Pages

June 4, 2014

[ROUND 3 - K2] REEH AL SAHR'A - TIRAI PERTARUNGAN

[Round 3-K2] Reeh Al Sahr'a vs Ursario
"Tirai Pertarungan"

Written by Epicu Fail

--- 

Reeh Al Sahr'a, pria yang duduk termenung memperhatikan bagaimana Thurqk melenyapkan jiwa-jiwa petarung. Kerut nampak di dahinya kala ia tenggelam dalam runut pemikiran. Mengapa mereka yang mati dalam pertarungan bisa mati kembali di tangan sang dewa merah? Sehingga, apa akan ada artinya, jika pertarungan babak sebelumnya berhasil ia lewati tanpa pertumpahan darah? Jadi apa sesungguhnya ia coba perjuangkan?

Ursario, sosok boneka beruang dengan kepribadian yang jauh lebih mematikan ketimbang penampilannya. Ia berdecak menyaksikan bagaimana sebelas peserta binasa di tangan Thurqk. "Dasar petarung-petarung lemah! Baru ronde dua saja sudah kalah."

Namun kenyataannya timbul rasa iri di hati sang Ursa Demon. Seandainya ia yang menghabisi petarung-petarung itu, seberapa besarkah kemampuan yang akan ia dapat? Apa cukup untuk mengembalikannya sebagai Demonlord yang perkasa?

Reeh Al Sahr'a mengedarkan pandangan dari atas pohon Rachta. Semua menjadi mudah saat ia berada dalam posisi pengamat, bukan di keramaian. Melalui bisikan-bisikan yang dihantar angin, pria itu mengamati sebuah fenomena aneh : benturan ingatan. Kadang ada beberapa peserta yang bertarung dalam satu grup di babak selanjutnya, namun pengalaman yang mereka kisahkan tidaklah sama.

Itu pula yang terjadi antara Reeh dan Mba Irwin. Lucu sekali, gadis itu sama sekali tak mengenalnya saat mereka berpapasan usai pertarungan ronde satu – apabila ia mengabaikan fakta mustahil bagaimana gadis itu masih bisa bernafas sehat wal'afiat.

Trik apa yang sedang Thurqk mainkan?

Tiba-tiba hawa dingin menyergap tengkuk Reeh, membuat seluruh kuduknya berdiri. Ia baru saja tiba pada sebuah kesimpulan yang tak ia harapkan. Siapa pun Thurqk, makhluk itu memiliki kuasa. Melalui persepsinya, hidup – mati bukanlah masalah serius. Menjadikan ajang berdarah ini sebagai hiburan sama sekali bukan sesuatu yang berada di luar komprehensinya.

Kalau sudah begitu, untuk apa lagi melawan?

Bahkan bisa jadi, satu-satunya jalan bagi pria itu menguak misteri ini adalah dengan mengikuti permainan sang dewa merah, agar setidaknya ia memiliki waktu lebih panjang untuk berpikir. Meski berat, meski bertentangan dengan idealisme, terkadang seorang pria harus menatap realita.


Ursario sempat menaruh curiga pada Thurqk. Ia mengira Luxa Demony ialah dalang di balik turnamen ini. Tapi anggaplah demikian adanya, bukankah itu berarti sang demon memberi makan lawannya sendiri? Buktinya, Ursario kerap bertambah kuat seiring dengan pertarungan yang dilalui.

Dan apa pun tujuan sang dewa merah, sama sekali tak bersebrangan dalam misinya menghimpun kekuatan.

Kalau sudah begitu, apa ada alasan untuk menolak bertarung?

Bahkan bisa jadi, ini adalah jalan yang diberikan – entah oleh siapa – untuk mengembalikan kejayaannya sebagai Ursa Demonlord, juga sebagai Demon Overlord. Meski berat, meski penuh pengorbanan, demon sejati harus bisa melaluinya.


Dari dua tempat yang berbeda, kedua petarung itu seolah tak memiliki hubungan, terfokus dengan tujuannya masing-masing. Tak ada yang sadar jika benang takdir telah mengikat mereka dalam satu pentas besar. Tidak, sampai nama mereka muncul sebagai peserta yang harus saling berhadapan di ronde ketiga ini.

***

Tiga puluh dua peserta masing-masing diantar satu Hvyt masuk ke dalam ruang bawah tanah. Mereka melewati lorong-lorong yang berbeda berdasarkan arena pertarungannya. Begitu sunyi, begitu senyap, dengan sumber pencahayaan berupa lampu minyak yang tergantung di langit-langit. Jalan yang mereka tempuh juga amat sempit, hanya muat dua orang secara berdampingan.

"Hvyt," suara Reeh menggema ketika menyebut malaikat merah di sebelahnya. "Katakan padaku, siapakah Ursario, petarung yang menjadi lawanku sekarang?"

Hvyt terdiam sejenak, menimbang apakah itu adalah informasi yang boleh ia beberkan pada peserta. Namun jika para petarung saling mengenal, bukankah pertarungannya akan jadi lebih menarik? Jika menarik, Thurqk Yang Maha Kuasa pun tidak akan bosan. Maka ia menjawab.

