Pages

November 1, 2014

[ROUND 6] LAZUARDI - PERTEMUAN, PERPISAHAN

[Round 6] Lazuardi
"Pertemuan, Perpisahan"

Written by Po

--- 

1
Pertemuan Kembali

Kegelapan itu menutup pandang dan kesadarannya. Namun bentuk dan warna muncul perlahan, saat Lazuardi merasakan dua lengan ramping sedang memapah tubuhnya. Dan hangat ini, disertai harum kasturi putih merebak dari figur yang menyentuhnya.

"Rem... " suara itu kering  saat pertama terdengar oleh telinga Safirem. Namun itu cukup untuk membuat sang bidadari menitikkan bening dari matanya yang indah. Si Matoi telah sadar.

"Jangan bicara...jangan bicara, Biru...biarkan aku memapahmu..."

Lazu menatap Safirem dalam, menelusuri helai demi helai bulu matanya yang setajam daun pinus dihinggapi bulir air mata, menyinggahi seutas senyum pada manis mulutnya, mengingat kembali semuanya.

Safirem, gadis dari alam asal Lazu, Aspemina. Wanita yang menderita sakit tak tersembuhkan, namun menerima donor energi mitos Khatea dari tubuh Lazu hingga menyelamatkan nyawanya. Gadis yang kemudian menjadi sirkuit superdimensi pengetahuan multiversal, yang mimpinya saja telah mencipta sejumlah semesta.

Hingga dia tak tega terbangun dari mimpi itu, karena akan hancurlah seluruh jagat yang telah tercipta olehnya. Meski dia ingin. Meski dia selalu ingin.


"Safirem...kau masih di sampingku....aku memang sudah menemukanmu...syukurlah..."

Namun ketika Lazu datang, Safirem menyerah pada perasaannya sendiri. Karena ini adalah penolongnya. Hanya dengan lahir ke dunia, Lazu telah menyelamatkan hidupnya. Dan Lazu mengatakan hal itu. Mengatakan bahwa Safirem, Si Puteri Kejora, tak perlu lagi bermimpi. Bahwa mereka akan berjalan bersama dalam kehidupan yang terbentang.

Dan ia menyerap pecahan sirkuit jiwa Safirem yang berasal dari Energi Khatea. Menyerap seluruh penyakit sang puteri. Mengembalikan Lazuardi yang sesungguhnya. Mengembalikan Safirem sebagai manusia biasa kembali. Manusia yang lemah, namun juga bebas. Ringkih, namun juga utuh.

"Akulah yang menemukan kamu, Biru..." Safirem menyahut pada akhirnya, sebelum dia memeluk Lazu dalam rindu yang amat sangat. Sekuat-kuatnya, merasakan detak jantungnya sendiri bersentuhan dengan gerimis dalam dada Si Matoi.

---

"Safirem." sebuah sosok berucap datar. Seorang gadis berdiri menyandar pada dinding koridor. Lebih pendek dari Safirem. Mukanya pucat tak berdarah. Sepatunya diketuk-ketukkan ke lantai.

"Abby. Kau di sini? Kenapa tak ada pengawalan Hvyt?" Safirem berjalan pelan-pelan, hati-hati. Meski mereka sempat bermain bersama di masa lalu, Puteri Kejora yang sekarang hanyalah gadis biasa. Sementara Abby adalah makhluk alam bawah yang penuh kegelapan.

"Aku diutus Sang Dewa," Safirem mengangkat wajah dan tersenyum kecut saat berkata, "Kau ini, Safirem. Seharusnya kau bilang dari awal bahwa cinta pertamamu ada di Nanthara. Dengan begitu, kita bisa melindungi Lazu dari awal, kan."

Mendengarnya, Puteri Kejora pun lega. Ternyata Abby masih merupakan temannya.

"Buat apa aku bilang-bilang sama kamu, Abby," Safirem tertawa, "Kamu kan antek Thurqk yang kejam dan ini-itu."

"Rem..." Si Matoi berkata dengan napas dan penginderaan yang masih belum stabil.

"Ya, Biru?"

"Apakah dia..Abigail Grey?"

"Kau benar, Lazuardi." Abby menjawab, "Aku adalah Abigail. Panggil aku Abby. Sebelumnya, maaf soal Altair Kilatih. Menduplikasi kepribadian untuk dimasukkan ke bonekaku sebagai Kilatih palsu, itu semua ide Nolan Collard Fambrough."

"...Kau..." Lazu ingin menjawab, namun kepalanya pening berputar seperti terpukul batu besar. "Kau datang sebagai teman Safirem...atau sebagai utusan dari Thurqk?"

 Puteri Kejora pun mengerti bahwa Lazu ingin memperjelas posisi Abby. Kondisi Si Matoi terlalu lemah setelah bertarung habis-habisan melawan tiga pecahan jiwa kekuatan Safirem. Terlalu lemah hingga analisisnya atas Abby tak kunjung tersambung.

Namun Abby belum tahu bahwa Safirem kini tak lagi memiliki kekuatan Khatea. Maka di mata Abby, Safirem masihlah merupakan keberadaan yang terlalu tinggi untuk dia lawan.

Hanya tebakan liar. Variabel kondisinya mudah goyah, saling melemahkan. Tapi inilah...tebakan terbaik yang bisa kurumuskan dengan sinaps persarafan selemah ini.

"Aku datang...sebagai keduanya, Lazuardi." sahut Abby pada akhirnya. "Aku adalah teman Safirem, dan juga utusan Thurqk. Dan aku ingin menyampaikan pesan pada Safirem. Dari Dewa Thurqk."

"Thurqk."

"Thurqk sudah mengetahui...hubunganmu dengan Lazuardi, Puteri Kejora." Abby melanjutkan dengan gaya bicara yang lebih formal, "Thurqk memperingatkanmu untuk tidak ikut campur dalam turnamen ini. Bila kau melanggar, maka..."

"Aku tahu," Safirem menjawab singkat, "Sampaikan pada Thurqk bahwa aku tak menginginkan konflik. Al Fata, Perpustakaan Takdir, ada dalam memoriku. Aku tak mungkin mempertaruhkan hal sepenting itu. Aku akan ikut bersamamu agar Thurqk mendapat jaminan bahwa Lazu bertarung sendiri."

"Syukurlah bila kau mengerti," Abby mengangguk hormat. Lalu dia menghela napas, "Aku tak mahir dalam urusan seperti ini. Kan...serba salah jadinya..."

Safirem pun merangkul Abby. Meski dibesarkan di lingkungan yang kejam, dia hanya seorang anak. Perintah Thurqk pasti seringkali sangatlah berat untuk mentalnya.

Maka Puteri Kejora menoleh pada Lazu, "Biru. Kau tak apa-apa kan jika aku ikut Abby sampai semua ini selesai?"

"...Ya." Lazu menjawab ragu. Sampai kapan Safirem akan mampu berlagak seolah masih memiliki kekuatan dan pengetahuan multisemesta? Terlalu percaya dirikah dia sampai berani mengikuti Abby dengan sukarela? Bukankah itu berarti menjadikan diri sendiri sebagai sandera?

Saat Abby berbalik pergi, Safirem masih sempat menatap Lazu. Mereka menyelami bola mata satu sama lain dengan seksama, tak rela melepaskan pandang. Sampai akhirnya Abby dan Safirem memasuki sebuah pintu di cabang lorong, dan Lazu memasuki pintu di ujung lorong yang lain.

Malaikat merah menyambutnya. Sebuah tulang pipih dilekatkan oleh Hvyt itu pada dahi Si Matoi, dan sebentuk energi menghilangkan seluruh luka dan lelah Lazu. Seakan Si Matoi baru bangun tidur dengan kesegaran penuh di seluruh tubuhnya.

Hvyt mengantarkan Lazu ke sebuah pintu lain.

Pertarungan berikutnya akan dimulai.

---

Semenjak kecil, Lazu sangat suka mengamati apa pun yang bergerak. Apakah itu kelopak bunga laut spiral yang terayun diterpa ombak, siput laut raksasa yang mengunyah-ngunyah seekor barakuda naas, sampai partikel debu oseanik yang berhamburan saat gelombang pasang, semua selalu menjadi pesona tersendiri di mata Lazu Kecil.

Lazu kecil mempelajari bagaimana cara kawanan nautilus berenang dengan tentakel. Ditirunya gerakan mengayun vertikal itu, berjeda sempit dan telaten. Ia memperhatikan dengan seksama tarikan otot seekor hiu granada saat sedang merobek tubuh mangsanya.

Dan suatu hari, di sebuah tempat bernama Al Fata Libraria, sesaat setelah berbicara pada bidadari bernama Safirem, seluruh indera pada tubuh Lazu bertransformasi, menjadi wadah sekelumit pengetahuan besar. Yaitu tentang kinetika, kinetika seluruh keberadaan di multisemesta.

Dengan pengetahuan yang merasuk itu ia merasakan fungsi sendi , cakar, tentakel, sirip, dalam skala mikroskopis yang tak pernah ia perkirakan sebelumnya.

Bahkan gunung, planet, atom, quarka, zemilun dan unit yang jauh lebih besar dan kecil dari itu, ia dapat merumuskan ke mana, kapan, secepat apa, semuanya bergerak di sekeliling tubuhnya. Pengetahuan tersebut membuatnya nyaris meninggal saat itu juga. Namun ia bertahan. Karena ia menyukainya. Ia menyukai sebuah gerakan, seminiskul apa pun.

Dan karena Al Fata Libraria, Perpustakaan Takdir, tak lain hanyalah bagian dari energi Gerbang Khatea. Gerbang dimensi itu telah Lazu serap jauh di masa silam, menjelang kelahirannya sendiri.

Maka memfokuskan kehendaknya, Lazu menguasai pengetahuan itu dan menginternalisasinya dengan sempurna.

Lazu hidup. Lazu menjadi perwujudan momentum segala keberadaan. Dari kinetika itu, ia dapat menciptakan dan mengendalikan pergerakan serta bobot tubuhnya sendiri.

Sakrifar Momentis. Pengorbanan untuk penciptaan konsep momentum. Itulah diri Lazu yang sebenarnya.

---

2
Primata Belulang

Sebuah koloseum berdiri tegak, interiornya adalah rangka tulang menantang zaman. Pintu-pintu hitam berjajaran di kanan dan kiri. Puluhan orb menyala hijau zamrud mengapung di udara, mengisi koloseum dengan pencahayaan dan antisipasi tersendiri, atas penentuan kalah dan menang.

Dua orb melewati kedua siluet yang berhadapan di tengah koridor lantai tertinggi. Kilau zamrud dari orb mempertegas raut wajah dan identitas masing-masing dari mereka.

"Salvatore Jackson."

Demikian yang terucap oleh makhluk biru itu saat mengenali lawannya yang berwujud skeleton raksasa. Si Matoi ingat bahwa ia pernah melihat sosok primata tinggi besar saat semua petarung pertama kalinya berkumpul di tanah Nanthara. Dari panjang batang tulang dan struktur kepala, Lazu langsung dapat menebak bahwa skeleton ini tak lain adalah Salvatore, primata itu. Namun...

Pembuluh dahi Si Matoi bersinar keemasan, gerah, tak sabar ingin membuka serangan karena empat kombinasi skenario manuver telah tersusun dalam benaknya. Namun udara terasa lembab tak bersahabat.

Lazu mencoba mengingat kembali. Apakah ia selalu setegang ini setiap menjelang pertarungan? Apakah pembuluh-pembuluh sentralnya selalu berdegup seburu-buru ini? Atau instingnya sedang memperingatkan akan betapa berbahaya makhluk tengkorak yang tegak di hadapan?

"Lazuardi."

Begitulah Salvatore menyahut, wajah dan tubuhnya berupa kerangka tulang putih  menyeramkan dengan jilatan api di puncak kepala. Ada melintas di pikirannya bahwa makhluk kecil biru ini tak mungkin lebih kuat dari seekor kera balita. Namun Salvatore tahu, setiap mereka yang telah melewati rangkaian pertarungan hingga berhasil mencapai tempat ini, tak mungkin merupakan sosok-sosok tanpa daya.

Maka hati kecilnya sebagai musisi pun menyuruhnya memulai aksi panggungnya dengan serius. Karena kelengahan dapat berarti kekalahan.

Di atas mereka, sebuah kubah energi berkilat-kilat mematikan, menjaga satu-satunya jalan keluar dari koloseum. Namun kubah energi itu tembus pandang, sehingga Lazu  dapat melihat jelas sebuah balkon megah.

Di atas balkon megah itu ada tiga kursi dengan tiga penghuni. Abigail Grey, si anak gadis yang tak banyak bicara namun menebar tatapan dingin. Nolan Collard Fambrough, si kacamata yang sempat mengaku ingin melawan sang penguasa, duduk di kursi sebelah kanan. Bukan sekedar duduk. Dia terikat erat di sana.

Namun meski terikat, lelaki itu memulai sebuah pengumuman tentang sistem yang dibuatnya kali ini. Dengan sebuah mikrochip, suara Nolan terdengat sangat jelas di seluruh koloseum tulang putih.

"Pe-perhatian. Ada tiga lantai di ruangan ini. Kalian ada di lantai teratas. Metode satu-satunya untuk berpindah lantai adalah dengan mencari pintu yang tepat."

Lazu tak mampu mendengarkan dengan seksama. Karena ketika melihat wajah Nolan, tangisan Altair Kilatih serasa terdengar kembali olehnya. Ia tatap manusia berjanggut itu dengan pandangan penuh selidik. Nolan jadi gugup melihat tatapan Lazu yang menembus itu, yang mengamati sikap tubuhnya, ke arah mana dia bersandar, serta gerak-gerik sepele lainnya.

"Waktu kalian, empat jam. Setelahnya, Thurqk akan menimpakan Kubah Energi ciptaannya dari langit-langit hingga menghancurkan seluruh koloseum, dan tentunya tubuh bahkan roh kalian."

Apakah kau merasa berjasa karena pernah menghadirkan Kilat  palsu dalam Nanthara, Nolan? Ataukah kau menyadari bahwa itu adalah satu dari banyak tanda bahwa kau terlalu lemah, sehingga terpaksa mengorbankan Kilat untuk mengalihkan perhatian Thurqk?

Begitu Lazu membatin saat menganalisis sejumlah kemungkinan arti bahasa tubuh Nolan. Meski ia sadar intuisinya berkabut karena sebuah kekesalan mulai bersarang dalam rasanya. Kesal kepada dirinya sendiri karena tak mampu melindungi Kilat. Kesal kepada Nolan yang telah menyalin keberadaan Kilat dalam boneka tanpa mengatakan yang sebenarnya.

Dan tentu saja terhadap Sang Dewa sendiri, Thurqk Iylich, yang sedang duduk dengan arogan di singgasana titik sentral balkon. Yang menjadi pencetus semua keabsurdan ini.

Ataukah sejak awal kau memang telah merasa bahwa melawannya adalah sia-sia? Sehingga semua sistem rancanganmu ini, tidak lain hanyalah untuk mengulur waktu sebelum kami semua dimusnahkan?

"Tiap lantai memiliki poin kemenangan. Berarti dalam tiga lantai, ada tiga poin! Petanding yang mendapatkan dua poin kemenangan terlebih dulu, berarti menang secara otomatis. Lantai teratas adalah Lantai Pencarian. Misi utama adalah menemukan dan memasuki ruangan untuk mencapai lantai tengah lebih dulu. Yang berhasil lebih dulu akan meraih poin pertama!" Nolan memungkas.

Thurqk pun berujar dengan deklarasi membahana, "Setiap kalian ada di bawah jemari-Ku. Buktikan kesetiaan kalian pada-Ku. Di antara kalian berdua, hanya ada satu yang patut bertahan! Yang satu lagi hanya akan mati. Baik oleh tikaman lawan, atau pun oleh santapan api-Ku."

Jika begitu...

"Tanding Koloseum. Dimulai!"

---

Lazu segera berpikir. Lima belas ruangan dengan bingkai pintu masuk terbuka di setiap sisi dinding, memberikan total enam puluh pintu terbuka per lantai. Dengan cepat Lazu berlari ke pintu terdekat yang ia dapat jangkau. Bingkai batu persegi yang sama antar pintu ini hanya punya satu arti.

"Untuk mengecoh."

Ya, ada empat kemungkinan. Pertama adalah ruangan kosong. Lazu masuk ke dalam ruangan itu. Remang tapi tidak gelap, sehingga Si Matoi tahu bahwa tak ada apa pun dalam ruangan itu selain kursi dan meja.

Dengan cepat Si Matoi keluar dari ruangan pertama tersebut dan menyapukan pandangan. Mencetak gradasi pencahayaan ruangan pertama dalam ingatannya dalam rumusan matematis serta fisika optik, Lazu menyimpulkan bahwa tak perlu masuk untuk melihat objek-objek yang ada di dalam ruangan.

Maka dengan sigap Lazu berlari paralel menyusur dengan jarak satu lengan dari dinding sekaligus jajaran bingkai batu yang identik. Kosong. Tiga ruangan kosong. Empat ruang kosong. Melirik sekilas ke arah lawannya...

...Yang ternyata hanya berdiri diam di tengah ruangan.

