Behind The Curtain
Pusat labirin Vishala Rashta adalah tempat di mana 13 orang peserta yang berhasil selamat hingga sejauh ini berkumpul.
Di sana, seorang lelaki berkacamata yang memperkenalkan dirinya dengan nama Nolan Collard Fambrough telah menunggu mereka.
Kepada para peserta ia mengaku bahwa ia berada di pihak mereka. Ia hendak meloloskan semua peserta dari kezaliman turnamen penuh adu domba ini, dengan syarat mereka mengikuti rencananya untuk mengalihkan perhatian Thurqk si dewa merah sementara ia melakukan apa yang ia perlukan.
Dan tidak ada pengalih perhatian yang lebih baik bagi Thurqk selain menyajikan hiburan – tentu saja, dalam bentuk pertarungan.
Ada yang percaya, ada pula yang tidak langsung percaya padanya. Beberapa dari peserta sesekali bertanya ini dan itu pada Nolan. Beberapa tampak acuh tak acuh. Beberapa yang lain mungkin tidak mendengarkan sama sekali bahkan hingga sang lelaki berkacamata selesai mengutarakan semua yang ingin ia sampaikan.
Di pojok ruangan berbentuk lingkaran tersebut, seorang wanita dalam balutan jubah hitam-putih terdiam mendekap sebuah kepala tak bernyawa.
Ia terpaku, seolah tubuhnya dengan ruangan ini menyatu.
Tak ada yang menghiraukannya, tak ada yang menegurnya, tak ada yang kelihatannya peduli untuk memberitahu dirinya kalau sudah saatnya mereka semua bergerak menuju destinasi selanjutnya.
Sekejap kemudian, ruangan itu telah kosong.
Menyisakan sang wanita yang tidak tahu menahu apa yang terjadi, tidak pula tahu apa yang sebaiknya ia lakukan saat ini.
Lama waktu berselang hingga akhirnya sesuatu membuatnya berdiri dari tempatnya termenung sedari tadi.
Dibimbing oleh ketidaktahuan, kakinya mulai melangkah tak tentu arah.
Menuju ke satu-satunya jalan untuk keluar dari kesunyian ini.
*****
Opened Curtain
Gelap.
Di mana aku berada?
Tubuhku…mengapa aku tidak bisa melihat tubuhku sendiri?
…...
Aku masih bisa merasakan tanganku.
Aku tidak bisa melihatnya dalam kegelapan, tapi aku masih bisa merasakannya.
Sesuatu. Tidak adakah sesuatu untuk kuraih di sini?
……
Tunggu. Cahaya apa itu?
….terang sekali.
Terlalu terang.
….cahaya ini terasa seperti hendak menelanku bulat-bulat.
Ke mana hilangnya kegelapan tadi?
Mengapa cahaya ini tampak lebih membutakan daripada kegelapan?
……
…Claudia.
Claudia!
Claudia, di mana kau?
Claudia, aku….
*****
First Quarter
-1-
Adalah sebuah dunia, di mana laut berwarna hijau dan darat berwarna biru, yang menjadi tempat persinggahan Claudia Neuntzmann saat ia kembali tersadar dari lamunan yang membawa kakinya berjalan tanpa tuntunan mata.
Sebuah planet yang jelas bukan bumi.
Claudia segera mengetahui hal itu bukan hanya karena warna laut dan darat yang tertukar, tetapi karena melihat apa yang ia dapati di langit.
Dua buah bulan.
Dua buah bulan bersinar terang, seolah satu bulan saja tidak cukup untuk menemani planet ini kala malam menjelang.
"Di, di mana ini…"
Claudia terkesiap. Di dadanya, kepala Claude masih ia dekap.
Sejak menunggui kekasihnya untuk sadar kembali, ia merasa waktu terhenti untuk sementara. Pikirannya terasa hampa. Dan tiba-tiba saja, sekarang dia sudah berada entah di mana.
Claudia melihat ke sekeliling.
Kelihatannya tempat ini merupakan sebuah planet yang penuh dengan air, atau mungkin ia kebetulan memang berada di daerah kepulauan. Sejauh matanya memandang, selain dua buah bulan serta warna laut dan darat yang tertukar, Claudia mendapati dirinya berdiri di sebuah daratan yang bahkan terlalu kecil untuk disebut sebuah pulau kecil, dengan banyak daratan-daratan seukuran serupa tersebar di antara lautan warna hijau.
Bagaimana ia bisa sampai ke sini?
Tidak, yang lebih penting, bagaimana caranya dia kembali?
"….."
…kembali?
Kembali ke mana?
Claudia menatap wajah Claude yang tak kunjung membuka mata.
Tanpa badan, ia bahkan tidak tahu apakah sang kekasih masih bernapas atau tidak. Bagaimana bisa ia mengatakan Claude masih hidup dalam keadaan begini?
Ia kebingungan. Ia gundah. Bukan main perasaan tak menentu yang menyelimutinya saat ini, hingga ia benar-benar tidak tahu apa yang sebaiknya ia perbuat selain berdiam diri.
Namun tidak untuk waktu yang lama.
Karena di tempat ini, ia ternyata tidak sendiri.
*****
-2-
Suara langkah kaki terdengar dari berbagai arah, memberi sinyal bagi Claudia untuk kembali waspada. Bangkit dari kebingungannya, Claudia melihat siapa kiranya orang-orang yang turut hadir di tempat ini bersamanya.
"…?"
Terkejut mungkin bukan kata yang tepat, karena Claudia sedikit banyak tahu, dirinya mungkin terbawa lagi ke salah satu pertandingan seperti yang sudah-sudah sejak ia mendapati kesadarannya kembali. Maka lebih tepat bila apa yang ia rasakan saat ini digambarkan dengan satu kata.
Keheranan.
'Mereka' yang kini tampak di hadapan Claudia tak lain adalah sekumpulan lawan yang ia yakin telah dikalahkannya bersama Claude pada pertandingan-pertandingan sebelumnya.
Si remaja berjubah merah dengan harimaunya.
Si lelaki pecinta bunga dengan busana hitam yang dapat memanggil mahluk dari dunia lain.
Si raja pirang dengan jubah kebesaran dan tongkat batu rubinya.
Serta yang paling baru dalam ingatannya, lelaki dengan potongan rambut menutup sebelah mata dan membawa-bawa pedang bergagang pistol.
Ada satu lagi mahluk aneh cebol dengan tubuh berwarna hijau dan sepasang lentera yang menyatu dengan kepalanya, tapi Claudia tidak ingat pernah menghadapi yang satu ini.
Namun lima sosok ini memliki satu kesamaan.
Pertama, mata mereka semua didominasi dengan warna hitam alih-alih putih, dengan iris yang jelas-jelas berwarna putih menyala.
Kedua, mereka semua tidak tampak berakal. Atau setidaknya, gerakan mereka tidak tampak seperti seseorang yang memiliki kesadaran.
Dan ketiga…
"Apa yang—"
…mereka semua serentak menyerang Claudia tanpa aba-aba.
*****
-3-
Planet ini bernama Skymaeria, planet yang merupakan tempat Bara Tumpara – satu-satunya lawan yang tidak dikenali Claudia saat ia pertama melihatnya – berasal. Di tempat ini, daratan tidak pernah membentuk suatu pulau seluas benua, dan sekalipun bisa dikatakan perbandingan air-darat di tempat ini menyerupai bumi, pada penampakannya air lebih mendominasi di mana-mana.
Karena itulah, sulit bagi mereka yang diciptakan untuk berpijak dan hidup di darat untuk bergerak leluasa di tempat ini.
Termasuk pula Claudia.
Sejak serangan pertama dari kelima orang yang entah mengapa kompak mengincar dirinya, mati-matian Claudia berusaha melindungi diri (dan kepala Claude yang tak pernah lepas dari dekapan tangannya) ataupun menghindar sebisa mungkin. Hanya saja, dengan hamparan lautan dan daratan yang jarang seperti ini, nyaris tidak ada sama sekali tempat bersembunyi.
"Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Berkali-kali Claudia berteriak pada lawan-lawannya, namun tak ada satupun yang menunjukkan kemampuan ataupun kemauan untuk setidaknya berkomunikasi. Keheranan Claudia semakin bertumpuk-tumpuk; selain ketidaktahuannya akan apa yang sebenarnya sedang berlangsung, tidak ada petunjuk tentang apa yang seharusnya ia lakukan dalam keadaan begini.
Seandainya saja Claude sadar, mungkin ia bisa berpikir lebih jernih dari Claudia dan menganilisa situasi yang dihadapinya sekarang.
Namun kenyataannya, Claude belum juga berkenan membuka mata.
Claudia tak punya pilihan lain. Dalam kekalutan yang melanda isi kepalanya, hanya seruan untuk menyelamatkan diri yang membuatnya terus bergerak.
Selama ia berada di daratan manapun, tiga orang telah menunggu.
Pria dengan pedang gagang pistol mengejarnya untuk pertarungan jarak dekat. Lelaki pemanggil mahluk aneh mengandalkan serangan elemental dari mahluk bawahannya untuk menyerang Claudia pada jarak menengah. Sang raja tampak tak acuh, namun berjaga pada jarak yang cukup jauh – seolah memastikan tak mungkin Claudia lepas dari jeratan mereka.
Masalahnya tidak selesai dengan tiga orang ini.
Di udara, remaja berjubah merah dan harimaunya terbang dengan leluasa. Di lautan, mahluk hijau penghuni asli planet ini senantiasa menutup celah untuk kabur sepenuhnya.
Darat, laut, udara.
Jarak dekat, menengah, jauh.
Meski kelihatan seperti mahluk tak berakal yang bahkan tak dapat bertukar kata-kata, harus diakui susunan petarung ini benar-benar solid dalam memerangkap Claudia.
…haruskah semua berhenti di sini?
*****
-4-
Pria dengan pedang gagang pistol menyabetkan senjatanya, yang masih dapat dihindari dengan relatif mudah oleh Claudia.
Namun itu bukan berarti ia lolos, karena satu serangan gagal ini adalah rangkaian dari serangan berikutnya.
Lelaki dengan ikat kepala menyeru mahluk panggilannya – sesosok menyerupai manusia dengan pedang di kedua tangan – untuk menyambut Claudia tepat saat serangan sebelumnya berhasil ia lewati.
Ayunan pedang seorang ahli memang berbeda. Tidak seperti pria pertama yang gerakannya berat dan bisa dihindari, Claudia tidak punya ruang untuk menghindari serangan mahluk berpedang ini, sehingga dengan terpaksa memasang pelindung tak kasat mata antara dirinya dan mahluk tersebut. Dalam keadaan terjepit seperti ini, pria dengan pedang besar bergagang pistol kembali menyerangnya – kali ini dari belakang.
Melepaskan pelindung yang menahan serbuan mahluk berpedang, Claudia mengubah orientasi si pria sehingga serangannya justru tertuju pada mahluk berpedang di hadapannya.
Dengan satu suara ledakan, mahluk itupun lenyap sudah.
