[Round 3-K7] Luna Aracellia vs Emils
"According to the Half-Moon, Despair Will Come in 1800 Seconds"
Written by Karina Lazuardi
---
"According to the Half-Moon, Despair Will Come in 1800 Seconds"
Written by Karina Lazuardi
---
According to the Half-Moon, Despair Will Come in 1800 seconds: Beginning
A Half Untold Story, Part 1
Seorang pria, dengan kacamata retak dan wajah yang kusut, duduk di pojok ruangan gelap. Sebuah laptop berada di depannya.
Ruangan itu sendiri sejatinya sangat luas. Lebih luas dari tempat tidur kebanyakan orang, atau ruang tamu yang biasa ditemukan di setiap rumah. Tak banyak barang-barang yang ada di sana, selain meja kerja dan kursi yang ditaruh sembarangan. Kertas-kertas dan berbagai buku dengan bahasa yang sulit dipahami berserakan di atas lantai.
Juga dengan sebuah layar proyektor yang terpampang besar di dinding.
Akan tetapi, pria itu lebih senang duduk di pojok sambil menggertakkan giginya. Keringat dingin membasahi keningnya setiap kali tombol "Enter" yang ada di papan keyboard ditekan. Lalu, setiap beberapa menit, ia mengelap wajahnya dengan sehelai tisu yang ada di sampingnya. Demikian terus, berulang-ulang, hingga akhirnya ia lelah sendiri.
Malam itu, Nolan Collard Fambrough sedang menulis sesuatu. Atau melakukan sesuatu. Tak ada yang tahu.
Satu hal yang pasti, ia harus selesai.
Segala yang ia kerjakan harus sudah selesai sebelum derap langkah orang ramai terdengar dari ruangan itu. Saat ketika makhluk yang mengaku sebagai Tuhan datang, menyeretnya keluar ruangan. Tanpa ragu.
Ia sadar. Menghilang beberapa lama dari sisinya akan membuatnya berada dalam situasi yang sulit. Akan tetapi, ia harus menyelesaikannya. Masterpiece yang akan membuat rencananya berjalan sempurna. Untuk itu, semua harus selesai. Jika tak selesai, tak ada pilihan lain baginya selain kesengsaraan.
Beberapa saat kemudian, terdengar derap langkah. Semakin lama, suara itu terdengar semakin keras. Nolan baru saja menekan tombol "Enter" terakhirnya ketika derap langkah itu berhenti.
Suara ketukan terdengar dari pintu yang dikunci Nolan dari dalam.
"Buka pintunya!"
Nolan menutup laptopnya. Lalu, dengan bergegas, ia memungut sebuah lembaran kertas yang dilipat sembarangan dan memasukkannya ke kantung sakunya. Sebuah tombol merah yang ada di belakangnya ia tekan. Seketika, lampu kembali menyala, juga dengan proyektor raksasa yang terpampang raksasa di dinding. Nolan segera beranjak bangkit dan merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja.
Pintu terbuka paksa. Sesosok makhluk berwarna merah masuk. Sepintas, waut wajahnnya mirip dengan para malaikat yang biasa ia temui saat menjamu seorang anak berambut putih, tetapi dengan aura misterius yang lebih mencekam.
Nolan sudah tahu, segalanya akan dimulai. Saat ini.
Torture Part, Scene 1
Untuk ukuran sebuah koridor, tempat ini terlalu panjang.
Atau sebaliknya. Luna telah beberapa kali bertanya kepada Hyvt, malaikat ciptaan Thurqk yang ada di sampingnya, perihal waktu yang telah berjalan dan kapan mereka akan sampai. Sayangnya, yang bertanya jauh lebih tahu dibanding yang bertanya—mereka telah berjalan lebih kurang 27 menit—dan tak ada tanda-tanda bahwa koridor ini akan segera berakhir.
Toh Luna juga tak peduli. Baginya, berada dalam perjalanan panjang bisa membuatnya sedikit rileks. Ia bisa memikirkan strategi terbaik jika ia harus berada dalam ruangan yang memaksanya bertarung dalam jarak dekat. Atau jarak terbaik yang bisa ia ambil untuk menembakkan peluru dari atas gedung dalam celah sempit. Atau, jika kondisi memungkinkan, ia bisa memikirkan cara agar lawan dapat terkena jebakan yang dipasang dalam sebuah gedung secara simultan.
Chain reaction. Sudah berapa lama ia tidak mendengar istilah ini.
Namun, lama kelamaan, koridor ini sedikit banyak juga membuatnya merinding. Tak ada sumber penerangan lain, selain nyala redup api-api yang seolah ditaruh tanpa niat dalam sebuah suluh. Berjajar rapi tiap sepuluh meter. Dan dari pemandangan remang itu, Luna dapat melihat lumut dan tetesan air yang sesekali jatuh dari langit-langitnya.
Dan sudah jelas, ini bukan koridor biasa. Mungkin lebih tepatnya, ini adalah gua yang akan membawa mereka ke bagian terdalam dunia ini. Mungkin, karena Hyvt sendiri juga tak tahu tempat apa ini sebenarnya.
Karena itu, setiap kali mereka melangkahkan kaki dan semakin jauh dari sumber cahaya, hati mereka diliputi keresahan. Entah kegelapan apa lagi yang akan menanti mereka di ujung koridor ini.
Dan untungnya, keresahan itu tidak berlangsung lama. Empat menit setelah Luna menanyakan hal yang sama di menit ke-29, mereka melihat cahaya dari ujung koridor. Dan benar saja, saat mereka sampai di sana, mereka juga tercengang akibat disambut oleh hal lain yang jauh lebih mencengangkan.
Ruangan yang lebih besar. Seperti lapangan, atau juga arena. Dikelilingi dinding bebatuan yang memberikan kesan kuno, tetapi jauh dari kata lapuk dan goyah. Di dinding itu pula, terdapat ratusan pintu berukuran besar yang memiliki papan nama di atasnya. Setiap papan nama itu bertuliskan huruf "K" dan diikuti oleh nomor-nomor yang tidak dapat dimengerti oleh Luna.
Hyvt tadi bergegas meninggalkannya dan mulai mendekati pintu tersebut. Beberapa saat kemudian, Hyvt tersebut mendatangi Luna dan menarik tangannya dengan kasar.
"Hei, apa-apan kau?"
"Kita sudah tidak punya banyak waktu. Ini semua gara-gara kau terlambat bangun. Memang apa yang kau lakukan semalam?"
"Tidak ada yang spesial," jawab Luna ketus. Tentu saja, tak ada anak perempuan manapun yang senang diseret paksa oleh orang yang bahkan tak dikenalnya sama sekali. Apalagi jika harus menceritakan sebuah mimpi aneh yang tidak ia mengerti sama sekali.
"Kita sudah sampai."
Mereka berhenti di depan sebuah pintu raksasa. Di atasnya, tertulis jelas dengan tulisan yang sudah buram. K-07.
"Ini ruangan Khramanaka. Anggap saja ini sebagai tempat bermain bagimu," kata Hyvt.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan di sini?"
"Seperti biasa. Menghibur Dewa Thurqk."
"Menghibur ya…." Jawab Luna sinis. Seingatnya, terakhir kali ia membuat Thurqk tertawa, adalah ketika ia terjatuh dari lantai 24 dan menghancurkan seisi pulau dengan mengkhianati orang yang telah banyak membantunya. Semua itu diikuti oleh matinya peserta lain, dan ada kalanya juga dirinya sendiri yang hampir mati. Dan sekarang, apa? Menghancurkan seluruh ruangan tanpa menyisakan sedikitpun bagian dari musuhnya?
"Dasar. Menyebalkan saja." Kata-kata sinis itu yang terlontar dari pikirannya.
"Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan," kata Hyvt. "Kita sudah kehilangan waktu. Kau boleh mempersiapkan perlengkapanmu di sini. karena, ketika pintu ini ditutup, waktu pertarungan akan segera dihitung mundur."
Luna yang baru saja akan mengambil sekotak peluru dari saku jaketnya kini terdiam sejenak.
"Hitungan mundur… Apakah ruangan ini punya kondisi atau persyaratan khusus?"
Kali ini, gantian Hyvt yang terdiam. Ia tahu, anak yang ia hadapi bukan orang sembarangan. Bagaimanapun juga, anak ini berhasil menghancurkan seisi pulau tanpa perlu banyak bertarung seperti orang lain. Andai Hyvt bisa menunjukkan bagian paling aneh dari seluruh tubuhnya, tentu saja bagian itu adalah otaknya, selain warna matanya.
"Lihat saja nanti. Kalu pasti akan tahu sendiri."
"Selama ini, Thurqk selalu mengatakan tentang batas waktu. Bukan hitungan mundur. Secara bahasa memang sama, kecuali jika kau turut menyertakan aspek psikologis di dalamnya."
