Pages

May 18, 2014

[ROUND 2 - URTH] ZACHARIAS EITHELONEN - STUPID HUMAN

[Round 2-Urth] Zacharias Eithelonen
"Stupid Human"
Written by Naer

---

Pemuda itu termenung lama, pikirannya melayang ke pemandangan beberapa saat lalu yang ditampilkan cermin ajaib raksasa kemerahan di langit Jagatha Vadhi. Ada Quin di sana, bersama dengan sepuluh orang lain yang tak ia kenal. Seingatnya Quin telah ia kalahkan di pertarungan sebelumnya dan telah Zach pastikan kalau lawannya sudah tidak bernapas.

Namun, Thurqk menghidupkan Quin kembali dengan begitu mudahnya seperti membalikkan telapak tangan. Begitu pula Primo Trovare yang ia lihat dengan ngeri, tengah berdiri di Jagatha Vadhi bersama dengannya. Ia yakin Petra Arcadia dan Lulu juga peserta di blok lain yang telah mati namun memuaskan Thurqk, dihidupkan kembali untuk menggenapkan seluruh peserta ronde selanjutnya menjadi empat puluh empat.

Hanya sebelas terbawah yang dimusnahkan Thurqk karena membosankan.

Ada beberapa saat Zach merasa begitu muak pada Thurqk karena mempertontonkan pemusnahan keji di depan peserta lain. Tapi Zach sadar kalau dirinya sama sekali tak punya hak untuk mengkritik Thurqk atas tindakannya terhadap sebelas orang itu. Karena ia juga telah membunuh salah satu dari mereka di pertarungan pertamanya untuk bertahan hidup.

Membunuh, untuk mendapatkan hasrat terpendamnya sebagai demon.

Semua orang yang terjebak dalam permainan kematian ini adalah kehendak Thurqk. Sekali lihat dan ia paham bagaimana mudahnya raga ini akan tercerai berai ketika berhadapan langsung dengan entitas yang mengaku dewa itu.

Ada segumpal ragu yang mengganjal, membuat dirinya benar-benar resah. Dewa, mungkinkah Thurkq benar-benar dewa? Adakah dewa yang begitu tidak ada kerjaan hingga mempermainkan nyawa makhluk ciptaannya untuk mengobati rasa bosan? Hanya akan tersisa satu orang sebagai pemenang. Apakah hasrat terpendamnya cukup kuat menjadi alasan untuk membunuh orang lain? Membuat mereka terlihat buruk di depan Thurqk hingga dewa merah itu memusnahkan mereka. Apa ini setimpal?

Zach tenggelam dalam lautan pertanyaan dan spekulasi, sebelum angin kencang yang cukup panas menepuk pelan pipinya hingga pemuda berambut hitam itu tersadar. Tersadar kalau sekarang ia tengah melayang hampir sejajar dengan awan merah. Terbang melintasi pesisir pantai dengan ombak merah keunguan bergulung-gulung ke tepi. Kedua tangannya bertumpu pada sebelah tangan Hvyt, tubuhnya naik turun dengan konstan di udara selaras dengan kepak sayap hitam Hvyt, rambut di keningnya bergerak liar diterpa angin panas karena kecepatan terbang mereka cukup tinggi. Transportasi yang tidak praktis memang, namun hal yang mengejutkan dari transportasi ganjil ini adalah kenyamanannya lebih baik ketimbang teleportasi antar realm.

Mereka terbang melintasi selat kecil, di bawahnya terdapat kumpulan pulau yang terlihat normal. Namun yang membuatnya terkesima beberapa jenak adalah pemandangan pulau-pulau yang berdekatan itu terlihat seperti tengkorak dari atas sini.

"Jadi... tidak ada instruksi khusus?" Akhirnya Zach memecah kesunyian antara dirinya dan Hvyt, sebagian besar alasannya untuk meredam keresahannya.

"Tidak."

"Oke."

"Tapi sebenarnya ada."

"Kau membuatnya menjadi rumit, Hvyt," Zach mendongak ke atas dengan tidak sabar, menatap wajah Hvyt yang sama sekali tidak menoleh padanya.

"Tuanku Yang Mulia Thurqk lupa menjelaskan teknis pertarungan karena ia terlanjur bosan setelah mengeksekusi sebelas peserta," ucap Hvyt dengan nada yang terdengar bangga untuk hal-hal yang tak patut dibanggakan, "intinya kau kembali ke tempat awal pendaratanmu di pulau yang akan kita tuju, setelah membunuh satu dari enam peserta lainnya untuk menang dengan batas waktu sepuluh jam."

Satu. Hanya satu dari enam.

Hanya?

Entah kenapa, Zach merasa kalau pertarungan ini tidak lebih sederhana daripada pertarungan sebelumnya. Zach menatap Hvyt dengan intens, mencoba menebak apa yang tengah dipikirkan makhluk merah itu.

"Kurasa ini akan mudah, eh?" Pancingnya.

"Bermimpilah," tukas Hvyt datar, "peserta di pulau yang akan kita tuju adalah mereka yang paling memuaskan Tuanku, termasuk kau, dari tiap kelompok yang berbeda di pertarungan awal," makhluk besar bersayap itu terdiam sejenak.

"Artinya lawanmu akan sangat berbahaya, lagipula bukan hanya peserta yang harus kau khawatirkan, karena di pulau tersebut..." Hvyt menggantungkan kalimatnya dengan mandadak.

"Karena?" Zach memburu dengan pertanyaan cepat, ia paling tidak suka kalimat menggantung seperti ini. Namun yang ia dapatkan bukan jawaban, tapi tubuh yang terjun bebas ke bawah dengan kecepatan tinggi.

"Jangan sampai membuat Tuanku bosan, Zacharias Eithelonen!" Hvyt berseru, sayup-sayup karena tersamarkan gesekan angin.

"Oh, tidak lagi," gerutu Zach yang dengan susah payah memosisikan tubuhnya tegak dengan kaki tepat di bawah, sebisa mungkin untuk tidak jungkir balik di tengah udara. Dengan tekanan dan gesekan udara ditambah kecepatan terjun yang makin kencang, memosisikan tubuh sesuai keinginan bukanlah pekerjaan mudah. Pada akhirnya ia tetap berputar beberapa kali di udara sebelum berhasil menstabilkan posisi.

Zach menggeram ketika ia melihat puncak kanopi pepohonan rimbun semakin dekat dengannya, hingga yang dapat ia lakukan hanyalah memadatkan udara sekitar kakinya, kemudian dihentakkan hingga menimbulkan suara pecahan kaca. Momentum itu ia gunakan untuk melawan arah gravitasi agar kecepatan terjun bebasnya berkurang mendekati nol. Namun ia belum mendarat di tanah, Zach masih di udara tepat dua jengkal dari puncak pohon dan sedetik kemudian kekacauan terjadi.

Tubuhnya menembus dedaunan hijau kemerahan dengan kerasak ricuh, dimeriahkan dengan suara patahan kayu dan kicau protes burung-burung. Kepalanya ditampar ranting pohon dengan tubuh jungkir balik dipermainkan dahan keras yang membuat punggung dan rusuknya sakit. Belum cukup dengan itu semua, debum keras menandakan kalau hantaman tubuhnya ke permukaan tanah tidaklah mulus. Ditambah lagi, tanduknya tertancap dengan sempurna di tanah berlapiskan guguran daun. Ya, kepalanya lebih dulu menghantam tanah. Untung saja kecepatan terjunnya telah teredam ketika tubuhnya menghantam dahan-dahan.

"Apapun kecuali tanduk!" Geramnya sembari memosisikan tubuh seperti merangkak, kemudian menarik tanduknya kuat-kuat hingga tubuhnya terhuyung ke belakang dan terantuk batang pohon besar.

Wajahnya ditempeli daun kering, dadanya naik turun dengan napas memburu, jantungnya berdetak amat kencang. Ia menengadah, yang dapat ia lihat hanyalah renggangan daun yang meloloskan sinar kemerahan, sesekali terdengar dengung cicada yang mengingatkannya akan musim panas.

Zach mengusap wajahnya, ada rasa geli-geli aneh merayapi kepalanya. Ia meraba tanduknya, untung hanya tergores dan tidak sampai patah. Bisa kacau kalau hal itu terjadi. Pening telah sirna ketika Zach berdiri. Ia menatap sekitar beberapa jenak lalu mendengus lega. Ia berada di hutan, setidaknya udara di sini lebih bersih ketimbang Jagatha Vadhi.

Hutan yang begitu rimbun. Mirip Cursed Forest, tempat tinggalnya dahulu sebelum menjadi budak manusia. Namun di sana hanya ada pohon pinus dan oak, suhunya dingin, dan amat sunyi. Sedangkan di sini bentuk pohonnya amat beragam, bersuhu lebih tinggi, lebih hijau dengan dedaunan lebar, dan kau dapat mendengar suara celotehan penghuni hutan yang saling sahut. Banyak buah-buahan menggantung di dahan beberapa pohon yang terlihat menggiurkan namun banyak pula yang menggantungkan...

"Kue?" Zach menyipitkan matanya, berusaha untuk fokus pada satu titik di mana ada sebuah shortcake putih tergantung di salah satu dahan pohon. Zach mengira kalau matanya mengelabui dirinya, namun tidak. Karena berapa lama pun ia menatap, kue itu tidak juga berubah menjadi buah.

Zach tak suka makanan manis karena akan ada kejutan geli yang menjalar dari gigi menuju tanduknya. Namun entah kenapa rasanya ia ingin sekali memanjat pohon dan memakannya, walaupun hal itu akan membuat Zach terancam serangan mendadak dari musuh.

Ia menggeleng kuat-kuat, merasa ada yang salah dengan tubuhnya karena bagimanapun ia tak akan pernah suka yang namanya makanan manis. Ia berjalan meninggalkan titik awalnya setelah memberi tanda lima garis besar vertikal mengelilingi batang pohon tempat ia bersandar tadi dengan menggunakan tombak. Getah oranye berbuih mengalir dari batang pohon besar itu bersamaan dengan menguarnya aroma madu yang menggiurkan, membuat Zach menegeuk ludahnya berkali-kali.

"Tidak... tidak," ia kembali menggeleng, kini makin kuat karena ia merasa mulai berhalusinasi. Tak mau berlama-lama di tempat itu, Zach langsung bergegas pergi.

Mulutnya mulai gatal dan ia harus meneguk berulang-ulang saliva yang mulai membuncah agar tidak menetes keluar. Kecurigaannya semakin menjadi ketika ia melihat seekor burung kolibri warna pelangi terbang di dekat kumpulan bunga bakung merah, Zach merasa ingin menangkap burung kerdil itu kemudian menelannya bulat-bulat.

Ini tidak normal.

Zach berkali-kali mengingatkan dirinya untuk tetap berpikir logis. Namun rasanya seperti menahan diri untuk tidak menggaruk satu titik gatal di tengkuk. Lama-lama bukan gatal lagi yang dirasakan tapi rasa ngilu seperti ditusuk jarum, tak akan hilang sebelum dipuaskan dengan garukan.

Zach menggoreskan tombaknya di beberapa pohon untuk penanda agar mudah kembali ke posisi awal. Namun yang ia dapati adalah cairan lengket aneka warna yang terlihat seperti sirup dengan aroma menggoda.

Tidak, itu getah... bukan makanan.

Zach menyugesti dirinya, bahkan sampai pada tahap bicara sendiri. Sugestinya kacau karena makin dalam ia berjalan, pemandangan hutan menjadi amat mustahil. Aneka makanan bergelantungan di pepohonan, bersembunyi di celah akar timbul, menempel di dahan dan batang pohon. Makanan berat, ringan, bahkan minuman siap teguk bersama dengan gelasnya.

Bebungaan terlihat seperti salad, sulur-sulur terlihat menjadi helai mie raksasa, dedauan tua terlihat seperti cokelat manis, batang pohon terlihat seperti daging super besar yang ditumpuk-tumpuk begitu tinggi, semuanya terlihat seperti makanan sungguhan.

Tunggu sebentar... mari kita hilangkan kata 'terlihat' karena semua ini benar-benar makanan, bukan halusinasi.

Aroma makanan menyerbu penciumannya, kelenjar ludah makin gencar mengekskresikan saliva. Lidahnya gatal, rahangnya ingin mengunyah, matanya jelalatan menatap semua yang tersedia di hadapannya, dan lambungnya mulai bertingkah. Suara keroncongan terdengar sekali, lalu ia lupa alasannya berada di tempat ini. Sebelah tangannya menggapai tinggi, di mana dahan sebuah pohon bergerak mendekatinya lalu menjulurkan ranting yang menyangga sepiring besar daging asap setengah matang. Alhasil, saliva jebol dari sudut bibirnya.

Zach baru akan makan, sebelum kelebat hitam menarik daging asap dari piringnya. Ia menoleh protes dengan ekspresi garang. Namun hal itu terjadi sebentar saja, karena di sampingnya kini berdiri—melayang, lebih tepatnya—seorang gadis yang ia kenali. Gadis tak bermulut dengan rambut hitam yang memanjang dengan ganjil tengah meliliti daging asap Zach beberapa jenak sebelum lenyap. Gadis itu memakan daging asapnya! Cara makan yang aneh kalau boleh jujur.

Lalu sejumput lain rambut hitamnya terangkat dan mulai membentuk huruf-huruf.

[Hai Zach]

Ia SilentSilia.

[Bahaya] sejumput rambut lainnya menunjuk lurus ke arah belakang punggung Zach, lalu gadis itu berlindung di belakang pohon akasia sebelum letusan kencang memecah simfoni hutan.

***

"Moi serasa masuk dalam cerita Hansel dan Gratel," seorang gadis, dengan wajah kelebihan bedak—yang disengaja—dan bibir bergincu hanya di bagian tengah dengan motif hati, tengah berdiri terpaku di hadapan sebuah bangunan yang keseluruhannya terbuat dari kue dan aneka makanan manis.

Ia berpenampilan amat nyentrik; rambut keriting yang tertutup sebagaian puncaknya oleh baret lucu warna merah, pakaianya berwarna biru terang dengan lengan dan celana yang bergelembung, juga sepatu kuning dengan insoles yang tinggi, mungkin sekitar lima senti. Dari dandanannya, kau akan mengira gadis itu adalah badut, tapi bukan.

Belia itu bernama Colette Reves, seorang mime artist—ia akan sangat tersinggung jika dipanggil badut. Entah keajaiban apa yang diberikan padanya ketika diterjunkan Hvyt dari langit, hingga ia dapat mematerialisasi parasut tanpa gagal karena terlalu panik.

Ia mendarat di sini, di depan sebuah rumah berwarna-warni cerah. Sungguh sesuatu yang janggal dibangun di tengah hutan antah berantah ini. Walaupun pemandangan di hadapannya begitu mencurigakan, Colette tak dapat menahan diri untuk mencoba pagar cokelat yang menguarkan aroma memikat.

"Hm... nyum nyum... manisss!" Serunya dengan mulut penuh sambil terus mematahkan pagar secuil demi secuil. Kedua tangannya terkepal, ditempatkan di bawah pipi sambil tersenyum sumringah. Duh, manisnya sampai ke ubun-ubun! Gadis berambut cokelat terang itu kemudian berlari-lari kecil dengan lompatan riang yang berirama dengan kedua tangan terayun. Ia membuka pintu rumah yang terbuat dari black forest setinggi satu setengah meter, mencuilnya sedikit kemudian memakannya sebelum masuk ke dalam.

"Mon Dieu!" Matanya berbinar dengan takjub, seluruh patahan pagar cokelat yang ia bawa berceceran di lantai yang terbuat dari wafer berukuran tiga kali lebih besar dari keset rumahnya. Dindingnya tersusun dari bata cokelat hitam dan permen merah yang terlihat begitu menggoda, diselingi dengan krim warna-warni yang memeriahkan interior lezat bangunan kecil ini.

"O hon hon hon! Moi ingin makan... SEMUANYA!" Ia terkikik kencang dengan kedua kaki seakan tengah berlari di tempat saking girangnya. Ia berlari, agak sulit karena lantai wafer ini ternyata cukup rapuh walaupun ia tak ambil pusing soal banyaknya lubang akibat langkah kakinya. Ia mencolek krim di pinggiran meja makan, kemudian menjebol tembok untuk mengambil bata cokelat yang membuat salivanya membuncah. Tempat ini membuat Colette amat senang hingga melupakan segala rasa resah yang menggerogotinya sebelum sampai di tempat ini.

Begitu terus sampai beberapa lama. Ia masih mengunyah dengan ricuh kala itu, ketika matanya terbelalak sambil menatap tangannya yang penuh dengan kue-kue. Tatapannya berubah bingung. Dengan linglung Reves sembilan belas tahun itu berputar menatap sekitarnya, lalu realita seakan menamparnya dengan telak.

"Apa yang moi lakukan?!" Ia terpekik pelan sambil menjatuhkan semua makanan manis dari dekapananya. Gadis Reves itu tak habis pikir, bagaiamana bisa ia sampai lupa tujuannya dijebloskan ke tempat ini.

Apalagi kalau bukan untuk bertarung?

Walaupun godaan rumah kue itu benar-benar kuat, namun Colette amat terpukul ketika ia kembali mengingat hasil pertarungan terakhirnya. Ia kembali mengingat Lazo, si bocah biru yang mati melindunginya, juga Lucia yang mati karenanya. Colette terbakar emosi sesaat ketika melihat gadis garang itu membunuh Lazo, namun penyesalan tentu datangnya terlambat bukan?