Daya hancur serangan pria ini (dalam hati Claudia melabelinya sebagai 'Si Satu Mata' karena potongan rambutnya) kelihatannya besar, tapi dia tidak punya kecepatan dan stamina untuk mengimbangi serangannya.
Meloloskan diri menjauh dari si Satu Mata, Claudia berhadapan langsung dengan pemanggil mahluk alam lain (dalam hati Claudia melabelinya sebagai 'si Ikat Kepala'). Mungkin karena tidak mengantisipasi Claudia bisa menutup jarak dengannya secepat ini, lelaki itu tidak sempat memanggil mahluk berikutnya, dan terpaksa mencabut revolvernya.
Sederet tembakan meletus, dan segera dipantulkan oleh Claudia, semuanya menuju ke arah seseorang yang tidak beruntung di udara (dalam hati Claudia melabeli remaja tak beruntung ini sebagai 'si Merah Sial').
Pada awalnya Claudia hendak menghabisi si Ikat Kepala terlebih dahulu. Akan tetapi ia sedikit ceroboh. Rupanya Claudia lupa bahwa pisau jagal yang biasa tersampir di pinggang belakang tubuh ini sudah rusak sejak pertandingan sebelumnya. Sebelum sempat memikirkan serangan improvisasi, petarung yang paling banyak tidak bergerak sejak awal ('si Raja Pirang', begitulah Claudia menyebutnya) entah bagaimana telah melesat ke arah mereka, membuat Claudia seketika berbalik mundur untuk menjauh.
Dan tentu saja, masih ada satu orang terakhir yang tidak membiarkan Claudia berpindah tempat antar daratan dengan mudah.
Si 'Hijau Cebol' selalu muncul dari air setiap kali Claudia memutuskan menghindar ke dataran lain untuk mengambil jalan, dengan gerakan berputar bagai gasing yang membuat Claudia harus dengan cepat menyiapkan pelindung untuk menangkisnya, membuatnya kembali ke dalam air dan memutari daratan tempat Claudia berdiri sebelum Claudia hendak berpindah lagi.
"…hah…hah…."
Ini tidak akan ada habisnya.
Claudia merasa sedih sekaligus sebal.
Mengapa di saat seperti ini, Claude tidak menemaninya?
Bagaimana ia harus menghadapi semua ini seorang diri?
"…."
Kepala Claude masih aman dalam dekapannya.
Setidaknya untuk saat ini.
Claudia mengambil napas sesaat sebelum kelima lawannya menyerbu kembali.
Kalau Claude ada di sini, apa yang akan ia lakukan?
Lima orang lawan.
Dunia penuh air, minim daratan, tanpa daerah pepohonan rimbun atau bukit berbatu untuk menyembunyikan diri.
Seandainya Claudia bisa mengubah pertarungan ini menjadi satu lawan satu, bisakah ia menghabisi lawannya satu-persatu?
"Pfft."
Claudia tertawa kecil.
Ada banyak hal yang seharusnya ia khawatirkan.
Bahkan ia sendiri mengira, seharusnya saat ini ia dilanda depresi, tak kuasa memberikan perlawanan balik pada situasi yang ia sendiri tidak mengerti.
Namun kenyataannya, Claudia masih bisa tersenyum.
Hanya karena ia tahu.
Claude masih ada di sini.
Claude mungkin belum membuka matanya.
Claudia bahkan tidak tahu apakah Claude akan membuka mata pada akhirnya nanti.
Tetapi mereka telah bersama selama satu abad.
Claudia bukanlah wanita lemah yang meragukan pasangannya, ataupun kehilangan kendali atas dirinya hanya karena pasangannya ini tidak membuka mata.
Ingatlah.
Ingatlah mimpi-mimpi kita, ujar Claudia pada dirinya sendiri.
Apa saja yang sudah mereka lalui hingga sampai sejauh ini?
Apa saja yang telah mereka raih dalam kehidupan yang panjang dibandingkan manusia biasa?
Berdua, mereka mampu menghadapi sang Kematian.
Karena itulah—
—menghadapi lima orang saja seharusnya bukan sesuatu yang sulit.
Setidaknya, begitulah Claudia menguatkan dirinya dalam hati.
*****
-5-
Semua serangan dadakan dari lima orang lawan yang dihadapinya saat ini ditanggapi oleh Claudia sebagai sebuah tamparan yang menyadarkan agar ia tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Benar. Selama masih ada yang memberikan perlawanan, berarti masih ada jalan.
Perjalanan di dunia kematian ini belum berakhir.
Masih ada harapan.
Masih ada sesuatu yang bisa ia temukan di ujung perjalanan ini.
Sekalipun dirinya tak tahu apa yang tengah terjadi pada Claude, hatinya telah yakin bahwa ini bukanlah akhirnya.
Benar. Ini adalah…
"…Ujian Cinta!"
Meneriakkan kalimat tersebut, Claudia menjadi jauh lebih rileks daripada sebelumnya. Bahkan kini ia malah melempar kepala Claude ke arah si Mata Satu seperti pertandingan mereka sebelum ini.
"Claude Cannonade!"
Entah apakah sebuah sekrup lepas dari kepala Claudia, kini ia tampak lebih menikmati pertarungan ini alih-alih mengkhawatirkan situasi lima lawan satu seperti di awal. Ia bahkan tidak sadar bahwa Claude tidak sadarkan diri, bukankah berisiko tinggi melempar kepala yang tidak kembali kepadanya (sekalipun ia melapisi kepala Claude dengan pelindung absolut tak kasat mata)?
Namun situasi sempit seperti ini ternyata membangunkan sesuatu yang terpendam dari kemampuan Claudia.
Ia belum sepenuhnya menyadari, akan tetapi sambil mengontrol bangun ruang yang ia gunakan untuk melapisi kepala Claude, ia telah melakukan sesuatu yang serupa dengan telekinesis.
Bahkan tanpa kesadaran sang kekasih, Claudia mampu menggerakkan dengan bebas kepala itu ke sana-kemari, menghalau penyerangnya untuk menutup jarak antara ia dengan mereka.
Tentu saja, masih ada yang bisa lolos dari halauan itu. Contohnya adalah si Merah Sial yang terbang di udara.
Mungkin melihat rekan-rekannya tak mampu memberikan serangan berarti dalam sekian waktu, si Merah Sial tergerak untuk ikut ambil peran. Tak sungkan-sungkan, ia melepaskan senjata terkuatnya – sebuah misil yang bersifat implosif alih-alih eksplosif.
Misil itu ditembakkan, meluncur jatuh ke arah tanah bagai sebuah meteor.
Claudia – yang sudah pernah menyaksikan sendiri sehebat apa daya rusak misil ini hingga meluluhlantahkan satu desa tanpa sisa – segera bergerak cepat dengan menarik kepala Claude, membuat pijakan dari bangun ruang ciptaannya untuk kabur ke udara, dan tak lupa mengubah lintasan misil tersebut sehingga mengarah pada tiga orang pria yang masih berpijak di tanah.
Sebenarnya Claudia tidak merencanakan ini, tapi serangan misil si Merah Sial ini sungguh membantu. Sekali serang, tiga lenyap, dan tinggal sisa dua!
…setidaknya begitulah pikir Claudia, yang mengira tak akan ada cara bagi tiga orang yang masih berdiri di darat itu untuk menghindar ataupun menahan serangan skala besar ini.
Namun tidak demikian dengan si Raja Pirang, yang dengan tenangnya maju memunggungi kedua rekannya.
Begitu misil berjarak begitu dekat dengan mereka, si Raja Pirang membuka sebuah portal dimensi – yang tak lain adalah pintu menuju kumpulan koleksinya – dan menelan misil tersebut ke dalam ketiadaan.
Portal dimensi ditutup, dengan sebuah suara menggelegar yang segera teredam saat portal itu sepenuhnya hilang dari pandangan.
Apapun yang ada di dimensi seberang sana mungkin telah lenyap pula bersama dengan meledaknya misil si Merah Sial.
Peristiwa ini dicermati oleh Claudia.
Meski gagal melenyapkan tiga orang lawannya sekaligus, ia mendapati sesuatu yang menarik.
Membuat lubang dimensi…dengan kata lain, menciptakan suatu 'ruang' tersendiri.
Mungkinkah ia dapat melakukan hal serupa?
Di udara, Claudia yang tengah berdiri di atas bangun ruang ciptaannya terketuk memikirkan kemungkinan ini. Ia bahkan tidak menghiraukan si Merah Sial yang rupanya tidak belajar dari kesalahan dan menembakkan misil kedua.
Dan tentu saja, serangan yang satu ini pun dialihkan oleh Claudia ke arah darat.
Kali ini ia tidak bertujuan menghabisi lawannya. Tahu kalau seperti halnya dia yang hanya akan mengalih-arahkan serangan misil ini, si Raja Pirang di bawah sana juga pasti hanya akan menelan misil ini kembali. Jadi, yang Claudia lakukan saat ini adalah membuat lahan pertarungan baru.
Kalau misil ini punya kekuatan untuk melenyapkan satu desa, bagaimana kalau ia arahkan ke lautan di bawah sana?
Begitulah, misil itu mengarah ke lautan hijau.
Sebuah bola hitam raksasa terbentuk, menyedot seisi lautan cukup jauh dari tempat Claudia berada hingga mereka yang berdiri di darat mungkin merasakan gempa untuk sesaat.
Dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
Lubang besar yang ditimbulkan oleh ledakan misil itu membuat ketinggian air antar daratan di sekitarnya menurun – sehingga kini sebuah daratan yang lebih luas daripada apa yang Claudia dapati saat tiba di sini muncul di permukaan.
Tempat yang memungkinkan ia bergerak lebih leluasa daripada harus berpindah daratan setiap kali menerima serbuan serangan.
Kehabisan misil, rupanya si Merah Sial tidak jera. Melihat Claudia tak memerhatikannya sekalipun hanya mereka berdua (tiga, bila menghitung harimaunya) yang berada di udara, si Merah Sial memerintahkan tunggangannya untuk menerkam wanita berjubah hitam-putih di depan mereka.
"…kalian ini tidak belajar dari pengalaman, ya…"
Claudia bagai merasakan sebuah kaset usang yang diputar kembali.
Ia menghindari serangan sang harimau terbang dengan melepas bangun ruang yang menjadi pijakannya, membuatnya kehilangan ketinggian.
Yang segera dilanjutkan dengan membuat pijakan baru untuk bertolak melompat ke arah perut si harimau, dan menancapkan sebuah bangun kerucut yang menembus sang harimau beserta penunggangnya tanpa ampun.
Si Merah Sial dan harimaunya tumbang begitu saja.
Jatuh bebas dari langit malam, berakhir dengan ditelan oleh lautan hijau.
Di udara, Claudia mendekap kepala Claude sambil tersenyum.
"Sisa empat… Aku bisa melakukannya!"
*****
>[Andhika Karang defeated]
>Enemies remaining : 4/5
Second Quarter
-1-
Claudia tidak memikirkan ini sebelumnya, tetapi di antara empat lawan yang tersisa, tidakkah ada di antara mereka yang bisa terbang?
Di angkasa malam yang diterangi oleh dua rembulan, Claudia terduduk di atas bangun yang ia ciptakan di udara seraya menengok ke bawah, layaknya dewa yang sedang mengamati mahluk ciptaannya dari balik awan.
Setelah mengalahkan satu dari lima lawannya, Claudia mendapat sedikit waktu untuk bernapas lebih panjang dari sebelumnya. Di bawah sana, kelihatannya belum ada yang berinisiatif mengejarnya hingga ke atas sini, jadi Claudia memanfaatkan kesempatan ini untuk menata ulang hal-hal yang sebelumnya tidak sempat ia pikirkan.
Mari kita runut kembali.
Pada pertandingan ketiga melawan si Mata Satu (ia tidak mungkin salah mengenali pedang bergagang pistol dan potongan rambutnya itu), Claudia tidak yakin bagaimana pertarungan itu berakhir. Yang ia tahu, badannya tertusuk berbagai macam senjata dari seluruh penjuru ruangan, kemudian ia kehilangan kesadaran.
Apa ia menang?
Kalau mengingat ucapan pria berkacamata (yang kelihatannya bukan salah satu peserta) sebelum ia tiba di tempat ini, ia telah melewati pertandingan keempat. Entah bagaimana caranya, Claudia tidak memiliki ingatan akan hal itu. Akan tetapi, hal ini berarti dalam pertandingan terakhir mereka, Claude dan Claudia keluar sebagai pemenang.
Sekarang sampailah mereka di sini.
Kalau benar mereka sudah melewati pertandingan keempat, maka Claudia menyimpulkan ini adalah pertandingan kelima. Mengabaikan apapun yang sebenarnya terjadi pada pertandingan sebelumnya, mungkin karena itulah tantangannya kali ini adalah satu lawan lima. Cocok sekali, pertandingan kelima menghadapi lima orang lawan (yang tampaknya seperti versi zombie dari peserta yang sudah gugur).
Meski demikian, tetap saja pertanyaan terbesar Claudia belum terjawab.
Mengapa Claude tak kunjung membuka mata?
Claudia harus memastikannya.
Di antara tiga orang di bawah sana, ia harus mencoba mengambil tubuh salah satu dari mereka, untuk sekedar memastikan Claude masih dapat dikatakan baik-baik saja.
Dengan tekad demikian, Claudia pun mengumpulkan kembali semangatnya untuk melanjutkan pertarungan.
"…eh?"
Baru saat ia melirik ke bawah, ia menyadari bahwa semua lawannya sudah tidak ada lagi di tempat ia terakhir kali melihat mereka.
"Ke mana—"
Claudia segera mendapatkan jawabannya, ketika mendapati seekor naga emas yang terbang pada ketinggian yang sama dengan dirinya.
Di atas naga itu, berdirilah empat orang lawannya.
Mereka berdiri tegak dengan tatapan kosong yang terpancar dari bola mata hitam mereka.
Tanpa ekspresi, tanpa emosi.
Claudia baru saja berpikir untuk membalik tubuh sang naga dan membuat para penunggangnya jatuh, saat tiba-tiba saja si Raja Pirang melesat dari punggung naga untuk menyerbunya.
Sebuah pertarungan udara tak terelakkan.
Sebelum sebuah serangan berupa pukulan dari si Raja Pirang melesak masuk, Claudia telah terlebih dahulu membiarkan dirinya jatuh dengan melepas bangun ruang yang menjadi pijakannya di udara. Tetapi pandangannya luput memerhatikan bahwa bukan hanya si Raja Pirang yang melompat meninggalkan naga emas itu, melainkan juga dua orang rekannya.
Si Cebol Hijau berputar di angkasa, memberikan momentum untuk menghempaskan si Raja Pirang menyusul jatuhnya Claudia dengan kecepatan yang lebih tinggi.
"Urgh!"
Dalam keadaan satu tangan memegang kepala Claude, Claudia mengarahkan satu tangannya yang lain untuk menyiapkan semacam perisai. Sontak ketika si Raja Pirang kembali melayangkan sebuah tinju menukik, Claudia serta-merta menangkis sekaligus memantulkan diri dari jangkauan si Raja Pirang itu di saat yang sama.
Masih berada di udara, keduanya jatuh bebas pada ketinggian yang sama namun dengan jarak yang cukup memisahkan mereka.
Tetapi tentu saja serangan ini tidak berhenti di situ.
Claudia tidak tahu sejak kapan, tapi rupanya si Mata Satu pun telah ikut meluncur ke arahnya dengan bantuan putaran akrobatik si Cebol Hijau di udara. Beruntunglah Claudia masih cukup cekatan menangkap gelombang serangan kedua ini, dan segera saja ia mengubah haluan si Mata Satu sehingga ia malah jatuh beradu dengan si Raja Pirang.
Sayang, semua ini ternyata hanyalah pengalih perhatian belaka.
Claudia sepenuhnya melupakan si Ikat Kepala, sang pengendali naga emas yang masih terbang bebas di angkasa luas.
Rupanya dalam sekian jeda waktu singkat yang terjadi dalam pertarungan udara barusan, si Ikat Kepala telah menyiapkan sebuah sihir dari mahluk panggilannya untuk menyerang Claudia yang terlanjur tak memerhatikan.
Rentetan hujan petir pun menyambar dengan dahsyatnya, tak sanggup untuk Claudia tahan, tidak pula sempat untuk ia hindari.
"Kyaaaaaaaaaaaaaaaahhhh!!!!"
Claudia merasakan nyeri yang luar biasa. Seketika itu pula ia kehilangan tenaga.
Pegangannya pada kepala Claude terlepas saat itu juga.
"…ah…!"
Dalam keadaan jatuh seperti ini, Claudia benar-benar tidak dapat menggapai kepala kekasihnya tersebut hanya berbekal uluran tangan saja.
Ia harus melakukan sesuatu!
Benar, kemampuan menciptakan bangun ruang! Bagaimana ia bisa mengendalikan kepala itu saat menggunakannya untuk menyerang lawannya?
Bagaimana?!
"Kuh!"
Berpikir teoritis benar-benar bukan keahlian Claudia.
Hanya dalam hitungan detik, mereka akan menghantam tanah. Ini bukan waktunya untuk berpikir!
Claudia menciptakan bangun ruang sebisanya.
Tidak sampai.
Ia mencoba mebuatnya setipis dan sepanjang mungkin.
Tidak sampai.
Ia mencoba untuk setidaknya membungkus langsung kepala Claude dengan suatu pelindung.
Tidak sampai.
Frustasi datang menghampiri.
Claudia berhenti mencoba apa yang ia kira bisa lakukan, dan mencoba apa yang belum ia lakukan.
"SAMPAILAH!"
Dengan segenap tenaga yang tersisa dalam satu ayunan tangan, Claudia menyapukan kepala Claude dalam pandangannya.
…dan ia berhasil.
Kepala Claude bergerak mengikuti ayunan tangannya, hingga kemudian ia menariknya mendekat ke dalam dekapan dadanya.
Ya, Claudia berhasil sepenuhnya mendapatkan cara untuk melakukan telekinesis!
"Claude! Syukurlah, aku—"
Dengan suara berdebum keras, punggung Claudia menghantam tanah biru.
*****
-2-
"Ohok…ohok!"
Dalam keadaan terbaring lemah, Claudia membatukkan darah.
Sengatan petir ditambah dengan gaya jatuh dari ketinggian yang cukup tinggi, Claudia tidak dapat lari dari rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya saat ini.
…setidaknya kepala Claude baik-baik saja.
Ia hanya bisa tertawa miris dalam hati.
Ya, ia tidak lupa, dan tidak boleh lupa. Meskipun tubuh pinjaman dari Dullahan ini sejatinya adalah abadi, namun mereka masih dapat merasakan sensasi bernama nyeri.
Pandangan Claudia mulai mengabur.
….di mana empat orang lawannya?
Samar Claudia melihat beberapa sosok yang muncul dari lautan. Sosok lain mendarat dari lagit.
Claudia menghimpun tenaga sebisanya, namun sia-sia saja.
Saat ini ia bahkan tidak sanggup untuk berdiri.
Ah… Bukankah ini kondisi yang begitu serupa dengan pertandingan sebelumnya?
Dengan kepala Claude yang tak sadarkan diri dalam dekapan dadanya, Claudia yang sudah tak bisa apa-apa hanya melindungi kekasihnya dalam diam.
….apakah kejadian yang sama seperti itu akan terulang kembali?
Dalam keadaan demikian, apa yang menjamin bahwa kali ini, ia akan mendapat kesempatan untuk kembali membuka matanya?
Claude bahkan masih sadar hingga detik ini.
….tidak.
Claudia tidak boleh bertaruh di sini.
Dia tidak boleh memasrahkan diri pada nasib.
Harus ada sesuatu yang bisa ia lakukan. Dan cepat. Sebelum empat orang lawannya datang dan menyerang mereka berdua!
….ruang.
Itu dia.
Ciptakan sebuah ruang.
Pisahkan antara dirinya dan Claude dengan mereka yang hendak menyerangnya.
Bukan sekedar bangun ruang yang menempati sebuah udara kosong. Namun sebuah 'ruang' terpisah tersendiri yang benar-benar memisahkan dirinya dengan tempat ini.
Seperti portal dimensi si Raja Pirang.
Ya, tepat seperti itu!
Bagaimana menciptakannya? Samakah dengan bagaimana ia menciptakan bangun ruang?
Heh.
Claudia sudah tahu kalau percuma ia berpikir. Lagipula ia tidak memiliki kemewahan bernama waktu.
Coba dulu, baru tahu!
Claudia menciptakan sebuah bangun ruang.
Tidak, bukan yang begini.
Para lawan melangkahkan kaki mereka mendekat.
Claudia membayangkan sesuatu yang menyelimuti dirinya dan Claude.
Tidak, bukan seperti ini.
Mereka semakin dekat. Tanpa perlu Claudia mendengar atau melihat, ia tahu itu.
Claudia harus membuatnya.
Sebuah ruang.
Sebuah dimensi.
Sebuah dunia tersendiri!
Sesuatu yang sepenuhnya terpisah dengan tempat ini!
....mampukah ia?
Itu bukan pertanyaan.
Ia harus.
Segala sesuatu yang dapat dibayangkan oleh akal manusia adalah sesuatu yang mungkin terjadi.
Maka apa yang ia bayangkan, terjadilah.
*****
-3-
Seorang berilmu bernama Schrodinger pernah mengatakan, bila kita memasukkan kucing ke dalam sebuah kotak dan membiarkannya untuk beberapa waktu, kita akan mendapatkan keadaan di mana kucing itu hidup dan mati di saat yang sama.
Fenomena dua kejadian berbeda dalam satu waktu ini hanya dimungkinkan oleh satu hal; karena pengamat tidak dapat memastikan kebenarannya.
Maka bila ia berpikir sesuatu, yang sebaliknya pun mungkin terjadi.
Seperti itulah perasaan Claudia saat ini.
Saat ini, ia bahkan tidak berani untuk membuka matanya.
Berhasilkah ia membuat 'ruang' sendiri?
Ia tidak tahu. Waktu pun tidak berhasil membujuknya untuk mencari tahu.
Ia merasa ketika ia tahu jawabannya, lenyaplah kemungkinan sebaliknya.
Hingga datanglah sebuah suara yang menjawab keraguan Claudia.
Suara yang tak lain adalah derap kaki seseorang.
Selesai sudah. Rupanya sampai di sini saja ia bisa membawa Claude dalam turnamen setelah kematian ini.
Ia gagal. Sebentar lagi para penyerangnya akan membunuhnya tanpa pikir panjang, sebagaimana ia dan Claude membunuh mereka pada pertandingan-pertandingan sebelumnya.
Menyesal pun sudah terlambat. Ia tidak bisa mengulang waktu. Kalau bisa, sudah barang tentu Claudia memutar waktu hingga mereka berdua tidak perlu lagi mengalami kematian untuk yang kesekian kali.
….atau begitulah pikirnya, ketika kemudian terlintas di benaknya sebuah kejanggalan.
Derap kaki ini bukan suara sepatu atau kaki manusia.
Ini adalah…suara kaki kuda?
Ya, kaki kuda. Dan beberapa saat setelahnya, suara itu disertai dengan sesuatu yang berbunyi seperti besi berat diseret di tanah.
Akhirnya Claudia tidak menahan diri lagi dan membuka matanya.
Ia segera memastikan di mana dirinya berada saat melihat ke arah langit.
Dua buah bulan.
Lautan di mana-mana, daratan yang sempit.
Pemandangan yang sama dengan yang ia lihat sebelum menutup mata.
Berarti, dia belum berpindah tempat.
Lalu mengapa—
—semuanya tidak memiliki warna, melainkan hitam dan putih saja?
"Hei."
Sebuah suara menyapa Claudia yang masih berbaring di tanah, dengan Claude di dadanya.
Susah payah Claudia menggeser posisi kepalanya, melihat siapa gerangan yang akhirnya mengajaknya bicara setelah ia merasa seperti bertarung dengan boneka bisu selama ini.
Pemilik suara ini bukanlah satu di antara empat lawan yang ada dalam bayangan Claudia.
Sosok ini sama sekali tidak ia kenali, dan ia yakin tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini.
Namun sebaliknya, sosok yang sekarang berjongkok di sampingnya tampak begitu sok kenal.
"Pakaian ini, dua kepala itu… Apakah itu kau, Tuan Dullahan?"
Ujar sang mahluk gagah berzirah besi yang ditemani dengan kuda berbalut tulang-belulang dan tombak berukiran ular.
*****
>[Claudia Neuntzmann fled]
>Enemies remaining : 4/5
Half Time
Eligor, begitulah sang mahluk berzirah itu menyebut dirinya.
Kepada Claudia ia bercerita, bahwa ia telah diamanahkan tugas oleh Dullahan untuk menghidupkan kembali dua kepala manusia yang menyertainya, apapun harga yang harus dibayarkan. Ia ceritakan pula apa yang ia lalui sampai berakhir di tempat ini – pada awalnya ia mengira Dullahan berusaha melindunginya, tapi ternyata dimensi ini tidak punya pintu keluar yang jelas, sehingga ia terpaksa harus membuntuti pancaran jiwa Dullahan dari dimensi lain ini.
"Jadi, Tuan Dullahan itu siapanya kalian? Dan kenapa sekarang dia menghilang?" tanya Eligor.
Claudia memikirkan apa kalimat yang tepat untuk menggambarkan hubungan mereka dengan Dullahan.
Teman? Rasanya lebih dari itu. Pada peristiwa dalam untaian kisah hidup mereka, di mana mereka terpaksa berbagi satu nyawa untuk dua jiwa, Dullahan memiliki andil besar dengan menyediakan tubuhnya sebagai 'penampung' kehidupan baru mereka.
"Penyelamat hidup kami," jawab Claudia, yang kini berangsur dapat mulai duduk kembali. "Kami tidak sempat membalasnya dengan apapun, dan ternyata dia malah berusaha sebegitunya untuk menghidupkan kami berdua…sekarang aku tidak tahu lagi bagaimana harus membalas budi pada dia."
Eligor menatap Claudia sesaat, kemudian memerhatikan kepala Claude yang ada di tangannya.
"Itu kepala kekasihmu?"
"Ya," ujar Claudia lirih. "Namun entah kenapa dia belum bangun juga. Aku khawatir karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum kesadaranku kembali."
"Yah, apa yang kutahu tentang kalian juga terbatas sampai aku dilarikan ke ruang tertutup ini," kata Eligor menimpali. "Aku bahkan tidak mengerti bagaimana Dullahan sekarang menghilang, dan digantikan oleh kau. Bukankah itu berarti apa yang dia pesankan padaku sudah terlaksana? Aku harus menuntut kebebasanku!"
"Pada siapa?"
"Pada Tuan Dullahan, tentunya!"
"…tapi dia tidak ada di sini. Kalau benar ceritamu bahwa dia meminta agar aku dan Claude 'dihidupkan' kembali, kemungkinan besar dia sudah terlelap lagi di alam bawah sadar tubuh ini."
"Jadi, yang harus kulakukan adalah membunuhmu, dan dia akan keluar?"
Claudia memicingkan mata, menatap tajam ke arah Eligor yang duduk di seberang sana.
"Dullahan akan membunuhmu kalau kau sampai membunuh kami. Bukankah kau sendiri yang tadi menceritakan betapa menyeramkannya kemampuan Dullahan?"
"Bercanda, bercanda," ucap Eligor mengelak. "Aku tahu, aku tahu. Tapi aku juga kebingungan kalau tidak bisa mendapat instruksi langsung begini, kan? Apa yang harus kulakukan?"
"Bantu aku menghidupkan kembali Claude. Setelah itu, setelah aku dan Claude memenangkan turnamen ini dan mendapat tubuh sendiri, akan kuminta Dullahan membebaskanmu."
Eligor bertukar pandangan dengan Claudia, lalu berkata,
"Hmm… Tawaran yang menarik." Eligor mengatupkan tangannya di depan wajah. "Kalau begitu sekarang kutanya dulu. Apa yang kau tahu sesuatu tentang kejadian sebelum kau tersadar, yang tidak diceritakan olehku barusan?"
Claudia memutar ingatannya kembali.
Ia teringat pria berkacamata – entah siapa namanya – mengatakan sesuatu tentang 'melawan Abby' dan 'memasukkan jiwa ke tubuh'.
"Tidak ada hal lain yang aneh yang dilakukan oleh Abigail Grey itu?"
"Aku tidak begitu menyimak, juga tidak sempat bertanya karena terlalu kebingungan… Tapi kalau tidak salah, dia mengatakan sesuatu seperti 'Abby memotong sebuah tali merah'? Apa kau tahu maksudnya?"
Mendengar penjelasan Claudia, Eligor tampak menghela napas.
"Kalian mampu mencurangi kematian dengan berbagi dua jiwa dalam satu nyawa, tapi kalian sendiri tidak mengerti tentang konsep jiwa (spirit) dan nyawa (soul)? Entah aku harus menganggap kalian ini luar biasa, atau luar biasa bodoh."
"……he?"
Apa hubungannya cerita barusan dengan konsep jiwa dan nyawa?
"Perbedaannya dapat diibaratkan seperti ini : sebuah nyawa adalah memory card kosong, sementara jiwa adalah data file yang akan mengisi memory card tersebut nantinya. Seiring berjalannya waktu, memory card itu akan terisi data yang mampu mendefinisikan isinya sebagai 'sesuatu' yang bisa diidentifikasi dengan nama. Karena itulah bayi sering dikatakan masih memiliki jiwa yang bersih, karena nyawanya belum terisi oleh apapun. Atau mengapa binatang dan serangga sering disebut tidak memiliki akal, karena pada dasarnya mereka hanya memiliki nyawa tanpa jiwa."
Seolah menjawab pertanyaan di kepala Claudia, entah kenapa Eligor mulai berbicara panjang lebar tentang sesuatu yang bahkan Claudia tidak paham kenapa dia mengalihkan topik ke sini.
"Secara esensi, mungkin lebih mudah bila kukatakan seperti ini : nyawa adalah ciptaan Tuhan yang terhubung dengannya, ditiupkan ke dalam tubuh sehingga seorang mahluk menjadi hidup – atau dengan kata lain, 'bernyawa'. Sementara jiwa adalah komponen non-jasmani yang mendefinisikan siapa dan bagaimana seorang individu tanpa melihat raganya, karena itu ia dapat ditempeli kata sifat seperti berjiwa ksatria atau berjiwa pengecut."
Tadinya Claudia ingin memotong kuliah dari Eligor, namun akhirnya ia memutuskan untuk mendengarkan lebih dulu, setelah kuda dan tombak milik Eligor berkata 'harap maklum, tuan kami memang punya kebiasaan bicara sendiri secara lepas seperti ini'.
"Singkatnya, mahluk apapun bisa hidup tanpa [jiwa], tapi tidak ada mahluk yang bisa hidup tanpa [nyawa]. Semua berawal dari sebuah nyawa, kemudian terbentuklah jiwa. Ketika mati, nyawa akan bersirkulasi kembali ke dalam putaran roda kehidupan, namun jiwa akan tetap berada di alam kematian hingga hari akhir."
Setelah bicara berputar-putar seperti ini, sampailah Eligor pada maksud yang ia tuju.
"Kalau dugaanku benar, si bocah Abigail itu melakukan kesalahan dengan membiarkan jiwa kalian berdua kembali ke kepala masing-masing, meski nyawa yang ia masukkan hanya menghidupkan salah satu di antara kalian."
Sekarang barulah Claudia menangkap ke mana arah pembicaraan ini.
"Ah. Maksudmu…dia memotong ikatan jiwa di antara kami, sehingga satu nyawa yang menghidupkan tubuh ini hanya memunculkan jiwaku ke permukaan?"
Eligor mengangguk pelan.
"Tapi…itu berarti, jiwa Claude masih ada di sini?"
Claudia menyodorkan kepala Claude di depan dadanya, dan Eligor kembali mengiyakan seraya berujar,
"Yang kubutuhkan sekarang adalah sebuah nyawa untuk dimasukkan ke dalam kepala laki-laki ini, dan ia akan hidup kembali seperti halnya dirimu."
Seketika itu pula, senyum merekah di wajah Claudia.
Claude ternyata memang ada di sini, bersamanya. Ia tidak pergi ke mana-mana.
Usahanya tidak sia-sia. Harapan itu benar-benar masih ada!
Claude belum mati, dan mereka telah menemukan cara untuk membangunkannya kembali!
"Eligor, katamu kau punya semacam pasukan jiwa kan? Kenapa tidak cabut saja nyawa salah satu di antara mereka dan berikan pada Claude?"
"Seenaknya!" celetuk Eligor yang terkejut mendengar permintaan dadakan Claudia. "Tidak tidak, kau tidak bisa mengambil pasukan jiwaku. Mereka semua sudah tidak punya nyawa, asal kau tahu saja. Mereka hanyalah jiwa-jiwa sesat yang kebetulan kumanfaatkan untuk tenaga perang daripada mereka menganggur tak jelas di neraka sana."
Claudia sedikit kecewa mendengar usulnya ditolak, namun tidak lantas kehabisan ide.
"Bagaimana kalau begini : di luar dimensi tertutup ini ada empat orang, kita bunuh salah satu dan kau ambil nyawanya untuk dipakai menghidupkan Claude!"
"Membunuh seseorang dan mengambil nyawanya?" lagi-lagi Eligor dikejutkan oleh usulan spontan bernada polos dari Claudia. "Hmm… Maaf sekali. Aku mungkin bisa memasukkan sebuah jiwa ke dalam suatu tubuh, tapi memisahkan jiwa dan nyawa dari orang mati sama sekali bukan termasuk kemampuanku."
Lagi-lagi usulannya ditolak. Claudia jadi merasa sedikit kecil hati karenanya.
Namun kali ini, Eligor ikut mendapat satu ide.
"Ah. Mungkin si bocah Abigail Grey itu bisa melakukannya. Tapi mana mungkin kita meminta bantuannya?"
"Itu dia!" seru Claudia. "Kita harus minta padanya!"
"Eh… Tapi…"
"Aku tahu. Kau sedang berstatus lari dari dia kan? Tenang saja. Aku mungkin akan menggunakanmu sebagai umpan untuk memancingnya mendatangi kita, tapi aku pasti akan melindungimu. Janji!"
Melihat mata Claudia yang berbinar-binar penuh harapan, Eligor tak kuasa lagi menolak.
"Jadi, apa rencananya sekarang?"
Claudia, yang akhirnya pulih dari luka-lukanya setelah beristirahat di tempat ini, bangkit dari duduknya. Eligor pun mengikuti, kemudian melempar pandang kepada luasnya cakrawala dua warna di dunia ini.
"….untuk sekarang, ayo pikirkan cara keluar dari sini."
*****
>[Eligor joined the party]
>Enemies remaining : 4/5
Third Quarter
-1-
Di sebuah daratan kosong planet Skyemaira, empat sosok berdiri siaga.
Selepas hilangnya Claudia dari tempat ini, rupanya mereka tidak lantas mengira tugas mereka – kalaupun memang ada yang memberi tugas pada mereka – di sini belum selesai. Tidak sebelum mereka memastikan target mereka itu benar-benar telah habis tak bernyawa.
Begitulah, tanpa lelah dan bosan mereka menunggu.
Hingga akhirnya sosok yang bagai dirindu itu muncul entah dari mana.
Claudia dan Eligor telah keluar dari dimensi hitam-putih, 'ruang tertutup' ciptaan Claudia. Setelah beberapa kali percobaan, Claudia baru menguasai bagaimana membuka-tutup pintu dua arah dari dimensi itu sesuka hati, dan akhirnya tibalah mereka kembali di daratan biru.
Dan kedatangan mereka segera disambut dengan bergeraknya empat sosok yang tak asing lagi di kejauhan.
"Geh, mereka benar-benar masih di sini."
Claudia bersiap untuk pertarungan babak dua, sementara Eligor bersikap santai di atas pelana kuda.
"Kenapa kau tampak terburu-buru begitu? Sejauh yang kulihat, lawan kita cuma empat."
"Dan kita cuma berdua. Tadinya aku agak meremehkan mereka, tapi setelah mengalahkan satu, empat yang lainnya ternyata tidak semudah itu untuk ditangani."
Eligor tergelak mendengar kata-kata Claudia.
"…? Apa yang lucu?"
"Haha, kau yang lucu, Nona Claudia. Dua lawan empat, katamu? Kelihatannya kau melupakan siapa aku sebenarnya."
Dengan satu kibasan tangan, suara gemuruh pilu mendadak meramaikan daratan tempat Claudia dan Eligor berdiri.
Claudia menengok ke belakang….dan tampaklah olehnya barisan pasukan perang yang tak terhitung jumlahnya.
"Aku adalah pemimpin dari enam puluh legiun pasukan jiwa! Kalau ingin bermain jumlah, aku jelas tidak akan kalah!"
Dan dengan mengacungkan tombaknya lurus ke depan, serentak majulah seluruh pasukan Eligor di belakang mereka, siap menyerbu ke arah empat sosok nun jauh di seberang sana.
*****
-2-
"Jadi, terangkanlah padaku empat lawan kita ini."
Masih duduk di atas pelana kuda dengan gagahnya, Eligor mengamati medan perang yang berkecamuk di hadapannya dengan seksama.
"Eeh, bagaimana harus kumulai? Intinya ada empat orang, agar mudah kita sebut saja si Mata Satu, si Ikat Kepala, si Raja Pirang, dan si Cebol Hijau. Kecuali yang terakhir, aku sudah pernah melawan mereka, jadi sedikit banyak tahu kemampuan mereka."
"Coba katakan padaku," pinta Eligor, tatapannya masih tetap melekat pada perkembangan perang empat lawan sekian ribu yang mulai memakan korban dari pihaknya.
"Si Mata Satu punya pedang yang bisa memberi daya ledak, tapi karena berat, gerakannya lamban, staminanya juga buruk. Si Ikat Kepala mengandalkan mahluk aneh yang dapat ia panggil dari alam lain, tapi kelihatannya punya batasan. Si Raja Pirang…kemampuannya macam-macam, sulit menilainya dalam kalimat ringkas – yang jelas baik fisik atau sihir, dia cukup ahli."
"Dari empat orang itu, mana yang paling berbahaya?" Eligor kembali bertanya.
"Mungkin si Raja Pirang, karena kami mati-matian untuk dapat mengalahkan dia. Si Cebol Hijau mungkin berbahaya juga karena aku tidak tahu apa-apa tentang dia, dan kelihatannya dia leluasa sekali bertarung di daerah penuh air seperti ini. Oh ya, harus kuingatkan, di antara tiga yang kusebut sebelumnya, semuanya punya jurus powerup di saat terdesak."
"Semacam kartu as, ya? Kalau begitu kita tinggal mengalahkan mereka dalam satu serangan one-hit kill sebelum senjata pamungkas mereka keluar."
"Tapi bagaimana?" sanggah Claudia. "Pasukanmu kelihatannya cuma jadi mainan mereka. Aku tidak tahu apa rencanamu adalah menguras tenaga mereka atau apa, tapi aku ragu kita bisa melakukan sesuatu kalau diam saja di sini."
"Kapan aku bilang kalau tugas mereka adalah menguras tenaga empat lawanmu itu?" ucap Eligor menyombongkan diri. "Mengulur waktu dan mengalihkan perhatian, mungkin sedikit tepat. Tapi yang paling kuincar adalah itu."
Eligor menunjuk ke arah langit.
"...? Apa yang hendak kau lakukan dengan itu?"
Eligor kemudian menjelaskan rencananya.
"Gila," adalah kata pertama yang keluar dari mulut Claudia saat mendengar gagasan Eligor. "Itu...kelihatannya berlebihan sekali. Bahkan aku dan Claude saja tidak pernah terpikirkan yang seperti ini. Aku tidak tahu apa aku bisa…."
"Kau bisa," kata Eligor meyakinkan. "Persetan hukum fisika. Percayalah padaku yang percaya padamu!"
Melihat Eligor memberikan jempol penuh percaya diri, Claudia hanya bisa menelengkan kepala.
…tapi bagaimanapun juga, harus diakui, ini sangat menarik.
Sudah dua kali Claudia menemukan aplikasi baru dari kemampuannya, dan sekarang dia sudah tidak ragu lagi mencoba apapun yang dapat ia bayangkan.
Kalau berhasil, ini akan menjadi serangan terkuat yang pernah Claudia ciptakan.
"Baiklah," timpal Claudia seraya membuka telapak tangannya. "Kita coba saja!"
*****
-3-
Di sebuah daratan penuh sesak tempat pertarungan empat zombie melawan ribuan hantu, langit malam mendadak kehilangan cahaya.
Meski hanya mahluk tanpa akal dan jiwa tanpa kehendak, tetap saja semua yang ada di tempat itu untuk sesaat menghentikan pertarungan mereka, ketika menyadari apa yang terjadi.
Tempat mereka berdiri semakin lama semakin ditelan oleh kegelapan.
Namun bukan karena bulan yang menjadi sumber cahaya pada malam hari menghilang.
Melainkan karena bulan yang seharusnya menerangi mereka saat ini justru tengah meluncur jatuh ke arah mereka.
Claustroclaucht, pada dasarnya, adalah kemampuan mengendalikan ruang.
Dalam satu ruang terbuka, objek dapat berpindah dari satu posisi ke posisi lain, variabel dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, dan ruang itu sendiri menjadi bersifat tak tetap terhadap apa yang dikandungnya.
Apapun yang bergerak, apapun yang memiliki keberadaan, apapun yang menempati sebuah ruang. Selama dalam jangkauan mereka, adalah sesuatu yang Claude dan Claudia dapat manipulasi.
Mereka hanya perlu memandang dan membayangkan.
Selama objek yang dituju masih dalam jarak pandang mereka, maka mereka masih dapat mengendalikannya.
Secara sederhana, begitulah kemampuan Claude dan Claudia bekerja.
Namun kenyataan tentu tidak selalu semulus suatu konsep.
Ada kalanya diperlukan sebuah usaha lebih untuk melakukan apa yang mungkin masih berada dalam kapasitas kemampuan seseorang, namun lebih besar dari batas kewajaran.
Contohnya pada saat ini.
"JA.TUH.LAH!"
Dengan memusatkan seluruh konsentrasi dan segenap tenaga yang ia miliki, Claudia melakukan sesuatu yang ia kira tidak mungkin ia lakukan sebelumnya.
Yaitu, mengubah lintasan bulan.
Ya, inilah ide gila dari Eligor – yang telah mengetahui bahwa Claudia memiliki kemampuan manipulasi ruang termasuk orientasi benda seperti Dullahan (versi tak sempurna) sebelum sampai ke sini.
Dan hasilnya sungguh luar biasa.
Benda langit berukuran raksasa dengan bobot sepersekian dari massa planet ini sendiri, jatuh menghantam planet yang seharusnya menjadi tempatnya mengorbit.
Claudia merasa seperti tengah mengangkat beban selama proses 'menjatuhkan bulan' ini.
Sementara itu, Eligor melihat dari jarak yang cukup jauh, bahwa empat orang yang menjadi sasaran meteor bulan ini entah bagaimana masih mampu menahan bulan dengan susah payah sebelum bertabrakan langsung dengan tanah – atau tepatnya, menghimpit dan meratakan tubuh mereka dengan permukaan planet ini.
"Ggggghhhh!!"
Claudia masih berkutat dengan bulan yang ia jatuthkan, sebelum Eligor menghampirinya dan berkata,
"Sekarang jatuhkan yang kedua."
"….hah? Bicara apa kau? Tidak lihat aku sudah sibuk begini?"
"Memangnya apa yang kau lakukan? Bulan itu sudah jatuh, tugasmu selesai. Lepas saja tahananmu atau apapun yang kau lakukan itu, toh gravitasi bakal menariknya. Tapi agar lebih ada gaya rusaknya, tambahkan dengan yang satu lagi."
"……"
Claudia kira dirinya sudah cukup gila dengan menjatuhkan sebuah bulan, tapi ternyata masih bisa diungguli dengan sesuatu seperti ini.
Ia pun menuruti perkataan Eligor, kemudian….
"Fuuuuuuuuuhhhhhhhhh!!!! Jaaaatuuuuuuuuuhh!!!!!"
Jatuhlah bulan kedua mengiringi jatuhnya bulan yang pertama.
Apa yang tidak diketahui oleh Claudia dan Eligor adalah, bahwa sementara bulan pertama yang jatuh adalah bongkahan tanah berukuran luar biasa, bulan kedua yang ditarik Claudia adalah bola air raksasa.
Maka saat bola itu meluncur jatuh, yang terjadi adalah bagai sebuah tongkat yang menyodok bola bilyard.
Meteor ganda bertumbukan.
Saat bulan akhirnya menghantam permukaan planet ini, gelombang getaran mahadahsyat pun tak terelakkan.
Udara menghempas kuat ke segala penjuru.
Lautan bergejolak menderu-deru.
Daratan terombang-ambing penuh gemuruh.
Dan planet inipun untuk beberapa waktu dilanda gempa dengan kekuatan tak terkira.
*****
-4-
"Uwaah… Kukira kita bakal mati tadi."
Di dalam dunia hitam-putih Claudia, ia dan Eligor berhasil melarikan diri.
Sepersekian detik ketika bulan kedua menghantam bulan pertama, Eligor segera menyadari bahwa agaknya serangan ini memang keterlaluan dahsyat, tapi seperti serangan bunuh diri bila posisi mereka terlalu dekat – karena permukaan bulan yang jatuh begitu luas. Segera ia menyeru Claudia – yang juga tersadarkan akan gawatnya situasi tersebut – untuk membuka lubang menuju ruang dimensi ciptaannya, berlindung sebelum mereka berdua terkena imbas dari serangan meteor ganda Claudia.
"Tuan Eligor memang selalu ceroboh! Meskipun tuan mahluk abadi, bukan berarti harus cari mati!" seru Abigor sang kuda tulang.
"Sssh… Meski sok-sok punya rencana, sebenarnya dia ini memang lebih condong ke bertindak dulu baru berpikir," ujar Eligos sang tombak ular menimpali.
"Cerewet kalian. Yang penting hasil! Masa bodoh dengan proses kalau ujungnya berhasil!" kata Eligor, tak terima diceramahi oleh dua bawahannya.
Setelah beberapa waktu berselang, Claudia pun berkata,
"Mungkin sudah waktunya kita mengecek ke seberang sana."
Mereka pun keluar dari persembunyian dan kembali ke Skyemaira.
Permukaan planet di sekitar tempat mereka berada juga berubah sepenuhnya – lautan masih mendominasi, namun kini berdiri daratan-daratan yang menjorok keluar dengan ketinggian tak merata. Jelas efek dari hantaman bulan ke tanah di area tersebut. Dan mungkin dikarenakan jatuhnya bulan kedua – yang memiliki volume air hampir serupa dengan isi air planet ini – tempat ini kini disirami oleh hujan yang turun deras, membilas bekas-bekas fenomena alam yang menimbulkan kekacauan barusan.
Di sana, mereka mendapati dua buah gundukan raksasa yang menjulang hingga tampak menyentuh ujung langit malam yang gelap. Tanpa bulan, hanya bintang-bintang kecil di angkasalah yang kini menjadi sumber cahaya bagi mata untuk melihat.
"Tapi harus kukatakan, yang tadi itu benar-benar overkill. Aku yang melakukannya saja masih tak percaya rasanya," kata Claudia mendapati pemandangan berantakan ini. " Ngomong-ngomong, apa pasukan jiwamu tidak apa-apa?"
"Heh, tak usah khawatir. Jiwa-jiwa neraka itu kekal di dalam sana, jadi aku bisa memanggil kembali mereka kapanpun aku suka."
Claudia dan Eligor bertukar pandang.
"Sekarang apa?" tanya Eligor.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Kalau memang ini pertandingan turnamen, harusnya malaikat sayap hitam milik dewa merah itu akan datang menjemput kita, kan?"
Tiba-tiba saja mereka mendengar sebuah suara.
Suara yang tak biasa, bagai telur pecah, namun dengan skala yang lebih besar.
Tidak. Bukan telur yang pecah, melainkan bulan yang terbelah.
"—!?"
Baik Claudia dan Eligor terkesiap.
Di hadapan mereka, sosok bercahaya kemilau emas bangkit dari dalam puing-puing retakan bulan, melangkah penuh aura kebesaran ke arah mereka, seolah-olah bulan yang baru saja menimpanya tidak berdampak apapun.
"…masih ada satu yang hidup?"
"Dua, kelihatannya."
Di sisi lain, sesosok mahluk dengan pendaran cahaya – atau mungkin tubuhnya adalah cahaya itu sendiri – berenang bebas di angkasa, tampak tak tersentuh atau terlukai oleh bulan yang mungkin memang tidak mengenainya sama sekali.
"Cih. Jadi masih ada babak terakhir sebelum kita benar-benar menang, eh…"
"Kita tidak bisa main-main lagi," Claudia mengingatkan. "Kartu as mereka sudah keluar. Sekarang yang kita hadapi bukan lawan yang bisa dianggap enteng."
"Ya, aku bisa merasakannya," sahut Eligor. "Yang satu meminjam kekuatan dewa, sementara yang satu meminjam kekuatan roh suci. Ugh. Pokoknya aku paling sebal dengan unsur-unsur kekuatan cahaya sok surgawi seperti ini."
"Mau memanggil pasukanmu lagi?"
"Apalah arti komandan perang tanpa pasukannya? Tentu saja, aku akan memanggil mere—"
Claudia bahkan tidak sempat berkedip saat semuanya terjadi begitu saja.
Belum selesai ucapan Eligor, si Raja Pirang telah melesat dengan kecepatan tinggi bak kilat, menghantamkan sejurus pukulan penuh tenaga ke arah Eligor.
Sang mahluk neraka berzirah itu segera terlempar jauh bersama kuda dan tombaknya, begitu jauh hingga Claudia tak bisa melihat lagi di mana mereka mendarat.
"Eligor!"
Claudia memanggil. Namun tak ada jawaban yang segera datang.
Claudia melihat tatapan kosong dari mata hitam sang Raja Pirang.
Satu kakinya melangkah mundur, namun kemudian sudut matanya menangkap bahwa si Cebol Hijau yang kini penuh cahaya telah hadir pula di belakangnya.
Berdiri di bawah guyuran hujan, Claudia mengeratkan dekapannya pada kepala Claude.
Tak ada jalan untuk lari. Tak ada celah untuk bersembunyi.
Ia sudah terkepung.
*****
>[Baikai Kuzunoha defeated]
>[Leonidas Evilian Lionearth defeated]
>Enemies remaining : 2/5
Last Quarter
-1-
Dalam sebuah pertarungan hidup mati, setiap momen sangat menentukan.
Dua orang berdiri mengelilingi. Lari dan sembunyi sudah bukan pilihan lagi.
Perhatian Claudia terbagi menjadi dua.
Siapa yang akan melakukan gerakan pertama?
Semuanya dimulai dari sekarang!
Sesuai dugaan Claudia, adalah si Raja Pirang yang terlebih dahulu bertolak untuk menyerangnya.
Berdasarkan pengalaman, Claudia sudah tahu kalau pertarungan jarak dekat dengan orang yang satu ini adalah cari mati – apalagi dalam keadaan mode kalap yang sudah digunakannya sekarang. Maka, hal pertama yang menjadi sorotan Claudia adalah bagaimana membuat celah dari gerakan pertama ini.
Dan yang ia lakukan adalah—
"Maafkan aku, Claude!"
—melempar kepala kekasihnya tepat di antara dirinya dan si Raja Pirang.
Mungkin ini bukanlah sesuatu yang diantisipasi oleh si Raja Pirang, dan sebuah aksi akan memberikan reaksi. Serta-merta yang segera dilakukan olehnya saat kepala Claude meluncur ke arah pria tersebut adalah memukulnya.
Namun ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Claudia.
Tentu saja, ia telah melindungi kepala Claude sebelum melemparnya – memastikan bangun ruang absolut yang membungkusnya membuat kepala Claude tidak akan menerima luka. Pukulan si Raja Pirang membuat kepala Claude kini meluncur ke arah sebaliknya.
Ya. Ke arah si Cebol Hijau (atau kini, lebih tepat disebut sebagai si Peri Lentera) yang ada tepat di belakang Claudia.
Dengan begini, kepala Claude akan menghantam si Peri Lentera, sementara gerakan si Raja Pirang terhenti sesaat. Hanya sekian detik, tapi cukup bagi Claudia untuk menyiapkan langkah selanjutnya.
Sayang, semua tidak berjalan sesuai rencana.
"Apa yang—?"
Kepala Claude, yang ia manfaatkan untuk membuat celah di antara dirinya dan dua orang lawan ini, entah mengapa menembus tubuh si Peri Lentera, tidak menggoresnya sedikitpun.
Sudah barang tentu yang terjadi kemudian adalah si Peri Lentera melakukan serangan susulan.
Empat buah batu yang melayang menyertai si Peri Lentera bercahaya. Dari batu-batu tersebut, peluru-peluru cahaya pun ditembakkan secara beruntun.
"Kyaaah!!"
Peluru-peluru tersebut menghempas Claudia tanpa sempat ia antisipasi.
Celakanya lagi, Claudia terhempas tepat ke arah sang Raja Pirang, yang rupanya masih terus melaju tanpa melepas kuda-kudanya.
"—uh!"
Pukulan sang Raja Pirang pun melesak masuk, menghantam punggung Claudia.
Untuk yang satu ini, Claudia masih sempat melindungi dirinya dengan menahan pukulan sang Raja Pirang dengan bangun ruang kecil yang ia ciptakan. Namun tetap saja, meski tidak menerima kerusakan, gaya yang ditimbulkan mendorong tubuh Claudia terhempas menjauh.
Dalam keadaan terlempar, Claudia belum kehilangan kesadaran.
Ia sama sekali tidak melepaskan perhatian dari kepala Claude, yang buru-buru ia tarik kembali ke sisinya sebelum ia kehilangan pandangan atas kepala itu.
Hanya saja, Claudia tidak sadar, bahwa yang menunggunya saat terjatuh bukanlah tanah… melainkan air.
"—!?"
Claudia tenggelam.
Kepala Claude hilang dari pandangan.
Dalam keadaan panik, Claudia segera berenang ke permukaan.
Ia menemukan kepala Claude yang baru saja tercebur ke air tak jauh dari dirinya.
Ia berenang untuk menggapai kepala tersebut. Tepat di saat yang sama ketika ia berhasil meraih kepala Claude, si Peri Lentera ternyata sudah tiba di dekatnya.
Si Peri Lentera melakukan putaran horizontal, membuat air bergulung-gulung dan kembali menghempas Claudia ke arah lain.
Claudia hanya bisa menahan rasa sakit sambil terus mendekap kepala Claude, sebelum firasatnya mengatakan bahaya akan muncul kembali.
Claudia tidak menunggu tubuhnya berhenti terhempas dan jatuh ke permukaan – entah air atau tanah. Ia menciptakan bangun ruang sendiri yang kemudian menahan tubuhnya, bagai terpentok ke sebuah tembok.
Satu keputusan yang tepat, karena kemudian tampak olehnya sang Raja Pirang memang sudah bersiaga di belakang.
Andai dia tidak mengehentikan dirinya sendiri, mungkin ia tidak akan lepas dari serangan beruntun kedua lawannya ini – yang memukulnya ke sana kemari seperti bola pingpong.
Claudia terbatuk dan berusaha mengambil napas. Kedua lawannya tidak menunggu atau berhenti bergerak.
Dengan kemampuan telekinesis yang baru dikuasainya, Claudia mencoba menarik bongkahan batu besar yang dapat ia temukan dan melemparnya ke dua arah – satu untuk si Raja Pirang dan satu untuk si Peri Lentera.
Dari percobaan ini, jelaslah sudah.
Si Raja Pirang bahkan tidak memukul untuk serangan yang nyata-nyata tampak olehnya – ia terus maju, dan batu itu hancur dengan sendirinya. Sementara si Peri Lentera – sama seperti sebelumnya – tidak perlu melakukan apa-apa karena batu itu bahkan tidak bisa menyentuhnya.
Yang satu kebal terhadap serangan fisik, yang satu tak dapat disentuh dengan serangan fisik.
Mereka berdua semakin mendekat.
…apa yang dapat dilakukan Claudia menghadapi lawan yang tak dapat dilukai seperti ini?
*****
-2-
Bantuan datang tepat di saat dibutuhkan.
Claudia melihat munculnya bayang-bayang ribuan prajurit kelam yang seolah menyatu dengan gelapnya malam, berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru, melingkari si Raja Pirang dan si Peri Lentera yang semula bergerak ke arah Claudia.
Di kejauhan, tampak Eligor yang telah bangkit kembali di atas kudanya seraya mengangkat tombak tinggi-tinggi ke udara.
"MAAJUUUUUUUU!!!"
Tak perlu menapak tanah, tidak pula peduli dengan lautan yang mengelilingi setiap daratan.
Pasukan jiwa milik Eligor mengerubung bagai lebah.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Claudia – yang segera mendapat celah untuk lari begitu keramaian memisahkan dirinya dengan dua orang lawan yang tampaknya sulit membagi fokus.
Meski merasa sedikit lemas, Claudia menyeret dirinya sendiri dengan mengendalikan bangun ruang yang membawa tubuhnya ke tempat Eligor berada.
"Kau terlambat," tegur Claudia.
"Pahlawan memang selalu terlambat. Lagipula lebih baik daripada tidak sama sekali," kata Eligor menanggapi. "Jadi, apa yang kau dapat dari kartu as mereka ini?"
"…kau sengaja membiarkanku jadi umpan?"
"Ini namanya kerja sama. Anggap saja aku jadi otak dan kau ototnya."
Claudia mendengus sebal, tapi tidak cukup kesal untuk melawan kata-kata Eligor. Ia pun bertutur,
"Si Raja Pirang itu kelihatannya mendapat peningkatan semua status : kecepatan, kekuatan, bahkan sekarang dia kebal diserang dengan serangan biasa. Sementara si Peri Lentera –maksudku, sebelumnya si Cebol Hijau – sekarang seperti bisa berenang di udara, dan menyerang menggunakan energi cahaya dari batu-batu yang mengelilinginya. Oh, dan serangan biasa tembus tanpa menyentuh dia."
"Hmm…" Eligor bergumam sesaat, kemudian bertanya. "Kalau melihat keadaannya, pasukanku mungkin tidak akan bertahan sampai belasan menit. Dipanggil lagi pun percuma, kelihatannya memang kita harus turun tangan langsung."
"Maksudmu?"
"Kita berdua, lawan mereka berdua. Matematika, dua sama dengan dua."
Claudia mengernyitkan alis.
Kemudian Eligor menjelaskan,
"Aku benci mengakuinya, tapi pasukan jiwaku memang tidak ada apa-apanya kalau dihadapkan dengan mereka yang pada dasarnya terlampau kuat. Apa istilahnya, canon fodder? Yah, begitulah. Walau setidaknya mereka berguna untuk mengulur waktu. Nah, dalam waktu yang tersedia ini, mari kita rumuskan satu…tidak, beberapa cara yang mungkin bisa kita lakukan untuk melawan dua mahluk cahaya di sana."
Claudia mengangguk pelan.
Entah kenapa pendekatan Eligor pada satu pertarungan sedikit mengingatkannya pada cara Claude berpikir.
Sambil terus memasang mata pada perkembangan perang yang tengah berlangsung jauh di sana, Claudia dan Eligor mencoba memahami apa yang mampu dilakukan oleh masing-masing dari mereka.
Beberapa waktu berlalu, dan kumpulan pasukan jiwa Eligor terlihat jelas semakin menipis.
"Sebentar lagi, ya…"
Eligor bersiap di atas kudanya, sementara Claudia bangkit kembali dengan Claude tak lepas dari tangannya.
"Baiklah. Ayo kita lakukan ini."
*****
-3-
Hujan masih terus mengguyur planet Skyemaira, di mana dua sosok bercahaya kini selesai menghabisi pasukan tak bernyawa.
Saat mereka mengalihkan perhatian untuk mencari target utama mereka – Claudia Neuntzmann – saat itu pula sebuah raungan terdengar.
Suara dari sang komandan perang dari neraka, Eligor, yang tengah memacu kudanya Abigor dan tombak ularnya Eligos di tangan.
Di belakangnya, Claudia ikut membonceng dengan satu tangan menjaga Claude dan satu tangan memegangi erat bagian belakang zirah Eligor.
"Mengerti?" sahut Eligor memastikan. "Serahkan semuanya padaku, dan Nona Claudia tinggal melakukan apa yang kuminta!"
"Aku tahu! Support player, one-man army, sudah cukuplah kau memakai istilah-istilah yang tidak sesuai zaman pakaianmu! Sekarang hadapi saja mereka!"
"Ou!"
Tak perlu waktu lama hingga Eligor dan Claudia sampai di tempat si Raja Pirang dan si Peri Lentera telah tak sabar menunggu.
Di tengah derasnya hujan, kedua petarung lawan maju dengan serentak.
"Sekarang kunci mereka!"
Dengan aba-aba dari Eligor, Claudia segera menyegel satu tangan dari masing-masing lawan mereka pada satu bangun ruang tak kasat mata, yang ia pertahankan agar tak bergerak dari titik yang ia lihat.
Keduanya terkejut gerakan mereka tertahan, namun tidak lantas kebingungan. Dengan satu tangan mereka yang masih bebas, mereka mengeluarkan serangan jarak jauh tanpa perlu berpindah tempat.
Sang Raja Pirang menciptakan sihir elemental angin yang menggulung hujan hingga membentuk sebuah badai.
Sang Peri Lentera menambahkannya dengan bintang-bintang cahaya yang tajam, membuat badai itu bagai gasing dengan bilah tajam yang siap menyayat siapapun yang menyentuhnya.
"Eligor!"
"Apapun yang terjadi jangan lepaskan tahanannya!"
Menghadapi serbuan badai yang bergerak ke arah mereka, Eligor memacu Abigor sang kuda untuk menghindar sebelum mereka tersedot ke dalamnya. Dengan cekatan, langkah kaki Abigor mengantar majikannya hingga kini sampailah mereka berhadap-hadapan langsung dengan dua mahluk cahaya yang masing-masing tangannya tengah terkunci.
Eligor segera mengayunkan tombak kesayangannya – Eligos sang tombak ular – yang menerkam kepala sang Raja Pirang.
Sayangnya, taring Eligos terpantul oleh aura keemasan sang Raja Pirang.
"Kan sudah kubilang dia tidak bisa dilukai serangan fisik!" gerutu Claudia.
"Aku tahu! Cuma memastikan saja!"
Segera Eligor memutar kudanya dan mengayunkan tombak ke arah sang Peri Lentera.
"Kau ini, aku sudah bilang—"
Claudia hendak mengomel lagi, tapi kali ini, serangan Eligor masuk.
Punggung dari sang Peri Lentera tertebas oleh taring tajam Eligos.
"Bagaimana bisa?"
"Lawan api dengan air, lawan cahaya dengan kegelapan," tukas Eligor. "Ternyata menambahkan elemen kegelapan pada tombak in berpengaruh juga. Mungkin kita harus menghabisi si cebol ini dulu."
Eligor mengangkat tinggi-tinggi tombaknya, bersiap menusuk sang Peri Lentera dan memastikan kematiannya.
Akan tetapi—
"Eligor!"
Mendengar seruan Claudia, Eligor segera memacu Abigor untuk menghindar.
Tepat waktu.
Mereka dapat melihat, meski dengan satu tangan tebelenggu di udara, sang Raja Pirang telah bergerak kembali hanya berbekal paksaan tenaga fisik yang ia miliki.
"…kelihatannya percuma menguncinya. Mungkin tangannya terbelenggu, tapi aku tidak bisa membuat dia sepenuhnya diam di satu titik," kata Claudia.
"Begitukah? Kalau begitu lepaskan saja mereka berdua."
"Eh?"
"Lakukan saja."
Claudia pun melepaskan tahanannya.
"Kau punya rencana lain?"
"Fuh. Sekarang setelah memastikannya dengan mataku sendiri, sudah saatnya aku juga mengeluarkan kartu as-ku."
Eligor mengangkat tangannya ke udara.
Dan seketika itu pula, sebuah kubah hitam menutupi area pertarungan mereka. Bahkan bintang di langit pun tak lagi mampu menerangi apapun yang ada di tempat ini sekarang.
Di dalam kegelapan total itu, hanya dua titik bercahaya yang dapat dilihat oleh mata telanjang.
Sang Raja Pirang dan sang Peri Lentera agaknya kehilangan arah dalam kegelapan ini.
Sang Raja Pirang menciptakan sesuatu berupa gada besi, yang kemudian ia tambahkan elemen api kepadanya sehingga menjadi semacam obor.
Namun di saat yang sama, sang Peri Lentera tengah diserang dengan serangan diam-diam dari Eligor yang bersembunyi di balik kegelapan.
Berkali-kali ia menembakkan peluru dan bintang cahayanya, namun kubah kegelapan ini seolah membuat Eligor lebih tidak bisa disentuh dibandingkan dirinya.
"Hahahaha! Ayo, ayo, ada apa!? Kalau cuma cahaya sekecil ini yang bisa kau buat, masih kalah dengan kegelapan yang akan menelanmu bulat-bulat!"
Kelakar Eligor menggema di dalam kegelapan ini. Sosoknya tidak terlihat, membuat sang Peri Lentera hanya bisa mengandalkan suara.
"Dasar payah! Yang begini mana bisa mengalahkanku, heh?"
Provokasi Eligor terus berkumandang.
Setidaknya hingga si Raja Pirang berhasil melempar gada apinya ke satu tempat.
Intuisinya yang tajam memberikannya kemampuan untuk merasakan keberadaan seseorang dalam kegelapan sekalipun. Dan dengan gada api yang ia lemparkan, tampaklah sosok Eligor di antara kegelapan.
"Oh. Sial."
Tak mengulur waktu lagi, sang Peri Lentera menyusun formasi batu toh, mengumpulkan segenap tenaga cahaya untuk melakukan serangan terkuatnya.
Tembakan cahaya yang akan merobek kubah kegelapan ini.
"Tidak, kita ketahuan! Bagaimana iniiii!!"
Eligor tidak bisa lari.
Tembakan cahaya bagai laser seukuran meriam dilepaskan oleh si Peri Lentera.
"Ber.Can.Da. Nona Claudia!"
Begitu tembakan cahaya itu dilepaskan, saat itu pula Claudia bertindak.
Serangan itu ia alih-arahkan pada si Raja Pirang, yang benar-benar tidak menyangka akan datangnya serangan dari kawannya sendiri.
Tembakan cahaya itu terus menghempas tubuh si Raja Pirang, yang sekalipun telah meminjam kekuatan dewa, ternyata tak mampu menahan dahsyatnya dorongan cahaya sang Peri Lentera.
Si Raja Pirang pun terlempar jauh hingga keluar dari kubah kegelapan Eligor, menabrak bulan tanah, menciptakan retakan hebat yang kemudian menguburnya.
Usai habis tembakan cahaya tersebut, Eligor menjerat tubuh si Peri Lentera dengan elemen kegelapannya, hingga cahaya miliknya hanya terlihat seperti lampu redup.
"Sekarang!"
Disusul dengan Claudia yang telah turun dari Abigor, membuat sebentuk piramid, dan menghujamkannya langsung ke tubuh hitam si Peri Lentera.
Seketika itu pula cahayanya memudar, dan jatuhlah ia ke tanah.
"….kita berhasil. Kita berhasil! Ya ampun, kenapa rasanya ringan sekali?" ujar Claudia menyatakan kekagumannya.
"Geh. Aku tidak menyangka bakal semudah ini. Bertarung dengan orang yang tidak bisa berpikir ternyata tidak begitu menantang," kata Eligor menyombongkan diri. "Dan sudah kuduga, si cebol ini pasti punya jurus penghancur skala besar. Mahluk cahaya memang tidak kreatif."
Eligor menarik kubah kegelapannya, yang kemudian disambut dengan merekahnya fajar di planet ini.
Claudia menghampiri Eligor.
"Yang satu ini mungkin sudah mati, tapi yang di sana?" tanyanya menunjuk ke arah reruntuhan bulan.
"Aku malas memeriksanya," ujar Eligor, yang kemudian menjentikkan jari, dan muncullah sepasukan jiwa yang ia suruh untuk memastikan sang Raja Pirang telah terbunuh – atau membunuhnya sebelum ia bangkit kembali.
Malam telah berakhir.
Hujan telah berakhir.
Dan tak lama kemudian, Claudia dan Eligor mendapati bahwa pertarungan mereka kali inipun benar-benar telah berakhir.
*****
>[Ravelt Tardigarde defeated]
>[Bara Tumpara defeated]
>BATTLE WON
Curtain Call
"Ini…lorong labirin?"
Claudia dan Eligor mendadak berpindah tempat dari Skyemaira tanpa mereka mengerti bagaimana.
"Kelihatannya kita sudah kembali," ujar Claudia menyimpulkan. "Heran, biasanya ada malaikat merah yang menjemput."
Membawa kepala Claude yang masih memejamkan mata, Claudia melangkah menyusuri labirin ini.
"…? Kenapa kau malah diam?"
Ia menengok ke belakang, dan mendapati Eligor yang tidak beranjak dari tempatnya.
"Uh, setelah dari sini, keberadaanku pasti sudah diketahui oleh si bocah Abigail Grey," ujarnya ragu-ragu. "Bisakah kau masukkan aku ke dalam ruangan tertutupmu lagi?"
Spontan Claudia tertawa.
"Kau ini… Kau bisa menghadapi musuh hebat seperti barusan dengan sombongnya, tapi takut pada seorang bocah perempuan? Berikutnya kau akan bilang padaku kalau semua ini karena kau tidak berani melawan si dewa merah."
"Bukan begitu, tapi, uh, bagaimana mengatakannya… Aku sudah dicap pembelot sekarang. Selama Thurqk Iylich itu masih berkuasa atas neraka, statusku bisa tercabut, dan kau tidak tahu isi kepala bocah gila Abigail Grey itu."
"Hush, tidak penting," sanggah Claudia. "Intinya, kau takut. Itu saja."
Eligor tidak membalas perkataan Claudia.
"Dengar. Aku sudah berjanji padamu. Sampai aku melihat Claude hidup kembali, keselamatanmu akan kujamin, bahkan meski aku harus mempertaruhkan nyawaku sendiri, tak peduli siapa yang harus kulawan. Kalau apa-apa terjadi, Dullahan juga pasti akan melindungimu. Jadi, tenang saja."
Eligor mengangkat wajahnya, lalu bertanya,
"Kenapa kau begitu yakin?"
Dan Claudia hanya tersenyum.
"Karena kami telah bersumpah. Tidak akan ada yang dapat memisahkan kami. Bahkan kematian sekalipun, sekarang dan selamanya."
*****
Di suatu singgasana yang penuh dengan warna hitam dan merah, Thurqk Iylich telah menyaksikan apa yang sedang dilakukan oleh para peserta penghiburnya.
Kini, ia sudah memiliki beberapa nama yang begitu menarik perhatiannya.
Seringai yang tak biasa muncul di wajahnya.
Seringai yang serupa – namun lebih mengerikan – muncul pula di wajah seorang bocah perempuan kala ia merasakan sesuatu yang ia cari telah muncul kembali ke permukaan.
Ia beranjak dari tempatnya berada, siap membuat perhitungan.
Setelah ini, ia merasa akan mendapat hiburan layaknya sang dewa merah untuk mengusir rasa bosan.
*****
Closed Curtain
…..
Di mana…ini?
Tubuhku. Aku bisa melihat tubuhku sendiri.
Claudia. Claudia, di mana kau?
(Claude).
….?
Suara apa ini?
(Aku di sini).
Siapa kau?
(Kau tahu siapa aku. Tapi di saat yang sama, kau tidak tahu siapa sebenarnya aku).
Kau bukan Claudia.
(Cepat atau lambat kita memang harus bicara).
Di mana kau?
(Hadapkanlah wajahmu ke depan, di sanalah kau akan menemukanku).
….?
Kau….
(Kau mengenalku dengan nama Dullahan).
Kenapa kau ada di sini?
(Kenapa kau tidak berhenti mengeluarkan kalimat tanya).
Karena aku tidak tahu apa-apa.
(Dan di sinilah aku, akan memberimu apa yang perlu kau ketahui).
Apa kau yang membawaku ke sini?
(Kau yang membawa dirimu sendiri ke hadapanku).
….?
(Tapi harus kukatakan, aku senang masih bisa diberikan kesempatan untuk bertemu denganmu… )
(…Claude, putraku).
*****
VS Andhika Karang, Baikai Kuzunoha, Leonidas Evilian Lionearth, Ravelt Tardigarde, Bara Tumpara
Stage Skyemaira –Bara's turf
Okay... wth?! Kenapa Eligor ikutan lagi di sini?
ReplyDeleteDari segi battle ini seru, walau menurutku mereka jadi makin imba (sampe bisa jatuhin bulan segala, dua buah pula). Juga untuk teknik escape, itu bagian yang kurasa bikin makin imba, lempar bulan sembunyi kepala...
Score 9
reserved the first comment after uhmm... 2 round (maybe?) just reading your story without commenting :)
ReplyDelete.
And even so, I still can not say a single critics *orz
.
Ceritanya terlalu bagus, saking bagusnya Umi ga tahu harus bilang apa sama cerita ini. seperti biasanya, dirimu dengan sangat keren melakukan plotting dengan super duper keren XD
.
Eligor... yang terasa keren dan konyol di saat yang bersamaan. Perasaan cinta Claudia ke Claude yang membatasi pergerakannya dalam melawan musuh. Juga endingnya yang dirimu, dengan sangat baiknya, menambah misteri, itu abby mau diapain???? XD
.
Last : 10 out of 10 XD
.
I am dissatisfied with myself now *orz
sial ternyata keduluanan sama bang zoel -_-
DeleteUrsula : Hei, Ursario. Lihat, mereka bisa menjatuhkan bulan.
ReplyDeleteUrsario : B-burah! Aku nggak takut. Kalau saja wujudku seperti dulu, satu dua bulan bisa kuhancurkan sekali pukul, buraa!
Ursula : Uhuhum. Sama. Mau bulan atau planet, sekali sihir olehku langsung musnah.
Nema : Sudahlah kalian berdua. Kalian bukan Lord ataupun Lordess lagi. Sekarang kalian lemah. Hadapi kenyataan itu.
Ursula : ...
Ursario : ...
..
Baikai : Wah, saya muncul di sini. Dan berhasil memanggil Demon Masakado--ayah!
Leon : Aku juga hadir, tapi mati mati juga. Payah nih, bro. Tapi si Claudia ini emang cakep--maksudku, kuat! Aku kalah sama dia di ronde sebelumnya.
Baikai : Benar. Beberapa lawan saya di babak pertama juga muncul di sini. Seperti Tuan Ravelt ataupun Tuan Kara. Mereka lawan yang tangguh.
Ursario : Si Tumparey ...
...
Cheril : Ayo, ayo, kita selfie dulu. Mumpung ini di Planet Namek.
Zany : S-sebentar *merapikan make up*
*setelah Pasukan Beary mengabadikan momen istimewa ini, mereka pun pergi*
Segala plusnya udah disebut sama orang lain, suka edisi dua makhluk sinar yg survive.
ReplyDeletetapi gw saranin itu eligor... bikin minat rooting char jadi berkurang, karena... [immortality]-nya.
Kecuali nanti R6 lawannya Abby!
Catatan: saya ngasih nilainya berdasarkan urutan Favor
Nilai Anda
ursario - 9
claudia - 8.7
Nurin - 8.4
Yvika - 8.1
Sjena - 7.8
Sil - 7.5
Stalza - 7.2
Lazu - 6.9
Salvatore - 6.6
deismo - 6.3