Hyvt masih terdiam. Luna memperbaiki posisi senapan yang ada di punggungnya agar mudah dijangkau saat pertarungan berlangsung.
"Ah, lupakan saja. Ngomong-ngomong, berapa lama hitungan mundur itu berlangsung?"
"Tiga puluh menit. Tak lebih dan tak kurang."
"Ho… tiga puluh menit ya…" jawab Luna sinis sambil mengambil sepasang pistol magnum dan menaruhnya di pinggang. "Jika aku gagal, maka aku akan mati, bukan?"
Hyvt itu tersenyum. Mungkin saja, anak itu akan menghancurkan Nanthara Vadhi hingga berkeping-keping nantinya.
"Benar. Mungkin lebih tepatnya—jika aku boleh koreksi—kalian semua. Akan tetapi, tidak akan menarik jika aku bocorkan tantangannya kepada kalian. Apakah kau sudah selesai dengan perlengkapanmu? Kita akan segera masuk."
"Baiklah…" kata Luna dengan malas.
Dan saat itulah, garis takdir sedang disuratkan. Dan Luna tak akan pernah tahu soal itu.
Dream Part, Scene 1
"Luna…"
Rambut perak itu melambai-lambai ditiup angin yang berhembus dari jendela. Siluet matahari sore berkilau keemasan, menembus tirai jendela yang ditutup sembarangan. Luna, gadis yang dipanggil oleh suara lembut itu, mencoba terus bermimpi dalam tidur nyenyaknya.
Namun, suara itu terus memanggil Luna dengan lembut.
"Luna…"
Anak itu terbangun. Rambut peraknya kini berhenti ditiup angin.
"Ah, akhirnya bangun juga. Sudah dari tadi aku mencoba membangunkanmu," kata seorang anak sambil tersenyum.
Detak jarum jam berbunyi pelan, menemani kesunyian di ruangan itu. Bangku-bangku disusun rapi. Papan tulis yang ada di hadapannya masih belum dibersihkan, penuh dengan rumus-rumus fisika yang belum ada sebelum ia tidur. Dari jendela, Luna dapat melihat beberapa orang berlari di tengah lapangan sambil menggiring sebuah bola.
Pemandangan sebuah kelas yang biasa ditemukan di sore hari. Entah sudah berapa lama Luna tertidur sejak kelas terakhir selesai.
Seketika, tak terdengar lagi desir angin. Detak jam yang ada di ruangan itu tak terdengar lagi. Anak itu berjalan di hadapannya, mengucapkan sesuatu yang tak dimengerti oleh Luna.
"Apa kabar, Luna?" anak itu menyapa Luna sambil tersenyum.
"Siapa kamu?"
"Hahaha… mungkin kamu tak akan mengingatku lagi. Ya, begitulah. Aku di sini, sama sepertimu. Dan kita sama-sama sudah mati."
Anak itu membuka sedikit jaket seragamnya sehingga Luna dapat melihat lebih jelas. Sebuah noda berwarna merah jelas mencolok pada seragam berwarna putih itu.
Sebuah bekas tembakan. Tepat di dada kirinya.
Anak itu tersenyum kepadanya. Luna, yang sejak tadi berada dalam keabsurdan yang tak terkira, masih tidak dapat mencerna hal-hal yang disuguhkan di depannya.
"Siapa kau?" tanya Luna dengan nada yang lebih serius.
Kali ini, dentang lonceng berbunyi sebanyak enam kali. Sinar matahari perlahan meredup. Tak ada orang-orang yang berlari-lari di lapangan atau sekadar bersenda gurau di halaman sekolah.
Saat Luna kembali melihat ke halaman, langit telah berubah menjadi gelap. Bintang-bintang mulai muncul di angkasa, juga dengan bulan-separuh yang menerangi langit.
"Kamu tidak mengenalku, Luna?" jawab anak itu.
"Kau…"
"Hmm.. kamu masih tidak bisa mengingat siapa diriku? Tidak masalah. Toh kamu juga mengenal seseorang dengan sekilas lalu, mengingatnya sebentar dan melupakannya tak lama kemudian."
Luna menutup kedua matanya dengan tangannya, berpikir. Sepanjang hidupnya, ia memang mengenal banyak orang, tetapi….
"Ah, tidak apa-apa. Orang-orang juga tidak mengenalku dengan baik. Akan tetapi, Luna…"
Anak itu berhenti. Lalu, ia memandang Luna dengan tatapan kosong.
"Terima kasih, karena—"
Seketika, dunia berubah menjadi gelap.
Torture Part, Scene 2
Tak ada seorang pun yang bisa melangkahi takdirnya sendiri.
Walaupun dia punya kuasa atas sang waktu. Dan kenyataannya, anak yang telah menghancurkan Pulau Ryax sekalipun juga tak pernah menyangka, salah satu lawan yang pernah dihadapinya di sana kini berdiri di hadapannya. Menantangnya dengan segala yang ia miliki saat ini.
Ya. Tubuh berwarna biru yang melambangkan keberanian. Senjata yang dapat diubah dan dimanipulasi hanya dengan kekuatan pikiran saja. Bahkan, kita belum membicarakan soal teknik pembekuan yang nanti akan sangat merepotkan sang lawan.
Benar. Jika kau ingin bertemu dengannya, maka sambutlah dia. Emils. Sang pahlawan berpedang yang akan membawa perubahan bagi kawan-kawannya yang ditindas akibat sikap manusia yang sewenang-wenang.
Andai saja ia diberkahi oleh tubuh yang lebih baik lagi. Karena…
"Mengapa aku harus melawan slime ini lagi?" protes Luna kepada Hyvt.
Slime.
"Aku tak tahu. Yang jelas, Thurqk memintaku untuk mengantarkanmu ke sini. Ini ruangan K-07 bukan? Kalau benar, maka silahkan bertarung. Aku hanya mengantarkanmu saja. Jika peserta komplain soal isi, itu tidak termasuk dalam tanggung jawab kami."
"Kalau begitu, cepat keluar," jawab Luna sambil mengambil senapan sniper di belakang tubuhnya dan memasukkan sebutir peluru dengan cepat. "Dia hanya seekor slime, tak butuh waktu banyak untuk dihabisi. Aku pikir kami harus melawan semacam mid-boss atau apapun namanya kali ini."
Hanya seekor slime.
"Dan kau tahu Hyvt? Aku pernah bermain game MMORPG bernama Pak Katrok. Sat aku masih level 1, seekor slime bernama Piring mendatangiku dan mencoba menyerangku. Kau tahu berapa damage yang diberikan kepada karakterku? Lima! Dari 746 HP, 24 DEF. Itu bahkan belum dihitung dengan 17 kali dodge beruntun! Dan kau tahu berapa kali aku harus menghajarnya agar dia berhenti memukulku? Cukup dua kali. Pakai tangan kosong…" ujar Luna dengan bangga.
Emils hanya terdiam memandang Luna.
"Dan sekarang, Thurqk menantangku untuk saling bunuh dengan slime ini? Hahaha…" kata Luna sambil memegang perutnya. Ia tak lagi bisa menahan tawanya. Kali ini, ia terduduk di lantai dan tertawa berguling-guling."
"Apapun yang terjadi, dia tetaplah seekor slime. Tak akan pernah melawan kami, para manusia. hahaha…"
Tetap seekor slime.
"Kalau begitu, baiklah. Aku akan segera menutup pintu. Hitungan mundur akan segera dimulai."
Hyvt berjalan menjauhi Luna dan segera meninggalkan ruangan itu. Terdengar suara pintu dibanting.
"Baik, dan sekarang, slime…"
Luna mengangkat senapan sniper-nya dan mulai membidik kepala—bagian atas dari tubuh Emils.
"Mati kau!"
Luna menarik pelatuk senapannya dan membuat sebuah proyektil terlontar dari ujung senapan itu. Namun, sebelum Luna sempat menyadarinya, peluru itu terpelanting ke arah lain, menghantam dinding di bagian kanan tempat Luna berdiri.
Dan kini, tepat di lintasan peluru tersebut, sebuah mesin berdiri di tengah ruangan. Jika melihat ruangan yang berbentuk bulat berukuran 10 meter, mesin itu kira-kira berukuran setengahnya. Yang lebih menarik, mesin itu dilengkapi oleh empat baling-baling di setiap sisinya yang terbuat dari baja tajam mengkilat.
Tak ada hal lain yang muncul ketika mesin itu datang tiba-tiba, selain getaran yang memekakkan telinga.
Bukan masalah serius, karena ia hanya menghadapi seekor slime kali ini.
"Hanya seekor slime?"
Luna terkejut.
"Hanya seekor slime? Kalau begitu, wajar saja jika kami dapat menghancurkan separuh kota yang diisi para manusia?"