Kerangka primata yang hidup? Apakah sistem sirkulasi dan persarafan mamalia yang menyokongnya? Tapi semestinya tak mungkin serangkai tulang dapat bergerak tanpa otot. Makhluk macam apa ini?

Ruangan kedelapan. Kesebelas. Kelimabelas. Masih juga kosong. Lazu menarik napas kecewa, berbelok ke sisi ruangan selanjutnya sambil kembali melirik Salvatore. Yang masih juga berdiri diam.

Tulang-tulang pipih sekitar rongga mata serta hidungnya merenggang. Itu ekspresi yang rileks. Kera belulang itu sedang...bersantai? Menikmati sesuatukah? Apa?

Saat itulah arus kejadian mulai berubah. Sesosok makhluk yang sejak tadi berdiam dalam kegelapan ruangan keduapuluh, kini terusik oleh suara langkah dari ruang utama koloseum.  Makhluk itu kelaparan. Makhluk itu kini tahu, bahwa ada mangsa yang mendekat. Maka dia melolong parau dan liar.

"HrwAAUUUuurrR!!"

Seekor serigala menerjang keluar, dengan langkah yang menimbulkan retakan dalam sepanjang lantai. Barisan taringnya pun nyaris sepanjang deretan pisau lipat, sementara ukurannya yang luar biasa dilengkapi mata merah dan liur yang menjijikkan.

Namun yang paling mencolok adalah bulu-bulunya. Putih elegan memantulkan cahaya zamrud para orb, bergelombang tebal membentuk lingkar-lingkar kecil sepanjang permukaan tubuh sang satwa. Bulu inilah yang membuat binatang langka ini dinamai dengan sangat khusus oleh Thurqk.

"Bunuh dua pengganggu kecil itu! Serigala Berbulu Domba!" Thurqk berseru penuh nafsu. Bahkan rumput yang bergoyang itik seantero Nanthara pun terperanjat mendengarnya.

"Benar-benar nama yang tidak jelas, Yang Mulia Thurqk."

"Diamlah, Abby. Itu adalah nama yang artistik dan penuh kekinian. Bahkan ada nama panggilan sayangnya. Serigala Berbulu Domba. Sribumba."

"Benar-benar nama yang tidak jelas, Yang Mulia Thurqk."

" . . . "

---

3
Sribumba

Lazu berlari terbirit-birit sementara Serigala Berbulu Domba  memburu dengan ketat di belakang. Tengkuk Si Matoi terasa meremang oleh geraman ganas dan suara lantai yang remuk dari balik punggungnya.

Namun bukan berarti ia akan berdiam diri saja. Pembuluh pusat dadanya mulai berdenyut sesak, lantai serasa mendekat memusingkan, gesekan udara dengan dinding dan suara langkahnya sendiri terdengar sangat keras pada pendengaran.

Itu adalah reaksi internal yang sudah sering terjadi saat Si Matoi mengubah struktur tubuhnya. Lebih tepatnya, ia menciptakan tubuh baru di udara kosong yang dapat terbangun dan menyergap si serigala bagaikan perangkap biologis.

"Enshak--"

Konsentrasi Si Matoi buyar saat ia terpaksa menunduk dan berlari dari terjangan dua cakar besar yang sangar mengincar. Terpaksa dia masuk ke dalam sebuah ruangan kosong untuk memancing. Kali ini ia tak mungkin gagal. Teknik Enshaka Lamashtu ia bangkitkan, zona penciptaan gugus parasit ia lancarkan di empat titik sekaligus.

"Hwrrrngaaaa!"

Serigala tersebut melangkah, meliuk, melompat gesit seperti bayangan. Tak satu pun zona perangkap parasit tak kasat mata itu mengenai sasaran. Lazu terhenyak. Satwa besar itu mampu menghindar dari perangkap tubuh parasitnya sekaligus menyerang tubuh intinya?

Serigala ini memiliki sensitivitas sangat tinggi terhadap bahaya? Kesigapan reaksi itu...bahkan melebihi Rajair, Elang Mitos Tembaga Petir!

Dalam sebuah pergulatan konflik, selalu ada aksi dan reaksi. Sebuah langkah tindakan dari satu pihak, akan diikuti oleh antisipasi lawan terhadap langkah tersebut.

Dan kali ini, Serigala Berbulu Domba benar-benar memperlihatkan taring. Lazu yang memulai siasat dan perangkap, dilawannya dengan insting serta naluri murni yang mendobrak.

Makhluk ini tahu...

Satu kali. Dua kali. Empat kali. Terhitung dua puluh satu kali Lazu berkeliling ruangan teratas koloseum belulang dan memaksa mengulang teknik Enshaka Lamashtu untuk menjatuhkan Sribumba.

Makhluk ini tahu bahwa persepsiku akan dunia luar akan menurun sepanjang aku berkonsentrasi untuk menciptakan zona parasit...

Dan dua puluh satu kali pula serigala itu melancarkan elakan dan balas menyerang secepat angin puyuh. Pangkal lengan Si Matoi robek besar pada satu kesempatan. Daerah sendi sikunya tertembus taring pada kali kedelapan. Berkali-kali tubuh biru itu menerima hantaman cakar mematikan hingga terpelanting, terhempas, tersuruk bagai boneka biru.

"Aaaaakkhh!!"

Lazu meronta kesakitan. Kenapa seekor binatang dapat menjadikannya bulan-bulanan sejauh ini? Namun diam-diam, Si Matoi tahu.

Dia hanya menyerangku selama durasi-durasi di mana kepekaan inderaku ada di titik terendah..

Dalam sekejap mata, sayatan-sayatan maut sudah mencongkel keluar serat-serat tubuh Lazu di sana sini.Tubuhnya limbung dan melemah.

Inikah...kekuatan insting...?

Melongok sekilas ke dalam pintu-pintu yang terbuka masih bisa Lazu lakukan sambil berlari, berlari sempoyongan. Namun mencari sebuah ruangan untuk menuju lantai bawah sembari dikejar-kejar serigala ganas yang liur laparnya berceceran ke mana-mana, sama sekali tak mudah. Tubuhnya koyak tak karuan sementara sang satwa tak juga menunjukkan tanda akan berhenti mengejar.

Di mana? Di mana pintu menuju lantai bawah?

Si Matoi tahu bahwa kekuatan serigala besar itu merusak dinding dan lantai, namun tak sampai tiga detik kemudian setiap bagian lantai yang telah hancur itu menyatu kembali. Nolan sudah mengatakan bahwa lantai bawah hanya dapat dicapai dengan menemukan pintu yang tepat di lantai atas tempat mereka berada saat ini. Berarti mencoba menghancurkan lantai pun belum tentu berguna.

Tunggu. Ke mana dia?

Skull Salvator, lawannya yang sebenarnya, entah kapan tak lagi ada di tengah ruangan. Bahkan tak ada lagi di mana pun yang Lazu dapat deteksi. Hanya satu kemungkinan yang Lazu rasa paling mendekati.

Makhluk tengkorak itu...sudah tahu di mana pintunya!

Lazu mengkalkulasi. Sambil berlari kelimpungan.

Selama interval menit keempatdelapankomanoltigabelas hingga keempatsembilankomaduaempat, aku tak sempat menoleh ke tengah ruangan untuk memverifikasi keberadaan Sal di tengah ruangan karena aku melarikan diri ke sudut berlawanan saat pertama kali diburu oleh serigala raksasa.

"HauuUURRrw!" Sebuah cakar yang sangat besar menghantam perut Lazu dan menghempaskan tubuh biru kecilnya bergulingan di lantai. Isi perutnya terasa teraduk-aduk. Nyeri kepala yang sedari tadi menderanya kini semakin parah. Tapi analisisnya terus melaju, seperti rasa lapar yang ia sendiri tak mampu hentikan.

Yang berarti selama jeda itu pula dia menyadari mengendurnya pengamatanku terhadapnya dan langsung memasuki pintu yang tepat. Itulah mengapa dia berdiri tepat di tengah, tak condong ke pintu mana pun! Agar aku tak tahu pintu mana yang telah dia incar. Aku lengah!

Si Matoi pun mulai berdengik ngos-ngosan sementara benaknya dipenuhi adegan sadis yang mungkin terjadi bila deretan gigi satwa itu sampai menangkapnya. Terlebih ia baru mulai menyadari betapa lihainya Salvatore Jackson. Dengan dia berdiam diri saja, Lazu telah terkecoh.

Kecerdasan, kemampuan apa yang dimilikinya sehingga menemukan ruang yang menuju lantai bawah di antara pintu-pintu identik itu sama sekali tak merupakan masalah baginya?

"Poin kemenangan. Dengan memasuki lantai tengah lebih dulu,  Salvatore memenangkan tanding lantai atas." Sebuah suara statis mengumumkan ke seantero koloseum, sekali lagi memastikan kekalahan Lazu pada lantai atas ini. Si Matoi merutuk sambil terus berlari menghindari terkaman Sribumba yang membuatnya kepayahan.

Sebuah hal lagi, yang langsung membuat tubuh Lazu bergetar merinding. Berarti, jka saja sejak tadi makhluk tengkorak hidup itu ingin membunuhnya...Lazu mungkin sudah mati tanpa tahu apa yang terjadi.

Kenapa? Dengan kemampuan deteksi dan prediksi skenario semengerikan itu, yang bahkan dengan mudahnya memanfaatkan setiap pola pergerakanku untuk kepentingan dirinya, kenapa dia tak langsung membunuhku?  

Pertanyaan itu terus berputar dalam pikiran, bahkan mulai lebih mengganggunya dibandingkan binatang menyeramkan yang mengejarnya atau luka-luka menganga pada sekujur tubuhnya. Maka meski napasnya seperti terbakar, Lazu tak mau memperlambat lari.

---

Pintu ketigapuluh. Tiga puluh enam. Kosong. Empat puluh dua. Kosong.

Ruangan keempatpuluhdelapan. Lebih gelap dibanding semua pintu yang telah ia lewati. Lebih gelap! Mengerahkan kontraksi tubuhnya setingkat lebih jauh, Lazu berbelok dalam sudut lancip dan memasuki ruangan gelap. Serigala besar terlambat menghentikan langkah dan justru menabrak dinding utara koloseum. Rangka marmer putih bergetar dan orb-orb pencahayaan beterbangan tak tentu seperti kawanan kunang-kunang terancam. Sementara Si Matoi...

"Tangga melingkar ke lantai bawah!" Lazu berseru antara lelah dan gembira saat akhirnya menemukan juga ruang yang ia cari. Namun moncong Sribumba tak memberinya kesempatan untuk beristirahat.

Untuk kabur lebih cepat, Lazu terpaksa meluncur sepanjang selusur pegangan tangga batu dengan atraksi akrobat amatiran. Leher serigala besar pun nyatanya terhalang sempitnya lorong vertikal yang memuat tangga melingkar.

Menapakkan kaki di lantai bawah, Lazu berlutut kecapekan. Napasnya berbunyi seperti balon bocor kembang-kempis. Rasa nyeri kelewatan di seluruh tubuhnya yang tercabik membuatnya mengentak-entakkan kaki dan tangan ke lantai.

Lalu Lazu menengadah, melihat binatang buas berukuran jumbo itu tak dapat memajukan lehernya karena lorong anak tangga itu terlalu sempit. Serigala raksasa berontak, memutar-mutar kepalanya yang besar berbulu.

"HrrwWWRrr!!"

Dinding dan tangga mulai retak akibat geliat sang satwa. Lazu bergegas menyeret tubuhnya maju. Sendi tumitnya robek parah, memperlihatkan jalinan pembuluh mirip arteri yang mengucurkan cairan biru bergumpal. Di kegelapan itu Lazu melangkah sambil menahan sakit, butir-butir air dingin mengucuri kulitnya.

"Bertahanlah, Lazu yang Baik Hati. Jernihkan pemikiranmu, tujuanmu, dan bertahanlah. Meski penderitaan selalu akan datang."

Napas Lazu berhenti saat ia mengingat. Kata-kata yang Safirem ucapkan itu murni, tak terdebat. Saat ia telah menemukan Puteri Kejora, saat kasih sayang dalam dua hati mereka telah tersambung, bukankah saat itu pula Lazu telah menemukan apa yang ia cari?

Lalu, tak ada lagikah yang harus ia cari?

Tentu, bukan begitu. Ia masih juga terperangkap dalam Nanthara bersama tujuh petarung yang luar biasa kuatnya. Untuk menghibur Thurqk yang entah sampai kapan.

Sampai kapan? Pertanyaan itulah bukti betapa lemahnya Lazuardi. Karena itu berarti pasrah pada kegilaan Thurqk.

Berarti apa yang bisa ia lakukan? Apa yang...

Kemudian ide itu datanglah, bagaikan sebuah simpul ketat yang terbuka. Lazu mulai berdebar-debar. Jawaban sederhana itu sejak awal ada dalam dirinya

"Gerbang Khatea."

---

4
Salvatore dan Dola (1)

Salvatore Jackson hanya pernah memiliki dua tujuan sepanjang hidupnya. Tujuan pertama adalah musik.

Sebelum menemukan kemampuan aslinya, Salvatore adalah Meteo biasa dengan suara sedikit merdu. Banyak yang mencercanya sebagai pengamen kampungan tak punya masa depan. Saat itulah, di ujung gang sempit penuh genangan air, seorang anak perempuan mendatangi Salvator.

Dola namanya. Dia anak sebatang kara, pergi mencari ibunya. Di malam yang sangat dingin, teringat Mama. Gadis cilik itu berambut hitam, dengan poni rata menutupi kening. Kalau dilihat-lihat, rambutnya itu seperti jamur hitam menutupi kepala.

Dola dan Sal menemukan kesamaan. Mereka hanya sendirian di dunia ini. Mungkin jika mereka bersama, mereka akan dapat bertahan hidup.

Maka Dola memaksa Sal menjadi musisi handal. Dilatihnya teknik dan stamina si monyet dengan cara-cara di luar perkiraan, hingga kualitas vokal serta permainan instrumen Salvator mencapai tahap prima.

Dengan itulah, Salvatore Jackson menemukan kekuatan Muse. Irama Jiwa dan Irama Alam yang mampu mempengaruhi sanubari dan ekosistem. Dengan itu Sal berguru pada seorang master bernama Frank. Salvator menjawab semua hinaan yang ada dengan prestasi, menjuarai kompetisi bermusik lagi dan lagi hingga namanya bergema di seantero Galaksi Suling Sakti.

Dia dan rekan-rekan seperjuangannya, bertekad untuk menyebarluaskan irama cinta ke seantero galaksi. Berbagai planet mereka kunjungi dalam serial-serial tur dan konser. Dan tiap penampilan memiliki warnanya sendiri.

Dengan nada, Salvatore berkarya. Alunan serulingnya merasuk hingga sumsum kesadaran tiap mereka yang mendengar. Di Planet Mhyr-juana, hentak nada vokalnya menyembuhkan seluruh penghuni planet dari penyakit langka. Di planet yang lain, Salvator diberi kehormatan untuk memainkan resital perkabungan bagi kepala negara yang menjadi teladan kedermawanan tatasurya.

Para pecandu narkoba kembali menemukan tujuan hidup setelah Salvator memainkan lagu pop rock pembangkit semangat, ratusan ribu kriminal ternama menyerahkan diri untuk diproses secara hukum setelah mendengarkan balada Si Meteo yang secara misterius menimbulkan penyesalan mendalam.

Pada masa-masa itu, Salvatore bagai terbang di atas awan. Hidup yang dijalaninya, bahkan telah melebihi cita-citanya selama ini. Dia dan kawan-kawannya telah berhasil menggelitik nurani penghuni belasan tatasurya.

Tapi mungkin, roda kehidupan haruslah kembali berputar.

---

Sal menemukan tubuh-tubuh itu bergelimpangan. Penuh darah dan luka sayatan benda tajam. Sangat jelas bahwa mereka disiksa sebelum dibunuh. Mereka, yang berada di panggung yang sama dengan si Meteo. Penabuh gendang dan perkusi. Pembetot bas. Pemetik sitar. Bahkan penari latar.

"Boots--ah, bukan...Salvatore Jackson."

Wajah kecil itu berbeda. Gadis itu berbeda dari biasanya. Kini sepucat ikan mati. Dan matanya lebih keji dari mata ular.

"Dola! Kenapa kau melakukan ini?!"

"Kau...akan mengerti, Sal. Kau akan mengerti pada saatnya. Dan pada saat itu...matilah untukku."

Sore itu, gadis bernama Dola menghilang. Selamanya. Hanya meninggalkan mayat.

---

5
Lantai Tengah

Lazu keluar dari dasar ruangan bertangga batu. Kini ia berada satu lantai tepat di bawah lantai teratas tadi.

"Ajegile! Dia sudah sampe!"  sebuah suara terdengar kaget.

Lazu melongo. Salvatore, lawannya, ada di lantai yang sama dengannya.

Lazu mulai menerka, "Kau..."

"Sembilu!!"