Kenapa membunuh kalau pada akhirnya akan menyesal?

Sudah, Colette sudah tidak mau bertarung lagi. Setelah membunuh Lucia, ia sempat ingin menembak diri sendiri, namun Hvyt menggagalkannya. Makhluk merah itu bilang kalau Colette tak boleh mengakhiri hidupnya kecuali itu adalah kehendak Thurqk. Kekonyolan macam apa ini? Ia sudah cukup menderita dengan semua ingatannya, ia tak mau membunuh lagi. Walaupun kali ini hanya membunuh satu orang untuk bertahan hidup. Tapi apa itu cukup? Apa Thurqk keji yang bahkan menampilkan penyiksaan jiwa-jiwa yang kalah akan puas dengan semua ini?

Tidak... tentu tidak.

Ingat? Pemenangnya hanya ada satu dan itu artinya permainan ini masih jauh dari usai.

Colette terduduk lemas sambil menggigiti kue jahe tanpa sadar sebelum ia melemparnya menjauh. Wajahnya sendu, ia menggerakkan kedua tangannya seperti tengah mengokang senjata api, kemudian munculah sebuah shotgun dengan suara 'klak-klak' pelan ketika ia kembali mengokangnya. Colette berencana mengakhiri semua ini sekarang dengan menembak diri sendiri, namun ia tak yakin hal itu akan berhasil karena Hvyt mengawasinya.

"Moi sudah lelah...," ia mendesah panjang dengan mata yang mulai berkaca, pandangannya buyar.

"Kenapa resah, Nona?" Tenor itu terdengar dari jarak dekat, suara lelaki, membuat Colette mengangkat kepalanya dengan cepat sembari mengarahkan shotgun-nya ke sumber suara. Refleks, padahal awalnya ia ingin menghabisi diri sendiri.

"Si—siapa di sana? Tunjukkan diri vous!" Pada akhirnya Colette Reves tak benar-benar ingin mati. Ia hanya terjebak dalam histeria sesaat ketika kembali mengingat kejadian menyedihkan dan penyesalan setelah membunuh. Walaupun demikian, Colette tak punya kekuatan lebih bahkan untuk menarik pelatuk senjatanya.

"Tenang Nona," suara itu lagi, namun Colette tak melihat batang hidungnya. Lalu ia sadar kalau suara itu berasal dari luar, ketika pintu belakang rumah mungil ini terbuka terkena tiupan angin sepoi. Lalu ia melihat seorang pemuda berambut pirang tengah duduk santai di sebuah kursi dan meja yang terbuat dari cokelat putih (yang pastinya amat kuat karena dapat menopang bobot satu orang). Pemilik suara itu tengah membaca sembari menyesap teh pelan-pelan. Lalu kepala si pemuda menoleh, biner biru lautnya menatap lembut ke arah Colette dengan senyum yang membuat paras berambut pendek itu makin kelihatan manis—secara literal.

Namun senyum itu sirna digantikan dengan pipi yang menggelembung sedetik kemudian, karena dengan tak sabar pemuda itu menjejalkan segala macam kue yang terhidang di atas meja itu. Cengiran dengan bibir dan gigi belepotan cokelat menjadi ganti senyuman manis, namun hal itu malah membuat Colette sedikit rileks.

"Bisakah kau turunkan dulu senjatamu?" Pinta si pemuda dengan nada lembut, "daripada itu bagaimana kalau kita minum teh? Nenekku pernah bilang kalau teh bisa menenangkan diri dari rasa galau. Dan... aku punya beberapa biskuit dari dapur—walaupun seluruh bagian bangunan ini adalah snack, tapi kurasa lebih enak makan yang ukurannya kecil, 'kan?"

Colette terdiam menatap pemuda tersebut, namun pada akhirnya ia menurunkan shotgun di tangannya. Lebih karena ia tak punya tenaga untuk mempertahankan kedua tangannya untuk menyangga senjata.

"Siapa... vous?" Colette bertanya dengan kening berkerut, walaupun ia tak dapat memalingkan wajah dari paras memikat pemuda berbaju zirah putih yang berkilau itu. Dia mirip sekali dengan image kesatria berkuda putih impian para gadis remaja. Selain itu, balutan baju zirah tersebut membuat si pirang seperti kue seukuran manusia berlapis krim putih dengan selai srikaya di puncaknya. Terlihat lezat, apalagi dimakan sambil minum teh.

Gadis berambut keriting itu tersentak, kemudian menggeleng kuat untuk mengusir pikiran anehnya.

"Aku? Kau bisa memanggilku Rex," ucap si kesatria berzirah putih, masih dengan pipi bergelembung penuh makanan "oh, dan kau Nona?"

"Colette Reves," jawab gadis berbedak tebal itu dengan pelan, namun ia kembali merasakan kakinya hingga dapat berdiri tegak. Ia melangkah melinatasi lantai wafer kemudian keluar melewati pintu belakang. Colette sempat terdiam sejenak sebelum Rex mengendikkan kepalanya ke arah kursi di kosong tepat di hadapan si pemuda, memberi isyarat agar Colette duduk di sana.

"Jadi Monsieur Rex..." ucapnya ketika ia telah duduk.

"Rex saja, aku belum begitu tua kan?" Protes Rex dengan kening berkerut. Colette berhasil tersenyum samar walau sekejap, "nah, kalau senyum kau terlihat lucu, Nona."

"Moi juga tidak suka dipanggil dengan sebutan formal," tukasnya, "panggil moi Colette atau Coco saja," balas Colette dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya, ekspresinya mulai melunak dan ia makin rileks.

"Colette, deh," ucap Rex yang masih sibuk memasukkan kue kering kecil-kecil ke dalam mulutnya, yang membuat gadis mime itu meneguk ludah berkali-kali. Kue-kue ini benar-benar menggugah seleranya yang sempat turun drastis, bahkan sekarang ia merasa dapat memakan seluruh rumah kue itu sendirian, beserta meja minum teh ini. Tegukan demi tegukan ludah membuat lehernya bergerak pelan.

"Vous baca apa?" Akhirnya Colette mengalihkan perhatian dengan topik baru.

"Cerita dongeng anak-anak," balasnya dengan kekehan singkat seakan tengah menertawakan dirinya sendiri, "dan anehnya aku menemukan kemiripan salah satu cerita di sini dengan keadaan kita sekarang."

Kita.

Kata itu teringang dalam benaknya. Colette menatap dengan bingung, memangnya ada kejadian apa yang mirip antara dirinya dan Rex? Ia menatap si pirang bermata biru itu beberapa saat kemudian matanya terbelalak besar saat sebuah pemahaman menghampirinya.

"Benar," Rex mengunyah beberapa licorice sebelum melanjutkan kalimatnya, "kita menjadi selalu lapar, lebih tepatnya menjadi rakus."

"Gobbledeguk Si Rakus," Rex membalik-balik halaman bukunya, "tokoh yang selalu lapar, ia memakan semua yang bisa dimakan hingga seluruh desa yang ia tinggali tak punya lagi sisa makanan, diakhiri dengan amat tragis dan agak mengerikan karena Gobbledeguk putus asa untuk memuaskan kerakusannya. Akhirnya dengan bengis ia memakan seluruh penduduk desa, termasuk dirinya sendiri."

Pemuda itu kembali memasukkan bukunya ke dalam baju zirah, kemudian menatap Colette dengan amat serius. Yang ditatap menjadi ikut tegang.

"Jadi kita menjadi Gobbledeguk sekarang?" Tanya Colette dan Rex menganggukkan kepalanya pelan.

"Apakah kau melihat diriku lezat? Karena aku melihatmu begitu Colette," dan Colette menjawab dengan anggukkan, ekspresinya menggambarkan kengerian.

"Tapi setidaknya di sekitar kita masih banyak makanan jadi keinginan memakan satu sama lain bisa ditekan," ekspresi si pemuda kembali rileks dan ia mulai bersandar malas di punggung kursi, "lagipula ada batas waktunya, kurasa bahkan seluruh peserta kompetisi konyol ini tak akan sanggup menghabiskan isi pulau dalam waktu satu hari, jadi makanlah Colette."

Colette menatap Rex dengan bingung sekaligus waspada. Gadis itu agak curiga karena dihadapannya kini adalah seseorang yang mungkin akan membunuhnya untuk keluar dari pulau kerakusan ini. Tapi ia juga merasa kalau ucapan yang terlontar dari Rex benar-benar tulus.

Ahh... Colette dalam dilema!

"Vous bukan musuh, 'kan?" Pertanyaan sama yang ia lontarkan para Lazo saat pertama kali mereka bertemu, hal ini malah membuatnya sedikit sedih.

Rex mengendikkan punggung, "Tergantung dirimu, kalau kau menyerangku maka aku adalah musuhmu, walaupun aku tak suka melawan wanita."

"Kalau moi tidak menyerang vous, berarti kita bukan musuh?"

"Bukan," jawab Rex mantap.

"Moi punya masalah soal kepercayaan akhir-akhir ini."

"Haha... begitupun aku, Colette," jeda sejenak ketika tawa itu berhenti, "tapi kau bisa percaya padaku."

"Sumpah seorang prajurit! Setiap janji yang diucapkan, harus ditepati!" Rex kembali terkekeh, dengan senyum manis tersungging di wajahnya hingga membuat Colette ikut terkekeh dengan semu merah yang menjalar di pipinya. Beruntung ia memakai bedak amat tebal, hingga perubahan itu tidak terlihat. 

"O hon hon... kau lucu Rex," tawa khas Colette kembali, walaupun masih lemah. Gadis itu lalu mengambil muffin, memakannya pelan-pelan lebih karena ingin menekan kekuatan sugesti pulau ini untuk memakan semua yang ada.

"Oh dan satu hal lagi sebagai tips dariku, mungkin tidak terlalu sehat. Kau bisa memuntahkan semua makanan untuk menjaga agar perutmu kosong, walaupun nenekku pernah bilang kalau membuang-buang makanan adalah sesuatu yang keji," ia terdiam sejenak ketika melihat Colette yang kebingungan, Rex mendengus pelan, "maksudku begini."

Ia membuka glove besi yang menutupi tangannya, lalu dua jemari tangannya dimasukkan ke dalam mulut hingga ia merasa mual, lalu berlari ke balik pohon ceri yang tumbuh tak jauh lalu suara muntah terdengar begitu menjijikkan.

"Eww...," Colette mengibaskan tangannya di depan hidung, walaupun dari jarak sejauh ini bau muntah tak mungkin tercium. Rex kembali sambil mengelap mulutnya, wajahnya mengatakan kalau barusan adalah pengalaman buruk—dan memang benar-benar buruk, Colette tidak mau menjadi cewek-cewek kerempeng anoreksia hanya karena ingin makan terus-terusan.

Keduanya terdiam, kemudian tertawa pelan.

"Eh?" Colette mengernyit ketika dari arah hutan di depannya terdapat kabut kehijauan yang bergulung-gulung, merangkak pelan dari rapatan pepohonan,"apa itu Rex?"

Yang ditanya ikut menoleh ke belakang tubuhnya, dari tatapannya jelas kalau dirinya juga tidak punya ide tentang kabut tersebut. Namun sedetik kemudian ia melompat berdiri dengan ngeri.

"Tidak bagus," gumamnya.

"Apanya?" Colette ikutan berdiri.

"Lari...," Rex berkata lebih pada dirinya sendiri, "lari Colette!"

Gadis mime itu tidak tahu apa yang tengah terjadi namun dirinya merasa kalau kabut hijau itu bukanlah kabar baik. Ia mulai berlari-lari kecil menyusul Rex yang sudah berada sepuluh meter di depannya. Kemudian ia meringis sambil mengambil langkah seribu ketika melihat pepohonan yang dilewati asap itu langsung meranggas dengan amat cepat. Colette melesat menerabas tirai sulur mie, kemudian ia telah berada di dalam hutan, jauh meninggalkan rumah kue.

"Racun! Kabut beracun Rex!" Colette yang kini sudah sejajar dengan pemuda pirang itu menjerit ngeri, walaupun pada kenyataannya kabut hijau itu bergerak lamban dan mulai terbuyarkan karena teriup angin. Mereka berhenti untuk mengamati, kemudian keduanya menggeleng kuat-kuat karena mulai tergoda untuk menghirup kabut itu karena terlihat seperti asap sate.

Belum selesai rasa panik mereka, kedua orang itu dikagetkan oleh datangnya gerombolan lalat hitam besar—untuk ukuran seekor lalat, terbang cepat ke arah mereka. Bukan ukuran lalat itu yang mengejutkan, tapi kemampuannya menggerogoti burung yang kebetulan lewat hingga hanya tersisa tulang dalam sekejap. Hal tersebut membuat Colette mencicit kemudian mulai mengibas-ngibaskan tangannya di udara seperti tengah memukul bola tenis. Lalu beberapa saat kemudian muncul-lah raket nyamuk beraliran listrik yang telah dimodifikasi kekuatannya puluhan kali lipat dengan imajinasi gadis itu.

"Rex, minggir! Biar moi yang atasi!" Dengan cepat gadis mime itu melompat ke depan, lalu mulai mengibaskan raket nyamuk berkekuatan listrik super tinggi itu ke arah lalat-lalat yang mendekati area pukulnya. Ia telah terbiasa dengan pertunjukan menggunakan akurasi tinggi ketika masih bermain sirkus, hinga ia dapat menyasar benda-benda kecil. Dengan lalat seukuran jempol kaki yang terbang dengan bising, Colette bahkan tak perlu memicingkan mata untuk menyasar serangga itu.

Suara ledakan terdengar berkali-kali, aroma seperti jagung bakar terkuar dari bangkai lalat-lalat yang satu persatu jatuh ke tanah dengan berasap. Ia berputar, bersalto, melakukan back smash, bahkan kadang mengikuti gaya Maria Sarapova dengan lenguhan panjang ketika memukul lalat layaknya bola tenis. Gerakannya begitu cepat hingga puluhan lalat besar itu tak lagi tersisa.

"Fuh~!" Colette meniup raket nyamuknya yang berasap, sebelum meledak menjadi serpihan kecil, "upsie..."

"Wow, kemampuan akrobatmu oke juga Colette!" Rex yang sedari tadi menonton hanya bisa tepuk tangan sambil menggigiti buah apel yang entah ia temukan di mana.

"Moi tumbuh di lingkungan sirkus, jadi hal ini sudah biasa," jawab Colette bangga. Namun acara puji-pujian harus disudahi ketika keduanya dikagetkan oleh suara letusan senjata api beruntun yang amat dekat.

***

Zany Skylark mengumpat 'Sial!' tanpa suara, sembari melemparkan setumpuk kue tart yang menghalangi bidikannya. Bukan menghalangi sih sebenarnya, tapi menjadi distraksi karena kue itu terlihat amat lezat sampai-sampai fokusnya terbagi saat mengeker target hingga tembakannya meleset. Sekarang ia kembali kesal karena senapan sniper yang ia ciptakan dari kekuatan imajinasi telah sirna, ternyata sudah lewat satu menit. Ia berdecak kesal sembari menyumpal mulutnya dengan donat. Entah mengapa sedari tadi ia tak bisa fokus sebelum mengunyah makanan barang satu dua gigitan.

Gadis berambut putih itu heran, seharusnya mereka—targetnya—tidak dapat melihatnya dari posisi yang cukup jauh ini. Dirinya bersembunyi di semak lolipop raksasa, mungkin sekitar seratus meter dari target; si pemuda rupawan dengan pakaian serba hitam yang memiliki tanduk di kepala. Namun seorang gadis tiba-tiba datang dengan melayang di udara. Bukan hanya itu saja, tapi gadis tersebut juga bisa tahu kalau pemuda itu tengah berada dalam bahaya, bahkan sampai menunjuk tempat persembunyian Zany.

Sekarang kedua orang itu telah hilang dari pandangan. Hal yang menyebalkan, tempat ini adalah hutan. Bukan sembarang hutan karena banyak makanan bertebaran dengan janggalnya hingga membuat konsentrasi buyar. Bukan hanya itu saja, pepohonan yang tumbuh di sini begitu rapat hingga memudahkan seseorang untuk bersembunyi.

Zany menelan donatnya, menciptakan teropong sensor panas lalu ia mengintip dari sana. Ia menatap jajaran pohon dengan teropongnya, tak lama kemudian sebuah senyum tercipta ketika didapatnya siluet manusia yang berpendar merah biru.

"Hm... mereka bersembunyi di balik pohon besar itu... dan sekarang mulai berlari ke barat," Zany mendecih kesal, merasa kalau lawannya bisa tahu apa yang ia rencanakan bahkan dari jarak jauh.

Ia bergegas keluar dari persembunyian tanpa suara. Gadis itu mengikuti dari belakang, bersembunyi dari balik pohon ke pohon, mengendap-endap seperti pencuri. Lalu ia berhenti ketika mendengar suara pecahan beling, Zany memutar tubuhnya mengikuti intuisi dan saat itu pula ia menarik pisau kecil dari balik waist bag-nya.

Terdengarlah denting logam bertumbuk. Pisau kecilnya mengubah jalur tombak yang hendak menembus tubuhnya. Momentum yang dihasilkan membuat dirinya dan pemuda bertanduk itu terlontar ke arah yang berlawanan, sebelum keduanya mendarat di tumpukkan guguran daun dengan suara kerasak kasar.

"Halo, penguntit kecil," bariton itu terdengar mengejek, agak teredam suara decakan karena pemuda bertanduk itu tengah mengunyah steak, "kebiasaan yang jelek, nona."

"Kebiasaan ketika kerja, jadi terbawa-bawa sampai sekarang bahkan ketika sudah mati," Zany membalasnya dengan santai. Namun serangan itu belum berakhir, seakan tidak ingin memberi Zany kesempatan untuk bernapas, pemuda itu kembali melakukan sesuatu-yang-menimbulkan-suara-pecahan-beling, hingga Zany dikagetkan oleh tubuh lawannya yang terlontar begitu cepat ke arahnya.

Ia melengkungkan tubuh ke belakang hingga kayang untuk menghindari tangan yang hendak mencengkeram lehernya. Suara pendaratan lawan yang berisik karena gesekan guguran daun di tanah membuatnya tahu kalau lawannya mendarat cukup jauh.

Namun ia tak dapat istirahat kala itu. Zany langsung berputar menyamping untuk menghindari lontaran tombak, lalu ia mencoba merampas senjata tersebut ketika masih melesat di udara dengan kecepatan tinggi... dan berhasil! Dilemparkannya kembali ke lawan sebelum ia melakukan putaran penuh kedua di udara. Namun sayangnya Zany bukanlah pelempar lembing yang baik sehingga tombak hanya menancap di batang pohon tak jauh dari targetnya.

Zany melompat beridiri dengan kuda-kuda siaga. Kedua tangannya yang mengepal mendadak terselubung oleh glove besi berduri, bergitu pula dengan sepatu dan pelindung lutut yang terbuat dari logam.

"Tipuan yang bagus," ucap pemuda bertanduk tersebut setelah menarik tombaknya dari pohon, kemudian menancapkannya ke tanah di samping tubuhnya.

"Tipuan? sayang sekali tipuan ini akan terasa sakit jika mengenai tengkorakmu, Tuan Anonim."

"Zach," ucapnya dengan kedua tangan seperti tengah mencengkeram udara dan lama-kelamaan terbentuklah sebuah bulatan bergerigi yang mulai berputar dengan menggila, "aku punya nama, tentu. Dan kau, Nona Anonim?"

"Zany," kemudian ia langsung menyerbu lawannya tanpa peringatan. Namun Zany harus menunduk dan menyampingkan kepala agar dua cakram ungu yang dilemparkan Zach tidak menyayat leher dan telinganya. Desing pusaran angin padat itu berdenging di telinganya beberapa jenak, namun serangan itu datang kembali. Empat cakram udara berwarna ungu terlihat amat berbahaya, tiga berhasil dihindari namun yang terakhir menyerempet amat dalam di tangan kirinya hingga darah mulai mengalir. Zany meringis pelan namun ia tak punya intensi untuk mundur setelah sedekat ini.

Zany langsung menerjang Zach dengan high kick, namun perbedaan tinggi badan ini membuatnya sulit mencapai puncak kepala lawan. Dengan mudah Zach menahan tendangan Zany dengan tangan. Bukan karena tendangan Zany lembek, namun entah bagaimana pemuda bertanduk itu membuat udara di sekitar tangannya menjadi amat tebal seakan menjadi bantalan pelindung.

Zany tak habis akal, segera setelah itu ia menyerang degan pukulan telak ke arah perut lawannya. Setebal apapun pelindung yang Zach ciptakan, udara tetaplah udara. Dengan impact yang amat keras ditambah ujung tajam sarung tangan besinya, akhirnya tubuh tinggi Zach terpukul mundur beberapa kaki. Dapat ia lihat pias cairan merah dari mulut lawan yang kini menotoli wajahnya.

Ia belum selesai, Zany melancarkan serangan face crusher dengan sekuat yang ia bisa hingga tubuh Zach melengkung ke belakang. Kaki gadis itu pun tidak diam saja, sebelum Zach tumbang ke belakang karena kehilangan keseimbangan, segera Zany menendang belakang lutut pemuda berambut hitam itu hingga lutut kirinya bertumpu ke tanah. Dengan kepala yang tertunduk ke depan dalam keadaan jongkok, Zany dapat dengan mudah meraih belakang leher Zach kemudian melakukan knee kick tiga kali. Ia hendak menyudahi aksinya dengan serangan siku tangan di belakang tengkuk Zach, sebelum Zany dapat merasakan kedua sisi perutnya perih minta ampun.

"AAAARRGGGGHHH!" Zany menjerit ketika cairan merah merembes keluar dari balik kemeja hitamnya. Ia melirik ke bawah dari ekor matanya, cakram ungu itu berputar lemas di tangan Zach yang tengah menggenggam kedua sisi perutnya, kemudian terbuyarkan kembali menjadi udara.

Kaki Zany dijegal oleh Zach hingga tubuhnya terpelanting ke belakang dengan punggung menghantam tanah. Gadis muda itu meringis kesakitan sembari memegang kedua perutnya. Matanya mulai mengeluarkan air mata menahan perih yang menjalar hingga ke ubun-ubun. Seluruh peralatan tarung besi di tangan dan kakinya lenyap begitu saja.

Sedangkan Zach kini berdiri di samping Zany. Wajanya penuh lebam dengan hidung agak bengkok yang mengalirkan darah, kemudian dibenarkan paksa dengan sedikit raungan tertahan. Namun yang membuat Zany ngeri adalah mata ungu berpupil vertikal yang menatapnya dengan dingin. Mendadak, dari sebelah tangan Zach muncul begitu saja bilah tombak yang tadi ia tancapkan ke tanah.

"Kau yang memulai ini, Zany," lalu tanpa mengulur waktu, Zach menancapkan tombaknya ke leher si gadis imagyn.

Tubuh Zany kelojotan beberapa saat sebelum terbujur kaku dengan mata terbelalak. Lalu Zach menarik tombaknya dari leher Zany. Pemuda bertanduk itu kemudian terduduk di samping jasad Zany dengan napas memburu.

"Hanya satu, kan?" Tanyanya pada langit, namun ia tak menunggu jawaban karena beberapa menit kemudian ia berdiri sambil meregangkan badan. Melirik ke arah Zany dengan mata masih melotot padanya kemudian mendengus pelan.

"Akhirnya aku membunuh wanita," ucap Zach sambil mendesah pelan, sebelum akhirnya berlalu dari tempat itu.

Namun, ada satu hal yang tidak diketahui Zach ketika melihat jasad Zany, yaitu luka di leher si gadis yang telah menutup sempurna. Regenerasi super kaum imayn, bahkan dapat menumbuhkan anggota tubuh yang hilang hanya dalam satu menit.

Sandiwara dan sedikit visual efek darah di leher, nampaknya ampuh untuk mengelabui si pemuda rupawan bertanduk. Dan sekarang mata pelangi itu bergerak, bergulir ke ekor matanya tanpa menggerakkan kepala, menatap punggung Zach yang masih berada beberapa meter darinya. Sebelah tangannya terangkat sedikit ke atas, kemudian dari sana termaterialisasi sebuah pistol otomatis yang akan ia tembakkan seluruh pelurunya dari jarak sedekat ini.

Hanya butuh satu tarikan pelatuk untuk menyudanyi semua ini dan sebelah tangannya terlilit sesuatu dengan amat keras.

"Ah!" Serunya tanpa sadar hingga Zach yang memunggunginya kini menoleh, kemudian ekspresinya menunjukkan ketidak percayaan yang benar-benar terpatri di wajahnya. Zany menggeram sembari mencabik-cabik lilitan rambut setebal tali tambang di tangan kanannya, pistol otomatis terlepas hingga hilang tertelan udara kosong. Namun rambut itu tak hanya melilit satu, tapi dua lengannya.

Tubuh Zany diangkat lilitan rambut itu, lalu dari sampingnya, dapat ia lihat sosok gadis bergaun hitam dengan rambut yang memanjang dengan ganjil, tengan meliliti kedua tangannya.

Tanpa menunggu protes Zany yang lain, gadis tanpa mulut itu melemparkan tubuh Zany ke salah satu batang pohon hingga gadis itu menjerit kesakitan.

"Aliansi, Sil?" Zach bertanya pada gadis berbusana serba hitam itu dan balasannya adalah anggukan secukupnya, "keputusan bijak, terima kasih untuk yang terakhir itu, omong-omong."                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

Zach mendekati Zany yang masih berusaha mengembalikan keseimbangan tubuh dan penglihatannya yang buram setelah tubrukan barusan. Ia menciptakan dua buah senjata otomatis di kedua tangannya, namun senjata tersebut berkedap-kedip seperti segan untuk menjadi nyata.

Untung pada akhirnya senjata itu termaterialisasi juga, dengan susah payah. Namun, senjata itu bahkan tak sempat ia gunakan ketika tubuhnya kembali terhempas ke belakang setelah suara pecahan beling itu lagi dan sekarang lehernya berada di dalam cengkeraman Zach.

Tersudut antara pohon dan pemuda bermata ungu, Zany benar-benar kehabisan berada dalam keadaan yang amat terdesak. Bahkan Sil, gadis berbandu merah itu juga ikut-ikutan menyusahkan Zany ketika juluran rambut gadis itu mengikat kedua tangan dan kakinya. Ia tak dapat melakukan apa-apa, bahkan ketika Zach melepaskan cengeraman di lehernya.

"Aku duluan, Sil?" Zach bertanya pada gadis itu seakan meminta persetujuan untuk mendapatkan giliran membunuh pertama, "Aku akan membantumu setelah ini, kau tahu aku tak bisa berbohong, 'kan?"

Jeda sejenak, seakan keduanya tengah berkomunikasi lewat pikiran.

"Terutama padamu," imbuh Zach, kemudian sebuah anggukan membuat pemuda bertanduk itu lekas memunculkan kembali tombaknya. Tak hanya itu, kini sebuah percikan listrik ungu berkicau ricuh di seluruh permukaan tombak tersebut. Ditambah dengan mulai munculnya dua percikan lain yang melayang di atas pundak kanan dan kiri Zach. Dan lama-kelamaan percikan itu menjelma menjadi sesuatu benda panjang juga runcing dengan kilatan ungu.

Dua plasma petir berbentuk tombak sepanjang dua meter menodong Zany dengan garang.

"Sial...," Zany menatap ngeri dan sedetik kemudian ia meraung kesakitan ketika sebuah plasma petir meledakkan lengan kirinya. Raungan itu kembali terdengar ketika ia kehilangan seluruh kaki kanannya. Dan yang terakhir sebelum pemandangan menjadi gelap, tombak ungu itu menembus lehernya lagi. Namun kali ini terjadi sebuah ledakan besar, alih-alih bilah tajam yang menusuk dalam ke lehernya.

Ia merangsek ke tanah. Zany tak dapat melihat dan rasanya sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia benar-benar sudah tamat...

...kalau saja ia bukan seorang imagyn.

Perlahan-lahan, ia dapat merasakan tubuhnya kembali membentuk. Kepalanya setengah utuh utuh dengan bibir meringis ketika melihat tangan dan kakinya yang tinggal satu. Lalu tak lebih dari satu menit, kepalanya telah kembali utuh.

"Kau!" Dapat ia dengar suara kaget dari Zach ketika melihat Zany yang tak kunjung mati. Gadis itu merubah ekspresinya menjadi pongah, ketika tangan dan kakinya kembali tumbuh.

"Apa kau tidak bisa mati?!"

"Mau tahu sesuatu yang keren? Aku imortal--tak dapat mati, bahkan Tuhan sekalipun tak akan bisa merenggut kehidupanku." Zany tersenyum puas dengan reaksi lawannya yang terlihat kaget melihat regenenerasi tubuhnya yang begitu cepat.

Ia merasa berada di atas angin sekarang, karena lawannya terlihat kepayahan, nampaknya pemuda bertanduk itu telah mengeluarkan energi yang cukup banyak--Zany pun demikian. Namun, sandiwara adalah keahliannya jadi ia dapat memperlihatkan ekspresi wajah tanpa masalah. Bodoh jika kedua muda mudi itu mengira kalau Zany adalah seorang imortal, tapi biarlah... toh lawannya tak akan tahu kalau jantung merupakan titik lemah seorang imagyn.

Lalu Sil yang sedari tadi melayang rendah di belakang Zach, kini meluncur di tengah udara hingga berada di samping pemuda bertanduk itu. Mereka berdua bertatapan dengan serius.

"Dapat sesuatu?" Zach bertanya dan anggukan gadis tanpa mulut itu menjadi jawabannnya.

[Tubuhnya abadi] rambut-rambut itu kembali membentuk kata-kata, [Tapi].

"Tapi?" Zach memancing kalimat menggantung dari Sil. Namun gadis itu malah menatap Zany dengan pandangannya yang selalu sama. Namun ada satu hal ganjil yang ia rasakan dari Sil; sebuah postur percaya diri dari orang yang punya rencana.

[Jantungnya tidak] Rambut-rambut itu kembali terurai.

Seperti tersambar petir, Zany terbelalak dengan kepongahan yang surut teramat cepat.

"Kau...," gadis yang beberapa saat lalu merasa berada di atas angin kini memasang ekspresi ngeri, "...bisa baca pikiranku..., brengsek!"

[Trims]

Sil membalas dengan terima kasih tanpa perubahan ekspresi wajah yang mana memberi impresi kalau sekarang dirinya tengah meremehkan Zany.

Bagaimana ini? Apakah ia akan mati setelah ini? Dengan kemampuan Zach yang dapat bergerak cepat, juga dapat menyerang tanpa harus mendekati dirinya, Zany akan semakin tersudut.

Terlebih lagi ia tak dapat bersembunyi dibalik kamuflase 'tubuh imortal' karena sekarang pemuda bertanduk itu pasti akan menarget jantungnya dan tak memedulikan bagian tubuh Zany yang lain. Dan gadis itu! Si brengsek Sil bahkan belum menunjukkan kemampuan selain membaca pikiran dan rambut tentakel. Zany yakin kalau gadis melayang itu punya suatu senjata rahasia yang lebih menjijikkan ketimbang menyusup ke dalam pikiran seseorang dengan bebas.

Apa ini tandanya ia akan mati sekarang?

Tidak.

TIDAK!

'Akhirnya kau mati juga, monster...'

Zany terbelalak ketika suara itu mendadak muncul di dalam kepalanya. Suara yang ia benci sekaligus ia sayang. Suara yang pernah membacakan dongeng sebelum tidur juga yang pernah mengatakan selamat tinggal sebelum ia mati. Suara kakak busuknya yang tercinta.

Tidak! Ia tak ingin mati secepat ini! Tidak, sebelum berhasil membalaskan dendam terhadap kakaknya. Ini tak bisa dibiarkan. Bagaimanapun ia harus menang dan hidup kembali!

Gadis berambut putih itu menggeram sembari mencabik dahan pohon di dekatnya dengan pedang pendek hingga terpotong menjadi bagian kecil. Ia menggeretakkan gigi, kepalan tangannya tergenggam erat dengan tatapan mata tajam. Daranya menggelegak dengan muka merah penuh amarah, adrenalin merusuh dalam pembuluh darahnya. Ekspresinya mengatakan kalau dirinya benar-benar ingin membunuh, lebih... lebih dari sebelumnya.

"Lalu kenapa jika kalian tahu kelemahanku, hah?!" Gadis imagyn itu meraung kemudian memunculkan machine gun dengan ratusan peluru yang disampirkan di kedua pundaknya, "hal itu tak akan berguna kalau kalian mati, jadi... MATILAH!"

"Minggir Sil!" Zach cepat menyadari situasi genting kemudian menarik tubuh Sil sekuat tenaga, berguling di tanah satu kali lalu merangsek ke belakang batang pohon.

Muntahan selongsong peluru beserta bunga api meletup-letup di moncong laras machine gun-nya, suara rentetan tembakan merusak ketenangan hutan, membuat beberapa burung terbang dari pohon yang ia tembaki, meninggalkan kucuran sirup dan jus warna-warni. Kedua targetnya telah menghilang dari pandangan, namun Zany masih menggila sambil meraung 'MATI! MATI! MATI!' dengan tubuh berguncang hebat menahan senjatanya. Sekelebat bayangan yang terlihat mendekat, ia tembak tanpa pikir panjang walaupun itu hanyalah secercah cahaya yang lolos akibat dedaunan yang merenggang tertiup angin.

"Keluar kalian! Biar kuhancurkan kepala kalian, kulumat, kucincang, sebelum kumakan sekaligus!" Zany benar-benar kehilangan kontrol dirinya. Awalnya ia hanya panik karena kelemahan terbesar keduanya terungkap dengan begitu mudah. Namun lama-kelamaan rasa itu tergantikan oleh amarah akibat emosinya yang tidak stabil. Sekali kehilangan kontrol dan Zany tak peduli lagi dengan semuanya, tujuannya berada di sini, bahkan keselamatan dirinya. Yang ia inginkan adalah membunuh kedua orang itu lalu memakan mereka mentah-mentah.

Ia bukan lagi Zany Skylark si pembunuh bayaran berwajah polos. Ia adalah mesin pembunuh yang dapat meledak—secara literal—kapan saja

Raungan senjatanya mendadak hilang ketika batas waktu satu menit telah lewat, bahkan sebelum peluru habis. Ia mengumpat dengan keras ketika senjatanya menghilang. Fokusnya kacau balau, ia bahkan tidak sadar kalau dirinya terancam sebelum merasakan sebuah cengkeraman di lengan kanannya. Zany menoleh garang dan mendapati Zach telah berada di belakangnya.

"Dasar cowok licik! Beraninya cuma ngebokong!" Zany melompat di tempat dengan tumpuan cengkeraman tangan pemuda berjaket hitam itu, lalu kedua kakinya menendang perut Zach sekuat yang ia bisa, namun sayangnya kekuatan tendangan Zany harus teredam oleh lapisan udara tebal yang dibuat Zach di sekitar perutnya. Kini sebelah kakinya pun dicengkeram Zach.

Tubuh Zany benar-benar melayang sekarang.

"Hei! Apa yang kau lakukan pada gadis itu?!" Sebuah suara terdengar dari kejauhan, suara lelaki, "kau sebut dirimu lelaki, hah? Nenekku bilang kalau lelaki harus memperlakukan wanita dengan lembut!"

"Bloddy Dewitt! Bertambah lagi orang yang menyusahkan," Zach mendecih kesal, "sepertinya kau punya penggemar," imbuhnya sebelum tubuh Zany terasa berputar di udara, kemudian sebuah tendangan yang menimbulkan suara pecahan kaca di perutnya membuat tubuh gadis itu terpental.

"Mon Dieu!" pekik seseorang, dari suaranya pasti perempuan.

Zany terlontar begitu cepat, bahkan ia telah melintasi pemuda pirang yang tadi meneriaki Zach. Disusul dengan sebuah tombak yang tertancap hingga menembus tubuhnya, namun sayang sekali hanya mengenai liver. Jauh... teramat jauh dari jantungnya yang masih berdetak dengan aman.

Namun satu hal yang pasti, Zany merasa dirinya sudah tamat.

***

Terkutuklah ruangan terbuka! Terkutuklah Hvyt yang melemparkannya ke tanah dengan jijik untuk kedua kalinya! Terkutuklah alam semesta beserta isinya!

Demi celana dalam Thurqk! Nurin sangat membenci lokasi pertarungan kali ini. Rasanya ia sanggup marah-marah sambil menyumpal mulutnya dengan burger keju satu lusin dan itu belum cukup!

Graaaah... Nurin tak pernah merasa selapar ini. Bahkan kehidupan pas-pasan sebagai mahasiswa miskin pun tak membuatnya merana seperti sekarang. Oke, di sekitarnya banyak berserakan makanan, namun ia tak kunjung kenyang. Yang ada malah rasa lapar merongrong lambungnya dengan menggila. Perutnya melilit seperti tidak diberi isi satu minggu penuh. Pemandangan di sekitarnya telah menjadi gundukan sampah ketika ia melepaskan kabut hijaunya karena frustasi, walaupun demikian ia masih dapat memakannya tanpa merasa jijik sedikitpun.

"Sial! Siaaaal!" Ia mengumpat sembari menggasak empat potong ayam goreng krispi dengan amat cepat sembari berlari dengan susah payah. Tubuhnya menjadi berisi—terlalu berisi, hingga wajahnya yang tirus menjadi tembam dan tubuh kerempengnya menjadi gempal secara bertahap—dalam waktu yang amat singkat.

Entah sudah berapa puluh kilogram makanan yang ia masukkan ke dalam tubuhnya. Nafsu makannya menjadi tidak terkontrol setelah ia makan burger keji porsi ke dua belas. Mendadak Nurin tak dapat menahan diri untuk terus makan. Harusnya ia makan pelan-pelan agar tidak menjadi candu begini!

Tapi, nasi sudah menjadi bubur (walaupun ia akan tetap memakan bubur itu kalau ada di sini). Nurin sudah telanjur menjadi pemakan segalanya yang dapat ia lihat.

Ketika kaus bertambal dan jaket almamater kampus yang ia kenakan semakin ketat, Nurin harus dihadapkan dengan kegiatan fisik yang dibencinya. Dengan tubuh kurus saja rasanya sulit minta ampun dan sekarang ia harus berlari dengan bobot tubuh hampir seratus kilogram. Bayangkan betapa payahnya ia berlari--dan itu dilakukan sambil makan.

Pertarungan outdoor bukan forte-nya. Hal itu dibuktikan dengan betapa sulit mengatur kabut beracun untuk bergerak sesuai keinginan. Dibandingkan saat berada di ruang tertutup. Ada saja kendala seperti angin kencang yang membuat kabutnya bergerak ke arah sebaliknya kemudian buyar. Kekesalannya bukan hanya itu, tapi mangsa yang ia kejar berlari dengan begitu cepat ditambah dengan pembasmian lalat pemakan dagingnya dengan begitu mudah.

Untung masih ada beberapa ekor lalat betina yang dapat ia jadikan sumber lalat baru, namun ia butuh inang. Hal tersebut membuatnya tak peduli lagi harus membabi buta di ruangan terbuka, asalkan ia bisa mendapatkan boneka daging. Satu sudah cukup.

Cukup untuk menangkap empat lainnya.


Dan harapannya terkabul, dengan begitu cepat.

Puja kolor ajaib Thurqk! Seseorang terlontar begitu saja ke arahnya.
   
"Ack!" Nurin menjerit kesal karena tubuh gempalnya harus menjadi bantalan empuk tempat pendaratan gadis muda, yang dengan benci ia akui berparas manis—ingatkan dia untuk mencakar wajah gadis itu setelah menjadi boneka daging. Namun ada sisi positifnya, karena si gadis berambut putih itu kini menghirup gas hijaunya dengan amat khidmat—tampangnya seperti cewek cabe-cabean yang lagi nyimeng—padahal gas itu berbau amat busuk. Ah... kekuatan aneh pulau ini ternyata tidak hanya memengaruhi Nurin seorang, toh?

Nurin berdecak, merasa kasihan...

...tapi bohong!

"Hiruplah sepuasmu selagi bisa cantik, dan kujamin kau tak akan merasa sakit sama sekali," ucap Nurin penuh kasih.

Bohong kuadrat!

"Aaaaaaaarrrggghhh...."

"Ck ck ck..." kembali Nurin berdecak ketika anak manis itu mulai kejang-kejang dengan mulut berbusa dan bentol merah bernanah mulai menjalar di seluruh tubuhnya, "ku urungkan niatku untuk merusak wajahmu, akan menjadi tontonan menarik melihat wajah cantik tapi kena rabies dan cacar!"

Ha—ha!

"Apa yang kau lakukan pada gadis itu?!" Sebuah suara lain berseru dan Nurin segera menengadah mencari sumber suara. Ternyata berasal dari kesatria berzirah putih. Wow, apakah hari ini ada pementasan boy band di sekitar sini?

"Yang kulakukan?" Ia bertanya balik dengan dengan kedua bahu mengendik dan bibir melengkung ke bawah, "tidak ada, yang harusnya bertanya itu aku! Siapa yang melemparkan nenek ini padaku?"

Hahaha... nenek. Rambutnya uban semua sih.

"Oh tidak penting," Nurin menendang tubuh si 'nenek' kemudian menginjak kepalanya berkali-kali, "terima kasih untuk siapapun yang melemparkan dia padaku, karena aku tak perlu repot-repot mencari boneka baru!" Karena siapapun yang terkena penyakit yang ia sebarkan, maka mereka akan menjadi boneka yang akan selalu mematuhinya.

Nurin membenarkan kacamatanya yang mulai sempit karena wajahnya kini amat tembam. Dari balik kacamatanya ia melihat kumpulan orang yang tengah berjejer dengan waspada tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.

Ada empat orang; lelaki bertanduk, kesatria putih, cewek aneh berpakaian konyol, dan yang terakhir gadis berpakaian serba hitam. Hm... kalau tidak salah Hvyt bilang jumlah peserta di pulau ini ada enam.

"Aha!" Nurin bersidekap dengan ekspresi pongah, "Ternyata semua pemain telah berkumpul, eh?" Gadis berambut hitam riap-riapan itu menyunggingkan senyum licik tanpa intensi untuk menyembunyikannya.

Sepertinya Thurqk benar-benar berbaik hati pada Nurin hari ini. Tidak hanya mendapat boneka baru, sekarang ia tak perlu repot-repot berlari dengan kepayahan mencari peserta lain untuk dijadikan boneka. Si rambut uban masih menggelinjang di permukaan tanah, keadaannya benar-benar mengenaskan. Pasti sekarang organ dalamnya telah terinfeksi penyakit akut.

Ah, peduli setan dengan penderitaan orang lain. Salah sendiri terjebak dalam penyakit yang ia sebarkan.

"Hei kau, bangun!" Hardiknya dengan nada perintah pada gadis bermata pelangi. Lalu dengan perlahan si gadis bangkit berdiri, awalnya kepayahan namun lama-kelamaan mulai terbiasa.

"Siapa namamu, hm?"

"Z...an...y," jawab gadis itu dengan terbata.

"Oke Zany cepat saja, apa kemampuanmu? Awas saja kalau tidak berguna," ancamnya di akhir kalimat.

"Me... muncul... kan ben...da--dari ima...jinasi...," jawab Zany dengan suara berat dan ekspresi wajah merana. Terlihat sekali kalau dia tengah berusaha melawan perintah dari Nurin, tapi hal tersebut sia-sia.

"Hm... buat sesuatu kalau begitu," Nurin mengerling ke empat mangsanya, "sesuatu yang dapat membantu kabutku mencapai mereka berempat dalam sekejap, kipas angin raksasa mungkin?" Tiga musuh berada tidak lebih dari lima puluh meter darinya, sedangkan satu lagi—gadis berambut hitam—tengah bertengger jauh di dahan pohon. 

"Bah...kan lebih ba..ik dar...i it..u," ucap Zany seperti sesak napas. Kemudian tak lebih dari dua detik, dengan cara yang aneh Nurin dapat melihat bayangan samar dirinya yang bertubuh seperti orang obesitas di sebelahnya. Ratu lalat berkacamata itu menyentuhkan tangannya di sana dan sadar kalau itu adalah kaca. Ia mundur beberapa langkah, kemudian menatap ke atas dan ia sadar apa ini.

"Wow, kau benar-benar bisa membuat akuarium raksasa?" Akuarium yang dipasang terbalik dengan tiga musuh berada di dalamnya (satu lagi tidak masuk, tapi ya... itu masalah waktu saja). Ah! Tentu saja, dengan begini gas hijaunya dapat menyebar dengan efisien, "kerja bagus bonekaku!"

"Hanya... berta...han satu me...nit," imbuh Zany.

"Apa?! Sebentar sekali! Ah biarlah, satu menit sudah cukup untukku," Nurin menyeringai kemudian langsung menyebarkan gas hijaunya ke segala tempat sebanyak yang ia bisa. Menjalar cepat karena akuarium ini berbentuk balok super panjang yang mungkin mencapai tujuh puluh meter dengan lebar sepuluh meter, tingginya tak sampai tiga meter. Memerangkap sempurna tiga mangsa yang bahkan belum tahu kalau mereka berada di sebuah ruangan tertutup.

Gas hijau merayap ke atas karena terhalang kaca tebal, kemudian mulai mengalir ke depan karena arah belakang juga terhalang kaca. Nurin berusaha sekuat tenaga berlari dengan tubuh kelebihan beban, kegiatan yang sulit namun tidak mustahil. Zany yang berada di luar akuarium tetap diam, berusaha untuk berkonsentrasi agar akuarium ini bertahan sesolid mungkin. Ia kelihatan agak capai, karena akuarium ini ukurannya begitu besar.

Tiga orang itu mulai panik, seorang gadis kelebihan bedak menabrak kaca yang hampir tak terlihat ketika hendak berlari ke arah kiri. Kedua lelaki yang lain nampak berdebat, walaupun Nurin tak begitu peduli. Kepulan gas hijaunya bergerak dengan begitu cepat ke depan. Ketiga orang itu berhenti di ujung kaca akuarium sambil memukul-mukul (seperti kaca akuarium di sea world, tebalnya ampun-ampunan).

Mendadak gadis bermake up tebal itu berlari mendekati gas Nurin lalu melakukan gerakan aneh; mengibas-ngibaskan tangan di daerah leher seperti tengah kepanasan, lalu berjongkok seakan tengah memencet sesuatu lalu... poff!

Sebuah kipas angin raksasa muncul dari ketiadaan.

"O hon hon hon! Gas vous tak akan bisa mendekati moi!" Gadis itu tertawa dengan aneh, namun Nurin tak menggubrisnya. Ia malah tertawa meremehkan dengan amat kencang.

"Kipas angin butuh listrik, bego!"

"NOOOONN! MOI LUPA!" Seakan ditampar kenyataan, gadis itu lari tunggang langgang, kembali menggedor-gedor kaca akuarium yang amat tebal.

"Hei lakukan sesuatu!"

"Kau yang lakukan sesuatu, zirah putihmu bisa digunakan untuk menghancurkan kaca ini."

"Apa? Kenapa tidak aku lubangi saja kaca ini dengan tandukmu?"

"Tandukku lebih berharga dari zirah rongsokanmu itu."

"Katakan sekali lagi dan kau akan merasakan sakit yang perih, Tanduk!"

"Oho, kau ingin menjajal kekuatanku, Rongsokan Besi?"

"Mau coba?!"

"Coba saja."

"OKE OKE MADEMOISELLE! KALIAN BERDUA CANTIK! LAKUKAN SESUATU SEBELUM GAS ITU MENCAPAI KEMARI!" Perdebatan itu diakhiri oleh raungan kesal si gadis keriting.

Nurin hanya terbahak melihat adegan konyol tersebut. Namun ia harus cepat karena akuarium ini tak akan bertahan lebih dari sepuluh detik. Ia segera mempercepat produksi gasnya dengan amat kepayahan, namun jarak gas hijau dengan tiga orang itu semakin dekat. Sedikit lagi, tinggal beberapa langkah lagi!

"Cih!" Si pemuda berzirah putih itu lalu berlari ke arah Nurin dengan kecepatan tinggi, tidak memedulikan gas hijau yang ia terabas tanpa rasa takut.

"Apa yang vous lakukan, Rex?!" Gadis konyol berpakaian serba biru itu menjerit tertahan.

"Aku akan menahannya, kau kaburlah saat itu!"

"Bagaimana caranya?!" Namun pemuda bernama Rex itu tak sempat menjawab pertanyaan barusan karena sekarang ia telah menubruk Nurin hingga gadis itu terlempar beberapa kaki ke belakang.

"Kau cari mati ya?!" Hardik Nurin, namun sedetik kemudian ekspresinya berubah senang ketika melihat pemuda itu menggelinjang di dalam gas hijauhnya, "benar-benar cari mati, harga dari sifat sok pahlawanmu ck ck ck..."

Lalu ia teringat pada dua yang lain. Nurin menatap ke depan, di mana kabut hijau terhalang oleh ujung kaca akuarium. Kabut telah menyelubungi seluruh area akuarium.

Ia terrtawa puas ketika kabut mulai menyebar karena tenggat waktu sudah habis dan akuarium lenyap. Biarlah, toh ia dapat empat boneka sekaligus hari ini.

Gas hijau perlahan-lahan merata dengan permukaan tanah, namun ia harus berhenti tertawa ketika dua targetnya tak tersentuh oleh gas hijau. Nurin menatap gasnya yang bertingkah aneh, bergerak memutari sebuah bidang bulat setengah bola yang terlihat seperti lapisan asap yang beriak, melindungi si pemuda bertanduk dan gadis bermake-up tebal.

"Pegangan padaku," ucap si lelaki, setelah itu Nurin terlempar bersamaan dengan gas hijau yang terpencar akibat ledakan angin dari kubah setengah setengah bola. Dua orang tersebut melompat tinggi sebelum gasnya berhasil mengeni salah satunya. Mereka melompat dari satu dahan ke dahan lainnya lalu hilang dari pandangan. Begitu pula gadis yang tadi bertengger di dahan pohon.

"Cih, selamat," Nurin menghentak tanah dengan kesal kemudian menoleh ke arah dua bonekanya. "Oh tak masalah, tinggal waktu saja aku mendapatkan mereka."

Nurin menatap dua boneka dagingnya dengan senyum timpang.

"Aku hampir lupa," ia memanggil seekor lalat betina yang berukuran cukup besar kemudian mengurut dagunya, "siapa dari kalian yang akan jadi inang untuk lalat-lalatku hm?"

Ah, dengan cara diundi mungkin?

"Tang ting tung jarum buntung... siapa yang menang harus... UNTUNG!" Nuring kembali menyeringai, "selamat kau beruntung," lalu lalatnya mulai menggali daging lengan inang yang terpilih. Disusul sebuah jeritan pilu seorang gadis yang membahana di hutan ini.

"Nah, kejar mereka sekarang!"

***

Gadis aneh itu, Colette, tak dapat berhenti bicara semenjak mereka melarikan diri dari kepungan asap hijau. Ada saja yang menjadi protesnya, tentang bagaimana Zach terlalu kejam meninggalkan Rex. Bahkan seharusnya demon bertanduk ini dapat menyelamatkan mereka bertiga dengan kubah udara yang dipadatkan menjadi tembok penghalang. Namun apa mau dikata? Saat itu dia benar-benar kalap hingga tak dapat memikirkan cara untuk bertahan diri sebelum ide itu datang sedetik sebelum asap itu mencapai mereka berdua.

Sil, entah apa yang terjadi dengannya. Zach berharap tak ada yang buruk menimpa Sil, karena hanya gadis itu yang dirasanya dapat dipercaya—walaupun dirinya bisa membaca pikiran orang lain. Zach tidak begitu saja percaya pada orang yang baru ditemuinya. Terlebih lagi mereka adalah manusia (Sil bukan manusia, jadi ia tak begitu risih dengannya terlebih lagi ia sudah lebih dulu kenal dengannya di Jagatha Vadhi) dan Zach punya pengalaman yang amat buruk dengan manusia.

Walaupun yang satu ini terlihat tidak begitu berbahaya dan tidak punya tampang sebagai tukang tipu—setidaknya untuk saat ini.

Mereka telah berada di tempat yang amat terbuka, di pinggir sebuah danau yang berkilau keemasan tertimpa cahaya matahari kemerahan di langit kelabu. Warna danau ini bukan karena efek dari biasan cahaya matahari, namun karena danau ini berisi sirup buah aneka rasa. Setiap lima menit sekali warnanya berubah-ubah. Zach sudah melihat oranye, merah dadu, putih, hijau, dan sekarang keemasan.

Mulut Colette tak berhenti berkicau, membuat kepala Zach semakin pening. Hingga akhirnya Zach mengeluarkan senjata pamungkasnya... untuk menghadapi wanita. Charm magic, yang dilakukannya begitu mudah karena Colette masih menyerocos tanpa jeda ketika Zach melancarkan kemampuan pikatan mautnya.

"Sudah tenang?" Adalah kalimat kedua yang ia ucapkan semenjak mereka melarikan diri dari perempuan asap. Colette terdiam sejenak, ekspresinya nampak linglung namun segera setelah itu dirinya mengangguk.

"Baiklah, karena aku murah hati," aslinya karena Zach merasa tak ingin berbagi makanan dengan siapapun, "kau tak akan bisa makan lagi, setiap kau ingin makan maka perutmu terasa mual."

Colette terlihat bingung, namun segera setelah itu pipinya yang kelebihan bedak mengembung seperti tengah menahan mual.

"Oh oke, mungkin berlebihan... kuganti saja dengan 'kau tak akan bisa lapar dalam waktu 10 jam dari sekarang'," dan setelah ucapannya itu, ekspresi Colette kembali menjadi normal. Sepertinya benar-benar bekerja.

Syukurlah... setidaknya dengan ini satu mulut akan berkurang untuk bersaing menghabiskan makanan di pulau ini.

...

Tunggu dulu, sepertinya ada yang salah.

Zach melumat daging dengan tulang sebagai pegangannya. Entah sudah berapa banyak yang ia telan. Namun ia tetap tidak merasa kenyang. Sungguh mengerikan kekuatan pulau ini. Ia merasa kalau dirinya menjadi amat rakus bahkan di tengah pertarungan seperti sekarang. Sial! Ia merasa amat bego dan baru kali ini dirinya ingin terkena charm magic-nya hingga dapat menyugesti diri sendiri untuk berhenti kelaparan.

"Oh dan tambahan instruksi, kau harus melakukan sesuatu ketika aku sudah mulai makan tak terkendali," ucapnya pada Colette, "kalau bisa dengan segala cara yang diperlukan."

Lalu sedetik kemudian kedua tangannya yang bebas langsung terborgol (entah datang dari mana borgol tersebut) dengan begitu cepat. Bahkan ia tak dapat melihat gerakan tangan Colette yang entah bagaimana bisa meraih kedua tangannya yang terjulur saling berjauhan.

"Segala macam yang diperlukan 'kan, Zach?" Tanya gadis itu kemudian memukul perut Zach satu kali hingga mulut pemuda itu terbuka, lalu tanpa permisi dua jemari Colette menusuk tenggorokkan Zach hingga pemuda itu muntah di tempat.

"Urrghh... apa yang kau lakukan?!" Geretak Zach yang merasakan mulutnya begitu asam, "kau tak perlu sampai begi--blerghh...," Zach muntah lagi ketika perutnya kembali ditinju.

"Excusez-moi, o hon hon hon... entah kenapa rasanya moi puas sekali," Colette tertawa pelan sembari mengelap sisi bibir Zach dengan bulu-bulu putih kerah jaket si pemuda bertanduk.

Zach merasa tak nyaman, lambungnya terasa perih karena mendadak kosong. Walaupun demikian rasa mualnya tak mengurangi rasa laparnya. Sial, nampaknya kelaparan hanya dapat terdistraksi saat bertarung dan panik. Namun belum sempat ia mengisi perut, sebuah suara mengagetkannya dan Colette.

"Wah... wah...," suara itu lagi. Si gadis asap hijau yang bersandar di salah satu pohon yang mendadak meranggas. 

Zach dan Colette melompat berdiri sambil bergerak mundur hingga sepatu mereka tercelup sebagian ke danau sirup.

"Kenapa begitu tegang hm?"

"Apa yang vous lakukan pada Rex?!" Colette berseru dengan suara tertahan yang terdengar seperti tikus terjepit pintu.

"Rex? Oh si kesatria berzirah putih? Hm... tidak ada yang khusus keculai sekarang dia," perempuan asap itu menarik sesuatu dari kegelapan hutan kemudian dengan kasar melemparkan tubuh Rex ke tanah dengan suara berkelontang, "well... dapat dibilang kalau sekarang dia tengah kesakitan," imbuhnya dengan suara yang dibuat misterius.

"Kalian tahu kenapa? Karena AKU yang membuatnya sakit! Sekarang dia tak dapat melakukan apapun kecuali perintahku karena sekarang aku masternya, pujaannya, TUHANNYA! Mengerti? Dan kau tahu hal yang menarik, cewek jelek? Kau dan juga dia," ucapnya seraya menunjuk ke arah Zach.

"Akan menjadi bonekaku tak lama lagi, jadi bersiaplah... kalian akan kupermainkan dengan rasa sakit, hingga mati merupakan pilihan paling menggiurkan yang akan kutawarkan!" Ucapnya seraya menggigit roti daging berkeju dengan ganas.

"Menjijikkan," Zach maju ke depan beberapa langkah, "kau benar-benar menjijikkan..."

"Oh aku sudah sering dengar itu, terima kasih untuk pujiannya," ucap gadis asap itu sembari membungkukkan tubuh gempalnya yang mulai bergelambir.

"Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang? Aku sekarang tahu kalau asap hijaumu tidak terlalu berbahaya, karena amat mudah tersapu angin."

"Hm... apa ya? Kau punya ide bonekaku?" Ucap

"Ya... Nona Nur...in," suara Rex terdengar berat, pecah dan agak serak.

"Rex! Vous tidak serius 'kan? Lawan perintahnya!" Colette berusaha keras untuk menyadarkan Rex, walaupun Zach rasa hal itu percuma.

"Hahahaha! Apa yang kau katakan tak akan tersampaikan padanya, dasar badut! Sekarang dia adalah boneka dagingku, hanya patuh padaku!"

"Tidak! Moi tak mau terima ini!"

"Terserahlah, aku capai teriak-teriak terus padamu, heh kau bereskan mereka berdua, gezz... pada saat ini kurasa lebih efisien kalau si nenek berada di sini bersama kita, tapi sudahlah toh dia juga tengah mengejar yang satu lagi... dan..."

Suara berisik mengusik mereka semua ketika sebuah merecon merah terbang tinggi di langit tak jauh dari tempat mereka berdiri, sebelum meledak menjadi partikel aneka warna.

"Ah, sudah ketemu rupanya," gadis asap bernama Nurin itu tersenyum timpang sembari terus makan tanpa berhenti, "nah mulailah sekarang, aku sudah bosan menunggu."

"Baik... no...na," Rex berjalan ke depan dengan wajah tertunduk, walaupun terlihat linglung namun ia dapat menyerang dengan efisien. Zach bahkan harus menarik Colette yang linglung kuat-kuat untuk menghindari serangan beruntun yang dilancarkan Rex. Entah karena apa, Zach tak melihat senjata apapun di tengan si pirang. Namun ia yakin itu adalah pedang dari cara Rex memegangnya. Zach melempar Colette menjauh ketika bilah pedang tak terlihat itu menghantam perutnya. Zach terpelanting hingga terjatuh di pinggiran danau. Tubuhnya lengket oleh sirup strawberi, manis dan rasanya ia ingin terus meminumnya.

Namun keinginan itu tidak bertahan lama karena sedetik kemudian serangan pedang tak terlihat itu kembali dilancarkan padanya.

"Zach!" Dari kejauhan dapat didengarnya Colette berteriak padanya, nampaknya gadis itu telah dapat mengendalikan dirinya lagi. Namun itu sama sekali tidak membantu, karena sekarang kedua tangan Zach berusaha untuk menahan pedang tak terlihat agar tidak menusuk lehernya. Kepalanya setengah terbendam dalam genangan sirup leci, telinganya berkali-kali kemasukan hingga terasa ngilu sampai tanduk. Namun hal itu tidak terlalu buruk ketimbang leher tertusuk pedang, no?

"Kau... ngotot se...kali," ucap Rex dengan susah payah, seakan tengah bertarung pada dirinya sendiri.

"Seti...daknya tidak se...ngotot KAU," Sebelah kakinya ditempelkan pada permukaan zirah putih Rex, kemudian ia padatkan udara di sekitar pentofelnya. Lalu dengan momentum yang begitu keras, Rex terpenetal beberapa meter ke udara sebelum mendarat di tanah basah dengan terbatuk-batuk. Serangan Zach tidak begitu fatal, namun nampaknya keadaan tubuh lawannya-lah yang payah.

Penyakit yang Nurin berikan pada Rex benar-benar parah, bahkan Zach sendiri tak tahu apakah dirinya sendiri dapat sekuat itu menahan serangan ketika tubuh dirongrong penyakit.

Zach berdiri, beberapa kali terbatuk. Pangkal tenggorokkannya perih karena sirup yang masuk lewat hidung. Ia memiringkan kepalanya kemudian diketuk-ketuk dengan pangkal telapak tangan. Dapat dilihanya Rex juga berdiri, dengan mulut berlumuran darah yang begitu kental, lebih berwarna hitam ketimbang merah gelap.

"Hentikan... a...ku," suara itu terdengar merana. Cukup untuk membuat Zach terdiam sejenak, "aku tak dapat bertarung... aku tak... dapat melawan... perempuan... bahkan jika aku... harus," imbuhnya lagi dengan suara serak disela batuk berdarah.

"Eh kau sekarang tengah melawanku, kau begitu percaya diri akan menang dariku?!" Zach berseru dengan amat kencang. "Tak perlu menahan diri," ucap Zach sembari memunculkan tombak kecubungnya yang ramai dialiri listrik.

"Karena akupun tak berniat untuk main-main." Dan saat itu Zach menyerbu Rex yang belum siap benar hingga ujung tombaknya menusuk zirah putih Rex yang ternyata tebalnya luar biasa.

Suara tumbukan logam terdengar membahana, Rex mundur beberapa langkah begitu pula Zach yang mundur dengan loncatan.

"Ba...iklah kalau itu yang ka...u mau," dapat dilihatnya seulas senyum muncul di wajah Rex, "tapi ada baik...nya tahu na...ma, kan?"

"Zach dan aku tahu kau Rex."

"Wow a...ku terkenal, ru...panya," ia terkekeh dengan kesulitan, sebelum pemuda itu mengangkat pedang tak terlihatnya ke atas dan... mendadak muncullah sebuah cahaya menyilaukan hingga membutakan matanya beberapa saat.

"Arrghh...," Zach mundur dengan sebelah tangan menutup mukanya sedangkan yang lain mengibaskan tombak ke segala arah untuk mengahalau serangan yang mungkin datang.

Ia tak dapat bergerak ketika sebuah tendangan keras mengenai perutnya hingga dirinya terhuyung ke belakang. Pandangannya masih setengah buta dengan segala pemandangan yang telihat begitu menyilaukan dengan butiran debu, namun Zach kini dapat melihat siluet yang bergerak di depannya--entah itu Rex atau hanya sekelebat bayangan. Namun ia memutuskan untuk bergerak sesuai intuisi dan pendengarannya.

Gerakannya kakinya sedikit terlambat karena terbenam cairan danau sirup hingga betis. Untungnya bukan hanya Zach yang kesulitan di sini, karena Rex pun demikian. Berkali-kali Zach dapat menghindari tendangan yang terdengar sebelum mengenainya karena percikan sirup yang ricuh. Beberapa saat kemudian pandangannya hampir kembali pulih, dengan itu saja Zach dapat menghindari hampir semua serangan dari Rex walaupun tinju glove besi-nya yang terakhir membuat Zach terhuyung ke belakang. Untung ia masih dapat mengendalikan keseimbangannya.

"Untuk ukuran pesakitan, tinjumu sakit juga."

"Kau belum merasakan semuanya, Tanduk."

"Tch, masih bisa berlagak sok bahkan di saat seperti ini?"

"Heh," Rex mengayunkan senjatanya kemudian Zach menghindarinya dengan melengkungkan tubuhnya ke belakang. Ia tak tahu seberapa panjang pedang Rex, akibatnya bilah pedang kembali mengenai wajahnya. Rasanya sakit, namun ia tak tersayat seakan-akan pedang Rex tumpul.

Atau memang benar-benar tumpul?

"Pedang karatan," Zach mengusap darah dari sudut bibirnya, "masih dipakai?"

"Kau belum tahu saja."

"Beri tahu aku kalau begitu," Zach menyerbu dengan kecipak riuh, tombak di tangan kanannya ditusukkan ke depan. Namun Rex dapat menghindar, gerakannya lebih luwes daripada sebelumnya. Mungkin karena sekarang ia bertarung karena kemauannya sendiri, bukan sekadar perintah dari gadis asap.

Rex mendarat dengan lutut terbenam di sirup cetek, kemudian ia menggumamkan sesuatu, entah apa. Sedetik kemudian Zach dikagetkan oleh Rex yang telah berada tepat sejengkal dari tubuhnya. Ia menatap ngeri pada pemuda berzirah putih, Zach bahkan tak dapat berkutik ketika ia dihajar bertubi-tubi oleh pedang tak terlihat itu dengan amat cepat. Tiga kali--tidak, empat kali lebih cepat dari serangan ormal Rex yang biasa.

Dua tiga... sepuluh sabetan pedang tumpul dan Zach terjatuh kembali dalam danau sirup.

"Buaaahh!" Zach melompat berdiri sembari mengusap sekaligus menjilati bibirnya, hm... rasa lemon dengan sedikit aroma metalik darah, "kecepatan lawan kecepatan, kurasa?" Lalu segera Zach menyerbu ke arah Rex.

Rex hendak menebaskan pedang tumpulnya ketika Zach melompat sedikit lebih tinggi dari permukaan danau. Kemudian kakinya menghentak angin beberapa derajat ke sebelah kiri, lalu ia menghentak udara untuk kedua kali hingga membentuk jalur huruf 'L' dan saat itulah ia tiba di belakang tubuh Rex dengan amat cepat.

Sebelum Rex bereaksi, Zach yang masih berada di udara melakukan gerakan spinning kick, menendang tengkuk pemuda itu, ditambah dengan kemampuan menghentak angin yang ia padatkan di daerah tersebut hingga Rex terpental dengan impact yang terdengar begitu keras.

Rex memantul di permukaan sirup dua kali sebelum tenggelam.

Tak mau membiarkan lawannya beristirahat, Zach kembali melompat di udara kemudian ia melemparkan tombak yang dialiri listrik di tempat Rex jatuh. Percikan ungu menjalar di permukaan danau radius setengah meter dari tombaknya. Belum cukup, Zach kembali memunculkan dua plasma petir sepanjang satu meter di kedua tangannya kemudian dilemparkannya satu per satu di tempat yang sama.

Dua buah ledakan sirup membumbung tinggi dengan suara menggelegar menggema hingga ke dalam hutan.

***

Sil menoleh ke arah suara ledakan, namun yang ia lihat hanyalah tirai sulur mie yang menjalar di pepohonan.

Wajah dengan semu merah yang sama dan tak pernah berubah itu kembali menatap ke depan. Pada sosok gadis berambut putih, Zany Skylark. Tidak sulit untuk mencari nama gadis imagyn itu--oh, ia bahkan tahu kalau Zany bukanlah persona Homo Sapiens. Well, mengulik pikiran lawan adalah pekerjaan mudah.

Terlebih pada lawan yang berlumur dosa seperti Zany.

Zany yang malang, kini gadis bermata indah itu bahkan harus menderita oleh gerogotan lalat di pangkal tangan kanannya. Bukan hanya itu saja, tapi Zany juga menderita karena tengah mendapat kilas balik dosa-dosanya.

Sil hanya perlu satu dari sembilan kelopak teratai. Hanya satu, dan kelopak itu langsung berubah hitam.

Kuning, biru, merah, dan hitam adalah urutan warna teratai berdasarkan dosa lawannya. Hitam adalah dosa tak termaafkan, jadi sekarang Zany tengah dihantui kilas balik semua dosa-dosanya yang menumpuk. Tak terhitung berapa nama dalam racauan Zany tentang orang-orang yang telah ia bunuh semasa hidupnya. 

Sil bahkan tak perlu melakukan apapun. Ia hanya bertengger di salah satu dahan pohon, 'memakan' buah semangka dengan lilitan silia-nya sambil menonton gerungan merana seorang Skylark tujuh belas tahun.

Oh bahkan gadis itu bukanlah Skylark asli, hanya anak angkat. Kasihan... tapi tidak, tidak ketika ia tahu betapa berdosanya Zany.

Sil mengusap lengan yang harusnya tersayat pisau pendek ketika ia mencoba menempelkan kelopak teratai pada Zany, ketika gadis imagyn itu menembakkan merecon ke angkasa. Terasa perih, walaupun tidak meninggalkan luka. Tubuhnya memang tidak seajaib Zany yang dapat menumbuhkan lengan yang hilang, namun Sil tak bisa terluka bahkan oleh serangan seperti apapun, walaupun dapat merasakan sakitnya.

"Keparat kau... arrgghh!" Zany terbaring di tumpukan dedaunan gugur, menggeliat kesakitan. Sil terkejut, walaupun tak terlihat dari ekspresinya, karena ini bukanlah efek dari helai lotusnya. Tidak, ini adalah sesuatu yang lain.

Sil terbang meluncur mulus dari dahan pohon, melayang satu jengkal dari permukaan tumpukan daun di tanah. Kemudian ia dikagetkan oleh serbuan lalat-lalat pemakan daging yang keluar seperti kabut hitam dari lengan Zany.

'Sial! Aku lupa lalat di dalam daging lengannya.'

Suara jeritan pilu terdengar ketika Zany kembali memutuskan lengannya dengan pedang yang ia cipatakan hingga bahu. Darah mengucur pelan, namun perlahan-lahan membeku. Pedang terjatuh ke tanah, kemudian menghilang.

Sil tak dapat mendekat pada Zany karena puluhan lalat itu terbang dari lengan Zany yang terputus (kini lengan itu tinggal tulang, betapa mengerikannya kekuatan lalat tersebut). Namun anehnya lalat tersebut melewati Sil begitu saja, seperti tengah mendapat panggilan khusus dari Nurin.

Butuh beberapa menit hingga lalat terakhir meninggalkan tumpukan tulang lengan Zany. Dan hal itu membuat Sil menyesal karena sekarang lawannya telah kembali utuh, walaupun nampak capai. Dan sialnya lagi, helai lotus yang ia tempelkan berada di lengan yang Zany potong.

Tidak, tunggu sebentar.

Masih ada yang lain, Sil dapat mendengar racauan pikiran Zany yang terdengar senang.

Sekarang Zany telah lepas dari pengaruh pengendalian Nurin! Astaga, seberapa cepat regenerasi sel tubuh gadis itu bahkan organ yang telah rusak oleh penyakit menjadi seperti baru.

Nampaknya memang harus menghancurkan jantungnya...

...oh tunggu sebentar, ternyata masih ada cara lain. 

Zany, mukanya tak secemerlang ketika pertama kali mereka bertemu. Karena sekarang wajah mulus itu tercoreng moreng oleh tanah dan beberapa warna yang entah berasal dari makanan apa. Wajahnya masih kalut walaupun sekarang tentu tidak lagi dibayang-bayangi dosa. Namun Sil bisa merasa tenang, karena emosi gadis itu masih tidak stabil. Dan itu adalah salah satu kelemahan Zany yang lain.

Zany amat labil dan rentan akan tekanan emosi yang meledak-ledak, bahkan hal itu dapat membunuhnya.

Ck ck ck... memanipulasi emosi adalah kelebihan Sil.

'Ini akan mudah.'

Suara letusan senapan api dibarengi tancapan pisau pada batang pohon di sebelahnya, membuat Sil terperanjat.

'Tch... atau tidak.'

"Mati kau jalang!!!" Semburan makian membahana, menggaung di sela-sela rapatan pohon, dengan Zany menyerbu Sil tanpa banyak pikir. Bahkan kelihatannya ttidak takut pada helai lotus lain yang mungkin akan ditempelkan padanya.

Sil melayang dengan cepat ketika rentetan tembakan dari pistol otomatis itu diarahkan padanya. Cukup mudah menghindarinya karena sekarang Zany benar-benar tidak bisa fokus, walaupun ada beberapa ada yang hampir menembus lengan dan lehernya.

Sil mendudukkan diri pada dahan pohon lain sembari menyilangkan kakinya ketika pistol Zany kehabisan peluru. Sebelah tangannya menyangga dagu dan yang lainnya menepuk-nepuk daerah di bawah hidung (yang seharusnya terdapat mulut pada manusia biasa), memeragakan gaya seolah-olah tengah mengantuk karena pertarungan ini membosankan.

"Beraninya kau! Turun kemari biar kuhajar kau sampai mati!"

Sejumput rambut hitamnya memanjang, kemudian memberikan isyarat 'come on'. Hal tersebut benar-benar manjur untuk menambahkan rasa marah pada diri Zany.

"Kau benar-benar akan mati jalang!" Zany memunculkan sebuah pedang panjang kemudian melompat pada dahan di pohon sebelah Sil dengan begitu mudah, kemudian gadis imagyn itu menebaskan pedangnya. Sil bukanlah seorang petarung fisik, namun serangan Zany teramat mudah dibaca. Zany bahkan tidak menyembunyikan muslihat atau strategi lain. Benar-benar serangan frontal yang amat kacau.

Zany hanya peduli satu hal, yaitu memenggal kepala Sil.

Kakinya menyentuh tanah sekali untuk menjadi lonjakan sebelum terbang lebih tinggi ketika Zany menebas dedaunan gugur di tanah. Sil menoleh sekilas sebelum berputar di tengah udara seakan tengah menari, well... dia memang benar-benar menari pada akhirnya. Hal tersebut berhasil membuat lawannya semakin geram.

Namun Sil terlalu banyak menghabiskan waktu untuk membakar amarah Zany, ia lengah beberapa jenak dan sekarang tubuhnya telah terlilit tali laso. Sil menoleh kaget, ia memberontak di tengah udara namun hal tersebut tidak ada gunanya karena sekuat apapun ia bergerak tali itu semakin erat mengikatnya.

"Hahahaha! Kena kau brengsek!" Zany tertawa puas dan yang lebih parah amarah-meternya turun drastis. Sil hanya punya satu orang untuk disalahkan, yaitu dirinya sendiri. Akhirnya Sil mengalah pada kekuatan tarikan Zany yang membuatnya terlempar ke tanah. Rasanya sakit namun ekspresi wajahnya tidak berubah.

Zany terengah-engah, nampak jelas kalau gadis itu telah menghabiskan begitu banyak energi untuk membuat Sil jatuh. Namun hal itu telah usai karena sekarang yang perlu Zany lakukan adalah membunuh Sil. Dan hal itu teramat mudah bagi Zany si pembunuh bayaran.

Atau demikian yang Zany pikirkan.

Asalkan tato lotus di perut Sil tidak sampai tersingkap dan ditusuk kaca, maka persona silia itu tak akan mati.

Zany menduduki tubuh Sil yang telentang di atas tanah, kedua tangannya lalu mencengkeram leher lawannya hingga membuat gadis berambut hitam itu sesak. Namun Sil tidak diam saja dirinya di perlakukan seperti ini. Silianya menggeliat mengancam, kemudian melilit leher Zany dengan dua belas jumput rambutnya yang memanjang. Zany semakin kuat mencekik Sil, begitu pula sebalikanya. Fokus gadis itu buyar dan tali laso yang melilit Sil sirna dalam sekejap.

Mereka berguling-guling di atas tumpukan daun gugur, Zany tidak lagi fokus pada cekikannya karena sekarang ia berusaha memotong rambut Sil dengan pedang pendek yang ia ciptakan dengan sisa fokusnya. Potongan demi potongan rambut hitam melayang terbawa angin. Namun sejumput lain rambut hitam Sil berhasil merebut pedang Zany lalu membuangnya ke samping.

Zany menampar Sil berkali-kali, begitu pula sebaliknya. Mereka sekarang terlihat seperti gadis muda yang tengah berkelahi dengan tamparan. Mereka kembali berguling, saling menjambak, saling mencakar, memukul asal-asalan. Namun tak ada satupun di antara mereka yang mendapatkan bekas luka di tubuh masing-masing.

Luka kecil Zany akan segera tertutup dengan cepat dan Sil sama sekali tak akan pernah terluka separah apapun ia terkena serangan. Namun keduanya dapat merasakan sakit dan semakin lama mereka semakin lemah.

Dengan kekuatan yang tersisa, Zany memunculkan sebuah gada bergerigi tajam kemudian dihantamkannya pada Sil yang tengah berada di bawahnya. Namun silia Sil bekerja cepat dengan melilit dan menahan agar gada itu tidak menghantam wajahnya, bahkan kedua tangannya pun digunakan untuk menahan. Zany menatap lurus pada Sil tepat di matanya, amarah terpancar jelas dari sana. Pikiran membunuh lawan menguasainya.

Perbedaan kekuatan fisik membuat gada semakin dekat ke wajah Sil hingga gadis itu berusaha begitu keras untuk menahan. Namun pada akhirnya rambut dan tangannya dilepaskan begitu saja pada gada Zany. Kedua tangannya terjulur lemas di tanah dengan napas terengah-engah.

"Sudah menyerah eh?" Zany menatap Sil dengan mencibir lalu mengangkat gadanya tinggi-tinggi, "Ada kata-kata terakhir sebelum mati?"

Silia Sil bergerak membentuk sebuah kalimat.

[Kau yang mati]

Sembilan... sepuluh!

Mulai!

"Kau ingin membuatku melakukan pembunuhan lain Zany?"

Gadis imagyn itu terperanjat ketika tangannya mengeluarkan suara. Gadanya jatuh ke dada Sil kemudian lenyap.

"Apa belum cukup puluhan orang kau renggut nyawanya?"

"Apa yang kau lakukan brengsek?!" Zany kalap, ia hanya bisa mengumpat pada Sil tanpa tahu harus melakukan apa.

"Kau ingat?" Kini otaknya yang bicara, "Kau harusnya ingat berapa banyak orang baik yang kau bunuh hanya karena mereka dimusuhi klien-mu?"

"Itu karena aku tak punya pilihan!"

"Pilihan?" Sahut tangannya, "Kau punya banyak pilihan tidak menggunakanku untuk menancapkan pedang ke tenggorokkan seseorang!"

"SIL APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?!" Zany meraung murka.

Sil tentu tak akan menjawab pertanyaan itu. Ia akan membuat lawannya merana dalam ketidak tahuan. Well, mereka bertukar tatapan lama ketika bergulat dengan gada, lebih dari sepuluh detik dan itu sudah cukup bagi Sil untuk membuat seluruh tubuh lawannya bersaksi.

Tatapan matanya mematikan, tidak secara fisik namun mental.

Zany adalah remaja labil yang akan mati dengan sendirinya ketika emosinya meledak tak tertahan. Siksaan ini akan terasa amat pedih dibandingkan memutilasinya menjadi bagian kecil.

Zany menjauhkan kedua tangannya dari telinga, namun hal itu percuma karena kini telinganya yang mulai bicara.

"Kau bisa tahan mendengar rintihan sebelum mati, Zany? Karena aku sama sekali tidak," telinganya berkata sendu, "berkali-kali aku mencoba menutup pendengaran namun suara jeritan, rintihan, bahkan tangisan tetap kudengar."

"Kau gunakan aku untuk menginjak-injak manusia, Zany," kini kakinya bicara, "rasa belas kasihmu mungkin sudah lenyap, tapi aku tidak..., rasanya sedih kau tahu?"

"Diam!" Zany menjerit ketakutan.

"Kau yang diam!" Kini bibirnya yang angkat bicara, "Aku digunakan untuk bermanis-manis di depan orang lain! Berpura-pura lugu dan lemah dengan kata-kata manis! Kau bahkan menipu Cheril untuk menjadi temanmu!"

"Aku tidak menipunya!"

"Jangan berkilah! Pada akhirnya kau hanya memanfaatkannya untuk menjadi alatmu dan kau buang setelah selesai digunakan!" Hatinya menjerit, "Dan kau masih punya hak untuk merasa sedih ketika melihat Cheril dimusnahkan Thurqk?! Kau benar-benar tidak tahu diri!"

Matanya mulai berair karena rasa kalut.

"Kau berani menangis setelah yang apa yang kau perbuat, Zany? Oh aku kasihan padamu," air matanya mencemooh sebelum jatuh ke tanah.

"Kelakuan bejatmu ini pastilah alasan mengapa kakakmu berusaha membunuhmu," hatinya mencerca Zany. Dan kata kakak tersebut berhasil membuat Zany semakin kacau. Ia kembali mengingat saat-saat terakhir sebelum dirinya mati di tangan kakanya sendiri.

Ia tak tahu alasan mengapa kakaknya melakukan hal tersebut padanya--ataukah selama ini ia berpura-pura tidak tahu? Berpura-pura kalau kakaknya-lah yang salah karena membunuhnya. Berpura-pura kalau ia adalah korban, padahal dirinyalah yang telah memaksa kakaknya untuk membunuhnya.

Karena kakaknya polisi.

Karena polisi harus menegakkan keadilan.

Sedangkan Zany adalah pembunuh bayaran.

Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi.

Pembunuh harus diadili, dengan dibunuh.

Mana yang salah sekarang?

Ia tidak tahu!

Kecamuk batin Zany terdengar begitu jelas oleh Sil yang kini duduk bersandar pada dahan pohon sembari mengatur napasnya yang terengah. Walaupun capai, namun ia menikmati semua ini. Karena pengakuan seorang pendosa benar-benar layak untuk ditonton. Sil beringsut berdiri, lalu melayang sejengkal dari permukaan tanah. Lalu berhenti tepat satu meter di depan Zany yang meringkuk ketakutan oleh pengakuan dosa-dosa seluruh anggota tubuhnya.

Zany mendongak menatap Sil yang melayang di atasnya, ada berkas berkilau di kedua pipinya. Berkas air mata yang telah mengering.

"Apa aku akan mati?" Tanya Zany dengan merana.

[Ya] balas Sil dengan singkat.

"Kalau begitu," Zany menunduk dalam.


"KITA MATI BERSAMA!!!"

Sil terperanjat, pendengarannya terhalang oleh pengakuan-pengakuan dosa anggota tubuh Zany sampai tidak sempat membaca pikiran lawannya. Dan kini Zany melompat ke arahnya, lalu memeluknya. Yang dapat Sil dengar selanjutnya adalah irama detik mundur bom waktu yang bergabung dengan ramainya melodi hutan.

Dua detik telah lewat lalu terdengar suara ledakan menggelegar yang mengguncang pulau.

***

"REX!"

Colette menjerit ngeri ketika melihat dua ledakan besar di tempat Rex tenggelam. Ia tak tahu harus melakukan apa, di hadapannya kini ada dua orang yang sama-sama telah menyelamatkan nyawanya di pertarungan gila ini. Dan ia tak tahu harus mendukung siapa. Ia tak ingin keduanya mati.

Apa yang harus ia lakukan?!

Colette hanya bisa termenung di tempat. Kesal karena merasa benar-benar tidak berguna.

"Cih sialan! Hanya penampilannya saja yang oke, ternyata tidak berguna!" Makian itu beasal dari gadis gempal di belakangnya, Colette menoleh ke arah Nurin. Mendadak rasa kesal menguasainya.

"Apa yang vous katakan?!" Moi melompat berdiri dari keterpurukannya, "Rex tidak payah!"

"Tsk, dan sekarang aku harus berhadapan dengan gadis aneh... oh bahkan kau tak akan berguna jika menjadi boneka dagingku saat ini," Nurin mencela sambil terus makan, nampaknya ia sudah tidak bisa menahan godaan pulau ini karena telah terlalu banyak makan.

"Well... beggar can't be chooser, no?" Nurin mengendikkan bahunya, "hanya ada kau yang tersisa, pemuda tanduk itu sudah bisa pulang ke titik awal dan kurasa dia tak akan berlama-lama di sini."

"M--maksud vous apa?!" Colette kemudian membentuk sebuah pistol di tangannya, bersiap-siap untuk menembak kapan saja. Nurin terdiam sejenak kemudian bersiul.

"Kemampuan memunculkan benda lagi? Sepertinya kau tidak sekonyol yang terlihat eh?" Nurin membuang tulang daging yang ia makan kemudian mulai mengeluarkan asap hijau dari seluruh tubuhnya.

"Gas vous tidak akan sampai kemari!" Colette berseru lantang, walaupun kedua kakinya lemas seperti jeli.

"Tsk, ternyata dia tidak bodoh," Nurin mendencak kesal, "oh... sepertinya sudah waktunya lalat-lalatku menetas dan... ah, kemari, kemari anak-anakku," ucap Nurin pada sekumpulan lalat hitam yang terbang seperti kepulan asap. Colette ingat kalau lalat sejenis itu adalah pemakan daging dan beberapa saat lalu dirinya telah menghabisi selusin lebih yang seperti itu.

Namun ini berbeda, kini ada puluhan lalat pemakan daging yang berdengung mengerikan yang terlihat kelaparan.

"Waktunya makan anak-anak, tapi ingat tangannya saja, itupun sedikiiiiiit saja karena mama butuh boneka daging baru, mengerti?" Lalat berdengung kelihatan senang, "oh kalian yang terbaik, nah nah... pergilah."

Bagaikan asap yang tertiup angin kencang, kumpulan lalat itu terbang menyerbunya.

"NOOOON!" Colette berlari, kembali masuk ke hutan sedangkan di belakangnya lalat-lalat terbang dengan marah disusul oleh Nurin yang berlari dengan kecepatan merangkak.

Pistolnya ditembakkan ke belakang ke arah kumpulan lalat-lalat, sekitar sepuluh lalat mati saat peluru pistolnya habis. Namun hal itu tidaklah bijak karena sekarang lalat-lalat semakin murka. Colette tak bisa memunculkan pemukul nyamuknya lagi karena jumlah lalat ini mengerikan! Belum lagi ada nurin dan asap beracunnya yang membuat pepohonan mati seketika yang bisa menyusulnya kapan saja jika melakukan atraksi pukul lalat degan raket.

Asap... huh, asap?

"Tentu saja! Asap!"  Colette memekik di tempat, merasa amat cerdas kala itu. Ia berbalik, kemudian melakukan gerakan melempar dilanjutkan dengan batuk tanpa suara dengan bibir tetap terkatup rapat. Lalat terbang dengan begitu cepat, membuat jarak mereka menjadi begitu dekat.

Lalu di saat-saat yang genting, sebuah bom asap yang Colette modifikasi gas-nya dengan racun serangga ia lemparkan di dekat kakinya. Colette menarik napas dalam-dalam kemudian berjongkok dengan kedua tangan menutup hidung dan mata ketika gas kebiruan mengepul menutupi seluruh tubuhnya. Lalat-lalat yang memang sudah terbang begitu cepat tak dapat merubah haluan, mereka masuk begitu saja ke dalam  kepulan gas beracun. Namun lalat-lalat ini begitu kuat, Colette tak dapat melihat namun dengungan kepak sayap mereka saja sudah menunjukkan kalau lalat-lalat itu masih hidup.

Butuh tiga puluh detik yang terasa amat panjang sebelum suara dengungan lalat berkurang. Colette merangkak menjahui kepulan gas beracun itu, lalu membuka mata setelah lewat sepuluh detik kemudian. Ia berlari, masih menahan napas hingga lima puluh meter ke depan kemudian dengan suara 'buaaah!' kencang, Colette menarik udara sepuasnya.

Namun, Colette terperanjat ketika kabut hijau merayap di bawah kakinya. Ia berjingrak ditempat sambil menjerit kalap. Ia tidak sadar kalau arah larinya malah menghampiri Nurin, yang kini berada tak jauh darinya. Bau busuk tubuh Nurin menyebar bagaikan parfum dengan tingkat volatilitas yang tinggi. Baunya menusuk hingga ubun-ubun, membuat Colette ingin muntah di saat yang sama. Ia bergerak menjauh, namun sebuah lemparan paha ayam krispi mengenai pipinya.

"Arrghh!" Colette meraung sembari menjauh dari kabut hijau. Lemparan daging itu tidaklah menyakitkan, namun cairan yang menempel pada daging itu yang membuat pipi Colette melepuh dan mulai bentol-bentol bernanah.

"Bagaimana rasanya terkena ludahku? Enak?" Nurin berjalan pelan dengan tubuh bergelambir yang hampir merobek pakaiannya, "beraninya kau lakukan itu pada anak-anakku, kau tahu tidak membuat mereka itu butuh waktu?!"

"Eh, vous harap moi peduli?" Colette bergerak mundur sembari memegangi pipinya.

"Ah well, setidaknya masih tersisa satu," ucap Nurin diselingi seringai keji. Dan saat itulah Colette merasakan daging tangan kirinya ditembus oleh sesuatu yang bergerak-gerak liar.

Colette segera berlari, tidak memedulikan makian Nurin yang menjadi-jadi. Ia berusaha untuk tetap fokus ke arah tujuannya. Namun pandangannya yang berbayang menyulitkannya untuk fokus. Dengan kekuatan yang tersisa ia melompat ke arah kepulan gas racun serangganya yang untungnya masih ada. Membuka luka di tangannya dan untungnya saat itu sang lalat berada di permukaan kulit. Colette mengoyak kulitnya dengan mudah karena sudah digerogoti lalat, darah mengalir deras bersamaan dengan lalat yang teler terkena gas beracun. Lalat berlumur darah itu jatuh ke tanah, namun bukan hanya lalat yang terkena efek gas. Colette juga kena karena tidak sempat menahan napas.

Ia tersedak racun serangga, namun masih bisa merangkak keluar dari kepulan gas. Colette terbatuk dengan napas sesak. Matanya merah dan pandangannya berkunang karena kehabisan darah yang cukup banyak. Lengannya yang berdarah ngilu minta ampun, pipinya semakin gatal dan daerah melepuhnya semakin lebar.

Colette bersandar di sebuah batang pohon, matanya berkunang-kunang melihat lima sosok Nurin yang datang bersamaan ke hadapannya. Saat itu kepala Colette tergolek ke samping karena amat lelah lalu matanya terbelalak. Ia melihat sebuah celah untuk melarikan diri atau bahkan memenangkan pertarungan ini.

Mungkin agak beresiko dan butuh keberuntungan yang tinggi.

Nampaknya hari ini Colette memang beruntung. Ketika tanah berguncang akibat sebuah ledakan di tempat yang jauh, Nurin kaget dan terdistraksi. Saat itulah Colette membentuk masker gas beracun, lalu menarik kaki Nurin kemudian terjun bersama. Terperosok ke bawah lembah di belakang pohon yang ia sandari dengan berguling-guling.

***

Sebelum ini ia tak tahu kalau dunia setelah kematian bisa menjadi semengerikan ini. Mungkin akan lebih baik jika ia langsung masuk ke surga saja daripada harus disiksa seperti ini.

Mungkin kalian akan berpikir, 'Idih, pede banget bakal masuk surga!'

Haha... mungkin benar. Dirinya tidak merasa begitu suci untuk bisa masuk ke sana (walaupun julukannya adalah pemakai pedang suci yang mana hanya orang suci-lah yang dapat melihat dan menggunakannya).

Mungkin ini dramatis, mungkin juga ini tidak penting.

Tapi kenapa yang terbayang saat ini adalah wajah neneknya yang tengah berdiri di samping tempat tidurnya sambil menodong sapu bagaikan pedang?

"Bangun anak muda! Matahari sudah setengah langit! Kau mau tidur sampai kapan?! Cucian numpuk di belakang tuh!"

"Tapi nek, aku tidak bisa bergerak lagi!"

"Omong kosong, kau masih muda Rex! Umurmu bahkan baru tujuh belas, tujuh belas! Demi Dewi Mirabelle! Lihat aku, setiap hari berperang dengan rematik dan asam urat tapi aku masih bisa menari tango bahkan lebih hebat darimu!"

"Hah... Neneeeek, tubuhku remuk redam, penyakitan pula. Rematik nenek tidak bisa dibandingkan dengan penyakitku."

"Coba bilang sekali lagi dan kupastikan sapu ini menyumpal tenggorokanmu!"

"E--eh, peace nek, peace."

"Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kesatria itu... errr... sebentar biar kuingat dulu."

Rex tersenyum jenaka kemudian terkekeh sembari memeluk guling.

"Kesatria tak akan menyerah hingga titik darah penghabisan. Iya aku tahu, aku tahu nek. Gezz... aku tak akan pernah bisa menang melawanmu."

"Kalau kau mengerti, bangunlah! Kau bahkan belum setengah jalan untuk mewujudkan keinganmu!"

"Lima menit lagi boleh?"

"SEKARAAAAANG!"


"Blerrghhharghhh!"

Matanya terbelalak, tubuhnya kejang-kejang kesemutan. Gelembung-gelembug keluar dari hidung dan mulutnya. Tubuhnya tertarik terus ke dasar danau yang untungnya tidak terlalu dalam. Mulutnya tak henti meminum sirup coco pandan yang mulai memenuhi lambungnya. Ia menjejak lumpur dengan cukup keras, walaupun sempat terbenam di sana. Lalu berenang dengan susah payah ke permukaan danau.

"Huaaaah!"

"Cih, masih hidup. Kau benar-benar seperti kutu rambut yang susah mati..." dari jauh Rex dapat melihat Zach yang duduk di tepi danau, melihatnya dengan jengah.

"Eh maaf mengecewakanmu, tapi nenekku bawel sekali, kalau aku mati mungkin aku akan diceramahi dalam mimpiku."

"Nenek?" Tanyanya dengan bingung, "Ah tidak penting, jadi masih mau melanjutkan? Kurasa kau bahkan tak bisa berdiri dengan dua kaki, eh?" Ejek Zach dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.

"Wow, kegagalan mengalahkan lawan bisa membuatmu menjadi banyak bicara? Sepertinya kau benar-benar kesal sekarang hahaha..." Rex berjalan ke tepian kemudian kedua tangannya bertumpu pada lutut dengan tarikan napas berat.

"Menyerah saja," Zach berdiri kemudian memunculkan tombak ungunya yang berkilat-kilat.

"Nenekku bilang," Rex kembali berdiri tegak, walaupun tubuhnya benar-benar lemah karena penyakit, "kesatria tak akan menyerah hingga tetes darah penghabisan... err... kalau bisa aku mau istirahat saja sih sebentar, tapi neneku pasti akan marah."

"Aku suka nenekmu."

"Oh, kau mau jadi cucu-nya? Kau tak akan punya waktu bersolek di depan kaca."

"Haha."

"Haha."

Keduanya tertawa sejenak kemudian kembali diam.

Rex mengangkat pedang Giruvegan yang mana tidak bisa dilihat oleh Zach. Wah hati-nya pasti tidak suci lagi. Mungkin sering mempermainkan perempuan dan main serong sana sini. Beda dengannya yang masih pure dari segala sisi.

Pure dan masih ting ting.

Oke abaikan.

Mata birunya menatap lawan, menunggu gerakan Zach yang bisa sangat cepat walaupun tadi dia sudah mengaktifkan Palmya Kingdom Sword Style yang meningkatkan kecepatan gerak.

Baju zirahnya terasa begitu berat, napasnya juga ngos-ngosan antara capai dan usaha keras mempertahankan posisi tetap berdiri sambil menahan penyakit dalam tubuh. Zach kembali melesat ke arahnya saat itu. Rex telah menunggunya, ia kembali mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

"Sword of the sun!" Serunya dan seketika itu pula sinar menerangi sekitar. Akan tetapi Zach telah bersiap dengan teknik yang sama hingga pemuda bertanduk itu menutup matanya rapat-rapat tanpa berhenti melaju pada Rex. Sepertinya telinga runcing Zach bukan hanya sekadar pajangan.

"Tch, Mirabelle Belssing!" Serunya kencang sebelum ujung tombak yang dihujamkan padanya menembus armornya. Tombak terpental dengan Zach yang berhenti tepat beberapa senti di depan Rex. Tanpa menunggu reaksi lawan, Rex memukulkan pedangnya berkali-kali ke arah Zach yang kewalahan. Efek Palmya Kingdom Sword Style masih berpengaruh, hingga serangannya menjadi seperti membabi buta jika dilihat oleh mata amatiran. Namun gerakannya teratur dengan serangan efisian di titik fatal musuhnya.

Well, titik fatal yang ia tahu hanya pada manusia. Zach jelas bukan manusia, jadi ia tak tahu seberapa fatal serangannya. Tapi hal itu sudah cukup karena kini Zach memuntahkan darah yang cukup banyak dari mulutnya. Ow ow, senjata tumpul tidak melulu kalah mematikan dari yang tajam.

Zach meludah darah ke samping kemudian dari kedua tangannya muncul piringan tipis seperti gerigi tajam dengan putaran super kencang.

"Aku belum pernah mencoba ini, tapi...,"  kemudian Zach menepuk kedua tangannya, menggabungkan piringan tajam yang berputar kencang itu menjadi sebuah angin puting beliung ungu yang semakin lama semakin besar. Bahkan hutan di sekitarnya bergoyang ramai terkena angin yang lama-kelamaan semakin menggila. Percikan petir terkumpul di tengah pusaran beliung. Rex tidak mau menunggu dirinya terkena serangan, ia langsung menyerbu ke depan.

Namun itu pilihan yang salah karena setelah badai kecil itu dilemparkan padanya tubuhnya terkena aliran listrik yang tinggi. Bagian tubuhnya tidak terpengaruh karena tertutupi oleh armor besi, namun bagian leher dan mukanya habis terkoyak sayatan-sayatan tipis seperti terkena silet teramat tajam.

Dan yang paling parah, ia masih berada di air. Semua orang tahu kalau air dan petir adalah kombinasi yang amat buruk.

"Arrghhh!!!" Rex berlutut di tempat, ketika badai reda.

Wajahnya tersayat-sayat hingga leher, napasnya memburu kencang. Namun bukan hanya dia yang kehabisan energi. Zach juga berlutut di tempatnya berdiri, wajahnya biru-biru lebam dengan mulut dan hidung yang mengeluarkan darah.

"Capai, Zach?"

"Bicaralah pada dirimu sendiri."

Mereka berdua berdiri dengan terengah.

"Waktunya serius."

"Sepertinya kau sudah serius dari tadi, Rex."

"Pfftt... yah, memang tapi sekarang duarius!"

"Terserahlah."

Keduanya terdiam, lalu bersiaga dengan senjata masing-masing. Zach memunculkan tombak ungunya lagi, memasang kuda-kuda siaga karena ini adalah serangan terakhirnya, begitu pula dengan Rex.

"Cast off!" Serunya kencang hingga baju besinya melonggar dan melayang di udara.

"Oh, tipuan yang lain?"

"Yeah, dan kuyakinkan padamu, ini akan sakit," dan beberapa saat kemudian, baju besinya terpental begitu kencang ke segala arah, membuat Zach kaget dan tak sempat bereaksi ketika dua tiga bagian zirah torso Rex mengeninya hingga tubuhnya terpental.

"Sword of Devoted!" Rex berlari dengan amat cepat tanpa armornya, bersamaan dengan itu pedang di tangannya bersinar begitu terang, "dengan ini berakhir sudah!"

Zach yang tak punya waktu banyak, mundur dengan dua lompatan. Kemudian memasang kuda-kudanya kembali. Kemudian ia ikut menyerbu ke arah Rex dengan tombak terhunus ke depan. Ketika jarak di antara mereka menjadi amat dekat, Zach mencoba menahan serangan dari pedang Rex.

Namun ia tak tahu kekuatan Giruvegan yang sebenarnya. Pedang yang dapat memotong segalanya, bahkan senjata tombak magis Zach pun terpotong menjadi dua. Beruntung pemuda bertanduk itu masih bisa menghindari sebetan Giruvegan.

Rex hendak menyerang kembali, namun sayangnya penyakit dalam tubuhnya tidak mau bekerja sama. Hingga pada saat yang bersamaan, ia memuntahkan banyak darah.

Zach tidak menyianyiakan kesempatan tersebut. Rex dapat melihat pemuda rambut hitam itu mendekat ke arahnya, berputar kemudian melakukan high kick tepat di dagunya.

Bukan high kick biasa karena ditambah dengan momentum aneh seperti tengah terdorong oleh ledakan angin yang amat kuat. Tubuhnya terangkat lima meter ke udara, namun hal tersebut belum selesai karena Zach melompat ke arahnya, kemudian menendang tubuh Rex dengan cara yang sama hingga pemuda pirang itu terlempar lebih tinggi dan lebih tinggi.

Suara momentum ledakan angin itu terdengar seperti pecahan kaca, terjadi empat kali sebelum berhenti. Namun itu bukan akhirnya. Zach melompat seakan tengah menjejak udara hingga kini berada di atas Rex. Lalu dengan sebuah tendangan dengan ledakan angin, ia menendang Rex kembali ke bawah.

Dengan suara berdebum keras, Rex tergolek di tanah.


Ah... sepertinya... aku tak bisa lanjut lagi Nek.

***

Colette terbatuk cukup keras. Kepalanya pusing, dunia seakan berputar jungkir balik. Ia bahkan tidak tahu mana atas mana bawah. Setiap dirinya berusaha untuk berdiri, tubuhnya linglung dan kembali ambruk.

Nurin di tergeletak di tempat yang cukup jauh dari Colette, namun belum mati. Tubuh gempal nampaknya membuat ia bisa mendarat dengan aman di tempat berbatu ini. Angin berhembus amat kencang. Colette menatap ke depannya sembari merayap di atas bebatuan yang keras. Ia dapat melihat laut dari sini... laut yang berada jauh di bawah sana.

Tebing. Mereka berguling hingga ke sebuah tebing.

"Cewek badut sialan!" Nurin mengumpat sambil bersusah payah berdiri. Ia berjalan agak linglung ketika angin kencang bertiup.

Colette ikut berdiri walaupun nyeri di lengan kirinya masih terasa. Masker gas beracun di wajahnya perlahan-lahan menghilang. Untungnya gas hijau Nurin hanya fatal jika terhirup. Walaupun demikian, Colette merasakan gatal yang amat mengganggu di seluruh tubuhnya.

"Mulai kegatelan, Neng?" Nurin berjalan dengan amat kesulitan karena kacamatanya jatuh entah di mana, "Hah... aku berubah pikiran, nampaknya aku akan membunuhmu di sini."

Mereka berdua tertatih, dengan pandangan nanar. Bedak di wajah Colette telah luntur sebagian, wajahnya berborok yang makin melebar setiap menitnya.

Nurin memungut segenggam batu kerikil kemudian meludahinya.

"Katakan hai pada batu beracun," lalu Nurin melemparkan belasan kerikil itu ke arah gadis Reves. Colette yang tak dapat bergerak lebih luwes dari sebelumnya, menerima sebagian kerikil tanpa dapat menghindar. Lengan kanan dan kaki kirinya mulai melepuh.

"Aaaahhh...," Colette meringis.

Pertarungannya dengan Lucia lebih ganas daripada ini, tapi Nurin lebih berbahaya daripada Lucia. Setidaknya ludah Lucia tidak menyebabkan penyakit.

"Haha... ughh...," Nurin mengernyit kemudian memuntahkan isi perutnya karena mual setelah berguling, "urghh... sial, makananku keluar," namun segera setelah itu ia kembali menyeringai.

"Nah, setelah kerikil beracun, bagaimana dengan muntah super beracun Grade S?" Tanpa rasa jijik, Nurin menggenggam muntahannya yang busuk lalu melemparkannya ke Colette. Untuk kali ini Colette lebih sigap, dengan segenap kekuatan ia melompat ke samping dengan terengah-engah. Rasa ngilu di tangan kanan semakin menjadi akibat lompatan barusan hingga kepalanya pening.

Namun ia tak ingin menerima serangan racun terus menerus dari Nurin. Segera setelah itu, dengan kekuatan Reves-nya yang tersisa. Ia membuat tubuhnya terbalut oleh pakaian anti virus seperti yang ia lihat di televisi.

"Hah... hah... sekarang aku aman," ucap Colette dari balik pakaiannya, bahkan muntahan Nurin yang dilemparkan selanjutnya sama sekali tidak berefek.

"Sialan!" Nurin lalu menyerbu gadis mime itu walaupun gerakannya amat lambat, sedangkan Colette hanya bisa tertatih menghindar sembari menahan sakit. Ada beberapa saat ketika Colette merasa ingin melepaskan pakaian yang membalutnya. Entah mengapa ia ingin mengikuti segala perintah yang diberikan Nurin padanya.

Oh tidak! Penyakit ini perlahan-lahan membuatnya mengikuti perintah Nurin. Ia tak bisa bersantai-santai. Colette yang berencana untuk pasif tanpa menyerang. Kini berdiri lalu menerjang Nurin yang nampak kesulitan berdiri dengan perut bergelambir.

Masih ada sekitar lima menit sebelum pakaian ini menghilang. Dalam jeda itu, Colette harus berhasil membunuh Nurin dengan cara apapun. Mereka berguling hingga mendekati pinggir tebing. Colette mengambil sebuah batu besar, kemudian hendak di hantamkannya ke kepala Nurin. Namun Nurin segera mencengkeram tangan kiri Colette, tepat dimana bekas luka akibat galian lalat pemakan daging.

Colette menjerit amat kencang, namun batu tetap terjatuh ke kepala Nurin. Gadis berambut hitam itu meraung murka dengan hidung berdarah dan bibir pecah. Ia menendang perut Colette ke belakang, menjauhi pinggiran tebing, kemudian mengambil sebuah pisau dan garpu makan yang berserakan di dekatnya.

Nurin menancapkan pisau makan ke lengan kanan Colette, pakaian anti virus tembus walaupun serangan Nurin hanya menyerempet pinggir lengan Colette. Ketika Nurin hendak menancapkan garpu, Colette menghentikannya dengan sundulan kepala.

Nurin mengerang sembari memegangi hidungnya yang berdarah. Pada saat itu Colette menerjang ke depan hendak mendorong Nurin hingga jatuh ke tebing. Namun pada saat yang bersamaan pakaian anti virus-nya terbuyarkan.

"Oh non...," tubuh Colette berhasil menerjang Nurin namun tidak sampai membuat gadis gempal itu jatuh ke tebing. Yang lebih parah, Colette harus rela menghirup gas hijau Nurin.

Segera setelah itu ia berguling ke samping, kemudian dengan susah payah mewujudkan sebuah masker gas. Masker gas terbentuk, namun penyakit telah lebih dulu merongrong tubuhnya.

"AKHIRNYA!" Nurin berseru kencang ketika Colette dengan putus asa membuka masker gasnya kembali, "aku bisa keluar dari sini! Harusnya dari awal sudah kulakukan pada dua orang yang lain, tsk... merepotkan!"

Colette melihat Nurin dengan nelangsa, napasnya memburu dan tubuhnya mulai menggeliat kesakitan. Penyakit mematikan menjalar cepat dalam tubuhnya. Ia menatap ke balik pundak Nurin, kemudian di saat terakhir masih sempat melemparkan masker gas ke arah wanita lalat itu atas aksi pemberontakan sebelum dikendalikan. Sayang sekali, lemparan itu meleset hingga jatuh cukup jauh di belakang Nurin.

"Ck ck ck... kau tak tahu kapan harus berhenti eh?" Nurin menghampiri Colette,  "ada kata-kata terakhir?"

Dengan napas berat Colette berucap pelan.

"Meurs pute--die whore," dengan sebuah senyum kemenangan.

Di saat yang bersamaan, Zach muncul di sebelah Nurin dengan masker gas terpasang di wajahnya. Kemudian ia membisikkan kata-kata ajaib seperti yang dilakukannya pada Colette.

"You're my prisoner..."

Nurin terbelalak kaget sembari berjalan mundur beberapa langkah. Zach melepaskan maskernya kemudian tersenyum.

"Aku yakin kau bisa terbang," ucapnya halus sembari menunjuk ke arah tebing. Dan saat itu pula, Nurin melompat dari tebing. Ia jatuh dari ketinggian seratus meter pada karang tebing. 

Hal terakhir yang Colette ingat adalah tubuhnya yang terangkat dari bebatuan dan rasa aman yang merayapi jiwanya.

***

Jantungnya masih berdetak.

Tubuhnya utuh, atau mungkin kembali utuh setelah ledakan barusan. Matanya mengerjap, agak tidak percaya apa yang baru dilihatnya.

Sil tergeletak dengan pakaian sobek di bagian perut. Tidak ada luka akibat ledakan bom bunuh diri Zany beberapa saat lalu, kecuali di bagian tato teratai yang sempat tertancap pecahan kaca timer bom waktu yang Zany ciptakan.

Gadis berambut hitam itu tergeletak dengan ekspresi yang masih sama seperti yang lalu-lalu. Mata terbuka dengan pipi merona yang mana terlihat mengerikan karena Sil sudah mati.

Zany keluar sebagai pemenang.

"Aku... menang...," ia menatap nanar ke arah jasad Sil yang kaku, "Aku menang... haha... HAHAHAHAHAHAHA!" Zany tertawa dengan nelangsa, air matanya jatuh deras di kedua sisi pipinya.

Ia tak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia benar-benar linglung.

"Aku menang... hahaha... menang...," ujarnya seraya berjalan meninggalkan tempat tersebut dengan tertatih. "Menang... kakak... aku menang, aku akan hidup kembali... dan membunuhmu... hahahaha aku menang... menang..."

Sejurus kemudian, ia mehilang dalam keremangan hutan. Berusaha mencari jalan pulang dengan sisa kesadarannya.

***

Zach menatap Colette dan Rex yang terbaring bersisian. Keduanya masih hidup, walaupun mungkin tak akan bertahan lebih dari setengah jam dengan penyakit juga luka yang mereka derita.

Ia tak sempat mencari keberadaan Sil karena sibuk oleh dua orang ini. Zach hanya berharap agar gadis itu berhasil memenangkan ronde ini dengan selamat. Walaupun entah mengapa sedari tadi ia merasa agak resah setiap mengingat Sil.

"Kau sudah menyelamatkannya?" Adalah hal pertama yang diucapkan Rex setelah membuka matanya.

"Sudah," Zach menjawab seadanya seraya mengendikkan kepala ke arah Colette yang tertidur di sebelah Rex, kemudian duduk di tepian danau. Sudah lebih dari satu jam dia membiarkan keduanya tertidur di sini. Matahari hampir tenggelam, tenggat waktu tersisa satu jam dari sekarang. Namun hal itu bisa menunggu, karena Zach tak terburu-buru.

Manusia itu kadang bisa berpikir amat bodoh. Tololnya sudah tidak tertolong, ia rasa. Rex, si manusia sekeras baja ini bahkan belum mati setelah serangan terakhirnya. Walaupun ia sudah tak dapat bergerak, dirinya malah mengkhawatirkan orang lain yang mungkin tengah berada dalam bahaya.

Zach tak pernah bertemu manusia seperti ini. Hal itu membuat perasaannya teriritasi, benar-benar kesal. Entah karena apa. Walaupun pada akhrinya ia menyusul Colette dan menyelamatkan gadis itu. Toh pada akhirnya jika Colette sudah kalah, ia bisa kembali untuk membunuh Rex. Begitu pikirnya, namun takdir berkata lain. Ia telah membunuh Nurin, sehingga membunuh Rex sama sekali tidak berarti lagi.

Dan sekarang masalah baru muncul. Dan Zach tak suka itu.

"Uhh...," Colette mengerjapkan matanya kemudian menatap ke arah Zach pertama kali, kemudian Rex.

"Rex! Vous masih... hidup?"

"Masih, namun tidak baik. Bagaimana denganmu?"

"Kurang lebih sama dengan vous."

Mereka berdua terdiam. Namun yang paling kalut adalah Rex, Zach mengerti mengapa Rex merasa demikian. Namun ia diam, matanya menatap matahari tenggelam dengan nanar. Rasa lapar tak lagi menguasainya, entah karena ia telah menang atau memang kekuatan sugesti seperti apapun tak akan berhasil memengaruhinya saat ini.

"Colette... pesertanya hanya tingga kita berdua," ucap Rex dengan amat lirih. Zach akhirnya menoleh, dan ia tak suka ekspresi kedua orang itu yang terlihat amat merana.

"Salah satu dari kita harus mati..." Rex berusaha berdiri, kini tubuhnya tak berbalut armor apapun hanya memakai kaus dan celana panjang ketat berwarna hitam biru, "...dan lebih baik jika aku yang mati."

"Non! Moi tidak mau membunuh vous, Rex!"

"Aku akan mati sebentar lagi, tubuhku tak dapat bergerak dan sepertinya akan lebih baik jika kuberikan nyawaku pada seseorang sepertimu, terlebih lagi aku sudah tak tahan dengan rasa sakitnya."

"Non! Moi... moi tidak bisa Rex...," Colette mulai menangis dengan terisak, "vous sudah menyelamatkan moi berkali-kali, moi tidak bisa melakukannya."

"Hei, ini tidak buruk seperti kelihatannya, Colette," ucap Rex berusaha untuk terdengar jenaka, walaupun tidak bisa, "aku punya probabilitas 3:1 untuk hidup kembali di ronde selanjutnya, jika peserta yang dimusnahkan sama seperti sebelumnya."

"Ini bukan bahan lelucon, Rex," ucap Colette lemas.

"Aku tidak berniat untuk bercanda," Rex kembali berbaring di tanah, "anggap saja aku hanya tidur sejenak dan akan bangun ketika kau kembali ke Jagatha Vadhi."

"Nah... bunuh aku, Colette, rasa sakit ini semakin menyiksaku," Rex berkata sembari menatap ke dalam mata cokelat Colette, "tak apa-apa... ini bukan salahmu, aku yang mau ini terjadi."

Colette terdiam, air matanya telah berhenti. Kemudian ia melakukan gerakan menusuk-nusuk udara lalu muncullah sebilah pisau kecil. Cukup untuk membuat Rex berhenti bernapas.

"Baiklah," ucap Colette, "jika itu yang vous inginkan."

Rex menyambut tangan Colette, "Jika kau tak dapat melakukannya sendirian," ucapnya pelan.

"Merci, Rex... karena kau baik sekali," ucap Colette yang kembali menjatuhkan air mata.

"Bukan masalah," lalu dengan cepat ia menghujamkan pisau ke daerah vital. Rex terbelalak, ketika darah mulai mengalir dari bibir Colette.

"Ap--apa yang...," Zach tak dapat berkata-kata ketika Colette menarik lengan Rex, membuatnya terlihat seperti pemuda itulah yang menghujamkan pisau ke dada Colette.

"Colette! Kau..."

"Anggap sa..ja moi sedang tertidur, se...perti ya...ng ka...u ucap...kan ta...di," Darah mengalir deras dari dada Colette.

"Mo...i sudah... lela...h, Rex...," kemudian gadis itu tumbang ke samping dengan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya. Colette mengerling ke arah Zach, dengan air mata terakhir yang mengalir pelan.

"Tol...ong an...tar dia... ke ru...mah kue," ucap Colette sembari menunjuk ke suatu tempat, "itu... po...sisi awal...nya."

"Tidak! Colette jangan lakukan ini! Ini tidak adil!" Rex mulai meracau tidak jelas.

"Zach... tolo...ng," desah Colette lemah. Zach mendengus kesal, perasaannya campur aduk tidak beraturan.

"Kalian berdua memang senang merepotkanku," ujarnya seraya memukul perut Rex hingga pemuda itu pingsan.

"Puas?" Ucap Zach kemudian menggendong Rex di punggungnya.

"Me...rci, Zach."

Setelah itu Colette terdiam, dadanya berhenti bergerak, dengan tatapan kosong. Ia sudah mati, namun senyum menghiasi wajahnya.

Zach melompati dahan pohon demi dahan pohon, tak lama kemudian ia menemukan sebuah rumah kue yang sudah membusuk. Satu Hvyt tengah berdiri di sana lalu tanpa banyak bicara Zach menyerahkann Rex padanya.

"Masih hidup, setidaknya," ucap Hvyt sebelum terbang tinggi ke langit membawa Rex yang tak sadarkan diri.

Zach kembali melompati satu dahan ke dahan lainnya, menuju pohon besar tempat awalnya turun ke pulau ini. Ia kesal, amat kesal mengingat kelakuan dua manusia idiot itu. Rasa geramnya tak kunjung hilang ketika ia tiba di tempat awalnya dengan satu Hvyt menunggu di sana.

"Selamat, Zacharias Etihelonen."

"Simpan saja ucapan selamatmu," ucap Zach sambil lalu seraya menjulurkan sebelah tangannya pada Hvyt sebelum mereka membumbung ke angkasa.

Manusia bodoh. Benar-benar bodoh, rela berkorban demi orang lain padahal mereka bisa hidup lebih lama jika mementingkan diri sendiri.

Bodoh. Tolol. Tak punya otak.


Tapi manusia bodoh seperti itulah master idamannya sejak dulu.
.
.
.
.
Zach Round 2. End

7 comments:

  1. Anonymous18/5/14 22:56

    Astaga kyaaa D:

    maaf Bang admin, bisa dieditin gak itu yang mark kuning2? saya pas mau kirim lupa hilangin itu D: tolong admin >.<''

    Naer

    ReplyDelete
  2. kuning-kuning-kuning... mata bling bling >.<

    wwwkwkw... Akhirnya Sil mati juga >.<

    Banyak bagian favorit di sini, tapi mungkin karena om Naer ngerjainnya deadline jadi banyak yang tanggung wkwkwk >.<

    Umi suka karakterisasi Coco, Nurin sama Rex disini berasa kena banget.

    Plot-nya juga jelas. Plus semua OC keluar ><

    Umi kasih 7/10 deehhh >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous20/5/14 10:46

      Makasih umi udah mau baca cerita belang-belang ini @_@

      Duh saya masih menyesal ngirim ginian :))

      Makasih poinnya :*

      Naer

      Delete
  3. Sama, saya juga mau bilang kuning2 XD tapi karena (mungkin) ngerasa juga dikejar si deadline sialan, jadi ngga terlalu masalah sih.

    Karakterisasi, semua karakter alami banget, layaknya digambarin sama author masing2 tanpa ngambil gaya penceritaan mereka. Itu jadi poin plus banget. Terus, narasi sama pemilihan kata udah aduhai, kalopun ga ditandain pake kuning2 juga kayaknya saya bakal tetep kagum sama pemilihan katanya

    Battle sama alur secara keseluruhan dapet pengaruh besar dari setting. lagi-lagi ini poin plus. XDb

    Selain itu, ngga nyangka aja ternyata canon ini panjang juga. Pas saya scroll ke bawah, "Kok ga abis2?" XD Opening sama ending lumayan kontras, di awal Zach santai aja nanggepin Hvyt, tapi di ending dia lebih mikirin sesuatu yg serius.

    9/10

    ReplyDelete
  4. Anonymous28/5/14 07:10

    Utk plusnya, adegan tarung masih gesit dan temponya bagus. Masing2 karakter jg ditunjukkan kemampuan dan kata2 yg menunjukkan bbrp sifat mrk.

    Poin minusnya, di bbrp adegan tarung yg mestinya berklimaks sehingga harus serius, masih ada bnyk selipan adegan komedi yg kyknya kurang pas. Tarungnya keren tapi dialognya ko malah kyk anak sekolah tawuran yg setengah becanda, makanya kesan emosinya kurang dapet. Ada jg komentar2 kyk "oh...", " ck ck ck...", "oke abaikan", yg kurasa nggak pas kalau dipakai di narasi. Alur ceritanya mengalir tapi hubungan antar tokohnya masih sebatas lawan tarung aja, blm ada sesuatu yg pantas bikin mereka saling benci atau saling bantu sepanjang pertarungan, selain peraturan tarung tsb sendiri.

    Nilai dariku 7

    - Po

    ReplyDelete
  5. O ho ho ho hon. Gara2 dikejar deadline ya makanya jadi banyak kuning2 begitu. Akhirnya banyak yang nanggung. Tapi battle-nya oke. Cukup dinamis. 7,5 dari moi!

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -