan tandu ke dalam ambulans itu membuat Lucia sedikit
gerah. "Terlebih lagi. Apa kau mengerti akan aturan lain permainan
ini?" Bukan waktu yang tepat untuk mengatakan hal seperti ini, namun
setidaknya salah satu kewajibannya jika bertemu sesama Peserta mulai
terlaksana.
"Apa yang dimaksud makhluk itu dengan 'saling mengalahkan'? akankah
kita diberi misi? Haruskah kita saling membunuh?" gadis berwajah menor
yang sedang berjongkok itu masih memandang ke ambulans yang mulai
bergerak menjauh.
"Karena itu aku meminta konfirmasi darimu. Adakah jalan lain? Apa kau
baru saja menerima tugas kelompok atau semacamnya?"
Ia menggeleng tidak tahu.
"Dan sudah jelas kalau kita sudah mati, dan dibawa kembali ke dunia
ini lalu disuruh mengalahkan satu sama lain oleh pribadi yang mengaku
dirinya adalah Tuhan. Apa aku benar?"
"Saya tidak tahu."
Senjata api itu kembali meletus.
"AHHH!!"
Sebuah papan kayu. Sebuah papan kayu yang tiba-tiba muncul di antara
Lucia dan gadis badut yang refleks menengadahkan telapak tangannya ke
depan. Bahunya tergores akan peluru yang menembus papan itu.
"Oh tentu saja, seorang penyihir rupanya." Kilah Lucia.
"Apa yang baru saja anda lakukan!?" Wanita itu menggaruk-garuk
kepalanya akan jawaban targetnya. "Anda tidak perlu menembak saya!" Oh
dia tahu kata "menembak" rupanya, batin Lucia.
"Bukannya peraturannya seperti itu? 'kalahkan semua lawanmu'?" Lucia
membuang pistolnya dan merenggangkan jari jemarinya. "Bukankah jelas
maksud sang Dewata kalau kita harus bertarung?" Menghajar seorang
gadis yang kebingungan tak selalu dihadapinya setiap hari, namun
beberapa kalangan pebisnis bermental bedebah juga butuh orang yang
bisa tega melakukan hal sekotor ini, tentu saja supaya tangan mereka
tetap bersih. "Ayolah, tak mungkin Dewa itu akan membiarkanmu sekarat
di rumahku seusai pertarungan ini." Untuk saat ini, Lucia benar-benar
membutuhkan kesempatan untuk hidup kembali itu. Bagaimanapun caranya.
"...Jangan...Jangan!" Tiba-tiba sebuah kapak muncul entah dari mana dan
melesat maju menuju wajahnya ketika gadis itu mengayunkan tangannya
dan berlari. Jika saja Lucia tidak segera menunduk benda itu mungkin
sudah tertancap dengan mantap di kepalanya,
Namun tidak. Dibelakang Lucia kapak itu malah mengenai seorang anak
laki-laki yang sedang menggandeng tangan seorang wanita yang lebih tua
darinya. "Ah, lihat yang kau lakukan..."
"A-aku...aku.." Gadis itu jatuh terduduk, kehabisan kata-kata akan
kecerobohannya. "Aku... tidak..."
"Sudahlah.." Lucia mendecak kesal. Langkahnya semakin dekat, namun
gadis berbedak tebal itu masih tergagap-gagap dengan tatapan yang
terpaku akan si wanita tua saat ia terisak-isak memanggil anaknya.
Sosok Lucia sudah menghalangi pandangan gadis itu. Ketika Ia
mendongak, kilat tongkat logam yang diterangi oleh silaunya matahari
sudah teracung di kepalanya. "Maafkan aku. Aku juga ingin hidup."
Si badut mengabaikan permohonan maafnya, namun sesuatu membuat tangan
Lucia berhenti.
"Haha...hahahaha....." Gelak tawa gadis itu terdengar tak wajar, namun tak
asing di telinga Lucia.
Tawa yang tercipta dari trauma, seakan gadis itu baru membunuh untuk
pertama kalinya. Sungguh jauh dari prasangkanya saat wanita itu
terlempar ke pulau serba merah beberapa saat yang lalu.
"...Oh Dewata, Kau pasti bercanda..."
Tawa itu tidak kunjung berhenti. "...saya, saya tidak sengaja. A-anda
lihat sendiri kan? Sa-saya sama sekali tidak bermaksud..." Senyum yang
terkembang di wajahnya sama sekali penuh dengan rasa takut dan
bersalah. Ambulans yang berhenti di tepi jalan bisa saja menabrak
gadis itu jika saja mereka tidak berhenti tepat di belakangnya.
Diselimuti oleh tangisan seorang ibu yang kehilangan anaknya dan tawa
seorang badut yang tak semunafik prasangkanya, Lucia hampir menurunkan
batonnya,
Jika saja sebuah kapak kecil bermotifkan hitam-merah darah tidak
terayun ke wajahnya.
Lucia refleks menepis sabetan serampangan itu dengan senjatanya yang
ikut terlepas, beberapa saat sebelum kapak itu menghilang. "Kalau saja
anda tidak menghindar tadi, anak itu takkan mati!" Luar biasa,
sekarang wanita itu jadi kambing hitam si badut yang sedang tenggelam
dalam penyangkalannya.