Luna terdiam mendengar bualan tersebut. Seperti halnya orang-orang lain pada umumnya, tak mungkin ada monster yang mampu menghancurkan separuh kota. Dalam game yang ia mainkan, memang ada event yang memungkinkan monster menginvasi tanah manusia dan menghancurkan seisinya.
Akan tetapi, bukan oleh slime.
"Sebenarnya aku ingin melawanmu, tetapi aku terlalu malas," kata Emils sambil membalikkan badannya. Tampak ia lebih memilih berjalan ke dinding dan merapat sedekat mungkin ke sana.
"Apa maksudmu? Hadapi aku dengan—"
"Dengan apa? Kau bahkan memilih kabur dariku ketika berada di Pulau Ryax. Aku hanya bercerita soal perjuangan dan kau malah lari entah kemana. Justru aku yang harus berhadapan dengan sang master harem. Tak mengapa, karena ia bertarung dengan gagah berani, tidak pengecut sepertimu."
"Ha? Apa kau lebih memilih mati dalam kebanggaan saat bertarung walaupun harus mengorbankan mimpi-mimpinya? Aneh sekali."
"Awalnya, itu yang kupikirkan. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. melawan menusia memang selalu memberikan kepuasan tersendiri, apalagi jika darah tertumpah dan membasahi senjataku. Sayangnya, bertemu denganmu saja sudah membuatku kehilangan semangat bertarung."
"Apa kau meremehkanku, slime?" teriak Luna kesal.
"Tidak. Tadi kau berkata dengan bangga tentang slime yang tidak akan pernah mengalahkan manusia, bukan?"
"Benar."
"Sungguh menyedihkan. Karena kau sendiri tidak pernah termasuk dalam golongannya."
Seolah merasakan hal yang aneh dalam perkataan Emils, Luna terdiam.
"A… apa maksudmu?"
Dari sudut matanya, Emils memandang Luna dengan tajam. Sadar dengan perkataannya, ia pun memejamkan matanya.
"Ah, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, dibandingkan berbicara tentang revolusi atau apapun tentangnya…" kata Emils sambil berguling ke depan, menghindari mesin penggiling yang mulai bergerak ke arahnya. Luna pun juga mulai siaga, karena hitungan mundur sudah dimulai sejak tadi.
Tak ada seorang pun yang ingin mati sia-sia di tempat ini.
Seketika, Emils telah berada di depannya. Luna sempat memandang sebuah pedang muncul dari bagian tubuhnya yang masih berbentuk bola padat berwarna biru.
"Bagaimana jika kita berbicara soal hidup dan mati saja?"
Luna berusaha menghindar, tetapi tidak sepenuhnya berhasil. Pedang itu menyayat bagian atas tangan kirinya. Warna merah mulai menghiasi bagian lengan seifuku itu.
"Hmph… cukup lumayan untuk slime sepertimu," ujar Luna yang berusaha memegang tangan kirinya. Senapan sniper-nya ia biarkan berada di lantai, bersama darah yang terus menetes di sampingnya.
Emils kini berada di depannya. Luna mengambil senapan tersebut, tetapi segera melompat ke belakang.
Slime itu terperangah, tetapi ia segera memahaminya. Mesin penggiling itu kini tepat berada di belakangnya, meninggalkan kepulan debu di sekitar putarannya. Emils segera berusaha menghindar, tetapi salah satu baling-baling itu menghantam Emils dengan kuat.
Bagian tubuhnya terlepas dan terlempar ke sisi lain ruangan. Dengan susah payah, Emils mengejar bagian tubuh itu sambil menghindari mesin yang tiba-tiba berbelok lagi ke arahnya.
"Apa-apaan dengan mesin ini?" teriaknya.
Luna kini sudah berada di tepi dinding, tak jauh dari posisi mesin penggiling. Setelah beberapa saat, dia tersenyum.
"Jadi, ini maksudmu soal hitungan mundur, Thurqk?"
Ia paham. Mesin penggiling itu akan berputar semakin cepat seiring waktu. Andai waktu 30 menit itu bisa dijadikan patokan, maka tak ada dari mereka yang bisa selamat dari putaran mesin itu. Dengan kata lain, mereka tak akan bisa menghindar dari mesin itu, secepat dan segesit apapun mereka mencobanya.
"Dengan begitu, cukup aman jika mesin itu akan berputar dengan kecepatan 10 m/s nantinya, bukan?" ujar Luna sambil tersenyum pahit. Ia merobek bagian lengan kiri seifuku-nya dan melingkarkan ke bekas sayatan pedang itu.
10 meter perdetik. Sama artinya dengan jarak terjauh antar dinding ruangan ini.
Sebenarnya, bukan itu yang membuat Luna tersenyum pahit. Andai saja mesin itu hanya berputar di tempatnya, benda itu tidak akan pernah bisa melukai mereka. Juga apabila mesin tersebut juga memiliki lintasan yang pasti. Cukup hafalkan pola dan pilih bagian ruangan yang tidak dilintasi.
Dan Luna telah menemukan pola tersebut. Angka 8 yang mengitari gedung. Masalahnya, lintasan tersebut selalu berubah seiring berjalannya waktu.
Karena itu, tak ada ruang yang benar-benar bisa digunakan untuk beristirahat. Dimanapun mereka berada, cepat atau lambat, mesin itu akan datang dan mencoba membunuh mereka. Sialnya lagi, mesin itu juga akan berputar semakin kencang.
Semakin lelah mereka menghindar, semakin cepat mesin itu berputar. Dan jauh lebih besar peluang mereka berdua untuk mati.
"Huhuhu… hahaha…. Kau benar-benar tak bisa melewatkan hiburan yang menarik dari kami, Thurqk?" kata Luna sambil tertawa sinis.
"Baik, jika itu maumu, Thurqk," ujar Luna yang kini telah memegang sepasang pistol magnum di tangannya. Ia melompat ke depan, menghindari mesin penggiling yang mencoba mendekatinya, dan membidik Emils yang baru saja meraih potongan terakhir dari tubuhnya.
Luna menarik pelatuk pistolnya.
Diam. Tak terjadi apa-apa.
Emils kini gantian tersenyum. Ia menerjang Luna dan mengayunkan pedangnya tanpa ragu.
Dream Part, Scene 2
"Luna…"
Rambut perak itu melambai-lambai ditiup angin yang berhembus dari jendela. Siluet matahari sore berkilau keemasan, menembus tirai jendela yang ditutup sembarangan. Luna, gadis yang dipanggil oleh suara lembut itu, mencoba membuka matanya.
Anak itu terbangun. Rambut peraknya kini berhenti ditiup angin.
"Ah, akhirnya bangun juga. Sudah dari tadi aku mencoba membangunkanmu," kata seorang anak sambil tersenyum.
Detak jarum jam berbunyi pelan, menemani kesunyian di ruangan itu. Bangku-bangku disusun rapi. Papan tulis yang ada di hadapannya masih belum dibersihkan, penuh dengan rumus-rumus fisika yang belum ada sebelum ia tidur. Dari jendela, Luna dapat melihat beberapa orang berlari di tengah lapangan sambil menggiring sebuah bola.
Dan kali ini, ia tersentak. Ia melompat dari kursi itu dan mengambil pistol yang selalu diselipkan dengan rahasia di pinggangnya.
"Siapa kamu?"
"Hahaha… Aku ingat ketika kamu dulu bertanya dengan reaksi yang sama. Ya, mungkin saja kamu memang tak akan mengingatku lagi. Atau begitulah. Aku di sini, sama sepertimu. Dan kita sama-sama sudah mati, pembunuh."
Anak itu membuka sedikit jaket seragamnya sehingga Luna dapat melihat lebih jelas. Sebuah noda berwarna merah jelas mencolok pada seragam berwarna putih itu.
Luna pernah melihat warna itu sebelumnya. Sebuah bekas tembakan. Tepat di dada kirinya.
Anak itu tersenyum kepadanya. Luna, yang sejak tadi berada dalam keabsurdan yang tak terkira, masih tidak dapat mencerna hal-hal yang disuguhkan di depannya.
"Siapa sebenarnya kau?" tanya Luna dengan nada yang lebih serius.
Kali ini, dentang lonceng berbunyi sebanyak enam kali. Jarum jam itu berputar cepat. Sinar matahari perlahan meredup. Tak ada orang-orang yang berlari-lari di lapangan atau sekadar bersenda gurau di halaman sekolah.
Saat Luna kembali melihat ke halaman, langit telah berubah kembali menjadi gelap. Bintang-bintang mulai muncul di angkasa, juga dengan bulan-separuh yang menerangi langit.
Kini, jarum jam itu telah berputar lagi seperti biasa.
