1 : How to make this game more interesting
Kilat's POV
[09.20 AM]
Aku tak mengenal bagian dari maze ini. Aku tak ingat melewati tikungan ini. Sesaat lalu, aku tak berada disini. Apakah Thurqk memiliki sihir lagi untuk maze ini?
Akupun meragukan diriku sendiri. Ingatanku pun tidak bisa kuandalkan untuk saat ini. Yang bisa kuandalkan saat ini hanyalah insting dan Katana Putih yang tak pernah jauh dariku.
Sayup-sayup kudengar suara pekikan mengerikan dari kejauhan. Monster itu, Lamashtu. Apakah dia yang melakukan semua ini?
Apakah ada hal yang lebih buruk daripada cyborg? Tentunya itu adalah Lamashtu.
Di masa depan kami telah mempelajari bagaimana menggabungkan manusia dengan teknologi nanotech untuk meningkatkan kemampuan. Tapi penggabungan manusia dengan hewan? Beberapa jenis hewan? Kepala singa, gigi dan telinga keledai, badan manusia, kaki burung. Aku yakin Thurqk tidak punya jiwa seni. Atau mungkin ia hanyalah seorang psikopat.
Aku mulai mengerti kenapa orang menjadi Demon Hunter.
"Sshhhhh...."
Suara desis aneh apa ini? Aku pernah melihat bagaimana ular dan mendengar desisannya dari channel discovery luar angkasa saat briefing misi. Tapi desisan ini begitu.. mengerikan dan mematikan. Dan terdengar begitu dekat, serasa hanya terpisah beberapa lapis dinding.
Haruskah aku mundur?
Bisakah aku menghadapinya sendirian?
Sayang, rasa ingin tahuku jauh lebih besar dari rasa takutku.
Curiousity kills the cat.
Aku lalu mengintip dari balik dinding dimana suara tersebut terdengar.
Lamashtu, begitulah ia disebut. Sebuah sosok mengerikan yang tidak kalian harapkan di mimpi buruk kalian. Sesaat barusan, aku dapat melihat bagaimana matanya membelalak tajam, pandangannya menyapu sekitar, seperti mencari mangsa yang kabur.
Aku mengerti, semua orang di Planet Aquilla mengerti, bahwa makhluk aneh. Seaneh apapun dapat ditemui diluar sana. Dari bakteri dengan kemampuan berpikir, individu tak terhingga dengan satu titik pikiran, makhluk cosmic dengan tubuh murni energi, bahkan Dewa.
Keraguan kembali melintas di benakku. Aku sudah membunuh ribuan cyborg, tapi..
Aku juga menyukai binatang, tapi..
Jika wujudnya seperti ini, yang kurasa hanyalah mual dan jijik. Bisakah aku bertarung dengan prima dengan perasaan seperti ini?
Kuputuskan untuk mengintai Lamashtu sebelum bertindak. Aku tidak ingin mati konyol, apalagi dengan dua ekor ular yang melilit di tangannya. Sekali tergigit, tak ada harapan untukku.
(* * *)
Lazu's POV
[09.25 AM]
"Kudengar Lamashtu mampu membuat mimpi buruk dan membuat orang tidak bisa tidur. Tapi apakah Lamashtu mampu membuat orang kehilangan ingatan?"
"Tunggu, kurasa bukan ingatanku yang terganggu. Tapi aku memang tidak lewat bagian ini sebelumnya. Sesaat lalu kurasa kita bertiga masih berjalan bersama."
Aku berusaha menarik korelasi antara beberapa hipotesa yang kuhimpun. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi sebelum ini, dan aku hanya bisa berspekulasi dengan apa yang terjadi. Dari informasi yang kudapat dari mengambil alih tubuh Hyvt sebelumnya, tak banyak kemampuan Lamashtu. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa Lamashtu punya kemampuan lain diluar yang diketahui Hyvt.
Atau mungkin informasi yang diberikan oleh Thurqk kepada mereka adalah informasi palsu!?
Lagi-lagi aku menemukan pertanyaan, bukannya jawaban.
Lagi-lagi spekulasi, bukannya solusi.
Tubuh translusenku berubah kemerahan saat aku berpikir terlalu keras.
Sampai-sampai aku tak sadar..
Ada sesuatu di belakangku.
Tak sempat menoleh, sebuah sabetan mendarat di punggungku. Dari jumlah luka yang kudapat, kuperkirakan ini adalah sayatan kuku.
Ini bukan waktunya menganalisa!
Tak ingin menoleh, aku segera berlari sebelum sabetan kedua mendarat dan membuatku mati kehilangan cairan. Sial, aku belum sempat menyusun strategi. Aku tidak bisa mengalahkannya kecuali aku bisa mengambil alih tubuhnya. Tapi menggunakan tipu muslihat padanya adalah sebuah hal yang konyol. Bicara padanya pun tentunya tidak mungkin.
Berpikir, Lazu! Berpikir dengan cepat!
Teriakan Lamashtu terdengar menggema, memantul di dinding maze dan sampai ke telingaku. Aku bahkan tak yakin itu adalah sebuah teriakan, terdengar seperti auman singa. Yang terdengar marah karena mangsanya lari.
Aku berlari sekencang-kencangnya. Sebisa mungkin memperhatikan sekeliling, untuk menemukan benda yang bisa digunakan.
Tidak ada.
Tidak ada apapun yang bisa digunakan. Maze ini kosong, hanyalah dinding-dinding yang tak bisa dipanjat,ataupun dihancurkan. Mungkinkah aku akan mati konyol disini?
Hingga akhirnya aku berakhir di jalan buntu. Ditengah ketakutan, kuberanikan untuk melihat kebelakang.
Namun Lamashtu tak nampak.
Tubuhku lemas seketika, seluruh kadar adrenalinku serasa habis setelah berlari sekuat tenaga tadi. Lelah, kusandarkan tubuhku pada dinding dan duduk di tanah. Perlahan kuatur nafasku yang tak karuan. Mengatur kembali hipotesa dan rencana, mencari titik temu.
(* * *)
Sjena's POV
[08.48 AM]
Andai aku punya kanker. Akan kunamakan dia Maze.
Maze, seperti langit-langit mulutmu yang gatal karena terlalu lama mengucapkan ZZZ.
Aku muak dengan maze. Setelah sebelumnya berada di maze, kali ini aku kembali bertemu maze. Rasanya seperti bertemu teman lama yang menyebalkan.
Kali ini ada tiga orang, termasuk aku.
Wanita anti keringat, dan Manusia Jelly.
Aku tak tahu produk deodoran apa yang ia pakai, tapi tak satupun bulir keringat membasahi kulit putihnya. Padahal jaket yang ia kenakan tampak panas. Bahkan dengan melihatnya saja sudah membuatku panas.
Lalu Manusia Jelly ini. Membuatku penasaran, apakah jika kutorehkan pisau apa air di dalamnya akan mengalir. Makhluk apa dia? Apakah dia sungguhan hidup? Banyak pertanyaan tak penting muncul di benakku. Tapi tak satupun kuutarakan.
"Mohon kerjasamanya" ucap Wanita anti keringat sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Untuk apa?" tanyaku balik.
"Eh? Tentu saja membunuh Lamashtu."
Eh? Tentu saja aku tidak mendengar apa objektif misi kali ini. Aku tak mendengar satupun apa yang diucapkan Hyvt tadi. Seluruh pikiranku dipenuhi oleh Wanita anti keringat. Apakah ketiaknya berkeringat? Apakah tubuhnya bau? Atau apakah jaket hitamnya ada noda putih karena deodoran?
F*ck you and your curiousity, Sjena.
Kututupi kegugupanku, dan kusalami tangannya.
"Kilat," ucapnya.
"Sjena," balasku.
"Dan aku Lazu," lanjut Manusia Jelly yang keberadaannya kuabaikan barusan.
[Altair Kilatih and Lazuardi joined your party]
(* * *)
Jadi misi kali ini hanyalah membunuh seekor demon lalu melanjutkan ke bagian tengah maze. Pekerjaan mudah tentunya.
Sambil berjalan, kusentuhkan tanganku ke dinding, mengaktifkan [Clairvoyance] yang membuatku mampu melihat segala informasi tentang masa lalu suatu objek. Dan dengan ini, aku bisa mengetahui bentuk maze dan jalan menuju ke tengah.
I'm one step ahead, b*tches.
Setelah ini, tinggal membunuh Lamashtu, lalu aku tinggal pergi ke tengah, dan selesai.
"Sjena, kulihat penampilanmu sedikit berbeda. Kemana kacamata khasmu?" tanya Kilat membuyarkan pikiranku.
"Sudah kubuang. Aku bosan," jawabku ketus.
"Dan rambutmu?"
"Kupotong sendiri. Aku bosan berambut panjang."
Bilang saja aku aneh, bilang saja aku gila. Tapi ya tentu saja aku memang. Dan kurasa kepalaku lebih ringan tanpa adanya Magic Glasses dan juga rambut panjang.
Wanita anti keringat dan Manusia Jelly mulai berkenalan satu sama lain. Dan tampaknya mereka cepat akrab. Aku sedikit iri dengan Social Butterflies, dan sama sekali tak mengerti kenapa mereka bisa kenal dengan begitu cepat.
Mereka bicara tentang teman dan masa lalu, hal yang sudah lama kubuang. Lalu juga teman baru dan orang-orang yang harus mereka bunuh di ronde sebelumnya. Aku tak perlu ikut dalam pembicaraan tak menarik mereka. Melihat mereka dari belakang pun sudah cukup.
Wanita anti keringat – hey siapa tadi namanya? Kilat, ya.. Kilat.
Dia tampak begitu antusias menceritakan masa lalunya sebagai pemburu cyborg. Bagaimana ia sering menonton channel discovery saat briefing berlangsung, saat dimana tawa terlihat berbinar di wajahnya yang putih itu. Bagaimana ia menganggap entitas lain, bahkan dewa, hanyalah sekedar alien. Sebuah konsep yang cukup menggugah pikiranku.
Lawan bicaranya, Lazu, tak terlalu banyak bicara. Ia lebih banyak menanggapi dengan anggukan-anggukan ringan dan gumaman. Kulitnya tembus pandang, aku bahkan dapat melihat ujung lorong dari balik punggungnya.
Yang cukup membuatku bertanya-tanya adalah : Apa kemampuan Lazu?
Kilat sudah cukup jelas, dia adalah pengguna pedang. Tapi makhluk ini? Bagaimana ia bisa bertahan tanpa satu senjata pun? Apakah ia adalah seorang penyihir sepertiku?
Insting penyihirku bilang makhluk ini pasti menggunakan muslihat untuk bertarung, seperti penyihir-penyihir pada umumnya.
Tapi bicara tentang tantangan. Membunuh seekor monster.
Bukankah jika tantangannya terlalu mudah tidak akan menarik bukan, Thurqk? Tentu saja aku tidak akan membiarkan permainan berlalu dengan mudah.
"[Freezing Seconds]!"
Mereka berdua tak akan sadar dengan apa yang terjadi saat kuhentikan waktu mereka. Well, permainan ini akan jadi menarik apabila kita semua bermain solo. Kusentuh tubuh mereka dan..
"[Teleport]"
Dan akupun tak tahu dimana mereka sekarang setelah ku-teleportasi. Hahahaha..ahaha.hah..
Namun sahabat lamaku datang kembali. Sebuah black hole yang berputar, mengacak-acak isi kepala dan perutku.
Aku berusaha menggapai kesadaranku yang menghilang, namun hanya gagal yang kuraih.
[Your party has disbanded]
(* * *)
Sjena's POV
[09.36 AM]
Aku terbangun dengan beban satu ton di dalam kepalaku, dan black hole di dalam perutku. Seperti vakum, menyedot semua isi perutku dan..
"Hueekkk!"
Tak ada yang spesial, kawan. Hanya air.
Aku seperti jalang yang pulang mabuk kemarin malam. Memegang tembok dengan satu tangan dan tangan satunya memegang perut yang masih disedot vakum. Mataku kini punya kemampuan untuk menggandakan penglihatannya. Kucoba untuk melihat tanganku sendiri.
Jari telunjukku ada dua, sial!
Jika kesialan menimpaku sekali lagi, maka Lamashtu akan muncul tepat di depan hidungku sekarang juga.
Thus spoke Sjena Reinhilde.
Bagai kutukan, pikiranku barusan jadi kenyataan. Tak jauh dariku dapat kudengar suara auman mengerikan. Terdengar seperti singa, namun juga bukan. Aku bahkan tak dapat membayangkan apa yang akan kulihat. Aku harus berlari, tapi kakiku punya kemampuan untuk merubah dirinya menjadi tentakel, lemas tak bertenaga.
Aku terus menanamkan sugesti pada kakiku agar melupakan tentakel,tapi tak cukup efektif
Auman Lamashtu semakin dekat, dan aku pun tak bisa menyelamatkan diri. Kumaterialisasikan [Shotgun] untuk berjaga-jaga. Kakiku beralih fungsi menjadi alat getar lemak. Jantungku meningkatkan tempo dentumannya. Aku pun mulai berkeringat dingin. Takut seharusnya tak bercokol di pikiranku, tapi itulah saat ini yang terjadi.
Makhluk absurd itu datang.
Ya ampun jelek sekali, pikirku.
Dia melihatku dan berlari ke arahku. Matanya membelalak gembira, liur menetes liar dari sudut taringnya yang mencuat keluar. Kedua tangannya mengangkat tinggi, membentuk gestur siap menyerang.
Saat ia cukup dekat, kutembak dia tepat di kepala. Kuharap kepalanya hancur.
Namun tidak, itu hanya menghentikan langkahnya sejenak. Luka di wajahnya dengan segera kembali seperti semula. Dengan satu ayunan tangan, kudapati diriku terpental ke udara. Perih memenuhi sekujur tubuh bagian depanku.
Secepat mungkin, aku mematerialisasikan sayap untuk segera kabur darinya.
Lagi-lagi perkiraanku salah. Ternyata ia juga memiliki sayap untuk mengejarku. Tak sempat jauh aku menghindar, kaki burungnya telah tepat mencengkeram badanku. Menghilangkan sayapku, dan menjatuhkanku ke tanah.
Aku bangun hanya untuk mendapati wajah singa Lamashtu tepat di depan hidungku. Nafasnya bau neraka, anyir dan menusuk. Gigi-giginya besar dan tajam, bahkan dengan sekali gigit putus sudah kepalaku.
Tangan panjangnya mencengkeram tubuhku agar tak bisa bergerak. Darah segar menetes dari dada dan perutku. Mulut singanya terbuka lebar, siap menhabiskan kepalaku dalam satu suap.
"[Teleport]!"
Aku kembali terjatuh ke tanah. Men-teleportasi-kan diriku entah kemana. Tak kusangka Lamashtu memiliki kemampuan regenerasi secepat itu. Tak heran, mana mungkin Thurqk memberikan musuh yang mudah untuk dibunuh.
Kebodohanku telah membuat tangan kananku patah dan tak bisa digerakkan akibat dijatuhkan tadi. Kulepas jubah merahku dan kugunakan untuk sekedar membelit tubuhku dengan susah payah. Berharap pendarahannya terhenti.
Aku butuh penghilang rasa sakit.
[09.47 AM]
1 : How to make this game more interesting (end)
===== (* * *)=====
2 : How to win a boss fight
Lazu's POV
[09.33 AM]
Aku tak mungkin punya harapan menang tanpa adanya seseorang untuk diajak bekerja sama. Atau paling tidak – ditipu. Ketiadaan benda yang bisa digunakan sebagai perlindungan juga membuatku dapat mati konyol kapan saja jika bertemu Lamashtu lagi.
Tunggu. Kurasa bagian dengan ini sudah kulewati tadi. Dan seingatku di depan adalah jalan buntu. Jadi seharusnya di persimpangan tadi aku mengambil kanan atau kiri. Setidaknya aku punya sedikit bayangan tentang peta maze ini. Meski begitu, aku belum tahu seberapa besar maze ini.
Beberapa petunjuk yang kumiliki :
- Semakin ke tengah, dinding maze akan semakin sempit.
- Peserta tidak bisa bertemu peserta yang melawan demon lain
Dapat kuasumsikan bahwa maze kali ini berbentuk lingkaran yang menyempit semakin ke tengah. Dan jika peserta yang melawan demon lain tidak bisa saling bertemu. Itu berarti tiap-tiap maze memiliki dinding pembatas satu sama lainnya, seperti diagram lingkaran.
Dan bila maze ini memang memiliki dinding pembatas, aku bisa mencari dinding pembatas tersebut lalu menyusuri pinggir pembatas sampai ke tempat tujuan. Lalu menunggu di pintu keluar akhir. Jika Sjena ataupun Kilat sudah terlihat di tempat tujuan, itu artinya Lamashtu sudah mati. Kalau mereka tidak ada, berarti Lamashtu belum mati dan aku harus menunggu mereka sampai keluar dari maze.
Itu satu-satunya cara untuk menghindari pertarungan sia-sia. Menunggu mereka di garis akhir adalah jalan terbaik, karena mereka memiliki nilai probabilitas yang jauh lebih tinggi dariku untuk membunuh Lamashtu.
Sekarang aku tinggal berjalan menuju satu arah sampai menemukan jalan yang lebih sempit.
(* * *)
Atau itulah yang setidaknya kukira tadi.
Ternyata menemukan jalan yang lebih sempit tak semudah yang kukira. Apalagi menemukan dinding yang menjadi pembatas antar maze. Rasanya hampir tidak mungkin dalam keadaan buta arah.
Lelah menguasai tubuhku. Sejenak, kusandarkan tubuhku pada dinding, melupakan semuanya meski hanya untuk sebentar saja.
Namun auman akrab itu terdengar lagi. Kali ini terdengar suara tembakan. Kurasa itu pasti Sjena, karena Kilat tidak memiliki pistol. Dan mendengar dari kabar burung di Jagatha Vadhi, Sjena memiliki kemampuan mematerialisasikan bayangan.
Kuberanikan diriku untuk mencari arah sumber bunyi. Dan kudapati Sjena terlempar ke udara dengan darah yang mengucur deras dari luka yang baru saja dibuat Lamashtu.
Panik, Sjena mematerialisasikan sayap untuk kabur. Namun perkiraannya salah besar, Lamashtu juga memiliki sayap. Dengan mudah, Lamashtu menangkap Sjena dan mencengkeramnya dengan kuat. Sayap bayangan yang dibuatnya tadi seolah mencair dan meninggalkan noda hitam di lantai.
Lamashtu membuka rahangnya lebar-lebar. Aku sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini. Dimana pemangsa memakan mangsanya. Ini hanyalah bagian dari siklus kehidupan. Bagian dari hukum rimba. Rimba lautan termasuk. Sjena akan mati kalau aku tak berbuat apa-apa. Tapi haruskah aku berbuat sesuatu untuknya? Dia tak terlihat cukup baik untuk ditolong. Aku pernah mendengar kabar burung bahwa ia bisa membunuh orang tanpa perasaan. Seorang wanita berambut pelangi pun pernah sampai menangis menceritakan bagaimana wanita ini membunuh penduduk planet tempat mereka bertarung.
Namun di cengkeraman Lamashtu, Sjena tak bergeming. Tak seperti tadi, sekarang dia tak tampak panik sedikitpun melihat rahang Lamashtu yang menganga lebar di depan wajahnya.
Saat Lamashtu hampir melahap kepalanya, ia menghilang entah kemana.
Teleportasi rupanya.
Ternyata memang dia pelakunya. Dialah yang membuat kami terpisah-pisah seperti ini. Tapi apa motivasinya? Apakah dia memiliki dendam pada salah satu diantara kami? Tentunya tidak. Kita sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya. Atau jangan-jangan...
Dia memang seorang psikopat.
Kucoba untuk mengabaikan kemungkinan tersebut untuk saat ini. Meletakkan skala prioritas pada sesuatu yang lebih penting.
Melihat pola tingkah Lamashtu, tampaknya ia cenderung mencari mangsa untuk dimakan, bukan sekedar ingin membunuh.
Aku punya rencana.
(* * *)
Kilat's POV
[09.37 AM]
Persimpangan ini sudah kulewati tadi. Goresan Katana Putih masih tampak baru di sudut dinding. Sebuah tanda yang kubuat untuk mengetahui bagian mana yang telah kulewati. Dengan begitu aku bisa menentukan kemana jalan keluar maze ini.
Tapi jika Lamashtu belum mati, aku belum bisa keluar dari tempat ini. Tapi tanpa adanya rekan yang biasa diajak kerjasama, aku ragu bisa mengalahkan Lamashtu sendirian. Oke, mungkin aku bisa mengalahkan Lamashtu. Tapi bagaimana jika ular-ular tersebut mematukku tanpa kusadari?
Keraguan bercokol di hatiku. Rasa takut merasuki benakku. Takut, akan racun yang mampu menghancurkan semua komponen nanotech di dalam tubuhku. Hanya sekali sentak, pupus sudah harapanku kembali ke Aquilla.
Aku tak boleh kalah.
Apalagi ketika aku tak harus membunuh manusia kali ini. Lawanku kali ini adalah demon, makhluk pembawa kesengsaraan pada umat manusia, tak ada bedanya dengan cyborg.
Aku harus mengumpulkan rekan-rekan yang terpisah, dengan begitu kita bisa mengalahkan Lamashtu.
(* * *)
Kilat's POV
[10.11 AM]
Lazu? Apakah itu Lazu?
"LAZUUUUU!!!"
Aku berteriak marah saat kulihat Lazu dalam cengkeraman Lamashtu. Tak satupun dari keraguan tadi tersisa di hatiku saat kulihat seorang teman dalam keadaan hampir mati.
"LEPASKAN LAZU!!!!"
Dengan satu lompatan besar, kuhujamkan Katana Putih mengikuti arah gravitasi menuju wajah Lamashtu.
Bobot Katana Putih meningkat pesat. Kubiarkan beban katana mengambil alih arah lintasan gerak tubuhku. Satu hujaman keras dan mata pedang berfisik tembus pandang itu bersarang di rahang Lamashtu yang menganga lebar.
Dengan berat Katana Putih yang besar, aku merobek rahang Lamashtu ketika aku mendarat di tanah. Ia pun jatuh bersimbah darah, dan melepaskan Lazu dari cengkeramannya.
"Kamu nggak apa-apa Lazu?" tanyaku khawatir sambil melepaskan Katana Putih dan meraih tubuhnya sebelum mencapai tanah.
Tubuh Lazu tergores dimana-mana. Cairan di dalam tubuhnya merembes keluar membasahi tanganku. Ia berusaha mengatakan sesuatu, namun suaranya terlalu lemah.
"..awas..belakang.."
Aku menoleh dan kulihat Lamashtu bangkit lagi nyaris tanpa luka. Dengan penuh kemarahan, ia menerjangku dengan kuku tajamnya. Reflek, aku menangkis dengan tangan kiriku.
Kuku Lamashtu begitu kuat. Bahkan mampu merobek jaketku, dan menembus kulitku yang telah dilengkapi nanotech.
Serangan kedua kembali datang. Kini aku dengan sigap menghindari sabetan kuku Lamashtu, mengambil Katana Putih sambil membawa Lazu yang kondisinya parah.
Namun Lamashtu tak menyerah begitu saja. Ia kembali menggunakan kukunya untuk menyerang. Sebisa mungkin kutangkis semua serangannya dengan Katana Putih, meski hanya dengan satu tangan. Tapi aku juga tidak mungkin melepaskan Lazu begitu saja. Aku pun terdesak mundur sambil menyeret Lazu.
Melihatku menyeret Lazu dengan susah payah, Lamashtu menyeringai lebar. Berhenti menyerangku, ia meraih kaki Lazu dan menariknya. Tawa kecil mengiringi seringai gembiranya. Lazu meronta, berteriak, menarik-narik kakinya. Namun kuku-kuku tajam Lamashtu membuat kaki Lazu semakin terluka saat ia meronta.
Kucoba untuk menebas Lamashtu, namun dengan kondisi masih menarik kaki Lazu, ia benar-benar diluar jangkauan Katana Putih.
"Potong saja kakiku Kilat!" teriak Lazu.
Apa dia serius?
"Biarkan saja ia memakan kakiku! Aku tak ingin kita berdua terseret dan terluka parah. Cukup kakiku yang jadi korban!"
"Jangan naif, Lazu! Aku tak akan melepaskanmu apapun yang terjadi!"
"Aku masih bisa menumbuhkan kakiku lagi. Cepat Kilat, cepat!"
Meskipun ia bilang begitu, keraguan tak bisa lepas dariku. Memotong tubuh orang tak semudah memotong patung jerami saat latihan dulu. Tanganku mulai gemetar, memikirkan keputusan mana yang harus diambil.
Meskipun aku memiliki tenaga nanotech, ternyata tak mampu menandingi kekuatan Lamashtu. Perlahan, tubuhku terseret dan kehilangan pijakan. Kalau sampai aku terjatuh, matilah kami berdua.
Tak ada pilihan lain, maafkan aku Laz--
"CHOO CHOO MOTHERF*CKER!!!!"
Sebuah teriakan nyaring terdengar dari atas. Kulihat sesosok wanita dengan pedang berwarna hitam muncul tiba-tiba di atas kami dan menghujamkan pedangnya dengan satu tangan.
"Orang yang berhasil ngelewati dua ronde terakhir itu orang-orang yang otak dan mentalnya sakit, orang-orang yang hatinya mati."
Kata-kata Xabi di ronde lalu kembali terngiang di benakku.
(* * *)
Lazu's POV
[10.15 AM]
Sjena muncul tiba-tiba dari atas Lamashtu. Tangan kanannya patah, jubah merah yang biasa ia kenakan tampak menggantung di lehernya dan menyangga tangannya.
Aku tak mengerti apa maksud teriakan bodoh tadi. Tentu saja Lamashtu akan menghindar mendengar seseorang berteriak di atasnya. Serangan ambush tadi jadi sia-sia. Harusnya itu bisa jadi kesempatan emas untuk membalikkan keadaan.
Dengan kondisi yang tidak prima, Sjena kembali menebaskan pedangnya ke arah Lamashtu. Sementara itu Kilat yang masih tampak kebingungan ikut menyerang tanpa berkata apapun. Keduanya melukai Lamashtu dengan telak, namun regenerasi Lamashtu lebih cepat daripada serangan mereka berdua.
Lamashtu membalas dengan sabetan ke depan, namun Sjena dan Kilat berhasil menghindar dengan baik.
Sjena dan Kilat menyerang bertubi-tubi, namun tak satupun dari serangan mereka dapat melukai Lamashtu dengan fatal. Alih-alih, mereka hanya menghabiskan tenaga.
Saat ini bisa saja kutinggalkan mereka berdua melawan Lamashtu, dan pergi mencari garis finish, seperti rencana awalku. Tapi itu tetap saja tak menjamin kalau mereka bisa membunuh Lamashtu apabila kondisinya seperti ini.
Hmm, tampaknya serangan-serangan kecil seperti sabetan tidak akan berpengaruh besar pada regenerasi Lamashtu. Kita butuh serangan yang le –
"LAZU!"
Hampir saja kuku Lamashtu memotong putus kepalaku kalau Kilat tidak meneriakiku barusan. Sial, aku tidak bisa lengah!
Dengan sigap, aku menarik diri dari pertarungan dan kembali menyusun rencana. Kali ini aku tidak akan menurunkan kewaspadaan.
Serangan yang bersifat massif, itulah yang kita butuhkan sekarang. Pertanyaannya adalah : Apakah salah satu dari mereka mempunyai serangan yang bersifat massif? Kilat, sebagai petarung fisik, tentunya tidak mungkin. Namun Sjena, sebagai petarung magis yang memiliki kekuatan materialisasi, kurasa dia punya serangan semacam itu.
Sekarang kita harus mundur.
(* * *)
Kilat's POV
[10.19 AM]
Ular.
Dimana ular-ular itu berada.
Apakah itu hanya ilusinasi belaka? Ular-ular tadi..
Aku masih ingat desisan mereka, melilit, meliuk di tangan Lamashtu.
Dan sekarang aku membayangkannya meliuk di tanganku.
Sontak kulempar pedangku. Apa-apaan itu barusan!? Fokus Kilat, fokus!
Sekilas, dapat kulihat ekspresi heran Sjena saat melihatku melempar pedang sendiri. Alisnya naik sebelah, begitu pula garis bibir –
FOKUS!
Aku segera mengambil kembali Katana Putih dan mengambil kuda-kuda. Lamashtu kembali menyerang kami dengan sabetan-sabetan kukunya. Aku sebenarnya punya banyak kesempatan menyerang jika saja Sjena tak ada di jarak jangkau serangku.
Aku belum pernah bertarung dalam tim sebelumnya. Meski begitu, harus kuakui kalau Sjena adalah petarung yang buruk dalam tim. Menyerang semaunya sendiri, gerakannya boros tenaga, sama sekali tak memiliki teknik bertarung. Apa yang ia lakukan hanya tebas sana dan sini.
"Regenerasi Lamashtu jauh lebih cepat. Kita hanya membuang-buang tenaga"
Namun Sjena tak mendengar perkataanku, dia tetap menebaskan pedang hit –
Tunggu, tiba-tiba saja dia mencabut pedangnya dari dada Lamashtu. Hei, apa yang terjadi barusan!?
Ah, pengendalian waktu rupanya. Pantas Sjena begitu percaya diri.
Darah hitam Lamashtu mengucur deras dari lubang di dadanya. Aku menarik tanganku mundur, lalu melontarkannya, menusuk Lamashtu di titik fatal lainnya. Disaat bersamaan, Sjena kembali telah membuat dua lubang tusukan di perut Lamashtu.
Lamashtu membungkuk kesakitan. Ini saat yang tepat untuk memisahkan kepala dari badannya.
Aku segera ke sisi Lamashtu, mengangkat Katana Putih tinggi, dan menjatuhkan eksekusi mati dengan bantuan gravitasi.
Namun Sjena menodongkan sebuah shotgun ke wajahku. Apa yang ter –
"Sshhhhhhh!!!!"
Desisan itu terdengar begitu dekat, insting memerintahkan otot untuk melentingkan tubuhku menghindari suara itu.
"DOR!"
Darah segar terciprat membasahi wajahku. Organ dalam ular itu terciprat memenuhi wajahku. Anyir, dan pahit memenuhi inderaku.
"Kilat, Sjena. Kalian harus mundur sekarang juga!!!!"
Teriakan Lazu menyadarkan inderaku yang tertutup. Segera kuseka darah di wajahku dengan tangan lalu segera berlari menjauhi Lamashtu yang sudah kembali segar bugar. Ternyata benar, ular-ular tersebut masih ada. Dan masih bersembunyi entah dimana, menunggu saat yang tepat untuk mencari mangsa.
Aku dan Sjena seperti sedang berlomba sprint dengan Lazu sebagai garis finishnya.
"Teleport sekarang juga, Sjena!" hardik Lazu.
Sjena lalu menarik tanganku dan Lazu, seketika pandanganku sudah berada entah dimana. Ini sepeti ilusi, namun nyata.
Pandanganku mendadak kabur, kepalaku berputar hebat. Isi perutku serasa dirampas keluar, dipaksa untuk keluar dan menampakkan dirinya.
"HUEEKKKK!"
(* * *)
Kilat's POV
[10.30 AM]
Ternyata teleportasi tak semulus yang terlihat. Aku tak bisa membayangkan menggunakan ini sebagai kunci serangan. Sjena pasti telah melalui ribuan kali teleportasi agar terbiasa dengan ini.
"Kau tak apa-apa, Kilat?" Tanya Lazu, menyodorkan tangannya padaku yang masih terduduk lemas.
"Nggak apa-apa kok" kataku sambil menyambut tangan Lazu dan berdiri.
"Aduh!"
Tak kusadari punggung tanganku terluka gores. Aku tak ingat kapan terkena serangan Lamashtu. Kalau saja Lazu tidak memegang tanganku tepat di luka itu, aku tentu tak akan menyadarinya. Tapi kenapa luka ini mendadak begitu perih? Ah, hanya luka gores biasa.
"Kilat, Sjena. Aku punya rencana.." Ucap Lazu.
"Sjena, apakah kau punya serangan yang bersifat ledakan atau seperti itu?"
"Bagaimana kau tahu?" Balas Sjena dengan tangan terlipat di dadanya.
"Hanya asumsiku saja. Baguslah, dengan ini rencanaku bisa berjalan dengan baik. Aku butuh kesediaan kalian untuk berbagi informasi tentang Lamashtu, labirin, Thurqk, atau apapun yang sekiranya bisa membantu kita saat ini. Aku butuh kejujuran kalian" kata Lazu lantang.
Sjena menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan malas.
"Aku tahu peta labirin ini. Aku sempat menggunakan [Clairvoyance] untuk mengetahui segala informasi tentang labirin ini. Bisa dibilang aku tahu kemana jalan keluar. Tapi apa akan kuberitahu kalian? Tentu saja tidak. Hahahaha!"
Lazu terdiam sejenak dan berpikir. Seolah tak terpengaruh oleh sarkasme Sjena.
"Baiklah Sjena, serangan massif seperti apa yang kau punya, apakah butuh waktu untuk mempersiapkan serangannya, apakah daya ledaknya cukup besar, dan apakah daya serangnya cukup jauh?"
"Aku punya [Cannon]. Paling tidak butuh waktu sekitar 10 detik untuk mengaktifkan sebuah tembakan."
"Seberapa besar?"
"Aku bisa membuatnya sebesar mungkin. Namun semakin besar, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengaktifkannya. Dengan ukuran maksimal, membutuhkan waktu 30 detik untuk menembakkannya."
"Baiklah Sjena, kurasa itu cukup bagus. Lalu apakah ada lorong panjang disekitar sini?"
Tanpa berpikir panjang, ia menjawab "Ada."
"Baiklah Sjena, aku dan Kilat akan menunggu di lorong panjang tersebut. Tugasmu : Memancing Lamashtu menuju lorong tempatku dan Kilat. Lalu aku ingin kalian, Sjena dan juga Kilat, menusukku dan Lamashtu saat aku memeluknya dan menghentikan gerakannya untuk sejenak.
Dengan begitu, cairan tubuhku dapat masuk ke tubuh Lamashtu dan aku dapat mengambil alih tubuhnya untuk menghentikan gerakannya. Lalu kau bisa menembakkan cannonmu dengan tenaga penuh. Dan.. Kilat.."
Lazu berbalik menatapku.
"Aktifkan kemampuanmu dan larilah ke puncak dinding labirin secepat mungkin. Jangan sampai terkena tembakan Sjena."
"Eh? Bagaimana kamu tahu?"
"Intuisi." Jawabnya ringan, namun dingin dan menusuk.
Tunggu, apa ini berarti dia harus mengorbankan diri demi kemenangan yang lain? Tidak, aku tak ingin melihat orang lain mati lagi!
"Tunggu Lazu, aku bisa saja mengalihkan perhatian Lamashtu saat Sjena mengaktifkan cannonnya. Aku bisa menyibukkan dia dengan serangan-seranganku bukan?"
"Terlalu beresiko, Kilat. Ingat ular-ular tadi? Kita tidak tahu kapan ular itu datang. Bisa saja mereka datang lebih dulu dan mematuk salah satu diantara kita sebelum rencana ini berhasil. Jika aku berhasil mengambil alih tubuh Lamashtu, aku tentu bisa memerintahkan ular-ular itu agar tidak mendekat.
Dan juga, Lamashtu tidak bodoh. Dia pasti akan lari melihat senjata besar Sjena. Secepat apapun regenerasinya, dia pasti tahu jika dia diserang dengan serangan massif maka dia tak akan mampu beregenerasi.
Poin lain, jikapun bagian tubuh Lamashtu tersisa sehabis serangan Sjena. Maka aku bisa menahan regenerasi Lamashtu dan membunuhnya. Any objection?"
Rencana ini bodoh. Sebagus apapun rencana ini, tak akan baik apabila harus ada yang mati. Aku tak ingin lagi melihat kematian! Aku lelah dengan kematian. Aku…
"Aku nggak mau kamu mati, Lazu.."
Tak kusadari air mata menetes membasahi pipiku. Rasa lelah, rasa muak, benci akan kematian telah menusuk-nusuk hatiku. Pasti ada jalan lain, aku yakin sekali, pasti masih ada jalan lain agar kita semua bisa menyelesaikan ronde ini tanpa ada satupun yang mati. Aku yakin sekali!
"Kilat..Oh Kilat. Sungguh naïf dirimu nak, ckckc" kata Sjena sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum sinis. "Rencana ini sudah begitu sempurna. Lagipula, kalaupun Lazu mati. Masih ada kemungkinan dia dihidupkan untuk ronde selanjutnya. Itupun kalau Thurqk merasa..TERHIBUR"
Terhibur?
"APANYA YANG TERHIBUR, BANGSAT!"
Emosiku tak terbendung lagi, kulayangkan sebuah pukulan telak ke wajahnya. Dia jatuh terpental. Hidung dan bibirnya berdarah hebat.
"Apa yang kamu tau soal kehilangan teman, Sjena?! Kamu nggak tahu rasanya kehilangan seseorang! Kamu nggak tahu!"
Sjena menyeka darah yang mengucur dari hidungnya, lalu bangun dengan susah payah.
Dia tertawa, namun sedetik kemudian, tawanya lenyap.
"Aku dulu punya orang yang kusayangi. Namun perang telah merenggut mereka. Aku kehilangan peganganku, aku kehilangan diriku. Lalu kuputuskan untuk membunuh perang. Untuk membunuh orang-orang masa lalu yang menyebabkan perang.
Kubunuh mereka semua yang membunuh orang yang kusayangi!
Aku tak peduli lagi, meski semuanya tak akan kembali. Meski aku kembali ke masa lalu, membunuh leluhurku, dan membunuh mereka yang menyebabkan perang saudara.
Orang yang kusayangi tak akan kembali. Namun apa? Kenaifanku, keegoisanku, dendamku.."
Kata-katanya terputus. Wajahnya tertunduk, merah padam. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar. Getir terpancar jelas darinya. Dari nada bicaranya, dari gerak tubuhnya. Bayangannya seolah hidup, seperti api yang membara dengan warna gelap, yang pekat.
"Aku adalah hati yang dipenuhi kegelapan. Begitu pekat kegelapan, menelan semuanya, membunuh semuanya, bahkan membunuh hatiku sendiri. Aku telah membunuh perang, kukira aku akan menghilang dengan puas. Namun tidak, perang tak pernah mati. Perang masih hidup dan merasuki pikiranku. Membunuh pikiranku dari dalam, membuatku tak lagi merasakan apa-apa. Tak ada lagi rasa senang, selain dari membunuh dan menang. Kau tak akan mengerti, Kilat. Rasanya memiliki hati yang mati rasa."
"Jadi, bergembiralah kau masih bisa merasakan kasih, Kilat!"
Sebuah pukulan melayang ke wajahku, aku tak menghindar, ataupun melawan. Aku terjatuh ke lantai, dan Sjena berdiri di atasku.
"Berterimakasihlah Kilat, karena kegelapan tak pernah memilih hatimu untuk ditempati..Bergembiralah.."
Tangannya masih mengepal, wajahnya masih menunduk. Sayup-sayup kudengar isak tangis. Tetes demi tetes jatuh membasahi lantai.
[10.48 AM]
2 : How to win a boss fight (end)
=====(* * *)=====
0 : How to lose your sanity
Sjena's POV
[One day before round 4]
-Jagatha Vadhi-
"Wahai air berwarna merah di tanah berwarna merah di langit berwarna merah. Katakan padaku, siapa wanita tercantik di dunia ini!"
Sungai bodoh pun tak menjawab.
Kupecahkan saja airnya biar ramai, tapi air tidak bisa pecah. Dan aku kelihatan bodoh sekali memukul-mukul air.
Kuputuskan untuk duduk di pinggir sungai merah, dan bertanya pada diriku sendiri : Apa tujuanku ikut pertarungan ini. Hidup kembali? Untuk apa, orang tuaku sudah mati, leluhurku sudah kubunuh, keturunan Reinhilde sudah punah. Tak ada alasan bagiku untuk kembali.
Perang sudah kubunuh, seharusnya aku sudah berada di neraka, tersiksa, lalu melupakan semuanya. Jadi apakah ini gambaran neraka? Tapi aku tak merasa tersiksa, aku bahkan tak merasakan apapun. Dan tak melupakan apapun.
Ah, aku lelah dengan ingatan ini. Dengan ingatan kematian mereka, orang yang kucintai. Semakin lama aku hidup, semakin lama ingatan ini melekat. Meskipun perang sudah kubunuh, namun kenapa aku tak merasa puas? Masih ada yang mengganjal, tapi apa?
Aku bahkan tak tahu apa.
Perang, keluarlah dari kepalaku! Carilah tempat lain untuk dihancurkan!!! Tinggalkan aku sendiri!!
"AAAAARRRGGHHH!!!"
Kulepaskan Magic Glasses di wajahku dan kulemparkan ke tanah. Tak puas, kuinjak-injak dan kuhancurkan hingga menjadi serpihan kecil.
Tunggu, apabila aku mati. Tentunya aku tak akan ada disini lagi. Tentunya ingatan ini akan segera kulupakan.
Kumaterialisasikan sebuah pisau hitam dari udara kosong dan mengacungkannya ke atas pergelangan tanganku.
Jika aku mati..
Aku akan lepas dari pertarungan konyol ini, dan melupakan semuanya. Tidak, Thurqk pasti akan menghidupkanku lagi! Membuatku bertarung dengan semua ingatan ini! Membuatku berperang lagi, dan lagi, hingga ia puas!
Enggan merasuki diriku dan mencegahku menghujamkan pisau hitam itu.
Apakah aku harus mengalah di ronde berikutnya?
Tidak, tentu Thurqk akan menghidupkanku lagi untuk dibunuhnya. Lalu menghidupkanku lagi di pertarungan bodoh lainnya. Apa ini, sebuah paradox? Apa itu paradox? Apa aku pernah membacanya? Aku tak ingat! Apa yang kuingat? Apa? Memori, katakan padaku, katakan!
"SIALLLLL!!!!"
Aku marah, tapi tak tahu harus marah pada siapa. Pada perang? Dia sudah mati. Pada Thurqk? Ya, pada Thurqk. Tapi aku tak punya kekuatan apapun dibandingnya. Aku tak punya kuasa apapun dibandingnya. Bangsat!
Kepalaku sakit.
Jika saja menjambak rambutku dapat menghilangkan rasa sakit ini. Tidak, melakukannya pun tak membantu. Rasa sakit ini seperti punya pikiran sendiri di dalam kepalaku. Seperti paradox. Apa itu paradox? Apa yang kupikirkan?
Andai rambutku adalah rasa sakit, pisau yang kugunakan untuk memotongnya seharusnya telah membunuh rasa sakit itu. Kupotong-potong rambutku, berandai bahwa mereka adalah rasa sakit yang harus kubunuh, yang harus kubasmi, kupotong kecil-kecil, cincang dadu.
Namun rasa sakit itu tak mau pergi, sama seperti perang. Yang mendiami pikiranku, sesaat setelah kubunuh. Bagaimana dengan Matilda? Leluhurku yang kubunuh dulu, apa ia mendiami pikiranku juga? Apa iya?
Sialan!
Kulemparkan saja pisaunya.
Air merah menerima pisauku dengan gembira.
Aku datang mencari air merah, berkaca, bermain siapa-gadis-paling-cantik-di-dunia. Kali ini air merah menjawab : Seorang wanita dengan rambut terpotong acak tak karuan, adalah wanita yang paling cantik di dunia.
"Hahahahaha"
Aku bahkan tak tahu aku tertawa atau menangis. Perang telah mengacaukan mereka, memberi konflik antara saraf tawa dan tangis, membuat konspirasi dan kebingungan antara mereka. Membuat mereka berpikir kalau mereka sedang berperang atas nama saudara mereka.
Aku tak mengerti apa yang kupikirkan saat ini.
F*ck you Sjena.
0 : How to lose your sanity (end)
=====(* * *)=====
3 : How to end this dramatically
Sjena's POV
[11.02 AM]
Aku bermain sembunyi-sembunyian dengan Lamashtu. [Clairvoyance] bilang, dia tak jauh dari sini. Jadi seharusnya aku bisa menemukannya dengan cepat.
Kumaterialisasikan [Sword] dan kupukulkan ke dinding besi pembatas maze. Suaranya menggema ke seluruh penjuru maze.
Tak sampai beberapa saat kemudian, Lamashtu pun datang. Jantungku berdegup kencang, bukan karena ketakutan. Mungkin ini semacam.. excitement? Aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan saat ini.
Lamashtu menggeram dari jauh, sementara itu aku mundur dan semakin mundur. Sambil melempar pisau dari jauh, membuatnya marah dan terpancing. Kali ini akurasiku membaik, pisauku mengenai wajah jeleknya, akhirnya.
Dia mencabut pisau itu dengan marah lalu berlari sekencang mungkin. Dan aku juga berlari sekencang mungkin. Kami sekarang berlari marathon, hahaha.
(* * *)
Kami pun sampai di garis finish : Lorong panjang. Kilat dan Lazu menunggu dengan sigap. Aku berlari sekencang mungkin dan Kilat maju menggantikanku. Kami seperti pelari estafet yang berganti lintasan.
Kilat, seperti namanya. Bergerak begitu cepat, menebaskan pedang putihnya dengan luwes, namun tetap jelas terlihat berat pedangnya saat ia menghujamkannya jatuh mengikuti gravitasi. Bisa dibilang, Kilat bersahabat dengan gravitasi, setiap ayunan pedangnya memanfaatkan gaya gravitasi untuk memberi tekanan tambahan.
Setelah beristirahat sejenak, aku pun ikut maju. Tugasku hanya mengawasi ular apabila mereka muncul, dan melindungi Lazu ketika ia berputar ke belakang Lamashtu.
Dengan tangan kanan yang patah, pertarunganku tak mungkin bagus. Oh sejak kapan aku bisa bertarung? Aku hanya mengandalkan sihir.
Aku tak boleh terlalu dekat dengan Lamashtu, atau aku hanya mengacaukan pola serang Kilat. Baik aku maupun Kilat sama-sama petarung individual. Jika aku tidak hati-hati, bisa saja aku tertebas.
Aku bersiap-siap dengan kuda-kuda seadanya. Kilat masih menyibukkan Lamashtu dengan tebasan-tebasan yang tidak fatal. Sementara itu Lazu telah berada dibelakang Lamashtu dan bersiap untuk menghentikan gerakannya. Lazu berlari dan mendekap Lamashtu tiba-tiba.
"Sekarang!"
Kilat menusukkan pedangnya tepat di perut Lamashtu hingga tembus ke belakang, menembus tubuh Lazu. Membuatnya berteriak kesakitan.
Aku lalu berteleportasi ke belakang Lazu dan menusuknya dari belakang hingga ikut menembus punggung Lamashtu.
Tubuh Lazu seperti membran yang bocor saat kami berdua menarik pedang kami. Seketika ia melepaskan tangannya dari Lamashtu dan terjatuh, cairan tubuhnya luber kemana-mana. Matanya membelalak, bibirnya menganga, tubuhnya kejang.
Tak ada waktu lagi untuk memastikan, rencana sudah berjalan setengah, ini saat untuk mengakhiri semua.
Aku berteleportasi ke belakang, mematerialisasikan [Cannon] sebesar mungkin dan mengisinya dengan kekuatan sihir.
Namun, tak seperti perkiraan kami. Lazu tak berhasil mengambil alih tubuh Lamashtu. Saat ini Lamashtu melihatku membawa senjata besar, dan seperti yang Lazu bilang, Lamashtu menyadari ini dan lari. Dia mempersiapkan sayapnya untuk terbang.
"Diamlah, brengsek!" Hardik Kilat.
Namun Kilat tak membiarkan Lamashtu kabur. Ia menebas sayap Lamashtu yang hampir lepas landas. Lamashtu membalasnya dengan sabetan kuku yang sembarang. Kilat menghindari serangan panik itu dengan mudah, dan menghujamkan beberapa tusukan yang sekiranya bisa menghentikan gerakan Lamashtu.
"Sudah tigapuluh detik lewat, aku tak bisa menahannya lebih lama lagi atau [Cannon] ini akan meledak di tempat, Kilat!!"
Sudah tidak bisa lagi, pilihannya hanya hidup satu atau mati semua.
Thus, The [Cannon] has fired.
(* * *)
Kilat's POV
[11.20 AM]
"Sudah tigapuluh detik lewat, aku tak bisa menahannya lebih lama lagi atau [Cannon] ini akan meledak di tempat, Kilat!!" teriak Sjena dari kejauhan.
Sial, kematian Lazu begitu sia-sia. Tak ada pilihan lain, aku harus menghentikan pergerakan Lamashtu atau rencana ini gagal total. Pilihannya hidup satu atau mati semua. Seperti yang Sjena bilang tadi, andaipun aku dan Lazu mati, kami masih punya kesempatan dihidupkan kembali oleh Thurqk. Itupun kalau MENGHIBUR.
"DUARRRRRRRR!!!!!!!!!"
Suara menggelegar terdengar meluncur dari ujung lorong. Sebuah bola hitam magis raksasa meluncur dengan kecepatan luar biasa.
"Ki..lat..P-e-r-g-i.."
Gerakan Lamashtu tiba-tiba berhenti. Dan kata-kata itu….
Instingku mengaktifkan kemampuan nanotech tanpa sadar. Seolah melawan arus waktu, kurasakan akselerasi tubuhku menjadi jauh berkali lipat lebih cepat. Aku segera berlari menuju dinding, mengaktifkan kemampuan nanotech untuk membuatku mampu berlari di dinding. Aku berlari sekuat tenaga menaiki dinding, secepat yang kubisa. Seperti pelari marathon menuju garis finish..
Dari atas, kulihat seisi lorong tersapu habis oleh kekuatan kegelapan yang begitu besar. Seolah menelan semuanya dan kembali pada ketiadaan.
(* * *)
Kilat's POV
[12.00 AM]
Aku tak tahu berapa jam sudah aku menyusuri labirin tak berujung ini. Seperti dugaanku, Sjena pergi tanpa membagi informasi tentang garis finish. Dia menghilang, seolah kembali pada ketiadaan. Ya, dia memang egois.
Meskipun kami telah berhasil membunuh Lamashtu, tapi tetap rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Aku pernah membunuh orang sebelumnya, tapi ini.. Rasanya jauh berbeda, mengorbankan orang lain rasanya jauh lebih menyakitkan. Ini bukan lagi sekedar menang atau kalah.
Kuputuskan untuk duduk bersandar di dinding.
"Tenang saja Kilat.. Kita pasti akan menemukan jalan keluar"
Tunggu, suara siapa itu tadi? Lazu? Apakah ini hanya ilusi, atau kenyataan?
"Ini kenyataan, Kilat"
Kucari sumber suara tersebut. Dari punggung tanganku yang tadinya terluka, kini berubah warna menjadi warna biru terang.
"La-Lazu?" tanyaku pada punggung tanganku sendiri.
"Ya ini aku, Kilat!" katanya terdengar dari punggung tanganku
Aku tak pernah merasa bersyukur sedalam ini sebelumnya. Ternyata Lazu tidak mati sia-sia.
"Tentu saja, Kilat. Kau pikir aku sebodoh apa mau mengorbankan diri tanpa sebab!"
Aku tertawa, entah aku menangis. Yang pasti kegembiraan ini terlalu sulit untuk diungkapkan.
"Aku telah memasukkan klonku ke dalam dirimu saat tadi kubantu kau berdiri, dari luka gores. Jadi sekalipun aku terbunuh di dalam Lamashtu, aku masih punya klon lainnya untuk nyawa cadangan. Hahaha, kau sungguh naïf Kilat. Tapi itulah yang menarik dari manusia."
Jika Lazu memiliki tubuhnya saat ini, aku ingin menjitak kepalanya karena dia telah membuatku menangis tadi. Hahaha.
"Ngg Lazu, kamu tahu jalan keluar dari sini?" tanyaku.
"Seharusnya jika kita bisa mencari dinding pembatas antar labirin yang memisahkan kita dengan peserta lain, lalu menyusuri pinggir dinding sampai ke finish. Tapi masalahnya, kita tidak mengetahui posisi kita saat ini, dan mencari dinding pembatas tentunya sangat sulit."
Andai Nolan menghubungiku saat ini.
Kupejamkan mataku hanya untuk melihat kegelapan, tak ada huruf-huruf yang muncul tiba-tiba di pelupuk mataku.
Aku menarik nafas panjang. Asa tampaknya telah putus, aku kehilangan arah, kehilangan panduan. Tak tahu harus kemana melangkah.
Disaat keputusasaanku memuncak, kulihat sesuatu yang tampaknya kukenal tak jauh dari tempatku duduk. Sebuah bola hitam yang melayang, pendar kegelapan menyelimuti permukaannya. Aku tahu ini milik siapa.
Saat kudekati, bola itu melayang pergi menuju arah lain. Sepertinya ia sedang..menunjukkan arah padaku?
Asaku yang sempat menghilang kembali lagi.
Makin lama, lorong labirin semakin sempit, hingga cukup seukuran badan saja. Api itu melesat cepat di atas kepalaku. Dapat kulihat cahaya di ujung lorong. Cahaya, akhirnya!
Begitu aku keluar, kudapati aku berada disebuah ruangan bulat besar. Tampak beberapa peserta lain telah mencapai titik akhir ini. Banyak diantara mereka luka parah, beberapa orang tampak kehilangan anggota tubuh mereka. Sungguh pemandangan yang memilukan.
Bola hitam pemanduku lalu menghilang begitu saja. Lalu pemiliknya muncul, dari balik kerumunan orang. Siapa yang tak kenal dia? Wanita sombong sarkastik, dengan rambut dan kelakuan seperti orang gila.
Sjena Reinhilde.
"Maafkan aku Sjena, aku telah salah menilai –"
Dia meletakkan jari telunjuknya di bibirku dan mendesis pelan. Lalu ia menyodorkan tangannya padaku, mengajakku bersalaman.
Keraguan tak lagi muncul di hatiku saat kusambut tangannya.
Senyum tersimpul manis di bibir ungu gelapnya.
Begitu pula di bibirku.
3 : How to end this dramatically (end)
=====(FIN)=====
Epilogue
Author's POV
"Nona Sjena, anda telah melewati ronde keempat. Anda diperkenankan untuk memilih salah satu kekuatan dari demon yang anda kalahkan" ujar seorang Hyvt.
Hyvt tersebut menyerahkan sebuah lembaran berisi daftar kekuatan Lamashtu.
Sjena membaca kertas tersebut, membacanya bolak-balik. Alisnya berkerut, senyum sinis khasnya tersungging pahit di bibirnya.
"These powers are for noobs" ujar Sjena sambil meremas kertas tersebut dan melemparnya.
Someone, kill her please.
"Selamat, kalian adalah peserta yang lolos ronde keempat! Ada hal yang harus kusampaikan pada kalian semua.."
Rambut itu, kacamata itu, pakaian itu. Dapat kuasumsikan bahwa dia adalah Nolan, tangan kanan Thurqk. Apa yang akan ia sampaikan?
Tapi pertanyaan terbesar : Akankah Sjena peduli akan hal itu?
Somehow saya suka banget bagian penceritaan sjena dengan pov 1 nya. Sjena jadi terasa lebih manusiawi. Jadi tahu latar belakangnya menjadi seorang sarkastik, dan ternyata sjena juga punya kelembutan hati. Cuma mungkin dia terlalu tsundere untuk menunjukkannya terang teranganan. >.<
ReplyDeleteTapi saya suka jadi sebel pas penceritaan uda berganti ke narator yang suka ngata ngatain sjena, rasanya naratornya kayak tukang ngejudge hanya dari tampilan luar #plak
Alur pertarungannya sendiri menarik, pake ganti ganti pov, dan gaya bahasa ringan, mengalir pas dibaca. Momonnya kayak cuma monster ganas, kurang digali, tapi yah sejak awal ini kan battle antar OC, ngapain juga thurqk nyurus peserta lawan momon gaje (?) Yang penting interaksi antar karakternya keeksplor.
Nilai 8.
Ceritanya lebih bisa dimakan dari sebelumnya.
ReplyDeletewhich is good.
perubahan PoV juga bagus.
tapi anehnya Cerita Sjena gak bisa saya kasih nilai Wah, karena yah itu. gak ada sense of Belonging.
karakter yang layak di Yeah! harus maju terus, Kick Thurqk in the Ass!
Final Verdict: Kesempurnaan dalam median: 7
Seperti biasa, rasanya appeal dari entri Sjena selalu masalah kemasan yang disajiin sama penulisnya. Saya emang tipe yang suka format pembagian part yang jelas kayak gini, dan asik juga ngeliat pergantian pov yang rasanya lumayan luwes dan fleksibel. Mungkin senada sama Ivan, Sjena emang bukan oc yang punya sense of belonging, tapi kayanya kita udah lewat ngebahas soal itu. Setidaknya saya masih pengen tau bisa dibawa kayak gimana karakter ini kalo terus maju.
ReplyDeleteNilai 8
Uwah, ini pindah-pindah PoV1, saya suka ini, terutama PoV Sjena~
ReplyDeleteWalau menurutku agak overkill juga guardian di sini sampe digulung 3 orang, but hey, I'm not complainin' since the battle quite good. Ah, tapi lebih menarik kalau Sjena just waste those two.
Score 8
Po:
ReplyDeleteKarakterisasi masing OC bener2 kerasa. Pertarungannya juga asik kalo hanya ngliat dari masing2 OC. Paling Lamashtunya aja yg kesannya kyk sekedar penghadang tanpa kesan yg berarti, meskipun misal punya skill2 dasar yg kuat.
Dan entah kenapa cerita yg langsung bertujuan battle vs monster sejak awal kyk kurang terbangun tensi dan dinamika plotnya. Tapi narasinya bener2 enak utk diikutin (yg PoV1).
Nilai 7,5
:)
ReplyDelete