"Kalau kau mengira sosok dan tingkah lucunya itu menggemaskan, kau akan mati. Kalau kau mengira senapannya hanya pajangan, kau akan mati. Kalau kau mengira ia tak tega mematikanmu, kau salah besar."

Reeh menelan ludah mendengar penjabaran itu. Sudah tergambar jelas seperti apa makhluk yang akan ia hadapi nanti. "Bagaimana dengan kekuatannya?"

"Kau bisa melihatnya langsung sesaat lagi," kata Hvyt sebelum ia menghentikan langkah di depan pintu logam kusam. "Bunuh lawanmu dalam tiga puluh menit, atau kalian akan merasakan siksa pedih, tenggelam dalam ruang penuh air."


"Mohawky Demony, siapa lawanku selanjutnya, hah?!" tanya Ursario sambil menggigit lolipop.

"Reeh Al Sahr'a."

"Aku sudah tahu itu, buraaa!!! Apa yang dimasukkan Goddy Thurqkey ke kepalamu sebagai pengisi otak?!" geram Ursario sengit. "Yang kutanya, 'siapa' itu Flowery Turbany?!" lanjutnya dengan sedikit penekanan.

Sama sekali tak terpengaruh, Hvyt menjawab dengan wajah datar. "Dia adalah manusia yang selama dua ronde bicara besar tentang kedamaian, tapi lawan-lawannya selalu berakhir dalam kematian."

Ursa tersentak, lalu membetulkan posisi kacamata hitamnya. Ia tak yakin apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan orang semacam itu.

Di mulut berkata tentang kedamaian, namun kematian mengelilingnya. Apa ia seorang munafik? Tapi mungkin juga ia adalah orang bodoh yang tak bisa membedakan mana damai mana perang. Namun, sudah menjadi rahasia umum apabila kedamaian seringkali didapat melalui pertempuran penuh darah.

"Jadi yang mana kah kau, Flowery Turbany?" tanya Ursario hampir pada dirinya sendiri.

"Kita sampai!" Hvyt berhenti di depan sebuah pintu logam kusam. "Bunuh lawanmu dalam tiga puluh menit, atau kalian akan merasakan siksa pedih, tenggelam dalam ruang penuh air."


Reeh melangkah maju dan mendorong pintu logam di hadapannya. Agak kaku, sampai terdengar suara derit dari engsel yang berkarat. Kehitaman langsung merebak dari celah yang perlahan terbuka.

"Beri pertunjukan semenarik mungkin."

Pria itu tak menyahut, hanya fokus pada ada yang akan menanti di dalam ruangan itu.


Ursario melangkah maju dan mendorong pintu logam di hadapannya...

"Mo... Mohawky Turbany..." katanya ragu dengan dua tangan menempel pada daun pintu. "Bu... Bukakan pintunya!"

Tanpa banyak protes sang malaikat merah maju untuk mendorong pintu logam. Terdengar suara derit yang memilukan hati. Kehitaman pun merebak dari celah yang perlahan terbuka.

"Bukannya aku tidak kuat, bura! Engselnya pasti sudah karatan!" omel sang Ursa Demon seraya masuk begitu saja. Ia melempar sisa lolipop ke lantai. "Ini pasti ulah Luxa Demony agar aku kehabisan tenaga sebelum bertarung!"


Maka kedua petarung memasuki arena yang gelap. Saat pintu tertutup di belakang mereka, semuanya menjadi hitam pekat. Hanya bau tanah basah di udara yang bisa tertangkap oleh indera penciuman. Juga, suara langkah kaki satu sama lain.

***

Perlahan-lahan pelita nampak dari tengah ruangan. Diawali satu titik cahaya, lalu membesar sebagai kobaran api dalam balutan kaca yang menggantung di langit-langit. Sinarnya menerangi seisi ruangan, menampilkan ruang persegi berukuran tak besar tapi tak kecil – sekitar 10x10 meter. Lubang-lubang kecil tampak berderet di permukaan lantai.

Sementara di ujung ruangan, adalah Ursario sang Ursa Demon.

Sementara di ujung ruangan, adalah Reeh Al Sahr'a sang Angin Gurun.

Keduanya berdiri dalam diam, menatap satu sama lain. Tidak ada yang perlu dikatakan. Saling mempelajari, saling menangkap impresi yang ditunjukkan satu sama lain, jauh lebih penting daripada bertukar kata tanpa arti.

Reeh terfokus mengamati tiap senti tubuh Ursario. Tubuhnya memang terbuat dari jahitan boneka beruang yang sekilas nampak lucu. Namun, ekspresi yang ia buat sama sekali tak memperlihatkan kepolosan. Dari balik kacamata hitamnya, adalah mata yang terbiasa menatap pembantaian dan darah. Pengalaman bertarung selama bermilenia tergambar jelas dari postur, gerak-gerik, juga aura yang dipancarkan. Benar kata Hvyt, meremehkan makhluk itu sama saja melambai pada kematian.

Ursa menahan nafas – apabila ia masih memiliki paru-paru. Ia melupakan sejenak berbagai persepsi dan spekulasi yang ia buat sebelum ini. Yang jelas, berdiri di hadapannya seorang pria yang telah tertempa dalam berbagai pertempuran. Pria itu sama sekali tak terlihat meremehkan sosok kecilnya, tapi juga tak tertelan dalam rasa takut. Apalagi kalau bukan sebukit pengalaman yang menempa sikap macam itu.

Tanpa sadar keduanya saling memuji lawan masing-masing dalam hati. Itu karena mereka saling mengakui. Dan karena itu, mereka tidak berniat untuk menurunkan kewaspadaan barang sedikit pun.

Ronde ini berlangsung di ruang sempit dengan waktu terbatas. Tak diragukan, pertarungan intensif akan terjadi dalam skala mikro, di mana variabel sekecil apa pun sangat mempengaruhi hasil akhirnya. Meleset beberapa mili saja, atau terlambat meski cuma sedetik, semua akan berakibat fatal. Fokus menjadi faktor utama yang amat menentukan.

Masih diam, kedua petarung mulai berusaha membaca pergerakan masing-masing.

Reeh melihat senapan yang dijinjing Ursario. Kecil, namun menebar teror. Celakanya angin tak terlalu memiliki kuasa di dalam ruang tertutup seperti ini. Begitu sang demon menarik benda itu, ia harus bergerak cepat.

Ursario melihat pedang yang tersarung di pinggang Reeh. Memang hanya pedang. Meski hanya pedang. Tapi sejauh apa pergerakan yang bisa pria itu lakukan dengan pedangnya? Salah perkiraan tentu tidak akan menyenangkan. Namun ia juga tak akan pernah tahu sebelum mencoba. Sehingga, ia segera menggerakkan kedua tangan yang sudah bersiap semenjak tadi.

Serangan pertama dimulai. Reeh melihat Ursario meraih senapannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sang demon mengokang, membidik, lalu menarik pelatuk. Semua dilakukan dalam waktu tak lebih dari satu detik. Letusan pun pecah ke udara.

Namun sang angin gurun tak kalah cepat. Begitu Ursario meraih senapan, seketika itu pula ia meraih gagang pedang. Dibantu sedikit angin yang masih bertiup, ia menarik pedangnya dengan mulus. Ia mengayunkan benda itu sehingga bilahnya tepat membelah peluru yang datang menjadi dua bagian.

Melintas keterkejutan di wajah Ursario. Rahangnya sedikit terbuka menampakkan epspresi itu. Tapi sebenarnya tak ada yang perlu dipertanyakan. Itu karena dari caranya bergerak, Reeh tahu jika Ursario adalah penembak ulung. Dan seorang penembak ulung cenderung berusaha menjatuhkan lawan dengan sekali tembak. Maka sasarannya menjadi jelas – kepala atau dada kiri tempat jantung berdetak. Namun tubuh kecil sang demon menyulitkannya mengenai area sempit, sehingga niatnya mengincar dada kiri terbaca sangat jelas seperti hitam di atas putih. Yang tersisa hanyalah mengayunkan pedang ke mana peluru melaju.

Reeh langsung membuat tolakan ke depan. Dari tembakan pertama ia tahu jika senapan Ursario perlu dikokang sebelum ditembakkan. Meski sebentar, jeda itu sudah cukup baginya untuk memperkecil jarak.

Saat Ursario kembali membidik, Reeh sudah berada tepat di hadapannya. Pria itu menepis batang senapan dengan tangan kiri hingga senjata itu meletus ke arah yang salah. Lalu sebuah pedang lengkung terangkat, bersiap untuk mencabut nyawa. Namun salah jika mengira semua akan selesai begitu saja. Sang Ursa Demon masih memiliki Mossak Manggale, seni bela diri legendaris yang ditemurunkan di tanah Batak.

Ursario memutar tubuh memunggungi Reeh lalu berguling ke belakang tepat melalui bawah kaki pria itu. Sabetan pedang lengkung sang angin gurun pun berakhir membelah udara kosong.

Lalu Ursa berhenti, bangkit dalam posisi setengah berlutut, mengokang senapannya, dan membidik punggung kiri Reeh. Saat ia menarik pelatuk, suara letusan yang memekakkan telinga kembali terdengar.

Namun lagi-lagi gerakan itu terbaca. Sang pengembara menjatuhkan dirinya sendiri dengan tangan kiri sebagai tumpuan. Ia membalik badannya lalu melancarkan tebasan hirozontal pada Ursario yang hanya berjarak satu meter jauhnya. Beruang itu pun melintangkan senapan secara vertikal. Api terpercik ketika bilah pedang bertemu batang senapan.

Reeh menarik pedangnya, kemudian melepas sabetan-sabetan berikutnya sebelum Ursario sempat mengokang senjatanya. Tapi yang sulit ia percaya, tubuh kecil sang Ursa Demon tidak terhempas tiap kali menangkis serangan tajam yang dipadu padan dengan dorongan angin. Bagaimana bisa?!

Jawabannya ada pada Mossak Manggale.

Sejatinya Mossak adalah seni bela diri tangan kosong. Selama puluhan generasi, para praktisi Mossak dapat membuat musuh-musuh bersenjata lengkap sekali pun bertekuk lutut. Mereka juga bisa menaklukkan pedang menggunakan sebatang kayu. Rahasianya adalah bagaimana mereka melakukan puntiran pada kayu tepat sebelum benturan dari pedang tiba. Puntiran itu akan merubah arah hantaman sehingga bisa memantulkannya tanpa butuh energi berlebih. Teknik ini lah yang sekarang sedang diterapkan Ursario.

Reeh ingin berhenti untuk mengatur ulang strategi. Tapi itu berarti ia akan memberi kesempatan bagi sang demon untuk mengokang senapan dan melepas tembakan. Pria itu pun memutuskan untuk terus menyerang, sambil menanti sebuah celah terbuka.

Namun faktanya, Ursario mulai kewalahan. Tubuh kecilnya tidak didesain untuk pertarungan intensif pada jarak dekat. Kalau tidak, memangnya karena apa ia memilih senapan sebagai senjata?

Sedikit demi sedikit ia makin tertekan. Ia terus  terdorong mundur. Awalnya ia menanti celah untuk melakukan serangan balik, sebelum akhirnya ia menyadari, dirinya sudah nyaris terjepit. Dari balik badan Reeh ia bisa melihat sisi-sisi dinding lain begitu jauh, yang berarti sedikit lagi punggungnya menyentuh dinding. Jika tak melakukan sesuatu, habislah ia.

Sedikit lagi, pikir Reeh. Ia berhasil menekan Ursario hingga ke dinding. Begitu terjebak di antara dinding dan dirinya, maka sang demon tak akan punya banyak kesempatan untuk melawan. Pria itu pun makin meningkatkan intensitas serangan. Ia juga memanfaatkan aliran angin di ruangan itu hingga seoptimum mungkin. Habislah Ursario.

Tapi tiba-tiba sang demon membuka rahangnya lebar-lebar. Dari sana, keluar gelombang raungan dahsyat yang memekakkan telinga. Dalam sekejap bulu kuduk di sekujur tubuh Reeh merinding, ketika sel DNA nya teringat akan raungan makhluk-makhluk prasejarah yang selama bermilenia memburu umat manusia.

Sontak pria itu mengatur aliran angin di sekitar telinganya untuk membelokkan suara raungan Ursario. Namun seperti yang mereka sama-sama tahu, kehilangan fokus sesaat bisa berakibat fatal. Sang demon memanfaatkan kelengahan Reeh untuk melepas sebuah sihir berbahaya. Ia menukar sejumlah energi jiwa dengan kekuatan maha dashyat yang dulu pernah memporak-porandakan Netherworld Neda.

Cahaya biru menutupi tubuh Ursario. Bulu-bulunya memutih, sedang tubuhnya membesar. Otot-otot kekar terbentuk di lengan boneka yang seharusnya tak berotot. Ketika kacamata hitamnya terlepas, sepasang mata merah tampak memancarkan amarah. Bersama dengan segala perubahan itu, hawa dingin menerjang keras.

Spontan Reeh melompat mundur. Ia membuat jarak sejauh mungkin. Instingnya berkata, bahwa makhluk di depannya sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Beruang putih ini lebih kuat juga brutal.

Lalu Ursario mengaum menandakan suatu kebangkitan. Seperti sihir, tiba-tiba salju, angin, dan hawa dingin berhembus dari tubuhnya ke seluruh penjuru ruang.

Tidak mungkin.

Dingin yang menusuk membuat sekujur tubuh Reeh kaku. Angin ribut menahan pergerakannya. Salju yang beterbangan menutup jarak pandang, juga memadat di kakinya.

Tidak mungkin...

Ursa berlari ke arah sang angin gurun yang kesulitan beranjak. Kedua tangannya direntangkan seperti sayap, cakar-cakarnya mencuat bagaikan pisau. Matanya begitu lapar, dan rahang yang seluruhnya dipenuhi taring terbuka lebar. Begitu jarak di antara mereka sudah tipis, ia melompat selayaknya binatang buas.

Reeh memejamkan kedua matanya.

Tidak mungkin ada angin di tempat ini.

Tiba-tiba angin berhembus keras, namun bukannya menahan Reeh. Angin menghantam Ursario yang baru saja melompat ke udara. Beruang itu pun terhempas, kemudian jatuh terguling. Saat ia mencoba bangkit, tatapannya bingung. Ia tak mengerti apa yang baru saja menimpanya. Tapi melihat Reeh yang masih berdiri diam, ia kembali menerjang.

Sekali lagi angin kencang menghempas ke arahnya. Bersama dengan itu dingin dan salju ikut mengurungnya. Tidak butuh waktu lama hingga kedua kakinya mulai terkubur dalam timbunan salju.

Dan, makhluk itu masih tak mengerti. Ia tak bisa memahami, bahwa bisa saja ia menciptakan angin, karena entitas itu hanya akan mendengar bisikan dari satu orang.

Reeh.

Sekarang pria itu yang melesat dengan pedang teracung. Ursario hanya bisa berdiri diam. Kemurkaan terpancar jelas dari matanya. Apa semua cukup sampai di sini?

Tidak!

Masih ada banyak yang harus ia lakukan. Masih ada dendam yang belum terbalas. Masih ada ribuan rakyatnya yang menunggu ia kembali bersama kebangkitan Ursa Demon. Ia tak boleh berhenti hanya sampai di sini.

Ursario membelah angin, salju, dan dingin dengan raungannya. Ia menunjukkan siapa yang berkuasa seharusnya. Ia menerjang tepat sesaat sebelum pedang Reeh mendarat di lehernya. Ia menepis bilah logam itu dengan cakar. Suara berdentang segera tertelan badai.

Reeh melompat, berputar di udara, melakukan manuver sebelum menyerang melalui sebuah titik buta. Namun insting dan pendengaran Ursario tak tertandingi. Ia menghindar tanpa menoleh, lalu melancarkan serangan balik yang diisi oleh amarah dan harapan. Berhasil, serangan itu mengoyak pinggang kiri sang angin gurun.

Tapi Ursa Demon sama sekali belum puas. Ia kembali memburu Reeh yang masih belum berdiri seimbang. Serangan demi cakaran pun dilancarkan tiada henti. Kecepatannya di luar batas kewajaran hingga sang angin gurun hanya bisa menangkis dua atau tiga kali sebelum serangan berikutnya mengena.

Nafas Reeh makin memburu. Tangannya mulai mati rasa. Dingin.

Namun pria itu yakin masih ada harapan. Walau tak bisa dilihat sekilas, sebenarnya pergerakan Ursario terus menurun. Mungkin karena angin yang terus menahannya, atau energi yang terkuras oleh amukan. Yang mana pun itu, akhirnya terbukti.

Seiring waktu berlalu, bulu-bulu Ursario berubah coklat. Tubuh dan ototnya mengecil. Angin berhenti bertiup. Hanya dingin dan sisa-sisa salju yang tersisa di permukaan lantai.

Ursario terengah-engah dengan mata melotot. Tubuhnya tampak bergetar, namun ia menolak untuk roboh.

Di sisi lain, Reeh jatuh setengah berlutut. Darah mengalir dari luka-lukanya. Salju di bawah kakinya pun menjadi merah. Meski begitu pedang masih tergenggam erat. Tatapannya pun masih tajam terpatri pada Ursario.

Tanpa kata, mereka bertukar pikiran. Seperti ungkapan pepatah, bahwasanya kadang sebuah tinju berbicara lebih banyak daripada seribu bait kata. Mereka saling mengerti, jika pertarungan ini akan segera mencapai puncaknya. Satu keluar sebagai pemenang, satu tertinggal sebagai mayat. Dan, mereka bisa menjadi yang mana saja.

Reeh terluka parah, sulit baginya untuk bertahan. Namun Ursa tak boleh lengah. Roda pertarungan bisa bergulir melalui jalan yang tak pernah diduga siapa pun.

Reeh terus memutar otak, memikirkan bagaimana cara selamat dari semua ini. Tapi awan kelam seperti menutupi kepalanya. Gigi pria itu bergemeletak kala tak kunjung menemukan celah. Angin sudah berhenti bertiup, sementara Ursario masih berdiri tegak.

Tapi ia tak ingin mati di sini.

Masih ada misteri yang harus ia kuak. Pantaskah kematian peserta-peserta yang telah mendahuluinya? Apakah alasan tragedi ini hanya sekedar permainan, untuk memuaskan Thurqk?

Tangan kiri Reeh mengepal, dan tanpa sadar ia meninju lantai.

Pyak.

Apa itu? Ia mendengar suara riak air disertai sensasi basah. Apa itu salju yang mencair? Tapi tak mungkin salju mencair secepat itu.

Dengan hati-hati pria itu membagi pandangannya ke bawah. Ternyata, entah sejak kapan, air sudah menggenang. Mungkin masuk melalui lubang-lubang kecil di lantai. Ia tak sadar karena terlalu fokus pada pertarungan. Segera ia teringat ucapan Hvyt sebelumnya.

"Kurasa kita harus segera mengakhiri ini," adalah kalimat pertama yang diucapkan sejak pertarungan dimulai. Reeh khawatir mungkin Ursario juga tak menyadari kehadiran air yang akan menenggelamkan ruangan. "Hei... Kau bisa mendengarku?" katanya menambahkan.

Tapi Ursario tak menjawab. Nafasnya tersengal-sengal. Dadanya kembang kempis. Matanya masih terbelalak lebar.

"Ursario!" teriak Reeh dengan segenap nafas.

Barulah, sang Ursa Demon tersentak. Kedua alisnya sedikit terangkat. "Apa?! Flowery Turbanny!"

Reeh terperangah. Beruang di depannya bukan diam karena terpaku pada fokus. Justru, beruang di depannya telah kehilangan fokus. Dan mungkin, indra pertarungannya juga sudah menumpul.

Masih ada harapan.

Disertai erangan, Reeh berusaha bangkit, lalu melempar pedangnya ke langit-langit. Ursario lekas meraih senapan untuk menembak, tapi berhenti setelah melihat pedang yang melesat bukan ke arahnya. Sesuai dugaan pria itu, insting sang Ursa Demon sudah mengendur.

Sementara pedang Reeh, melesat ke atas dan menghantam lampu minyak di langit-langit. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu pun padam. Kegelepan pekat menyelimuti seketika itu juga.

"Flowery Turbanny! Apa maksudmu?!" teriakan Ursa menggema dalam kegelapan. Genggamannya pada senapan menegang. "Ini trik murahan Luxa Demony!"

"Aku bukan Luxa Demony!"

Reeh menjawab, dan memang itu yang diharapkan Ursario. Tanpa berpikir lagi, ia menarik pelatuk ke arah sumber suara barusan. Percikan cahaya letusan senapan pun menjadi pelita sekejap. Namun, sama sekali tak terlihat siluet sang angin gurun, bahkan setelah gelap kembali merajalela.

"Aku di sini!"

Ursario berbalik, mengokang, menembak, tapi lagi-lagi Reeh tak terlihat di tempat yang seharusnya merupakan sumber suara.

"Flowery Turbanny! Di mana kau?!" teriak Ursa mulai kalap.

Sang Ursa Demon hanya tidak tahu, jika Reeh menggunakan angin untuk membelokkan suaranya, lalu mengirim pada beruang itu melalui arah yang salah. Pikiran yang tidak fokus, pendengaran yang mengendur, menjadi faktor lain yang membuat rencana itu berjalan makin mulus. Sang demon kerap berputar dan menembak tanpa tahu lawannya telah berhasil meraih pedang yang tergeletak di atas tumpukan salju.

Lalu Ursario memutuskan untuk mengandalkan penciuman, yang sayangnya juga sudah dikendalikan oleh sang angin. Angin meniup bau Reeh secara acak hingga mengaburkan keberadaan pria itu.

Kemudian timah panas tak keluar lagi dari senapan meski pelatuknya sudah ditarik. Ursario yang kalap telah salah perhitungan pada jumlah pelurunya. Ia perlu segera mengisi ulang. Tapi nampaknya ia tak akan pernah mendapat kesempatan itu.

Reeh yang semenjak tadi menari dalam kegelapan kini melesat ke arah Ursario. Angin sendiri yang mengabarkan posisi sang Ursa Demon. Pedang lengkungnya terangkat tinggi, lalu ditebaskan secara vertikal.

Tanpa suara kepala Ursario terlepas dari tubuhnya. Ironisnya sang Ursa Demon sama sekali tak tahu kapan, dari mana, dan bagaimana ajal menjemputnya. Sedetik kemudian, setelah tubuhnya jatuh menghantam permukaan lantai bersalju, ratusan jiwa melesak keluar dari balik resleting. Mereka menjerit-jerit, menyanyikan kebebasan yang telah lama ditunggu.

Setelahnya adalah kesunyian. Pertarungan telah berakhir. Reeh menghela nafas lega. Mungkin sejak awal ia memang harus membunuh Ursario. Terlepas dari permainan Thurqk, kematian makhluk telah membebaskan jiwa-jiwa yang menderita. Tapi, apa alasan yang sama akan berlaku sebagai pembenaran ketika ia melanjutkan turnamen ini?

Kelihatannya, untuk saat ini yang paling baik adalah menjalaninya saja.

Lalu sebuah pintu terbuka, membawa masuk cahaya ke ruangan yang gelap gulita. Hvyt berdiri di sana, menanti untuk membawa Reeh kembali ke permukaan.

21 comments:

  1. Battle Epic
    EYD Bagus
    Typo Lumayan
    Nilai= 8,5

    Stella Opinion:
    Huh, tak ada darah-darahannya? Padahal aku ingin ada yang berdarah disini!
    Kau angin ya? Tak usah kau tanyakan, apakah aku akan menambahkan nilai atau mengurangi nilaimu.
    Namun dengan berat hati, aku tak melakukan apapun untukmu!

    Efek=0
    Total Nilai=8,5

    ReplyDelete
    Replies
    1. A-ada koq darah-darahannya... tapi kayaknya terselip di antara paragraf jadi ga kebaca ya.

      Makasih reviewnya.

      Delete
  2. Uwaaaah, Ursa tewas dengan begitu unyu (??)

    Baru kali ini baca story beruang imut itu dibully hingga tak berdaya XD
    Caramu menaikan tense sebelum bertarung itu keren, masing-masing lawan terdiam memandang seraya mengagumi satu sama lain. Serasa duel mortal kombat ini.. :D

    Point : 7

    Seperti biasa ane suka dengan style narasimu, tapi battle yang terlalu cepat dengan paragraf penuh action menyulitkan pikiran ane dalam visualisasi-nya.
    -,-a

    ReplyDelete
    Replies
    1. Battle nya masi kecepatan gan? Padahal uda ane panjang-panjangin alur pertarungannya gan. Emang perlu jeda ya jangan full berantem terus-terusan.

      Makasih reviewnya gan.

      Delete
  3. A full course battle! *Tepuk tangan*

    seperti komen di atas, pertarunganna sungguh cepat tapi masih bisa di ikuti, walau ada beberapa bagian yang sulit buat di visualisasi, tapi pertarungan dalam kegelapan benar2 taktik yang jadul tapi tetap efektif.

    Padahal Ursa udah pakai full power tapi di sini rasanya Reeh dapet advantage banget sampai gak ada setetes pun darah yang jatuh, kalau ursa sih wajar soalnya dia emang boneka beruang...

    itu aja, narasinya masih enak buat di baca dan deskripsinya juga pas, nilai 7,5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi catatan, 'bagian yang sulit divisualisasi'.