Bukannya tak mau menjawab, namun Lucia tahu benar shock seperti apa
yang dihadapi oleh si gadis saat ia melihat gadis itu bergerak aneh
layaknya orang gila yang mengenakan senjata sampai seolah-olah sebuah
senapan serbu terlihat begitu saja di tangannya dan
"Oh sial."
Senapan itu muncul dan memuntahkan rentetan peluru yang hanya menambah
korban lagi. Beruntung Lucia langsung berlari menghindar dan terjun ke
belakang ambulans yang ditelantarkan akibat sekelompok paramedis yang
menjadi mayat segar akibat tembakan nekat si gadis.
Satu-satunya yang membuat kewarasan Lucia terjaga meski tubuh-tubuh
bergelimpangan bukan karena ia menilai rendah nyawa manusia, namun
karena Tuhan yang terbukti ada. Jika Tuhan Sakit itu sudah cukup
terhibur, tentu saja Ia akan menghidupkan kembali mereka semua dan
menganggap kejadian hari ini tak ada sama sekali. Mungkin hanya
harapannya. Lagipula, Tuhan, Thurqk atau apalah itu sayang umat yang
percaya kepada-Nya bukan?
Entah bagaimana caranya make up gadis itu bisa tetap awet meski sudah
basah oleh air mata dan liur, namun Lucia lebih khawatir akan peluru
nyasar itu sewaktu-waktu dapat menembus kepalanya. Melihat kesempatan
di waktu si gadis menurunkan senapan imajinernya, Lucia menerjang
mendekat sebelum tiba-tiba sebuah bayonet muncul di ujung laras
senapan itu.
Sekali ayun, bayonet dadakan itu menggores sedikit jaketnya. Kemudian
disusul dengan rentetan tembakan vertikal yang lagi-lagi nyaris
menyarangkan pelurunya seandaikan Lucia tidak segera menunduk dan
mencengkeram tangan si gadis, meninju keras sikunya hingga terbuka di
arah yang salah dan menanduk hidungnya.
Lengkingan yang keluar dari pita suara suara si gadis tak terdengar
sama sekali oleh masyarakat yang berlarian panik di sekitar mereka.
Yang mereka tahu hanyalah sekelompok arwah, penyihir maupun monster
tanpa wujud mungkin sedang meneror daerah itu dengan orang-orang yang
mendadak jatuh bersimbah darah dengan lubang yang menganga di badan
mereka. Kembali lagi ke gadis itu, Lengan kanan dan hidung yang patah
disusul dengan senapan yang tiba-tiba menghilang. Lalu Lucia menyeret
gadis itu dan membanting kepalanya di bodi ambulans sampai membekas
berulang kali hingga gadis itu tak sanggup untuk berteriak lagi.
Nafas Lucia Chelios terengah-engah. Ia tidak menyangka menghadapi satu
orang yang baru kenal artinya membunuh seseorang saja sudah memompa
adrenalin dan memakan korban.
Semoga saja Dewa Merah yang sedang menonton memaafkan dosa gadis ini,
demikian batin Lucia sambil memungut kembali batonnya dan berjalan
meninggalkan seorang gadis berwajah badut yang terkapar tak berdaya
dan sekerumunan orang yang berlarian menyelamatkan diri.
"...Tak ada waktu untuk berpikir." Lucia hanya ingin segera
menyelesaikan kewajibannya yang sekarang. Tangannya sudah kotor
terpisah dari niatnya untuk berhenti. Untuk apa berhenti jika masih
ada hutang yang tertunda?
***********
"Aku akan menunggu jawabanmu. Datang saja ke kantorku jika kau siap
meninggalkan masa lalumu sebagai Lucia Chelios."
Lucia masih menyimpan bimbang dalam hatinya ketika menerima kartu nama
itu. Ia sudah terbiasa menerima tawaran dari klien-klien tidak
dikenal, namun kali ini ada yang terasa berbeda dari sosok pribadi di
depannya.
Sorot mata sang penawar terlihat mengerti akan kejenuhan yang semakin
lama semakin menggerogotinya.
************
Lucia mendengar bunyi dentingan antar logam yang nyaring entah dari
mana. Ia menoleh kesana kemari mencari sumber suara itu dan langkahnya
berhenti begitu Ia memandang ke atas sebuah gedung apartemen, dimana
terlihat sesosok tubuh berwarna biru terang terkapar di atasnya.
Dihunjam sebuah pasak kuning keemasan yang menembus tepian atap beton
apartemen itu. Cairannya yang jatuh membasahi beberapa jemuran pakaian
yang digantung di luar salah satu jendela lantai dua terlihat tak
digubris oleh pemiliknya.
"Dua lagi.." Lucia menarik nafas dalam-dalam sambil meremas gagang
batonnya. Dalam pertempuran sihir, tentu saja Lucia jauh lebih
inferior karena kemampuannya hanya terbatas dalam memanipulasi energi
spiritualnya menjadi sebuah api hijau membara.
Begitu Lucia di dalam, kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah lift
dengan pintu geser yang sudah tua lalu menekan tombol "5", angka
paling tinggi yang terlihat di panelnya. Sesekali bangunan itu terasa
bergetar hebat bagai terkena gempa. Namun wanita itu tahu benar kalau
bukan gempa bumi penyebabnya.
************
"Aku tak percaya aku harus tunduk kepada makhluk diluar nalar seperti dia."