Sal menyahut dengan sebuah bentakan, suaranya jauh lebih menakutkan dibandingkan lolongan Sribumba. Dan bentakan makhluk tengkorak itu tak hanya kencang luar biasa, karena mendadak luka-luka di tubuh Lazu bertambah lebar, menyemburkan darah, seolah ada kawat berduri dahsyat mengikat seluruh badannya.

Lazu menjerit kesakitan dan jatuh ke lantai. Potongan-potongan kecil kulit serta pembuluh tubuhnya berceceran di lantai seperti ampas daging.

"Frekuensi...intensitas...amplitudo suara..mu..."

Tersadarlah ia. Gelombang suara Salvatore dapat menyerang, melukai secara fisik.

"Ah." makhluk itu berbicara lebih pelan, "Maaf. Aku hanya berjaga-jaga. Tolong jangan mencoba berbuat macam-macam dulu, karena Irama Jiwaku masih melilitmu, hanya saja kulonggarkan."

Apa Lazu tak salah dengar? Makhluk macam apa ini, yang mampu mengendalikan gelombang suara tak terlihat hingga berdaya bunuh begitu rupa? Yang bahkan dengan enteng menentukan kapan gelombang suara itu memerangkap dan kapan melepas mangsanya?

"Aku tak ingin kita saling bunuh.begini, sebenarnya." rangka tumit Salvatore terdengar berat dan mantap melintasi dinding-dinding koloseum. Lazu tak berani bangun dengan gegabah. Seolah tak ada apa pun di sekitarnya. Namun sayatan-sayatan baru di pembuluh kulitnya sesaat setelah Sal membentaknya, itu semua dapat dihitung kedalaman serta kerusakannya. Valid. Nyata.

"Formasi skeletal pada wajahmu renggang dan rileks..." Lazu susah payah menjawab meski komponen vokalnya juga tak lepas dari luka, "Kau mungkin saja penipu ulung yang mampu menjaga stabilitas ekspresi dan intonasi saat menipu..."

"Atau?" Sal menantang.

"...Atau kau...tak berbohong..."

---

"Kedua petanding telah memasuki lantai tengah koloseum!" Suara Nolan kembali menggema. Langit-langit di atas Lazu dan Sal mendadak berubah transparan dan menghilang. Mereka kembali dapat melihat selubung kubah energi tanpa terhalang lantai di atas yang sebelumnya mereka jelajahi.

"Lantai tengah adalah Lantai Penyelamatan. Misi kalian adalah, menyelamatkan hidup penghuni lantai tengah! Selamatkan sebanyak mungkin, maka jalan menuju lantai dasar koloseum akan membuka! Siapa yang menyelamatkan paling banyak makhluk penghuni, berarti meraih satu poin kemenangan dan berhak memasuki lantai terbawah lebih dulu!"

"Dan, untuk petanding Lazuardi! Lawanmu, Salvatore, telah lebih dulu tiba di lantai ini. Berarti Sal telah mendapat satu kemenangan, dan kau mendapat satu kekalahan! Sekali lagi, bila salah satu di antara kalian mendapat dua kekalahan, secara otomatis dia dinyatakan gugur..."

Lazu terkaget-kaget. Ia tak pernah mendengar syarat dan kondisi ini. "Apa?! Kenapa peraturan ini tak dinyatakan sebelumnya!"

"...dan akan berakhir dalam palung api abadi milik Thurqk." Nolan mengakhiri kalimat itu dengan selintas dingin pada suaranya.

"Lazu Kecil," justru makhluk tengkorak yang menjawab dari sudut ruangan dengan suara yang entah kenapa mulai dipenuhi kekesalan, "Mister Nolan sudah mengumumkan itu sedari awal. Apa kau tidak mendengar? Apa kau tak bisa mendengar atau hanya tak mendengarkan?"

"Kau...kenapa kau harus tersinggung?" Lazu terduduk lemas. Rasa sakit memenuhi tubuhnya. Berpikir pun sakit. Tubuhnya yang penuh luka parah terus mengerut kering. Ia butuh makanan. Ia butuh sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai inang.

Pengumuman itu berlanjut, "Kalian melihat jajaran pintu terbuka yang identik dengan pintu-pintu lantai teratas. Seperti juga di lantai atas, terdapat enam puluh pintu di lantai ini! Bedanya adalah, setiap pintu di lantai ini menuju tempat yang sama."

"Ah, ternyata diberitahu, ya?" Sal mengangkat bahu, "Aku tak bisa lagi main curang seperti di lantai atas. Ayo, kita mulai."

Lazu menatap makhluk tengkorak itu dengan pandangan yang masih buram karena sakit, "Sepertinya kau...lebih suka bicara daripada bertarung..."

"Kau tahu kemampuan milik kelelawar bernama alokasi gema?" Sal malah bertanya santai.

Lazu mengangguk sesedikit mungkin agar tak terlalu nyeri, "Aku...tahu. Ada spesies animalia...yang mampu menembakkan gelombang ultrasonik ke sekelilingnya...gelombang itu akan terpantul kembali ke arah si hewan, berupa sinyal yang mirip pemetaan atau pemindaian ruang...dengan kata lain...hewan yabg mampu melakukan alokasi gema, mampu mendeteksi bentuk ruangan secara detil...bahkan tanpa perlu melihat..."

"Nah, itu. Aku bisa melakukan hal itu dengan menyuarakan Irama Jiwa, memetakan rincian denah ruangan koloseum menggunakan Irama Alam dari seluruh tempat ini." Makhluk tengkorak melipat tangan sambil mondar-mandir. "Makanya aku tak kesulitan menemukan tangga dari lantai atas menuju lantai ini."

"Lalu...kenapa kau masih ada di sini ..?" tukas Lazu susah payah, "Kau lebih dulu turun ke lantai ini, maka kau telah mendapat satu poin...Syarat kemenangan hanya mendapat dua poin...bukankah kau bisa langsung menuju lantai terbawah agar langsung menang tanpa perlu repot?"

"Satu, aku ini sangat kuat, Lazu Kecil. Tak ada bedanya aku langsung turun atau tidak. Kau tak bisa menang melawanku."

"Apa?" rasa sakit Lazu langsung bercampur dengan kekesalan. Tapi diam-diam memang ada perasaan menekan luar biasa yang datang dari Salvatore. Makhluk itu berdiri tanpa kuda-kuda, namun bentuk tubuhnya begitu mengancam.

"Kedua, alokasi gema milikku menunjukkan bahwa...tak ada jalan dari lantai ini untuk menuju ke lantai bawah."

Lazu terperangah. Tapi sedetik kemudian ia terdiam mengerti. Hipotesis terkuat yang dapat ia pikirkan adalah bahwa jalan ke lantai terdasar hanya akan terbuka setelah salah satu di antara mereka memenangkan poin di lantai ini.

"Jadi mungkin..." Salvatore melangkah masuk ke salah satu pintu,  "Aku memang harus menunggumu agar pertandingan di lantai ini dapat benar-benar dimulai. Kau bisa berdiri?"

Lazu memaksa tubuhnya yang terluka parah untuk bangun dan terseok-seok mengikuti Salvatore. Pintu yang mana pun berujung dan berkumpul menjadi satu ruangan yang sama.

Mereka berdua memasuki sebuah lorong raksasa yang bahkan nyaris sebesar koloseum itu sendiri. Lantainya ditumbuhi dedaunan merah berbentuk hati dan rumput tebal yang basah seperti sehabis hujan. Dinding lorong diukir menyerupai malaikat Hvyt raksasa berbaris rapi.

Suasana yang cukup tenang. Hanya saja kedua makhluk yang baru masuk, menyiapkan diri untuk segala situasi. Meski diam-diam Lazu lega, karena misi di lantai ini bukanlah untuk saling bunuh. Apalagi tubuhnya terasa sangat berat, berdenyut sakit, sementara Salvatore berjalan segar melenggang. Apa lagi yang menjadi dasar sikap santai itu, kalau bukan kekuatan nyata yang dia miliki.

Suara langkah kaki mereka melintasi lorong besar. Pencahayaan temaram dari orb-orb zamrud masih menghiasi. Namun saat mereka sudah berjalan beberapa lama,

"???"

Seekor kelinci putih bertubuh sangat bulat melompat keluar dari salah satu sudut tersembunyi. Ukuran kelinci bulat itu sama besarnya dengan tubuh Lazu, matanya yang besar memandang Lazu dan Sal bergantian. Lazu yang kurus pendek, dan sosok Sal yang terdiri dari tulang-belulang seram.

"Kukiiii!" kelinci bulat itu berkuik dan dengan segera menjauhi Lazu. Makhluk lucu tersebut meloncat ke arah Sal, membuat si musisi melongo. Sebelum Sal bereaksi, kelinci bulat itu sudah meringkuk ketakutan dan berlindung di atas lempeng tulang bahunya yang keras. Sal merasakan tubuh kelinci itu menempel erat padanya seperti ingin digendong.

"Hei hei, ssshhh, nggak apa-apa kok....nggak apa-apa..." Sal mengelus-elus tengkuk kelinci bulat, membuat Lazu terdiam dengan perasaan tak tentu. Sosok raksasa skeleton yang hampir mencapai tiga meter itu tak membuat si kelinci ketakutan? Lazu yang berperawakan kecil dan imut itu malah dijauhi oleh si hewan pengerat?

"Lazu Kecil," Salvator mengucap, "Kelinci ini bertindak dengan insting. Wujud fisik tak akan bisa membohongi makhluk ini. Aku berteman dengan berbagai satwa selama hidupku. Aku memelihara dan memberi makan paruh-paruh, moncong-moncong mereka dengan tanganku."

Mendengarnya, Lazu menatap telapak tangannya sendiri. Tangan yang telah membawa kematian pada tiga semesta, hanya untuk membangunkan seorang gadis dari mimpinya.

"Kelinci ini takut padamu, Lazu Kecil. Dan kenapa dia takut padamu dan malah minta digendong oleh makhluk tengkorak sepertiku? Sepertinya...kau yang harus menjawab."

Belum sempat Lazu membuka mulut untuk merespon, sebuah suara menguik imut terdengar dari sisinya. Seekor kelinci bulat mengintipnya dari balik sebuah tanaman rambat raksasa. Lalu diikuti seekor lagi dari bawah lubang di dasar batang pohon mirip jamur besar. Dua ekor lagi. Dan banyak lagi.

Tak lama kemudian, seluruh lorong raksasa mulai dipenuhi suara berkuik riuh. Puluhan bahkan ratusan kelinci bulat pun terlihat memenuhi bangunan. Meringkuk, berjalan, melompat, di rerumputan, berkeliaran ke sana-sini.

Kemudian sebuah gemuruh terdengar dari belakang. Tembok ruangan jebol, bebatuan berhambur ke lantai, dan dari sana melangkah sebuah siluet familiar. Itulah Serigala Berbulu Domba dengan sorot mata yang lapar, menatap satu lorong raksasa yang dipenuhi kelinci-kelinci bulat yang tampak sangat lezat.

Belasan kamera satelit mini pun melayang di udara, menyalurkan tayangan dalam lorong untuk diterima oleh para penonton kehormatan, seiring gaung suara Nolan dengan pengumuman.

"Serigala Berbulu Domba telah memasuki lantai tengah!"

Menoleh ke arah ratusan kelinci bulat, menoleh balik ke serigala raksasa yang dipenuhi nafsu membunuh, Lazu serta Salvator mendadak tersadar tentang apa yang harus mereka lakukan untuk mendapat poin kemenangan di lantai ini.

"Dengan ini, misi kalian, Penyelamatan Koloni Kelinci Bulat, dimulai!"

"Oh, sia--"

Membayangkan daging para kelinci itu sudah tercicipi pada lidahnya, Sribumba berlari dengan kecepatan luar biasa.

---

6
Poin Penyelamatan

Lazu menyilangkan kedua tangan dan menghentakkannya berpindah-pindah ke arah batang-batang pohon yang muncul di lorong. Kepalanya terasa ditusuk-tusuk saat ia memperluas bidang metabolismenya.

Kelelahan setelah melawan Sribumba di lantai atas, ia tak bisa menciptakan zona penciptaan parasit. Maka ia hanya bisa mengubah tubuhnya untuk menjangkiti benda-benda. Dua tangannya memanjang abnormal dan menjulur cepat menghalangi gerakan Sribumba.

Saat binatang itu terkesiap kaget, kedua lengan abnormal sudah merekat pada dua batang pohon besar di dinding lorong dan menyebar cepat seperti cat biru yang tumpah memenuhi penampang kambium pohon. Lazu menghisap nutrisi kedua pohon tersebut sekaligus menjadikan mereka bagian dirinya.

Mendadak sebuah suara terdengar.

"Poin untuk Lazuardi."

"Apa?!" Salvatore berseru. Lazu sendiri heran. Apa maksudnya? Apa ia langsung menang dalam tanding lantai tengah ini?

Tapi Sribumba tak berhenti. Dengan cepat cakarnya mementalkan juluran lengan Lazu sekaligus mencabiknya di empat bagian besar. Lazu meringis kesakitan, seperti ada misil yang diledakkan sepanjang interior sikunya, tapi dengan cepat ia membelitkan sebelah lagi lengannya yang kini bagaikan sesosok ular piton biru merantai ketat tubuh Sribumba sambil merasukkan sel-sel tubuh parasitnya.

"Poin untuk Lazuardi."

Hanya saja, serigala raksasa menggigit dan merobek belitan lengan Lazu tanpa masalah, nyeri mendenyut-denyut memenuhi pembuluh Si Matoi dan sekejap saja satwa itu telah melesat menjauh dari Si Matoi dan menerkam seekor kelinci bulat di ujung lorong.

Namun saat itu Salvatore yang menonton pertarungan, merasa tubuhnya tersentak hebat. Entah sejak kapan seekor ular biru membelitnya...bukan! Itu lengan Lazu! Memanfaatkan sifat parasitnya yang mudah mengubah struktur tubuh, Si Matoi telah menumbuhkan lengan ketiga dari belakang punggungnya, lengan parasit besar berdeguk itu melilit tubuh Salvatore dan melontarkannya dengan kekuatan raksasa.

Kenapa bukan kau saja yang melawan satwa besar ini, Primata!

Tubuh primata belulang besar itu melayang cepat hingga menabrak serigala putih raksasa pada jalur larinya.

"Ummpffff!"

Si Meteo bertubuh tengkorak berguling-guling, berhimpitan dengan satwa predator di lantai lorong berpepohonan. Sesaat kemudian moncong Sribumba mencaplok bahunya dengan deretan taring tajam hendak mengunyah tulang.

Kesakitan, Sal berontak sekuat tenaga hingga lepas dari tindihan satwa itu. Mata Sribumba yang lapar menyorot ke belakang tubuhnya, di mana seekor kelinci bulat ternyata telah bersembunyi ketakutan, membuat Sal menyadari apa yang terjadi, "He-hei! Serigala...Aku tidak bermaksud menghalangimu dari...eh, tapi kau ingin memakan kelinci bulat itu, kan? Jangan dong! Kau tak boleh seenaknya membunuh dan--"

Sal terdiam. Dia telah terseret paksa dalam perburuan akibat diumpankan oleh Lazu. Sribumba pun menerkam Sal, hendak menjadikannya hidangan pembuka. Kali ini, mangsa empuk ini seluruhnya tulang-belulang pula! Sangat cocok dijadikan kudapan hangat lezat khas Jawa Barat yaitu Seblak Tulang!

"Bekantan! Siapa itu yang bilang aku cocok jadi Seblak Tulang!?"  Sal memaki entah pada siapa sambil bersalto menyamping dan melancarkan tendangan berputar untuk membalas. Ukuran tubuh dan tendangan mantap jaya itu langsung memaksa moncong putih Sribumba mencium lantai dengan ledakan hebat. Kelinci-kelinci bulat berlarian, hanya satu yang masih setia di belakang tubuh Sal.

"Cih...kuat juga kau, ya..." Si Meteo mendecak ketika Sribumba kembali bangkit di sela kepulan debu dan langsung menyerbu. Sal tak mau kecolongan. Dengan sigap tubuh tengkorak itu bersalto dalam beladiri gabungan, tapak kaki kerangkanya dicekungkan ke dalam dan menepis cakaran-cakaran mematikan Serigala Berbulu Domba.

Seketika itu tubuh kelinci bulat di belakang Sal diselimuti kobaran mirip api, lalu menghilang menjadi kepulan asap kecil dengan suara puff pelan di dataran berumput dalam lorong.

"Poin untuk Salvatore." Sebuah suara statis terdengar entah dari mana. Lazu mengambil waktu untuk beristirahat sambil mengamati pertarungan dua makhluk dan menganalisis mekanisme peraturan di koloseum.

"Salvatore hanya menghalangi serigala itu satu kali dari kelinci di belakang tubuhnya. Kelinci itu hilang dan langsung menjadi perwujudan poin untuk Salvatore...?" Lazu seketika sadar bahwa dengan melindungi seekor kelinci untuk sesaat saja, musisi tengkorak janggal itu sudah memenuhi syarat yang diinstruksikan oleh sistem Nolan serta Thurqk, yaitu untuk menyelamatkan. Itulah sebabnya Lazu juga mendapatkan poin saat menghalangi laju Sribumba.

Ini adalah misi yang tak wajar, Lazu berpikir. Selama ini Thurqk hanya terhibur oleh penampilan yang paling berdarah. Memang, Si Matoi juga sempat mendengar kabar tentang petarung-petarung yang menang tanpa membunuh lawan, namun turnamen ini adalah tentang saling mengalahkan. Saling memakan.

"Poin untuk Salvatore." suara itu terdengar lagi. Lagi. Tiap serigala besar hendak memangsa seekor kelinci terdekat, Salvatore menghalanginya dengan berbagai cara. Sekian puluh gerakan menendang dan menangkis dilancarkan, tapi tak sedikit pun gerakan sang primata skeletal menunjukkan kelelahan.

Jadi, untuk apa Thurqk menyetujui sistem turnamen berupa penyelamatan binatang begini? Apakah Nolan berhasil membujuknya sehingga melunak dan menyelenggarakan suaka margasatwa Nanthara? Ataukah...

Sribumba yang berang karena ada yang menghalanginya untuk mendapat makan malam, segera mencari jalan memutar untuk menuju kelinci lain yang baru saja lewat di balik tubuh Skull Salvatore. Namun refleks Si Meteo tak kalah hebatnya. Berbagai variasi pertahanan segera ia palangkan, melindungi empat kelinci sekaligus dari runcingnya cakar Sribumba.

Serangan ditukar dengan pertahanan. Satu demi satu para kelinci bulat menghilang menjadi asap dan menjadi poin untuk Salvatore. Namun terbukti bahwa tak selamanya pertahanan kuat adalah tak bercela. Pada satu kesempatan, cakar Serigala Berbulu Domba menyusup antara kedua tungkai Salvatore. Sang musisi langsung membungkuk memusatkan pertahanan pada bagian bawah, namun saat itu pula sang serigala meliuk ke atas bahu kanannya.

Salvatore yang tertipu, spontan menoleh. Yang menyongsongnya adalah  titik-titik darah segar yang menyiram wajahnya.

Seekor kelinci tergeletak dengan perut terkoyak lebar. Moncong Sribumba yang penuh liur segera mengunyah perut kelinci bulat tersebut, mengakhiri nyawa si mangsa. Setelah moncongnya berubah kemerahan dan perutnya terisi oleh daging kelinci yang empuk, si serigala menggeram puas. Kenyang. Menatap Salvatore dengan seringai menantang.

Maka si musisi Meteo tak bisa membendung kemarahannya. Ditatapnya lagi si kelinci bulat, yang terbaring mati dengan perut terburai kemana-mana. Api di puncak kepala Salvatore segera menimbulkan luapan merah membara dari dalam rongga mata, bagai dinding gua diterangi nyala api unggun.

Dan dimulailah. Irama Jiwa yang pernah menjadi teror bagi penduduk Planet Krismon, menunjukkan kehebatannya.

"BADE MICEUN!"

Seketika itu juga si serigala berhenti menyerang dan terjatuh lemas di lantai koloseum. Ekspresi satwa ganas itu kini begitu menyedihkan, airmata nelangsa dan keringat dingin tak henti bercucuran dari wajah si binatang jalang.

Lazu yang tak mengerti arti kata-kata sihir itu, juga mengalami nasib yang serupa. Mendadak perutnya berbunyi krucuk krucuk dan sangat mulas. Serasa ada sesuatu yang mendesak ingin keluar dari daerah bokong.

"Ugh..."

Seluruh serat tubuhnya menegang . Mulas dan mulas sangat. Semua siasat yang Lazu pikirkan langsung teredam oleh beratnya sensasi yang menimpa.

Semuanya teredam. Kecuali satu hal. Pandangannya terpaku pada sosok Sribumba yang tak mampu bergerak.

Tak mampu bergerak. Tak mampu menghindar.

"Heh."

Lazu tersenyum getir.

"Enshaka Lamashtu."

---

"Itulah kekuatan musik Salvatore, Yang Mulia Thurqk," ujar Abby pada Sang Dewa, "Sugesti yang melebihi akal sehat itu berasal dari Irama Jiwa milik Sal yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam keahlian mengolah nada."

"Hmm..." Thurqk tersenyum simpul, "Kata-kata itu...Bade Miceun...artinya berhubungan dengan buang air besar, sepertinya."

"Anda benar, Yang Mulia. Salvatore melancarkan serangan suara yang mempengaruhi si serigala sampai mengalami keinginan yang amat sangat untuk buang air besar. Tidakkah anda ingin memiliki panglima dengan kemampuan komando seperti itu?"

"Kemampuan yang menjijikkan, namun ada juga gunanya." Setelah menjawab ringan, Thurqk bicara lagi, "Sepertinya kau menjagokan makhluk tengkorak itu."

Gadis hantu itu tak menjawab, hanya membetulkan letak pita birunya dengan mata seolah kosong.

---

7
Poin Kemenangan

Ratusan kelinci bulat mengintip gemetaran di tengah lorong. Sesosok makhluk putih yang sangat besar terkapar tak berdaya, taring-taringnya yang mampu menembus batu karang itu, kini hanya menguapkan napas yang tersendat menahan sakit.

"Mungkin makhluk sepertimu tak akan mengerti kata-kataku," Sal berujar pada satwa ganas yang menggelepar di rerumputan lorong raksasa, "Tapi kau harus tahu bahwa kelinci bulat itu tak punya salah apa-apa terhadapmu. Kenapa kau malah membunuh, melahap makhluk lucu itu seenaknya?"

Serigala itu hanya diam menatap Salvatore. Lalu,

"Kaulah yang tak mengerti."

Sal terdorong mundur saking kagetnya. Serigala itu menjawab!

"Ka...kau..." si musisi Meteo menyadari, ada yang salah. Serigala itu sesaat yang lalu masih menggelepar karena kemampuan Bacot miliknya. Tapi kini satwa tersebut berdiri seolah tak terjadi apa-apa. Dan kembali binatang itu berkata dengan suara jernih yang sangat beda dari yang mestinya dimiliki oleh seekor predator.

"Seekor binatang akan membunuh untuk tiga kondisi: menyelamatkan diri. Berebut daerah kekuasaan. Makan. Menurutmu, dari tindakannya terhadap kelinci bulat tadi, apa yang diinginkan oleh si serigala?"

Dengan itu, Sribumba kembali menerjang, kali ini langsung ke arah Salvatore. Meski terkejut, Sal masih sempat memutar badannya untuk menghindar. Tapi lagi-lagi Sal tak menyangka, bahwa serigala besar itu tak berbalik kembali.

"Lapar. Serigala ini lapar. Dia ditangkap dari habitat asalnya oleh Thurqk Iylich, dikurung dan diperlakukan semena-mena. Dipaksa untuk lapar, khusus untuk permainan ini. Sangat lapar hingga ia tak sanggup menghentikan diri untuk memakan. Terlebih kelinci bulat sama sekali tak mampu melawan."

Sal tak menyangka, bahwa serigala itu akan terus berlari kencang menyusuri rerumput basah dengan keempat cakarnya yang mampu menggulingkan kereta kuda. Keempat cakar itu, yang sembari terus melaju gesit namun juga mulai dirambati oleh rona biru terang. Kebiruan itu terus meluas hingga merubah warna serigala raksasa, sampai ke tiap helai bulunya yang bergelombang.

"Maka, serigala ini punya hak penuh untuk membunuh! Dia membunuh untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Melalui akses ke tubuhnya, aku telah mendeteksi bahwa lambungnya telah berlubang parah karena berbulan-bulan dikosongkan. Kau hanya tak memperhatikan. Gunakan alokasi gema yang kau banggakan, Salvatore! Lihat, perhatikanlah!"

Sedetik kemudian, bahkan Salvatore dapat merasakan melalui pemusatan alokasi gema Irama Jiwa yang memenuhi lorong raksasa, bahwa memang lambung satwa itu rusak parah hingga membusuk. Tapi bukan hanya itu. Seluruh tubuh sang serigala berdenyut-denyut kecil nyaris tak terlihat. Bagai ribuan kilogram jantung yang ditumpuk menjadi satu.

"Tubuh serigala itu...berubah menjadi sesuatu yang lain...? Tunggu, mengapa tubuhnya seperti..."

"Kau memberi makan para satwa. Berarti kau gagal memicu mereka untuk mencari makan sendiri, untuk menempuh perjuangan diri yang justru seharusnya mereka lakukan secara alami. Kau memanjakan mereka. Karena kau pun sama manjanya."

"Aku..." Salvatore tergagau. Kemudian ingatlah dia, suara siapa itu yang berbicara melalui mulut Sribumba.

Serigala itu berhenti berlari. Tepat di sebelah Lazuardi yang mulai bangkit. Si Matoi menangkupkan tangannya pada dahi sang serigala, dan bagaikan menjadi kumpulan daging giling berlipat-lipat dan lenyap terhisap begitu saja ke dalam tangan Lazu.

"Kau mengendalikan...dan memakan serigala itu?"

Lazu memejamkan mata, merinding merasakan luka-lukanya menumbuhkan serat-serat tubuh baru yang menutup pulihkan tiap jengkal yang tercabik. Meski kelelahan mengikutinya, masih saja. Kemudian dibukanya mata itu, menatap tajam Salvatore, di tengah padang rumput remang-remang yang dihuni para kelinci bulat.

"Satu, aku terpaksa. Jika aku tak memakannya, aku sudah mati karena luka yang terlalu berat."

Lazu berkata jujur.

"Refleks gerak satwa itu sangat tinggi. Aku harus menunggumu untuk mengekang pergerakannya."

"...Bagaimana kau bisa melepaskan diri dari pengaruh Bacot Bade Miceun?"

"Aku hanya perlu mengingat bahwa aku memetabolisme makanan dengan evaporasi melalui kulit. Aku tak punya saluran pencernaan khusus. Berarti sugestimu itu hanya sebatas ilusi untukku, takkan berdampak ke proses alami tubuh."

"Bagaimana kau tahu aku takkan membunuhnya?" Sal kembali bertanya dengan curiga.

"Karena kau memberi makan para binatang di planetmu dengan tanganmu sendiri. Kau memanjakan. Kau takkan tega. Yang berarti satu-satunya jalan untukmu dalam mendapat poin penyelamatan kelinci, hanya membuatnya tak mampu bergerak, agar tak ada kelinci yang dimangsanya. Namun tahukah kau?"

"Aku..."

"Itulah kelemahanmu!" bentak Lazu penuh emosi meletup. Dan bersaman dengan kata-kata itu, mendadak terdengar suara-suara nyaring bagai ratusan kompor meledak. Ratusan kelinci bulat di sekeliling mereka lenyap  secara beruntun menjadi gumpalan asap!

"Apa yang terjadi?!"

"Poin untuk-poin-poi-po-popopopopoin untuk Lazuardi. Popopoi-poipoin untuk Lazuardi."

Pengumuman statis itu terdengar berulang-ulang dengan sangat cepat bagaikan suara orang yang sedang gagap. Sampai akhirnya tak ada lagi kelinci bulat yang tersisa. Lorong itu sunyi senyap.

"Poin kemenangan. Dengan menyelamatkan empat ratus lima belas kelinci bulat secara permanen, Lazuardi memenangkan tanding lantai tengah."

"Ke-kenapa?!" Sal bertanya dengan suara keras. Wajah tengkoraknya tampak kebingungan. Namun langit-langit lorong mulai runtuh. Dari salah satu dinding, terlukis sebuah pintu. Pintu yang hanya lukisan tersebut menyembul berubah menjadi pintu sungguhan, besar kokoh dan mulai terbuka.

Lazu yang telah pulih lekas melompat masuk ke pintu tersebut, dan Sal pun menyusul. Dinding lorong berjatuhan di belakang punggung mereka.

Maka tibalah mereka di lantai dasar koloseum tiga lantai. Lapisan lantai di atas kepala menghilang, hingga Thurqk yang tengah duduk di singgasana jauh di atas mereka, kembali dapat mereka lihat dengan jelas melalui kubah energi transparan.

Namun ada yang berbeda. Ada sebuah penjara energi kecil di tengah pelataran lantai dasar. Di dalam penjara itu, ada dua sosok perempuan.

Yang pertama adalah Puteri Kejora.

"Safirem..." Lazu berbisik lirih. Setitik semangat perlahan menyala dalam dada.

Gadis yang kedua adalah...Abigail Grey, gadis berpita biru yang merupakan bawahan Thurqk. Begitu melihat anak perempuan itu, kata-kata meluncur begitu saja dari mulut Sal.

"Akhirnya aku dapat langsung menemuimu...Dola."

Abby terdiam mendengarnya. Lalu menjawab,

"Bersiaplah, Boots. Mungkin kau akan menyesal telah mencariku selama ini."

Nama lengkap Abby adalah...Abigail Dola Grey.

---

8
Salvatore dan Dola (2)

Abby Dola dulunya adalah gadis penjual roti di Planet Krismon. Suatu malam di sebuah bazaar, Abby menemukan sesosok berkulit merah yang pingsan di pinggir kota. Gadis itu membawanya ke rumah pemilik toko roti, dan merawatnya hingga sembuh.

Nama sosok berkulit merah itu adalah Thurqk. Dia mengaku baru saja melakukan perjalanan melalui Gerbang Dimensi Terlarang. Dia mengatakan, ada ketidakstabilan dalam pemindaian struktur ruang-waktu sehingga Gerbang tak mengantarkannya langsung ke alam tujuannya, namun justru mendaratkannya di semesta perantara yang memuat galaksi ini. Galaksi Suling Sakti.

Ada jendela masuk, berarti ada jendela keluar. Thurqk mengetahui bahwa Gerbang bernama Khatea secara alami akan menciptakan jendela keluar menuju semesta tujuannya. Jendela itu seringnya merupakan buku atau kitab kuno yang memuat inti pengetahuan terkuat di seluruh tatasurya. Thurqk bertanya, adakah  kitab seperti itu di dunia ini.

Abby tahu jawabannya. Mereka melakukan perjalanan melintasi gua bawah tanah sepanjang puluhan kilometer, menembus hutan yang tanah dan pohonnya terdiri dari ular beludak, hingga sampai di puncak gunung tertinggi Planet Krismon. Di sanalah mereka menemukan Manuskrip Kuno Kaditukadieu yang memancarkan cahaya psionik familiar bagi Thurqk.

Abby bertanya, mau ke mana Thurqk dengan manuskrip itu. Thurqk menjawab bahwa semesta yang ditujunya adalah sebuah semesta yang baru lahir, semesta langka di mana energi jagat dapat langsung dipanen oleh tubuh semudah memakan roti gigit demi gigit. Di mana siapa pun yang pertama memasukinya akan mendapat energi jagat sedemikian besar, sehingga menjadi dewa yang menguasai hukum di semesta itu sendiri.

Thurqk mengajak Abby untuk ikut bersamanya. Abby memikirkan bahwa dia takkan lagi bisa berjualan roti di semesta tersebut. Thurqk menjelaskan bahwa jika Abby menjadi makhluk kedua yang tiba dalam semesta tersegel itu, gadis tersebut akan diizinkannya untuk memanen energi jagat sampai pada vitalitas optimal. Sel-sel tubuhnya akan aktif dan segar sepanjang hidup. Masih mampu terluka, sakit dan mati. Namun tak lagi perlu makan atau minum untuk hidup dan sehat.

Abby menerima tawaran itu dengan senang hati.

Dengan energi Khatea dalam manuskrip Kaditukadieu, Thurqk dan Abby menembus ruang-waktu dan tiba di sebuah bibit jagat raya khusus. Thurqk mendapat inti energi kosmik, dan Abby mendapat kulit terluar energinya. Energi mentah alam semesta itu mengubah struktur tubuh mereka, memberi Thurqk tubuh berkekuatan dewa. Sejak saat itu, Abby pun tak lagi merasakan lapar atau haus.

Dengan kekuatannya, Thurqk merancang hukum-hukum dasar di alam ini. Dibuatnya sedemikian rupa agar satu-satunya cara memasuki jagat ini adalah dengan mengalami satu kali kematian fisik. Tubuh makhluk yang telah mati akan bersatu kembali dengan jiwanya dan tiba di jagat bentukan Thurqk tersebut.

Abby ingin mengundang teman-temannya untuk memulai hidup baru di semesta ini. Sesosok musisi bernama Salvatore Jackson, dan rekan-rekan musisinya. Abby tahu dari petualangan grup musik itu, bahwa menyentuh hati para audiens memang menyenangkan. Tapi ini...menjadi para penghuni pertama dan tertinggi dari sebuah alam semesta, menjadi para pengatur hukum dunia yang tak tersentuh lapar dan haus? Ini tingkatan yang jauh berbeda.

Salvatore dan rekannya harus ikut bersamanya. Mengabdi pada dewa bernama Thurqk, merupakan bayaran yang pantas untuk segala kekuatan ini. Bukankah tiap dunia punya penguasa?

Dia harus mengajak Salvatore dan teman-temannya. Meski itu berarti dia harus membunuh mereka, agar mereka dapat menembus masuk dalam jagat itu yang sekarang di bawah kekuasaan Thurqk.

Alam yang dinamakan oleh Thurqk sebagai Nanthara.

---

"Jadi...begitu alasannya..." Sal merasa pening. Sungguh mencengangkan apa yang baru disampaikan oleh Dola. Abby Dola.

Namun kini, semua terungkap. Dola sejak awal adalah bawahan Thurqk. Dola ingin membagi kekuasaan ini pada Sal dan teman-temannya.

"Lalu di mana ... ?" Sal menanyakan rekan satu grupnya. Tanpa berkedip Abby menjawab,

"Mereka dibakar. Thurqk tak menyukai mereka."

"Mereka dibakar? Begitu saja?!" Sal berteriak marah, rahangnya mengetat kuat.

"Tapi kau tidak, kan?" Abby menanggapi datar, "Aku membunuh semua rekanmu untuk mengundang mereka ke sini, ke Nanthara. Tapi apakah mereka bisa mengambil hati Yang Mulia Thurqk, itu lain soal. Kau, Boots, tak boleh kalah. Aku akan sedih jika kau kalah."

"Kau--" Sal marah sekaligus bingung. Dola sudah ada di hadapannya. Namun kenapa semuanya jadi seperti ini?

"Lantai Dasar Koloseum!" suara pengumuman dari Nolan memotong pembicaraan, "Enam puluh ruang kosong. Dan di sudut arena, dalam penjara energi, telah ada dua saksi dari masing-masing petanding. Puteri Kejora dan Abigail Dola Grey! Ini adalah Lantai Pertarungan."

"Tugas kalian hanya satu." Thurqk mulai berbicara.

Dan demikian mengertinya Lazu kini atas kemauan Sang Dewa, hingga ia tahu kelanjutan kalimat itu bahkan sebelum Thurqk mengatakan:

"Saling membunuh."

---

9
Kelemahan

"ENGKE HEULA!" Salvatore mengeluarkan bentakan yang meremangkan bulu kuduk. Ada sesuatu dalam bentakan itu. Pembuluh internal Lazu kontan berhenti bergerak, mendadak ada sesuatu yang harus ia tunggu walau entahlah apa. Orb-orb zamrud bagai ditempel lekat di udara tanpa satu pun bergeser.

Bahkan Thurqk sekalipun terpaku sesaat dibuatnya. Itulah sugesti magis Irama Jiwa Salvatore yang sanggup memerintahkan setiap makhluk, bahkan benda mati sekalipun, untuk berhenti dan hanya menunggu.

"Kenapa makhluk biru ini menang pada pertandingan lantai tengah?" Salvatore mendongak dan memprotes keras, "Dia hanya menbunuh Serigala Berbulu Domba! Perintah darimu adalah melindungi sebanyak mungkin kelinci bulat! Apa hubungannya?!"

Lazu menjawab tanpa diminta, "Serigala itu, membunuh untuk makan. Aku adalah parasit. Aku hidup dari energi inang yang kuhinggapi. Aku membunuh serigala itu, untuk dimakan agar luka-luka fatalku sembuh. Juga untuk memenangkan permainan tadi."

"Justru itu!" bentak Salvatore lagi, "Kenapa kau menang, padahal kau tidak menyelamatkan apa pun?"

"Karena membunuh predator utama dan satu-satunya di sebuah ekosistem, berarti menyelamatkan hidup semua organisme yang menjadi makanannya." Lazu berucap kering, membuat Sal terperanjat.

"Itu berbeda! Seperti Harmoni dan Kakofoni yang juga jauh berseberangan!"

"Kalau berbeda, kenapa hipotesisku atas permainan tadi terbukti? Kenapa Thurqk memvalidasi metode dariku tadi sebagai kemenangan?" Lazu pun menantang.

" . . . "

"Karena bagi Thurqk, metode tidaklah berpengaruh," lanjut Si Matoi berdesis,

"Namun hasil...adalah hasil yang menentukan segalanya."

---

Sal tertohok mendengarnya, "De...dengan pemikiran itu jugakah kau memakan serigala itu...?  Ini...dan...Thurqk...dia menerima kondisi terbunuhnya serigala itu...sebagai keselamatan penuh atas semua kelinci bulat yang tersisa?"

Si Matoi mendengus, "Kadang, kita harus memandang dunia sebagai perdagangan matematis. Kita harus menganggap paksa semua yang dikorbankan sebagai kompensasi demi keselamatan yang lebih besar."

"Kau mau bilang bahwa semua yang kau lakukan itu adalah karena terpaksa!?"

"Dan apa kau menyangkal bahwa telah ada kelinci tak bersalah  yang mati, dan semua kelinci tadi akan terbunuh cepat atau lambat, hanya karena kau lebih memilih menjadi pengecut!?"

"Kau...pemikiranmu...mengerikan..." Sal menggeram, kemarahan mulai menguasainya. Makhluk biru kecil ini bukan hanya memahami cara pikiran Thurqk bekerja, namun ia juga seakan mampu menekan tombol "nyala" dan "mati" pada nuraninya sendiri kapan pun ia mau.

"Ikatan sendi-sendi anggota gerakmu mengetat enampuluhenam persen mengisyaratkan permusuhan." Lazu mengangguk sambil melangkah maju.

"Takkan kubiarkan kau berbuat seenaknya selama aku masih ada! Kau, dan juga Thurqk! Aku bersumpah! Bersiaplah, Lazu Kecil!" Sal pun maju bagai kereta kuda menerjang kencang. Lazu pun maju dengan kesigapan kalkulatif, namun sesuatu terasa berat di dadanya saat ia mengucapkan sesuatu yang aneh.

"Jangan bersumpah untuk sesuatu yang akan kau ingkari..."

---

10
Percikan

Benturan itu terjadi di udara! Hentakan tumit kerangka putih beradu dengan tapak biru kecil, hempasan angin mendorong Sal nyaris ke tempat semula. Sial bagi Lazu, sebagian lengannya justru terpanggang karena tubuh makhluk tengkorak itu merona merah dan lebih panas dari bara api.

"Hup! Haiyhoo!" Lebih dulu menjejak darat namun berjungkir balik dengan ketangkasan primata yang dimilikinya, Sal tak memberi jeda dan langsung melancarkan tendangan mencangkul bertubi-tubi dari angkasa.

"Jambe Meteo!"

Gesekan yang sangat kuat dengan udara pun terjadi, hingga tungkai belulang yang menderu-deru itu sampai memercikkan kobaran api seperti meteor.

Lazu memiringkan tubuhnya untuk memulai jejakan menghindar. Dengan jeli ia menyusup antara sejumlah titik buta, membelokkan kedua tapaknya bergantian untuk menanamkan bibit jasad parasitnya pada tubuh besar Salvatore.

Hanya saja indera Salvator mampu mendeteksi kepekatan energi Irama Jiwa yang terkumpul di kedua telapak tangan Si Matoi. Primata  janggal itu bereaksi dengan sangat cepat. Kedua telapak kaki skeletal besar menginjak masing-masing sendi siku Lazu. Si Matoi tersuruk jatuh dengan posisi terkunci dan nyeri meledak-ledak di sekujur tubuhnya. Dan tungkai besar itu pun menyepak tanpa ampun.

Tendangan primata skeletal itu begitu cepat. Lazu menarik pinggangnya ke belakang namun jangkauan tendangan berputar itu masih melesakkan rahangnya. Pandangan Si Matoi berputar dan nyeri menjalar ke kepala serta bahunya akibat kekuatan fisik Salvatore yang menggila saat tubuhnya terpelanting membentur dinding koloseum.

Salvatore tak membuang waktu dan merangsek dengan tempurung lutut dihantamkan sejadi-jadinya meremukkan leher Lazu. Sesak akibat saluran tenggorok yang tertindih hancur membuat kesadaran Lazu memudar seketika. Namun dalam keadaan sedekat itu dengan maut, Lazu masih sempat memecahkan struktur kepalanya sendiri menjadi daging-daging parasit bertumpuk-tumpuk dan mulai memasuki rongga-rongga mata Salvatore.

"ENGKE HEULA!!"

Gerakan segmen parasit di kepala Lazu mendadak berhenti dengan sendirinya akibat seruan Irama Bacot Salvatore yang penuh otoritas di luar perkiraan. Lazu tak putus asa dan mengatur pertumbuhan selnya menjadi deretan gigi melengkung mirip kait memenuhi mulutnya dalam kepala yang baru terbentuk kembali. Dengan mulut karnivora tersebut ia melahap betis Salvatore kuat-kuat.

"Urrrkkk!!"

Lazu malah meringis dan meremas wajahnya sendiri dalam kesakitan, wajah birunya pucat pasi merasakan anyir dan sensasi pecah yang sangat nyeri dalam mulutnya. Deretan taring kaitnya hancur seperti keripik. Tulang makhluk itu jauh lebih keras dari titanium!

Sebelum Lazu pulih dari nyeri, dalam tempo dua kedip saja Salvatore menendangi ulu hati Lazu empat-lima kali dengan satu kaki, kemudian menutupnya dengan tendangan mengungkit lurus telak ke dagu! Lazu terpelanting sangat tinggi dan membentur lantai arena. Ledakan hebat membawa tekanan udara menghancurkan beberapa tiang penyangga koloseum marmer.

Asap tebal sisa hempasan menutupi pandangan. Tampak Lazu terbaring dengan luka yang amat parah. Kepala dan rahangnya nyeri luar biasa hingga sekujur badannya gemetar mendingin. Bagaikan kelinci berhadapan dengan kerbau, perbedaan kekuatan mereka sungguh jauh. Semua siasat dan kemampuannya dimentahkan.

Si Matoi masih sanggup menggerakkan bola mata. Diliriknya lengan Salvatore yang tadi ia kunyah. Tak ada luka sedikit pun di sana, namun samar-samar Lazu dapat melihat pada lengan itu,  sebentuk perisai transparan kadang berpola mirip notasi nada. Jika diperhatikan, perisai nada itu bahkan membungkus seluruh tubuh Salvatore.

"Ah, kau sadar juga rupanya?" Sal menyadari arti lirikan Lazu yang masih terkapar. Dilihatnya bahkan ditunggunya, sampai Si Matoi Kecil memaksakan diri berdiri meski sempoyongan. Hingga tatapan mereka berbenturan seperti nyala obor.

"Struktur tulangmu tak berbeda dari matriks kalsium pada umumnya...Perisai notasi  yang kau ciptakan dari getaran suaramu itulah...yang memiliki kerapatan molekul hiperdensa..." simpul Lazu terbata-bata sambil mengistirahatkan napas.

"Zirah Irama Jiwa," Sal menyeringai tanpa terlihat lelah sedikit pun, "Tarikan dan hembusan napasku kuatur agar memiliki ritme khusus, menjadi baju perang tak terlihat. Bom atom pun takkan meninggalkan goresan padaku."

"Kau...." Si Matoi terbatuk, "Kau memberitahuku?"

"Mengetahui tak sama dengan menjalani, Lazu Kecil," sahut Sal, tiba-tiba lelah, "Sepertimu. Mengetahui mana yang baik, tapi tidak menjalaninya. Dan memilih kegelapan."

"Jangan mengasihaniku. Kasihanilah dirimu sendiri yang buta, karena terlalu lama menatap cahaya..." Si Matoi bergerak maju, "...Tanpa mengerti apa pun!"

---

Individu yang berbeda menyikapi rasa marah dengan cara berbeda. Ada yang mengendalikan amarah, ada pula yang dikendalikan oleh amarah.

Tapi, Lazuardi berbeda. Ia beradaptasi, ia mempelajari. Altair Kilatih tak pernah berkhianat pada perasaannya. Itulah yang membuatnya mampu menembus benteng seketat apa pun. Lazu mempelajari metode psikokinetika itu dan menerapkannya pada emosinya sendiri. Bahkan memodifikasinya.

Sehingga Lazu dapat memancing, memicu, mempengaruhi emosinya sendiri. Ia memicu rasa marahnya. Ia melihat titik-titik objektif yang akan menguntungkannya, dan memusatkan amarahnya ke sana.

Makhluk besar tolol ini hanya terdiri dari rangkaian tulang dan sendi! Akan kuacak-acak mobilitasnya!

Sebelah tungkai Salvatore menikam lurus ke depan memaksa butiran debu diputar angin, namun ternyata Lazu sudah mundur dua langkah sejak satu detik sebelumnya.

Lazu baru menyadari bahwa struktur tulang dan sendi Salvatore yang telanjang itu, membuat kemungkinan kombinasi arah mobilitasnya terlihat jelas, terlalu jelas bagi Si Matoi yang sudah menganalisis biomekanika gerak dari jutaan makhluk melalui memori tubuh parasitnya.

Sendi panggul Sal bergeser, empat ketuk yang tak lepas dari mata ataupun perhitungan Lazu. Tendangan berputar itu mengincar sudut temporal pelipis dan bila mengena maka pantulannya akan jatuh menimpa atap rangka jantung. Namun Lazu sudah menebaknya sejak ketukan sendi kedua.

Gerakan hafalan dengan otak kosong! Memangnya menurutmu berapa persen kemungkinan bahwa aku punya jantung!

Si Matoi menggeser bahu ke sisi mengikuti gerakan ruas bawah tungkai Salvatore dan secara kontradiktif maju dalam dua langkah segaris tipis mengikuti kontur tungkai raksasa belulang tersebut.

"??!"

Setengah putaran bahu ke arah berlawanan membawa siku Lazu menempel pada tempurung lutut Sal yang ada di tengah gerakan namun siku itu secara pasif mengikuti laju parabola tendangan sang primata.

"Siku makhluk biru ini mengalir mengikuti irama tendanganku...?" Salvatore pun kecele.

Pada interval spesifik, Lazu melebar-benamkan pijakan sekuat tenaga, menyentak sikunya dengan ritme menyilang ke sisi dalam. Saat Si Matoi memanfaatkan kecepatan dan tenaga luar biasa dari tendangan tersebut, terciptalah gaya gerak berbalik meremukkan bonggol lutut Salvatore!

"Uaaaggghhh!!" Si musisi primata kesakitan luar biasa. Lazu berhasil lolos meski harus dibayar dengan otot perutnya yang semakin lebar terbuka. Serangannya masuk! Berarti perhitungannya benar.

Lazu menandaskan hipotesisnya sambil tersengal menghindari serangan berikutnya, "Kau tak mungkin membungkus sendi-sendi tungkaimu dengan perisai nada sekeras itu, karena akan memblokade total manuverabilitas engselmu, akan mengunci seluruh gerakanmu sendiri!"

Sal mulai panik namun masih dapat mengendalikan diri. Hanya saja Lazu masih memegang momentum pertarungan dan segera mengincar leher si primata skeletal dengan tapaknya. Dengan tungkai yang lepas sebelah, Sal  terpaksa menjatuhkan tubuh dan menggunakan tangannya sebagai tumpuan untuk balas melancarkan sebuah pukulan yang mampu melumat tembok baja.

"Sisanya adalah memanfaatkan tenaga dari gerakanmu..." Lazu melompat maju sementara pukulan Sal melengkung mengikuti, namun telapak Lazu justru menari-nari tajam membelokkan siku lengan itu.

"..Untuk menghancurkan tubuhmu sendiri!"

Satu lagi tempurung lutut Salvatore hancur dan kali ini terlabrak tinjunya sendiri yang telah menjadi senjata makan tuan. Bersama bunyi tulang remuk, sang primata skeletal menjerit kencang lalu roboh terkapar. Tak jauh dari sana, Si Matoi berlutut setengah telungkup dengan stamina terkuras, kulit serta ototnya mengelupas akibat koyakan di tubuh dan beban gerakan keterlaluan.

Mereka berdua bangun, kepayahan dan perlahan-lahan, dengan kondisi yang berat dan kelelahan. Salvatore membalutkan paksa perisai nada untuk menyambungkan kedua patahan tungkai pada tubuhnya.

Lazu berkonsentrasi, berusaha mengais sisa-sisa tenaga yang ada pada tubuhnya agar dapat melakukan pengendalian tubuh parasit yang menuntut energi penghabisan. Ia menghela napas dalam-dalam.

"Apakah...aku salah? Apakah tak ingin membunuh itu, sebuah dosa?" terdengar Salvatore menggeram dengan tubuh tinggi besar yang kelelahan.

Makhluk skeleton ini, baik sekali. Mungkin, mirip dengan diri Lazu yang dulu. Lazu yang pernah mengatakan bahwa, memelihara kehidupan adalah kekuatan.

Namun kini, persepsinya akan dunia tak lagi sama. Ketika tersudut, seekor landak bisa saja membunuh harimau. Dan apakah itu salah?

"Kau...seperti perwujudan ideal ajaran Ayah dan Ibu." sahut Lazu. Kini dengan lebih tenang. Terukur.

"Apa maksudmu...?"

"Dulu sekali...Ibu dan Ayahku pernah menyelamatkan planetku, Aspemina, dari pembantaian yang sangat besar...namun pada prosesnya...sang pembantai menghilang tanpa jejak setelah terlanjur membunuh seluruh penghuni sebuah kerajaan laut..."

"Kau...mau bicara apa...?"

"Sehingga seluruh Aspemina menyangka pelaku pembantaian itu justru adalah Ibu dan Ayah.Tak ada saksi karena semua di kerajaan itu mati. Ditambah dengan pernikahan mereka yang berbeda spesies, tuduhan pembantaian itu membuat dosa Ibu dan Ayah menjadi tak terampuni."

"Kau...orangtuamu...?"

---

11
Sang Guru


Konsili Viramza adalah sebuah dewan fisika konstelasi elit yang anggotanya merupakan para ilmuwan terbaik dari seratus ribu galaksi. Namun bahkan di dalam Konsili super tersebut, ada satu tokoh yang paling unggul. Dialah Sang Guru, Hiltur.

Mathula kecil ditemukan oleh Sang Guru di planet robotik buatan bernama Cephei, pada preparat kaca mikroskop dalam sebuah laboratorium yang ditinggalkan. Sang Guru menyadari potensinya, dan membawanya pulang untuk membesarkannya seperti anak sendiri.

Altair Hali sering berkonsultasi pada Sang Guru via jalur komunikasi antariksa tentang sebuah kesadaran kuno di jejak memori peradaban Aquilla.

Dalam gemblengan ilmu yang ketat namun tak saling mengenal, dua makhluk ini menjadi murid terbaik Hiltur. Mathula unggul dalam biologi molekuler dan Hali unggul dalam fisika kuantum.

Di seluruh Konsili Viramza, mereka menjadi dua pilar tak terbantah. Hanya ada satu figur yang membuat mereka merasa seperti anak sekolah dasar.

Dialah Sang Guru itu sendiri, makhluk pertama dan satu-satunya sepanjang masa yang bisa membawa mineral nirmateri dari dimensi keempat ke alam ini menggunakan rumus angulasi transfigma gelombang otak.

Perolehan ini memberikan revolusi teknologi ekstrim bagi planetnya. Kerajaan serta parlemen tinggi dari seluruh pelosok tatasurya dan galaksi putus asa ingin merekrutnya, walaupun mereka mengetahui betapa mereka takkan mampu memberikan apa pun yang mampu mendekati apa yang dia punya.

Karena Hiltur Sang Guru tak lagi memikirkan kekayaan. Dia menyelenggarakan eksperimen raksasa. Pembuktian hipotesis mutakhir untuk memanen energi siklik dimensi kelima langsung ke otaknya.

Eksperimen itu tak terkendali. Hiltur mengalami halusinasi dan gangguan jiwa yang amat berat. Sejak saat itu dia sering memimpikan sebuah ritual untuk memanggil keberadaan superior yang merupakan gerbang dimensi yang hidup dan disembah oleh jutaan peradaban sebagai dewa.

Khatea. Inti segala kinetika multijagat. Sesosok dewa yang dapat menjadi gerbang bagi siapa pun untuk menuju dimensi atau semesta mana pun dengan kemungkinan tanpa batas.

Melalui mimpi-mimpi, Hiltur melihat sebuah bibit semesta yang sangat langka. Semesta ini berwarna emas dan tak dapat dimasuki oleh portal atau wormhole apa pun.

Namun siapa pun yang memasukinya akan mendapat energi kosmik yang cukup untuk menjadikan kelahiran dan kehancuran tingkat galaktik sekalipun adalah remeh bagi jemarinya.

Namun kembali Hiltur frustasi. Sekali lagi, mimpinya sangat jelas memberi gambaran, bahwa semesta itu tak dapat dimasuki dengan metode apa pun.

Kecuali melalui Khatea.

Ritual pemanggilan Khatea memerlukan formasi energi Psionik yang tak ada di manapun di pelosok antariksa. Kecuali di dalam inti sebuah planet akuatik bernama Aspemina.

Waktu akan berhenti selama kehadiran Khatea. Setelah Thurqk memasuki Khatea untuk menuju semesta yang ada dalam angannya itu, seluruh tata bintang akan hancur.

Hiltur tidak peduli.

Dia memerintahkan Mathula pergi ke planet itu dalam rangka studi ekosistem. Dia memerintahkan Altair Hali untuk memeriksa instabilitas reaksi inti psionik dari planet.

Takdir menentukan perjalanan hidup. Di Aspemina, Mathula bertemu dengan imunovirus bernama Toiren. Mereka jatuh cinta dan menikah. Altair Hali tertarik dengan fenomena unik ini, dan berkenalan dengan pasangan suami-istri. Namun bukan hanya itu. Dia juga berkunjung untuk memenuhi tugasnya sebagai murid dari Iylich.

Saat berkenalan lebih jauh dalam hitungan bulan, barulah Mathula dan Hali mengetahui bahwa mereka memiliki guru yang sama.

Lalu datanglah Sang Guru ke planet itu. Dengan persiapan yang sudah sempurna. Dengan seluruh teknologi dari dimensi keempat terinstalasikan ke dalam pusat sarafnya.

Mathula dan Hali tak mengerti. Terperangah. Dengan kekuatan pikirannya, dari partikel dasar kehidupan, Hiltur menciptakan sosok-sosok menjulang yang seharusnya tak ada di seluruh dunia. Itulah pasukan daemon yang kekuatannya sanggup membuat gunung-gunung runtuh dan daratan berguncang.

Asmodeus. Rakshasha. Lamashtu. Anubis. Eligor.

Siluet-siluet gigantik itu menjelajah dan merusak keseimbangan seluruh titik energi seantero planet. Lamashtu di pusatnya. Dengan Senandung Rahim dari Lamashtu yang membusukkan makhluk apa pun di cakupan suaranya, ritual pemanggilan telah dimulai.

Di luar kontinum ruang waktu, Khatea bersemayam dalam kuasa. Ada yang memanggilnya. Ada yang memohon kedatangannya dari sebuah semesta kecil. Sebuah planet bernama Aspemina.

Maka Khatea mengambil wujud tiga dimensi yang takkan menghancurkan semesta yang dia datangi. Sebuah gerbang kosmik.

---

12
Matoi dan Meteo (1)

"Ibu mampu menghancurkan seluruh lautan planet Aspemina dengan teknik ekstraksi magnetik kuadrazonal," Lazu menukas, "Namun beliau tidak tega membunuh seluruh penghuni samudera yang selalu mengecamnya. Tidak tega, hanya itu saja."

Sal dapat melihat jelas sepasang mata Si Biru menggelap dalam rasa benci, "Akibatnya Ibu dan Ayah, dihukum mati dengan cara diisolasi dalam kabin vakum, tanpa partikel makanan atau bentuk nutrisi mikroskopik sekalipun."

Mendadak nada-nada tak terlihat bertumpukan di udara, asing dan pekat seperti timah cair. Sal merasakan tanda bahaya dan segera merunduk untuk berputar menjauh dari tempat semula. Dengan bergidik dia melihat gumpal-gumpal daging dan urat biru yang mewujud seperti membuat sarang di udara, melahap ruang kosong pada tempatnya barusan berdiri.

"Apa itu...? Gumpalan daging berdenyut itu tumbuh begitu saja di udara dari ketiadaan? Jangan-jangan...seperti itukah Sribumba menemui ajalnya? Dimakan dari dalam, oleh daging biru itu...yang dikendalikan oleh makhluk janggal bernama Lazu...?"

"Aku menghormati mereka berdua. Namun aku berbeda. Aku takkan membiarkan diriku menjadi suci seperti itu...bila satu-satunya yang akan kudapatkan sebagai akhir adalah segala yang pahit!"

Si Parasit melirik tajam...

Salvatore sontak merasakan aura membunuh liar tertuju padanya. Sang musisi segera melompat dengan kelincahan primata. Tepatlah dugaan itu karena mendadak ruang di belakangnya telah mengggembung oleh satelit-satelit daging raksasa berbentuk otak.

"A-apa-apaan ini..." kepalan tinju Salvatore bergetar takut saat dia bergulingan untuk meloloskan diri dari belitan organisme biru yang terus meledak muncul dari ketiadaan dimensi. Sialnya beberapa batang rusuk Sal terhisap dan meleleh ke dalam bentukan bergumpal yang terus membesar melarutkan lantai.

Sal mengetatkan gigi-giginya, menahan sakit yang belum pernah dia rasakan sejak menjadi skeleton. Oganisme janggal itu bahkan dapat memakan tulang yang sudah dia lapisi dengan Zirah Irama Jiwa.

"Bukan...itu karena...Zirah Irama hanya melindungi bagian luar tubuhku...sementara organ-organ monster itu...tumbuh langsung dari dalam tulangku...?!"

Sal mengerang putus asa menyadari apa yang terjadi. Zirah Iramanya dipecundangi oleh kemampuan yang sangat ganjil. Makhluk skeletal itu menambah lonjakan tenaga dan kecepatan untuk bergelantungan dan berpindah sepanjang balkon tipis tepian rangka koloseum.

Sementara mengetahui serangan tubuh parasitnya mampu mengenai sasaran, kilau mata Lazu pun semakin mengganas, "Energi struktur skeletalmu luar biasa lezat, Salvatore! Sungguh sayang, hatimu terlalu lunak untuk memaksimalkan energi sekuat ini. Berikan semuanya padaku!"

Sang musisi pun memaksa tubuhnya bergerak. Secepat-cepatnya, sekuat-kuatnya. Karena dia tahu, bila dia berhenti bergerak maka rantai organisme mengerikan akan tercipta lalu menyergapnya dari ruang dalam tubuhnya sendiri.

Maka Sal mengambil resiko. Zirah Irama yang tak lagi berguna, diurai olehnya menjadi Rantai Irama setajam pedang yang meliuk-liuk bagai anakonda raksasa tak kasat mata. Lazu sekilas melihat udara bergelombang panas dan secara refleks melontarkan tubuh jauh ke langit.

Rantai Irama menukik dahsyat dengan suara ribuan senar biola bergesek kacau bersamaan, menghancurkan setengah rangka koloseum dalam sekejap menjadi ribuan keping simetris. Namun Lazu tak lagi ada di sana, karena telapak Si Matoi dan sapuan kaki Si Meteo sudah bertumbukan bertubi-tubi dalam pertarungan udara.

Hindaran dan serangan hantaman telapak biru dan kaki belulang bertukar dalam tempo menggebu. Di sekitar mereka, atas kendali dan perintah mereka pula, jalinan Rantai Irama Jiwa membentuk benteng energi pemusnah, berbenturan dengan armada konstruksi parasit raksasa yang terlahir dan mulai menggerogot habis seantero arena hingga menjadi cerukan raksasa menganga.

Lazu kepayahan melihat siluet Salvatore bagaikan iblis putih yang berpindah-pindah dengan cepat. Setiap hentakan kaki makhluk itu mengguncang hingga sudut-sudut dinding, telapak biru Lazu yang kecil kian tak kuat menahan labrakan yang mengguncang dari sang primata skeletal yang perkasa.

Namun kontras dengan itu semua,  hati Lazu masih berderap oleh apa yang ia tuju. Maka pandangannya tak teralihkan. Ia harus membenci lawannya. Untuk menggapai kemenangan. Karena menanggung beban saja tak lagi cukup.

"Momentis!"

Sinar biru safir membentuk gugusan cincin berukir mengelilingi tubuh Lazu, menandakan teknik rahasianya telah terpaksa ia kerahkan: multiplikasi kecepatan gerak drastis tak terkira. Energi yang baru saja dihisapnya dari srpanjang badan koloseum langsung menguap habis. Mempertahankan fokus kesadaran saja sudah mati-matian.

Namun dengan pelepasan energi masif yang penuh resiko, daya penetrasi Lazu jauh meningkat. Kinetika super itu membuat Lazuardi mampu memaksa lesatkan kedua telapaknya menembus pusat pertahanan Salvatore dengan laju cepat bersudut-sudut tajam, menepis-belokkan rentetan tendangannya yang berdesing secepat suara, menghindari lintasan Rantai Irama yang mengoyak segala di sekelilingnya dengan mematikan.

Sudut mulut Thurqk bergetar oleh gigil kegembiraan yang mulai menyusup namun tak ingin diakuinya. Sejauh apakah potensi kedua makhluk ini? Ia sungguh ingin terjun ke sana, terlibat dalam setiap percikan tarung yang mendidihkan raga, namun keangkuhannya menghalangi. Biarkanlah mereka saling bantai untuk mencapai tempat terdekat di sisinya, Sang Dewa.

Angin terus membawa serangan mereka yang berbenturan dengan kilat menyilaukan mata. Pergolakan mencapai tahap yang begitu mendebarkan sehingga lesatan tubuh Lazu dan Sal tak lagi terlihat oleh mata, dan hanya ledakan-ledakan kilat yang membumbung dahsyat dan berantai tak habis-habisnya.

Safirem menyaksikan pertarungan dahsyat itu dari balik kubah energi. Sesuatu dalam dadanya terasa perih. Harus menjadi seperti inikah Lazu untuk memperjuangkan kebersamaan mereka berdua? Menjadi parasit pembunuh yang membiarkan kelaparan dan kebencian menguasai dirinya?

Karena dilihatnya hasrat membunuh Lazu semakin kuat saat terus melancarkan serbuan organisme pemangsa, "Kau tak mengerti hukum rimba, Salvatore! Kau tak mengerti makan atau dimakan!"

"Mungkin kau benar! Tapi yang aku mengerti, aku harus melindungi Dola!" Sal membalas dan mengerahkan Irama Jiwa Kakofoni yang disimpannya dari tadi, "Karena aku tak ingin dia terperangkap di sini, di bawah jemari Thurqk. Bahkan jika aku harus mengalahkanmu! Kakofoni: Giganto Thor Samba!!"

Salvatore meneriakkan Irama Harmoni dan Kakofoni kuat-kuat, melahirkan kekacauan pada Irama Alam Nanthara. Akibatnya belum pernah disaksikan sebelumnya.

"Struktur permukaan arenaku berubah menjadi badai gelombang proton...?" Thurqk berkomentar.

Atas keinginan Salvatore, tiang-tiang cahaya merah tercipta dari dinding koloseum yang tersisa. Formasi badai proton meraja dengan kekuatan pemusnah tak terukur, menyambar gugusan parasit angkasa hingga terburai menjadi keping-keping daging.

"AaaakkhhH!" Lazu menjerit sakit saat belasan tubuh parasitnya terkoyak hancur di udara. Makhluk biru itu jatuh berlutut dengan luka-luka baru menganga sepanjang lengannya yang bergetar membusuk. Ia mencapai batas ketahanan tubuhnya. Maka Salvatore pun mengerti bahwa setiap gumpalan otak raksasa melayang itu adalah bagian tubuh Lazu juga adanya.

Lazu hanya bisa memekik penuh kebencian di sela sakit yang memecut, di sela badai yang mengguncang. "Kau terus memanjakan semua yang ada. Tapi dunia yang terus bergerak maju tanpa menoleh ke belakang ini, takkan kau mengerti!"

Menggunakan setitik naluri liar yang masih tersisa, dengan pandangan yang buyar berkunang, Si Matoi Biru hentakkan kedua tangan mengepal lurus, kemudian membuka telapak tangan dengan sorot mata kalap. Akibatnya semua satelit serebrum terurai pecah menjadi sebaran pembuluh parasit menjangkiti udara, berdegup dan mengejar Salvatore dengan kecepatan tak terbayang!

"Lahir Giok Bumi!!"

Saat itulah dunia Salvatore dilingkupi lautan urat daging mistis yang berdenyut, berdarah serta bernyawa, sejauh mata memandang. Ribuan akar-akaran parasit itu menggeliat lapar, menembus pecah lempeng-lempeng tulang punggung Salvatore. Mereka menginfiltrasi tubuhnya bagai tinta kematian, meminum energi Irama Jiwanya hingga kering.

Hingga, tubuh kerangka itu rubuh ke lantai, luluh dan layu.

Lazu, tak merasakan lagi energi yang dapat terhisap dari tubuh lawan, melenyapkan seluruh tubuh parasit serebrum di seantero arena. Koloseum itu langsung runtuh menjadi bongkah-bongkah besar yang berjatuhan mengguncangkan Nanthara dalam gempa beberapa saat.

Tubuh-tubuh parasit Lazuardi mengorbit di udara bagai armada angkasa ulang-alik yang hidup, orkestra besar yang berdetak.

Lalu Si Matoi berlutut. Ia pun kehabisan tenaga. Hingga ia semua tubuh parasit serebrum yang perkasa itu harus ia lenyapkan pula.

Kecuali satu. Lazu mati-matian, dengan energi yang makin menguap, dengan serat dan pembuluh tubuh yang sudah rontok, mempertahankan satu tubuh parasitnya. Seukuran kuku kelingking saja. Di suatu tempat.

Karena ia melihat Salvatore bangkit kembali.

---

13
Nasib Aspemina

Lautan porak-poranda. Gunung-gunung terumbu karang berubah menjadi kawah dan gelombang berdesir bagai beliung berisikan darah dan daging ribuan bangkai satwa lautan. Para demon melepas kekuatan di seluruh penjuru Aspemina dan membantai para makhluk laut dalam jumlah tak terhitung untuk ritual pemanggilan.

"Apa yang...kau lakukan...Guru..." Mathula lirih berkata.

"Kenapa...untuk apa...kau..." Hali ikut bertanya. Keduanya terluka berat akibat siksaan Senandung Rahim milik Lamashtu yang bahkan sampai mengelupas lapis demi lapis tubuh mereka.

"Yah." Hiltur mengangkat dagunya pongah, "Aku menugaskanmu, Mathula, untuk menetap di planet ini sejak empat tahun lalu untuk studi biologi. Aku juga baru menugaskanmu, Hali, menyelidiki anomali mesan magnet di planet ini bulan kemarin. Sebenarnya, itu semua tak penting."

"...Apa...?"

"Aku mengundang kalian berdua, murid terbaikku, tak lain adalah untuk hadir pada panggung penobatanku. Penobatanku sebagai Dewa!"

Hiltur menggenggamkan tangannya dan berseru lantang membahana.

"Inti Psion tersegel dalam jangkar sempurna,

Mata Kuantum merangkai kejalinan tanpa larut dalam jurang anasir

Aku, Hiltur, setitik kuarsa di tengah lautan jagat, menyambut Fajar Para Dewa.

Tanpa ragu, jadikan aku lepas dari penjara jasadi; jelmakan aku kebaikan dan kebatilan di seluruh lingkaran petaka

Wahai Paduka, Sumber Kinetika di multisemesta, aku menyambut ketibaanmu pada jagat yang hina ini. Paduka. Khatea!!"

Genggaman itu menyemburatkan cahaya merah terang. Pada detik ini Sang Guru memilih jalannya.

Sekujur laut Aspemina terbelah oleh cahaya. Hali menyadari bahwa semua butiran pasir di depannya tak lagi bergerak, pendaran rembulan laut pun tak berpindah tempat. Sisa serpihan tebing raksasa tersebar pada letak-letak berbeda namun tak juga jatuh, seolah rekam gambar yang dihentikan.

"Sirkuit Analisis menunjukkan grafik statis pembekuan waktu planet-planet di seluruh galaksi...? Sial...!!" Hali merutuk seraya berusaha bangkit.

"Berlaku pada seluruh organisme sampai tingkat subatomik...Guru Hiltur...sudah menjadi..." Mathula susah payah memulihkan sedikit serat klorofilnya.

"Tapi...kenapa...kita bertiga tak terpengaruh...?" suara ketiga berkata. Itu adalah Toiren. Namun jawaban segera diterimanya.

"Karena kalian menjadi SAKSI!"

Sebuah gerbang raksasa terciptalah dari tiada, melayang dengan aura menekan tak berbelas kasih. Permukaannya ditelusuri oleh jalur-jalur ukiran gliph rumit dan asing. Di tengahnya adalah seberkas terang yang menandakan dewa sekaligus artifak antar realitas tersebut mulai terbuka.

"Paduka Khatea," Hiltur langsung berlutut khidmat, "Aku Hiltur, memohon padamu. Izinkan aku memasuki domain gerbangmu untuk mendapatkan akses menuju bibit semesta realitas emas."

Kau menginginkan harta kosmik, Relithos Aurum?

"Bila Paduka izinkan." Hiltur gemetaran, tak berani mengangkat kepalanya barang semili pun.

Itu sepele. Apa tujuanmu dengan itu?

"Aku hidup...untuk kejayaan dan keabadian diriku sendiri."

Untuk menyesuaikan lapisan kuantum dalam tubuhmu, kau akan kupindahkan ke semesta perantara. Temukan inti energi pengetahuan di semesta tersebut. Dari sana, akses Relithos Aurum terbuka.

"Ja-jadi...sekarang?"

Masuk.

"Te...terima kasih!" Hiltur bergetar oleh kegembiraan. Lalu Sang Guru yang melayang di tengah kemegahan Gerbang Khatea, memunggungi tiga saksi yang kepayahan, siluetnya palingkan wajahnya untuk terakhir kali.

"Selamat tinggal, para makhluk."

"Aku tak lagi mengenalmu, Guru! Kau bukan lagi mentor yang kukagumi! Bahkan aku tak tahu lagi, siapa dirimu!" Mathula berteriak putus asa.

Sang Guru menunduk, senyumnya tipis tampak dari balik punggung. Sekilas saja Toiren melihat Sang Guru menghela napas seolah ingin mengusir sebuah nostalgia.

Tapi kemudian, warna kulitnya berubah merah membara. Rambutnya berangsur putih berkobar. Warna matanya menjadi terbalik antara putih dan hitam, wibawanya menakutkan.

Tanpa berbalik, Sang Guru mengeluarkan raung dahsyat yang terdengar bahkan hingga lapisan atmosfir Aspemina.

"Maka kenalilah aku, para makhluk! Ketahuilah namaku yang sesungguhnya, nama lahirku! Ketahuilah sekali lagi siapa dewamu: THURQK IYLICH!!!"

Sang Guru, Hiltur, atau Thurqk Iylich, menghilang dalam kilatan emas terang Gerbang Khatea. Menuju sebuah planet dalam semesta perantara. Sebuah planet bernama Krismon. Di mana dia bertemu dengan gadis kecil bernama Abby, lalu mencari dan menemukan jendela menuju bibit semesta realitas emas yang dicarinya, Relithos Aurum. Menyerap inti energi realitas emas. Mendapat kekuatan dewa. Bertahta sebagai keberadaan superior.

Sementara Mathula dan Toiren berjuang mati-matian untuk mencegah kehancuran Aspemina akibat Khatea sekaligus melahirkan anak mereka. Hali membangkitkan ledakan gravitasi untuk membantu mereka.

Dan janin kecil itu, keturunan Toiren dan Mathula, menemui takdirnya. Ia menyerap Khatea itu sendiri ke dalam dirinya, dalam kendalinya, dengan spirit mendidih tak terbayangkan. Menyelamatkan Aspemina dan tata bintangnya dari kehancuran. Dan menjelma makhluk hidup unik yang hanya satu-satunya yang pernah ada.

Makhluk yang menggenggam kekuatan kinetika di seluruh eksistensi. Lazuardi.

---

14
Nurani

Makhluk skeletal itu duduk bersimpuh. Seluruh tulangnya retak seperti kulit telur dihantam sendok. Bila ada yang memberikan sentilan halus pada tulangnya yang mana pun, seluruh tubuh itu akan tercerai-berai dan dia akan menemui ajal saat itu juga. Namun kegagahan tak memudar dari sosoknya.

"Ternyata kau benar-benar tangguh, Lazu Kecil..." Salvatore bernapas berat, "Irama Jiwamu luar biasa...apa boleh buat...Paduka Kaduhung..."

Sebuah melodi piano berdenting pilu, beriringan dengan liukan Cello. Dua suara instrumen tertuntun oleh jemari Salvatore, menaburkan irama padu di Tanah Nanthara, bahkan ketika tak ada alat musik di sana. Karena Salvatore mempersembahkan seluruh tekad di sanubarinya, memanifestasikan Irama Jiwa miliknya hingga ke titik keutuhan.

Irama itu tak kentara. Namun menyesap. Meringkus diri Lazu sehingga ketersentakan tak lagi berguna. Alunan Cello dari Irama Nanthara menyeruak dalam hati tanpa bisa dibendung. Tak pelak lagi, setetes kesedihan bergulir di hati Lazu.

Sesal. Kemuakan terhadap diri sendiri. Rasa bersalah. Semua bertumpuk dan membesar seperti gunung, memenuhi ruang dan celah di hadapannya.Terkilas di benaknya secara magis, memori kematian Carol Lidell. Kolator Widinghi. Ravelt Tardigarde. Kematian tiga pecahan jiwa yang membawa kehancuran tiga jagat raya.

Ada berapa planet dalam tiap jagat itu? Ada berapa makhluk di dalamnya? Semua menemui ajal, ajal, semua karena dirinya. Lazuardi. Lazu mengorbankan seluruh kehidupan itu.

"AaaaaaaAAAA!!!"

Dengan Irama Jiwa sepenuh hati, Salvatore menumbuhkan penyesalan serta rasa bersalah Lazu hingga berjuta kali lipat. Paduka Kaduhung adalah tahap puncak dari Bacod Engke Heula. Ketika Engke Heula hanya menghentikan aliran saraf dan kemauan untuk bergerak, Irama Paduka Kaduhung  menghentikan siklus metabolisme molekul itu sendiri. Bagaimana pun Lazu berusaha melepaskan kekuatan parasitnya, tubuhnya sendiri tak mau mendengarkan.

"Sadarlah...Lazu Kecil...masih belum terlambat...!!" Sal berseru sepenuh hati, memperkuat Iramanya hingga menenggelamkan koloseum dalam keharuan meluap-luap.

Hasrat Lazu untuk mengalahkan apa pun di depannya, cita-citanya untuk menyingkirkan semua aral merintang hanya demi Si Puteri Kejora, semua terbungkam oleh sebentuk tabir kekuatan sugestif. Gerakan menelusupnya, seluruh jasad parasit yang merupakan bagian tubuhnya, menolak untuk melanjutkan tugasnya.

Ia  membunuh sesama makhluk hidup. Azraq Ibrahim, sang lelaki air. Lulu Chronoss, dewi pengindera air. Bara Si Tumpara, kurcaci hijau yang memperjuangkan air.

Air. Jiwa-jiwa pengusung air yang telah matilah yang rekat pada memori ini. Mengapa? Mungkinkah karena air adalah jiwa dari Aspemina, rumah tinggalnya selama bertahun berselang? Ataukah Thurqk sengaja menempatkan para individu dengan esensi air sebagai lawannya, untuk mengingatkannya akan kematian?

Ataukah air adalah perlambang rasa Lazu?

Mengalir, dan enggan berhenti. Menyeruak, dan gerah saat dikerangkeng. Mencari muara, meski harus menguap atau mendidih.

Tapi jika begitulah adanya ...

Salvatore.

Sang musisi tersentak. Suara hati Lazu terdengar jelas. Jernih. Sedemikian hebat kemampuan Irama Jiwa Salvatore kini hingga dapat membaca gelagat perasaan apa pun di sekelilingnya.

Apa kau tahu?

Lazu bertanya dalam diamnya, kala mereka hanya berhadap tanpa gerak. Jika Safirem adalah pencipta dan ketiga semesta adalah ciptaannya, apakah itu menjadikan ketiga semesta yang telah mati itu nyata atau ilusi?

Apakah Ravelt Tardigarde, Carol Lidell, Kolator Widinghi dan dunia mereka, ilusi? Ilusi padat tiga dimensi dan berkepribadian juga berperasaan? Jika ada dunia dan makhluk ilusi yang memiliki semua sifat dan aspek yang sama dengan diri Lazu - yang dapat disentuh, bercengkerama, mencinta dan membenci - apakah semua itu masih pantas disebut ilusi?

Apakah Lazu hanya telah membunuh mimpi bawah sadar dari seorang gadis bernama Safirem, ataukah ia telah membunuh dunia-dunia yang nyata dengan segala isinya?

Maka Lazu pasrah. Semakin ia mempertanyakan, semakin jelas bahwa ia hanya makhluk egois yang ingin bertahan hidup. Bertahan dalam perasaannya sendiri terhadap wanita yang ia kasihi.Menjadikan kebahagiaan di atas segalanya. Bahkan ketika ia harus menjalani kegelapan abadi sebagai hidup itu sendiri.

Apa kau tahu? Kemampuanku adalah...

Lazu jentikkan jari.

"Uuaaaaa!!!"

Jerit histeris itu menyimpan kesakitan luar biasa. Sesosok tubuh kecil mendadak jatuh tertelungkup beberapa puluh depa di belakangnya. Suara itu sangat dikenalnya. Si makhluk skeletal segera menoleh ke sumber suara.

Di dalam selubung energi Thurqk, sesosok gadis kecil berpita biru menggelepar, tangannya menggapai-gapai mencari pertolongan dari kesakitan yang begitu menusuk dan tiba-tiba. Rambutnya yang hitam legam mulai berubah menjadi lembar-lembar kerak biru yang mengering.

"Dola!" Sal tersentak panik. Seluruh tubuhnya bagai disiram es saat kesadaran merembes dalam benaknya.

Kemampuanku adalah...penciptaan.

"Kau...kau...menciptakan tubuh parasitmu dan memakan tubuh Dola dari dalam!?" Salvatore tak percaya. Dia menyerukan sugesti suaranya yang secara magis mampu menghentikan gerakan lawan, "Hentikan, Lazu! Engke Heula!"

Lazu hanya menghela napas. Matanya kosong menatap Salvatore. Namun kekuatan sugesti super dari Irama Jiwa sang musisi, kini seakan tak berpengaruh.

"ENGKE HEULA! ENGKE HEULA! ENGKE HEU--"

 Sekujur wajah Abigail Dola Grey kini mulai meleleh seperti selai kental. Tatapannya sungguh memilukan menyambut kematian.

Hati Salvatore hancur.

"Ke-kenapa...tidak berhenti...? HENTIKAN, BANGSAT! BEDEBAH! HENTIKAN! HENTIKAN!"

Salvatore terus berteriak-teriak di ambang kegilaan. Dalam sekejap kehidupannya bagaikan dibenturkan pada sebuah tembok raksasa yang tak terlihat puncaknya. Tak mampu dipanjatnya.

Lalu tahulah Salvatore saat melihat mata Lazu.

Mata itu berpendar oleh pulasan bening.

"A...airmata...?" Salvatore terperanjat.

Si Matoi mati-matian mengosongkan pikirannya, namun percuma. Salvatore menyaksikan, Irama Jiwa dari Lazuardi itu merebak di angkasa berupa beribu kelopak bercahaya, sangat getir namun sekaligus indah, menghangatkan sanubari Si Meteo.

"Kau...kau pasrah...kau mengakui kesalahanmu sendiri..?" Sal tertegun membaca arti Irama Jiwa Lazu.

Ya, Si Matoi tak lagi menyangkal perasaan bersalah yang menimpanya selama ini. Ia menerima semuanya. Namun penerimaan itu takkan membelokkannya dari apa yang ia lihat.

Kemenangan. Karena kemenangan adalah jalan untuk pulang. Kepada seseorang yang menjadi satu-satunya tempat kembali bagi Lazu. Itulah Safirem.

Karenanya sugesti negatif dari Irama Salvatore selamanya takkan berguna. Meski penyesalan Lazu akan memenuhi langit sekalipun, ia takkan terhenti.

Sal pun berangsur paham. Suaranya tersendat, "Meski pahit...meski harus menanggung segala kegelapan di seluruh alam...meski tubuhmu menghalalkan segala cara untuk bisa tetap bersamanya..."

Jika saja aku dapat terlahir baru kembali...dengan segala yang baik sebagai identitasku...aku rela mengorbankan semua...

Tapi dalam kebaikan, aku tak menemukan jalan. Justru dengan kebencian, aku menjadi kuat. Dengan keserakahan, seluruhnya menjadi mudah.

"...Namun di dalam, jauh di dalam..kau menangis untuk setiap tetes darah yang telah menempel di tanganmu...bukankah begitu...Lazu Kecil...?" Sal terisak-isak, tak lagi berdaya.

Karena aku hanya perlu mematikan nurani. Apa pun yang kulakukan menjadi benar.

Lazuardi, telah tersesat jauh. Segalanya telah menjadi abu-abu. Batas baik dan buruk, benar dan salah, telah hilangkah garis itu? Atau selama ini memang tak pernah ada?

Salvatore memegang dadanya. Apa yang Lazu rasakan selama perjalanan hidup dan mati, baru saja terbias pada sudut-sudut Irama Jiwanya. Sakit, terlalu sakit.

Maka, Salvatore hanya perlu melakukan satu hal.

"Aku. Salvatore Jackson. Menyerah."

Sehingga kedua bahu Lazu perlahan melemas. Bukan, bukan melemas. Rileks.

---

15
Setelah Pertarungan

Si Matoi mengubah jasad parasit yang tadinya sudah memakan jantung dan batang tubuh gadis berpita biru. Jasad parasit itu kini justru Lazu modifikasi, berdasarkan pemetaan genetik anatomi Abby, hingga memiliki kecocokan sempurna sebagai tubuh dan organ baru.

"Kemampuanmu...luar biasa...semua organ dalam milik Dola yang telah leleh, digantikan oleh organ baru dari tubuh parasitmu..?" Sal tertegun saat melihatnya dengan Alokasi Gema.

Setelah menyambungkan jalinan saraf parasit serebrum dengan kesadaran sentral sang gadis, Lazu mencabut kendali neuralnya dari tubuh parasit itu. "Kini molekul Matoi dalam tubuh gadis ini, menjadi miliknya dan sepenuhnya berfungsi untuk menyokong kehidupannya sendiri. Aku tak punya campur tangan lagi. Semoga ini cukup."

Lazu pun menoleh sepenuhnya pada Sal. Wajahnya kaku, tak yakin apa yang harus ia rasa. "Aku terpaksa mengancammu dengan cara kotor ini. Maafkan."

Sal mengangguk, "Aku bisa mengerti. Aku pun ke Nanthara hanya untuk menemui Dola. Tapi ternyata aku hanya mengejar masa lalu. Dola bukan lagi gadis yang sama seperti dulu. Atau mungkin...Dola yang dulu memang hanya topeng yang dipakai oleh sesosok hantu bernama Abigail Grey."

"Jadi--"

Sal menghela napas, "Aku sudah mengaku kalah. Thurqk akan membunuhku cepat atau lambat. Tapi setidaknya...sudah ada jawaban atas pencarianku selama ini."

"Meski tak seperti yang kau harapkan?"

"Yang namanya sempurna itu, tidak harus berarti memperoleh semua yang kau harapkan."

---

Safirem yang masih terkurung dalam selubung energi Thurqk bersama Abby Dola, hanya bisa menatap gadis berpita biru yang tak sadarkan diri itu, dengan perasaan campur aduk. Disentuhnya pundak anak perempuan tersebut dengan lembut. Perlahan Abby membuka matanya.

---

"Sa...firem..."

"Kau sudah aman, Abby. Atau mungkin...lebih baik kupanggil Dola?"

"Jangan...hanya Salvatore -- Boots -- yang boleh memanggilku begitu..."

"Baiklah, baiklah. Tapi...maafkan Lazu, ya..."

"...Kenapa harus kamu yang minta maaf? Dia melakukan hal itu untuk memaksa Boots mengaku kalah. Dia melakukan itu bukan karena kau yang meminta. Itu adalah pilihannya sendiri."

"...Ya. Bila Salvatore tak mengaku kalah..." Safirem terdiam sejenak, "Aku tak punya keraguan sedikit pun, bahwa Lazu akan...membunuhmu. Dan itulah Lazu."

Giliran Abby yang terdiam.

"Dan memang, dia melakukan itu atas keinginannya sendiri. Tapi, itu semua agar kami berdua, dia dan aku, bisa keluar dari Nanthara tanpa diganggu oleh Thurqk. Jadi aku mewakilinya untuk meminta maaf padamu. Biarkanlah bertarung menjadi urusan laki-laki, kita perempuan punya hal yang lebih rumit untul diurus."

"Kau ini, sudah seperti istrinya saja..."

"Menurutmu, pernikahan seperti apa yang pantas untuk kami? Secara adat Matoi atau bagaimana?"

"Pembicaraanmu vulgar sekali."

"Hei, kau sendiri pacaran dengan makhluk tulang-belulang, kan?"

"...Boots itu peliharaanku."

"Sok-sokan."

---

16
Irama

Di sisi lain koloseum, sebuah perjalanan sesosok figur musisi sekaligus petarung handal, telah mendekati akhir. Dialah Salvatore Jackson yang luar biasa. Dia menengadah, sementara tatapan Thurqk seakan menikamnya. Dia tahu artinya.

Bahwa dia akan dieksekusi. Perjalanannya akan mengalami kesudahan. Namun, memangnya kenapa? Salvatore telah melakukan banyak hal, melewati banyak hal.

Dia tak menyesal akan apa yang telah dilaluinya selama ini. Hatinya terasa begitu ringan, begitu ringan sehingga dia tak dapat menahan irama yang bergeliat dalam jiwanya. Salvatore ingin bernyanyi.

"Memoria."

Sebuah senandung berangsur terdengar dari mulutnya, suara dalam yang begitu menggugah. Alunan piano pun meniti perlahan seperti hujan rintik-rintik.

Within my soundlessly flowing memory from long ago
There is proof that we went through so much together
Because you taught me what these overflowing feelings were
Even in this world should disappear, i will still remain in our memory

"Salvatore. Masuklah dalam palung api. Kau tak pantas menjadi panglimaku. Di dunia yang kejam ini, kebaikan hati hanya akan terbuang sia-sia." Thurqk berkata dingin, lalu menukikkan jemari dari atas balkon megah. Reruntuhan koloseum terbelah secara drastis menjadi sebuah jurang api abadi.

Tapi Salvatore telah tenggelam dalam notasi yang mengalir, petikan gitar klasik telah menemani nada piano serta bass yang mulai kejar-mengejar, menjadi panggung melankolia tersendiri untuk nyanyian. Dan dia terus melangkah. Melintasi lantai putih yang berkeping setelah pertempuran.

We used to talk about how we wanted  to go see the ocean
Together we had dreams that would never come true
You, wandering about it in the falling snow, becoming injured, are no longer alone

Punggung Salvatore tampak begitu menaungi. Seperti angkasa putih dengan kepingan awan yang rapuh didera jilatan api.

No matter how far apart we be, i will never forget
Because you taught me what light was
These overflowing tears are my thanks to you
The sky of our vow exchanged on that day will never dim

Bila Thurqk berkata bahwa kebaikan adalah sia-sia, senyum Sal membantahnya dengan tegas membaja. Lazu tahu senyum itu. Tidak, tak ada kebaikan yang sia-sia.

Within my soundlessly flowing memory from long ago
There is proof that we went through so much together

"Kau...sungguh terlalu baik, Salvatore." Lazu menunduk, tak kuasa menahan emosinya.

"Tidakkah kau iri padaku?" Sal menyunggingkan senyum kebanggaan, sementara Lazu yang menang justru bagai tersudut oleh rasa rendah diri. "Maka berjalanlah menuju kebaikan, Lazu Kecil."

Because you taught me what these overflowing feelings were
Even in this world should disappear, i will still remain in our memory

Tanpa berkata lagi, menutup senandungnya, primata belulang itu melompat terjun dalam kobaran menyala milik Thurqk. Dalam sekejap, tulang-tulangnya hancur menjadi abu dan arang. Lengan serta kakinya mengelupas dan meleleh. Hingga seluruh tubuhnya lenyap dan musnah dalam jurang api.

Thurqk menghilangkan penjara energi dari sekeliling Safirem dan Abby. Puteri Kejora mendekati siluet Lazu dan menggenggam tangannya erat. Tanpa perlu berkata lagi. Hingga hawa panas itu memudar saat Thurqk menutup jurang api abadinya.

Hingga Airmata Lazu dan Safirem mengering dalam pelukan. Rasa ini, biarkanlah terpahat dan melukis dunia.

---

Koloseum itu lenyap, hanya menyisakan sebuah balairung kosong berhias kandelir tulang putih. Lazu meminta Safirem menjauh darinya sedikit. Puteri Kejora segera mendekati Abby Dola yang menatapnya bertanya. Safirem hanya mengangkat bahu.

Dua gadis itu melihat Lazu yang berada di pusat balairung. Ratusan tombak di atasnya, singgasana Thurqk terpancang dingin.

"Lazuardi. Kau menang," Sang Dewa berujar, "Untuk sementara."

"Aku sudah lelah bertarung," Si Matoi menengadah dan berucap, "Bukan aku yang kau inginkan. Tapi Gerbang Khatea. Dan gerbang itu ada dalam kendaliku."

"Lalu?"

"Aku akan mencabut Gerbang Khatea dari dalam diriku dan menyerahkannya padamu. Dengan Gerbang, kau dapat mencapai dan menaklukkan semesta mana pun, bahkan Dewa mana pun yang menghalangimu. Kontinum ruang -waktu sepenuhnya terbuka untuk kau akses dan manipulasi."

"Kau akan mati. Gerbang Khatea juga menyokong nyawamu."

"Tidak," Lazu membantah, "Aku akan hidup."

"...Dan apa imbalan yang kau inginkan atas pemberianmu?"

"Safirem, dan sebuah planet akuatik."

"Kau ingin kembali ke Aspemina?"

"Tidak. Aku ingin planet akuatik terindah di seluruh alam semesta. Kirim kami berdua ke sana, aku dan Safirem. Kuncilah titik koordinat Gerbang Khatea dari planet itu dengan enkripsi psionik yang kurancang, sehingga kau takkan lagi menemukanku, atau sebaliknya."

"Hidup berdua dengan damai sampai maut memisahkan? Kau tak ingin menjadi abdi setiaku? Sedemikian pengecut dan remehnya keinginanmu, Lazuardi?" Thurqk mengangkat alisnya.

"Berikan jaminan itu pada kami berdua, atau aku akan mengacau-balaukan Nanthara." suara Lazu bergolak mengancam.

"Kau takkan berani."

"Aku hanya perlu membuka Gerbang ke beberapa semesta para raja yang berdimensi setara denganmu. Dunia Squider. Istana Chronoss. Azatoth. Deminash-Vraga."

Raut wajah Thurqk berubah diliputi kewaspadaan, "Dari mana kau mendengar nama-nama terkutuk itu?"

"Safirem pernah memberitahuku, melalui pengetahuan Al Fata Libraria."

Bumi Nanthara terdiam. Tak ada Hvyt yang berani bergerak. Kesunyian kelam ini serasa menelan semua.

"Abby." cetus Thurqk pada akhirnya. Ditatapnya gadis berpita biru dengan sorot mata yang sangat familiar. Abigail pun menunduk patuh, mengerti dalam sekejap.

"Antarkan mereka."

---

17
Perpisahan

Abigail bergerak bagai hantu tanpa suara. Kaki kecilnya menapak di sisi Safirem.

"Maaf, Abby. Aku harus pergi. Bukan..." Safirem tersenyum seraya berpaling pada Lazu, "Aku harus pulang."

Tangan Abigail terlipat di belakang punggung kecilnya.

"Aku mengerti."

Dan...

Seharusnya Lazu tahu. Seharusnya Lazu tahu sejak awal.

Tangan kecil itu mengayun. Sebuah gunting.

Lazu tersadar. Tengkuknya mendingin dengan tiba-tiba, rasa mual amat sangat menjalar dari ulu hati ke pembuluh perutnya. Sebuah desir menusuk-nusuk tiap jengkal leher.

Sebuah firasat, terlambat.

Gunting itu mencacah dari rahang bawah. Tulang dan otot pipi Safirem remuk dengan bunyi dikerok menjijikkan.

Abby membuka pegangan gunting lalu mengatupkannya kembali kuat-kuat.

Membukanya lagi lalu mengatupkannya lagi kuat-kuat sepanjang  muka Puteri Kejora. Mengupas tulang hidung hingga tempurung kepalanya, memperlihatkan gumpal-gumpal otak bagai pepaya busuk digenangi darah, lemak serta cairan sumsum.

"Biru..."

Mulut dan lidah yang tercincang itu masih bergetar, memaksa bicara, memaksa memanggil Lazuardi, sesaat sebelum dua bilah gunting menyangsang dari kepala belakang Safirem, menembus masing-masing bola matanya ke arah luar hingga melesak pecah mengerikan.

Lazu beku kaku. Koloseum belulang raksasa. Tanah Nanthara yang menghampar menghampar merah. Semuanya membaur dan meleleh. Sebuah percikan api membutakan meretak dunia.

Safirem...apakah aku bermimpi? Abigail Grey. Thurqk. Kenapa mereka berbuat seperti itu?

Siapa itu yang dicincang? Siapa itu? Siapa? Itu?

Rem?

Ren? Rem?

Safirem? Puteri Kejora?

Kenapa kau? Mati? Kenapa kau? Pergi?

Tidak tidak tidak

Sbcidlggr  rr e e M M

Apakah arti apakah diri ap|||||

Paras ayu itu tersenyum pada Lazu. Rambutnya demikian halus tak ubahnya selendang dari langit.

Biru.

Wajah itu lumat. Kulit mukanya lepas menjadi selaput daging menghitam, lalat-lalat mulai menggerogoti otaknya yang terburai menggantung dari rongga mata.

Biru.

Seluruh tubuh si Matoi ambruk ke pelataran koloseum. Tubuhnya berkelojotan tanpa henti. Matanya membelalak dan berpindah dari satu benda ke benda yang lain. Cairan serupa liur berbuih-buih dari mulutnya. Kakinya menghentak-hentak.

"Berterima kasihlah pada Yang Mulia Thurqk, Lazuardi." Abby mencabut guntingnya dari sisa-sisa onggokan kepala Safirem. "Kau tak punya kelemahan, kini. Kau tak punya apa pun atau siapa pun yang akan melemahkanmu."

Gadis kecil itu kembali melayang. Tinggi, hingga mencapai singgasana kecil di sisi Thurqk. Kemudian seperti anak kucing, Abigail menggesek-gesekkan pipimya ke telapak tangan Sang Dewa. Tak lupa Abby menatap Lazu yang masih menggelepar jauh di bawah sana. Dan tak peduli Si Matoi sudah kehilangan kesadarannya, dan mungkin juga kewarasannya, gadis itu menyimpulkan,

"Ya, kau tak punya siapa pun selain Yang Mulia Thurqk. Sembahlah Ia. Mengabdilah pada-Nya. Raih haribaan cinta-Nya."

Dan di batas hidup dan mati, Lazu mendengar tawa Thurqk. Tawa yang menginjak-injak dunia.

Tak ada gunanya. Tak ada gunanya. Tak ada gunanya. Dunia ini. Diriku. Siapa pun. Apa pun.

Pertemuan.

Perpisahan.

Bagaimana jika,

Pertemuan itu sendiri,

Adalah perpisahan?

---

8 comments:

  1. Mungkin saya udah pernah bilang, tapi bakal saya bilang lagi : yang bikin saya agak berat baca entri pak po banyaknya jargon" yang dipake dan gaya bahasa yang nyastra dan ga sederhana. Ini bukan hal jelek, bahkan bisa dibilang spesialisasi sendiri. Cuma maaf kalo saya malah jadi lambat buat baca dan nangkep beberapa poin ceritanya - terutama kalau Lazu udah mulai monolog nganalisa sesuatu
    Yang saya kagum entri ini ngebahas juga tentang Sal-Dola, padahal kalau liat tanggal entri ini keluar duluan daripada entri Sal (meski identitas Dola-nya cukup mengejutkan) Terus yang menarik, di ronde ini jadi kayak ada permainan berapa stage pake poin" gitu, ga langsung bakbikbuk. Dan pak po udah mulai nyelipin humor" ringan di sini.

    ReplyDelete
  2. Dua bagian terakhir di cerita ini jadi favorit saya. Percakapan Abby dan Safirem; dan terbunuhnya Safirem.Obrolan Abby dan Safirem yang ringan jadi sinyal ke pembaca bahwa ceritanya sebentar lagi selesai. Humor di dialognya pun ngena banget, terutama respon Abby :D Terbunuhnya Safiirem yang digambarkan dengan spontan dan luwes itu bikin bilang. "Hei, tunggu dulu, beneran mati nih?" Saya sebagai pembaca, jujur ngerasa nggak siap dengan itu. Sukses bikin kaget. Mungkin itu juga yang dirasain Lazu. Ditambah lagi, adegannya ditunjukkan dengan rinci sehingga memperlambat alur. Jadi yah kayak ada efek slo-mo gitu pas Safirem mati.

    Oh ya, adegan eksekusi Sal juga lumayan dramatis di sini. Hiks.

    Sayah harus bilang emang banyak karakter dan sistem terlibat di sini. Serigala, kelinci, dan sistem poin sebelum ke pertarungan yang sebenarnya. Ada juga beberapa bocoran flashback baik itu untuk dua entrant dan untuk Thurqk dan Abby, keduanya lumayan cocok secara mengejutkan. Mengingat banyaknya misteri di cerita utama yang belum terkuak, entri ini seakan nawarin alternatif untuk obat penasaran mengenai jalan cerita utama nantinya. Ini ngingetin sama entrinya Penuliswarawiri yang sejak awal udah ngasih indikasi keterlibatan Rena dengan masa lalu Thurqk. Kalau Lazu lolos, saya penasaran gimana penyesuaian ceritanya dengan versi panitia di ronde berikutnya.

    Kesimpulannya, eksplorasi dan penyesuaian cerita di entri ini mengerikan, dalam arti bagus. Luas banget. Ini bikin entri jadi solid dan mudah, eh nggak mudah juga sih, lebih tepatnya menarik untuk dicerna karena banyak porsi informasi yang ditawarkan.

    ReplyDelete
  3. Anonymous2/12/14 05:54

    MAS KUMBANG
    wadoooohh bahasanya keren bang kok jadi sedih-sedih gini agak brutal juga sih .+++>..

    Gimana nih aku pingin lanjut nilai 7.8/10

    ReplyDelete
  4. Hmm.....
    Flashback Lazu masih membingungkan saya, bukan karena ceritanya, tapi karena bahasanya yang lebih “Rumit” daripada isi entri lainnya.
    Saya suka Battlenya, apalagi ketika di lantai kedua yang diberi penjelasan vague, tapi akhirnya Lazu menemukan syarat menangnya, sayangnya alurnya mudah ditebak seperti urutan kemenangan Sal-Lazu-Lazu akan lebih baik jika alur batle memiliki “kejadian di luar perkiraan”.

    Saya sempat kaget membaca bagian terakhir.... padahal dari beberapa ronde sebelumnya sempat berpikir kalau Safirem masih akan hidup sampai ronde terakhir atau paling tidak semifinal.... and now she's dead.

    Saya lebih suka entri Lazu daripada Sal, jadi saya beri nilai 9

    ReplyDelete
  5. Anonymous8/12/14 07:37

    - Grande -

    Haa saya paling terperangah baca asal-usulnya Thurqk, aje gilee...

    Pertarungannya banyak pake istilah-istilah yang aku sulit memahami tapi terasa heboh seperti biasa.

    Kadang ada humor konyol juga yang diselipin.

    Sungguh... Terlalu...

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -