Aku yang dulu bukanlah yang sekarang...
Sayup-sayup Ucup mendengar sebuah nyanyian. Dan dia tahu suara siapa itu. Suara yang selama ini menemaninya di jalanan. 3 temannya yang dia sayangkan kini tak bisa melihatnya lagi. Dia berbalik hendak pergi ,meninggalkan mereka yang sedang bersenda gurau menunggu lampu merah. Tapi sesuatu yang mengagetkannya membuatnya terhenti.
"Ucup...!" Mereka bertiga memanggilnya.
Ucup terdiam. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia mendengar langkah cepat teman-temannya menghampirinya. Dan benar saja, kini dia telah dikelilingi oleh teman-temannya.
"Eh tingali, aya pembunuh!" ("Eh lihat, ada pembunuh!")
Ucup terhenyak dikatakan pembunuh oleh temannya sendiri.
Dia hendak mengelak, namun teman-temannya kini tertawa terbahak padanya sembari menunjuk dirinya.
"Hahahahahahaha pembunuh! Kecil-kecil kok pembunuh! Kita dong, ngamen. Ngehasilin duit. Bukan ngambil nyawa orang."
Ucup terpojok, dia hendak menangis. Dia semakin berjalan mundur hingga tubuhnya terpentok (terpentok? What the…?) dinding bangunan.
"Ibu…."
Kini dia benar-benar menangis. Teman-temannya semakin tertawa terbahak melihat tangisannya.
"Kau memanggil ibu?"
Suara seorang wanita. Ucup terhenyak. Tangisnya semakin menjadi. Dia dorong ketiga temannya hingga terjatuh dan berlari menuju wanita itu.
"Ibu…….!"
Ucup hendak memeluk wanita itu. Namun wanita itu lebih dahulu mendorongnya hingga terjatuh. Melihat kejadian ini temannya kembali terbahak. Lebih keras dari sebelumnya.
"Ibu? Kau panggil aku ibu? Aku tak pernah punya anak yang membunuh! Sudah berapa peserta yang kau bunuh? Kau bukan anakku lagi!"
Wanita itu pergi menjauh diikuti tiga temannya yang masih tertawa terbahak mentertawakannya.
Ucup berteriak, meronta, menggebu. Pegangan Hvyt hamper saja terlepas dan menjatuhkannya ke lautan luas.
"Tenang Tuan Ucup, tenang." Hvyt berusaha menenangkan Ucup.
Ucup hanya diam. Mimpinya seperti kenyataan baginya. Dan dia tersadar, jika ibu tahu dirinya telah membunuh dua orang, dia akan diperlakukan sama seperti mimpi itu. Ibunya tak pernah mengajarkannya berbuat salah. Ibunya selalu mengajarkannya kebaian. Mengajarkan apa yang Tuhan ingin manusia lakukan. Dan Tuhan tak pernah menyuruh umatnya saling bunuh.
"Si Tuk mu itu bukan Tuhan kan?" Tanya Ucup pada Hvyt.
Hvyt tersentak mendengar pertanyaan Ucup yang tiba-tiba.
"Dia Tuhan semesta alam." Jawab Hvyt dengan suara bergetar.
"Ada ayat yang mengatakan hal itu?"
"Maaf Tuan Ucup, ayat?"
"Ya, ayat, ayat Tuhan." Ucup teringat akan ayat-ayat yang diajarkan ibunya. Ayat-ayat berbahasa arab yang dapat membuatnya tenang. Ayat ayat yang menjelaskan segalanya. Tapi belum ada ayat yang dia dengar yang menjelaskan mengenai dunia yang sekarang dia tempati. Dan hingga mereka mendarat, Hvyt tak menjawab sama sekali.
"Kita telah sampai Tuan Ucup…" Hvyt menurunkan Ucup.
"Apa yang harus aku lakukan? Kembali membunuh?"
"Begitulah Tuan Ucup. Seseorang sedang menunggu anda di depan pintu itu. Bunuh dia dan dapat kembali kepadaku."
"Dan jika aku membunuhmu?"
Ucup berlalu memasuki pintu yang langsung tertutup tanpa mempedulikan Hvyt yang terdiam melihat perubahan Ucup pada dirinya.
***
"Jadi kau ya akan menjadi lawanku...? Maaf aku sudah lelah untuk membunuh." Ucup berjalan menuju tengah ruangan.
Ruangan cukup gelap dengan ukuran yang tidak begitu luas. Dinding-dindingnya pekat dengan dua buah pintu. Di belakang Ucup dan di belakang lawannya.
"Astaganaga badag! (Astaganaga besar!)" Ucup terlonjak kaget ketika melihat lawannya. Seseorang dengan jubah yang menutupinya berdiri. Tubuhnya besar dan sangat tinggi.
"Aya jangkung maneh, berapa tingginya?" Ucup bertanya dengan polosnya.
"Aku Deismo, anak kecil sepertimu tak pantas berada di tempat seperti ini." Deismo bergumam. Suaranya besar dan menggaung di ruangan itu.
"Eh teu dijawab Ucup nanya. Ucup juga enggak tau kenapa Ucup bias ada disini."
"Tinggiku 300cm anak kecil."
"Tunggu…" Ucup berjongkok. Dengan ujung kecrekannya dia menggambar di tanah merah. Sebuah tangga.
"Disini centimeter, lalu naik satu jadi desimeter. Nah nol nya di hapus satu jadi 30. Terus naik lagi jadi meter. Nol nya dihapus lagi satu. Jadi… anjrit tilu (tiga) meter?"
Deismo terkekeh melihat tingkah Ucup. Ketika Ucup mendongak menatapnya, dia langsung memalingkan diri.
"Kok bisa tinggi?" Ucup duduk di depan Deismo yang kin berdiri membelakanginya.
"Dari dulu aku memang setinggi ini." Ucapnya.
"Keren…kamu masuk sirkus?"
"sirkus?"
"iya, orang-orang unik seperti kamu biasanya masuk sirkus. Kaya teh Colette, dia juga lucu, mukanya putih kaya panuan. Bisa ngambil roti dari udara. Rotinya enak tapi tetep bikin lapar. Hehehehehe"
Deismo mulai duduk ketika mendengar Ucup terkekeh walau tetap membelakangi.
"Apa yang ada di tanganmu itu?" Tanya Deismo.
"Ini kecrekan. Buat main music. Ucup penyanyi loh walau nyanyinya di jalanan. Hehehe mau denger ucup nyanyi?"
"Boleh…" Deismo sedikit berbisik. Ada sedikit keraguan di dalam nada bicaranya.
"Tuhan, tuhan yang sebenarnya, apa yang harus aku lakukan? Aku mempunyai kesempatan untuk membunuhnya sekarang. Tapi… tapi… aku tidak mau mimpi tadi jadi kenyataan…" Ucup bergumam dalam hatinya. Dia menarik napas panjang dan mulai memainkan kecrekannya.
"Persahabatan bagai kepompong
Merubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah
Persahabatan bagai kepompong…"
Ucup bernyanyi. Badannya ,bergoyang mengikuti irama kecrekannya. Melompat ke kiri dan ke kanan. Berputar di tempat atau sekedar menggoyangkan pinggulnya.
Deismo terdiam. Terbayang olehnya senyum dan tawa teman-temannya. Dia menoleh dan melihat Ucup bernyanyi dengan riang. Namun hal itu tak berlangsung lama…
"BLAM!"
Terdengar suara yang sangat keras. Sebuah bola besi padat berwarna hitam jatuh entah darimana. Membuat Deismo dan Ucup terlonjak kaget. Mereka berdua menoleh dan berjalan bersama mendekati bola itu.
"Woooooaaaaa gede kaya Deismo ya, hehehe" Ucup terkekeh melihat bola besar seukuran tubuh Deismo.
"Berarti ini bola juga tiga meter ya…" Ucup makin mendekat.
"Jangan dipegang Ucup!" Deismo menghentikan langkah Ucup.
"Kita tak tahu bola apa ini. Bisa jadi ada sesuatu pada bola ini." tambah Deismo.
"Ini…" Ucup bersender pada bola itu yang langsung membuatnya terjatuh tergelincir.
"Licin." Ucapnya.
Ucup berdiri dan mencoba medorong bola itu.
"Dan berat." Imbuhnya.
"Biar aku coba." Deismo segera mengikuti Ucup. Mencoba mendorong bola itu. Namun bola itu tak bergeser sedikit pun.
"BLAM!"
Bola kedua jatuh. Berselang kurang dari empat menit dari jatuhnya bola pertama. Ucup memandang kaki Deismo. Wajahnya terlalu tinggi untuk terlihat. Ditambah jubahnya yang menutupi tubuhnya. Walau terbuka di bagian tengah, sulit untuk memandang wajahnya.
"Ruangan ini akan dipenuhi oleh bola itu. Kita harus segera keluar dari sini." Ucap Deismo.
"Tapi… pintu itu…"
"Akan terbuka jika kita membunuh lawan kita. Ya aku tahu Ucup."
"Kau akan melawanku?"
"Pasti ada cara lain. Kita harus mencobanya."
Deismo berlari menuju arah pintu tempat dia masuk. Segera dia mendorong pintu itu namun tak berhasil. Ditendangnya pula namun tak roboh sama sekali.
Ucup yang baru dating menyusul langsung member komentar.
"Digeser kali buka pintunya…"
Deismo diam. Berpikir, namun mengikuti saran Ucup pada akhirnya. Mencoba menggeser pintunya. Ke kanan, gagal. Ke kiri, gagal. Mendorongnya ke atas, gagal."
"Wahai pintu…terbuka!" Ucup berteriak. Tangannya mengangkat ke udara.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Di film kartun kalo mau buka pintu kan gitu."
Deismo mendengus. Kembali dia mencoba menghancurkan pintu. Ditendang, di pukul, di dobrak, tak ada yang berhasil.
"BLAM!" Bola ketiga. Jatuh tepat di tempat pertama mereka bertemu.
Deismo segera menyobek jubah putihnya. Dia meniup jubah itu yang langsung berubah menjadi menjadi…. Bola cahaya?
"Apaan tuh?" Tanya Ucup.
Deismo tidak menjawab. Dia kembali mencoba merusak pintu.
"Ucup menjauhlah. Pergi ke samping. Menempel lah di tembok itu." Deismo menunjuk ke sebuah dinding. Ucup langsung pergi mengikuti apa yang Deismo perintahkan.
Deismo memegang pintu itu. Seketika dinding dan pintu disekitarnya membeku. Sedetik kemudian dinding yang membeku itu melehkan esnya, memerah dan mengeluarkan hawa panas. Namun tak membuat dinding itu hancur. Tetap kokoh seperti sedia kala.
Ucup kembali berlari mendekati Deismo.
"Apa itu?"
"Thermokenesis. Aku dapat mengendalikan panas dan dingin secara bersamaan. Aku mengambil energy nya dari lingkungan sekitar. Itu mengapa aku menyuruhmu menjauh."
Bola cahaya yang diciptakan Deismo menghilang. Ucup keheranan melihat bola itu memudar dan hilang.
"Itu kloningan diriku."
"Klon..Kloning? Apaan itu?"
"Itu…."
"BLAM!" Bola keempat jatuh. Kurang dari 15 menit mereka di dalam.
Ucup mundur beberapa langkah dan segera menyaunkan kecrekannya ke arah pintu. Dan sekejap kemudian tubuhnya terlempar cukup jauh. Dia berdiri dan berlari kembali menuju pintu.
"Kau…kenapa?"
"Aku membuat gelombang dengan kecrekanku. Dan… gelombangnya memantul kearahku. Aku akan mencobanya sekali lagi."
Ucup mengayunkan kembali kecrekannya. Kini sedikt menyamping agar tidak kembali pada dirinya. Namun gagal dan gelombang memantul kesana kemari hingga melemah dan hilang. Sekali lagi dia mencoba dan tetap gagal. Percobaan ketiga tak ada perubahan. Walau dia memperkuat gelombang ciptaannya. Dan ketika gelombang itu melemah, gelombang itu menuju Deismo dan menjatuhkan tudung jubahnya. Ucup mendongak dan melihat bola cahaya yang sama seperti apa yang tadi Deismo ciptakan.
"Kau… Kau melihat wajahku." Suara Deismo bergetar.
"AAAAAARRRGGHHHHTTT…."
Deismo berteriak. Dilemparnya jubah yang dia pakai. Dan tiba-tiba dia hilang dari pandangan.
"Gyaaaa" Ucup tiba-tiba terlempar di udara. Dan saat tubuhnya akan menuju tanah, dia terpanting jauh. Seperti terkena pukulan tongkat baseball.
Ucup menabrak dinding. Tubuhnya serasa remuk. Dinding di sampingnya terkoyak, menciptakan bekas cakaran. Sekali lagi, Ucup terpelanting jauh.
"BLAM!" bola kelima jatuh.
"Deismo……!" Ucup berteriak. Tubuhnya memeluk tanah. Sesuatu menghimpitnya. Sakit, sesak, tulangnya hampir remuk. Dia berusaha mengambil kecrekannya dan memainkannya dengan tangannya yang terbebas dari himpitan. Musik pun mengalun indah.
"Persahabatan bagai kepompong…
……..
Merubah ulat menjadi kupu-kupu…
……..
Persahabatan bagai kepompong…
…….
Hal yang tak mudah berubah jadi indah…"
Ucup mencoba bernyanyi mengikuti alunan musik dari kecrekannya walau sulit baginya mengeluarkan suara. Dia tak berhenti bernyanyi hingga perlahan dia merasakan himpitannya berkurang dan akhirnya menghilang. Dia mendengar seseorang menangis.
Bola bola cahaya yang sempat dia lihat muncul kembali.
"Maafkan aku Ucup…Semenjak aku menjadi percobaan eksperimen itu aku menjadi seperti ini. Tak terlihat bagai hantu. Aku… aku…. Maaf… nyanyianmu mengingatkanku akan teman-temanku. Mareka selalu tertawa bahagia seperti dirinya saat bernyanyi. Kau…. Maafkan aku…"
"Ucup juga punya teman deket. Kita berempat suka ngamen bersama. Hasilnya kita bagi empat. Kita gak bakal berhenti ngamen sampai kita berempat bias kasih uang setor ke preman. Ucup sayang sama mereka. Tanpa mereka Ucup tak bias hidup. Apalagi ibu pergi gak tau dimana. Di dunia ini juga Ucup punya teman, Ada Lucia dan Colette, malah Colette udah Ucup anggap kakak. Dan sekarang nambah Deismo juga. Jadi Deismo jangan sedih ya…"
"BLAM!" bola keenam jatuh.
Ucup merasakan tubuhnya terciprat sesuatu. Kenyal dan tak terlihat. Tiga buah bola cahaya menggelinding dan berhenti di depan kepalanya, lalu padam. Seketika pintu yang tadi dilaluinya terbuka.
"Ti…tidak, DEISMO…….!"
Weh, sama kayak Nim. Formatnya ancur juga ya?
ReplyDeleteKarena ga ada kabar dari penulis Deismo, kemungkinan besar Ucup maju nih. Maaf, baca entri ini saya tunda dulu sampe kepastian semua entri keluar
Tapi seandainya emang Deismo WO, selamat Ucup pasti maju ke babak selanjutnya
Daaan ternyata Deismo ga WO
DeleteKeluhan saya masih sama kayak entri Ucup sebelum"nya, keliatan banget kesan buru" dan asal jadi. Mungkin emang karena dikejar waktu saya maklum, tapi karena dua ronde begini, saya jadi ga nemu sampel pertarungan yang 'bener' dari Ucup, alhasil lebih prefer lawan yang maju karena lebih potensial ngebawa pertarungan yang menarik
Shared score dari impression K-16 : 7,1
Polarization -/+ 0,7
Karena saya lebih suka entri Deismo, jadi entri ini saya kasih -0,7
Final score : 6,4
Moi sebel dikatain panuan! Hih! Oochoop ga boleh ngomong gitu #jewerUcup
ReplyDeleteCanon ini emang ga bisa dikatakan canon battle sih karena battle nya minim sekali. Being said that, Oochoop juga bukan type petarung jadi memang lebih mengandalkan sifat dan karakterisasi. He's still adorable, beberapa adegan cukup menggelitik. Tapi author moi tidka tahu apakah dengan adorable saja sudah cukup.
6 dari author moi.
Hm~~~ Seperti yang dikatakan dua penulis di atas, pertarungan Ucup kurang terasa. Saya suka bagaimana Ucup berteman, lalu menyadarkan Deismo, tapi saya lebih menyukai entrinya Deismo karena pertarungannya lebih menarik.
ReplyDeleteDari saya, nilai 7
dari rond 1, 2 dan 3 penulis memang tidak terlalu menonjolkan sisi pertarungan. Tapi dari rond 2 dan 3 saya lebih bisa menikmati rond 3 ini walau jujur terlalu singkat. Tp entah kenapa saya dibawa seolah untuk terus membaca cerita dari ucup ini.
ReplyDeleteMemang tak ada pertarungan sama sekali disini tapi saya menikmatinya karna ada sisi humornya sedikit. Apa lagi baik ucup dan deismo mememang 2 karakter yg tak ingin membunuh.
Tp jujur singkat banget ceritanya. Endingnya terlalu cepet.
Masih ada kesalahan ketik tapi sedikit. Seperti bias, dating, member komentar.
Nilai dari anak matematika
Sin45.v648
(Dibaca sin 45 derajat dikali akar 648)
sorry buat nilainya bukan itu. Tp ini sin45.v162 (dibaca sin 45 derajat dikali akar 162)
ReplyDeletesori, saya bego dalam matematika, jadi saya anulir
DeleteEntri ke-19…
ReplyDeleteOh.. ucup…
Dan lanjut.
Jujur, saya agak bingung untuk komentar soal ini kak. Awalnya, saya pikir ada potensi besar yg saya harapkan seiirng ronde berlangsung. Tapi, yg saya temukan di sini kesannya statis. Masa lalu yg menghantui ucup, masih menjadi tema di sini. tidak ada sesuatu yg baru yg ditampilkan di sini. kakak pasti sudah tahu analogi penggembala domba dan serigala bukan? Nah, kayak gitu impresi yg saya dapatkan ketika baca entri ini.
Untuk battle, masih terasa datar. Narasi juga. Kedepannya mungkin bisa diperbaiki lagi.
Poin plusnya, saya bener2 suka ama Bahasa sunda yg dipake di sini. di tengah kemajuan zaman dan semakin tersisihnya Bahasa daerah dalam penulisan sastra popular, saya bener2 apresiasi ini. sungguh kak, saya standing applause.
Untuk nilai, saya ngasih: 6.5
Semangat kak :3
:*
ReplyDelete