[Round 3-K13] Leonidas Evilian Lionearth vs Claude & Claudia
"Iri Hati Itu Hal yang Biasa"
Written by Ichsan Leonhart
---
"Iri Hati Itu Hal yang Biasa"
Written by Ichsan Leonhart
---
Cinta bukanlah segalanya, namun kehidupan tanpa cinta terasa sangat menyiksa.
Gelap, sunyi nan lengang. Suara langkah kaki hanyalah satu-satunya hal yang bisa didengar. Lampu penerangan menyinari tembok mengurung kokoh, permukaannya keras terbuat dari bebatuan. Terletak jauh di bawah tanah, yang berarti tak seorang pun bisa keluar dari sana.
Sempit sekali, lorong itu hanya cukup dilewati satu bahu orang dewasa. Berbeda dengan koridor megah di istana Jagatha Vandhi, tempat ini berkesan seperti pembuangan bagi para budak tak berguna. Kotor, kumuh, penuh dengan debu. Penerangan pun bahkan hanya sebatas obor dengan api menyala.
Bahu seorang pria tanpa sengaja sesekali menggesek tembok berdebu, serpihan tanah jatuh mengotori jaket hitam yang ia kenakan. Sorot matanya terlihat sayu, batinnya melanglang buana memikirkan sesuatu.
Adalah Leon, pria narsis dengan rambut depan panjang hingga menutupi mata kanan. Berjalan menuruni tangga curam, mengikuti malaikat berkulit merah menuju lorong yang semakin dalam. Entah berapa lama ia berjalan, kedua kakinya seakan protes lewat pegal yang ia rasakan.
Ia hendak menggerutu sekarang juga, namun niatnya dihentikan oleh pemandangan di penghujung tangga. Menatap gemerlap cahaya, berasal dari sebuah ruangan luas, penuh dengan hiruk pikuk malaikat. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing. Kebanyakan sedang berjalan tergesa, membawa setumpuk kertas di tangan mengenakan baju perkantoran— berupa kemeja putih lengkap dengan jas dan dasi berwarna hitam. Ada yang sedang mengepel lantai, mengetik dengan keringat di dahi, sibuk mem-fotocopy, bahkan memaki bawahannya yang tak becus bekerja.
"Tempat apa ini?" ucap Leon tak percaya. Mendapati ruang perkantoran megah jauh di bawah tanah. Terlebih pintu masuknya yang sangat tak biasa, menuruni lorong dan tangga sempit seolah menuju penjara.
"Ini ruangan AAA— Administrasi Alam Akhirat," jawab Hvyt singkat.
"Administrasi apa?" ucap Leon tak paham. Otaknya yang bodoh kurang bisa mencerna maksud dari Ruang AAA. Tempat ini hanyalah perkantoran biasa, dengan pegawainya berupa malaikat merah-merah persis dengan Hvyt yang membawanya. Di sudut paling jauh ia bisa melihat antrian para manusia dengan tagline di leher mereka. Ada yang bertuliskan Surga, ada juga yang tertunduk lesu dengan cap Neraka jelas tertera.
Hvyt tak menjawab, ia hanya berlalu melanjutkan perjalanan. Wajahnya menoleh dengan seringai jahat, mengangguk pelan memberi isyarat agar Leon segera mengikutinya.
Sambil berjalan, pandangan Leon tanpa henti menyapu suasana di sekitar. Sejenak termenung menatap sebuah ruangan dengan kaca transparan. Di dalamnya ada sekumpulan Hvyt duduk menatap komputer dengan senyum di wajah. Headset bermikrofon menempel di telinga, masing-masing sibuk berbicara dengan orang di seberang telepon. Di bagian atasnya ada sebuah banner bertuliskan, Call Center bagian Neraka.
Selesai menikmati pemandangan aneh itu, Leon dibawa memasuki lorong lain dengan tulisan di bagian atasnya. Ia memincingkan matanya berusaha membaca tulisan di sana.
"Ruang rekreasi—1001 tusukan," ucap Leon terpana. Kedua matanya terlihat berbinar, "Sepertinya sesi kali ini akan terasa menyenangkan."
Mereka berhenti menghadap sebuah pintu, di atasnya ada papan penunjuk dengan tulisan, "Wahana Khramanaka – 13."
"Waktu pertarungan adalah tiga puluh menit. Kau harus mengalahkan lawanmu sebelum waktu berakhir, atau kalian semua mati bersama." Hvyt di sampingnya berucap dingin. Ia membukakan pintu mempersilakan Leon masuk ke dalam sana.
Ruangan itu gelap, tak ada penerangan apapun di dalam sana. Hanya pendaran sinar berasal dari luar yang menjadi sumber cahaya, dan tarikan garis lurus dari cahaya itu perlahan menghilang, seiring dengan tertutupnya pintu masuk— hingga menyisakan kegelapan semata.
Hening, tak ada apapun di sana. Namun Leon bisa merasakan kehadiran seseorang di sana.
"Claudia sayang, sepertinya lawan kita sudah datang," ujar seseorang. Mengagetkan Leon yang hendak duduk untuk memulai tidur panjang.
"Mmmmh…" erang seorang gadis. Terdengar seolah bangun dari tidur yang panjang. "Sudah waktunya ya?"
"Betul."
Leon sontak bersikap waspada. Terakhir kali ia dengar soal peraturan, ronde tiga ini adalah duel sparring satu lawan satu. Namun dua suara tadi telah menyadarkannya akan sesuatu. Bahwa segala peraturan memang ada untuk dilanggar. Karena kali ini ada dua orang yang hendak mengeroyok dirinya.
Sang ketua KPK merasa terancam, lengannya sibuk meraba-raba dinding, berusaha untuk mencari sakelar lampu di dinding. Namun sial, tempat itu memang dibuat tanpa satu pun sumber penerangan. Dengan segera ia merogoh saku jaketnya, untuk mengambil selembar kain lusuh pemberian dari teman di ronde sebelumnya.
Dirabanya kain itu, lalu memasukan lengannya tanpa ragu lewat permukaan, secara ajaib pergelangan tangannya masuk ke dalam sana. Sibuk merogoh seolah mencari sesuatu. Persis seperti adegan Doraemon yang sedang mengubek kantong ajaib.
"Ketemu," ucapnya girang. Seraya mengeluarkan sebuah senter LED. Tanpa buang waktu ia tekan sakelarnya untuk menerangi ruangan.
Sorot lampu dari senter hanya menerangi tiga meter ke sekitar, bayangan gelap terukir jelas menambah seram suasana. Terlihat jelas sesosok manusia berdiam diri di hadapan. Mengenakan jubah dengan motif hitam putih, mematung kaku tanpa kepala.
Berdesirlah jantungnya, mulutnya terbuka lebar menjerit histeris, mendapati sosok tubuh dengan leher terpancung. Terlebih dengan kemunculan dua kepala tanpa badan melayang di sampingnya. Pria itu berteriak semakin menjadi. Sangat keras— hingga membuat dua kepala tadi melayang mundur dengan wajah ketakutan.
Dua menit kemudian…
Leon dan makhluk misterius itu berusaha menenangkan diri masing-masing. Sang ketua KPK memberanikan diri untuk bertanya.
"Makhluk macam apa kalian?"
"Kami?" ucap sang kepala dengan wajah laki-laki, "Kami adalah sepasang kekasih yang selalu bersama."
Sosok kepala di sampingnya berucap menambahkan, "Kami memang hanya tinggal kepala, namun kami berbagi satu tubuh dengan damai nan sentosa." Rambut putih sebahu menjadi ciri khas keduanya. Mereka saling bertatap dengan wajah bahagia, lalu berciuman tak lama kemudian.
"Woogh…" komentar Leon terkesima. Ia sudah duduk lesehan sambil menuang secangkir teh di hadapan mereka berdua. Sepotong kain kecil pemberian dari Flager sangat berguna baginya, dia kini memiliki tas dengan berkapasitas besar lewat secarik kain semata. Lewat sana, ia keluarkan lampu portable yang bersinar cerah menerangi ruangan.
Dullahan—tubuh tanpa kepala—bergabung untuk menikmati teh bersama mereka. Claude terbang pelan lalu bertengger nyaman di atas lehernya. Layaknya robot ajaib dalam serial Power Ranger, leher pria itu kini tersambung dengan sempurna, menempel sebagai satu kesatuan sebagai satu manusia— bebas menggerakan tubuhnya.
"Kalian beruntung ya.." komentar Leon pelan. Menyeruput segelas teh di tangan dengan mata sayu, wajahnya berubah mendung teringat sesuatu.
Claude dan Claudia menoleh.
Pria itu menambahkan segelas gula, lalu mengaduk dengan pelan. "Kalian bisa terus bersama, bahkan hingga ajal menjemput pun kalian tetap selalu bersama."
"Kau punya orang yang dicintai juga?" tanya Claudia. Hatinya mulai tergugah, pria di hadapannya sepertinya memiliki masa lalu yang kelam dalam hal percintaan.
Leon menjawab dengan sebuah anggukan, "Aku memiliki seorang Istri. Berwajah cantik dengan mata biru indah menawan. Namun dia sudah meninggal terlebih dahulu."
"Bukannya kau juga sekarang sudah meninggal?" tukas Claude, lengannya sibuk menuangkan teh panas dari termos berwarna cokelat.
"Iya, dan sayangnya aku tak bisa menemukan dirinya di sini."
"Sudah coba hubungi Call Center Bagian neraka?" cetus Claudia.
Tersedak Leon dibuatnya, teh di mulut pun nyaris tersembur saat itu juga,"Hey! Istriku itu orang baik-baik, dia tak mungkin masuk neraka."
"Just Saying," lanjut Claudia. Andai ia memiliki tubuh, tentu sekarang ia sedang mengangkat kedua bahunya.
Leon menghela napas sejenak, "Andai aku bisa seperti kalian…"
"Oh, aku bisa membuatmu seperti kami." tukas Claude. Ia sontak mengaktifkan kemampuannya untuk menukar obyek. Memindahkan kepala Leon, menggantikannya dengan sebuah cangkir berisi Teh.
Kepala sang ketua KPK menggelundung di lantai seperti bola. Ia hanya terbelalak tak mampu mengendalikan posisinya, "Hey! Apa-apaan ini!?" bentaknya panik. Ia masih bisa merasakan tubuhnya. Tubuh pria itu kini berkepala cangkir, lengannya sibuk meraba-raba bagian atas leher.
"Membuatmu seperti kami," ucap Claude jahil. Ia melepaskan kepalanya sendiri dari tubuhnya, lalu terbang ke hadapan Leon bersama dengan Claudia.
Ketiganya menggelinding di lantai seperti kumpulan kelereng, dalam wujud berupa kepala, "Lihat sekarang kita sama."
"Bukan ini maksudku, bodoh," gerutu Leon. Cepat kembalikan aku seperti semula.
"Tidak mau," balas Claude, "Sejak awal kau lengah dalam menghadapi kami berdua. Kesempatan tak akan datang dua kali, jadi kumanfaatkan sekali ini juga." Pria itu terbang kembali untuk menempel di tubuh Dullahan-nya.
"Kau mau membunuhnya sekarang?" ucap Claudia dengan wajah cemberut— tanda tak setuju.
"Tentu saja, ini kesempatan kita. Kapan lagi kita bisa mendapatkan lawan bodoh? Yang bahkan tidak bisa memposisikan diri bahwa dia sedang berada dalam situasi membunuh atau dibunuh," balas Claude panjang. "Yang dia pedulikan hanyalah curhat dan minum teh bersama. Itu yang aku baca dari perjalanannya di Ronde satu dan Dua."
"Tapi bukan begini caranya." Claudia memprotes, "Biarlah kita mulai pertarungan dengan cara yang adil. Setidaknya dia bukan laki-laki pengecut yang asal menyerang tanpa sepengetahuan lawannya."
Claude terdiam, dia tak ingin memulai sesi adu pendapat dengan kekasihnya. Maka yang ia lakukan hanyalah menuruti kemauan cintanya. Mengembalikan kembali kepala ketua KPK itu ke atas tubuhnya.
"Lagi pula sepertinya dia itu orang bodoh, jadi tentu kita bisa mudah membunuhnya," tukas Claudia.
Senyum jengkel sontak terukir di wajah Leon, "Hoo… meremehkanku rupanya."
Leon melawan CC—singkatan dari Claude dan Claudia—berhadapan siap menyerang. CC berjalan mundur untuk mengambil jarak, sementara Leon bersiaga dengan Gunblade di tangan.
Sang ketua KPK menaikkan salah satu alisnya. Mengangkat tangan kanan seperti hendak bertanya, lalu berucap hendak memprotes, "Uh… bisakah kau tidak memanggil mereka dengan sebutan CC? Bikin bingung pembaca."
Oke, bisa diatur.
Sementara Claude berbisik pada kekasihnya menyiapkan rencana untuk melawan LEL—singkatan dari Leonidas Evilian Lionearth.
"Anj**"
…
"Batas waktunya adalah 30 menit," ucap Cladia mengingatkan, "Dan kita sudah menghabiskan 10 menit hanya untuk bercengkrama dengannya."
"Lah, memangnya siapa yang membuat ini menjadi semakin lama? Andai tadi kubunuh dia, tentu kita tak perlu melakukan sparring tambahan," balas Claude.
"Jadi kamu nyalahin aku?" Claudia menyalak.
"Nggak, tapi kamu yang nyalahin aku."
"Kamu nggak adil."
"Kok jadi ngomongin adil nggak adil sih??"
Dua sejoli itu sibuk bertengkar, tanpa mengacuhkan Leon yang jongkok sendirian di pojok ruangan.
Sesuatu bergerak di tembok sekitar, sebuah lubang terbentuk lewat pintu kecil yang terbuka. Dari dalamnya muncul sesuatu melesat tajam hendak menerjang.
Sontak saja Leon melompat salto ke belakang. Dengan keren ia menghindari hujaman benda tajam yang melesat hendak menerkam. Tubuhnya berputar-putar di udara, lalu mendarat pada sebuah tembok dengan wajah terlebih dahulu.
Pertengkaran Claude dan Claudia terhenti saat itu juga. Menyadari akan munculnya berbagai lubang di setiap sisi dari dinding ruangan. Lewat diskusi singkat, mereka pun berganti kepala. Claude bertindak sebagai pengawas, sementara Claudia bersiap dengan kemampuan miliknya. Ia materialisasi serangkaian bangun ruang tak kasat untuk melindungi dirinya.
Salah satu benda tajam melesat hendak menikam, berbentuk bilah pedang tajam berwarna putih mengkilat. Beruntung bangun tak kasat mata Claudia ada di sana, benda itu mengeluarkan bunyi nyaring ketika bertabrakan keras dengan perisai transparan miliknya.
"Claudia awas!" seru Claude memperingatkan.
Leon datang menyerang, berteriak lantang hendak mengayunkan gunblade miliknya. Langkah kakinya tak ia perhatikan, terantuk keras tanpa sengaja menendang senter LED yang menjadi sumber penerangan. Ruangan itu pun gelap seketika. Hanya terdengar suara tubuh bertubrukan, yang berlanjut dengan erangan erotis dari bibir manis Claudia.
"Aaaakh.." gadis itu melenguh. Sadar bahwa sesuatu tengah menekan dadanya.
Leon meyakinkan sensasi lembut di wajahnya. Terbenam dalam gumpalan dua buah tonjolan di dada. Beberapa kali ia menggerakan jarinya di sana, meremas kencang bagian itu untuk memeriksa keasliannya. Tubuhnya menindih Claudia dalam gelap yang pekat.
Tersadar bahwa ia mendarat tepat di atas Claudia. Tak ada yang bisa ia lakukan selain melanjutkan aktifitas bejat menggerayangi sosok yang merupakan musuhnya.
Claude tak bisa melihat apapun selain rintihan semata. Ia menelusuri lantai mencari senter LED yang sebelumnya terjatuh entah di mana. Lalu lewat kegigihan dan kekuatan cinta yang membara, dia berhasil menemukannya. Susah payah ia gerakkan lidahnya, berusaha untuk menekan tombol senter demi mendapat penerangan ruangan.
Senter itu pun menyala, menerangi pemandangan mesum yang tersaji di hadapan matanya.
"HEEEEY!!" bentak Claude keras, meradang karena mendapati gadisnya dijamah pria lain. Dengan segera ia melayang ke jemari Leon yang sedang meremas. Menggigitnya dengan keras berusaha menghentikan perbuatan bejat sang ketua KPK.
Sontak ketua KPK (mesum) itu menjerit kesakitan, berulang kali ia goyang-goyangkan tangannya untuk melepaskan gigitan. Namun kepala Claude menempel begitu erat dengan gigi menancap di jarinya.
Leon berusaha menarik sebisa mungkin, namun daya apung dari Claude juga tak kalah kuat. Berulang kali ia memukul-mukul Claude untuk mengusirnya, senter LED pun tak luput ia hantamkan hingga rusak, membuat suasana kembali menjadi gelap gulita.
Claude tetap bergeming tak mau melepas. Alisnya mengkerut tajam dirundung amarah, ia bersumpah hendak mengigit jari pria brengsek itu sampai putus.
Dalam kepanikan yang ada, kaki Leon mendadak terantuk sesuatu. Bunyi yang tercipta mengkonfirmasi bahwa benda itu adalah sebuah cangkir dengan teh panas di dalamnya. Tanpa pikir panjang pria itu mengambil cangkir lalu menyiram Claude tepat di bagian wajah.
"Gyaaaaaa..!!!!"
Jemarinya akhirnya terlepas. Claude menjerit sambil terbang tak tentu arah, matanya sakit disiram air panas. Ia pun pingsan setelah menubruk tembok dalam gelapnya ruangan.
"Claude? Kau baik-baik saja?" ucap Claudia panik. Suaranya terdengar bergetar, ia mulai ketakutan. Gadis itu melepaskan diri dari tubuhnya, melayang dalam bentuk kepala berusaha mencari keberadaan pujaan hatinya. Tak ada apapun yang bisa ditangkap oleh kedua mata. Pendengaran seolah menjadi indera yang utama.
Leon menatap sumber suara, matanya berubah ekspresi menjadi setengah terkatup. Ia merasa iri pada keduanya, saling mencintai tanpa pudar oleh waktu. Bahkan kematian pun tak sanggup untuk memisahkan keduanya.
Ujung Gunblade ia tempelkan tepat di belakang kepala Claudia. Namun gadis itu seolah tak menghiraukan, ia masih saja memanggil-manggil Claude dengan suara bergetar. Dengki semakin memuncak, ketika menyadari Claudia lebih takut kehilangan Claude dari pada mengkhawatirkan nyawanya.
"Maaf," ucap Leon mengayunkan gunblade di tangan.
"Jangaaaan..!" teriak Claude dalam keputusasaan.
Dalam gerakan yang cepat ia melesat kencang menabrakkan kepalanya ke dahi Leon. Membuat pria itu tersungkur seketika. Darah terlihat mengucur dari kening keduanya.
Claude bangkit dari pingsannya, ia bisa merasakan Claudia yang sedang ada dalam bahaya. Kekuatan cinta seolah mengalahkan segalanya. Ia menggigit lampu portable yang sedari awal menerangi ruangan. Lewat cahaya yang terang bederang, ia bergegas memeriksa kondisi Claudia.
Leon berusaha bangkit, instingnya berteriak akan datangnya marabahaya. Mendapati angin berembus kencang dari belakang tubuhnya, melontarkan tiga buah benda tajam langsung menuju dirinya. Pria itu tak sanggup untuk menghindari semuanya, ia mendapati punggung kiri terluka dengan dua shuriken menancap di sana.
Claude tersadar akan suatu hal, mekanisme pelontar benda tajam itu bukanlah berasal dari daya pegas, melainkan berupa letupan angin mirip dengan meriam udara.
"Claudia sayang, bangkitlah. Aku sudah menemukan cara untuk mengalahkannya."
Di sisi lain, Leon merintih kesakitan. Seraya berusaha mencabut dua logam dari tubuhnya, ia membiarkan lawan bercengkerama menyusun rencana.
Claude melayang di udara mencium bibir manis Claudia. Gadis itu bersiap mengendalikan kekuatan miliknya. Semburan udara terasa di samping kanan dirinya, akan tetapi tak ada apapun yang terlontar dari dalamnya. Gadis itu menciptakan bangun ruang untuk menyumbat aliran udara. Untuk kemudian dilepaskan kapanpun ia inginkan. Yang ia perlukan hanyalah aktivasi dari masing-masing lubang, lalu ditahan untuk digunakan sesuai dengan keperluannya.
Leon tak ingin memberikan musuh waktu untuk mencapai keunggulan. Ia mengambil inisiatif untuk memulai serangan.
Akan tetapi Claude datang menghalanginya, dengan kemampuan miliknya ia memindahkan kedua kaki pria itu hingga tersungkur tak mampu bergerak. Dua lengan—lengkap dengan gunblade tergenggam—tak luput dari dari sasaran. Ia pindahkan ke sudut lain ruangan, meninggalkan Leon terbaring tak berdaya.
25 menit berlalu semenjak mereka tiba di sana. Tingkat intensifitas semburan benda tajam semakin menjadi. Claudia tersenyum penuh kemenangan, seluruh lubang sembur telah jatuh ke dalam kontrol miliknya. Hanya dalam satu perintah, dia bisa menghujam musuhnya tanpa ampun dari segala penjuru.
"Taiiiii.." umpat Leon kesal. Menyadari bahwa ini akan menjadi akhir dari perjalanannya.
Keheningan melanda seketika. Mendadak terbayang wajah istrinya, tersenyum lembut penuh makna. Ingin ia raih sosok itu sekuat tenaga, walau tak ada lengan menempel di samping bahunya.
"Fiiiaaa..!"
Tubuhnya meletup dipenuhi cahaya. Menyinari seisi ruangan membutakan pandangan. Pria itu bangkit dengan badan utuh lengkap dengan gunblade di tangan. Mengukir pertanyaan besar di benak Claude dan Claudia. Leon tak percaya kemampuan Claude termentahkan hanya oleh cahaya. Walau memang begitulah keadaannya.
Kemampuan Claude hanya berguna ketika pria itu ada dalam jarak pandangan. Ketika cahaya meletup, refleks di tubuhnya memaksa kelopak mata untuk menutup. Di saat itulah tubuh Leon kembali menjadi sediakala.
Claudia tak ingin menyiakan kesempatan yang hendak terbuang, dilepaskanlah bangun ruang yang menutupi tiap lubang semburan. Mementahkan berbagai benda tajam berupa pedang, kapak, hingga pisau dapur dalam sekali entakan.
Segalanya terasa semakin melambat, mode overclock di otak Leon aktif dengan sendirinya. Kemampuan berpikir meningkat berkali lipat, seiring dengan dengup jantung yang berdetak hebat. Matanya bergerak cepat, menganalisis lingkungan sekitar. Termasuk kehadiran puluhan benda tajam menyeruak hendak menikam. Datang dari segala penjuru, tak memberikan ruang untuk menghindar.
Leon sadar, ia tak akan bisa selamat dari serangan yang ada.
Dalam gerak yang terkesan lambat, pria itu melempar sebutir kristal merah dari saku bajunya. Memecahnya lewat sapuan pedang, menyerap energinya, lalu dalam ayunan yang sama, sekuat tenaga ia melempar gunblade di tangan pada musuhnya.
Segalanya berlangsung dengan sangat cepat. Claudia tersenyum puas, mendapati Leon bertekuk lutut dengan tubuh berlumur darah. Pria itu terbatuk darah dengan berbagai senjata tajam menembus tubuhnya. Ada tombak, pedang, pisau dapur, shuriken, hingga golok bersarang di sekujur tubuhnya.
"Lihat, kita menang, Claude…"
Tak ada jawaban, gadis itu menoleh ke samping. Hanya untuk mendapati kepala sang kekasih menempel di sana, tertancap di dinding dengan tengkorak hancur ditembus Gunblade.
Tubuh gadis itu lemas seketika. Terjatuh dengan tumit membentur lantai, seraya memandangi cintanya yang sudah tak bernyawa. Pandangan mata kosong berlinang air mata, tangis pun seakan enggan mengikuti.
"Begitulah rasanya.." ucap Leon di kejauhan. Mengesampingkan rasa sakit yang ia derita. Pria itu seolah menikmati ekspresi yang terukir di wajah Claudia. Gadis itu terduduk kaku meratap tanpa suara. Bibirnya bergetar hebat hendak menjerit, namun tertahan oleh sesak di dada.
"Aku… aku…" ucap Claude terisak. Ia tak bisa mengontrol emosi yang berkecamuk menguasai pikiran, "Aku… tak ingin hidup tanpa Claude. Aku tak ingin tinggal di dunia tanpa keberadaan dirinya."
Leon diam menyaksikan. Dalam napasnya yang semakin sempit, ia seolah melihat bayangannya sendiri ketika meratap kepergian Fia.
"Claude, tunggu aku." Gadis itu mengambil sebilah pisau jagal dari saku bajunya. Lalu tanpa ragu menancapkan benda itu dari bawah rahang hingga menembus otaknya.
Leon terbelalak, tak menduga akan keputusan Claudia yang nekat mengakhiri nyawanya sendiri. Betapa dalamnya perasaan mereka, hingga tak sudi untuk terjebak dalam sebuah kehidupan tanpa ada cinta menemani keduanya.
Leon mendengus pelan, ia pun bersiap untuk menerima akhir dari hidupnya.
Akan tetapi, pintu kokoh di sudut ruangan terbuka begitu saja. Mengukir cahaya terang dengan Hyvt berdiri di sana.
"Selamat, Anda menang … Leon."
"Sialan ..." dengus pria itu dengan senyum sinis di wajah.
Daaamn, ada call center bagian neraka yang legendaris itu. operatornya si um noviar itu sih XD
ReplyDeletePaling agak aneh di sini, CC ketuker kayaknya: "Aku… aku…" ucap Claude terisak. Ia tak bisa mengontrol emosi yang berkecamuk menguasai pikiran, "Aku… tak ingin hidup tanpa Claude. Aku tak ingin tinggal di dunia tanpa keberadaan dirinya."
Selebihnya oke, penulisan rapi, singkat tapi ngena. Paparan dari awal sesuai deskripsi setting seolah ini taman ria-nya si Thurqk. Awal ketemu CC & LEL seakan CC yg megang kendali tp akhirnya malah Claude yg jadi korban. Ending Claudia bunuh diri make sense.
8/10
NYAHAHAHAHAHAHA..!!
DeleteEdan, ente masih inget rupanya. Iya, Call Senter bagian neraka itu guyonan rum FF dulu.
XD
Aduh, bener ada typo fatal. Nama CC rada mirip sih jadi ketuker gitu di narasi.
orz
Iya, ini emang taman bermain punya Thurqk.
._.
Makasih buat nilainya bleki :D
Battle Epic
ReplyDeleteEYD Lumayan
Typo Lumayan
Nilai= 7,5
Stella Opinion:
Huh, kau terlalu mesum! kukurangi nilaimu!
Bola kristal berpendar merah
Efek=-0,2
Total Nilai=7,3
battlenya kok berasa kurang greget ya?
ReplyDeleteselain karena typo nama CC ketuker, saya pikir yang lainnya oke-oke saja
7,8/10
Lucu. Perjalanan menjelajahi ruang bawah tanah nerakanya kocak! Mau berantem sempet-sempetnya minum teh dulu, tapi ternyata itu strateginya Claude. Cerdas! Pake adegan mesum juga.
ReplyDeleteTapi makin memasuki pertarungan, narasi dan deskripsinya jadi kurang ngegrip, ane jadi agak lost ngeikutinya, tau-tau Claude nya uda kalah aja.
Penilaiannya menyusul ya gan, setelah ane baca entry CC buat pembanding.
Ane kasih nilai 7, kurang 1 dari entry CC. Di sini keunggulannya di bagian komedi, tapi bagian narasi pertarungannya kurang jelas dibanding CC.
Deletewhut the faaak, bahkan di ronde ini masih ada adegan minum teh... apa ini, jigoku tea time?
ReplyDeletepertarungannya cukup singkat tapi gak kerasa fast-paced, malah rasanya panjang ceritanya pas gitu, dan walaupun di cerita dibuat seolah Leon hampir kalah tapi entah kenapa malah adegan kek gitu kerasa gampang ditebak, yah saya gak protes sih...
sepertinya senjata andalan Leon itu bukan gunblade tapi teh panas ya, nilai 7/10
Po:
ReplyDeleteAdegan komedinya kyknya lebih mulus dr yg ronde2 awal. Fourth wall breakingnya juga. Meski kadang ada perubahan suasana yg kesannya masih belum sinkron dari serius ke komedi atau sebaliknya. Utk karakter Cc ditampilkan dgn cukup asik dari dialog2nya, tapi kalo Leon belum kegali krn menekankan komedinya.
Battlenya, sbnrnya cukup masuk akal, paling CC gak setaktis yg kukira. Dan bagian tempur sama cara menangnya Leon agak biasa.
Secara teknis tulisannya jelas udah enak dibaca, deskripsi dan narasi bagus.
Nilai dariku 7
Olala, Leon, Leon... Memang dirimu ga bisa lepas dari banyolan dan lawak, ya.. Dan gara" komentar Alma saha jadi kepikiran, Leon bawa" tea set dari mana sih?
ReplyDeleteTerlepas dari unsur komediknya (yang selalu bersifat hit or miss), saya tadinya ngeharepin karena udah 1v1, penulis bisa punya ruang buat sedikit nge-eksplorasi karakter Leon. Cerita latarbelakang dia lumayan besar padahal, apalagi kematiannya juga cukup epik.
Tapi sayang ternyata poin itu ga muncul. Saya munkin kurang inget, tapi saga ga ngerasa dari dua ronde sebelumnya pun Leon sempet -paling ngga secara mendalam- mikirin soal Nely dan Fia, atau tentang kehidupan kedua. Walau mungkin fokus penulis bukan ke sana ya
Dari battlenya sendiri, ga banyak yang bisa dikomentarin. Akhirannya sebenernya sedikit ooc (kalo salah satu dari mereka mati, harusnya dua"nya mati karena mereka cuma punya satu nyawa dibagi berdua). Terus adegan grepe" itu berasa nanggung amat karena kayak sekedar lewat #plak
Ga ngasih nilai karena lawan di pertandingan ini ya
Postmortem Tea Time... love that~
ReplyDeleteAbout the fall into ecchi scene, rada maksa, didn't like it. Battlenya bagus though, terutama desperate moment dengan kristal itu.
Score 7
Selalu menikmati Teh walau di alam akhirat. love that attitude.
ReplyDeleteKomedi breaking 4th wallnya jadi lebih halus :)) dan ini poin plus tersendiri
Battlenya... gw tetep kaget gara2 adegan mesum tetep exist. dan sialnya, pas lagi digrepe, kenapa Claudia ga berontak? apa emang pijatan tangan LEL itu begitu menggelora bin berbahaya?
ending desponya Claudia agak... wew "is that it?" tapi kinda make sense juga kalo mereka berdua adalah contoh dari ultimate pairing di 4L. ga kebayang juga sih kalo Claude tanpa Claudia dan sebaliknya.
anyway, nilai gw 8 untuk yang satu ini.
sebenarnya maw 8.2 karena ngalirnya enak. tapi endingnya agak ruin dikit ^^;
gomen ne >.<
"Dasar Ichi-San Mesummmm..." Aku teriak keras di depan wajah author Leon yang sedang tidur pulas di atas sofa ruang rekreasi BOR itu.
ReplyDelete"Eeeehhhh... eeeehhh eeeeeee ada Gempaaa!!" Teriaknya sambil segera bangkit dari tidurnya.
"Bukaaaann Gempaaa kak Ichiii.. Umi mau protes!!"
"Ah.. Umi rupanya.. ada apa ? gangguin orang tidur aja ah.."
"Dasar Mesum. Apa-apaan itu Leon pake acara remas-remas segala hah? Kakak itu tahu enggak sih, Yang baca bisa bocah loohh.."
"Ah Umi saya kan emang mesum."
"Ta-tapi..."
"Udah.. daripada itu, mending Umi kasih tahu aja nilai buat leon berapa?"
"Hiks.. kakak membuat Imej Leon jelek laagi hiks..
"
alur(max 2.0): 1.5 Umi suka plotnya walau kerasa kayah cerita yang kurang dramatis. Kan seru tuh kalo ada cerita lebih tentang Fia
gaya bahasa(max 2.0): 2.0 nah diabanding R1, dan R2 disini gaya bahasa humornya lebih halus dan dapet, jadi Umi ga protes
konsistensi cerita (max 1.0): 1.0 rasa-rasanya ceritanya dari awal konsisten sih
bagian favorit ( max 1.0) : 0.5 Umi suka waktu Claude marah, tapi Umi ga suka ada NTR di situ -_-
karakterisasi(max 2.0): 1.5 karena Umi suka banget Leonnya yang cemburuan XD berasa dia ngenes banget idupnya XD
kecepatan submit (max 2.0) : 2.0 (submit minggu pertama)
total : 8.5
"
"Nah.. gitu dong.. Ntar gue suguhin yang lebih mesum lagi dehhh.." Ucapnya sambil lari ngibrit ke kamar mandi entah mau ngapain.
"Dasar Kak Ichi mesum!!!!"
Ada apa Umiii?
Delete:D
oh protes soal adegan mesum yg bikin imej Leon tambah ancur ya?
Kan udah dibilang, sejak awal Leon itu selfinsert dari ane sendiri~.. jadi kalo liat dia mesum, ya emang begitulah mesum ane di dunia nyata apa adanya~..
**siul-siul gaje**
Fia udah tamat di BoR 3, jadi kayaknya gak bakalan garap dia lagi kecuali diminta. :p
Lagian ane udah mulai berusaha buat nggak bikin cerita tentang dia lagi Umii... :(
and... makasih buat nilainya :D
Entri keempat :3
ReplyDeleteSatu kesan pertama yg saya dapatkan: mesum!
Saya ga terlalu suka cerita mesum, tapi itu ga bakal jadi alasan saya buat bikin nilai kakak jadi jelek :p
Langsung aja ya…
Saya suka narasi, alur, dan pemilihan diksinya. Saya suka banget. Humornya bagus, walaupun ada yg garing di beberapa tempat. Tapi, masalahnya adalah soal ruangannya. Mereka menghabiskan waktu 10 menit di ruangan torture tanpa adanya tanda2 “penyiksaan” di ruangan itu sama sekali? Well, saya nggak mau komentar soal ini :3
Lalu, soal CC. di cerita ini dibilang “Istri”, padahal setahu saya mereka kekasih. Kak sam udah bilang di beberapa tempat sebelumnya soal kesalahan para author yg baca charsheet CC, jadi saya juga nggak mau komentar soal ini :3
Khusus endingnya, bener2 memorable, walaupun battlenya terkesan random (menurut saya). Itu jadi poin plus, mengingat ga banyak cerita2 BOR yg bisa saya ingat bagian akhirnya, hehehe…
Untuk nilai, saya ngasih: 7.5
Semangat kak :3