      Ane juga baru nyadar pas nulis, Ursa kalo ngeluarin badai, otomatis jadi ada angin di ruang tertutup ^^ . Tapi ada koq darahnya, terselip di antara paragraf. Coba, kalau agan bisa menemukan ane kasi hadiah deh...

      Makasih reviewnya gan.

      Delete
  4. Full pack action, ini keren. Battlenya cepat, tapi tidak terkesan buru-buru.

    Ah, ada satu ganjalan di sini. Ada narasi yang seharusnya dapat menurunkan tempo setelah pertempuran dengan Ursa-Es, tapi kau gagal melakukannya. Bisa dilihat dari beberapa testimoni yang lain kalau mereka tidak membaca adegan darah, itu berarti mereka (saya termasuk) masih dalam tempo cepat membacanya sampai akhir.

    Itulah mengapa adegan Reeh berlutut sambil bercucuran darah jadi terlewat, narasi fast battlenya terbawa sampai sana~

    Score 8

    ReplyDelete
    Replies
    1. kayaknya emang gara-gara itu ya gan, temponya kecepetan ga terhenti jadi ga kerasa darahnya

      makasih reviewnya gan!

      Delete
  5. gw ketemu adegan luka berdarahnya.
    Tapi serius.

    Gwa gak suka narasi yang dipanjangin for the sake of lenght.
    dan saya menemukannya di sini bertaburan bagai bintang.

    majas-majas digunakan sebebas mungkin sampai kebablasan. padahal porsi aksinya cukup lumayan.

    6.0

    ReplyDelete
    Replies
    1. meluruskan gan, di sini ane ga manjangin narasi tapi manjangin alur pertarungan. karena di battle ane sebelumnya musuhnya cenderung kalah cepet. kalau narasi mah emang begitu adanya.

      makasih reviewya gan

      Delete
  6. Mungkin karena pada dasarnya saya pembaca yang setipe sama Ivan di atas, saya kurang bisa nikmatin entri yang isinya padat kayak gini. Ibarat makanan, ngunyahnya susah buat saya.

    Yang bisa saya pikirin ngeganjel itu terutama karena di awal" kesannya fokus dibagi rata antara Reeh sama Ursa. Tapi begitu masuk battle, ga ada lagi pemisah antar keduanya, dan mendadak saya disuguhin dengan full-packed action yang penuh isi tapi minim dialog.

    Kenapa minim dialog jadi poin minus buat saya? Karena rasanya jadi kayak makan tanpa lauk. Dipaksa terus cerna narasi yang disuguhin, saya bukan tipe yang bisa gitu. Tanpa perkenalan atau exchange sepanjang pertarungan, percakapan Reeh-Ursa menjelang akhir malah jadi kerasa aneh buat saya, ninggalin aftertaste yang ga terlalu berkesa di lidah.

    Tl;dr - entri ini agak datar buat saya

    Shared score dari impression K-2 : 7,7
    Polarization -/+ 0,8
    Karena saya lebih suka entri Ursa, jadi entri ini saya kasih -0,8

    Final score : 6,9

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitu ya gan. Kalau pikiran ane tu tadinya mau kayak pertarungan di film-film aksi, ketemu, terus berantem tanpa sempet ngobrol. Sementara percakapan di akhir itu juga jadi bagian dari teknik pertarungan : Ursa berusaha cari tahu lokasi Reeh, Reeh berusaha memperdaya pakai suara.

      Makasih gan reviewnya!

      Delete
  7. Anonymous12/6/14 08:56

    Po:

    Menurutku untuk minusnya:

    - cerita besar tentang Reeh sendiri nggak terasa dieksplorasi. Latar belakang dan pengalaman Reeh di dunia kyk apa bisa lebih dimunculkan utk menambah keterkaitan sepanjang perjalanannya di pertarungan. Juga supaya pembaca tahu Reeh itu punya kisah apa di luar turnamen yang mempengaruhi pandangannya pas ngelawan Ursa.

    - Kemampuan angin Reeh secara konsep kurang berkembang dari R1 sampai skrg. Kesannya semua angin yg muncul dari siapa pun akan dirampas oleh Reeh, tapi secara mendasar ya nggak ada perubahan teknik pada Reeh.

    Dari dua poin ini, karakter Reeh biaa dikatakan nggak mengalami perkembangan berarti sepanjang 4fterlife sampai titik ini.

    Plusnya:

    - Pertarungannya terbayang jelas dan dinamis. Tembakan senapan yang sederhana dari Ursa pun dituturkan dengan mantap. Intensitas serangan dari masing2 petarung solid.

    - Gaya bahasa sangat khas dan puitis tapi tetap tidak mengurangi makna adegan yang ada. Banyak majas dan elaborasi jurus yang tergambar jelas.

    - Suasana tegang pertarungan hidup mati dibangun dengan sangat baik. Masing2 petarung seakan punya aura yang membuat pembaca merasa bahwa Reeh dan Ursa memang pantas disegani.

    Setelah ini semua, nilai dariku 8! (lebih 1 poin dari nilaiku ke Ursa)

    Iklan selingan: ditunggu kritiknya di tulisan R3 Lazu hehe XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener gan, ane sama sekali ga kefikiran untuk menceritakan masa lalu Reeh. Yang ane pikirin cuma pertarungan, pertarungan, pertarungannya aja. Bener-bener nilai minus.

      Gimana ya, bingung juga mau dikembangin kayak apa. Jadi ane cuma stick sama charsheet awal aja.

      Terima kasih gan reviewnya, entar ane coba mampir ke Lazu.

      Delete
  8. aku, personally prefer entry ini daripada entry ursa, mungkin karena lebih 'berat', dan bagiku itulah yg lebih menarik diikuti

    dan so called narasi yang dipanjang2in for the sake of length, buatku itu bukanlah narasi yg dipanjang2in bertaburan bintang, no, just no, that's not the point, man
    menurutku gaya bahasa author yg agak berat, dipenuhi majas itulah yg menurutku adalah kekuatan dasar dari sang author
    mungkin karena aku juga tipikal pengguna bahasa 'berat' jadi aku cukup menggemari gaya tulisan author

    soal battle scene, alih2 fast reading, gaya bahasa author malah membuatku membacanya secara perlahan, sehingga aku masih ingat bagaimana darah mengalir dari luka2 reeh

    soal reeh yg nggak ada development, aku tau kok rasanya sebagai newcomer, nggak tau apa yg bakal terjadi di BoR, sehingga kebingungan musti masukin OC macam apa, latar belakang gimana, dll
    (which is happened on me too)

    tapi bagiku bukanlah masa lalu reeh yang penting, tapi bagaimana dia mengungkap misteri yg ada di depannya, dan sudut pandang reeh yang penuh tanya dan rasa ingin tahu itulah yg membuat reeh (sebagai karakter) menarik utk diikuti

    saran dariku : teruskanlah narasi bertabur bintang - so called dipanjang2in for the sake of the length
    bagiku disana titik fokusnya, sebuah grip yang membuat pembaca bisa memanjat menuju titik akhir cerita
    dan alih2 membangun grip yang mudah, author sendiri membangun grip panjatan yang cukup rumit dan penuh pertanyaan
    nggak semua pemanjat suka emang, tapi buat pemanjat dgn genre beda kayak aku, sure of course!

    semoga reeh bisa menemukan jawaban dari segala pertanyaan di benaknya
    kalaupun dia nggak bisa melanjutkan ronde berikutnya, aku harap ada orang yang bisa menjawab pertanyaan itu di akhir :'D

    dariku 9.5/10 (lebih 1.5 dari nilaiku ke ursa)

    ReplyDelete
    Replies
    1. soal full action packed tanpa dialog
      well, aku sendiri prefer battle yg seperti itu (yang didominasi inner thought ketimbang dialog)
      aku sendiri tipikal penulis yang inner thought > dialog, dan sebisa mungkin menimalisir penggunaan dialog dan memfokuskan pada narasi dan inner thought para karakter

      ini soal preference aja sih..

      Delete
    2. wait kenapa komen yg isi nilai saya ilaanng!!!!!!
      tadi padahal udah ke-pos kok

      ini blogspot kayaknya sering glitch deh :v
      <- sering kehilangan post
      >tapi biasanya balik sih lagi beberapa hari

      semoga aja post dgn nilainya balik lagi, klo nggak..aku bakal nulis ulang lagi reviewnya

      Delete
  9. hmhmhm gw termasuk penggemar narasi yang seperti ini :3
    diksinya banyak dan menggunakan metafora yang ga lebay. but well, maybe some person would not like it :3

    di awal gw sempet agak kagok bacanya gara2 perpindahan persepsi karakternya ga pake penanda. maksudnya, gw prefer satu bagian itu jelasin soal Ursa, satu bagian lagi Reeh tanpa harus pindah2 lagi. hmmm mgkn istilahnya mereka punya sub chapter sendiri.

    bagian packed action-nya gw juga suka. soale diiringi analisis common sense yang kayaknya jarang dimasukin dalam cerita.

    nilai: 8

    ReplyDelete
  10. Entri kedua :3
    Well, kak. Full narasi tanpa dialog. Sebenernya, saya nggak ada masalah dengan pola penuturan seperti ini. tapi, yg saya sesalkan adalah konflik yang menjadi datar gara2 ini. salah satu kelebihan dialog adalah karakter bisa mengekspresikan hal2 yang ada dalam pikirannya secara langsung. Narasi yg sering didengung2kan dengan “showing” itu sejatinya tetap pelengkap, bumbu utamanya adalah dialog tadi. Ini yg saya rasa miss di sini kak.
    Satu lagi. Kenapa ursa tiba2 melemah? Saya mungkin paham kalau mereka harus berantem sampai mati dan kondisi ruangannya juga kayak gitu, tapi akan jauh lebih baik kalau dijelaskan kenapa (ex: menghantam dinding akibat tendangan keras, dsj). Itu akan lebih membuat pembaca paham.
    Selebihnya oke. Saya senang dengan pilihan diksi dari kakak.
    Untuk nilai, saya ngasih: 7.0
    Semangat kak :3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -