[Round 3-K8] Sjena Reinhilde vs Ravelt Tardigarde
"Shall We Dance, Milady?"
Written by Bayee Azaeeb
---
"Shall We Dance, Milady?"
Written by Bayee Azaeeb
---
Mari kita berharap kalau saja bola-bola besi itu tidak jatuh.
Atau setidaknya, begitulah harapan Sjena. Melihat langit-langit ruangan yang tak tahu tingginya seberapa. Begitu kelam, pitch black. Tak satupun orang yang tahu seberapa tinggi tempat ini – atau seberapa tinggi bola itu dijatuhkan. Tak ada yang tahu, baik Sjena ataupun –
"Apa kau bilang tadi, Hyvt?" Tanya Sjena sebelum Hyvt menutup pintu dan meninggalkannya.
"Waktumu tiga puluh menit, dan bol –"
"Sssh.." Desis Sjena sambil menutup bibir makhluk merah mohawk itu dengan jari telunjuknya. "Aku sudah tahu itu, sekarang pergilah."
Hyvt tersebut mendengus kesal dan membanting pintu.
Sjena menatap sekelilingnya, sebuah ruang kosong dengan panjang-lebar sekitar 10x10. Baik dinding maupun lantainya putih bersih, mengkilap seolah baru. Membuatnya ragu bahwa dulunya ini adalah ruang penyiksaan. Tapi dipikir lagi, Thurqk tentunya dengan mudah merekonstruksi ulang ruang yang sudah hancur dipakai.
Pihak lawan belum datang, masih ada waktu untuk melihat-lihat. Bagaimana panggung kali ini, mempelajari bloking panggung, showmanship yang bisa dilakukan, atau memanfaatkan atribut yang tersedia di atas panggung.
Well, panggungnya kosong.
Sjena mendengus kesal, kali ini tidak ada satu tempat untuk sembunyi ataupun berlari. Dia tidak suka menjadi aktris di atas panggung, dia lebih suka menjadi penonton, duduk dengan manis menikmati akting para aktor, lalu breaking the 4th wall, memasuki panggung ketika adegan sudah klimaks, lalu mengakhiri semua dengan laknat.
You got to work now.
Tak punya sesuatu untuk dilakukan, ia memilih tiduran di lantai dan menatap langit-langit yang seolah tak berujung. Begitu gelap, membuat siapapun seolah tertelan ke dalamnya.
"Aku harus berhenti menatap kegelapan sebelum kehilangan kewarasan."
(* * *)
Pria itu tidak tahu ruangan seperti apa yang harus ia lihat saat ini. Melihat pintu hitam yang berdiri kokoh di depannya. Begitu kokoh, metal solid. Tak seorangpun tahu tempat ini, karena ini adalah tempat penyiksaan rahasia. Tak ada yang tahu, baik Ravelt maupun –
"Waktu anda tiga puluh menit. "
Well, Hyvts know.
"Bola-bola besi akan jatuh dari langit-langit ruangan, tidak ada yang bisa menghancurkan mereka, menahan mereka pun percuma, karena mereka dapat menghancurkan makhluk jenis apapun." Lanjut Hyvt tersebut.
Ravelt melangkah mantap menuju pintu tak jauh di depannya, tak sabar menanti panggung apa yang harus ia naiki sekarang. Jubah merahnya berkibar saat langkahnya tegas menyapu udara, sepatunya menderap mantap seperti kuda yang sedang menuju medan perang. Tongkatnya tergenggam tegak, menantang siapapun yang menghalangi jalan.
Dia adalah orang yang suka berdiri di atas panggung, berdiri dari awal sampai akhir. Mengawali cerita dengan heroik dan mengakhirinya dengan dramatis. Karena itulah apa yang tokoh utama lakukan, membawa cerita ke sebuah plot, mengambil simpati penonton, membawa cerita menuju klimaks, dan mengakhirinya dengan indah.
Sebuah ruangan serba putih, dengan langit-langit seolah tak berujung. Ravelt berjalan sejenak, hingga sesuatu menarik perhatiannya. Tak jauh dari sana tampak seseorang, berbaring di lantai.
"Apa orang itu kehilangan kewarasannya?" Pekik Ravelt.
(* * *)
Sjena sibuk bermain dengan [Fake Fire], membuatnya menjadi bentuk-bentuk geometris yang melayang di tangannya.
Sebuah bola besi terjun dari atas tanpa peringatan.
Sjena yang tak sadar akan hal itu membuang objek di tangannya dengan reflek dan memekik.
"[Freezing Seconds]!"
Bola besi tersebut berhenti beberapa meter tepat di atas kepala Sjena, secepat mungkin, ia menggulingkan tubuhnya keluar dari area bola tersebut jatuh. lalu ia bangun dengan segenap kelegaan di hatinya, karena sudah berhasil lepas dari sebuah kematian konyol.
"BLAR!" Batu besi itu pun menghempas tanah, menghancurkan lantai putih yang indah.
"Jadi kau juga pengguna sihir waktu, Nona?" tanya seorang pria dari kejauhan.
Sjena memicingkan matanya, mereka-reka sosok di kejauhan dari balik kacamatanya. Terlihat seorang pria dengan rambut pirang seleher, poninya menutupi mata. Sebuah jubah merah dengan bulu putih di setiap ujungnya berkibar gagah di bahunya, kontras dengan kemeja putihnya yang tampak gagah dengan kepala singa yang menghiasi pinggangnya. Namun senada dengan celana panjang hitam yang membalut lekuk kakinya dengan penuh pesona.
Dan terakhir, sebuah tongkat emas penuh kemewahan, dengan pangkal sebuah batu ruby berbentuk elips, digenggam erat oleh sebuah tangan gagah dengan cincin emas. Sjena tak bisa memungkiri lagi, ada kharisma tidak biasa yang terpancar dari orang ini. Tapi dia tidak tahu apa.
(* * *)
Wanita ini pasti kehilangan akal, pikir Ravelt.
Bagaimana mungkin, di tengah pertarungan yang memang belum dimulai, bisa-bisanya dia tidur. Kalau dia memang berniat untuk menang, tentu saja wanita itu tidak mungkin berbaring tanpa pertahanan seperti ini. Aneh memang, tapi anehnya lagi, hal itu menarik untuk Ravelt.
Ravelt menyodorkan tangannya kepada wanita tersebut.
"Sjena Reinhilde" gumam wanita tersebut saat menyambut tangan Ravelt.
"Ravelt Tardigarde" balas Ravelt.
Senyum sinis tersungging dari kedua bibir mereka, tak ada sesuatu yang spesial, itu hanya cara mereka tersenyum dengan normal.
Beberapa kacamata berwarna biru yang aneh melayang-layang di sekitar Sjena, hal yang tak pernah dilihat Ravelt sebelumnya. Dihiasi dengan jubah warna merah darah dengan renda putih di setiap ujungnya. Rambut hitam mengkilat namun ditata berantakan, sungguh kombinasi yang aneh tapi menarik. Balutan kain abu-abu melingkar ketat di kulitnya yang sawo matang gelap. Sebuah heels kain selutut yang membungkus lekuk kakinya yang indah, membuat Ravelt sedikit tertarik dengan tata busana aneh wanita ini.
Dan terakhir, sebuah bibir dengan polesan ungu yang kontras dengan kulitnya, menarik simpul dengan sinis yang tersenyum, menggelitik hati Ravelt. Membuatnya tertawa dalam hati, kenapa ada begitu banyak kesamaan diantara mereka berdua.
"Jadilah koleksiku, Nona."
Entah apa maksud kata itu barusan. Mungkin sebuah ajakan pernikahan. Meskipun Sjena adalah putri kerajaan, namun dia sejak bayi sudah dibuang dari kerajaan. Membuatnya sedikit kebingungan atas budaya high end, atau mungkin itu adalah cara orang melamar di negeri Ravelt.
Kata-kata itu cukup menggelitik hati Sjena.
"Tentu saja tidak, Tuan." balas Sjena sambil melepaskan tangannya dari Ravelt.
Bersamaan dengan itu, dua buah bola besi jatuh menghantam mereka.
"Cih mengganggu saja!" keluh Ravelt.
Bola-bola tersebut berhenti, seolah ada dinding pembatas yang mencegah mereka untuk jatuh. Tidak, waktulah yang berhenti dan mencegah mereka untuk jatuh.
Tampak Ravelt dipenuhi aura kehitaman sambil mengangkat tongkatnya. Sementara itu Sjena berjalan menjauhi Ravelt, tak ada keinginan berperang darinya, karena memang tak pernah ada sebelumnya.
Ravelt berjalan mengikuti Sjena, bersamaan dengan itu kedua bola yang berhenti tadi jatuh menghempas tanah, meninggalkan sebuah bunyi ledakan yang menggelegar.
"Hey, apa kau tidak ingin bertarung, Nona Sjena?" Panggil Ravelt.
"Bertarung? Aku tidak sedang dalam mood untuk itu." Balas Sjena tanpa menoleh, matanya masih sibuk menatap langit-langit.
"Kau sedang apa, Nona Sjena?"
"Menghitung seberapa lama bola berikutnya akan datang."
Absurd, sungguh absurd! Wanita ini sungguh absurd! Selama ini tak ada wanita yang tak tertarik pada Ravelt, dengan pesona absolutnya, siapapun pasti akan takluk padanya. Pesona seorang raja para dewa. Namun wanita ini, entah apa yang ada di pikirannya. Hal ini membuat Ravelt penasaran untuk menelisik lebih jauh.
"Kacamata ini –"
"Jangan sentuh kacamataku!" Hardik Sjena.
"Tidak, aku hanya ingin tahu apakah aku bisa memintanya sebagai koleksiku."
"Koleksi? Barang seperti ini banyak dijual, untuk apa meminta punyaku.. Oh aku lupa, kita dari Realm yang berbeda.."
"Tentu saja kau tidak bisa memintanya" lanjut Sjena tanpa banyak basa-basi.
"Lalu apa kau ingin barter? Aku punya banyak hal di [King's Warehouse]!"
Sjena menoleh.
Dari udara kosong, serpihan-serpihan metal termaterialisasi dengan kecepatan yang mengagumkan, berkumpul menjadi sebuah objek solid. Membentuk setiap bagian dari objek tersebut dengan detail.
"Dengan robot seperti ini? Aku punya banyak!"
Ini bukanlah sifat Ravelt biasanya, dia tidak pernah tertarik seperti ini sebelumnya. Entah kenapa dia merasa begitu penasaran dengan keanehan wanita ini. Seolah wanita ini tak pernah tertarik pada apapun sebelumnya. Dia bahkan ragu, apakah wanita ini memiliki motivasi pertarungan, apakah dia punya orang yang menunggunya di dunia, atau hal-hal semacam itu.
-Suka terhadap hal yang dianggap sebagian besar orang "aneh" dan apabila bertemu dengan hal seperti itu, dia akan berkata "Hal ini pantas menjadi koleksiku" atau kata-kata semacam itu.-
-Ambisius, apabila ia sudah memfokuskan dirinya pada sesuatu, maka ia pasti akan mendapatkannya.-
(* * *)
"Robot? Maaf, aku bukan anak laki-laki. Robot bukanlah mainanku"
Tiba-tiba beberapa buah bola besi terjun bebas lagi dari atas. Kali ini Ravelt tak menghentikannya, hanya melambatkannya.
Sjena memperhatikan bola-bola yang jatuh dengan kecepatan 5 sentimeter perdetik itu, memiringkan kepalanya, mengangguk, lalu berkata.
"Hei, Tuan Ravelt. Apa kau tidak lihat?"
Ravelt tak mengerti, benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran wanita ini, dan perspektifnya yang aneh.
Namun Ravelt tak menjawab, ia melenyapkan robotnya seketika, serpihan-serpihan metal berwarna kelam yang melayang ke udara kosong.
"Ini panggung yang sempurna bukan? Anggap saja bola-bola ini sebagai properti panggung yang sungguh, sungguh menarik! Seperti salju yang turun dengan dramatis!" Lanjut Sjena dengan antusias.
"Shall we dance, Milady?" Ajak Sjena sambil menyodorkan tangannya, sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. Senyum sinis yang normal bagi mereka berdua.
Ravelt tertawa terpingkal-pingkal. Wanita ini sungguh lucu, aneh dan lucu. Bisa-bisanya ditengah pertarungan mengajak lawannya berdansa, menganggap bola-bola yang setiap saat bisa menghancurkan tubuhnya itu seperti serpihan salju yang turun dengan kecepatan 5 sentimeter per detik.
Tapi Ravelt tetap menyambut tangan Sjena.
"Yes, My Lord.." Balas Ravelt dengan senyum sinis lainnya.
Saat Ravelt mengambil tangan Sjena, ia langsung menariknya dan membuat Sjena berputar ke pelukannya. Dengan sebuah gerakan elegan, Ravelt menangkap Sjena dan merebahkannya sedikit ke bawah.
"Hey, tidakkah kau pikir ruangan ini terlalu sepi?" Tanya Ravelt.
"Tentu, kita butuh dekorasi!" Balas Sjena.
Dengan satu sapuan tangan, di udara telah terbentuk serpihan-serpihan berwarna-warni yang terbang dengan indah lalu menempel ke setiap sudut ruangan, membuat lantai menjadi marmer berwarna krem yang begitu mewah. Menyulap dinding dengan wallpaper berwarna hitam dengan aksen hitam dan emas.
"Satu hal lagi"
Dengan pengendalian ruangnya, ia membuat lantai di bawahnya menjadi sebuah loop hole. Ketika bola-bola tersebut menyentuh lantai, maka bola tersebut akan kembali meluncur dari atas, begitu terus tanpa akhir. Sementara bola-bola yang terlanjur menghancurkan lantai ia biarkan, dia anggap sebagai properti tambahan.
"Tunggu!" elak Sjena. "Aku belum siap!"
Sjena melepaskan dirinya dari Ravelt, lalu ia mengangkat tangannya sedikit ke udara. Bayangan-bayangan hitam termaterialisasi di udara lalu mengalir mengitari tubuhnya. Sesaat kemudian bayangan-bayangan tersebut membungkus lekuk tubuh Sjena. Membuat sebuah pakaian baru, dengan cara yang mirip dengan Ravelt menata ruangan.
Sebuah gaun tanpa lengan dengan warna hitam keunguan. Dengan ujung rok mengibas lantai, berkibar-kibar dengan aksen api gelap palsu yang mirip seperti aura [Dark Access] yang digunakan Ravelt. Setiap kibas geraknya meninggalkan jejak asap hitam di udara.
Sjena, you are not Elsa. But i think i'll just let it go.
"Tak kusangka selera pakaianmu bagus juga. Apa kau dulunya seorang putri atau semacamnya?" Tanya Ravelt, memberi tangannya pada Sjena.
"Secara teknis, iya. Tapi aku tidak pernah tahu istana itu seperti apa" jawab Sjena, menyambut tangan Ravelt lalu merengkuh pinggangnya.
Ravelt membalasnya dengan sebuah rangkulan ringan di pinggang Sjena. Musik imajiner mulai bermain dalam imaji mereka, langkah-langkah tipis mulai bermain di petak marmer. Kiri-kanan-kiri-kanan, berseling satu sama lainnya, dengan tempo tak lebih cepat dari lagu mars, mungkin saja waltz, tapi mereka sendiri juga tak tahu lagu apa yang bermain dalam imaji mereka.
"Aku dibuang sejak lahir karena kelahiranku membawa kutukan" lanjut Sjena.
Dari balik kacamata semi-transparan itu, Ravelt dapat melihat alis Sjena naik sebelah. Entah itu pertanda ketidakpeduliannya atas dibuangnya dia dulu, atau ada alasan lain. Ravelt membiarkan Sjena melanjutkan kalimatnya.
"Ketika di keluarga Reinhilde lahir anak dengan mata biru, maka dia akan membawa kehancuran pada istana."
Sjena menghentikan langkahnya sejenak, lalu menghela nafas.
"Mungkin saja aku anak haram ibuku, dan kebetulan 'ayahku yang asli' bermata biru. Itu.. mungkin saja kan?"
Sjena meremas kemeja putih Ravelt di bagian pinggang. Getir nampak tipis terbias di bibir Sjena, dan dapat dibaca oleh Ravelt.
"Iya, mungkin saja kan –" pertanyaan retorik Sjena berhenti saat Ravelt menggeser kacamatanya, tanpa perlawanan, dan perlahan melepasnya.
"Kau tahu, mata biru itu indah.." Kata Ravelt sambil melepaskan kacamata Sjena ke lantai. Begitu pelan, seolah kacamata tersebut melayang di udara.
"Ya, mungkin. Seperti matamu, Tuan Ravelt?"
Ravelt tersenyum tipis, kali ini bukanlah senyum sinis.
"Pernahkah terpikirkan di benakmu, untuk memimpin dunia bersamaku?" Tanya Ravelt, melepaskan tangannya dari pinggang Sjena, lalu membuka kedua tangannya dengan gestur menyambut.
Namun Sjena tak menjawab, ragu masih bercokol di hatinya. Dia berjalan memunggungi Ravelt, menimbang-nimbang pertanyaan barusan. Lalu sebuah bola besi turun perlahan, begitu pelan.. Sehingga mereka berdua pun bisa berjalan melewatinya.
"Memimpin dunia, bukankah itu merepotkan?" Tanya Sjena dengan nada sinis, tanpa berbalik menatap lawan bicaranya. "Mengurusi urusan orang lain, menghidupi orang lain secara tidak langsung, memikirkan hidup orang lain. Kenapa ada orang yang mau mengurusi hidup orang lain?"
Dan lagi, Ravelt sungguh tak mengerti jalan pikiran wanita ini.
Woman, less you know them, happier you are.
Pengendalian ruang dan waktu Ravelt berhenti, dan bola-bola tersebut meluncur bebas menghujam lantai, meninggalkan bunyi menggelegar dan getaran yang hebat. Namun, baik Sjena maupun Ravelt sama sekali tak bergeming.
(* * *)
Lima belas menit berlalu, dan mereka hanya menemani kebisuan satu sama lainnya, atau sekedar memainkan melodi imajiner yang tak eksis. Bukan karena mereka tak bisa mematerialisasikan melodi-melodi indah tersebut. Hanya saja karena..melodi-melodi itu tidaklah eksis.
"Apakah kau ingin bertarung, Nona Sjena?"
"Untuk apa repot-repot bertarung kalau sudah jelas aku tak bisa menang. Kau punya pengendalian waktu dan ruang jauh lebih luas, dan juga berbagai macam hal yang bisa kau panggil dengan satu jentikan jari. Apakah aku punya kesempatan menang?"
Ravelt mengangguk, merasa sedikit sombong. Mungkin saja ini efek [Supreme Existence] yang membuatnya menjadi sebuah eksistensi yang agung membuat Sjena rendah diri.
"Tampaknya Thurqk brengsek itu tidak suka aktornya berdiam diri di panggung seperti ini.." gumam Sjena, menatap langit-langit.
"Maksudmu?"
"Aku sedang menghitung berapa lama bola berikutnya datang."
Sedetik kemudian, puluhan bola besi meluncur bebas dari kegelapan yang ada di atas. Bersiap menghujam apapun yang ada di bawahnya, siapapun tanpa kecuali. Nyaris tak ada satu ruang untuk menghindar. Kalaupun ada, hanya pengendali ruang dan waktu sajalah yang –
Ravelt kembali menghentikan waktu.
"Tampaknya ini adalah saat terakhir. Ada kalimat terakhir, Nona Sjena?"
Serpihan-serpihan logam berbagai warna kembali muncul dari udara kosong, perlahan berkumpul menjadi bentuk tangga yang dipanjat Ravelt hingga sampai ketinggian tertentu. Ravelt lalu berbalik dan menjatuhkan badannya ke sebuah kursi berwarna merah yang termaterialisasi.
Serpihan lainnya berputar mengelilingi tongkat Ravelt dan membungkusnya dengan jaringan kabel rumit yang termaterialisasi dengan kecepatan tak terhingga. Perlahan, sebuah robot terbentuk dengan megah melindungi tubuh Ravelt di tengah kokpit.
"Genggam tanganku" pinta Sjena.
Ravelt lalu menengadahkan kedua tangan robotnya, mengarahkannya ke jangkauan tangan Sjena.
"Mari kita pejamkan mata, dan hitung mundur dari lima. Lalu kau bisa menjatuhkan semua bola itu."
Ravelt tak bisa melihat senyum terakhir Sjena karena dia memejamkan matanya sesaat setelah pinta terakhir itu.
5
4
3
2
1
"Nice to meet you, Mr. Ravelt"
..
(* * *)
Darah segar mewarnai jubahnya, tak berbeda dengan warna dasar jubah tersebut. Mata birunya membelalak terkejut, bibirnya kaku sejenak tak mampu berkata apa yang terjadi barusan. Sebuah besi dingin telah menembus tubuhnya. Dingin, dan kejam. Sekejam kejahatan, sekejam kegelapan.
Sebuah pedang.
Hitam dan gelap, namun membara seperti api. Api palsu.
Menembusnya, tepat di hati.
Dia – Ravelt, tak bisa berkata saat pedang hitam tersebut menembus jantungnya. Dengan sisa tenaganya, ia menoleh ke belakang.
Sjena terkekeh.
Layar kokpit penuh dengan noda darah. Dan cairan merah itu masih mengalir dengan deras dari dada Ravelt, memenuhi kokpit dengan aroma anyir.
"BLARRR!!!!"
Sebuah hentakan besar menghantam kokpit dari atas, membuat robot rangsek seketika dan hancur kembali menjadi serpih seribu dan kembali ke asalnya, udara kosong. Menjatuhkan Ravelt dan Sjena, dan juga darah.
Bola yang menghantam tadi terpental ke arah lain saat menabrak robot, sehingga Sjena dapat mendarat di lantai dengan selamat. Meninggalkan tubuh Ravelt dengan noda merah yang indah. Sjena tersenyum tipis, sinis dapat terlihat berteman dengan bibirnya.
I told you, sir. Now see, you are dead now. Dead!
Genggaman tangan terakhir tadi itu hanyalah cara Sjena untuk mengaktifkan [Clairvoyance], yang membuatnya bisa melihat masa lalu suatu objek dengan cara menyentuhnya. Memperkirakan letak kokpit, dan seberapa besar kokpit.
Andai saja Sjena salah perhitungan dalam menggunakan [Teleport] bisa saja dia berakhir dengan setengah badannya terjebak di lilitan kabel dan membuatnya mati seketika karena setengah badannya menembus kabel-kabel tersebut pasca [Teleport].
Begitulah, pengendalian ruang dan waktu adalah suatu hal yang membutuhkan presisi. Perhitungan jarak, kalkulasi waktu, dan tipu daya. Tanpa itu semua, maka tak ada tontonan yang menarik. Tanpa itu semua, pesulap hanyalah seorang badut konyol di atas panggung, sibuk melucu dan bertingkah bodoh. Itu semua hanya hiburan anak-anak.
- memasuki panggung ketika adegan sudah klimaks, lalu mengakhiri semua dengan laknat-
Sjena berjalan ke pintu keluar, hanya untuk mendapati rasa sakit yang membakar di bahu kirinya. Saat ia menoleh, sebuah pisau es telah menancap disana. Secepat mungkin, ia mencabut pisau yang tak tertancap dalam. Darah menetes pelan dari lukanya.
Sementara itu, sebuah bola besi kembali meluncur dari langit-langit. Menandakan bahwa pertandingan belum berakhir.
Yes, my hero is not dead yet!
Di antara bola-bola besi, terlihat Ravelt bangun dengan susah payah. Luka di dadanya telah dibekukan dengan sihir es, menghentikan darah yang mengucur sejak tadi.
"Hey, ini tidak adil! Bukankah kau sudah kutusuk di jantung, brengsek?!" Teriak Sjena.
Dari seorang putri yang sopan dan elegan, menjadi wanita mulut sampah, sebuah plot twist tak terduga bagi Ravelt. Untuk pertama kali dalam 21 tahun hidupnya, ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Oleh seorang wanita. Seorang tokoh utama? Diinjak-injak? Itu tak pernah ada di dalam kamus Ravelt.
Namun Ravelt memilih untuk diam dan menyimpan tenaganya yang tak tersisa banyak. Membalas provokasi lawan bukanlah sesuatu yang baik. Kekuatan [Hero Essence] telah menyelamatkannya dari kematian. Hanya tokoh utama lah yang berhak memiliki kemampuan ini. Kemampuan untuk bangkit disaat terdesak, bahkan keadaan hampir mati sekalipun.
Sjena lalu mencari tempat yang sedikit lapang dan mulai melemparkan pisau lemparnya. Namun Ravelt dengan beladiri Aeoniannya mampu menghindari semua serangan itu dengan mudah. Lagipula, akurasi Sjena sangat buruk, tak dihindari pun seharusnya tak kena.
Sjena sendiri memilih untuk bertarung dari jarak jauh karena ia sendiri tak punya teknik beladiri apa-apa. Bertarung jarak dekat sama dengan bunuh diri, menghentikan waktu pun percuma pada lawan yang juga bisa menghentikan waktu.
Namun Sjena cepat bosan.
Bosan serangannya berhasil dihindari, Sjena memutuskan untuk [Teleport] ke belakang Ravelt dan menebaskan pedangnya dari atas.
Ravelt bukanlah petarung kemarin sore, serangan seperti itu dengan mudah dibaca olehnya. Dengan sedikit gerakan menghindar, ia mampu menyelamatkan lengannya dari tebasan Sjena. Belum selesai Sjena menebaskan pedangnya, sebuah pukulan telah mendarat di wajahnya. Counter attack itu begitu cepat, Sjena pun tak sempat melihatnya datang.
Dan Sjena pun terpental jauh, terguling-guling dan akhirnya menghempas tembok dengan wajah penuh darah.
Dia lalu bangun, menggeser rahangnya yang hampir lepas tadi dan meludahkan darah yang memenuhi rongga mulutnya. Bersama sebuah gigi yang lepas dari gusinya.
Pertarungan jarak dekat sungguh konyol, pikirnya. Seharusnya rencananya tadi sudah sukses, dan seharusnya dia menang. Tapi si brengsek ini hidup kembali dengan ajaib. Membuat Sjena harus memutar otak kembali, mencari tipu daya lain.
Belum otaknya sempat berputar, Ravelt telah berteleportasi dan seketika muncul di depan Sjena, meluncurkan sebuah tendangan ke perut Sjena. Dengan reflek yang tipis, Sjena berusaha menangkis tendangan tersebut dengan kedua tangannya, tak sempat mematerialisasikan apapun dengan waktu sesempit itu.
Untuk kedua kalinya, tubuh Sjena terpental dan terguling-guling. Menghantam bola besi yang sedari tadi teronggok liar disana.
"Matilah kau, Jalang!"
Aura kegelapan yang mengitari Ravelt semakin pekat, menandakan kemarahan semakin menguasainya.
Ravelt kembali berteleportasi ke depan Sjena yang terbaring lemah, lalu menginjak-injak wajahnya.
"Sepatuku rasanya enak, bukan?!"
"Jawab aku! Bukankah kau bisa bicara?" Ravelt menginjak perut Sjena, membuatnya memekik lirih dan memuntahkan darah.
"Lihat, sekarang sepatuku jadi kotor. Semua ini salahmu!" Ravelt mengangkat kakinya tinggi dan menginjak Sjena sekuat te –
Sjena menghilang, dan Ravelt hanya menginjak lantai kosong. Kemana Jalang itu pergi kali ini, pikir Ravelt.
Dan lagi, sebuah pisau lempar konyol berusaha melukai Ravelt, namun dapat dihindari dengan mudah. Pisau tersebut akhirnya menancap di sebuah bola besi.
Ravelt melihat ke arah sumber lemparan. Namun sebuah bola besi tiba-tiba muncul di atas kepalanya tanpa peringatan, seolah bola tersebut ber...teleportasi.
Sjena sendiri tak menyangka itu berhasil, menggunakan senjata palsunya sebagai media untuk men-teleportasikan objek. Dengan ini, kuota sihir Sjena dalam lima menit tersisa hanya satu kali. Dia harus bisa menang, atau paling tidak mengulur waktu sampai limit lima menit lewat.
Sjena berjalan tertatih di antara bola-bola besi dan terkekeh saat melihat pantulan wajahnya di cermin, kali ini giginya lepas satu lagi.
Sementara itu, Ravelt tidak ingin dibodohi lebih lanjut, dia kembali memanggil robot lain dari [King's Warehouse] miliknya.
Namun lemparan pisau entah darimana menggagalkan prosesi summoning Ravelt. Membuatnya marah, karena lawannya sungguh pengecut. Membuat Ravelt mau tidak mau mengaktifkan [Far Sight] yang membuatnya bisa mendeteksi lawan dimanapun–
Sebuah pisau konyol kembali menggagalkan casting skill Ravelt. Membuatnya semakin geram.
Belum habis geramnya, sebuah bola besi kembali meluncur, kali ini dari depan, seolah ada tenaga pendorong yang cukup kuat untuk menghempaskan bola besi sebesar itu. Ravelt berhasil berguling dan menghindarinya, lalu melihat Sjena dengan tangan bayangan besar di punggungnya, bersembunyi dibalik bola tadi.
"Disitu kau rupanya, Jalang"
Ravelt mematerialisasikan es ke sekujur tongkatnya, membuatnya menjadi sebuah pedang. Lalu berlari dengan cepat ke arah Sjena.
Sjena sendiri tak punya pilihan lain selain menyambut dengan pedang miliknya, dengan satu genggaman solid, ia menyambut Ravelt sekuat tenaga.
Ravelt menebaskan pedangnya secara vertikal turun, sementara Sjena menahan dengan menebas vertikal naik. Bunyi dentingan logam memekik tinggi saat senjata mereka berbenturan. Keduanya terpental sedikit ke belakang, namun tenaga Sjena kalah besar, dan pedangnya terlepas saat benturan tadi, sementara Ravelt masih memegang pedangnya dengan erat.
Kini Ravelt di atas angin, dengan cepat ia menyerang musuhnya yang tidak bersenjata.
Tentu saja tidak, Sjena mematerialisasikan pedang baru lagi, dan kali ini, dengan tenaga yang lebih terfokus, ia kembali membalas tebasan Ravelt yang tampak terburu-buru.
Kali ini Sjena berhasil membuat pedang Ravelt terpental, serpihan es menghilang seketika saat tongkat tersebut terlepas dari tangan Ravelt.
Sjena balik menebas Ravelt yang tak bersenjata.
Dan tentu saja tidak! Ravelt kembali mematerialisasikan senjata baru dari [King's Warehouse], sebuah pedang lain, dengan kecepatan yang mengagumkan.
Namun serangan Sjena hanyalah pancingan, pedang palsunya pecah seribu kembali menjadi kegelapan saat beradu dengan pedang Ravelt. Saat itu juga Sjena mengganti senjatanya dengan [Ogre Hands] lalu memukul Ravelt yang masih dari arah berlawanan dengan tangan kegelapan yang muncul dari punggungnya.
Sjena tidak mampu menggunakan dua senjata sekaligus. Sistem substitusi, membuatnya harus mengganti satu senjata sebelum menggunakan senjata lain.
Namun Ravelt mampu menahan pukulan dadakan tersebut dengan tangannya.
Sjena kembali meluncurkan pukulan dengan tangan kegelapannya yang lain, namun kali ini juga berhasil ditahan Ravelt.
Namun Ravelt melupakan tangan ketiga, yaitu tangan asli Sjena, yang sekarang sedang meluncur tepat ke wajahnya.
Ravelt tersenyum menang. Pukulan tersebut tak akan mengenai wajahnya karena dia akan.. Menghentikan waktu–
- Kalaupun ada, hanya pengendali ruang dan waktu sajalah yang..-
Kebal terhadap pengendalian waktu.
Pukulan Sjena pun mendarat telak di hidung Ravelt. Mengabaikan efek penghentian waktu Ravelt.
Sjena terkekeh. "Ada kata terakhir?"
..
"Seranganmu lemah sekali.. Hahahaha!!"
Bagaimanapun juga, Sjena hanyalah wanita biasa tanpa kemampuan fisik spesial ataupun bela diri. Pada jarak sedekat ini, serangan fisiknya tentu saja tak bisa dibandingkan dengan daya tahan laki-laki. Padahal sesaat tadi, dia sudah ada di atas angin.
Sjena kembali terkekeh.
Ravelt lalu merasakan sensasi yang aneh di tubuhnya, seakan tubuhnya mencair. Saat ia sadar, tubuhnya berubah menjadi bayangan dan jatuh ke lantai dengan cepat.
"[Blend]" bisik Sjena tipis.
Satu sihir terakhir dari Sjena, Shadow Mastery : [Blend] yang membuat sebuah objek menjadi bayangan dengan syarat menyentuh wajahnya.
-Saat berada dalam wujud bayangan. Objek dapat bergerak secepat bayangan, namun satu serangan sekecil apapun dapat membunuhnya seketika-
Belum sampai tubuh bayangan Ravelt di tanah, Sjena telah mematerialisasikan [Shotgun] dan menodongkannya ke arah Ravelt yang masih bingung dengan apa yang terjadi barusan.
Bersamaan dengan itu, puluhan bola besi kembali jatuh dari atas.
"Adios, Monsieur Ravelt"
Sebuah senyum terakhir mengiringi bayangan yang meledak di udara, tertembak [Shotgun]. Bayangan tersebut terciprat seperti darah, memenuhi lantai dengan noda hitam. Dingin, dan kejam. Sekejam kejahatan, sekejam kegelapan.
Puluhan bola besi menghantam lantai dan menutup tirai panggung ronde ketiga dengan elegan.
(* * *)
"Sudah tiga puluh menit, seharusnya mereka sudah selesai.."
Makhluk mohawk merah tersebut membuka pintu di sampingnya, dan dengan gugup, masuk ke dalam ruang penyiksaan tersebut.
Tidaklah ia terkejut, melihat puluhan bola besi bertumpuk, seperti game tetris yang gagal, game over. Beberapa noda darah terlihat di tembok, namun ada beberapa noda hitam yang asing baginya. Namun ia mengabaikan hal itu dan mencari pemenang ronde kali ini.
Yang ia temukan hanyalah tubuh seorang peserta wanita di atas tumpukan bola besi. Wajahnya penuh darah, rahangnya tampaknya bergeser akibat pukulan yang sangat keras, beberapa giginya hilang dari deretan. Noda merah berserakan membentuk pola tertentu di gaun hitam yang ia kenakan. Dan sepasang noda hitam aneh berbentuk sayap sebesar 3 meter terlihat menodai tumpukan besi disamping tubuh wanita tersebut.
"Aneh, kurasa peserta ini tidak mengenakan gaun ketika masuk tadi. Dan, noda aneh apa ini!?"
Makhluk mohawk merah bernama Hyvt tersebut memutuskan bahwa ronde kali ini tak ada pemenangnya. Jadi ia memutuskan untuk pergi melapor pada Thurqk.
Namun saat ia akan berjalan, sebuah tangan memegang pergelangan kakinya, menahan pergerakannya.
Hyvt lalu menoleh.
Peserta wanita berambut hitam itu mengacungkan jari tengahnya kepada Hyvt, lalu terkekeh.
===(FIN)===
Ane mendapati dua segmen dalam pertarungan ini :
ReplyDelete1. Sjena merayu Ravelt untuk menikam dari belakang
2. Sjena bertarung langsung karena strategi tikaman gagal
Masalahnya dua segmen ini terasa berdiri sendiri, padahal menurutku kalau dipadu-padankan selang-seling, efeknya bakal lebih ngena.
Bagian merayunya itu jadi jelas banget bakal ke mana arahnya (penikaman dari belakang), sementara bagian bertarungnya jadi ga sampe tahap WAH.
Kalau secara narasi deskripsi sudah bagus.
Penilaian menyusul setelah ane baca entry Ravelt.
Nilainya 7 , kurang 0,5 dari Ravelt, karena meski kualitasnya sama menurut ane, tapi secara subjektif ane lebih suka kocaknya karakter Ravelt
Delete...
ReplyDeletebingung mau komen apa, awalnya saya kira bakal cuma ngobrol terus one hit kill, ternyata ada fighting scenenya juga, dan pertarungannya juga lumayan enak karena terkesan santai dan gak buru2, dan seperti biasa Sjena selalu pakai cara licik buat menang.
nilai 8/10
Pertarungan yang menaring, mulai dari backstabbing sampai ke full battle dengan memanfaatkan ke-imba-an lawan. Cukup menarik karena kau dapat menemukan beberapa hal untuk diekspos dari karakter lawan~
ReplyDeleteScore 8
*menarik
DeleteFak! komen kok pake typo...
Tumben ga mainan ngacak" alur atau narasi? Rasanya jadi ada satu rasa khas yang ilang dari entri Sjena ini.
ReplyDeleteSaya bisa bilang karakter kedua peserta yang berantem d sini udah dapet. Ravelt dengan aura sok kuasanya, dan Sjena yang cuek tapi ternyata penuh muslihat... Ya, seharusnya dari karakter udah dapet. Tapi rasanya ada sesuatu yang kurang...meski entah apa itu. Mungkin karena ekspektasi saya begitu dua karakter dengan segudang kemampuan ini ketemu, bakal jadi battle penuh showoff - yang sebenernya kadar battle di sini udah bagus - tapi mungkin kurang hmm dramatik? Itungannya Sjena masih menang 'gampang' di sini imo.
Bingung mau komen apa lagi, sisanya kayak gaya cerita sih masih terjaga dan enak dibaca seperti biasa.
Nilai nyusul nunggu entri lawan muncul.
karena durasi terbatas yg bikin susah buat diacak2
Deletemau ngacak2 apa coba, durasi cuma 30 menit xD
klo hitungan jam/hari masih bisa diacak timelinenya
utk battle, ya aku sendiri ga mempersiapkan sjena sama sekali utk development, pikiran awalku cuma ikut BoR, ya jadinya karakter dadakan tanpa ada bayangan BoR itu apa dan apa yg harus kulakukan sama OCku
dan aku sendiri - seperti yg pernah kubilang sebelumnya, seorang penulis absurd, jadi utk memoles battle itu adalah sesuatu yg bener2 baru buatku, dan aku masih membiasakan diri utk menulis battle scene
dgn jelas tanpa harus meninggalkan 'ketidakjelasan'ku
which is absurd '__'
Shared score dari impression K-8 : 7,6
DeletePolarization -/+ 0,4
Karena saya lebih suka entri Sjena, jadi entri ini saya kasih +0,4
Final score : 8,0
Po:
ReplyDeleteSisi plusnya, ada beberapa bagian cerita yg secara teknis dan karakter cukup baik, contohnya pas bagian dansa dan interaksi sjena-ravelt pas bagian dansanya. Kekuatan Sjena juga terpakai dgn baik utk mengatasi Ravelt.
Minusnya, battlenya kurang jelas. Bukan kurang jelas yg bikin rasa penasaran arau membuat tulisan ini bisa disusun reasoningnya secara bertahap, tapi lebih ke memang adegan tarung dan penyelesaiannya nggak punya ketegangan atau faktor kejutan yang cukup. Trik Sjena yg melibatkan robot, dan nyaris saja Sjena mati tertembus kabel itu pun, nggak cukup menjelaskan apa yg terjadi.
Yg paling jelas keliatan nggak tergambar adalah adegan pas Ravelt kagum dan heran ngeliat Sjena yg tidur2an, kekebalan Sjena terhadap pengendalian waktu, dan kemampuan Sjena merubah lawan jadi bayangan.karena, di bbrp bagian ini adegan, karakter atau kemampuan terkesan nggak bisa dituturkan lewat cara lain atau sesuai alur berjalan, sehingga penulis terpaksa kyk mencopy-paste mentah2 data skill atau sifat karakter dari charsheet.
Dan battlenya kurang klimaktik, Ravelt seolah2 sangat lemah di sini dibanding Sjena sehingga teknik2nya nggak berkesan. Gak masalah mau menipu atau nggak, Sjena pasti akan menang gampang, kesannya trik Sjena nggak terlalu berguna krn toh Sjena emang super powerful, jatuhnya bikin bosan kalau menurutku.
Nilai 6,5
owo gw suka dengan momen dansanya. di kepala gw langsung terdengar lagu "Save the Last Dance for Me" dari Michael Buble. Dan serius andaikata Ravelt kalah di sana aja dah cukup bagi gw untuk ngasi nilai bagus karena impresinya melekat. (belum lagi parodinya wkwk)
ReplyDeleteetapi tiba-tiba jadi adegan fighting. bisa dimengerti sih mengingat emang ini jadi show off kedua OC yang punya skill bejibun. gw baru ngeuh betapa ringkihnya Sjena kalo tarung jarak deket.
battlenya sendiri menarik, ga sekedar cuma adu tinju tapi juga adu deception. power levelnya juga kerasa. tapi... kayak ada yang kurang pas battlenya... sialnya gw ga tahu apa. yang pasti mood baca battlenya agak drop dibanding pas baca bagian dance-nya itu >.<
nilai: 8
Entri kelima :3
ReplyDeleteAh..saya kehilangan sjena….
Yups. Alur ngacaknya ilang. Padahal saya udah jadi fansnya sjena lho :(
Lanjut ya…
Anehnya, walaupun alurnya lurus kayak gini, saya tidak kehilangan karakter sjena sepenuhnya. Tingkahnya yg random, nyebelin, pengkhianat, masih saya dapatkan di sini kak. Poin plus saya kasih buat ravelt di sini, soalnya dia bener2 ga sekedar jadi lawan, tapi dia yg ngebantu karakter sjena jadi hidup.
Untuk dialognya oke banget. Rapi, diksinya juga oke. Lain2 ga ada masalah berarti. ruangan juga dieksplorasi dengan baik di sini.
Untuk nilai, saya ngasih: 7.5
Semangat kak :3