"Huh, kamu menang, Luna. Baiklah, jika kamu memaksa. Akan tetapi, apakah kamu yakin tidak bisa menebak siapa diriku?"
Tentu saja, Luna tak tahu.
"Ping pong… waktu habis. Baik, karena kita tidak akan sampai pada topik pembicaraan, maka aku akan memberimu kesempatan untuk mengingatku. Seumur hidup. Bagaimana, menarik bukan? Hahaha…"
Andai kata seluruh hal-hal yang absurd disatukan, percayalah. Tak akan ada hal yang mampu menyamai keabsurdan tempat ini. Lihatlah, seseorang yang tertembak di dadanya dan dengan riangnya menyambut Luna dari lelap tidurnya. Atau soal repetisi kejadian yang dialaminya saat ini. Dan juga, jangan lupakan soal waktu—ya, jam dinding itu seolah menjadi metronom di tempat ini.
Bukan waktu yang menggerakkan jam itu. Jam itulah yang menggerakkan waktu di tempat ini.
"Hei, Luna. Apa yang kamu pikirkan soal kematian?"
Pertanyaan pertama akhirnya keluar dari mulut anak itu. Luna, yang sejak tadi berhadapan dengan satu entitas yang tak rasional, akhirnya bisa mendapatkan hal yang lugas kali ini.
"Tidak ada, selain nyawa yang hilang dan tercabut dari makhluk yang sudah pernah hidup sebelumnya."
"Ho… dan apa yang kamu pikirkan soal mencabut kematian?"
Luna terdiam sejenak.
"Aku tak memikirkan hal tersebut."
"Benarkah? Walaupun kamu menembakkan peluru-peluru itu pada orang-orang yang kamu temui di malam hari?"
"Mereka pantas mati. Kriminal. Penjahat. Mucikari. Aku tak pernah memikirkan hal lain, selain membunuh mereka. Berikan padaku seribu daftar kejahatan lain, dan akan kuhabisi mereka satu-satu."
"Dan kamu mengakui dirimu sebagai seorang pembunuh? Menyedihkan sekali…" kata anak itu sambil berputar di ruangan itu. Rambut putihnya melambai-lambai karena gerakannya.
"Aku bukan seorang pembunuh."
"Ya, kamu memang bukan pembunuh. Kamu hanya menghilangkan nyawa seseorang yang berusaha merebut kembali segala yang hilang darinya."
"Terserah kau mau memandangku seperti apa. Aku tak peduli apapun yang kau katakan," ujar Luna pelan.
"Oh, benarkah? Termasuk mengenai keluargamu? Aku mungkin bisa maklum kalau pria yang kamu sebut "ayah tiri" itu bukan keluarga, tetapi dengan ibu yang melahirkanmu? Ayah kandung yang membesarkanmu? Juga dengan adik-adik yang punya warna mata yang sama denganmu?"
Kali ini, giliran Luna yang terperangah.
"Apa maksudmu? Aku tak pernah ingat siapa orang tuaku sebenarnya. Ya, mereka pasti sudah meninggal sejak aku masih kecil. Jika tidak, aku tidak akan masuk panti asuhan dan diasuh oleh pria bajingan itu. Namun, mengapa kau bisa tahu keluargaku?"
"Tentu saja aku tahu, Luna. Karena kita adalah sama…"
Luna menatap gadis itu. Sejujurnya, jika ia boleh berkata, gadis itu lebih mirip kembaran dirinya dibanding orang lain. Atau keluarganya yang telah lama hilang, andai yang dikatakan gadis itu benar. Ia memakai seragam yang sama dengannya, rambut putih yang sama dengannya—sebenarnya lebih pendek, mungkin setinggi dada. Satu-satunya hal paling mencolok yang membedakan Luna dengan gadis itu adalah warna matanya.
Merah dan ungu. Jika dipikir-pikir lagi, tak banyak orang yang dilahirkan dengan mata berwarna merah maupun ungu.
"Apakah kamu penasaran dengan warna matamu?"
"Tidak kali ini," jawab Luna sambil merapikan rambutnya. "Apa yang kau harapkan dari pertanyaan tadi?"
"Ah, aku sampai lupa," balas anak itu sambil tersenyum. "Aku masih ingin membuktikan, apakah kamu benar-benar telah melupakan sisi lainmu."
"Apa maksudmu?"
"Melupakan sisi lain adalah melupakan sisi lain. Menghapus fragmen memori yang tersimpan dalam ingatan soal dirimu yang lain. Ya.. aku tak bisa bicara banyak soal ini. Mungkin saja, jika eksperimen yang dilakukan pada dirimu berhasil, kita bisa mengungkap banyak hal yang tak mungkin dijelaskan dengan akal dan pengetahuan kita saat ini."
Dan kali ini, Luna benar-benar terperangah.
"Eksperimen?"
Ketika Luna ingin bertanya lebih lanjut, dunia kembali berubah menjadi gelap.
Torture Part, Scene 3
Luna dan Emils kini berada di pojok ruangan. Ruangan itu masih bersih, tak ada retakan, bongkahan batu, atau apapun yang menandakan telah terjadi pertempuran di sana. Satu-satunya hal yang tersisa adalah kepulan debu yang perlahan menghilang akibat mesin yang berputar semakin cepat.
Langit memang tak pernha berdusta soal malam hari, tetapi ia tak tahu. Bulan tak pernah bersinar di dunia ini.
"Sial," gerutu Luna dalam hati.
Karena itu…
"Apa yang akan kau lakukan, slime? Pertarungan ini tidak akan membawa kita kemana-mana," tanya Luna sambil mengarahkan senapan sniper-nya ke arah inti tubuh Emils.
"Mana kutahu," balas Emils sambil bergerak ke kiri. Peluru yang dimuntahkan dari senapan itu melesat dan hanya mengenai udara kosong.
"Huh, sama sekali tidak menyenangkan. Atau mungkin, apa aku yang tidak dapat menikmatinya, ya?" tanya Luna sambil tersenyum.
"Mungkin saja," jawab Emils, juga sambil tersenyum.
Mereka memang terjebak di ruangan ini, tetapi tak mungkin mereka tidak menikmati pertarungan ini. Lihat saja, bagaimana Emils hanya tertawa saat peluru-peluru itu tidak berhasil mengenainya sama sekali. Atau gelak tawa Luna ketika Emils harus tertatih-tatih mengumpulkan cairan birunya yang terperangkap di bawah mesin penggiling.
Namun, mereka sadar. Semua ini tak mungkin bisa abadi.
"Jadi, anak perempuan—"
"Luna. Aku tak senang dipanggil seperti itu."
"Hahaha, baiklah. Apa yang kau pikirkan soal pertempuran ini? Oh ya, kau bisa memanggilku Emils kalau begitu."
"Baiklah, Emils!" teriak Luna sambil berusaha menghindari putaran mesin penggiling yang berjalan mendekatinya. "Menarik sekali!"
"Ho…" gumam Emils. "Aku juga tak menyangka, makhluk sepertimu gesit juga dalam menghindar. Seperti tikus got, mungkin…" lanjut Emils yang segera saja dibalas oleh muntahan peluru yang ditembak sembarangan.
"Hai, Emils. Kau boleh berdiri di sana selama tiga menit. Tenang saja, mesin itu tak akan mengejarmu selama itu. Aku juga tidak akan menembakmu, percayalah."
"Tentu saja, karena kau bukan manusia yang sama dengan orang-orang itu," kata Emils yang telah berada pada posisi yang ditunjukkan Luna.
"Jadi, apa maumu, Luna?"
"Tidak ada. Hanya ingin bertanya, apa yang kau inginkan dari hal-hal bodoh ini?"
Seakan mengerti maksud pertanyaan Luna, Emils menjawab pertanyaan tersebut.
"Awalnya, aku juga tidak ingin terlibat dalam hal-hal bodoh ini. Maksudku, lihatlah! Kita saling bunuh untuk harapan yang belum tentu jelas. Hidup kembali di dunia, pertanyaan macam apa itu? Dan itu diberikan kepada kita, orang-orang yang sudah mati? Menarik sekali," kata Emils.
Luna memandang Emils dengan sinis.
"Benar, menarik sekali. Jika boleh, aku juga ingin mendengar hal-hal menarik yang akan kau lakukan setelah ini."
"Huh, kau menghabiskan tiga menitmu yang berharga hanya untuk bertanya soal ini? Dasar," kata Emils yang kini mengubah pedang birunya dan mengembalikannya ke tubuhnya.
"Kau pasti pernah mendengar ideku tentang revolusi, bukan? Mungkin aku harus cerita soal manusia juga."
"Tidak masalah. Lanjutkan."
"Sebenarnya tidak serumit yang kau pikirkan. Mereka membunuh para monster seperti kami. Sebagai slime, aku menyadari bahwa takdirku memang dilahirkan seperti itu. Sayangnya, semua berubah sejak seorang manusia datang kepada kami."
"Manusia?" tanya Luna dengan heran.
"Ya, manusia," kata Emils sambil menghela napas. "Makhluk yang seolah ditakdirkan untuk membunuh kami, para monster yang lemah. Dan hari itu, ia datang kepada kami. Bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keluarga."
"Maksudmu?"
"Ia merawat kami, para monster yang kehilangan segalanya akibat pertempuran. Aku cukup beruntung, karena sejak awal, aku diciptakan sendiri, tanpa siapa-siapa. Beberapa yang lain kehilangan orang tuanya. Saudara. Hingga teman sepermainannya.
"Lalu, bagaimana dengan manusia yang merawatmu?"
"Penyihir, lebih tepatnya," kata Emils. "Segera setelah ia merawat kami, muncul desas desus di kota. Singkatnya, para penduduk kota—manusia lain—tidak setuju dengan apa yang ia lakukan. Akhirnya, mereka datang ke gubuk dimana kami tinggal."
"Aku rasa aku sudah tahu bagaimana akhirnya," kata Luna pelan.
"Benar, persis seperti yang kau pikirkan," balas Emils sambil tersenyum pahit. "Mereka membunuh penyihir itu. Aku jadi saksi, dan aku justru dilepaskan oleh mereka. Terlalu lemah, demikian mereka mencari alasan. Lagipula, apa yang bisa diperbuat seekor slime sepertiku saat itu? Menyedihkan."
Luna hanya terdiam mendengar perkataan Emils.
"Ya, bukan berarti aku hanya berdiam diri. Kau lihat caraku bertempur, bukan? Dan dengan ini, aku memimpin para slime dan menghancurkan separuh ibukota ras manusia di duniaku. Membayangkan kota pujaannya dihancurkan oleh makhluk remeh seperti kami, tak ada hal lain yang lebih ironis daripada itu, bukan?" kata Emils sambil tertawa.
"Jadi, apa yang kau inginkan ketika kau dihidupkan kembali oleh Thurqk?"
Kini, gantian Emils yang terdiam.
"Sebelum itu, apa kau punya sesuatu harapan untuk dikabulkan?"
Luna kaget mendengar pertanyaan Emils yang tak diduga-duga.
"Huh, seperti perkiraanku. Banyak bergaul dengan manusia sedikit banyak membuatku mengerti tentang perilaku mereka. Termasuk soal pertanyaan ini."
Luna masih berada di sana, terdiam seperti patung batu.
"Apa kau masih menanyakan tentang tujuanmu yang sebenarnya, Luna?"
Luna tercekat. Ia tak mampu mengeluarkan kata-katanya lagi, bahkan sekadar untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Seperti dugaanku. Manusia itu egois, bahkan hal itu juga tertular pada makhluk lain yang berada di sekitarnya. Aku mengenal banyak manusia dan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Bahkan, jika itu harus melawan batas-batas dirinya sendiri. Tapi, coba lihat dirimu. Kau hanya bertarung tanpa sepenuhnya terlarut dalam pertarungan itu."
Luna masih terdiam.
"Kau turut serta dan menghancurkan Pulau Ryax—setidaknya menurut info yang kudengar beberapa waktu setelahnya—tetapi selesai. Kau memang menyelesaikan pertarungan dan mendapatkan kemenangan, tetapi kau tidak tahu harus melakukan apa dengan kemenangan itu. Dan mungkin saja, itu yang kau khawatirkan saat ini, bukan?"
Luna hanya mengangguk pelan.
"Benar. Kadang-kadang, aku merasa ketakutan dengan diriku sendiri. Berjalan di malam hari dan membunuh orang-orang jahat itu. Aku tahu, di balik setiap peluru yang kutembakkan, akan ada senyum bahagia dari orang tua yang bebas melepaskan anak perempuannya di malam hari. Juga senyuman para pedagang yang bebas berjualan tanpa perlu terbebani oleh pajak yang tinggi. Namun, aku juga sadar. Orang-orang itu akan tetap ada, sebanyak apapun peluru yang kutembakkan."
Kini, Luna mulai meringkuk di tempatnya.
"Aku…. Aku… apakah… benar… aku… harapan… keinginanku…"
Emils hanya terdiam. Lalu, ia berjalan ke arah dinding dan memilih bersandar di sana. Mungkin, ia tak pernah tahu, bagaimana rasanya menjadi anak perempuan yang selalu dilanda kehampaan kemana saja langkahnya mengiringi. Setidaknya, Emils ingin memberikan dua menit waktu yang tersisa untuk menenangkan dirinya.
Torture Part, Scene 4
Mesin penggiling itu telah sampai di hadapan Luna. Anak itu—yang tellah berhasil menguasai dirinya kembali—mengambil senapannya seraya melompat ke samping.
"Emils. Satu pertanyaan terakhir kepadamu," tanyanya kepada sang slime yang mulai mempersiapkan diri untuk pertarungan terakhir mereka.
"Apa itu?"
"Andai kau harus kalah dalam pertarungan ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tetap akan kembali kepada mereka. Walaupun harus mengubah takdir sekalipun!"
"Maksudmu?"
"Ya, aku akan kembali kepada mereka. Aku akan selesaikan hal-hal yang belum sempat kuselesaikan saat aku masih hidup. Ya! Aku akan menjadi lebih kuat, dan aku bisa balaskan seluruh penderitaan kawan-kawanku kepada manusia!"
Luna terdiam di tempatnya.
"Aku akan kibarkan bendera revolusi dan tegakkan keadilan di sana! Dunia tanpa penindasan! Dunia dengan kesetaraan hak! Tak perlu ada tangisan kami lagi di sana!"
Perlahan, tubuh Emils mulai berubah. Bentuk slime yang dilihat Luna mulai menghilang, digantikan oleh tubuh humanoid yang biasa disaksikan dalam berbagai film fiksi sains. Sebuah pedang berwarna biru muncul dari tangan kanannya.
Tangan itu gemetar. Juga dengan seluruh tubuhnya.
"Lihat saja! Akan kubuat agar kalian bisa mengerti penderitaan kami sepenuhnya!"
Tubuh itu seketika rubuh. Tak ada yang tersisa, selain kumpulan cairan tak berbentuk yang menggenangi lantai. Dengan sisa-sisa tenaganya, Emils mencoba mengumpulkan bagian tubuhnya yang berserakan.
Luna masih memandang Emils dengan berkaca-kaca. Seekor slime, yang bahkan tak pernah dianggap dalam hierarki manapun, berani punya cita-cita dan impian yang tak mungkin dibayangkan oleh orang-orang.
Karena itu…
"Cukup, Emils! Mengapa kau paksakan dirimu? Mustahil kau bisa mengubah takdir! Andai kau berteriak di sini sampai badanmu hancur, tak ada yang mau mendengarkan! Thurqk hanya akan tertawa. Nolan juga tak bisa berbuat apa-apa! Dan manusia itu tetap saja akan menghabisi bangsa kalian! Karena—!"
Luna tercekat. Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Yang ia tahu saat ini, seluruh hatinya terasa panas. Mengapa? Ia tak tahu. Andai ia tahu, ia pasti juga bisa menjelaskan, mengapa mata merahnya kini mulai berkilau. Mata merah yang tak pernah memancarkan cahaya kehidupan saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, kini berharap lain.
"Tak akan mungkin kau harap manusia akan berubah!
"Akan tetapi, kau tetap membunuh orang-orang jahat itu, bukan? Walaupun kau tahu, mereka akan tetap ada di dunia, sebanyak apapun kau bunuh mereka," kata Emils sambil tersenyum.
Luna kini terdiam. Emils kini kembali dalam bentuk sejatinya sebagai slime. Ia berusaha membentuk sebuah pedang dari bagian tubuhnya, walaupun tubuhnya gemetar. Pedang itu masih tak berbentuk, akan tetapi sudah cukup untuk membuat Emils percaya akan kemampuannya.
"Tak ada hal yang benar-benar mustahil. Bahkan, walaupun harus melawan batas-batas dirimu sendiri."
Emils masih berusaha membentuk sebuah pedang dari bagian tubuhnya.
"Sejujurnya aku menyesal. Pertemuan kita amat singkat, bahkan di Pulau Ryax sekalipun—setidaknya, aku bisa menggoreskan sedikit kenangan berharga di sana," kata Emils sambil tersenyum. "Dan berbanggalah. Bahkan, kau adalah orang pertama—selain penyihir itu—yang kuakui sebagai manusia seutuhnya. Ya... walaupun hati kecilku masih saja sulit menerimanya. Hahaha…"
Emils telah bersiap dengan pedangnya.
"Jika kau ingin membuktikan bahwa dirimu ada, silahkan tantang diriku. Angkat senapanmu, dan berduel dengan adil. Ruangan ini akan menjadi saksi, siapa yang berhasil melangkah lebih dekat dengan tujuan kita. Apa kau berani, Luna?"
Luna tersenyum dalam hati. Terlalu banyak hal-hal yang tak diketahuinya di dunia. Dan mungkin saja, Luna tak akan pernah tahu. Mata merah itu kini menyala terang di tengah ruangan yang tak terlalu terang.
Emils yang mengamati itu terkejut sendiri.
"Ah… tak kusangka. Aku harus melawannya saat ini."
Mungkin saja, Emils akan merindukan sosok anak perempuan yang baru saja bertarung dengannya. Karena kali ini, ia melihat sosok berbeda yang muncul dari raut wajah anak itu.
Mata yang merah menyala. Senyuman yang biasa menghiasi bibirnya kini telah hilang. Dan kali ini, ia tidak lagi melihat seorang anak perempuan yang hanya berusaha kabur dan menghindar darinya.
Yang ia lihat adalah makhluk haus darah yang siap membunuhnya kapan saja.
***
Emils memperbaiki kuda-kudanya. Ia tahu, walaupun Luna tidak dapat menyerang dengan pistol magnum yang ada di pinggangnya, anak itu punya ratusan cara lain yang dapat membuat nyawanya hilang seketika.
Apalagi dengan raut mata itu. Akhirnya, Emils dapat mengetahui jati diri Luna yang sebenarnya.
Tanpa disangka, Luna melompat maju dan mengayunkan senapan sniper itu ke arahnya dengan cepat. Emils berusaha mengelak, tetapi Luna berhasil mengenai bahunya. Hantaman tersebut memang tidak terlalu kuat, tetapi sudah jauh lebih cukup untuk membuat bagian tubuh itu lepas dari dirinya.
Belum selesai Emils memahami hal tersebut, sebuah tangan menggenggam leher Emils. Lalu, dengan memanfaatkan momentum pergerakan, pemilik tangan itu mengayunkan badan Emils ke dinding. Tubuh itu melayang di atas mesin penggiling dan tepat menghantam dinding di depannya. Percikan cairan berserakan di sekitar dinding yang retak itu.
Emils berusaha bangkit sembari mengumpulkan bagian tubuhnya yang berceceran. Tubuh itu hampir saja tak berbentuk, andai anak itu benar-benar menghantamnya dengan kekuatannya.
Tidak. Anak itu terlalu lemah untuk mendorong 55.3 kg berat tubuhnya dan membuat retakan di dinding. Apakah perubahan sebuah momentum gaya benar-benar bisa membuat kerusakan seperti ini?
Andaikata demikian, anak itu pasti benar-benar cerdas untuk menentukan waktu yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.
Emils tidak ingin membuang waktu lagi. Seiring waktu, putaran mesin itu akan semakin cepat. Anak itu tak bisa menembak inti tubuhnya jika ia terus bergerak. Tinggal tujuh menit lagi. Jika ia bisa menghindar dari serangan Luna dan mesin ini, ia pasi menang.
Cukup membuat dirinya menjadi genangan air di lantai, dan mesin itu akan menghancurkan seluruh benda yang lebih tinggi10 cm dari dirinya.
Namun, sebelum itu, ia harus mengumpulkan seluruh bagian tubuhnya yang tercecer. Bergerak dalam bentuk slime dengan bagian tubuh yang tak utuh, itulah masalah terbesar yang ia hadapi saat ini.
***
Menghabiskan dua menit dengan peluru yang meleset. Entah apa yang ada di dalam pikiran setiap penembak jitu jika terperangkap dalam keabsurdan seperti itu.
Luna berusaha membidik inti tubuh slime yang bergerak pelan di antara mesin itu sembari menghindari putarannya. Sayangnya, ia tak bisa. Inti tubuh itu terlalu kecil untuk dibidik dalam pointer teleskopnya. Untuk itu, ia membutuhkan waktu lama untuk meningkatkan akurasi—dan tentu saja, ia akan dicincang oleh mesin itu jika terus diam di tempatnya.
Alhasil, Luna terpaksa memuntahkan proyektil itu tanpa dibidik sembari berharap keberuntungan—dan hal itu yang tak kunjung didapatnya hingga saat ini. Dan ia hanya bisa geram sendiri.
Emils hampir selesai mendapatkan potongan tubuhnya. Berarti, ia akan bisa berubah menjadi manusia lagi, dan pastinya menjadi lebih cepat. Mesin itu juga akan berputar lebih cepat, sehingga mereka juga harus bergerak lebih cepat agar tidak dicincang sampai halus.
Dan itulah mimpi buruk bagi setiap sniper yang butuh ketenangan dan konsentrasi tinggi.
Sebuah gerigi mesin itu tiba-tiba berada di hadapan Luna. Anak itu terperangah dan segera menghindar. Ketika ia berhasil menghindari mesin itu seutuhnya, di hadapannya berdiri sesosok makhluk berpedang biru.
"Akhirnya. Slime itu berhasil mengumpulkan seluruh tubuhnya yang hilang."
Luna tersenyum pahit sambil kembali menghindari gerigi yang mencoba datang lagi kepadanya. Lima menit lagi waktu yang tersisa. Deru mesin terdengar semakin memekakkan telinga. Dan Luna pun sadar, ia harus menyelesaikan apa yang sudah ia mulai.
Kali ini, atau tidak sama sekali.
Karena itu, dengan satu hentakan, Luna melompati mesin itu dan menerjang ke sisi Emils. Emils, dengan kuda-kudanya yang kokoh, telah bersiap mengayunkan pedangnya. Dalam hati, Emils menduga bahwa Luna pasti akan mendarat tepat di depannya dan berusaha menghindari ayunan pedangnya ke samping.
Emils memperbaiki posisi pedangnya. Kali ini, ia mengarahkan mata pedangnya sejajar dengan lantai.
Ketika Luna mendarat di hadapannya, anak itu berusaha menghindar ke arah kiri. Dan sesuai dengan perkiraan Emils, Luna memang menghindar ke arah samping. Dan tanpa ragu, mata pedang yang telah sejajar dengan lantai itu ia ayunkan sekuat tenaga. Pedang itu menyisir ke arah samping dan mengenai Luna.
Percikan darah segera membasahi ujung pedang Emils.
Luna jatuh terjerembab dengan muka tersungkur menghadap lantai. Emils menatapnya sinis, lalu memuntahkan sumpah serapah dengan paras orang mati.
"Apa yang kau lakukan dengan tubuhku?"
Dan Luna pun tersenyum. Mata merahnya menyala, gantian menatap Emils dengan pandangan penuh keyakinan.
Jeli itu memang memperkirakan bahwa ia akan mendarat tepat di depannya. Bahkan, bagi dirinya sekalipun, tidak mungkin mengubah arah lompatan secara tiba-tiba di atas udara. Mendarah di hadapannya adalah suatu keniscayaan, dan ia tak mungkin mengubahnya.
Namun, makhluk yang ada di hadapannya ternyata juga tak bisa mengubah pola pikirnya.
Bahkan, ketika Luna mengambil senapan sniper yang ada di punggungnya di atas udara sekalipun, Emils tetap saja mempertahankan kuda-kudanya sambil tetap melaksanakan rencananya semula.
Dan kini, lihatlah. Inti itu tergores. Emils segera kehilangan kestabilannya dan berubah menjadi kumpulan jeli tak berbentuk.
"Jika kau berani, coba kejar aku," ejek Luna sambil menjulurkan lidahnya.
"Awas kau!" teriak Emils yang telah kembali ke bentuknya semula dan segera mengejar Luna. Ia sungguh tak sadar, bahwa ia sedang berlari dalam lintasan mesin yang akan menghancurkannya berkeping-keping.
Memancingnya ke gerbang kematian. Andai Emils tetap berada dalam kondisi ini, roda besi itu akan menghantam intinya sepuluh detik lagi dan membunuhnya seketika tanpa bisa dihindari. Percepatan mesin itu sudah terlalu cepat untuk diimbangi oleh mereka berdua.
Delapan detik. Enam detik. Semua sesuai dengan perkiraannya. Dan sama seperti orang-orang yang ada dalam pandangannya, tak ada yang bisa lepas dari jerat kematian jika berada di dekatnya.
Kematian. Sekali lagi, akan ada nyawa melayang saat ini.
Pembunuh?
Tiba-tiba, Luna kembali mengingat pertemuannya dengan gadis itu.
"Ya, sama sepertimu. Aku juga sudah mati, pembunuh."
Tidak. Aku bukan pembunuh.
"Ya, kamu memang bukan pembunuh. Kamu hanya menghilangkan nyawa seseorang yang berusaha merebut kembali segala yang hilang darinya."
Penindasan—harga diri—sahabat—pembalasan—manusia— kehilangan—makhluk lemah—revolusi—kemenangan.
"Dan kamu akan merampas semua itu darinya?"
Dua detik lagi. Dan Luna tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
"EMILS! MELOMPAT! SEKARANG!"
Emils, yang masih mengejar anak itu dengan emosi yang tak terkira, terperanjat ketika Luna berteriak. Bukan suatu teriakan provokasi ataupun ancaman. Teriakan itu adalah permohonan dari seorang sahabat yang tak ingin kehilangan orang yang dicintainya di medan perang.
Satu detik lagi.
Dengan gerakan yang sulit direka, ia berbalik arah dan menembakkan senapan sniper-nya ke arah Emils. Dan untuk kali ini, Luna benar-benar berdoa dan menggantungkan harapannya pada sebuah keajaiban. Jika tembakannya tepat mengenai cairan di bagian bawah inti Emils, dorongan gaya proyektil itu akan mendorong intinya ke atas dan terhindar dari ayunan besi itu.
Peluru itu melesat cepat. Luna menutup matanya. Dan ia tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu setelahnya.
Dream Part, Scene 3
"Luna…"
Rambut perak itu melambai-lambai ditiup angin yang berhembus dari jendela. Siluet matahari sore berkilau keemasan, menembus tirai jendela yang ditutup sembarangan. Luna, gadis yang dipanggil oleh suara lembut itu, mencoba terus bermimpi dalam tidur nyenyaknya.
Namun, suara itu terus memanggil Luna dengan lembut.
"Luna…"
Anak itu terbangun. Rambut peraknya kini berhenti ditiup angin.
"Ah, akhirnya bangun juga. Sudah dari tadi aku mencoba membangunkanmu," kata seorang anak sambil tersenyum.
Detak jarum jam berbunyi pelan, menemani kesunyian di ruangan itu. Bangku-bangku disusun rapi. Papan tulis yang ada di hadapannya masih belum dibersihkan, penuh dengan rumus-rumus fisika yang belum ada sebelum ia tidur. Dari jendela, Luna dapat melihat beberapa orang berlari di tengah lapangan sambil menggiring sebuah bola.
Pemandangan sebuah kelas yang biasa ditemukan di sore hari. Entah sudah berapa lama Luna tertidur sejak kelas terakhir selesai.
Seketika, tak terdengar lagi desir angin. Detak jam yang ada di ruangan itu tak terdengar lagi. Anak itu berjalan di hadapannya, mengucapkan sesuatu yang tak dimengerti oleh Luna.
"Sampai jumpa lagi, Luna," kata anak itu sambil tersenyum.
"Tunggu dahulu!" teriak Luna sambil mengambil sebuah pistol magnum yang selalu diselipkan di pinggangnya. Tanpa ragu, ia mengarahkan pistol itu ke arah anah itu.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Bukankah sudah kubilang? Aku hanya salah satu dari kumpulan eksistensi yang telah terlupakan. Mati, dan kamu juga. Bersama-sama di tempat ini," jawab anak itu sambil terus tersenyum.
Luna kini terdiam. Telah beberapa kali ia berada di tempat ini, tetapi tak ada satupun hal yang dapat ia mengerti hingga saat ini. mulai dari kematian, masa lalu, eksperimen—
"Dan mungkin saja ia akan kembali datang kepadamu. Atau tidak. Bagaimana ya… aku juga sulit menjelaskannya…"
Perlahan-lahan, muncul cahaya-cahaya berwarna keunguan dari tubuh anak itu, diiringi dengan pudarnya eksistensinya. Luna, yang sejak tadi terdiam, kini mulai berjalan mendekatinya. Dicobanya meraih tangan kecilnya, tetapi tangan itu menolak.
"Sudah cukup, Luna. Aku tak lagi bisa menerima kebaikanmu. Bahkan, untuk berada di sini saja, aku terpaksa harus "bermain" dengan memorimu."
Butiran cahaya itu beterbangan semakin banyak. Seiring itu juga, bunyi lonceng terdengar semakin keras. Meja-meja yang ada di sana turut berubah menjadi cahaya keunguan dan hilang perlahan dari pandangannya. Tak terdengar lagi teriakan ribut anak-anak yang bermain atau berlari di lapangan. Seluruh tempat itu, perlahan tapi pasti, mulai menghilang.
Jarum jam itu berputar semakin kencang.
"Ah, rupanya dia mengetahui aku berada di sini. Satu hal terakhir, Luna…"
"Berhentilah mencari kebenaran!"
Kali ini, Luna tersentak. Telah dihabiskannya seluruh hidupnya hanya untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu. Bahkan, ia rela menghadapi berbagai pertarungan tak masuk akal, hanya untuk mencari kebenaran atas segala keraguannya. Dan kini…
"Mengapa?" teriak Luna di tengah kekecewaaanya.
Anak itu terdiam. Dan kini, mata ungunya berubah warna menjadi merah menyala. Matanya menatap Luna dengan tajam, tetapi penuh kepedihan.
"Kemanapun kamu melangkah, tak akan ada yang kau jumpai, selain kekecewaan dan keputus-asaan. Pengkhianatan. Kesuraman, penderitaan tiada akhir. Hanya itu yang akan kau temukan di ujung jalan itu. Hahaha…"
Darah menetes dari mulut anak itu, juga dari matanya. Lalu, sebelum Luna sempat menyadarinya, anak itu telah berubah menjadi cahaya keunguan. Tempat itu juga, kini mulai berubah sepenuhnya menjadi bola-bola cahaya.
Luna hanya menundukkan kepalanya. Lalu berbisik dalam hati.
"Apakah yang kulakukan ini salah?"
Luna menutup matanya. Dan untuk terakhir kalinya, dunia kembali berubah menjadi gelap.
Torture Part, End Scene
Luna membuka matanya.
Ia melihat seluruh dunia yang berwarna merah. Di hadapannya, duduklah Thurqk dengan singgasana kebesarannya yang berhiaskan ukiran emas. Raut wajahnya tak henti menyiratkan kepuasan dan kegembiraan. Di sampingnya, berdiri Nolan, dengan raut wajah yang datar. Ia menatap Luna dengan tajam.
Luna menyadari itu. Emils sudah mati. Dirinya lah yang selamat. Walaupun demikian, ia telah berusaha mengingatkan Emils menjelang kematiannya. Dan ia pun bernapas lega.
Setidaknya, bukan tangannya yang membunuh Emils.
"Aku ucapkan selamat kepadamu, Luna Aracellia. Tak banyak orang yang mampu mempertunjukkan hiburan yang spektakuler ke hadapanku di tengah ruangan penyiksaan sempit seperti itu."
Luna tersenyum.
"Apa kau senang, Thurqk? Walaupun tanganku kali ini tak perlu berlumuran darah lagi seperti biasanya?"
Thurqk menatap Luna dengan heran. Juga dengan Nolan, yang semakin menundukkan pandangannya erat-erat.
"Siapa yang tidak membunuh?"
Kali ini, gantian Luna yang menatap Thurqk dengan heran. Luna juga merasa heran dengan sikap Nolan yang aneh sejak mereka bertemu di tempat ini.
"Nolan, buka kotak yang ada di belakangku!" perintah Thurqk sambil menjentikkan jarinya.
Seolah tidak rela, Nolan berjalan pelan dan mengambil sebuah kotak yang tak lebih besar dari ransel punggungnya. Thurqk yang jengkel karena sikap Nolan lalu mengayunkan tangannya dan menghantamkannya ke punggung Nolan. Paham dengan kondisi itu, Nolan berjalan ke arah Luna.
"Buka sendiri kotak ini," ujar Nolan dengan pelan.
Dan Luna membuka kotak itu.
Ia melihat sebuah bola berwarna biru tua yang berlubang di tengahnya. Sebuah peluru berada di dalamnya, seolah dilindungi oleh kehangatan sang pemilik bola. Walaupun ia tahu, peluru itulah yang akan memisahkan jiwa dan raga sang pemiliknya. Untuk selamanya.
Dan Luna tak lagi bisa menutup rapat emosi yang telah ditahannya selama ini.
Dan Luna pun tak lagi kuasa menahan tangisannya.
Dan air mata jatuh, membasahi bumi Nanthara Vadhi dengan ungkapan duka para makhluknya.
A Half Untold Story, Part 2
Seorang anak perempuan berjalan di tengah jalan setapak yang dipenuhi oleh tumpukan jam. Rambut putihnyanya melambai-lambai, mengikuti gerakan riangnya di sepanjang jalan. Mata ungunya berbinar, memancarkan hasrat keingin tahuan bagi siapapun yang ada di sekitarnya.
Anak itu berjalan sendiri, menapas jalan setapak yang dipenuhi oleh tumpukan jam. Tak ada yang menemaninya, selain jarum-jarum jam yang berdetak tanpa harmoni.
Salah satu jarum jam bergerak lebih cepat dari jarum yang lain. Yang lain berdetak mundur, justru lebih cepat dari yang pertama. Beberapa diantaranya berjalan pelan, lalu cepat, lalu pelan lagi. Demikian seterusnya.
Akan tetapi, anak itu tak peduli. Ia masih berjalan riang di tengah alunan waktu yang tak pernah berhenti mengganggu perjalanannya. Hingga ia sampai ke singgasana kosong tak berpenghuni. Sebuah jam besar tanpa penunjuk menit berdiri kokoh di belakangnya.
"Ayolah, keluar. Aku tak sabar menunggumu!"
Anak itu memanggil sang pemilik singgasana. Lalu, partikel-partikel berwarna keemasan muncul di atas singgasana itu. Perlahan, jam besar yang ada di belakangnya berdentang 12 kali. Jarum-penunjuk-detik pada jam itu bergerak, juga dengan jarum-penunjuk-jam kecil yang ada di tengahnya.
Tak ada jarum-penunjuk-menit pada jam itu.
Ketika lonceng jam itu berhenti, kedua jarum itu tepat berhenti di angka 12. Partikel keemasan itu kini berkumpul dan membentuk sesosok manusia yang duduk layaknya seorang raja di atas singgasana tersebut.
"Apa yang kau inginkan? Mengganggu waktu istirahatku saja," ucap sosok keemasan yang kini telah termaterialisasi sempurna di tempat itu.
"Istirahat? Apakah kau hanya bisa beristirahat dari dunia dengan mengganggu bidakku?" balas anak perempuan itu sambil tersenyum.
"Hahaha… bidakmu ya… walaupun aku yang punya kuasa atas sang bidak saat ini?"
"Aku tak ingin mendengar hal apapun dari orang yang kehilangan jarum jamnya dihadapanku."
Segera saja, tatapan kedua orang itu berubah menjadi aura kebencian.
"Ah, tetapi tidak kali ini. Kau yang tidak lagi punya kuasa atas kematian, berani menantangku, sang raja yang punya kuasa mutlak atas setiap waktu yang berjalan di dunia ini?"
"Tentu saja, sampai kau melihat jam yang ada di balikmu itu kubuat hancur tanpa sisa."
"Oh, maafkan aku, maafkan aku," ujar sang raja sambil mencoba tersenyum di hadapan sang anak perempuan. "Jadi, apa yang kau inginkan?"
"Tidak ada," balas anak itu sambil tersenyum. Ia mengayunkan tangan kanannya dan mematerisasikan kumpulan partikel berwarna keemasan.
Kini, sebuah pedang berbentuk jarum-penunjuk-menit tergenggam erat di tangannya.
"Aku tak berniat mengembalikannya. Lagipula, tak ada salahnya menyimpan koleksimu yang paling berharga sebagai ganti atas sebuah kematian," jawab anak itu.
"Tak masalah," kata raja keemasan sambil tersenyum. "Kurasa, nama Zeitflugel benar-benar cocok dengan dirimu saat ini."
"Ya, kurasa itu benar-benar cocok," balas anak itu sambil merentangkan kedua tangannya. Lalu, dengan perlahan, sepasang sayap berwarna keunguan muncul di belakangnya. Kini, ia melayang-layang dan memandang sinis sang raja dari angkasa.
"Hei, hei. Kau memang punya sayap! Aku mengaku kalah kali ini!" teriak pria itu sambil berdiri.
"Baiklah, jika sang penguasa waktu, Chronos, bertitah kepadaku," kata sang anak perempuan yang kini telah mendarat dan berada di hadapannya.
"Huh, sama sekali tidak lucu," keluh Chronos, sang raja yang kini kembali duduk di singgasananya. "Dan sudahlah. Aku masih banyak urusan. Apa kau punya keperluan dengan bidak itu?"
"Tidak sepenuhnya," kata anak itu sambil merapikan rambutnya. "Aku hanya ingin melihat wajahnya yang penuh dengan keputus-asaan setelah membunuh lawannya."
"Membunuh?" tanya Chronos tertarik. "Berapa persen itu bisa terjadi?"
"Mana kutahu?" dengus anak itu. "Menembak sebuah proyektil dengan random dari jarak lima meter dan tepat mengenai sebuah bola yang tidak lebih besar dari bola tenis. Siapa yang akan kau salahkan? Tuhan?"
"Entahlah. Yang jelas, apa kau turut terlibat di sana?" kata Chronos.
"Tentu saja tidak. Aku hanya bermain-main dengan jarum jam milikmu, seperti biasa. Walaupun demikian, aku tak punya urusan dengan dunia itu. Satu-satunya mengapa aku ingin datang ke sana adalah karena pria berkacamata," jelas anak itu.
"Ho… Manusia yang telah mengetahui eksistensi kita. Aku tak menyangka, dari mana dia bisa mengetahui hal ini?"
"Itu yang ingin aku tanyakan ketika bertemu dengannya nanti," balas anak itu sambil mengayunkan jarum jam kepunyaan Chronos. Seketika, dari bekas ayunan itu, muncul aliran petir yang diikuti dengan retakan udara yang ada di sekitarnya.
Tempat itu bergetar hebat. Sebuah dimensi berwarna ungu kehitaman muncul di antara mereka.
"Hei, hei. Apa kau benar-benar akan membawa Zeitschwert ke dunia itu? Kau bisa menghancurkan seisi dunia beserta isinya, lho."
"Bukan urusanku. Lagipula, apa urusan seorang dewa penguasa waktu yang tidak lagi punya kuasa atas waktunya? Kau seharusnya bangga bisa diberi kesempatan oleh kematian untuk bernapas lebih panjang."
"Setelah kau kehilangan Mors Sichel, Alice?"
Alice, anak itu, hanya terdiam. Lalu menatap Chronos dari mata ungunya dengan tajam.
"Lain kali, akan kubawa bidak itu dan kuhancurkan kerajaanmu berkeping-keping!"
Alice segera masuk ke dimensi itu, diikuti dengan bunyi retakan dan aliran petir di sekitarnya. Dari singgasananya, Chronos hanya duduk bermalas-malasan dan mengambil segelas anggur di sampingnya.
"Mari lihat apa yang bisa kau lakukan, Alice Zeitflugel. Malaikat kematian kecilku…"
According to the Half-Moon, Despair Will Come in 1800 seconds: End.
Saya bakal bilang ini dari awal : kalau cuma ngeliat karakter semata, saya jujur lebih suka Luna daripada Emils. Setidaknya impresi dari dua ronde sebelumnya bikin mindset saya berkata demikian, dan dari gaya cerita pun emang punya Luna lebih enak buat diikutin.
ReplyDeleteTapi pas ngebandingin antara entri ini dan entri Emils di ronde 3 kali ini, saya ngerasa lebih 'nyaman' baca punya Emils, meski juga lebih lelah bacanya. Ambil contoh, exchange conversation antara Luna-Emils lebih masuk di versi Emils ketimbang di sini, karena di sini kesannya kayak Luna antara terlalu hypocrite atau emang kedua karakter berlaku canggung aja - bisa saling serang, tau" ceasefire dan ngobrol untuk berapa menit, dan tiba-tiba langsung berantem lagi. Entahlah, saya ngerasanya jadi aneh aja.
Satu lagi adalah poin dream part sama epilog dari entri Luna ini. Mungkin maksud penulis adalah nge-flesh out karakter Luna dan ngasih hint soal identitas dia....tapi entah kenapa ga nge-klik ke saya. Kayak, kesannya sok" misterius tanpa penjelasan sampe akhir. Emang ngerti sih kalau mungkin ini bisa dijelasin di ronde berikutnya andaikata Luna maju, tapi karena cuma sepenggal di sini malah cuma ninggalin kebingungan. Kalau mau ngambil contoh dari entri lain, Nurin atau Primo masih lebih ngena karena meski masukin aspek 'asing' ke canon mereka, tapi cukup jelas 'apa' yang dimunculin.
Shared score dari impression K-7 : 7,5
Polarization -/+ 0,2
Karena saya lebih suka entri Emils, jadi entri ini saya kasih -0,2
Final score : 7,3
suka pas bagian awal sifat sombongnya luna dari pulau ryax msh kbawa :3
ReplyDeletestuju sama kak sam sih, flashbacknya bagus tp terkesan kurang berpengaruh sama inti cerita r3 ni, lumayan kurang jelas jg
liat nama cronos malah kpikiran luna ada hubunganya sama lulu #plok xD
battlenya lumayan kak, setidaknya cerita ni urutanya lebih rapi :)
nilai 7,5
:*
ReplyDelete