1 - Statik
Pria berkacamata itu mengumpulkan semua yang tersisa. Apa yang dikatakannya membuat bermacam-macam reaksi. Bahwa terdapat puluhan kristal jiwa dalam ruang rahasia milik Sang Dewa. Mendapatkan semua kristal mungkin saja adalah kesempatan hidup kembali untuk mereka semua.
Kilat bertatapan dengan sang pria, nyaris tak terlihat namun mereka membuat isyarat mata. Diam-diam sang gadis bermarga Altair sudah berjanji akan menumbangkan dominasi Thurqk terhadap Nanthara. Memang dalam prosesnya mereka harus bergumul dalam kegilaan yang dirancang Nolan demi mengalihkan perhatian Thurqk. Dan sepanjang perjalanan itu, nyawa dan kehormatan mungkin akan terbuang seperti pasir terbawa angin.
Namun bila ini semua berhasil, Baikai serta Elle tak harus musnah. Semua dapat kembali seperti sediakala. Kesempatan kedua akan datang. Dan Nolan dapat membuka jalan untuk mereka. Maka dari itu, si gadis pun mengatakan sesuatu pada tangan kanan Thurqk tersebut.
"Aku ingin bersama Lazu dalam babak ini."
Intelegensi Nolan yang luar biasa membuatnya mampu mengakses sedikit memori tersembunyi dalam komponen nanotek otak Kilatih. Pria cerdas itu pun mengerti bahwa ada sesuatu yang harus Kilat sampaikan pada Lazu. Kejadian di masa lalu yang Nolan belum ketahui seluruhnya, namun mungkin menjadi kunci besar bagi keberadaan Thurqk itu sendiri.
Maka ketika Nolan mengangguk setuju, senyuman cerah pun tersungging di wajah Altair Kilatih. Gadis itu langsung merangkul Si Matoi dengan tawa khasnya yang lepas. Sementara Lazu yang dirangkul miringkan mulutnya canggung.
"Kemungkinan bahwa kamu lagi senang tapi salting gara-gara kurangkul begini adalah...sembilan puluh sembilan persen! Hahahaha!" Kilat meniru gaya bicara Lazu sambil setengah menyeret Si Matoi ke lorong pintu masuk arena sistem pertarungan Nolan.
Diam-diam, pria berkacamata itu melirik saat mereka memasuki cahaya merah di ujung lorong. Dia melirik dan melihat sepercik gelombang statis pada tubuh Kilat. Seperti saluran televisi yang bergoyang tak stabil. Saat tubuh Kilat dan Lazu ditelan cahaya merah, Nolan membungkukkan badannya ke arah lorong. Sebuah rasa bersalah tergambar di wajahnya.
"Maafkan aku...Altair Kilatih..."
---
2 - Kilas Balik (Sang Empat)
Pria berambut emas itu merasa dunianya terbalik. Kesombongannya telah menjadi bumerang. Dia terkecoh oleh trik murahan seorang wanita penyandang kegelapan yang kebal manipulasi waktu. Tubuh sang pria tergeletak berlumuran darah di lantai Khramanaka.
Dia memiliki ribuan senjata tak bercela. Kemampuannya sanggup membunuh bahkan Thurqk sekalipun. Namun kenapa dia harus memakan pil pahit bahkan tanpa sempat mencerna apa yang sebenarnya terjadi?
Saat pandangannya menghitam, Ravelt Tardigarde kehilangan nyawanya.
Namun sebuah kekuatan aneh memindahkan paksa jiwa, memori, seluruh kemampuan suci dan kegelapannya, ke sebuah tempat lain.Sebuah pelataran luas berlantai keperakan. Jiwa dan esensinya memasuki sebuah patung yang sesaat kemudian berubah bentuk. Persis dirinya yang dulu.
---
Shu hanya pemuda biasa. Pergi ke sekolah, mempelajari ilmu-ilmu yang entah penting atau tidak, makan siang. Ditampar oleh kakak kelasnya. Ditendangi ramai-ramai karena wajahnya yang terlihat lemah dan kuyu. Pulang ke rumah dengan wajah sekusut bajunya. Dengan darah dan memar bahkan tak jarang muntah darah.
Lalu Haruna. Tertawa bersamanya. Membelai helaian rambutnya sementara dia tersipu.
Mereka membaca buku-buku cerita berdua di loteng perpustakaan yang pengap dan Shu memperlihatkan tulisan hasil karyanya pada Haruna. Sejak jam pulang sekolah hingga bintang telah memenuhi angkasa.
Namun suatu hari, Haruna tidak lagi tersenyum. Gadis itu mengatakan sesuatu yang menyayat hati.
"Shu, apa kau mau terus-menerus seperti ini?"
"Seperti...seperti apa maksudmu, Haruna?"
"Tak mempedulikan studimu di sekolah, hanya sibuk dengan permainan strategi perang kegemaranmu, dan tulisan-tulisanmu setiap hari?"
"Kenapa kau bicara begini...? Apa kau tak mau berteman lagi...denganku?"
"Kalau begini terus, kau hanya akan disibukkan oleh semua pelarianmu itu! "
"Hentikan! Hentikan itu semua! Tak kusangka kau--"
Dan sesuatu bangkit dalam tubuh Shu.
"Kau hanya akan mati di usia tua tanpa menjadi apa pun selain tukang mengkhayal, Shu!"
Sebuah kehampaan yang segera memenuhi bumi.
"Lenyaplah! Lenyaplah dari dunia ini! Lenyaplah selamanya!"
Kehampaan itu meluap dari mulut dan hidung Shu, berupa kabut hitam yang bergulung menelan tubuh Haruna.
Saat logika kembali menggedor pemikiran Shu, dia mendapati dirinya hanya sendirian di ruangan perpustakaan.
Shu terbelalak tak percaya. Dia baru membangunkan kekuatan kehampaan untuk melenyapkan Haruna.
Keringat bercucuran di dahinya, napasnya kembang-kempis. Haruna. Satu-satunya teman yang pernah dimilikinya.
Dan lalu gelap. Dia memasuki tanah asing Nanthara. Sesosok dewa memaksanya bertarung melawan beberapa sosok lain. Saat itu kemalangan kembali datang. Justru tubuh Shu sendiri lenyap dimakan oleh Void.
Namun sebuah kekuatan aneh memindahkan paksa jiwa, memori, Void miliknya, ke sebuah tempat lain. Sebuah pelataran luas berlantai keperakan. Jiwa dan esensinya memasuki sebuah patung yang sesaat kemudian berubah bentuk. Persis dirinya yang dulu.
---
Widinghi membuka bacaan energinya. Dia hanya melepas kehidupan duniawinya untuk mengetahui misteri antar dunia. Tetua Banyu telah mengatakan bahwa ada sesuatu yang membuka hubungan dengan Farum. Sebuah tanah asing bernama Nanthara.
Kemampuan jiwa, Irkaril, dan energi kebendaan, Solimaril. Dua energi ini telah Widinghi latih sedemikian kuat semasa hidupnya hingga meski mati pun dia tetap mampu memantau dunia seolah memiliki panca indera. Melalui jejak energi, meski raganya telah lama tak bernyawa.
Kemudian Widinghi menyaksikan alam Nanthara mulai bergolak. Sesosok Dewa merancang pertarungan demi pertarungan untuk meredakan kehausan batinnya. Widinghi tak habis pikir akan semua fenomena alam asing ini. Hanya saja, logika dan energi menunjukkan jalan. Thurqk adalah sang penguasa. Dan dia memegang tali kekang bagi semua yang ada di sini. Termasuk Kolator Widinghi.
Namun sebuah kekuatan aneh memindahkan paksa jiwa, memori, seluruh kekuatan penjaga Farum miliknya, ke sebuah tempat lain. Sebuah pelataran luas berlantai keperakan. Jiwa dan esensinya memasuki sebuah patung yang sesaat kemudian berubah bentuk. Persis dirinya yang dulu.
---
Carol Lidell mati di tangan Nurin, gadis beracun, dengan jasad yang tak lagi utuh. Dia telah mewujudkan berbagai pasukan dari Perpustakaan Takdir untuk membantunya, namun sebentuk kekuatan misterius dari Nurin menjadi penyebab kematiannya.
Namun sebuah kekuatan aneh memindahkan paksa jiwa, memori, seluruh kekuatan Lisan Emas Penciptaan miliknya, ke sebuah tempat lain. Sebuah pelataran luas berlantai keperakan. Jiwa dan esensinya memasuki sebuah patung yang sesaat kemudian berubah bentuk. Persis dirinya yang dulu.
---
3 - Tarung Pelataran Perak
Tempat itu merupakan balairung panjang berlantai perak. Patung-patung emas berdiri tegak di mana-mana dengan ukuran menjulang. Di sekeliling masing-masing patung, melayang jutaan buah kitab, buku dan manuskrip berbagai ukuran seolah dipertahankan dalam gravitasi unik.
Lalu, empat patung berubah wujud menjadi empat sosok yang berdiri tegak di podium. Noumi Shu. Ravelt Tardigarde. Kolator Widinghi. Carol Lidell.
"Ini...Perpustakaan Takdir? Dunia asalku?"
"Gadis bodoh. Ini adalah Akasha. Tempat tinggal para dewa Aeon. Ini tempat yang sangat kukenal. Aku membunuh para dewa di sini."
"Kalian berdua salah. Ini adalah Farum. Tapi...terasa ada yang berbeda."
"Ini...bukan bumi."
Kilat berseru pada Si Matoi, "Lazu! Ada temanku di sana!"
Sebuah kesalahan. Begitu mendengar nama Lazu, ekspresi mereka sontak berubah keras. Si Matoi hendak menjawab karena menyadari hal ini, namun seorang remaja berambut hitam segera turun dari podium dengan tergopoh-gopoh. Dengan berlari-lari kecil, Shu mendatangi mereka berdua.
"Kilat?"
"Kau...kau betul-betul Shu?" Kilat terkejut. Dia jelas mengingat remaja pria itu telah dimakan habis oleh kabut Void yang mengerikan. Kabut Void miliknya sendiri.
"Kilat, siapa dia? Apa bisa dipercaya? Apa kemampuan khususnya?"
"Dia temanku, Lazu!" jawab Kilat, "Void miliknya, dapat melenyapkan!"
Lazu berdecak antara bingung dan kesal mendengar keterangan seadanya itu. Tapi tak ada waktu untuk menimbang lebih jauh. Karena pria rambut emas di podium utara telah mengibaskan tangannya.
"Itu, sebuah ancang-ancang...!" gumam Lazu jerih merasakan tekanan udara berubah. Cincin di tangan pria tampan itu bersinar dan,
"Ruang Karun!"
Sebuah portal terkuak di kegelapan. Dari dalamnya muncul sesosok raksasa berlengan tiga dengan sisik berupa batu-batu tajam melapisi kulitnya. Kaki-kaki besarnya meretakkan lantai pelataran. Makhluk itu meraung dan mengayunkan tangan raksasanya ke arah Lazu dan Kilat.
Dengan ayunan itu bahkan lantai hancur di mana-mana dan pecahannya memerihkan mata. Namun sebuah benturan kencang berhasil memaksa Ravelt untuk heran. Tangan sebesar tubuh manusia itu dihentikan oleh palangan sebilah katana putih. Pemegangnya hanya seorang gadis belia yang bahkan tak terdorong mundur oleh hantaman kuat yang baru terjadi.
Secara bersamaan, gadis berambut karamel bernama Carol Lidell mengucapkan sesuatu. Mendadak entah dari mana muncul sesosok prajurit robotik dengan senjata-senjata berat mencuat dari bahu, lengan, dan sekeliling wajahnya.Seluruh bagian prajurit robotik itu langsung memuntahkan puluhan peluru ke arah Lazu!
Kilat takkan rela kehilangan sahabatnya.Gadis itu mengaktifkan medan gravitasi negatif dalam radius puluhan meter. Semua peluru langsung berhamburan kacau bahkan berbalik ke arah Carol. Instingnya berjalan.
"Shu! Droid gudang peluru itu tak bernyawa! Melenyapkannya bukan kejahatan! Hantam dia dengan Void milikmu!"
"Tapi...tapi aku tak bisa melakukan itu dengan sengaja!"
"Kau bisa!"
"Ukh...Void...Ughhhaaaa!!" Shu menggeram, berusaha sebisanya untuk membantu. Dari urat lengannya meluncur segumpal kecil asap hitam ke arah prajurit mesin. Namun si robot menyalakan roket punggung dan terbang menghindar. Asap hitam mengenai sebuah patung dan patung itu hilang begitu saja.
"Kutu jantan itu lumayan juga ternyata, eh?" Ravelt Tardigarde menggumam. Si raksasa bersisik batu merespon majikannya dan langsung melompat dengan tubuhnya yang besar. Makhluk itu akan menginjak lumat tubuh Shu!
"Kilat, lindungi temanmu! Kita butuh aliansi!" Si Matoi berseru kencang sambil memilah jarak musuh yang terdekat, musuh yang paling tampak mengancam. Hipotesisnya jelas dan sederhana: Shu memiliki kekuatan.
Belum lagi satu menit, mereka sudah tersudut. Jumlah pengepung bertambah oleh kehadiran dua makhluk ganas. Maka lebih banyak aliansi - asal dapat dipercaya - cenderung lebih menguntungkan.
Lalu, raksasa bersisik batu adalah milik si rambut emas. Kalahkan si rambut emas dan raksasa bersisik takkan lagi mengusik.
Kilat ke selatan, Shu ke barat, Lazu ke tenggara. Tiga sosok lemah berpencar dan bertarung untuk menyelamatkan diri. Tanpa punya pilihan.
---
"Pongio..." Si Matoi berbisik saat tubuh birunya melesat rendah menghantamkan cengkeraman berkekuatan penggersang air ke wajah Ravelt. Sangat nekad. Karena suatu hal, serangannya bagai tergelincir menjauh dari tubuh Si Raja Langit
"!!?"
Lazu hilang keseimbangan karena tubuhnya terlalu condong ke depan. Si Matoi menabrak dinding karena kelalaiannya namun seperempat detik kemudian ia segera memantulkan tubuh kecilnya berbalik ke arah pria tampan berjubah merah tersebut.
Kenapa pria itu tak terkena serangannya? Sejenis perisai sihirkah yang dia miliki? Tumit Lazu berputar untuk mengembalikan tempo serangan. Denting katana dan debam langkah raksasa di belakang membuatnya sedikit lega karena setidaknya Kilat masih terlibat dalam tarung. Yang berarti masih hidup.
Dengan tubuh membalnya, Si Matoi memantul zig-zag pada jajaran tiang persegi sepanjang pelataran luas dan pada satu momen, tolakan lurus tubuhnya menutup jarak dengan Ravelt.
Si Raja Langit membendung dua sarangan tapak pertama dengan menyilangkan lengan. Lazu merasa bisa mencuri momen hingga mengarahkan cengkeramannya ke tungkai Ravelt yang menjadi penyangga gerak. Namun kemudian kilau oranye menmbungkus tubuh Ravelt dan Lazu terperangah saat tangannya hanya menggenggam udara kosong kendati telah mengenai lutut kanan Si Raja Langit.
Saat Si Matoi terkejut itulah pandangannya tertutup sebuah jubah merah berbulu putih. Perhitungan jarak Lazu terkecoh
"Apa!?"
Si Biru Cerah tak menduga saat Ravelt membetot jubah merahnya hingga melilit tubuh kecil Lazu dengan kencang.. Untungnya Lazu masih bisa menyelip-ulurkan tubuh elastisnya melalui celah-celah longgar hingga lolos dari lilitan jubah. Hanya saja kemudian Ravelt mengungkit jubah hingga wajah Si Matoi membentur lantai.
Tergopoh-gopoh ingin mengembalikan kuda-kuda pijakannya, Lazu tercekat melihat Ravelt sama sekali tak maju untuk mengambil kesempatan. Wajah tampan itu tak menunjukkan ekspresi.
"Sudah bisa dimulai lagi?" ucap pria itu bosan.
Mendengarnya, tubuh Lazu gemetar seperti baru disiram air es. Pria ini hanya bermain-main terhadapnya. Si Matoi terlalu lemah untuk dianggap sebagai lawan.
Sorot mata Lazu pun berangsur kelam. Pria tampan ini mungkin terlahir sebagai keturunan raja. Sejak kecil diasuh dan dilatih oleh guru-guru terbaik. Bahkan para dewa pun memberinya kekuatan yang sanggup menjangkau awan.
Sementara Lazu hanya anak kecil yang terbuang dan diasingkan oleh seluruh dunia. Dari lahir hingga mati terus demikian. Seberapa pun ia mencoba mendapatkan teman di Aspemina, hasilnya adalah kekecewaan dan kesedihan. Sebuah kontras.
"Kau akan menyesal telah meremehkanku!" Lazu berseru, kebencian mulai menguasainya. Kebencian menatap Ravelt yang mengecap kejayaan selama hidupnya. Kejayaan yang hanya dengan apa adanya sekalipun sudah menjadi ketidak-adilan bagi kehidupan Lazu selama ini.
Sehingga Lazu tak peduli akan perbedaan kekuatan antara mereka. Ia maju. Serangan bertubi-tubi pun Lazu lancarkan melalui tusukan tangannya kiri dan kanan ke empat titik guna menghisap cairan dari organ vital sang lawan.
Tapi mimpi pun Lazu takkan menduga kemampuan Sang Raja Langit. Laju-laju tapak Si Matoi secara aneh tak juga menemui sasaran bahkan ketika Ravelt tak tampak melangkah sedikit pun.
Itulah salah satu bakat alami Ravelt: Pengendalian ruang. Tiap kali Lazu menyerang, tubuh Ravelt bersinar oranye. Ravelt membungkus dirinya sendiri dalam dimensi terpisah yang tak terjangkau oleh Si Matoi.
Lazu masih skeptis. Mengambil empat-lima langkah miring berlintasan sempit, Si Matoi berhasil menyusup ke area sisi Ravelt yang terbuka.
"Kau masih juga menyerangku?" Ravelt tak percaya melihat makhluk kecil biru ini berani meluncurkan serangan tapak membelok ke arah perutnya. Matoi biru itu mencelos saat dilihatnya tubuh Ravelt memancarkan aura hitam-ungu mencekam.
"Accessa Devilohrr!!"
Lantai dan tiang di sekeliling Lazu hancur terurai, pecahannya membentuk empat pedang khusus yang melayang berputar mengorbit pada Sang Raja. Bilah-bilah pedang itu menggesek udara dengan denging bergaung sebelum Ravelt mengangkat dagunya,
"Spadias!"
Memberi izin mereka untuk melaju bebas menggesek udara. Lazu pasti mati jika ia masih sama seperti dulu, namun kini tidaklah demikian.
"Sakrifar Momentis!!"
Kilau biru sejuk membuka teknik khusus Lazu, energi tubuh Matoi itu terfokus melonjakkan geraknya hingga berkali lipat kecepatan suara. Formasi empat pedang bergerak menggunting hendak memutus pinggang serta lehernya namun Si Matoi segera merunduk sambil berlari.
Terkepung barisan pedang terbang membentengi pemiliknya, Si Matoi terpaksa mundur, menjauh lagi dari Ravelt. Hanya saja laju keempat pedang terlalu ganas menerabas, membuat keringat dinginnya tak tertahan.
"Tidak bisa! Sudut kedua pedang terlalu curam dan percepatannya meningkat spontan! Aku harus mengganti arah!"
Maka Lazu menarik paksa batang tubuhnya ke belakang kala ia melaju menerjang Ravelt. Hingga empat pedang harus puas hanya menikam angin. Hawa panas udara kian membakar di atas leher Lazu yang tepat seinci di bawah papasan empat bilah maut, kedua lututnya menggesek lantai pelataran untuk makin merendahkan posisinya.
Lazu tak mampu mempertahankan posisi dan tersungkur. Namun ia lekas memanfaatkan benturan pada daratan, memantul jauhkan diri dari dua pedang lalu melompat panjang untuk menghantamkan tangan kuat-kuat ke wajah Ravelt.
Ketika itulah seringai beringas tersungging di mulut Si Raja Langit yang telah merapal kekuatan di atas prediksi.
"Accessa Divion!"
Aura dewa menyala emas, meningkatkan kekuatan Ravelt melampaui batas manusia. Dengan terlatih Ravelt menghilangkan selimut dimensi sepanjang lengannya lalu meninju dada Si Matoi hanya menggunakan lengan berselimut aura emas.
Tinju beraura membawa kekuatan terlampau tinggi membuat saraf Si Matoi terlambat menerjemahkan tingkat kerusakan tubuh. Sesaat kemudian, barulah udara berledakan dalam dada Lazu. Tubuhnya terpelanting menyeberangi pelataran hingga mematahkan dua buah tiang persegi berurutan. Dadanya tertembus sinar emas dan berlubang pecah seketika.
Aura emas terus menembus dada Lazu dan mendarat di sebuah tebing batu di belakang punggung Si Matoi. Dalam sekejap, dalam gemuruh luar biasa, tebing itu hancur menyerpih seolah tak pernah ada di sana sebelumnya.
"Lazu!!" Kilat berteriak ketakutan melihat pemandangan itu melalui sela tungkai raksasa batu. Dia ingin menerjang si rambut emas saat itu juga, namun sosok besar di hadapannya melepas hujan sisik cadas bagai rentet peluru yang bahkan tak memberinya kesempatan menyerang.
Ravelt dengan angkuh mengamati sosok biru yang tergeletak di tanah. Tatapan Lazu kosong. Tubuhnya tak bergerak barang sedikit. Sebuah lubang besar menganga dari dada hingga perutnya.
"Sudah mati...? Belum. Belum. Makhluk ini tak punya jantung. Hanya sekarat. Tubuhnya akan mati kering sebentar lagi. Bozul, berhenti. Biarkan dua makhluk kecil itu." Si rambut emas mengangkat tangannya dengan ringan. Si raksasa berhenti bergerak dan lenyap masuk ke dalam dimensi milik Si Raja Langit. Atas sinyal Carol, prajurit robotik pun berhenti.
"Kenapa...kau...apakah..."
"Aku berharap bisa bertemu lawan yang lumayan, setidaknya," Ravelt menghela napas, "Tapi ternyata kalian hanya kutu."
"Maksud...mu..."
"Pernahkah kalian punya binatang peliharaan?"
"...Apa yang kau bicarakan?"
"Jika patuh, kalian kuberi mainan. Jika berontak, bangkai kalian kusuapkan pada peliharaanku yang lain."
"Apa katamu...!!"
"Kalian berdua adalah koleksiku mulai sekarang."
"Aku akan menyelamatkan sahabatku meski harus menghancurkan seluru--"
"Tak ada artinya. Tutup mulutmu." tukas Si Aeonian tak peduli.
Kilat menarik napas dalam. Bilah katananya menghitam. Dia siap bertarung, meski entah berapa detik dia akan sanggup menahan kekuatan si rambut emas.
Namun Shu menenangkan gadis Altair itu.
"Shu. Sepanjang kita hidup.."
"Kau tak mengerti. Lazu adalah sahabatku. Siapa pun tak bis--"
"Aku mengerti. Aku pun pernah memiliki sahabat yang sama. Namun mati tak membuat kita dapat menolong teman kita. Sepanjang kita masih hidup...lihat si rambut emas itu. Lazu bahkan tak berharga baginya untuk dibunuh atau dikalahkan Sepanjang kau masih hidup...masih ada jalan. Untuk menolong Lazu pula, dan menolong diri kita sendiri, masih ada jalan."
Mengibaskan jubahnya, Ravelt menciptakan sebuah gelembung oranye terang yang membesar dan makin membesar membungkus tubuh Lazu, Kilat, Shu.
"Pengendalian ruang. Kalian akan menempati kabin khusus dalam dimensi penyimpanan koleksiku, Ruang Karun."
Dimensi oranye menyerap tubuh ketiga sosok itu, dan menghilang dari pandangan. Kini Si Raja Langit, memiliki mereka.
---
4 - Negosiasi
"Bangun!"
Mata Lazu terbuka lebar. Ia terbangunlah sepenuhnya. Tapi bersamaan dengan itu pula rasa sakit luar biasa seperti merobek-robek kepala dan seluruh tubuhnya. Tubuhnya yang cacat tak karuan, mengapung di dalam sebuah gelembung oranye. Si rambut emas dan sesosok humanoid bertato terlihat di hadapannya.
"Enshaka...Lamashtu!"
Widinghi mengamati dengan seksama. Udara mendadak bergelombang. Riak-riak menebar di udara sekeliling Lazu. Dan sesaat kemudian dari riak itu muncul serat-serat biru terang, serupa sulur-sulur tumbuhan yang merambati tubuh Lazu. Menelusup masuk ke koyakan menganga pada kepala, leher, dan bahunya.
Semua serat biru itu memadat memenuhi lubang dan celah luka Lazu bagai diadon. Lalu membentuk tubuh Lazu seperti sediakala. Bahkan lengannya pun kembali sempurna.
"Haaa...haaa...haaa..." Lazu pelan-pelan berusaha duduk di rerumputan. Sakit sekali. Enshaka Lamashtu adalah teknik khusus yang mampu melahirkan tubuh parasit di udara atau tempat lainnya yang pernah Lazu lewati.
Tubuh parasit dapat memakan tubuh lawan, atau pun menggantikan kerusakan pada tubuh Si Matoi dengan membentuk bagian-bagian tubuh yang baru. Namun bahkan Widinghi pun tahu bahwa, kesakitan dan kelelahan Lazu tak mungkin hilang secepat itu.
"Bagus. Dia dapat menyembuhkan diri sendiri." Ravelt berkomentar. "Berarti ini semua dapat dimulai."
"Lazuardi," sosok bertato memulai pembicaraan, "Namaku adalah Kolator Widinghi. Singkat saja, apakah kau adalah gerbang Khatea?"
"Di mana Kilat?!"
"Kilat?"
Kolator tak mengerti. Namun Ravelt tersenyum jumawa seraya mengibaskan tangan. Sebuah gelembung oranye lain muncul di udara, dan Kilat terduduk di dalamnya. Dia terduduk sambil menebaskan katana putihnya tanpa tenaga. Gadis itu sudah menghabiskan tenaga agar dapat keluar dari gelembung dimensi itu. Namun sia-sia juga usahanya.
"Kilat!"
"Lazu!"
"Hentikan tebasan pedangmu. Simpan tenaga!"
"Oh-hoo. Perhatian sekali," Ravelt mencibir melihat kecemasan yang menyesaki sorot mata Lazu, "Bila begitu, situasinya menjadi mudah. Kau akan mengatakan dengan jujur apa yang ditanyakan padamu. Kau akan mematuhi semua perintahku dan Widinghi, Si Tato ini."
"Lepaskan Kilat sekarang, keparat!" Lazu mengeluarkan cacian kosong. Meski ia bahkan sama sekali tak berdaya untuk menerobos selimut dimensi oranye.
"Atau gadis ini akan kukuliti pelan-pelan di hadapanmu."
Semua bantahan yang sudah siap meluncur dari mulut Si Matoi, seketika kembali tertelan.
"Kau boleh saja tidak sayang nyawa kecilmu sendiri. Namun tunduk karena melindungi sahabat? Ah, betapa klasiknya."
Mendengar hal itu Si Matoi langsung lemas. Kelemahan fatalnya sudah diketahui. Ravelt dapat melenyapkannya semudah mengambil kotoran telinga sendiri, tapi bukan berarti Lazu akan memberi apa yang dia inginkan, apa pun itu.
Namun bila leher Altair Kilatih yang digorok di depan matanya...
"Kilat adalah temanku juga," Shu menukas, "Sekuat apa pun kau, aku sudah lelah ditindas selama hidup. Aku akan melawanmu."
"Bodoh sekali, Kutu. Aku melakukan ini untukmu juga."
"Kau harus ikut bersama kami, Noumi Shu." kini giliran Carol yang berbicara.
"Apa? Kami?" Shu menatap Widinghi, Carol, dan Ravelt bergantian.
"Karena kau adalah teman Kilat. Kilat takkan macam-macam selama kau ada di tangan kami."
"...Apa maumu?" Lazu akhirnya menyela.
Ravelt yang menjawab, "Duniaku, dimensiku, jagat raya asalku, telah hancur bahkan sebelum aku mati. Aku akan mengembalikannya seperti sedia kala. Dan kau akan menjadi mediumnya. Sudah cukup bermoralkah itu untukmu, Kutu?"
---
5 - Kilas Balik (Sebelum Nanthara)
Akasha. Tempat yang pernah ditinggali oleh para dewa. Ravelt telah berhasil mencegah kehancuran dunianya. Namun sebuah lubang dimensi berenergi kegelapan mendenyar-denyar dari ketiadaan. Sesosok humanoid bertato muncul dari kekacauan gelap itu. Di belakangnya ada gadis kecil berambut karamel yang sibuk membaca sebuah buku.
"Ravelt Tardigarde, Si Raja Langit."
"Siapa kalian"
"Kami berdua adalah salah satu yang akan hancur bila kau mati."
"Bicara apa kau?"
"Lubang dimensi ini adalah hasil perbuatanmu sendiri. Akasha adalah alam yang kerangka keberadaannya dibangun oleh energi para dewa. Ketika kau merampas semua kekuatan itu untuk dirimu sendiri tanpa menyisakannya untuk menjaga kestabilan Akasha, apakah begitu mengherankan ketika alam ini akan hancur dengan sendirinya?"
"Maksudmu...ini semua karena aku menyerap kekuatan para dewa!?"
"Dan kini terlambat. Kerusakan dimensi telah terlalu berat untuk dikembalikan. Kau tak pantas menyandang kekuatan aura emas itu."
"Bagaimana dengan planetku, Eterna?"
"Pertanyaan idiot."
"Kau...!!"
"Kebodohanmu sangat menggelikan." Gadis berambut karamel menimpali sebelum diam kembali.
"Apa maksudmu...tak mungkin...Aku mampu membuat portal...aku masih bisa pulang ke Eterna."
"Silahkan."
"Kenapa...kenapa portal ini buntu!?"
"Eterna disokong oleh hukum alam dari Akasha! Jika hukum penyokongnya hancur, kau pikir sekarang planetmu masih ada?"
"Jadi...dengan kekuatan ini...aku telah menghancurkan semua yang kusayangi...!?"
"Ada jalan keluar, sebenarnya."
"...Maka katakan padaku. Tunjukkan padaku jalan keluar itu, atau kau akan mati."
"Jangan mengancam. Kami mungkin takkan menang melawanmu, namun membunuh kami akan membuat jalan keluar itu selamanya takkan kau ketahui."
"Siapa kalian"
"Namaku adalah Kolator Widinghi. Widinghi memiliki kemampuan bernama Solimaril. Kemampuan ini adalah melepas tubuh astral untuk memantau kejadian pada planet atau dimensi lain."
"Lalu?"
"Mengamati kehidupan lain di tempat yang tak terjangkau, tak ubahnya menonton opera atau drama, namun pada skala yang jauh lebih besar. Karena Widinghi dapat menjelajah tanpa batas. Tak ada dinding atau kehampaan udara yang mampu mengurung tubuh astralku. Solimaril telah menjadi candu."
"Apa akibat kecanduan itu?"
"Widinghi mengabaikan sumpah sebagai Bushvallha, penjaga keseimbangan dunia. Lalu dicopot dari jabatan sebagai penjaga tertinggi alam Farum."
"Apa hubungannya dengan Eterna dan Akasha?"
"Saat menelusuri kehampaan jagat, pandangan Widinghi terbentur pada seorang gadis dari sebuah perpustakaan antar dimensi. Solimaril juga mengizinkan Widinghi membaca energi dari dunia dan alam. Harusnya, tak ada dua makhluk di dunia ini yang memiliki jenis energi persis sama."
"Tapi?"
"Yang membuat kaget adalah, ternyata Widinghi menemukan tiga orang yang memiliki jenis energi yang saling terhubung. Yang pertama adalah kau, Ravelt. Yang kedua adalah Widinghi sendiri."
"Kau?"
"Yang ketiga adalah manusia perempuan di samping Widinghi ini, namanya Carol Lidell. Widinghi sudah menjemputnya secara langsung."
"Namun kami butuh bantuanmu."
"Untuk apa kalian membutuhkanku? Adalah duniaku yang telah hancur, bukan duniamu."
"Bayangkan tiga kartu domino yang dihubungkan oleh ikatan benang. Jika ada yang menarik benang di satu kartu sehingga kartu itu terjatuh ke belakang, apa yang terjadi dengan dua kartu lain yang juga terikat oleh benang?"
"Ikut jatuh ke belakang."
"Begitu juga dunia kami, yang akan hancur bila kehancuran duniamu ini tak juga diperbaiki."
"Ada cara. Tubuh astral Widinghi telah mengembara ke titik terbatas di masa depan. Kita semua akan mati dan akan dikumpulkan di sebuah turnamen. Sebuah perang dunia arwah. Betapa pun kuatnya dirimu, Ravelt Widinghi, tak ada yang tahu pasti ke mana alur waktu akan membawa kita semua."
"Kau ingin kita sepakat untuk saling bekerjasama di perang dunia arwah itu? Untuk apa?"
"Ada bisikan-bisikan dari lapis astral tinggi. Bahwa ada satu makhluk yang dipaksa mengikuti perang dunia arwah itu, yang memiliki sebuah Gerbang Dimensi Terlarang dalam tubuhnya. Gerbang yang dapat mengantarkan apa pun atau siapa pun menuju tempat-tempat absurd, semesta-semesta yang tak bisa dicapai dengan cara apa pun."
"Gerbang Dimensi Terlarang dalam tubuh satu makhluk?"
"Gerbang Khatea."
---
6 - Kesepakatan
Noumi Shu terdiam sejenak. Tiga makhluk di hadapannya ternyata memiliki tujuan yang sama.
"Jadi...energi kalian terhubung? Dan tiga benang astral ini ternyata memiliki satu pangkal yang sama, menyatu di luar dimensi masing-masing kita?"
"Benar. Maka itulah kami tak boleh saling melukai atau merugikan dalam aspek apa pun. Karena kami tidak tahu apa akibatnya terhadap keseimbangan medan energi yang melibatkan bukan hanya kita berempat, namun empat dunia kita pula."
"Tapi kau bilang, hubungan tiga benang energi memiliki satu pangkal yang sama dan menyatu. Apa maksudnya?"
"Aku pun masih menduga-duga. Menurutmu, apa persamaan antara kami bertiga?"
"Mustahil ada persamaan antara diriku dengan kutu-kutu seperti kalian."
"Aku wanita sendiri di sini. Berarti persamaan kita bukan jenis kelamin."
"Widinghi tak memiliki keluarga. Widinghi tak tahu kapan, di mana Widinghi dilahirkan. Widinghi tak ingat masa kecil Widinghi."
"...Aku juga."
"Kau juga, Ganteng? Sama sepertiku..."
Mereka bertiga terdiam. Mencerna apa yang baru saja terungkap dari pengakuan masing-masing.
"Kita semua tak punya keluarga, dan tak ingat masa kecil? Apa-apaan ini?"
"Sepertinya semua faktor ini berarti...bahwa kemampuan kita, tubuh bahkan jiwa kita, berasal bukan dari kita sendiri. Namun dari sebentuk keberadaan lain yang berada dalam tingkatan dimensi yang lebih tinggi."
"Sumber dari penyatuan benang energi kehidupan kita dan planet kita. Semacam dewa yang menciptakan kita bertiga. Itu kan maksudmu?"
"Apakah jangan-jangan...kalian memang tak pernah punya masa kecil?"
"Tak pernah punya? Kau ini bicara apa, Kutu?"
"Tidak, yang Noumi Shu katakan, cukup masuk akal. Mungkin...kita tak pernah dilahirkan secara biologis dari seorang ibu atau orangtua."
"Kau mau bilang bahwa saat muncul di dunia, umur kita langsung mencapai umur remaja atau dewasa?""
"Ya. Dan bukan hanya itu. Aku menduga bahwa sumber energi superior itu...menciptakan kita. Tanpa melalui garis keturunan."
---
"Kau...serius dengan dugaan ini?"
"Ada ribuan kemungkinan lain, namun berdasarkan apa yang Widinghi ketahui dari dunia astral, ini adalah salah satu yang paling logis."
"Berarti bagaimana? Si Ganteng Ravelt bilang, dia ingin memulihkan dunianya. Dimensinya yang telah hancur. Bagaimana cara memulihkan sesuatu yang sudah lenyap? Itu tak terpulihkan."
"Maka itulah kita membutuhkan penciptaan. Keberadaan superior yang kita cari akan dapat mewujudkan itu."
"Aku bisa mewujudkan sesuatu. Kejadian, tokoh."
"Untuk jangka waktu dan skala yang amat terbatas, Kutu."
"Bagaimana kau tahu?"
"Bila kau dapat menciptakan secara permanen dan bebas, bahkan aku tak butuh kemampuan astral untuk mengenali energi sebesar itu."
"Jadi kita di sini untuk membantu Ravelt? Si Aeonian, Si Raja Langit, memerlukan bantuan?"
"Bahkan pria berjuluk Raja Langit pun memiliki batasannya. Perlu kalian semua ingat, bila dunia Ravelt hancur, bila Ravelt hancur, akan terjadi ketimpangan energi astral empat dimensi. Kita dan dunia kita semua bisa saja langsung lenyap, atau berubah menjadi ikan trout, atau protozoa."
"Itu...bombastis. Aku sedang membayangkan bahwa jika si rambut emas ini meninggal, tiba-tiba aku langsung berubah menjadi bakso ikan, nasi padang atau semacamnya."
"Kutu. Kalian memang ditakdirkan untuk memberikan hidup kalian untuk kejayaanku seorang."
"Oh derita. Baiklah. Baiklah.. Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Menemukan sumber energi yang telah menciptakan kita. Sang dewa."
"Untuk apa? Ah, aku tahu. Menciptakan ulang dunia Ravelt, atau memutus penyatuan energi astral tanpa merusak keseimbangan blablabla, sehingga kita tak perlu repot setiap kali Raja Langit menghancurkan dunianya sendiri."
"Tidak akan semudah itu. Kita bahkan tak tahu keberadaan superior ini seperti apa. Makhluk hidup atau benda mati. Yang lebih penting, bersedia memenuhi permintaan kita atau tidak."
"Bila tak bersedia, kita hancurkan saja sumber energi itu."
"Kau pikir keberadaan yang sanggup menciptakan ulang sekian dimensi dan sekian alam semesta dengan mudah, tak sanggup melenyapkannya semudah itu pula? Kau pikir kita mampu melawan keberadaan yang menjadi sumber energi kita sendiri?"
"Aku sudah pernah membunuh para dewa."
"Berarti mereka yang kau bunuh bukanlah dewa."
"Masuk akal. Tapi benda atau hal apa itu, yang menjadi sumber energi tersebut?"
"Itu yang akan kita cari tahu dari pemilik Gerbang Khatea."
---
7 - Altair Kilatih
"Aku ingin kau membangkitkan Gerbang, Khatea dalam dirimu agar kami bisa mencapai Sang Sumber. Dewa yang telah menciptakan kamu dan dunia kami."
"Aku tak tahu caranya."
"Jadi, Kutu, kau tidak menyangkal bahwa kau memang memiliki Gerbang Khatea?" Ravelt menyela.
"...Ya. Aku menyerap Gerbang agar memiliki cukup daya untuk dapat lahir ke dunia."
"Widinghi. Apa itu Gerbang Khatea?"
"Sebuah artifak dengan energi mustahil." Sang Bushvallha menjawab.
"Kutu ini terlalu lemah untuk dikatakan memiliki artifak berenergi mustahil dalam dirinya."
"Di dalam dirinya, Gerbang Khatea tertidur abadi. Raja Langit, aku mampu membaca energi. Aku tahu bahwa energimu jauh di atasku. Namun energi yang tertidur dalam tubuh makhluk biru kecil ini..."
"Bila demikian, kutu ini hanya belum bisa membangunkan energi itu?"
"Takkan pernah bisa. Kau dan aku pun tak bisa dan tak perlu melakukannya. Yang perlu kita lakukan adalah mencari di mana Gerbang itu tertidur dalam dirinya. Dan memasukkan jiwa kita ke dalamnya. Tubuh kita akan mengikuti."
"Berarti lebih sederhana. Gunakan tubuh astralmu." tukas Ravelt.
Carol bersiul. Widinghi pun tampak terpana dengan ide itu.
"...Sungguh tak terpikirkan. Perkataanmu benar, Raja Langit."
Ravelt menoleh pada Lazu, "Kau dengar itu, Kutu."
"Kau yang dengar!!" Lazu tiba-tiba balas membentak, "Kau membutuhkanku untuk membuka Gerbang Khatea? Lepaskan sahabatku!"
"Kau mengira kau punya pilihan?" Ravelt memunculkan dimensi oranye yang mengurung Kilat. Dimensi itu mengerut menekan tulang-tulang Kilat sehingga menimbulkan suara berderak.
"Kau kira kau punya pilihan kalau aku bunuh diri ?" Lazu meludahkan kata-kata itu.
"Raja Langit! Hentikan!" untuk pertama kali dalam hidupnya, Widinghi berteriak.
Si Aeonian pun terpaku. Sejenak masih ingin menekankan bahwa posisinya masih di atas angin bahkan dalam negosiasi. Namun ada nyala api dalam mata Lazu. Mata yang tanpa ragu akan melakukan apa pun untuk menjaga prinsipnya sendiri, sehingga kematian pun terlihat enteng di matanya.
"Bagaimana jika aku membunuh diriku, Ravelt Tardigarde?" Si Matoi mengulangnya, "Apa kau dan alam semestamu yang perkasa itu punya harapan untuk pulih kembali?"
Sebuah kesalahan fatal bagi mereka untuk memberi keterangan yang sebenarnya pada Lazu. Si Matoi dengan instan melihat bahwa dirinya adalah kunci yang paling vital untuk tercapainya tujuan besar dan keselamatan mereka.
Selubung dimensi oranye melebar. Sebuah lubang mengizinkan Kilat keluar dari penjara ruang itu. Gadis Altair itu berdiri susah-payah mengumpulkan tenaga.
"Terima kasih...Lazu..."
"Kau jadi terlibat dalam urusanku, Kilat. Maafkan."
Kilat menepuk bahu sahabatnya itu. Kulit mereka bersentuhan sesaat. Keringat gadis itu terasa hangat dan mulai mengering.
Lazu tersentak.
"Kilat. Kau berkeringat. Bukankah metabolisme panas tubuhmu telah termodifikasi sehingga mencapai tingkat efisiensi di mana kau tak perlu berkeringat?"
Kilat tertegun. "Benar juga. Pantas aku lebih cepat lelah dibanding biasa. Kenapa ya?"
Sosok besar Widinghi mendatangi mereka. Dia menghadapkan wajahnya ke arah Kilat berlama-lama meski memakai penutup mata. Lalu sebelum Lazu atau Kilat siap dengan apa yang terjadi--
--Widinghi menarik sebuah lengan Kilat sampai putus!
"Widinghi!"
"A-apa maksudmu!!"
"Lazuardi! Lihatlah! Lihatlah sahabatmu! Lihatlah Altair Kilatih!"
Si Matoi bagaikan tersambar petir. Dari potongan lengan serta bahu itu tak ada darah, daging atau tulang . Bahkan tak tampak mesin atau komponen nanotek yang mestinya menyusun tubuh Kilatih.
Yang tampak adalah serabut-serabut kelapa dan tumpukan jerami menyembul dan berjatuhan ke lantai.
Seluruh jeroan dan isi tubuh Kilatih telah digantikan oleh serabut dan jerami.
"Lazu...Lazu...apa yang terjadi..." Kilat berbisik dengan wajah memucat penuh ketakutan. "Aku...tubuhku...kenapa..."
---
"Pantaslah Widinghi tak merasakan adanya spirit dalam dirimu," Si Bushvallha berujar.
Lazu menatap Kilat dengan ngeri. Tenggorokannya kelu dan analisisnya menumpul. "Apa...yang terjadi...Kilat! Kau kenapa?!"
"Aku tak tahu, Lazu!!"
"Mungkin kita bisa bertanya pada orang yang mengatur sistem Nanthara," Carol menengahi. "Nolan Collard Fambrough."
Dengan kalimat itu, mendadak muncul pria berkacamata yang tadi sempat menjumpai dan memberi instruksi pada seluruh petarung Thurqk. Dia adalah Nolan. Kemampuan Lisan Emas Carol bahkan mampu memanggilnya ke tempat ini.
"Aduduh! Kenapa aku ada di sini? Pemindaian lokasi ruang kristal jiwa harus segera dilaksana--"
"Kau, manusia berkacamata!" Lazu menggenggam lengan Nolan seketika, panik sekaligus marah luar biasa, "Apa yang terjadi dengan Altair Kilatih! Katakan yang jujur atau tubuhmu akan kumakan!"
"...Apa? Ti-tidak! Jangan makan aku! Kau parasit Matoi itu kan! To-tolong lepaskan!"
"Cepat bicara!"
---
"Pada pertempuran melawan Sjena Reinhilde...Altair Kilatih sudah meninggal. Kau terkena perlambatan waktu dan ditikam sampai mati oleh prajurit bayangan milik Sjena." Nolan mengatakan itu lalu berhenti sejenak sambil menatap wajah Kilat. Membiarkan gadis itu mencerna kata-katanya.
"Lalu aku ini apa, Nolan?!" gadis Altair menjerit, "Kenapa aku masih ada?"
"Aku menyusun ulang data fisik, sifat dan kepribadianmu berdasarkan dokumentasi sepanjang perjalananmu di Nanthara ini. Aku memasukkan semua data itu ke dalam salah satu boneka Voodoo milik Abigail Grey. Dan..."
"Dan itulah aku yang sekarang ini." Kilat menunduk.
"Ada cara untuk memulihkan dirimu seperti awalnya. Jiwa ditukar jiwa."
"...Aku harus membunuh?"
"Ya. Dengan energi jiwa yang dimasukkan ke cangkang Voodoo, struktur tubuh aslimu bisa pulih kembali."
"Siapa yang harus kubunuh?"
"Makhluk yang energi jiwanya paling dekat denganmu. Siapa saja yang secara emosional paling dekat denganmu, di Nanthara ini."
"Bukankah itu artinya..." Kilat pun menoleh pada sosok kecil itu. Sosok yang sesuai deskripsi Nolan. "Lazu?"
Lazu mengangguk. "Bila memang bisa memulihkanmu, Kilat, kenapa tidak?"
"Nolan. Kau tak mengatakan hal ini sejak awal. Kenapa kau tak mengatakan hal ini sejak awal?" Kilat mengepalkan tangannya yang bergetar hebat dan menggigit bibirnya.
"Aku...tak bisa. Bagaimana aku bisa mengatakan hal menyakitkan seperti ini padamu?!" Nolan balik bertanya.
Maka Kilat pun tak lagi bicara. Dia memeluk Lazu sekuat-kuatnya. Semua di sana terenyuh saat dua sahabat itu tak saling berkata. Hanya menangis.
---
"Lenyapkan aku." Kilat berkata. "Aku tak ingin kehidupan dan memori palsu ini. Jika aku bukan Kilat yang asli, beri aku kehormatan untuk mati."
Kata-kata Nolan, kata-kata Kilat, terngiang-ngiang dalam benak Lazu. Si Matoi tak bisa bicara, tak tahu harus bagaimana.
"Karena sahabat bukan berarti harus bersama. Namun sahabat adalah...saling mendukung dan mengingatkan dalam apa yang baik."
Serasa sangat lama sebelum Nolan mengangguk. "Baiklah."
---
Nolan mengeksekusi program tertentu pada laptop yang dia bawa. Setelah semuanya siap, pria berkacamata itu hanya berkata, "Kilat. Kau siap?"
Kilat mengangguk.
Nolan menekan tombol enter. Lazuardi menatap lekat sahabatnya. Matanya basah berkaca, namun ia terus menatap. Gadis Altair menatap balik dan berkata,
"Hei, Laz. Bakal kangen, nggak, sama aku?"
Meski terisak-isak, meski hatinya serasa tersayat, Lazu tak mampu menahan senyumnya.
---
Tumpukan serabut kelapa dan jerami tergeletak di lantai. Itulah sisa dari Altair Kilatih. Nolan melakukan serangkaian program lagi di laptopnya dan tumpukan itu pun lenyap.
Lisan Emas milik Carol mencapai batas waktu pemanggilannya. Nolan membungkuk canggung pada Lazu, sebagai permintaan maaf. Lazu membuang muka.
Nolan berujar, "Sistem buatanku hanya melibatkan Kilat. Ravelt, Kolator Widinghi, Carol, Shu, mereka bukan bagian sistemku. Mereja semestinya sudah mati. Namun ada sesuatu yang menciptakan mereka kembali. Dan dia bukan Thurqk. Karena Thurqk bukanlah pencipta."
Nolan pun menghela napas, "Semoga kalian semua mendapat sesuatu yang bermanfaat dalam perjalanan kalian. Bila sudah selesai, kutunggu kalian di balik lorong ini."
Ketika Lazu menoleh kembali, Nolan sudah menghilang. Mungkin sudah kembali di ruang kendali pusat Nanthara. Mungkin sudah melaksanakan sistem ini dan itu.
Lazu tak peduli.
---
"Lazuardi. Kau kehilangan satu sahabatmu." Widinghi akhirnya berkata, "Menurutmu bagaimana perasaan Ravelt yang telah kehilangan seluruh dunianya?"
Si Matoi melirik perlahan pada Si Raja Langit. Wajah tampan itu angkuh seperti biasa. Tapi jika Ravelt telah kehilangan dunia bahkan semesta asalnya, maka ekspresi itu tak lain hanya topeng yang dipakainya untuk menyembunyikan airmata yang tak rela dia teteskan.
Maka apakah yang Lazu sanggup lakukan?
Mungkin, menyelamatkan adalah lebih baik. Meski hati ini remuk terasa oleh Lazu. Maka Si Matoi pun berkata,
"Gerbang Khatea akan mengantar kalian."
Wajah-wajah di hadapannya berubah. Ada kelegaan yang menyelimutinya. Dan kelegaan itu sedikit meringankan apa yang baru saja dia lewati. Meski sedikit.
---
8 - Menuju Al Fata
Widinghi menggumamkan mantra khusus. Ulu hati Ravelt, Carol, Shu, disentuhnya dengan jari. Tato tribal di seluruh tubuhnya bergerak-gerak bagai gerombolan cacing. Lazu bergidik melihatnya.
Tak perlu menunggu lama, sebuah bola asap kebiruan melayang keluar dari tubuh Widinghi. Dari ulu hati Ravelt pun melayang bola berwarna emas. Bola hijau dari Carol dan bola hitam dari Shu Lazu menebak bahwa metode tadi telah mengizinkan Widinghi mengirim roh serta kesadaran diri mereka dalam bentuk empat bola tersebut.
Keempat bola melayang dan masuk ke daerah ulu hati Lazu. Kemudian Si Matoi merasakan mual yang amat sangat. Seluruh dataran berubah warna dan langit seperti mencair saat Lazu dapat melihat tubuhnya sendiri sedang berdiri tegak dalam gelembung oranye.
Aku...ada di luar tubuhku sendiri?
Kemudian Lazu terhisap masuk ke dalam jasad Matoi. Pori-pori biru membesar dan Lazu memasuki pembuluh internalnya sendiri. Tak ubahnya terbawa dalam aliran darah menyusuri arteri, Lazu berenang dalam cabang-cabang aliran tubuhnya. Ia melihat empat bola spirit sedang mengikuti di belakangnya.
Sebuah objek berbentuk telur menyambut mereka. Permukaannya dihiasi gliph rumit namun menyejukkan.
"Gerbang yang tertidur," suara Widinghi menggema, "Masuk ke sana. Lazuardi, konsentrasikan sugesti dan pemikiranmu. Rasakan jalur energi dari keempat bola spirit. Temukan penyatuannya. Temukan pusatnya. Antarkan kami ke sana."
"Ingat, Kutu. Keselamatan Noumi Shu, teman Altair Kilatih, kini tergantung padamu."
Lazu meresapi rasa dari keempat spirit. Sebuah jalur biru terang membentuk tangga selaksa warna jauh ke atas dunia metafisik. Ia hanya perlu mendaki. Dan semua makin cepat, berpindah makin cepat dan menghablur.
---
9 - Masa Silam Biru
Dataran itu membentang tanpa batas. Permukaannya berkilau biru renta, siapa menatapnya terlalu lama niscaya akan tenggelam ke dalamnya. Langit pucat pasi bagaikan naungan yang dapat runtuh sewaktu-waktu.
Jutaan patung melayang di atas langit. Permukaan tiap patung diselimuti huruf-huruf bersinar, huruf bahasa satu patung berbeda dengan patung lain. Konon menyentuh satu patung akan masuk dalam memori dan sejarah miliaran dunia. Baik itu dunia alam nyata atau hasil rekaan.
Inilah Al Fata. Pustaka Takdir.
Kalian akhirnya sampai. Para representasi jiwaku. Aku telah menunggu kalian.
Noumi Shu. Kau bukan representasi jiwaku. Namun untuk alasan tertentu, aku memang mengundangmu ke sini.
Dan Matoi, Lazuardi. Sudah sampai mana perjalanan kamu, Lazu?
Suara itu memenuhi dataran tak berbatas. Suara yang bahkan menggoyahkan keberanian Ravelt Tardigarde dan Kolator Widinghi. Suara yang selalu lekat dalam ingatan Lazu.
"Safirem !!!"
---
Waktu berhenti. Semua adalah cahaya. Tak ada siapa pun. Di hadapan Lazu hanya Safirem. Rambut biru itu. Mata yang sejuk itu. Dan senyum yang seperti kebahagiaan itu sendiri. Lazu ingin memeluknya. Namun Puteri Kejora terlebih dahulu berbicara, suaranya bergetar oleh kerinduan.
"Dulu ada seorang gadis kecil di Aspemina. Gadis itu terkena sejenis tumor yang tak tersembuhkan."
"Kau tahu tentang Aspemina...?"
"Mathula, sang fitoplankton jenius, mengetahui bahwa gadis kecil itu memiliki kecintaan yang dalam terhadap ilmu pengetahuan di seluruh alam. Bahkan Mathula menyadari bahwa jika dididik dengan baik, kecerdasan gadis itu akan melebihinya."
Lazu tersentak ingat, "Ibu...pada masa kecilku...aku ingat bahwa Ibu sering pergi setiap pagi hingga sore, dan malamnya bercerita padaku dengan gembira...tentang seorang anak gadis..."
"Maka suatu hari, Mathula meminta izin pada anak semata wayangnya..."
"Itu aku! Ya...Ibu memang sempat meminta izin padaku untuk...mentransplantasi sebagian komponen tubuh parasitku...untuk dimasukkan ke dalam tubuh anak kecil itu..."
"Bukan sembarang komponen parasit. Nyonya Mathula melakukan kesalahan perhitungan hingga justru mengekstrak dari dirimu, energi tersembunyi Gerbang Khatea. Energi itulah yang kemudian diberikan pada sang gadis."
"Apa? Bagaimana kau tahu semua ini?"
"Gadis itu bukan hanya selamat. Dia berubah. Tubuhnya menjadi sebuah sirkuit superdimensi yang menyalin seluruh pengetahuan di seantero multisemesta."
"Apa...? Itu semua karena diekstraknya energi dariku?"
"Gadis itu sendirian dan kebingungan mendapati dirinya yang baru. Ketakutan melandanya. Dia tak bisa kembali ke Aspemina. Tak ada semesta yang sanggup menampung keberadaannya kecuali semesta itu akan lebur."
"Maka gadis itu akan selamanya sendiri?"
"Gadis itu kesepian di luar ruang waktu. Dia mengorbankan tubuh dan kekuatannya untuk membagi jiwanya. Menciptakan tiga makhluk sebagai wadah pecahan jiwanya. Representasi dan wadah sifat utama pada dirinya. Menghapus memori mereka tentang siapa diri mereka sebenarnya. Menempatkan mereka dalam tiga semesta ciptaannya pula, dengan makhluk-makhluknya."
"Untuk apa?"
"Menjalani hidup sepertu makhluk lain. Dengan mencipta, sang gadis merasukkan persepsi indera miliknya kedalam tiga pecahan jiwa. Dia melihat, mendengar, merasakan dunia yang mereka rasa. Namun diri asli sang gadis sendiri tak bisa dibilang hidup. Dia masuk ke zona bawah sadar di mana dirinya menyaksikan semesta-semesta melalui ciptaannya. Dia bisa menghidupkan diri sejati dan kekuatannya kembali. Namun itu akan melenyapkan ketiga pecahan jiwanya."
"Berarti apa yang dia pilih? Hidup sebagai dirinya sendiri atau sebagai tiga pecahan jiwa?"
"Pilihan kedua, tentu saja. Dia kesepian. Tak apa baginya untuk tak mengendalikan tubuh dan kemauan ketiga pecahan jiwa tersebut, tak apa baginya untuk sekedar menjadi penonton drama kehidupan mereka bertiga dari balik layar. Karena jika dia mulai mengendalikan para pecahan jiwanya, dia tak bisa hanya mengendalikan para pecahan jiwanya. Dia akan mengendalikan mereka semua dan dunianya sekaligus."
"Dan dia tak menginginkan itu? Kekuasaan maha dahsyat yang memang merupakan bagian dirinya?'
"Tidak. Dia ingin berinteraksi dengan dunia yang tak dikendalikan. Dunia yang bebas, disebutnya."
"Seperti tidur dan menciptakan mimpi dan dunia dari alam bawah sadarmu sendiri, namun tak ingin bangun. Karena jika bangun maka semua mimpi akan menghilang ke dalam dirimu?"
"Seperti itu. Hanya saja mimpimu menjadi nyata dan kau bisa mengendalikannya kapan pun kau mau. Dan si gadis tak ingin mengendalikannya."
"Maka, siapa ketiga pecahan jiwa itu?"
"Puteri Penciptaan, Carol Lidell. Magus Perubahan, Kolator Widinghi. Ksatria Kekuatan, Ravelt Tardigarde. Semua adalah pecahan jiwa sang gadis. Maka mati atau lenyap berapa kali pun mereka, sepanjang sang gadis menginginkan, mereka dapat diciptakan kembali."
"Kau tak menyebutkan identitas gadis itu sendiri."
"Inti sejati dari sang gadis adalah dasar dan sumber bagi semua pecahan jiwa yang lain. Yang mana seluruh pengetahuan multisemesta tersimpan dalam memorinya. Namun dia hanya punya pengetahuan. Kekuatannya dipegang oleh tiga tubuhnya yang lain. Namun dirinya adalah..."
"Al Fata. Perpustakaan Takdir."
"Kau benar. Meski, tak seluruhnya. Tubuh inti sejati ini punya banyak gelar, tergantung kebudayaan semesta mana yang sempat menyentuhnya. Para penyihir dan ksatria semesta menamainya Akasha. Para pecinta ilmu pengetahuan dan pustakawan dimensi menyebutnya Perpustakaan Takdir. Namun itu hanya setitik kecil dari dirinya yang sebenarnya."
"Dan dengan nama apa aku harus menyebut inti sejati ini?"
"Dengan nama aslinya, Lazu yang Baik Hati. Dengan nama yang dia merindukan dirimu untuk memanggil dirinya: Safirem."
---
10 - Setelah Kehilangan
Lazu mendapati dirinya kembali di dataran tanpa batas. Gunung-gunung kristal terlihat di kejauhan, entah sebesar apa ukuran aslinya. Keempat petarung menatap Lazu.
"Kau tadi hilang ke mana?"
"Aku takkan membiarkan kalian mendapat apa yang kalian inginkan."
Kata-kata Lazu membuat suasana hening seketika.
"Sumber energi kalian bertiga adalah seorang gadis yang sedang tertidur dan bermimpi. Dengan seluruh semesta kalian sebagai mimpinya."
"...Apa yang kau bicarakan?"
"Dia takkan mengabulkan permintaan kalian, kecuali aku mengizinkan hal itu."
"Dan kenapa kau tak mengizinkannya?"
"Aku ingin gadis itu terbangun dari tidurnya. Dia tak perlu lagi bermimpi. Bila dia terbangun, kalian akan lenyap. Juga semesta kalian masing-masing."
"Kau akan mengorbankan tiga semesta untuk membangunkan seorang gadis?"
"Gadis itu tak perlu lagi bermimpi. Aku akan mengajaknya melihat dunia. Karena aku telah kehilangan sahabatku. Aku tak akan kehilangan yang satu ini."
"Kau akan mengorbankan tiga semesta untuk membangunkan seorang gadis?" Carol mengulang pertanyaannya.
Sorot mata Lazu tak lagi sama. Itu bukanlah Lazu yang penuh pertimbangan atas perasaan orang lain. Sebuah kekelaman mulai memenuhi dirinya. Ia akan membangunkan Safirem dan mereka akan melanglang buana bersama. Meski keberadaan Safirem akan menghancurkan tiap alam semesta yang mereka lewati. Ia tak peduli.
"Aku ingin bersamanya. Kalian tidak penting. Maka tidak apa bila semesta-semesta harus lenyap."
Ravelt mendongak dan tertawa lepas sekali. Lalu Aeonian itu menyibakkan jubah merahnya, memunculkan portal dimensi dan berjalan masuk ke dalamnya. Tak lupa dia berkata acuh tak acuh pada Lazu, "Bangunkan aku, kalau kau sendiri sudah selesai bermimpi, Kutu."
Widinghi terdiam. Kakinya pun tak beranjak dari tempatnya berdiri. Noumi Shu diam seribu bahasa dan menyingkir. Pemuda itu bertanya-tanya akan tujuannya di tempat ini.
Tinggal Carol yang menatap dingin dan berucap,
"Kau tak merasa terlalu lemah untuk mengucapkan hal gila seperti itu? Lisan Emas: Rajair!"
Untuk membuka panggung perang besar.
---
11 - Lisan Emas dan Rajair
Itulah Lisan Emas, daya kuasa Carol yang mampu mewujudkan apa pun yang dibaca oleh pemiliknya. Suara menderu-deru dari atas membuat Lazu menengadah. Sebuah meteor seukuran istana turun menukik menuju daratan biru dengan daya berat luar biasa.
Saat meteor itu membentur dataran biru, gelombang tekanan pun menghempas dengan sangat keras. Bebatuan biru hancur seolah gempa besar melanda. Lazu kehilangan pijakan bahkan terlempar-lempar hingga membentur bebatuan terjal dari patahan daratan.
Namun itu belum apa-apa, karena kemudian meteor itu bagai mengelupas dan merekah. Bukan seperti bunga namun justru mengembangkan sayap.
Sepasang sayap yang mampu meliputi panjang puluhan kereta kuda. Paruh tajam dan sorot mata yang siap membantai. Lazu sontak gugup saat meteor itu berubah menjadi elang tembaga hidup sebesar istana.
"Rajair! Makhluk biru itulah buruanmu!" seru Carol melengking tajam. Dengan kibasan sayap Rajair yang begitu kuat, dua buah angin puyuh besar terbentuk dan menggulung ke arah Lazu. Bebatuan terangkat arus angin berdesir memekakkan.
Si Matoi panik luar biasa. Tambahan lagi kini sang elang raksasa mengepak dahsyat di atas tubuhnya bagai pembawa bencana.
Lazu tak mau mati konyol dan lekas menghitung hukum fisika yang bekerjasama untuk menimpanya.
"Dua badai sirkuler dengan kekuatan angin rata-rata 7 di perifernya dan makin bertambah ke pusat secara logaritmik spiral!" Si Matoi berseru dan melompat tinggi. Dua belas lempeng batu karang tajam melintas dengan kecepatan tinggi dan dari bawah bebatuan biru terlonjakkan angin bagai hujan meteor dengan arah terbalik.
Wajahnya perih tersayat angin. Kerikil dan debu berlesakan di mata. Sebuah batu seukuran kerbau dewasa menuju kepala! Lazu miringkan tubuh ikuti gelombang angin bercabang. Lengannya terhantam rentetan batu sekepal tangaan, lebih cepat dari peluru. Tiga jarinya putus saat tubuhnya terpelanting. Angin ribut berubah arah tanpa mendengarkan teriaknya yang makin menjadi.
"Kepak sayap!" Lazu memejamkan mata untuk memusatkan pendengaran dan indera perasa. Kiri. Atas. Pasti atas. Selalu atas. Kebiasaan burung pemangsa. Lazu memvisualisasi jarak rentang antar sayap elang seiring pergerakan dan titik tengahnya.
Sayap raksasa berayun dengan bunyi mengguntur dan angin seakan memadat dibuatnya. Lazu memposisikan tubuh lurus-lurus memaksimalkan bantuan gravitasi.
"Bulu-bulu pangkal sayap tembaga memiliki kerapatan dengan celah antara yang seukuran butir nasi. Kemungkinan hancur bila terpapas pangkal sayap adalah sembilandelapanpersen! Namun kerenggangan akan cukup bila aku--empat derajat lagi--luruskan seluruh lengan-tungkai sekarang!"
Si Matoi menyisip melalui celah tipis antara bulu logam sayap raksasa. Rajair kehilangan sasaran. Setitik kecil biru. Mata elangnya dalam sekejap menemukan Lazu di sisi area ekornya.
Tak ada pilihan. Di tengah topan yang merajalela Si Matoi merentangkan tangan sekuat-kuatnya. Untuk berpegangan pada bagian tubuh sang elang yang tak memiliki kendali. Bulu-bulu tembaga di ekornya!
Rajair tersentak kaget. Cakar-cakarnya dapat mengangkat rumah-rumah ibukota sebuah kerajaan sekalipun. Namun makhluk kecil ini mulai menaiki punggungnya.
"HrRRUUURRR!!" Rajair memekik lantang di angkasa seraya hentakkan punggungnya. Satu pegangan tangan Lazu terlepas! Tubuhnya menggantung di udara seperti layangan putus.
Si elang raksasa memutar. Sangat jauh berbeda dari burung mana pun, terbangnya Rajair tidak dikendalikan angin. Adalah Rajair yang memperbudak angin!
Terlambat bagi Lazu. Sebuah cakar raksasa mencengkeramnya! Lazu membuka mata dan memukul-mukul. Lebih keras dari batu. Cairan tubuh Lazu dan bahkan sebagian urat pembuluh perutnya termuntahkan, berhamburan keluar seperti juluran usus ayam kecil-kecil akibat ganasnya cengkeraman.
Pijakannya tak mampu bertahan dan ia terbawa oleh sepasang angin puyuh yang berpusar ke arah berlawanan. Laju aliran angin kontradiktif yang sangat membadai langsung mengoyak-ngoyak kulitnya yang biru.
Hanya butuh sedetik bagi Rajair untuk menghantamkan tubuh Lazu ke sebongkah granit yang sedang dideru topan. Granit besar itu melabrak tubuh malangnya. Kesadaran Lazu hilang seketika saat isi kepalanya dibenturkan dengan beban ratusan kilogram. Terlontar jauhlah ia dengan tubuh tak karuan bentuk.
Namun si elang tembaga belum merasa cukup. Sebelum Si Matoi menyentuh tanah mendadak Rajair kembali sapukan sayapnya mengubah arah topan menjadi gelombang angin penghancur yang membuncah ke langit mengalahkan gravitasi alam.
Di sana, elang tembaga raksasa kembali menyergap Lazu. Lalu mendaki angkasa pucat. Semakin dan semakin tinggi. Lalu menukik menuju permukaan dataran. Membawa serta tubuh Lazu dalam cakarnya yang megah.
Aku tak bisa lepas. Aku tak sempat bereaksi. Tak mungkin aku dapat kabur dari makhluk ini. Tubuhku sudah hancur.
Tapi...
Sayap tembaga menembus udara. Sampai akhirnya elang raksasa itu menghunjamkan cakarnya telak ke bumi biru dengan tubuh Lazu dalam cengkeramnya!
Ledakan itu tak tertahankan. Kulit-kulit perbukitan karang, patung-patung raksasa penyimpan manuskrip antar dimensi dalam radius belasan kilometer, terkelupas menerima tekanan yang begitu mengerikan!
Debu pekat membumbung tinggi hingga melapisi kulit-kulit setiap yang ada di sana.
"Sip lah Rajair...Bawa makhluk lembek itu ke sini.." Carol mendesah kecewa. Mestinya dia tak perlu memanggil satwa mitos berkekuatan besar seperti itu hanya untuk melawan makhluk puding.
Hanya saja anggapannya berubah begitu debu mulai mereda. Rajair merundukkan lehernya dan paruhnya mencuat ke depan dalam posisi siaga. Posturnya, timpang.
Dan sosok kecil biru di depannya bangkit. Kepayahan. Tertatih-tatih saat berdiri. Namun pada sosok itu menempel sesuatu yang besarnya puluhan kali tubuhnya. Itulah sebelah tungkai dari si elang tembaga yang putus dan berubah warna menjadi biru .
Carol baru sadar, Rajair ternyata hanya berdiri di daratan dengan satu kaki.
"Apa yang terjadi...? Kenapa satu kaki Rajair bisa berpindah menempel ke makhluk biru itu seperti dicangkokkan...?" Carol tak lagi sepenuhnya meremehkan sosok biru itu.
"Widinghi melihat energinya. Saat dicengkeram sekian lama, tubuh Lazuardi seperti akar-akar daging yang menjalar sepanjang akar elang tembaga dan mengubah cakar itu menjadi bubur biru yang kau lihat. Rajair tak punya pilihan selain menebas putus cakarnya sendiri dengan sayapnya sebelum membenturkan Lazuardi ke permukaan daratan."
Dan mereka melihat cakar biru yang putus itu terhisap sampai menyatu dalam tubuh Lazuardi, membentuk kepala dan bagian tubuhnya seperti awal.
"Dia adalah parasit yang sangat ganas," Widinghi menyimpulkan, "kaki elang tembaga dia jadikan bagian dirinya. Energi besar pada cakar Rajair menyatu dan memulihkan semua lukanya, bahkan luka fatal dari kepala dan tubuh yang hancur. Ini tak boleh berlanjut."
Carol mengentakkan kakinya penuh dengki. Selama ini tak pernah ada makhluk yang sanggup melukai Rajair. Maka si pustakawati antar dimensi pun mendesiskan mantra. Tak lama kemudian langit pucat tersibak dan, patung-patung manuskrip tersela oleh bayang-bayang, wajah Carol terangkat saat dia menggumamkan sesuatu.
"Lisan Emas: Raga Anasir."
Terdengar suara percikan saat tubuh Carol diseberubah menjadi petir menyala berbentuk siluet manusia. Udara bergetar dan sebatang lengan patung raksasa patah saat tubuh petir itu melesat masuk dalam paruh Rajair. Bola mata si elang tembaga itu pun berubah menjadi sewarna dengan mata Carol.
"Lazuardi. Kau tenggelam dalam kenistaan hasratmu." Elang itu mendadak bicara dengan suara menggema. Suara Carol. "Kau ingin bermesraan, itu urusanmu. Namun bila asmaramu harus mengorbankan duniaku, jangan salahkan aku bila aku akan menjadikan dimensi biru ini sebagai kuburanmu! Penyatuan Raga Anasirku dengan Rajair ini tak bisa dihentikan! Elang Mitos Tembaga Petir!"
Ketika Carol telah menyatu dengan elangnya, dengan itulah seluruh tubuh elang tembaga raksasa diselimuti pusaran halilintar membahana.
"Lazuardi," Widinghi berujar, "Widinghi juga akan turun tangan. Semoga kematianmu tak menderita."
Sosok bertato itu maju, tubuhnya menjulang dan tato-tato tribal di seluruh permukaan kulitnya bergerak-gerak seperti kumpulan belatung hitam.
"Lazuardi, bila selama ini kau mencari ketenangan dan penerimaan, ketahuilah bahwa seluruh kehidupan ini adalah kesusah-payahan yang berkelanjutan. Maka takkan kau temukan damai kecuali di alam kematian. Izinkan Widinghi memulihkan kedamaianmu."
Satu kedipan kemudian, tubuh Lazu telah terpental jauh ke udara akibat terkena tendangan lurus yang mampu menghancurkan berlapis-lapis tembok beton. Susah-payah Si Matoi memaksa dirinya agar tidak pingsan, namun si humanoid bertato mendadak sudah kembali ada di atasnya dan bersiap menghantam.
"Sakrifar!" Lazu mengerahkan sebuah teknik khusus sehingga kecepatan tubuhnya meluap-luap. Reaksi saraf pusatnya, anggota geraknya, semua mengalami berpuluh kali percepatan. Dalam tempo tak sampai seperempat detik Lazu hentakkan pinggang serta bahu di udara dalam hindaran ke delapan penjuru.
Rentetan tinju dan tapak yang terlatih sekalipun hanya sanggup menyerempet kedua bahu Si Matoi. Bersamaan dengan itulah hujan petir bersambaran dari deru sayap raksasa Carol-Rajair. Lazu memutarkan tubuhnya bagai sekrup di tengah hujan petir dan menyarangkan tapaknya di bahu kiri Widinghi.
Bushvallha itu menyadari incaran Lazu namun terlambat, karena tapak Lazu sudah penuh dengan kekuatan penyerap cairan yang langsung mengeringkan pembuluh saraf sepanjang bahunya. Dua rangkai gerakan memelintir mencabik sebagian saraf bahu Sang Bushvallha sebelum Lazu kembali memutar tubuh mengikuti gravitasi.
Tiba di daratan bukanlah akhir teknik Si Matoi karena humanoid biru itu memantul ke belakang dalam dua kali beralih pijakan untuk berkelit dari sebuah cakar raksasa berselimut petir yang akan menjejak hancur tubuhnya.
Carol-Rajair mendarat, insting pemangsanya memprediksi arah gerakan Lazu dan lehernya pun merentang maju dalam patukan buas luar biasa. Angin patukan itu menghancurkan dataran batu biru hingga membentuk parit-parit.
Lazu memutar tubuh sembilan puluh derajat menghindari patukan pertama. Bebatuan hancur di bawah kaki akibat angin patukan memaksanya melompat-susup tipis di atas patukan kedua.
Namun Lazu sadar bahwa hanya mundur takkan membawa kemenangan. Satwa mitos terus mengejarnya dengan kepak mengguntur meledakkan angin.
Kali ini sang elang berkaok dan hujan petir memancar dari seluruh tubuhnya yang raksasa. Dua petir menguapkan sejumlah besar cairan tubuh Lazu namun Si Matoi memutuskan balas menyerang. Dalam satu kesempatan, sebilah bulu tembaga leher Carol-Rajair berhasil diraihnya.
"Kau ingin menyebarkan tubuh parasitmu lagi? Takkan kubiarkan!" si elang hentakkan lehernya berputar hongga pegangan Lazu terlepas. Satwa mitos menghantamkan sayapnya lurus bagai sebuah pukulan dahsyat. Si Matoi berbalik ke samping dan menepis pukulan sayap raksasa sekaligus memantul-lenting pada sebuah batu yang terbawa angin. Namun Widinghi menyambutnya di udara sehingga saling serang pun tak terelakkan.
Tempo pertarungan makin tinggi. Serangan ketiga petarung semakin menggebu-gebu. Namun pasti adalah Lazuardi yang paling lelah di antara mereka. Ia tak punya kekuatan fisik seperti Rajair. Ia tak punya pengalaman dan ilmu mistik seperti Widinghi. Dan kedua pihak yang sangat kuat ini menyerang dirinya tanpa menyerang satu sama lain.
Namun tidakkah itu adalah konsekuensi yang harus Lazu terima atas keinginan pribadinya untuk membangunkan Safirem? Relakah ia kehilangan bidadarinya setelah kehilangan sahabatnya?
Tidak. Ia tidak akan. Lalu apa lagi yang harus ia lakukan selain melangkah ke depan, dengan memori akan Kilat dalam genggamannya?
Lazu secara mendadak menukik di antara jaring-jaring petir dan menghantamkan telapaknya dengan akurat ke sebuah bola mata Carol-Rajair. Si elang tembaga tersentak kaget. Matanya seperti kelilipan. Kibasan sayap besarnya menghantam keras Lazu hingga terlempar.
Tubuh kecil Si Matoi terseret hingga menghancurkan sejumlah bebatuan akibat terhantam kekuatan elang mitos yang begitu kelewatan. Namun bahkan dalam saat-saat itu Lazu masih sempat memanfaatkan sisa daya bentur raksasa itu untuk berjumpalitan hingga mendarat pada jarak aman.
Seluruh tubuhnya terasa terbakar, serat-serat anggota geraknya terasa bergesekan kejang akibat melepas energi melampaui batas.
"Untuk satwa sebesar istana laut, kegesitanmu luar biasa! Aku kagum padamu, Elang Tembaga!" Lazu berbisik memuji lawan raksasanya saat tersengal-sengal mengambil napas hingga dadanya sakit.
Carol berteriak penuh nafsu membunuh. Dia memerintahkan tubuh Rajair untuk maju memanfaatkan kelelahan sang makhluk kecil.
Namun tubuh si elang tembaga tak mau bergerak.
"Rajair! Kenapa kau tak juga maju?"
"Carol Lidell. Kau begitu naif." Widinghi berucap, "Lihatlah betapa lelahnya satwa mitos itu. Kembang-kempisnya otot tembaganya, tungkainya yang tinggal satu, sayap logamnya yang bergetar untuk menghilangkan kontraksi berlebih. Rasakan tubuhnya yang bahkan lelah karena sekedar meluruskan bola mata."
Ya. Rajair sang elang tembaga itu, juga mulai kelelahan. Dia menatap Lazuardi, diam-diam mengakui tekad makhluk kecil itu.
---
12 - Tembaga Petir, Tubuh Astral
Untuk pertama kalinya Bushvallha terhebat Farum dibuat terkejut menyaksikan makhluk yang bergerak jauh lebih cepat darinya. Rajair memang cepat, namun Lazu masih lebih cepat. Hanya saja, kecepatan Widinghi bahkan bukanlah alasan utama kenapa dia begitu ditakuti.
Diam-diam Widinghi telah menyelesaikan mantranya. Saat Lazu dan Rajair sama-sama lelah luar biasa. Inilah saat untuk mengerahkan kemampuan Bushvallha Farum yang sesungguhnya.
Tak terlihat dan tak terdengar, sesuatu mengambang ke arah Lazu.
Lazu mendadak sesak. Sesak dan sesak. Tak mampu bernapas, seolah ada yang mencekik habis pembuluh tenggoroknya. Kedua tungkainya lunglai. Tanpa sebab yang jelas kedua lengannya tanggal. Cairan serum menyembur ganas dari dua kutungan bahunya disertai kesakitan luar biasa.
Widinghi menendang dan tubuh Lazu terhempas dalam ledakan besar hingga membentuk cerukan seluas ratusan meter pada dataran biru yang berpecahan.
"Ensha...ka...Lamashtu..."
Sebuah bukit biru runtuh tak ubahnya bubur kertas saat tubuh parasit milik Lazu terlahir di dasarnya, lalu menjalar dengan sangat cepat sepanjang permukaan dataran dan udara. Seperti akar-akaran daging biru yang terus memanjang dan bercabang mencari-cari induknya yaitu Si Matoi.
Akar daging parasit itu makin memanjang. Melesat cepat dan bahkan nyaris membelit dan menghisap seluruh tubuh Widinghi kalau saja Sang Bushvallha tak melindungi dirinya dengan perisai tak kasat mata. Dengan itu, cekikan tak kasat mata pada Lazu mendadak terlepas. Lazu mengabaikan rasa sakitnya untuk mengingat gelagat dan karakteristik serangan tanpa wujud yang tadi dirasakannya.
Namun dengan dihindarinya serangan itu, tubuh parasit pun mencapai Lazu dan mengisi rongga-rongga bahunya hingga membentuk lengan baru. Si Matoi merasa perut dan dadanya kenyang setelah memakan sebuah bukit. Widinghi mampu melihat energi Lazu yang kembali pulih bahkan lebih dari sebelumnya.
"Tubuh parasitmu memakan bukit itu untuk mengenyangkan diri dengan energi mineral serta membentuk lengan baru. Kemampuan bertahan hidup yang patut dipuji."
"Terimakasih. Kau memiliki kemampuan yang belum dapat kudeteksi namun satu kartuku telah terbuka."
"Sungguh kalkulatif." Widinghi berkata dengan suara yang sekilas datar saja. Namun Lazu dapat mendengar sebuah emosi di suara itu.
"...Suaramu menambah timbre untuk setengah detik," Lazu memiringkan mulutnya, panik yang menyergapnya sedari tadi sedikit melunak, "Premis menunjukkan kemungkinan fluktuasi emosi behavioral...kau tak tega melawanku?"
"Kau hendak bertarung untuk dia yang penting untukmu. Widinghi tak mampu lagi menyalahkanmu. Namun,"
Widinghi menyusun jemarinya menyerupai piramida terbalik di depan perutnya. Lazu merasakan tubuhnya memberat dan pernapasannya kacau. Widinghi akan mengeluarkan kekuatan aslinya.
"Widinghi pun akan bertarung seperti Carol. Yaitu untuk melindungi tiga semesta. Maka Widinghi tak bisa mundur lagi. Hakim Geometri."
Ketika Widinghi mengepalkan kedua tangan di depan perut, maka termaterialisasilah ratusan kubus berlian raksasa, mengambang dahsyat di atas kepalanya.
---
Entah sejak kapan sesosok siluet berjubah merah sudah berdiri di atas pucuk tebing batuan biru. Dia adalah Ravelt Tardigarde yang akhirnya memutuskan menonton langsung.
"Dia mentransmutasi semua partikel debu di sekitarnya menjadi berlian, dan juga mengubah ukuran masing-masing partikel debu itu menjadi sebesar gedung? Untuk apa itu...ah. Telekinesis. Akhirnya sebuah teknik yang segar."
Dengan telekinesis tingkat tertinggi dari jemari Widinghi, maka semua kubus berlian berputar bagai ratusan gasing raksasa lalu melaju ke arah Lazu bagaikan hujan meteor. Hujan kubus berlian yang masing-masingnya adalah sebesar gedung tingkat tiga!
"Kemungkinan menghindar nolkomanolnoldelapansatu persen!" Lazu berdebar ketakutan melihat bongkah-bongkah berukuran tidak mungkin itu menukik ke arahnya tak ubahnya hujan peluru. Tapi kemudian Lazu menyempitkan lapang pandangnya. Pengamatan bola mata Si Matoi menyisir kemungkinan jalur yang terbentuk dari benturan antar kubus raksasa.
"Visualisasi jalur hindaran dengan percepatan frontal!" Lazu memerintah dirinya sendiri membentuk imaji sebuah jalur di benaknya. Kecepatan dan arah lintasan kubus per satuan waktu. Gravitasi ke bawah. Angin, tekanan udara. Massa berlian masing-masing bongkah.
Dan di belakangnya, seekor elang tembaga raksasa kembali menjulang menembakkan seribu pilar kilat dari bentangan sayapnya. Rajair sudah kembali dalam kancah.
Probabilitas pemanfaatan permukaan kubus sebagai pijakan! Lazu tersenyum gemetaran menyadari imaji di kepalanya berubah dan bercabang jadi ratusan jalur.
"Sudut elevasi berlaku untuk dua detik. Sasarannya adalah kubus ketiga di atas kepala dengan lintasan kurva!" Si Matoi berseru. Berlari. Menjejak sebuah kubus yang menggasing searah jarum jam menghancurkan permukaan bebatuan di sekeliling, Ukuran tubuhnya sebanding dengan semut di atas mangkuk.
Bagaikan walet lepas landas Si Matoi menyongsong empat deret kubus tersusun vertikal dan menyisipkan tubuhnya pada sesaat yang darurat.
Sekejap lutut kanan Lazu tergesek tepian sebuah kubus dan pecah hancurlah lutut itu. Lintasan lajunya melenceng seketika dari perhitungan awal. Ingin menjerit namun nyeri terlupakan oleh banjir logam penghancur yang membuncah di hadapannya.
Di tengah udara tubuh Si Matoi mengapung beberapa saat. Semua terlihat melambat. Delapan kubus berlian raksasa bergumulan di udara seperti kumpulan denawa yang berebut untuk meremukkan tubuhnya.
"Terlalu rapat! Aku kehilangan celah! Tunggu...0.001-0.002-0.003..." Lazu mendeteksi pergerakan besar di tekanan udara lalu jungkirkan tubuh ke bawah dan kiri.
"Sebenarnya aku tak rela mengeluarkan berkahku hanya untuk melumatmu, Lazuardi. Aku mulai menyukai kegigihanmu bertarung." Si Aeonian menyibakkan rambut emasnya dari jauh, "Seperti kecoa yang selalu bisa melarikan diri dari racun serangga. Tapi bila duniaku yang dipertaruhkan, setidaknya aku harus punya andil, heh. Satu saja."
Berkilometer di belakang Lazu serta kepungan maut para kubus raksasa, dan hujan petir, Ravelt membuka sebuah pintu dimensi san mengeluarkan sebilah pedang kuno. Pedang itu terbang berbelok-belok bagai bermata.
"Rajair! Ja-jangan goyah! Terus maju!" Carol memberi semangat pada elang mitos raksasa yang menampung jiwanya. Rajair pun menciptakan topan petir untuk menghindari atau membelokkan timpaan kubus raksasa sebisanya. Gadis itu, juga sang elang, harus memusnahkan Si Matoi apa pun harga yang harus di bayar. Meski badai elemen intan Widinghi tak memandang kawan atau pun lawan.
Tapi sang elang terus maju, dengan beratus ledakan yang menandai dimulainya gelombang serangan kubus berlian dan para pedang kuno yang beradu.
Dalam empat belas tarikan napas, Carol-Rajair sampai tepat di punggung Lazu yang sedang kewalahan. Paruh raksasa berselimut petir terbuka menganga dan akan menelan Lazu dari belakang. Namun saat dan arah itulah yang ditunggu Lazu. Lekas ia menjejak ke bagian bawah paruh tembaga dan melesat ke samping sebelum Rajair mengatupkan paruh.
Karena ia telah sengaja memancing si elang ke arah itu dengan presisi perhitungan yang tajam.Seketika itulah dua buah kubus bertindihan dari atas dan bawah, menghimpit hancur kepala sang elang raksasa menjadi keping-keping tembaga. Lazu memantul pada sebuah kubus di depan. Namun hunjaman pedang kuno Ravelt memapas tepat di depan matanya ia melakukan putaran juat sebelum melenting ke belakang.
"Carol Lidell! Si Elang mati kehilangan kepala, namun sepanjang masih ada tubuhnya yang tersisa, ada limapuluhpersen kemungkinan bahwa kau masih hidup dalam tubuhnya!"
Lazu membekap leher Rajair kala tubuh raksasanya mulai jatuh. Jiwa Carol yang mengisi tubuh itu, dilanda panik mendadak. Keadaan berbalik tanpa diduganya.
"Maafkan!"
Dan tangan Lazu yang menempel pada tubuh sang elang pun meledakkan lilitan sulur parasit menyebar sepanjang tubuh Rajair!
"Tubuh petirmu mengisi tubuh sang elang! Jiwa kalian menyatu! Sehingga memakan sang elang seluruhnya, berarti juga memakan dirimu!"
Analisis Lazu justru bertambah jitu seiring kondisi yang semakin genting. Benarlah perkiraan itu. Carol menjerit dalam penderitaan. Tubuh petirnya memudar dalam raga si elang karena tubuh parasit biru itu memakan segala energi di dalamnya. Si Matoi mengincar sang elang dan Carol sekaligus!
"Aku tak mau--"
Raga petir Carol dan tubuh Rajair terhisap masuk menyatu dalam tubuh Lazu yang masih melesat di udara tanpa berhenti.
Si Matoi kerutkan tubuhnya dan putaran kubus raksasa malah memberi gaya momentum padanya untuk terus melesat maju. Tanpa meninggalkan mayat apa pun. Karena intisari Carol Lidell telah ada dalam dirinya.
---
Dan terjadilah hal itu. Tubuh kecil Lazu berhenti paksa di udara seolah ada tangan tak terlihat yang mencekik lehernya. Kedua mata Si Matoi membelalak kesakitan, suaranya tak keluar.
Widinghi berdiri seratus langkah di depan. Kakinya menapak dataran biru dan tangannya melakukan gerakan mencekik ke arah udara.
"Ritual Terkutuk Bushvallha. Pemenggalan Astral."
Sesuatu dalam kerongkongan Lazu serasa ditarik keluar dan saat itu mendinginlah tubuhnya dan berkelojotanlah anggota badannya.
"Hanya aku di seluruh Farum yang mencapai tahap terkutuk ini. Tubuh Astral Widinghi mampu menyita dan memanen nyawa makhluk. Inti kehidupanmu, Lazuardi, tengah kugenggam kini. Nyawamu ini sungguh rapuh...namun berontak sekuat anjing hutan."
Suara itu terdengar bukan dari tubuh Widinghi. Tapi dari dalam kepala Lazu. Kenapa? Kenapa suara Widinghi berasal dari sana?
Mulut Lazu bergerak-gerak aneh. Tak peduli apakah Enshaka mampu memulihkan tubuh parasitnya atau apa pun, tak ada cara bagi sebentuk makhluk hidup untuk lolos dari kekuatan yang mampu menyita nyawa.
Namun nyawa Lazu yang telah di ujung tanduk, mendesak tahapan kemampuannya selangkah lebih jauh. Ia membayangkan sesuatu. Bila jiwanya tengah dicekik hingga mati, komponen manakah dari Widinghi yang tengah mencekik jiwanya itu?
Tentu saja.
Jiwanya.
Untuk menyita nyawa dan jiwa Lazu, jiwa Widinghi haruslah masuk dalam diri Lazu.
Tubuh Widinghi berhenti. Kulitnya berubah keras kaku seperti kulit kerang. Tato tribalnya hilang dari kulitnya.
Dan seperti kendi tanah liat yang dipecahkan, jasad itu rontok. Tanpa nyawa. Tanpa kehidupan.
Ravelt tiba di depan Si Matoi. Dan Ravelt melihat tanda-tanda spesifik dari rontoknya tubuh Sang Bushvallha. Si Raja Langit pun menyadari
"Kau memakan...jiwa Widinghi...!!"
Bahwa Lazu telah, menumbuhkan tubuh parasit dalam dirinya sendiri. Dan tubuh parasit itu telah membuncah hingga tingkat katastropik. Sehingga tubuh parasit itu, bahkan mampu memakan jiwa Kolator Widinghi, yang sedang ada di dalam diri Lazu.
Widinghi dan Lazu telah saling mencabut nyawa. Namun, akhirnya adalah Lazu yang memangsa jiwa Widinghi. Si Matoi menatap Ravelt Tardigarde.
Lazu mampu merasakan sesuatu. Carol dan Widinghi adalah bagian dari Safirem. Namun Safirem sendiri hidup dengan bantuan energi Khatea miliknya.
Maka saat energi Khatea dari Lisan Emas dan Solimaril Astral terhisap dalam tubuh Lazu, itulah tanda bahwa Si Matoi takkan pernah lagi sama. Lazu merasakan dua tekniknya menghilang. Bahkan tekstur tubuhnya berubah.
Elastisitas tubuh jel...dikorbankan.
Teknik Pongio, Penggersang Air...dikorbankan.
Teknik manipulasi cahaya...dikorbankan.
Semua yang hilang, digantikan. Menjadi kekuatan baru. Kekuatan permanen absolut yang menggantikan sekuruh kemampuan Lazu yang hilang.
Karena inilah kekuatan sejati Lazuardi.
Gerbang Khatea telah terbangun.
---
13 - Si Raja Langit
"Kau kembali bertambah kuat. Menyenangkan sekali." senyuman Ravelt meruncing.
Selama ini belum pernah ada lawan yang bisa bertahan darinya dalam pertarungan langsung. Bahkan Sjena memanfaatkan kelengahannya untuk menang darinya. Sjena tahu kapan harus mundur atau merayu atau menikam dari belakang.
Tapi makhluk biru ini berbeda. Ia licik namun juga penuh perasaan. Ia membenci dirinya sendiri namun ia ingin melindungi sahabatnya, bahkan bila harus menerjang Si Raja Langit sekalipun.
Si Raja Langit pun merasa tertantang. Dia maju ke arah Lazu yang tengah berusaha berdiri. Ravelt maju ke hadapan Si Matoi hingga jarak mereka hanya terpisah satu langkah.
Lazu masih meraba-raba kekuatannya sendiri. Ia telusuri esensi Khatea dalam pembuluh internalnya.
Tapi makhluk super ini menantangnya. Sinar oranye menyelimuti tubuh Ravelt tanda selimut dimensi telah dia kerahkan. Senyum tak lepas dari wajahnya. Tentu saja dia tersenyum. Mana bisa menembus sebuah pertahanan yang tersusun dari sebuah dimensi dan ruang tersendiri?
Mana mungkin siapa pun akan punya kesempatan untuk menghadapi pria berambut emas itu?
"Majulah tanpa beban, Lazuardi. Akan kutunjukkan kenyataan pahit padamu!" Ravelt membentangkan kedua lengan tanpa sedikit pun terlihat bertahan.
Sinar oranye menyala sekali lagi mengingatkan Lazu tentang pertahanan Si Raja Langit yang tak tertembus. Namun ada pula yang luput dari pengamatan Ravelt. Yaitu kebencian. Dalam pertemuannya dengan Si Raja Langit, Lazu dapati bahwa dunia ini sungguh tidak adil.
Ada Ravelt yang keberadaannya bagai berdiri di atas awan, sementara makhluk seperti Lazu hanya bisa mengais-ngais apa pun yang tersisa. Makanan sisa, rasa diterima yang sisa-sisa, kehormatan yang sisa.
Maka ini, tanpa Ravelt ketahui, tanpa Nolan ketahui, bahkan tanpa Kilat ketahui, telah menjadi pertarungan yang sangat pribadi untuk Lazu. Apa pun alasan yang ia buat, ia takkan puas sebelum menghancurkan Ravelt Tardigarde atau menghancurkan dirinya sendiri.
Lazu tanpa sadar telah menjadikan Si Raja Langit sebagai simbol bagi tiadanya keadilan.
Maka Lazu memaksa memorinya mengimajikan sosok Safirem. Suaranya, senyumnya. Kesederhanaannya. Itulah yang menyalakan kembali kekuatan hati Lazu. Itulah yang menjadi ledakan energi tiada habisnya.
Maka ketika dua spirit beradu dalam pertarungan puncak, demi semua yang ingin dilindungi, demi semua yang menyalakan halilintar dalam jiwa keduanya,
Maka kata-kata harus rela melepaskan makna. Karena takdirlah yang akan menjadi aksara.
---
Mulailah Si Matoi melancarkan serangan. Kedua tangannya bergerak ke berbagai arah untuk mencari celah pada selubung dimensi. Percuma, perisai pengendalian ruang itu begitu rapat. Rasa sakit mendenyut menghentikan kerunutan serangannya.
Lazu kembali menghantamkan tapaknya berkali-kali. Ke daerah leher, ke rusuk, ke sisi batok kepala lawannya. Dan kembali tangannya tak merasakan apa pun meski tubuh Ravelt masih berdiri tegak.
Tapi sebuah ide mendadak muncul di kepala Lazu. Dia memperlambat tempo serangan dan bergumam,
"Kau cuma bisa sembunyi?" kata-kata itu lolos dari mulutnya dan sampai ke telinga Ravelt.
Si Raja Langit tahu maksudnya: Lazu menganggapnya hanya bisa bertarung dengan mencari aman di balik selubung dimensi.
Beranglah Ravelt mendengarnya. Dimulainya serangan balasan dengan jeda setengah detik untuk menghilangkan sebagian selubung oranye pada lengannya.
Namun kini ketakutan Lazu sedikit terkikis. Ternyata emosi Ravelt semudah itu dipancingnya.
"Enshaka!"
"!?"
Giliran Lazu yang menepis tinju Ravelt. Si Matoi memutarkan lengan Si Raja Langit untuk mematahkannya, namun Ravelt cepat mencengkeram bahu Lazu dengan sebelah lagi lengannya yang tak lagi berselubung dimensi.
Lazu tak menduga bahwa Ravelt rela melepas dimensi pelindung di kedua lengannya demi melakukan pertukaran serangan fisik. Namun realisasi dan logika segera mendesaknya untuk selangkah lebih jauh meningkatkan pemusatan kecepatan gerak. Menumpukan berat pada kaki kiri yang terposisi di belakang, Lazu meledakkan tenaga pantul di bahunya sehingga cengkeraman Ravelt terlepas.
"Makhluk kecil ini...!?"
Si Aeonian semakin terkaget melihat daya adaptasi humanoid kecil ini. Namun Lazu tak berhenti sampai di sana dan justru ia menyergap sendi siku Ravelt yang menggantung tak siap di udara.
Lazu memuntir cepat hendak mematahkan sendi siku Ravelt. Hanya saja keinginan itu lagi-lagi tak tercapai, karena saat itu pula Ravelt mematerialisasi pada lengannya zirah emas yang menghalangi teknik pengering Lazu.
Zirah emas di lengan Ravelt mengobarkan api.
Lazu melesat mundur ketika merasakan ancaman. Sekali lompatan membawanya seratus meter, dua ratus meter. Namun dua ratus meter tak ada artinya bagi Ravelt.
Si Raja Langit melakukan kombinasi elemen magis, maka terjadilah sebuah ledakan kombustif dahsyat. Elips-elips api melelehkan kulit bumi dan membakar udara.
Elips api raksasa begitu kuat, meski sudah jauh menghindar pun sebelah lengan hingga setengah leher Lazu meleleh ancur terkena hawa panas yang membumbung.
Ravelt mendatangi Lazu. Membenamkan kepalanya ke tanah dengan sepatu zirah keemasan. Menginjaknya lagi. Sekali lagi. Dunia terasa meredup di mata Lazu. Sungguh Ravelt menjadikannya bulan-bulanan.
"Apa lagi yang hendak kau coba?"
"Kau menakutkan...sungguh menakutkan..."
"Sayang sekali."
"...Tapi yang telah kucoba...tidak sia-sia..."
Itu yang Lazu bisikkan. Alis Ravelt bertaut melihat apa yang telah diraih oleh taktik Lazu.
Setiap kaki Ravelt menginjak kepalanya, kepala Lazu bahkan tak bergeser sedikit pun dari tempatnya semula. Bahkan dataran biru di bawah kepala Si Matoi menimbulkan lingkaran keretakan lapisan bumi yang menjalar hingga menumbangkan bebatuan raksasa dalam radius ratusan tombak. Dan Ravelt belumlah lagi mengerahkan kekuatan sejatinya.
Namun menerima semua injakan itu...Lazu tak terluka.
---
14 - Nol
Ravelt belum pernah menyaksikan hal ini sebelumnya. Tubuh Lazu terbakar di sana-sini. Namun ia mengangkat tubuhnya. Dari tertelungkup menjadi berlutut. Ravelt menginjak lagi kepalanya. Lalu menginjak sekali lagi.
Lazu mengangkat kakinya. Berdiri membungkuk.
Si Raja Langit membisu. Lazu menatapnya dengan raut wajah yang sangat tenang, bahkan teduh.
"Begini rupanya. Aku dapat mengenali bentuknya, kini." Lazu berujar pada dirinya sendiri.
Ravelt mencapai puncak ledakan amarahnya.
"Makhluk tak tahu diri! Kau akan menyesal pernah menantangku! Accessa Divion!!"
Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Dan berpendarlah tubuh Si Raja Langit dengan kekuatan penuh dari Accessa Divion.
Kekuatan yang tak pernah disaksikan oleh semesta sebelumnya. Inilah kekuatan dewa yang menembus kecepatan dan kekuatan fisik benda fana. Tinjunya dia lancarkan berkali-kali dan setiap kali Ravelt meninju maka seluruh dimensi itu sendiri terdistorsi oleh dentum keemasan yang menyambar tubuh Si Matoi.
Rantai ledakan membahana, menghancurkan apa pun yang dilewatinya. Bahkan gunung-gunung yang membentang di belakang tubuh Lazu melebur berkeping-keping!
Dan Lazu hanya berdiri di hadapannya.
Ravelt pun meninju lurus ke bawah. Lazu terpana melihat dataran biru yang dipijaknya hancur menerima gebrakan kekuatan di luar nalar. Gunung-gunung memecah dan terangkat ke udara akibat kehilangan pasak fondasinya.
Dan dunia serasa menyempit. Sebuah sihir yang sangat dahsyat sedang terjadi. Ravelt memanipulasi ruang dan membawa sisa-sisa dataran, ribuan patung manuskrip Perpustakaan Takdir, berpuluh gunung batu yang terlepas melayang, kepingan raksasa para kubus berlian, ke dalam dimensi tertutup seukuran sebuah benua.
Si Raja Langit berdiri penuh wibawa. Dari belakang tubuhnya menganga sebuah portal bercahaya menembakkan pedang kuno dalam jumlah tak terhitung.
Jutaan pedang Ravelt melintasi dataran biru tanpa batas dengan gemuruh menggelegar. Membawa kedahsyatan yang bahkan mampu mencacah belantara gunung melayang maupun berlian raksasa. Seketika arena pertarungan penuh gemuruh berkilau tujuh warna dalam keagungan Si Raja Langit.
"Angulasi hujan pedang beraura magis dapat membuka empat jalur di titik sudut ruang kedua dari bawah!" Lazu cepat menyadari peluang saat satu-dua pedang kuno menembus sebuah kubus berlian raksasa yang melayang dalam medan dimensi. Kubus raksasa patah jadi dua namun dua pedang kuno juga berubah arah.
Dan Ravelt tak mungkin melupakan apa yang dia harus saksikan selanjutnya. Dia mengerahkan aura dewa sehingga terbang secepat kilat. Lazu menggunakan daya pantul untuk menyambutnya dari arah tak terduga.
Keduanya bertolak dari posisinya dengan kecepatan dan ketajaman naluri mencengangkan. Dalam manuver bertubi-tubi itu tekad keduanya semakin berkobar bahkan bercahaya. Pukulan beraura emas dan hantaman telapak berdaya parasit tak hentinya bertemu di angkasa. Serangan dan pertahanan saling menyudutkan, saling menangkal, membuat rantai ledakan berkilat membutakan. Gemuruh dahsyat yang ditimbulkan pertarungan itu tak ubahnya benua yang runtuh.
Namun Si Raja Langit diam-diam menyaksikannya. Bahwa Si Matoi berkelit dan menyerang balik dengan kecepatan yang gagal diantisipasi bahkan oleh panca inderanya yang menerima berkah dewa. Lazu menembus ruang ciptaannya dengan kecepatan yang jauh melebihi angin. Jauh melebihi suara. Jauh melebihi halilintar. Hingga Si Raja Langit harus mengakui.
"Itu....kecepatan cahaya...!!"
---
"Probabilitas percepatan frontal memultiplikasi peluangku untuk lolos!"" Senyum Lazu terangkat, matanya membelalak dalam kepanikan namun juga kegembiraan histeris.
Dalam tempo sempit tubuh biru itu memantuli permukaan dua kubus raksasa yang menggerus berseberangan dengan jarak semakin menyempit. Ketika kubus-kubus berlian saling beradu hingga pecah berantakan meninggalkan percikan bunga api raksasa dan pusaran angin, dan jutaan pedang kuno bagai meteor berkilau mencacah bongkah-bongkah logam raksasa,
Lazuardi mengayuhkan segenap raga. Berkejaran dengan hujan pedang Si Raja Langit yang menukik tanpa henti, menikmati setiap ledakan energi yang membara di seluruh badannya.
Lazuardi meniti liris-liris angin dalam berdansa. Setiap manuvernya menjadi simfoni di antara jutaan kilau kerajaan berlian mengapung dan pendar spektrum cakrawala pedang. Tak satu pun yang mampu menghentikan dentum lesatan cahaya biru itu. Maka Si Raja Langit pun menyadari bahwa inilah waktunya menentukan semua dalam serangan penentuan.
"Accessa Divion! Accessa Devilohrr!"
Jutaan pedang yang berlesatan lincah itu menyebar ke segala arah, namun kemudian menyatu di satu titik. Genggaman Ravelt Tardigarde. Terbentuklah pedang pusaka dengan bilah tiada duanya.
"Jutaan pedang kuno bergabung menjadi satu pedang tempaan dewa yang mampu meruntuhkan dimensi! Pusaka dari sintesis puncak kekuatan akses kekuatan neraka dan surgawi! Straza Alokryph!" raungan Ravelt Si Raja Langit menggetarkan bumi yang hilang. Matanya bersinar penuh cahaya dan kegelapan.
Lazu berbalik, tubuhnya meliuk lincah, tanpa beban, simbol safir dan giok menyala-nyala bagai perisai penaung di belakangnya. Udara dan bulir-bulir penuh warna memecah indah saat Lazu memusatkan ke titik yang pasti. Hanya ke hadapan Ravelt.
"Straza Alokryph! Penggugur Angkasa!!"
Ravelt tebaskan pedang anugerah dewa. Dengan kedahsyatan nyata yang tak satu pun benda di dimensi ini yang takkan hancur karenanya.
Tapak tangan Lazu melintang.
Oleh lintangan tapak itu Straza Alokryph terhentikan. Terhentikan begitu saja.
"Memang pedang pusakamu mampu meruntuhkan apa pun. Beratnya seratusdelapan kali lipat dibanding sebuah lubang hitam super masif antariksa." suara Lazu jernih. Bagai sebilah bambu menerima hujan gerimis.
Namun sorot matanya begitu benderang menyala.
"Tetapi. Aku telah mencapai kekuatan Lazuardi yang sesungguhnya. Aku bebas mengatur apa pun yang melibatkan dua hukum fisika yang menyentuh atau masuk ke dalam tubuhku. Yang pertama adalah gaya berat sebuah benda. Yang kedua adalah kecepatan."
Straza Alokryph membiru, menjadi inang tubuh parasit. Genggaman Ravelt terlepas. Wajah tampannya kini bagai kain lusuh yang pucat.
Karena Lazu takkan kalah.
"Sesaat sebelum menerima pedangmu. Aku sudah merumuskan teknik pada seluruh tubuhku: apa pun yang menyentuhku, kecepatan serta beratnya...menjadi nol."
Karena Safirem sudah menunggunya.
---
Sesosok jasad mati berdiri dengan angkuh. Jubah merahnya diterpa angin sementara dimensi biru maupun ruang khusus ciptaan Si Raja Langit menghilang. Lazu berjalan dengan semesta yang berubah bentuk menjadi lorong koridor sistem Nanthara kreasi Nolan.
Di sampingnya adalah seorang gadis luar biasa cantik. Puteri Kejora julukannya.
Ravelt bunuh diri. Kesombongannya tak mengizinkannya terbunuh oleh siapa pun. Dia ingin mati dengan kehormatan. Lazu tak masalah dengan itu. Karena dengan matinya ketiga pecahan jiwa, Safirem pun terbangun dari tidurnya.
Kekuatan pecahan jiwa Safirem tak pernah kembali padanya. Karena Lazu sudah menyerapnya. Kini diri Safirem sangat mirip gadis biasa. Bahkan keberadaannya tak lagi menghancurkan apa pun apalagi alam semesta. Safirem tak tahu kenapa.
Namun Lazu dapat menduga.
Karena satu hal.
---
15 - Khatea, Aksara
"Yang Mulia Thurqk."
"Formal sekali, Abby."
"Apa yang harus kita lakukan dengan Puteri Kejora? Aku mulai tak menyukai pengkhianatannya."
"Dia bukan lagi ancaman. Kekuatannya telah kembali pada pemilik seharusnya."
"Maksud Anda, Lazuardi?"
"Safirem, sempat menampung dan menyalin seluruh pengetahuan multisemesta dalam memorinya. Ini karena dia mendapat energi Khatea."
"Energi yang berhubungan dengan masa lalu Anda itu?"
"Tepat.Tapi ada satu pengetahuan yang tak sanggup ditampungnya. Yaitu konsep tentang kenihilan, ketiadaan, kehancuran. Konsep kehancuran, adalah terlalu dahsyat bahkan untuk dipahami oleh Khatea. Namun Safirem memaksa. Konsep Ketiadaan ini balik memberontak dan menghancurkan tiap alam semesta yang Safirem huni."
"Tapi sekarang tak ada yang hancur meski dia mterus-menerus menggandeng Lazuardi. Jadi, apakah sekarang Safirem tak lagi membawa konsep kehancuran dalam tubuhnya?"
"Sepertinya tidak. Karena segala sesuatu berpasangan."
"Diciptakan berpasangan."
"Ya, ya. Dan sepertinya, Ketiadaan dalam diri Noumi Shu adalah konsep kehancuran yang diciptakan sebagai penyeimbang bagi konsep penciptaan, perubahan, pengetahuan, kekuatan Khatea."
"Maksud Anda, ketika semua itu diserap dan diracik ulang oleh Lazuardi menjadi sesuatu yang lebih fana seperti pengaturan hukum fisika gaya berat atau kecepatan mutiversal, sang penyeimbang itu Ketiadaan dalam diri Noumi Shu...?"
"...Tak lagi diperlukan."
"Maka itulah Noumi Shu lenyap?"
"Ya. Manusia itu mati."
"Dan Ketiadaan dalam tubuhnya?"
"Kembali ke pemilik sejatinya. Inti Kehancuran."
"Di mana pemiliknya? Siapa pemiliknya?"
"Apakah kau pernah dengar kalimat ini?"
Nun.
Demi Pena dan apa yang Mereka tuliskan.
---[[[ ]]]---
Karakter: Lazuardi
Lawan:
- Altair Kilatih
- Carol Lidell
- Kolator Widinghi
- Ravelt Tardigarde
- Noumi Shu
Lokasi: Library of Fate (Carol) / Akasha (Ravelt)
Kesalahan pada Carol, kekuatannya dan dunianya Aside...
ReplyDeletePertarungan ini seru, meski penjelasan dan tetek mbengek yang kau tulis soal asal usul 3 dunia dan kekuatan Lazu bikin sakit kepala, saya masih bisa menikmatinya.
9/10
Saya ngerti apa yang terjadi, tapi ga ngerti buat apa semua itu terjadi. Mungkin itu yang bisa ngegambarin gimana pikiran saya pas baca ini. Saya masih nerima - bahkan ngerasa masuk akal - pas baca canon lazu di r4. Tapi ngga di sini - yang kebetulan bersamaan dengan muncul entitas dari r2 lazu yang juga kesannya sama" deus ex machina buat saya. Sejujurnya ada begitu banyak poin sepanjang baca yang bikin saya sendiri kesulitan ngerangkumnya, tapi mungkin bisa dibagi jadi dua yang mudah : karakter dan plot. Dari karakter, saya sulit ngikutin kenapa mereka mendadak berantem dan motivasi masing" (ya, saya tau dijabarin soal tiga dunia, tapi kerasa ga klik aja), terus entah kenapa dengan mereka punya kesadaran malah bikin saya bingung sama status kepesertaan mereka, kenapa masih dapet hak istimewa ditarik kembali buat ngurusin dunia masing"? Plotnya juga, entahlah, mungkin ini subjektif dan udah berapa kali penulis denger, berkesan memaksakan agar cakupan canon entri ini seluas mungkin, tapi kembali ke awal, membuatnya jadi sesuatu yang sulit dicerna. Seperti sesuatu yang semuanya dimuntahkan begitu saja dari kepala penulis tanpa pembaca yang kapasitasnya ga sampe kayak saya bisa cerna, apalagi raba" bentuknya. Akhir kata, kalo ada sesuatu yang patut dipuji dari karakter Lazu sejauh ini, menurut saya itu adalah kegigihan dan kesungguhan penulis Lazu buat berusaha nulis sepanjang ini demi canon skala semestanya
ReplyDeleteNilai 7
DeleteUrsario : Bluey Jelly. Sejak kapan dia jadi kuat begini, bura?
ReplyDeleteUrsula : Pertarungan tingkat kosmik, uhuhuhm. Tapi bukan berarti cukup untuk mengalahkan bangsa Ursa-Demon.
...
Baikai : Nona Carol itu bisa melakukan [Demon Spark]--penggabungan raga--dengan Rajair?
Reeh : Banyak sekali pengungkapan misteri di sini. Gerbang Khatea, perpustakaan Al-Fata, dan segalanya, sungguh sangat memukau. Terlebih, surat Nun itu. Ternyata Thurqk mengetahui ihwal itu?
Manggale: Alamak, jang! Mantap kali ini battle! Tak ngertilah aku!
Zany : Gunung-gunung berhancuran
Cheril : Jutaan pedang XD
Elle : Perang bintang, nom~
...
Yvika : Di sini terlalu bahaya, kawan. Mari kita menyingkir sebelum terkena collateral damage.
Leon : Betul. Nggak ada yang bisa digombalin juga di sini.
Baca ulang selera saya dalam membaca narasi. gak, saya gak maksa kok, cuman mau kasih justified alasan kenapa peringkat lazu jadi 3 terbawah.
ReplyDeleteitu, dan ditambah dari 5 Entrant yang harusnya dilawan bersama, yang dilawan cuma 3 dan...
3 itu gak bersamaan lagi: 1 lawan hampir sekarat, lawan 1 sehat bersama yang sekarat. lalu lawan 1 lagi yang terakhir...
Takdir lagi baik ternyata sama Lazu.
Catatan: saya ngasih nilainya berdasarkan urutan Favor
Nilai Anda
ursario - 9
claudia - 8.7
Nurin - 8.4
Yvika - 8.1
Sjena - 7.8
Sil - 7.5
Stalza - 7.2
Lazu - 6.9
Salvatore - 6.6
deismo - 6.3
.
ReplyDelete