Seorang gadis dengan rambut hitam sebahu duduk merenung di atas sebuah
gedung apartemen. Kedua matanya terpaku kepada sebuah kotak hitam
kecil di telapak tangan kirinya. Dalam hati, Ia berkilah. Perempuan
berkacamata ini tak mengerti apa yang harus dilakukannya. "Kakak,
jika kau bersamaku saat ini apa yang harus kulakukan...." Sorot mata
gadis itu memancarkan kerinduan akan seseorang, namun dibalik itu
juga tersirat sebuah kebimbangan.
Gadis itu belum pernah membunuh sebelumnya. Ia hanya tewas dalam
sebuah kecelakaan. Apakah hal itu cukup untuk membawanya ke sebuah
pulau yang lebih mirip dengan imaji Neraka bagi para pendosa? Makhluk
yang mengaku diri adalah Sang Pencipta ini sepertinya tak sebaik yang
diakui para penyembahnya.
"Lima puluh lima. Hanya akan tersisa satu pada akhirnya, yang akan
mendapatkan penghapusan dosa dan kelahiran kembali ke dunia tempat
asal kalian. Tak ada yang lebih berharga daripada kesempatan kedua
untuk memperbaiki takdir kalian."
Darimana Ia harus memulai? Fakta bahwa mereka semua sudah mati mungkin
bisa menjadi alasan, namun apakah jawaban dari perintah ambigu itu
adalah 'Bunuh mereka semua' ? Tak adakah maksud lain dari hal itu?
"Namun jika tidak, tak peduli aku adalah orang yang berdosa maupun
tidak makhluk-makhluk bersayap itu akan menyiksaku jika kalah..."
Tiba-tiba renungannya terpecah oleh bunyi pintu jauh di sisi kanannya
yang dibanting terbuka oleh sesosok figur. Entah manusiakah dia
ataupun bukan agak mencengangkan baginya ketika sekujur tubuh sosok
yang berlari keluar itu terlihat transparan dan biru menyala.
"Tolong-"
"Aura!"
Kalimat makhluk biru itu terpotong oleh sebuah pasak kecil yang
menembus kakinya. "AAHHHH!!" Dia terjungkal, namun dengan kedua
tangannya Ia menyeret tubuhnya hingga ke ujung atap. Menggapai-gapai
harapan yang kosong.
"Kau pikir dengan memancingku ke dalam ruangan kau bisa terlindungi
oleh penghuni-penghuni tak berdosa? Kau pikir aku tak bisa menemukan
solusi yang lebih aman dengan empat puluh sobatku ini?"Seorang lelaki
yang mengenakan kerudung putih melangkah keluar dari pintu yang sama.
Terus melangkah ke figur biru yang suaranya terdengar seperti seorang
manusia lelaki itu.
"K-kumohon. Pasti ada jalan lain selain dari hal ini."
Si pria berkerudung tertawa terbahak-bahak. "Kau masih tak mengerti
juga? Ayolah, ujung-ujungnya juga kau akan dihidupkan kembali oleh si
Merah itu." Sejenak pria itu menghela nafas dalam - dalam, seorang
gadis serba putih bergaun emas yang melayang - layang di atasnya
seakan ikut tersenyum geli.
"Ini bukan masalah bertahan hidup, ini masalah motivasi."
"J-jangan, jangan..."
"Dan kupikir motivasimu tidak sesuai dengan semangat kontes ini."
"Tiba-tiba sebuah pasak berukuran dua kali lebih besar dari pasak yang
tersangkut di kaki sosok tersebut muncul dari tangan si gadis
keemasan. dan gadis berkacamata yang melihat dari sisi lain itu hanya
bisa terkejut dengan jejak yang ditinggalkan kaki yang cidera itu.
"Jangan, Stallz-AKH!"
Bukan darah, namun cairan biru yang terlihat sedikit lengket, sama
seperti tubuh luar sosok yang dadanya langsung terhunjam pasak emas
besar yang tersangkut di beton tepian apartemen itu.
Ketika cairan biru itu muncul lagi mengaliri pasak emas yang terlihat
berkilau diterangi bola gas raksasa di udara, gadis berkacamata itu
menyadari sesuatu.
"Jadi, rupanya kau bisa melihat kami." Kerudung itu dibukanya ketika
pria itu menatap sang gadis bersamaan dengan wanita keemasan yang
merubah dirinya menjadi sebuah bola kecil yang bergerak masuk ke tas
pinggang yang dikenakan pria berkulit cokelat itu. "Tapi bukan kau
yang saat ini kucari." Kilahnya.
Apakah ini kesempatannya untuk mencoba? Pria itu tak terlihat punya
beban ketika memburu monster barusan, bukankah itu berarti tak ada
konsekuensi berarti dari permainan ini? Pikir gadis itu.
"Yah, setidaknya kau bisa mempercepat urusanku di sini. Fenrir!
Curry!" Sebutir bola kecil tiba-tiba melesat keluar dari tas Pria itu.
Dengan sejenak kilatan cahaya bola itu berubah menjadi seekor serigala
yang tampak diselimuti oleh logam, seakan setiap bagian tubuhnya
adalah besi itu sendiri. Kemudian satu lagi bola kecil yang melesat
keluar dan pecah, mengeluarkan sesosok wanita berkulit cokelat gelap
berpakaian Sari yang bersiaga di depan sang pria berjubah putih.
Si gadis berkacamata menunduk, membisikkan sesuatu kepada kotak hitam
di tangan kirinya.
"Equilibrium System, activate."
Cahaya yang bersinar dari kotak hitam itu hanya bisa dilihat oleh si
gadis berkacamata. Seraya Ia menghunus pedang yang sedari awal
tersarung di pinggangnya gadis itu kembali bergumam,
"Pressure-Concept, maximum air compression."
Ia tak ingin bertarung. Lebih tepatnya gadis yang bernama Volatile itu
tak bisa bertarung. Ia berharap Le Chatelier sword, suvenir dari
kehidupannya yang lama dapat menyelamatkannya dari pria berwajah tanpa
dosa ini.
************
Lift itu akhirnya berhenti. Lucia menggeser pintu manualnya dan
melangkah ke satu-satunya pintu di depan matanya. Lantai yang
dipijakinya agak licin, dan tentunya bukan karena langit-langit yang
bocor ditembus oleh hujan karena diluar sama sekali cerah dan terang
benderang. Jikalau pun ada orang mabuk yang buang air sembarangan
tentu aroma tempat ini sudah amis luar biasa. Lucia akhirnya menatap
ke bawah, melihat genangan-genangan kecil air berwarna biru pekat
menempel di sepatunya. Semakin Ia dekat dengan pintu itu, semakin
jelas terlihat di gagangnya terdapat cairan lengket yang sama. Seperti
ada yang sengaja membuat jejak dengan menumpahkan kaleng cat dari
tangga darurat di sebelah kanan pintunya.
Baru saja Ia membuka pintu itu, Lucia disambut oleh gempuran angin
yang kuat dari luar, melempar tubuhnya kembali ke dalam lift.
"Akh, bajingan!" rutuknya. Belum ada satupun tulangnya yang patah,
namun ngilu yang amat sangat dirasakannya membuat langkahnya untuk
kembali berjalan keluar agak sempoyongan. Pusing yang dideritanya
akibat terbentur tembok untungnya tak berlangsung lama, ketika Lucia
sudah dapat melihat dengan jelas.
Lagi-lagi tampak seorang gadis yang lebih muda darinya, yang
mengenakan pakaian seragam mirip dengan tipikal seragam anak-anak
sekolah menengah umum swasta dari luar kota ini. Kacamata yang
dikenakannya sudah pecah di sebelah kiri. Sedikit goresan kecil di
bawah matanya cukup untuk menjelaskan efek pecahan itu.
"Oh."
Kata itu cukup untuk membuat sepasang mata yang lain tertuju menjawab
tatapan Lucia. Oh, bagus. Dari semua orang lain sejauh ini bertemu
dengannya bagaikan mendapat jackpot lotere. Pikirnya sambil
menyeringai.
Bagaimana tidak? Orang itu adalah lelaki tak sopan yang tiba-tiba
menghujaninya dengan ribuan pasak pada pertemuan pertama mereka di
akhirat. Entah apa yang ada di benaknya ketika melakukan hal itu, tapi
setidaknya beban pikirannya sudah cukup ringan, mengingat permainan
seperti apa yang mereka hadapi sekarang ini.
Tempat ini medan perangnya, tempat itu peristirahatannya. Kesimpulan
ini akhirnya terasa jelas ketika tiba-tiba saja mereka harus
diterbangkan ke sembarang wilayah dan diperintahkan untuk saling
mengalahkan.
"---- kau dengar!?" Lucia tak memperhatikan. Pikirannya sudah fokus
meskipun si gadis berkacamata pecah sudah memindahkan fokus pedang
berwujud aneh yang dipegangnya ke wanita itu.
"Release Concept!"
Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, Lucia merangsek maju menuju
si lelaki berjubah putih dengan wanita cokelat dan serigala logam yang
menggeram marah sambil mengabaikan gelombang transparan yang melesat
dibelakangnya seiring teriakan gadis itu.
Lucia berani bertaruh kalau di atas sana, si Dewa Merah sedang tertawa
terbahak-bahak bersamanya.
"Sialan, kenapa aku harus bertemu denganmu di saat seperti ini? Curry!"
"Jaga dirimu, Tuan!" Gadis berkulit cokelat itu tiba-tiba melesat
dengan kecepatan yang tak terduga, melewati Lucia dan menerjang si
kacamata bersama dengan sepasang parang yang melayang - layang di
sekitarnya.
Tersisalah wanita itu dan seekor serigala perak berkilauan bersama
tuannya yang berwajah lebam. Mungkin karena pertarungan intens yang
diganggunya barusan.
Mungkin Ia tidak secepat si gadis kulit cokelat, namun setiap
langkahnya sudah menjadi sosok menakutkan yang haus darah. Setidaknya
demikian bagi lelaki di depannya. Serigala itu pun tentunya tak
tinggal diam dan berlari menemui ancaman untuk tuannya saat keempat
kakinya sudah berderap menjawab intimidasi Lucia.
Serta merta gadis itu mengayunkan batonnya. Bunyi logam bertemu logam
terdengar sangat keras, dan yang membuatnya tercengang sejenak bunyi
itu berasal dari sang makhluk bertaring yang berusaha melesakkan
taringnya ke tubuh wanita itu. Beruntung, taring itu tersangkut pada
sebelah kiri jaket hitamnya. Ketika si serigala baja melepas
gigitannya dan akan menanamkan giginya kembali, Lucia memanfaatkan
kesempatan sepersekian detik itu untuk mencengkeram moncongnya,
menggunakan momentum itu untuk menendangnya ke arah yang berlawanan
dan berguling maju sehingga jaraknya dengan pria berjubah putih yang
ditujunya.
Tetapi tiba-tiba sebilah pedang muncul dari langit, melesat turun
menancap tanah. Beruntung pedang cokelat itu tidak ikut serta menancap
batok kepalanya. Batin Lucia. Namun serigala itu sudah siap
menyerbunya setelah terkecoh oleh tendangan barusan dan kini sudah
melompat menerjangnya yang belum sempat bangkit berdiri.
Lagi-lagi Lucia berguling ke samping, menghindari lompatan ganas sang
serigala dan menabrak tepian atap itu, tepat disebelah onggokan mayat
makhluk biru yang dilihatnya dari jalanan. Makhluk biru itu terkulai
dengan mata terbelalak. Sebagian cairan biru yang mengalir keluar dari
pasak emas yang menancap tubuhnya sudah mengering.
Serigala itu kembali melompat, menerkam calon korbannya yang terpojok,
"Oh tuhan semoga ini berhasil."
Hanya untuk menggigit kaki mayat si makhluk biru yang mendadak
direntangkan oleh Lucia. Akibat terkamannya yang tinggi, sebelum
sempat berpijak Lucia sudah menyepak rahangnya dan kembali
memanfaatkan gravitasi untuk memukul perutnya sekeras mungkin.
Alhasil, sang serigala logam sukses terjengkang melewati tepian itu
dan terjatuh. Namun, tanpa memberi kesempatan baginya untuk bernafas
lega, sejumlah pisau lempar tiba-tiba terbang menggores pipinya dan
menancap bahu kanannya. "Bajingan!" Erangnya.
************************
Si gadis berkacamata meringkuk dan berusaha untuk berdiri dengan
pedangnya yang seakan tak tersentuh sama sekali, hanya untuk
kehilangan keseimbangan dan terjatuh lagi.
"Sudah kuduga, anak sepertimu yang belum bisa apa-apa dilarang bermain
benda berbahaya yang nyaris mencelakakan tuanku."
Kondisi gadis itu tidak secantik senjatanya. Tendon kaki kanannya
teriris hampir menembus tulangnya. Air mata di wajahnya mengalir
melewati pedih luka-luka irisan di pipinya. Bagian seragamnya yang
terkoyak bukan menunjukkan keseksian seperti tontonan anak-anak namun
memamerkan abdomen kiri yang juga teriris dalam. Tentunya
pedang-pedang berlumuran darah yang menari mengitari si wanita
berpakaian eksotis di depannya bisa menjelaskan sebab segala cidera
berat itu.
kotak hitam kecil yang masih berkelap-kelip seperti awal panggilannya
tergeletak jauh dibelakang gadis itu. Kacamatanya terjatuh. Sorot
matanya yang semula terlihat mengancam di awal pertarungan berubah
menjadi ketakutan.
"Kau sama sekali tak punya pengalaman bertarung dan hanya mengandalkan
mainanmu itu. Setidaknya Tuan tidak mengalami luka yang terlalu
serius. Seharusnya kau-"
"I-ini mimpi kan?"
"Hm?" Nada bicara si wanita yang semula mengejek berhenti serentak
dengan kedua pedang yang langsung bersiaga terhadap objek sasarannya
itu.
"....kh-kh-kalau begitu.." gadis itu berusaha mengucapkan sesuatu, namun
sesaat terbatuk dan memuntahkan darah. "...b-breaking concept molds..."
Tiba-tiba pedang berwarna-warni itu mengeluarkan cahaya menyilaukan
dan sekejap pecah. "ahahahaha.....dis..dis.."
Mendadak terdengar sebuah teriakan dari sisi lain. Dari lelaki yang
dipanggil si wanita eksotis sebagai Tuannya.
"Tuan Stallza!!"
"...dis-assemble."
Maaf kakak, demikian mimik gerakan mulut gadis berkacamata itu.
************************
Serigala itu menukik jatuh dari apartemen lima lantai itu,
"Fenrir, kembali!"
Dan satu panggilan itu kembali menyadarkan Lucia akan sesuatu. Wanita
serba merah yang ditemuinya. Respon si wanita berpedang. Respon si
serigala. Ketika makhluk itu menjadi benang merah konklusi yang
seketika ditemukannya.
Lalu Ia melihat sekilas sebuah bola kecil yang terbang dari asal
dimana serigala itu jatuh, kemudian melesat menuju sang tuan berjubah
putih.
Tanpa berpikir panjang, Lucia mencabut pisau lempar yang menancap di
kaki kanannya dan melempar dengan tenaga yang tersisa.
"Ura- AHHHHGHKKKKKKKK!!!!!!!!!"
"Tuan!!"
Teriakan dari jauh itu menandakan kesadaran mereka yang saling
terhubung. Jika tidak, bagaimana wanita yang sibuk menyiksa gadis
berkacamata itu sadar akan pisau yang tenggelam di leher tuannya?
"HEAAARRRRRRRGH." Lucia melepaskan batonnya dan berlari menangkap
kesempatan tipis itu, mengabaikan sakit luar biasa dari pahanya yang
tertusuk pisau dan melesakkan sebuah tinjuan.
Yang menghujamkan pisau lempar itu semakin dalam menembus leher pemiliknya.
Kejadian sepersekian detik itu seperti diperlambat dua puluh kali lipat.
ketika bersamaan deru angin yang terserap dari keempat pedang di kejauhan,
tiba-tiba sebuah ledakan besar tercipta dari sumber yang sama. Gadis
berkacamata itu.
Ledakan dengan tekanan yang jauh lebih besar daripada gumpalan angin
yang menghajar mundur Lucia hingga ke tembok meluas. Bahkan kepada
pemanggilnya sendiri, yang mungkin sudah tak sanggup untuk melakukan
apa-apa lagi ketika setiap inci kulit dan dagingnya bersama si wanita
cokelat hancur ditelan ledakan besar itu.
Beruntung, tangan kiri Lucia sedang meremas kerah kerudung putih
lelaki yang baru saja menjadi korbannya membuatnya menjadi tameng
daging yang mengurangi tekanan besar bak bom C4 yang meledak .
Namun tameng itu tak cukup untuk membuatnya tetap bertahan di atas
atap itu dan seketika melemparnya sampai melewati tepi bangunan
apartemen,
Hanya untuknya menggenggam pasak emas yang masih memaku sosok biru
kental yang entah bisa disebut manusia atau bukan. Beruntung, ledakan
itu tak seglamor efek film aksi yang bisa merobohkan satu gedung bak
bola bulldozer.
Deru angin ribut mematikan itu mereda. Namun Lucia enggan untuk naik.
Dirinya juga sudah tak punya tenaga banyak lagi untuk mengangkat
tubuhnya. Ah, sudahlah. Asosiasi penyihir kota ini tentu akan
mengkambinghitamkan seseorang lagi gara-gara hari ini, demikian
batinnya.
Tangannya yang sudah mati rasa akhirnya melepaskan pasak itu dari
genggamannya dan membiarkannya terjatuh,
Saat sesosok makhluk merah bersayap menangkap tubuhnya.
"Apakah ini baru permulaan?"
Anggukan makhluk itu sudah cukup menjawab pertanyaannya. "Semoga
dewamu berbaik hati untuk menghidupkan mereka kembali." Atau tidak
sama sekali, seperti yang biasa dilihatnya di jalanan kota ini.
Entahlah. Lucia tak berharap banyak saat Ia akan diterbangkan kembali
ke pulau serba merah itu. Mungkin Tuhan sedang memberikan tugas
terakhir baginya sebelum benar-benar pensiun.
Lagipula, Ia tak sempat berpikir untuk meyakinkan keempat orang
lainnya untuk berhenti dan mencari solusi lain. Kalaupun bisa, apa
jawaban mereka? Kartu nama?
***
MOI BUKAN BADUT! Moi mime artist!
ReplyDelete7 dari moi
Tapi biarpun mime, malah takut jadi timpang gara-gara agak meta kalo Lucia yang awam sadar kalo itu mime :'))))))
DeleteAnulir~
DeleteHmmm... kayaknya yang satu ini moi sengaja anulirin aja kali ya, soalnya satu group ama moi. O ho ho ho hon.
DeleteTapi moi ga jahat. Moi support semua rookie. Jadi, moi komen ulang deh (mungkin kalo cuma ngasih nilai doang moi dianggap ga baca. Sacred bleu!).
So, cerita ini cukup bad ass buat moi. Fightnya asik dan mengalir walau agak lack in awesome moment. So, admin, please be noted that moi gives Lucia 7!
[Batlle Intensifies]
ReplyDelete8/10
Anulir~
DeleteDari 8 entry yang sudah saya baca, tulisan ini adalah satu dari dua entri yang punya narasi pertarungan terbaik (yang satu lagi adalah Nurin). Bagaimana setiap pertarungan yang sebenarnya berlangsung dalam durasi kurang dari 5 menit, bisa dikupas dengan detil dan mengalir dengan kecepatan yang terjaga.
ReplyDeleteInteraksi/dialog antar karakternya juga cukup baik (oh saya sangat suka ucapan-ucapan Stallza saat memburu Lazuardi).
Dan masih sempat memberikan satu paragraf menggantung, yang berfungsi sebagai... -terkaan saya- kupasan masa lalu?
Kekurangannya, ada beberapa adegan di mana sudut pandang penceritaan beralih dari Lucia ke Volatile, dan itu... agak kurang intuitif, di mana saya harus diam sebentar untuk menerka "ah, ini saya sedang membaca Volatile"
Oh iya, kota tempat tinggal Lucia ini seharusnya (sangat) luas. Sebagaimana realm lainnya, entah jimat keberuntungan seperti apa yang diberikan dewa merah kepada setiap peserta sehingga mereka bisa bertemu satu sama lain dengan sangat cepat :D
Sulit bagi saya untuk tidak memberikan nilai 9/10
Sankyu :v /. Mungkin karena pengaruh teksnya yang dicopas ke body, makanya teks miring di scene flashback jadi hilang dan akhirnya agak terasa aneh ketika narasi seolah-2 menggambarkan waktu sekarang. :)))
DeleteAnd yes, that Volatile scene. intronya Lucia di versi awal yang dirombak ulang supaya masuk sama karakter Volatile <(")
Tercated
Deleteiya, aku juga awalnya juga nggak ngeh pas transisi antara Lucia dan Volatile. Apalagi hanya digambarkan dengan kata 'gadis itu' atau 'wanita itu'. kan ada dua wanita disini, jadi aku rasa itu membingungkan.
ReplyDeletetrus banyak monolog yg kerasa berantakan. kyk:
> Beruntung pedang cokelat itu tidak ikut serta menancap
batok kepalanya. Batin Lucia.
itu kalimat udh titik, trus disambung Bation Lucia yg merupakan kalimat selanjutnya.
dan terakhir, untuk scene battlena juga aku kebingungan.
7/10....
Makasih reviewnya :> rupanya saia masih bermasalah di pemakaian tanda baca :))
DeleteTercated
DeleteAduh, sepertinya selera baca tiap orang berbeda-beda ya. Ada yang bilang narasi battlenya sangat intensif, mengalir, dst.
ReplyDeleteTapi ane yang kurang menyukai hal tersebut malah melakukan habbit-- Fast Read, loncat-loncat.
Tapi seneng sama gore-nya yang dideskripsikan dengan bahasa yang mudah dimengerti.
>.<
+6 ya....
:D
:3 / makasi. ga enaknya juga mungkin karena penjelasan yang dipotong sampai tempo ceritanya kerasa terlalu ngebut
DeleteTercated
Deletealur battle yang pas, tidak terlalu cepat mengalir, sehingga membuat saya menikmati cerita ini dari awal hingga akhir.....
ReplyDeletedan ending yang tidak terlalu wow, tapi meninggalkan kesan "Ingin melanjutkan membaca lanjutannya."
9/10
Tercatat
DeleteMakasih! Iya, saya maunya juga bikin ending yang setidaknya masuk bukan sebagai konklusi, tapi yang bikin kepo orang buat ngikutin ronde selanjutnya :D
Deletesetelah membunuh COllete, kenapa ngomongya "2 lagi..."
ReplyDeletejawab yang memungkinkan, Lucia gak bisa itung :v
entah mengapa saya gak bisa ikutin action triple threatnya, mungkin saya doang.
sama kayak kata Leon, battle Pacenya terlalu Clutter. kalau di film, mungkin kameranya gak bisa panning, atau eyebird tapi loncat-loncat terus yang bikin pusing.
Final Verdict 6.5
:'))))) problemnya berarti penceritaan yang disjointed. sankyu
DeletePlusnya, saya seneng penggambaran suasana, pandangan Lucia terhadap situasi, sama deskripsinya
ReplyDeleteMinusnya, saya susah ngikutin alurnya pasca kematian Colette. Berasa di tiap scene ada sesuatu yang berhasil bikin saya skip, terus bingung sendiri tadi terakhir lagi apa. Terus saya ga dapet karakter Lazu, mungkin ga masalah kalo dia mati offscreen, tapi ini berasa kurang nendang aja - apalagi dia ga kebagian jatah dialog kan
7 / 10
Tercatat
Deletewelp :v .... mungkin karena saia juga belum biasa bikin adegan berantem karakter ini vs karakter itu kali ya makanya penggambaran lawan jadi minim.
Deletemakasih feedbacknya :DD
Narasinya sudah lancar dan menarik, sekalipun saya temui segudang kesalahan EYD dan penggunaan kalimat-kalimat yang tidak efekif.
ReplyDeleteAdegan bunuh-bunuh NPC-nya cukup asik, membuat setting ceritanya terasa lebih nyata.
Soal penggarapan dan karakterisasi OC lainnya, hmm ... si Collete kehilangan sentuhan Perancisnya, si Lazu tak dikasih kesempatan untuk menunjukkan skill-nya, sedangkan si Volatile jadi seperti gadis penakut yang tak punya semangat bertempur. Dan saya heran, di semua cerita apa tak ada yang membahas tinggi badan si Volatile yang tak wajar sebagai seorang wanita?? Dia itu 195 cm, for Thurqk sake! :v
(meskipun saya ragunya kalau si Orange Doughnut itu salah ngetik tinggi di charsheet-nya)
Adapun Stallza hanya berkesempatan mengeluarkan Spiritia dalam jumlah yang sangat sedikit.
Well, terlepas semua itu, pertarungannya masih oke. Dramatisasinya pas. Sekalipun terkesan singkat, tapi sudah bisa menghibur saya.
Poin 7.0
Tercatat
DeleteBenar, saya juga udah re-read lagi ini dan menemukan beberapa error di EYD dan penempatan kalimat. G'AH! pengen edit lagiii #ngeles ;_____;
Deletemakasih :3 /
Bener-bener Fast-Paced ya?
ReplyDeleteTapi saya agak nikmatin sih. Bahasanya bang nyas enak.
Tapi-tapi-tapi... saya bingung di beberapa paragraf yang cuma menunjuk "wanita itu" "gadis itu" dan sebagainya.
Maaf bang nyas T_T
+8 dulu ya.
Soalnya saya masih asik aja sih bacanya, ga dragging
Noted. Artinya perasaan Lucia yang merasa asing dengan ketiga kontestan lainnya selain Stallza masih kurang tersampaikan dengan baik. makasih feedbacknya :3
DeleteKak Nyasu >.<
ReplyDeletemaafkan umi...maafkan umi...
- dialog tag yang ga ada bikin bingung umi diberbagai tempat. ini yang lagi ngomong siapa?
- cara bicaranya semuanya samaaaaaa *orz
- ada penggunaan titik dan koma yang salah tempat
- dan kenapa semuanya pada ooc? Collete
maaf nilai dari umi 5...
- Dimaklumi minus pointnya juga dialog yang terlalu terikat dari awal sampai yang berikutnya yang bikin susah untuk diikuti tanpa mengulang bacaan dari awal :3
Delete- :'))))) duh yang ini emang bener banget
- hoo ngerti2 :3 . benernya mau coba nulis dengan simpel yang mencoba untuk tidak bertele-tele dengan penggunaan titik - koma dalam menggambarkan nada bicara seperti dialog komik. Tapi ga selalu baik juga ya :3
- Karena nomor dua bener maka efek ga langsungnya nomor empat juga ikutan bener :'))
Makasih feedbacknya.
Tercatat
Delete> Kejadian sepersekian detik itu seperti diperlambat dua puluh kali lipat.
ReplyDeleteketika bersamaan deru angin yang terserap dari keempat pedang di kejauhan,
tiba-tiba sebuah ledakan besar tercipta dari sumber yang sama. Gadis
berkacamata itu.
ANJEERRRRRR BULLET TIME!!! WKWKWKWK
slowmo nya disini kebayang, super!
seperti biasa, suka sama gaya penceritaanmu. POV ketiga memang paling cocok dengan karakter lucia.
pas lucia ngomong kebayang si chelios beneran. wkwkwk
masalah:
-banyak frasa yang ga cocok kalo dipake di pov dan style penceritaanmu.
>bahkan jikalau
- tanda baca
dan mungkin karena 5 karakter yang harus dibongkar dalam 1 waktu, jadi masalah untuk semua peserta. no prob untuk gaya deskripsinya.
so, 7/10 !
*guling guling ala John Woo.
DeleteMakasih feedbacknya! artinya fokus feedback disini ke penggunaan bahasa ya :3 /
komenya sama dgn yg lain, bingung pas bagian sebutan 'gadis itu' sama 'wanita itu' g bs dbedakan itu sebutan utk siapa, trus narasi awalnya jg msh terkesan lompat2 sih kak
ReplyDeleteheran juga pas lucia nendang serigala perak, kakinya kuat amat xD
tp beneran suka sama pertarunganya kak, seru :D
nilai 8/10 :)
Tapi juga nendangnya bukan sampe hancur, tapi lebih ke mendorong kan? :))
Deleteah iya, makasih buat gaya tulis 'gadis itu' 'wanita itu' yang ternyata kurang efektif. :3
Narasinya rada bikin aku bingung apalagi pas battle, kek pengen bikin situasi yang chaotic tapi hasilnya malah tulisannya yang chaotic dan rada susah diikutin..
ReplyDeleteIntens tapi battlenya, nilai plus ini, sama karakterisasi Lucia yang bagus.. Tapi kek Sir Po, karakter lain berasa kurang dieksplor, walau gak separah dia sih :D
Paling nggak Stallza punya screentime yang lumayan banyak.. Tapi penggambaran tiap karakternya udah dapet sih..
Penggambaran setting dan suasana dunianya lumayan bagus, tapi entah kenapa aku masih sukaan yang di canon Stallza.. Overall ceritanya simple, bertarung lalu Lucia menang.. Gak ada yang bener bener spesial..
6/10
tepat sasaran orz . fokus pada karakter Lucia seakan membuat OC lain jadi kertas kardus :))). makasih feedbacknya.
DeleteImho, volatile scene ga cocok untuk cerita sependek ini, terlalu chaotic.
ReplyDeleteDari segi penulisan, ini keren, tapi ga akan semua orang tahan godaan buat skimming untuk kemudian bilang "WTF is this?!"
Have mercy on me, Dude, my slow brain forced me to read this 2 times to get everything sorted. I must thank you though, your writing just gave me some sparks of idea~ :D
8/10
lolololol di satu sisi volatile scene terkesan nanggung ya. makasih sudah menginspirasi :))))
DeleteOkay, ini impresi saya~
ReplyDeleteSecara narasi kadang masih agak kaku, juga ada satu kalimat yang kepanjangan, patutnya diberi jeda koma atau titik. Ketika dua gadis bertarung, kata gantinya sama-sama pakai gadis, membuatku terbingung untuk beberapa adegan. Misal saat Lucia dan Colete beradu aksi, ada baiknya jangan pakai kata 'gadis' untuk dua-duanya, tapi dibedakan misal 'gadis itu' dan 'si badut'. Begitu juga pada pertarungan selanjutnya, menyebabkan perpindahan adegan antara Lucia-Fenrir dan Volatile-Curry agak tersendat.
Secara alur plot cerita ini gak bertele-tele, bahkan ada yang matinya cepat seperti Lazu. Itu ga masalah, kadang menceritakan dalam semua karakter juga malah bikin lelah bacanya. Namun sayang konflik hati di awal sama Colete nampaknya tak ada yang melanjuti. Untuk serangan membunuh masih kurang kerasa klimaksnya.
So, keep battling.
Maaf baca dan komennya telat.
- Grande.