Pages

April 9, 2014

[ROUND 1 - K] REEH AL SAHR'A - TARIAN ANGIN GURUN

[Round 1-K] Reeh Al Sahr'a
"Tarian Angin Gurun"
Written by Epicu Fail

---
Pembuka


Dahulu hidup seorang pria. Nama depannya Reeh, nama keluarganya Sahr’a. Saat usia tujuh belas, ia memulai sebuah perjalanan untuk melihat dunia. Dari lautan yang dihuni monster ganas, hutan yang ditinggali kegelapan abadi, hingga kota emas yang hilang. Baginya semua itu ialah tabir misteri kehidupan yang menanti untuk dibuka.

Beberapa puluh tahun kemudian, ia mengungkap satu dari rahasia-rahasia alam terbesar : angin. Itu membuatnya mampu mendengar, berbisik, bahkan berjalan bersama angin. Tak hanya itu, ia juga mendapat anugrah hidup yang amat panjang, seperti angin. Sayangnya ia tak pernah menyangka kejadian itu akan menjadi titik yang mengubah arah pengembaraannya.

Kabar mengenai dirinya pun tersebar melintasi tujuh samudra, melewati enam benua. Semua makhluk tahu siapa itu Reeh Sang Angin Gurun. Ke mana pun ia pergi, angin akan membawa kabar mengenai dirinya lebih cepat dari kehadirannya sendiri. Ia bukan lagi pengembara yang dipandang sebagai angin lalu. Tapi dari situ masalah muncul.

Ada perkataan kuno suku-suku padang pasir yang menyebut bahwa kekuatan membawa tanggung jawab. Namun bagi Reeh, kekuatannya membawa perang. Para raja, penguasa, orang-orang kaya, mereka selalu memberinya dua pilihan : menjadi kawan atau lawan. Kekuatannya membutakan hati-hati picik mereka. Jika tidak bisa memiliki, mereka menganggapnya sebagai ancaman yang harus dimusnahkan. Selama puluhan tahun berikutnya, pengembaraan pria itu pun selalu diwarnai merah darah.

Hingga, sang kematian datang beserta sabitnya. Mungkin bukan untuk sebuah maksud jahat, hanya ingin menghentikan sebelum semua kerusakan tak bisa lagi diperbaiki.

Namun kematian tak membawanya ke siksa api neraka atau nikmatnya buah surga. Kematian membawanya ke sebuah tempat yang dipenuhi kemerahan. Bersama lima puluh empat jiwa lainnya, ia dihadapkan pada Thurqk, makhluk yang mengakui dirinya sebagai pencipta – tanpa kebijaksanaan. Makhluk itu menginginkan jiwa-jiwa agar saling bertarung sebagai hiburan baginya.

Tak ada yang bisa menolak, apalagi melawan. Ketika sebelas kelompok dibentuk untuk pertarungan pertama, semua terpaksa mengikuti dengan patuh – termasuk Reeh yang kehilangan kemampuannya mendengar angin. Tapi, justru dari situlah, sebuah perjalanan terakhir pun penuh arti bagi ke lima puluh lima jiwa dimulai.


Bab 1


Reeh berdiri terpana menyaksikan pemandangan di hadapannya. Ratusan orang berlalu lalang di jalan yang permukaannya terbuat dari keramik putih mengkilat. Ada yang berjalan santai, bersenda gurau, juga yang terburu-buru seperti mengejar sesuatu.

Sementara di kiri dan kanan terdapat bangunan-bangunan yang saling menempel, bertingkat-tingkat hingga ke atas dengan susunan tangga. Desainnya benar-benar asing, sama sekali tidak pernah Reeh lihat sebelumnya. Lalu di atas sana, kubah biru raksasa berdiri melingkupi bagaikan langit.

Sungguh pria itu tak habis pikir di mana ia berada. Ternyata benar kata para pelaut. Seberapa jauh pun kau berlayar, jangan pernah merasa sudah mengarungi dunia. Selalu ada daratan baru di balik samudra.

Namun jiwa pengembaranya tak bergemuruh seperti biasa. Ia sama sekali tak ingin menelusuri tempat itu. Karena, ada satu hal yang sejak tadi terus mengusik pikirannya : mengapa angin tak kunjung berbisik.

Angin, di mana ini?

Berapa kali pun ia memanggil, tak ada jawaban. Untuk pertama kalinya ini terjadi. Padahal selama lebih dari seratus tahun angin tak pernah bosan berbisik padanya.

Kemudian jantung pria itu mulai berpacu. Keringat dingin membasahi kuduknya saat ia menyadari. Hari ini, untuk pertama kalinya semenjak lebih dari seratus tahun, ia berada di tempat asing seorang diri. Benar-benar sendiri tanpa angin yang selalu menyertai di mana pun ia berada.

Spontan Reeh beranjak dari tempatnya berdiri mematung lima menit terakhir. Ia melambaikan tangan pada seorang pria paruh baya yang berjalan buru-buru sambil membawa tas kopor hitam.

“Permisi, di mana ini?”

Pria itu tak mengacuhkan Reeh, tetap berjalan seperti dikejar sesuatu. Sang pengembara pun segera mengejarnya, kembali memanggil, kali ini seraya menepuk bahunya. Namun apa yang terjadi, yang terjadi malah tangannya menembus bahu pria itu. Kedua mata zamrud Reeh langsung terbelalak lebar.

Seperti gasing sang pengembara memutar tubuh. Lalu ia meraih seorang wanita yang melintas di dekatnya. Ternyata sama saja, tangannya seperti menyentuh udara kosong. Atau justru tangannya lah yang seperti udara kosong.

“Apakah ada di antara kalian semua yang bisa mendengarku?!” Reeh berteriak namun tak ada satu pun yang menoleh.

Jadi benar ia sudah mati. Ia adalah roh yang mengembara di antara manusia-manusia yang tak bisa merasakan kehadirannya. Bahkan angin tak sudi untuk mendengar bisikannya.

Dalam tekanan itu Reeh berjalan limbung di antara orang-orang. Meski berusaha menghindar, secara tak sadar ia juga membiarkan tubuhnya menabrak orang lain. Tapi harapannya kerap sirna tiap kali mereka saling berlalu.

Di kala tak tahu harus ke mana, suatu aroma gurih daging goreng tertangkap penciumannya. Insting membuat pria itu mengikutinya hingga tanpa sadar memasuki sebuah rumah makan. Terdapat banyak meja di sana, sementara orang-orang yang mengantri bisa menyaksikan koki mempermainkan kelihaiannya di depan penggorengan.

Lalu Reeh berhenti. Ia memperhatikan asap yang mengepul tiap kali sang koki membalik potongan daging. Pikirannya pun melayang.

Apabila angin menolak mendengar bisikannya, mengapa angin masih menghantar aroma nikmat ke hidungnya?

Sebuah pertanyaan memicu pertanyaan lain. Reeh mengangkat sebelah tangan, lalu meniup lembut ke arah jemarinya. Sejuk.

Apabila ia dan angin berada dalam dimensi kehidupan yang berbeda, mengapa ia masih dapat merasakan tiupan angin?

Semua tidak seperti kelihatannya.

Tempat ini, dunia ini, alam kematian ini, tidak seperti kelihatannya.

Reeh begitu sibuk dengan kemelut hatinya, hingga ia tak menyadari langkah seseorang yang mendekat. Dari luar, matanya sudah terpaku tajam ke punggung Reeh. Sebilah pedang tergenggam erat di tangan kanannya.

Bukanlah bisikan angin yang kemudian memberitahu Reeh, namun niat untuk mencelakai terpancar jelas dari tiap tarikan nafas berat orang itu. Dan lagi ketika ada satu yang menatap dalam di kala yang lain menganggapmu sebagai hantu, kau akan tahu.

Reeh lekas berbalik, dan orang itu langsung menghentikan langkahnya. Untuk beberapa saat, keduanya saling tatap. Mungkin mereka terkejut – sekaligus lega -, akhirnya bertemu dengan seseorang yang bisa melakukan kontak, bukan sekedar menganggap mereka angin lalu.

“Jika ingatanku tak mengkhianatiku,” Reeh mengerutkan kening sembari mengingat daftar nama empat orang yang masuk dalam kelompok K. “Andalah Rafa Grafito.”

“Aku tidak peduli siapa namamu,” jawab pria itu dingin seraya mengeratkan genggaman pedangnya. “Tapi menyerahlah sebelum aku terpaksa melukaimu.”

Reeh terdiam sesaat, lalu bertanya, “Mengapa aku harus menyerah?”

“Apa motivasimu bertarung?”

Reeh kembali terdiam. Sebenarnya, mengapa ia harus bertarung?

“Jangan-jangan kau tidak punya motivasi?” sambar Rafa. “Asal kau tahu, Bumi bisa musnah jika aku tak kembali. Karena itu menyerahlah, aku tak ingin melukaimu.”

“Bumi juga bisa tetap musnah meski kau kembali?” Reeh segera melanjutkan saat menyadari Rafa sudah akan menerjang akibat celetukannya. “Maksudku, apa bedanya jika kau memintaku menyerah atau melukaiku atau membunuhku? Thurqk sendiri yang bilang kalau ia akan membakar siapa pun yang mundur...”

“Kau tahu?”

“Apa?”

“Kesabaranku sudah habis!”

Tiba-tiba lidah api menyala di bilah pedang Rafa. Pria itu langsung melangkah maju dan menebaskan pedangnya kuat-kuat.

Reeh segera mengantisipasi. Ia mengeluarkan pedang kurva dari sarungnya lalu menangkis serangan yang datang. Tapi itu tidak cukup, karena api dari pedang Rafa langsung menjilatinya seperti anjing kelaparan.

“Ah!” Reeh melompat mundur, namun menabrak meja tempat koki memasak. Otomatis benda itu berguncang, mengagetkan orang-orang di sekitarnya.

Seperti tidak mau memberi kesempatan bernafas sedikit pun, Rafa menarik senjata kedua di tangan kiri. Benda itu mirip senapan mesiu namun dengan desain yang amat asing. Ia menodongkan senjata itu lalu menarik pelatuknya. Sebuah tembakan sinar melesat.

Beruntung Reeh menjatuhkan diri tepat waktu. Tembakan itu hanya menembus koki yang berada di balik meja penggorengan tanpa terluka sedikit pun. Cuma dinding belakang yang tiba-tiba berlubang dan membuat semua orang makin keheranan.

Sekarang giliran Reeh yang menyerang. Dari posisi setengah berlutut, ia langsung menyeruduk Rafa menggunakan bahunya. Pria itu pun pun terhempas ke belakang, sementara sang pengembara cepat-cepat menyeimbangkan tubuh. Tanpa angin ia adalah petarung pedang padang pasir biasa, karena itu ia memutuskan untuk lari sejauh-jauhnya meninggalkan Rafa.

Sekali pun pada akhirnya harus mati untuk kedua kali, Reeh tak mau secepat itu.


Bab 2


Rafa bangkit sambil mengerang kesakitan. Punggungnya terasa berdenyut, apalagi saat ia berjalan keluar rumah makan untuk mengejar sang pria bersorban kembang. Namun pandangannya segera dikacaukan oleh ratusan orang yang berlalu lalang di jalan utama. Entah ke mana perginya Reeh.

Rafa pun mendesah garang. Ia bertanya dalam hati, tak tahukah orang itu akan situasi berbahaya yang tengah ia hadapi? Belahan jiwanya sedang berada dalam situasi berbahaya, dan nasib bumi menjadi taruhan, apabila gadis itu tak bisa ia selamatkan.

Memikirkan semua itu membuat gigi Rafa bergemeretak. Saat ini fisiknya bisa bergerak bebas, tapi hatinya seperti dirantai. Seolah-olah ada yang memegangi tangannya padahal ia harus menolong seseorang yang akan tertabrak kereta.

“Cih,” ia mendesis, lalu duduk menyandarkan diri di dinding sebuah bangunan.

Sepertinya memang ia cuma bisa pasrah. Ditariknya nafas dalam, lalu dihembuskan ringan ke udara. Kemudian ia melempar pandangan jauh ke atas di mana kubah raksasa melingkupi tanpa batas. Ah, ia ingat tempat ini, tersimpan dalam kotak-kotak kenangan terdalam di memorinya.

Menara Katai Merah, tempat tinggal bangsa Gliese 518g sebelum dihancurkan Hellios. Mengapa ia bisa berada di sana adalah sebuah pertanyaan, tapi pria itu memilih untuk tidak memusingkannya dulu. Ia ingin melihat lebih dekat kampung halaman yang ia tinggalkan belasan tahun silam. Melupakan pertarungan untuk sesaat, ia mulai bergerak menyusuri jalan.

Luar biasa indah.

Tempat yang terbatas menyebabkan bangunan-bangunan dibuat sangat teratur. Pemukiman penduduk berjajar di tingkat-tingkat atas, sementara di lapisan bawah adalah fasilitas umum. Ada pusat perbelanjaan, rumah makan, kebun rumah kaca, hingga drum-drum raksasa pemurnian air dengan pipa-pipa yang menjalar di seluruh kota.

Tiba-tiba setitik air menetes dari ujung mata Rafa. Perjalanan ini telah membangkitkan kerinduan yang sempat hilang. Seandainya Hellios tidak melakukan eksprimen bodoh itu, ia masih akan tinggal di Menara Katai Merah. Tapi, ia tidak menyesali tempat tinggalnya di Bumi. Planet itu terlalu indah untuk tak disyukuri.

Rafa pun menyeka matanya menggunakan lengan jaket. Waktu istirahat sudah usai, saatnya mencari si sorban kembang.

Tapi ke mana perginya pria itu?

Di saat ia menyapu pandangannya ke sekitar, justru sesosok gadis yang tertangkap olehnya. Di antara orang-orang yang menganggapnya sebagai hantu, gadis berambut merah itu justru menatap tajam. Rafa lupa siapa namanya, tapi ia ingat betul hanya ada satu orang yang mengenakan gaun merah-hitam seperti itu.

“Menyerahlah!” Rafa langsung menghentak dengan senapan teracung. “Aku... aku tidak mau melukai perempuan.”

Sayangnya gadis berambut merah itu tak menghiraukan. Tanpa kata-kata ia melesatkan tiga jarum mematikan yang sebelumnya disembunyikan entah dari mana.

Rafa segera mengeluarkan pedangnya. Ia menepis jarum-jarum itu menggunakan sabetan yang diiringi putaran angin. Kemarahannya pun meledak. Sudah hampir ia menarik pelatuk dari senapan lasernya. Tapi, telunjuknya bergetar. Sosok di hadapannya... adalah seorang perempuan.

“Sial!”

Rafa berbalik dan lari sekencang-kencangnya. Ke mana pun, asal tidak perlu berhadapan dengan gadis itu.


Bab 3


Anette melihat targetnya melarikan diri. Sangat menyebalkan, umpatnya dalam hati. Padahal untuk menemukannya saja ia harus mengitari kota yang dipenuhi manusia – sesuatu yang amat ia benci. Untunglah manusia-manusia itu tak ada satu pun yang bisa melihat atau menyentuhnya.

Gadis itu mulai berlari mengikuti Rafa Grafito. Dengan otot kaki yang luar biasa, ia pasti bisa mengejar dalam waktu singkat. Namun pria itu terus memasuki gang, berbelok di tikungan, dan membaur di antara kerumunan hingga Anette kehilangan arah.

Sampai akhirnya ia tiba di sebuah taman kota. Nafasnya begitu tersengal. Urat-urat mencuat di dahinya. Kekesalannya memuncak hingga ia bisa meremukkan kepala musuh mana pun yang tiba-tiba menampakkan diri.

Dan, entah kebetulan atau memang sudah digariskan, ia melihat seorang gadis berkulit coklat yang tengah duduk diam di ayunan. Dari kacamata aneh yang gadis itu kenakan, Anette tak mungkin salah. Gadis itu adalah Sjena Reinhilde, sang penguasa bayangan.

Anette pun mengeluarkan jarumnya, lalu membidik dari jauh.


Bab 4


Sjena tidak yakin dengan apa yang akan ia lakukan. Kematiannya bukanlah sesuatu yang tak wajar. Kematiannya adalah efek dari sesuatu yang harus ia lakukan. Meski Thurqk memberinya kesempatan kedua, ia tidak tahu apakah bisa mengubah takdir. Sebab, roda takdirnya sudah berputar bahkan jauh sebelum ia dilahirkan. Kesempatan kedua mungkin hanya akan membuatnya mengulang hal yang sama.

Masalahnya Thurqk menjanjikan siksa pedih bagi mereka yang kalah. Itu membuat semua jadi membingungkan. Siksa tetap datang meski Sjena menang atau pun kalah.

Karenanya sejak berada di tempat asing ini, gadis itu menghabiskan lebih banyak waktu di atas ayunan tanpa tahu harus berbuat apa. Ia cuma memperhatikan orang-orang berlalu lalang di taman sebagai hantu.

Lalu sebuah sengatan di leher membuyarkan lamunannya.

“!!!”

Sjena jatuh dari atas ayunan. Tangannya segera menggapai area leher dan mendapati sebuah jarum. Namun aneh, pandangannya bukan mengabur. Kesadarannya juga tak menghitam. Dadanya malah berdebar-debar dan adrenalinnya terpacu, membuatnya sangat bersemangat.

Kenapa denganku?” sambil bertanya-tanya ia menemukan sosok yang pasti bertanggung jawab atas serangan barusan, sang suster darah.

Si suster menepuk dahinya sendiri, lalu beranjak ke tong sampah logam terdekat. Ia meraih benda itu, lalu melemparnya sekuat tenaga ke arah Sjena.

“Oh, gimme a rest!” desis gadis itu kala menghindari hantaman tong.
.
Adrenalin yang terpacu lekas membuat tubuhnya melangkah maju. Kemudian dengan satu jentikan jari, ia berteleport tepat ke balik punggung sang suster. Tinjunya dikepalkan, lalu bayangan hitam berkumpul di sana membentuk tangan raksasa.

“Golem Hand!”

Sebuah hantaman dahsyat ke punggung, membuat sang suster terpelanting jauh bukan kepalang.

“Hey, you are wasting my precious time,” ujar Sjena seraya menepuk-nepuk telapak tangan seolah habis memegang kotoran. “Pergilah, kau akan kumaafkan.”

Namun tinju barusan adalah provokasi perang yang sangat bagus. Sang suster darah bangkit dipenuhi amarah. Tiga buat jarum tampak di sela-sela jemarinya. Lalu ia melakukan tolakan yang diikuti lari zig-zag.

Sjena mencoba mengikuti gerakan lawannya itu, tapi ia tak menyangka jarum terus dilontarkan satu persatu di sela pergerakan.

“Shield!”

Sebuah perisai besar terbentuk. Jarum-jarum yang terbang ke arah Sjena tertangkis begitu saja. Namun saat ia berniat mengeluarkan pedang untuk menyerang, sang suster sudah tidak tampak di pandangan.

Tiba-tiba bulu kuduk gadis itu merinding. Instingnya berkata, sang lawan sudah ada di belakangnya. Tidak ada waktu untuk berbalik dan menepis serangan.

“Freezing Seconds!”

Jurus mengerikan itu pun digunakan. Waktu berhenti dalam jarak radius lima meter tempat Sjena berada. Segera ia berbalik, dan benar saja sang suster sudah berdiri kaku di sana dengan ancang-ancang tendangan. Jika ingin membungkamnya, inilah waktu yang tepat. Maka gadis itu mengangkat pedangnya, bersiap untuk memenggal kepala.

Bilah pun diayunkan, dan dapat dipastikan sang suster darah akan meregang nyawa, seandainya orang itu tidak mendadak muncul di antara mereka. Gadis berambut pelangi yang berhiaskan sayur mayur.

“Hentikan!!!” teriak gadis itu ketakutan sambil merentangkan kedua tangan. “Jangan bertarung satu sama lain!!!”

Tapi semua sudah terlambat untuk Sjena.

“Gimme space...”


Bab 5


Mba Irwin hanya datang karena panggilan nurani. Ia ingin menghentikan pertarungan. Secepat mungkin ia melakukan teleport ke antara dua pihak yang sedang berbaku hantam. Tapi perbuatannya itu justru mengakibatkan tragedi yang tak pernah ia harapkan.

Pedang Sjena Reinhilde bersarang di lehernya namun sama sekali tak melukai. Di sisi lain, malah sang gadis berkacamata magis yang sudah kehilangan kepala. Darah segar memancar dari lubang di leher seperti air mancur.

“A... wa...” Mba tergagap saat cipratan darah menodai wajahnya.

Ini semua akibat kekuatan yang tak pernah bisa ia kendalikan.

“Ampuni aku!!!” tangisan Mba meledak. Ia langsung bersujud di depan tubuh tak bernyaw yang baru saja jatuh tergeletak. “Ma-maaf!!! Ampuni aku!!!”

Sampai-sampai, gadis itu tidak menyadari sang suster yang baru saja terbebas dari kutukan waktu. Ia tidak tahu jika suster di belakangnya sedang menatap penuh nafsu membunuh. Atau mungkin ia hanya tidak peduli, merasa amat bersalah hingga hidupnya tak berarti lagi, jadi membiarkan saja saat suster di belakangnya mengeluarkan sebilah pisau untuk menikam.

Jangan-jangan ia memang ingin mati, untuk bisa bertemu kekasih yang sudah lebih dulu pergi ke seberang sana.

“Awas Nona, bahaya!”

Tiba-tiba Mba merasakan seseorang menarik tubuhnya, kemudian terdengar dentingan logam beradu. Saat berbalik, ia melihat sosok pria dengan sorban kembang yang baru saja menahan tikaman suster darah menggunakan pedang kurvanya. Lalu pria itu mengangkat kaki dilanjutkan jejakan keras pada perut sang suster hingga mengerang kesakitan. Tapi saat melihat sorot mata membunuh yang tak pernah padam, pria itu segera meraih tangan Mba.

“Ayo kita pergi dari sini!”

Mau apa dikata, gadis itu pun tertarik begitu saja. Tubuhnya terasa begitu lemas hingga tak sanggup melakukan perlawanan.

“Jangan... bertarung...”

“Tidak,” jawab pria itu tanpa menoleh. “Kita sedang melarikan diri.”


Bab 6


Reeh terus berlari sambil menarik tangan Mba. Setelah keluar dari taman, mereka melewati jalan utama yang dipenuhi orang. Sejak itu entah mengapa Anette tak terlihat lagi. Tapi lebih baik berjaga daripada berbahaya. Keduanya tak berhenti, terus menyusuri jalan, menaiki tangga, juga melintasi gang sempit.

Hingga tanpa disadari, mereka sampai di puncak teratas Menara Katai Merah. Hanya kubah satu-satunya yang berada di atas kepala mereka. Itu pun jaraknya tidak terlalu jauh seolah tangan mereka bisa menyentuhnya.

Lalu dari sana Reeh bisa melihat biasan cahaya luar. Tampak dataran tandus tanpa batas yang diselimuti kegelapan merah. Akhirnya pria itu mengerti, mungkin itu sebabnya kota ini dibangun di bawah naungan kubah raksasa.

Sayangnya cuma ia yang bisa menikmati keelokan ini. Gadis berambut pelangi yang di bawanya tengah berlutut. Ia tak tahu apa gadis itu sedang terengah atau terisak.

“Sudahlah Nona,” kata Reeh lembut, “kau aman di sini.”

“Tapi,” jawab Mba sambil mengelap air mata dengan punggung tangan, “gara-gara aku gadis itu terbunuh...”

Reeh memutar ingatannya. Ia memang sempat tidak mengerti, mengapa justru kepala Sjena yang terpenggal padahal pedangnya melesat lurus ke leher Mba. Kelihatannya itu akibat keajaiban yang dimiliki gadis berambut pelangi di hadapannya.

“Itu tak bisa dihindari, itu akibat perbuatannya sendiri.”

“Tetap saja gara-gara aku...”

Tiba-tiba Reeh menatap heran. “Itu tak bisa dihindari karena mereka menginginkan kesempatan hidup yang kedua. Jika memilih untuk berdamai, mereka berpikir tak akan bisa mencapai itu. Nona, kau tak ingin ada yang terluka. Apa kau tak menginginkan hidup kedua?”

Mba menjawab dengan menggeleng.

Sesungging senyum ringan terbentuk di bibir Reeh. “Thurqk telah memilih orang yang salah.”

“Hidupku tak berguna,” isak Mba pelan. “Hidup keduaku cuma sia-sia...”

Reeh menghela nafas. Kemudian ia setengah berlutut di hadapan Mba. Dengan jari telunjuk, ia mengangkat dagu gadis itu agar menatapnya. “Nona, aku percaya semua makhluk diciptakan dengan suatu misi. Tak ada hidup yang tak berguna, kecuali ia sendiri yang memutuskan begitu.”

Bibir Mba bergetar lalu ia memalingkan wajah. “Tapi – “

“Siapa bilang hidupmu tak berguna?” potong Reeh. “Melihat Rafa, melihat Anette, melihat Sjena, aku hampir percaya jika kebrutalan adalah naluri alami seorang manusia. Tapi melihatmu, aku menyaksikan kasih sebagai dasar hati kita.”

“Bahkan di saat yang lain saling tikam,” lanjut Reeh. “Kau menginginkan kedamaian. Itu sudah lebih dari cukup.”

“Tidak... aku justru egois...” ujar Mba nyaris berbisik. “Yang kupikirkan cuma menyusul Antakaba... Sampai-sampai, aku tidak peduli keinginan mereka untuk hidup kembali... Aku bisa meminta damai, karena aku sudah tak ingin hidup...”

Air mata Mba kembali menderai deras. Kedua tangannya mengepal hingga gemetar.

“Nona tidak salah,” kata Reeh menenangkan. “Yang salah mungkin adalah mereka yang percaya begitu saja jika Thurqk bisa memberikan hidup kedua.”

“Thurqk adalah dewa...”

“Apa Nona pernah mendengar nama itu sebelum sampai di sini? Jika memang dia yang menciptakan kita, lalu mengapa ia cuma mengumpulkan orang-orang mati?”

“Katanya, dewa itu harus diyakini.”

“Kalau begitu untuk apa ia menciptakan logika?” ujar Reeh seraya mengangkat bahu. “Jika Thurqk yang menciptakan kita, tak mungkin ia bisa terhibur dengan apa yang kita lakukan. Karena ia sangat mengenal kita, ia pasti sudah tahu hasil akhir dari turnamen ini.”

“Yang salah adalah,” lanjut Reeh mengakhiri, “mereka yang menelan iming-iming begitu saja dan melupakan jati dirinya sebagai manusia.”

“Kalau begitu sekarang aku harus bagaimana?”

“Pertama-tama, seka air yang menutupi keindahan matamu,” kata Reeh seraya menjulurkan sapu tangan.


Bab 7


Anette kehilangan dua orang yang dikejarnya. Mereka menembus keramaian, sesuatu yang selalu membuat keringat dinginnya mengalir. Sambil terus mengumpat dalam hati, ia berjalan pelan menyusuri pinggiran jalan. Bodoh sekali, pikirnya. Padahal seramai apa pun, manusia-manusia itu tidak bisa melihat dirinya.

Namun segala pikiran itu disingkirkan saat ia menyadari seseorang telah datang. Pria itu, pria bertudung yang sebelumnya menyerang lalu meninggalkannya. Dengan tubuh tegap, tatapannya sangat mengintimidasi dari seberang jalan sana.

“Kau memang wanita, tapi kali ini aku tak akan mengalah,” katanya. “Ada hal berharga yang harus kulindungi.”

Anette mendesis tanpa suara. Memangnya cuma pria itu saja. Setelah mendengar tawaran Thurqk, dalam hatinya juga muncul keinginan untuk hidup kedua kali. Ia ingin melihat seperti apa jadinya Kota Penyamun yang ia tinggalkan. Bagaimana perkembangannya, juga kehidupan warganya.

Gadis itu pun mengeluarkan pisau, lalu menerjang maju.

“Hei, katakan sesuatu sebelum menyerang!” seru sang pria bertudung panik. Ia mengeluarkan senapan dan kali ini berhasil menarik pelatuknya.

Sebuah tembakan laser melesat, namun sukses dihindari Anette. Koordinasi mata dan refleksnya cukup baik untuk mengatasi serangan seperti itu. Dengan gerak cepat, ia menyambarkan pisaunya.

Pertarungan dua bilah logam pun terjadi. Dalam jarak dekat, si pria bertudung terpaksa memainkan pedang. Namun bukan berarti ia melemah, karena kobaran api lekas melilit bilahnya, memancarkan hawa panas yang membakar.

Beberapa kali Anette tersengat. Pergerakannya jadi tertahan. Temperatur tinggi cepat menguras eneginya. Celah pun terbuka. Gadis itu mengayunkan pisaunya terlalu lebar hingga tak sempat lagi menangkis datangnya tebasan lawan.

“Kyaaa!!”

Tiba-tiba pergerakan sang pria bertudung berhenti sesaat. Nampak keraguan di matanya. Namun itu cukup bagi Anette memutar balik keadaan. Dengan cepat gadis itu menancapkan jarum yang semenjak tadi tersembunyi di tangan kiri, sedang pisaunya ditikamkan. Sayang, hanya mengenai lengan.

Anette lekas mencabut pisaunya lalu mundur ketika pria itu membuat ledakan angin ke sekitar.

“Hah... hah... apa yang kau lakukan... Tanah bergoyang...” racau pria itu dengan tubuh limbung. Pupil matanya bergerak agak liar. Kali ini jarum Anette berhasil memberikan pengaruh buruk.

Sekarang tinggal menunggu waktu hingga racun bekerja makin parah. Lalu, sang suster darah akan melancarkan satu serangan penghabisan.

“Sial...” pria itu mengacungkan senapan tetapi Anette cukup melangkah ringan ke samping untuk keluar dari fokus bidikan.

Pandangannya makin memburam, pria itu pun bertekuk lutut. Sudah waktunya, pikir Anette. Dengan langkah perlahan namun pasti, ia mendekat. Pisaunya ia putar-putar lincah di tangan. Membunuh lawan yang sudah tak berkutik tak ubahnya dengan menyembelih ayam.

Tapi tiba-tiba terjadilah apa yang tak pernah Anette kira sebelumnya.

Pria bertudung yang kepayahan itu mengiris tangan kirinya sendiri dengan pedang. Rasa sakit yang luar biasa, memberi kejutan pada syaraf pria itu. Matanya terbelalak lebar, kemudian ia mengacungkan senapannya. Tanpa peringatan, pelatuk ditarik.

Suara laser berdesing, dan Anette merasa sedikit sengat di dadanya. Awalnya gadis itu tak tahu. Ia terus mendekat dan hendak mengangkat pisaunya, tapi mendadak kekuatan pergi meninggalkan tubuhnya. Cairan hangat juga mulai mengalir deras. Ia roboh.

“Maafkan aku,” gumam pria di hadapannya.

Anette tak bisa menjawab. Untuk bernafas saja rasanya sangat sulit. Ia hanya bisa membiarkan, ketika sang pria bertudung menutup matanya dengan telapak tangan. Kemudian semua menjadi gelap.

.

.

.

“Nomor 53, selamat datang di dunia!”

“Tugasmu sederhana, eksekusi mereka yang pantas, demi kota ini.”

“Kerja bagus, mulai sekarang kau kupanggil Anette.”

“Apa arti hidupmu cuma tentang membunuh?”

“Lanjutkan, demi kebaikan.”

“Anette!!!”

Suatu saat, aku akan kembali ke kota itu.

.

.

.

Tiba-tiba berbagai rekaman dari masa lalu berputar kembali. Tak kuat menahannya pilu, air mata gadis itu mengalir. Namun penderitaannya tak perlu lama. Rafa mendekatkan bibir ke telinganya kemudian berbisik.

“Pengorbananmu akan diingat seluruh penduduk bumi.”

Lalu tembakan kedua mengakhiri nafas Anette.


Bab 8


Kedua orang itu jalan beriringan di atap kubah, tak mempedulikan udara kering luar sana. Di atas mereka langit merah yang menghitam, dan menghampar ke ujung horizon ialah padang tandus tanpa batas.

“Dulu aku berpikir,” kata Reeh sambil merentangkan tangan lebar untuk menjaga keseimbangan. “Perang hanya bisa diakhiri dengan perang. Itu adalah jalan yang paling realistis.”

Mba mengangguk di belakangnya tanpa merespon kata-kata.

“Tapi nyatanya,” tiba-tiba Reeh memutar tubuhnya hingga gadis itu terlonjak.

Mba nyaris terpeleset, spontan Reeh lekas menangkap tangannya.

“Nyatanya perang yang seharusnya mengakhiri perang sebelumnya, malah memulai perang baru. Lingkaran darah tak bisa diputus dengan cara itu.”

“Lalu dengan cara apa?”

“Dengan cara yang kau tunjukkan sebelumnya! Berdiri di antara kedua pihak, meminta mereka mengakhiri dengan damai. Jika kedamaian yang kita inginkan, lalu kenapa menggunakan perang untuk mendapatkannya? Tapi itu sulit. Hanya kau, hanya kau yang bisa melakukannya, apa yang tidak bisa dilakukan kebanyakan orang.”

“Tidak... Sama saja, aku justru melukai kedua belah pihak.”

“Mungkin kau hanya belum menguasai kemampuan itu,” tiba-tiba Reeh meniup wajah Mba. Sontak gadis itu mengangkat telapak tangannya untuk menghalangi. Sang pemuda pun terkekeh. “Angin bisa menjadi sangat lembut, tapi kadang dapat mewujud badai mematikan. Kuncinya hanya satu, bagaimana kau mengendalikannya.”

“Jangan takut, kemampuan itu adalah berkah.”

Mba menatap kagum kedua tangannya sendiri. Perlahan tampak binar menyorot di matanya. Ia berpikir, seandainya ini datang lebih cepat... Tapi tak ada gunanya menyesal.

“Tu... Tuan...” kata Mba, kemudian baru menyadari, ia belum tahu nama pria di hadapannya.

“Reeh, tidak usah pakai tuan.”

“Reeh...” kata Mba gugup, lalu diangguki pria itu. “Ayo kita hentikan peperangan ini. Kita bicarakan baik-baik dengan Thurqk.”

“Ayo.”

Namun janji tinggallah janji. Kata-kata itu adalah kata-kata yang tidak akan pernah bisa mereka wujudkan. Tiba-tiba saja beberapa tembakan laser melesat, menghancurkan atap kubah yang dipijak Mba.

Hanya dalam sepersekian detik, bahkan Reeh tak sempat bereaksi. Hal terakhir yang ia ingat adalah, tatapan Mba yang tak tahu apa-apa. Kemudian sang gadis jatuh dari ketinggian puluhan meter.

Reeh hendak melompat, namun tembakan laser menembus perutnya. Menyakitkan. Tubuhnya pun jatuh tertelungkup di depan lubang atap kubah. Posisi yang membuatnya dapat melihat akhir nasib Mba di bawah sana.

“Maaf harus menjatuhkanmu,” gumam seseorang yang berjalan mendekati lubang dari arah berlawanan. “Tapi dari ingatan suster itu, serangan langsung akan dipantulkan. Pengorbananmu akan diingat seluruh penduduk bumi.”

Reeh hanya diam dalam keadaan telungkup. Ia berusaha keras untuk mengumpulkan hati mau pun fisiknya. Padahal, tangannya sudah mengepal keras.

“Kau juga, sorban,” lanjut orang itu. “Pengorbananmu akan diingat seluruh penduduk bumi. Akan kuceritakan kisah kepahlawanan kalian pada Shiren.”

Kemudian langkah kaki orang itu menjauh. Mungkin ia mengira semua sudah selesai. Meski nyatanya belum bagi Reeh. Dengan sisa-sisa tenaga, si angin gurun mengangkat tubuhnya sendiri.

“Rafa!” serunya, membuat pria bertudung itu berbalik seketika. Tampak ekspresi terkejut di wajahnya.

“Kau masih hidup?”

“Ya!” Apakah takdir atau kebetulan, tembakan Rafa tak menembus bagian vital. “Hei! Saat ini selesai... mungkin apa yang ingin kau lindungi sudah tak ada lagi di sana!”

Dahi pria itu berkerut mendengar ucapan Reeh. “Siapa kau bisa mengatakan itu.”

“Itu hanya dugaanku,” jawab Reeh. “Tapi kau menghancurkan apa yang ada di hadapanmu untuk sebuah angan.”

“Tidak! Itu bukan angan!”

“Tapi bagaimana jika bumi sudah tak terselamatkan saat kau kembali? Percuma saja petualanganmu di sini!”

“Tempat ini berada di dimensi lain, aliran waktunya pasti beda dengan bumi. Thurqk bisa saja mengembalikanku saat semua belum terjadi!”

Sebuah saklar seperti baru saja dinyalakan dalam kepala Reeh. Bukan soal kembali tepat waktu, tapi tentang ‘dimensi lain’. Ia tak pernah menyadari kemungkinan itu sedari awal. Tapi jika memang ia berada di dimensi lain, apa itu berarti angin di sana berbeda dengan angin di dunianya? Kalau begitu, sejak awal ia salah memanggil. Seharusnya, yang ia panggil adalah –

“Angin, apa kau mendengarku?”

- angin di tempat ini.

Tiba-tiba udara kering berhembus keras di atap kubah. Seperti tiupan hangat musim panas.

“Aku mendengarmu dengan sangat jelas, manusia.”

Entahlah, perasaan Reeh sulit digambar dengan kata-kata. Ini seperti mendapatkan kedua kaki yang pernah diambil darimu, atau mendapat kembali cahaya setelah merasakan buta bertahun-tahun. Dadanya berdebar, adrenalinnya berpacu, bersiap untuk melanjutkan pengembaraan yang sempat terhenti.

“Mengapa kau tersenyum?” tanya Rafa keheranan.

“Akhirnya angin berbisik.”

Rafa mengerutkan dahi. Dalam kuasanya adalah api, air, dan angin. “Apa hebatnya kalau cuma angin?”

“Kau tidak mengerti,” Reeh melakukan sebuah tolakan ringan, tapi tubuhnya melesat cepat sekali bagai ada yang mendorongnya. “Angin bisa menggerakkan kapal menjelajahi samudra, namun di saat sama yang mampu menenggelamkannya.”

Tepat di depan Rafa, Reeh berputar, lalu melancarkan sebuah tendangan. Sang pria bertudung yang masih kaget tak menghindar hingga tubuhnya melayang ke belakang.

Buru-buru Rafa menancapkan pedangnya di atap agar tak terus meluncur hingga jatuh dari kubah. Namun, Reeh tak terlihat di mana pun di tempat ia seharusnya berada sebelumnya.

“Angin hanya satu, pun begitu ia bisa berada di mana saja,” terdengar suara berbisik di telinga Rafa. Saat ia berbalik, tendangan Reeh menghantam wajahnya. Pria itu terpental, berguling-guling, meski langsung berusaha bangkit.

“Aku juga menguasai angin!” teriak Rafa seraya menyabetkan pedang. Sebuah gelombang tajam mengalir dari sana. Namun gelombang itu pecah begitu saja tepat di depan Reeh.

“Angin tak bisa menabrak angin, karena angin hanya ada satu.”

Panik, Rafa menembakkan seluruh peluru senapan yang tersisa. Namun tak satu pun yang mengena.

“Aku bisa mendengar sengal nafasmu,” kata Reeh sambil berputar di sekitar Rafa. “Aku bisa mendengar alunan emosimu. Aku tahu kapan kau akan menembak.”

“Kalau begitu,” kali ini Rafa menyalakan api di bilah pedangnya. “Akan kugunakan anginmu untuk membakar!”

Pria itu memasukkan molekul udara ke dalam kobaran api, hingga menciptakan amukan dahsyat. Sesosok jin api tampak terbentuk di ujung pedangnya. Makhluk itu meraung, melebarkan sayap raksasa.

“Untuk membakar siapa?!”

Reeh mengacungkan telapak tangannya layaknya dirigen. Dan seperti sebuah orkestra, angin di sekitarnya bergerak pada satu arah yang sama. Semua menuju api raksasa yang berdiri gagah di depan Rafa.

Oksigen membuat pembakaran. Tubuh jin api itu pun terus membesar, sayangnya hingga tak terkendali. Lalu dalam sebuah raungan tubuh makhluk itu terberai menjadi tiang api yang membakar segala di sekitarnya – termasuk Rafa.

Pria bertudung itu berteriak ngeri. Reeh segera berlari ke arahnya dan meniupkan angin keluar untuk menciptakan ruang hampa sesaat. Api pun padam, dan Rafa berdiri hangus. Maka sebuah pukulan terakhir sudah lebih dari cukup untuk menumbangkannya.

Pertarungan pun berakhir. Untunglah, pikir Reeh, ia tak perlu mencabut pedang dari sarungnya. Sambil mengatur nafas, ia membiarkan angin bertiup lembut menepuk wajahnya.

“Angin,” bisiknya. “Engkaukah angin yang sudah berkelana di dunia ini semenjak terbentuknya?”

“Hanya ada satu angin, tidak ada sebelumku dan tidak akan ada sesudahku.”

“Lalu di mana ini?” pertanyaan yang masih belum terjawab semenjak ia ada di sana.

“Nanthara Island.”

Mata zamrud Reeh terbelalak lebar mendengar itu. Angin tak akan berbohong, tapi... Dengan tidak percaya ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Lalu... siapakah Thurqk?”

Tidak ada jawaban.

“Angin!”

“Kau ingin tahu?”

“Tentu saja.”

“Thurqk. Makhluk itu... Yang bisa kukatakan hanyalah... Ia...”

...

...

...




Penutup


Rafa terbaring menatap langit dengan nafas yang putus-putus. Harapannya, keinginannya, sirna sudah. Ia tak akan bisa melindungi gadis yang paling ia kasihi. Ia juga tak bisa menyelamatkan bumi dari Hellios. Baginya semua sudah berakhir. Hanya api neraka yang menunggu untuk melumatnya sampai tak bersisa.

Kemudian pria yang baru saja mengalahkannya datang mendekat. Dalam langkah pendek, lalu berlutut di sebelahnya. Pria itu mendekatkan wajah, membisikkan sesuatu.

“Thurqk bukanlah dewa. Setidaknya, ia bukan dewa seperti yang kau pikirkan.”

Rafa mematung. Apa itu berarti imbalan yang dijanjikan hanya hadiah kosong? Dan api neraka itu cuma bualan? Tapi, dengan kuasa sebesar itu bagaimana mungkin Thurqk bukan dewa?

Apa pun jawabannya, rasanya ada sedikit beban yang terangkat dari hati Rafa. Lalu rasa kantuk yang amat sangat menyerang. Kelopak matanya menjadi berat, sampai akhirnya menutup. Entah siapa yang tahu kapan cahaya akan kembali bersinar dari sana.

35 comments:

  1. Wow. That was truly a pleasant read.

    Saya seneng sama battle ini. Fokusnya ga ke mana-mana, tapi kebagi rata. Ceritanya ga panjang, tapi cukup untuk ditutup ketika saatnya. Btw, ternyata Mba bisa dikalahin asal target serangannya bukan dia secara langsung ya. Sayang Reeh kayanya ga ada sesal atau apa habis Mba mati.

    8 / 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentar positifnya Tuan.
      Untuk cara mati Mba sendiri itu cuma sebatas hipotesa saya saja. Ah ya anda benar Tuan, sepertinya saya terburu ingin menyelesaikan hingga melupakan akhir dari Reeh dan Mba.

      Delete
  2. Awww...

    Scene Reeh sama Mba Irwin entah kenapa bikin saya senyum-senyum sendiri :"> #shiper #oi

    Narasinya 'lembut', bacanya enak banget, wuush... kayak dibawa angin, tiba-tiba udah selesai :"| Saya suka banget karakter Reeh, aduh kalem pisan. Terus battle-nya juga jelas walaupun singkat, ugghhh... saya nggak tau harus komen apa lagi. Saya suka <3

    Nilai: 9/10

    Naer~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sungguh, saya senang apabila anda menyukai battle ini.
      Terima kasih Tuan.

      Delete
  3. O ho hon! This is a pleasant surprise. Buat moi, Reeh adalah salah satu OC underdog. OC yang tidak terlalu menonjol mengkampanyekan diri sendiri tapi canonnya bagus. Moi suka narasinya dan alurnya pun lancar enak diikuti. Tapi, sacre bleu! Font apa itu? Comic Sans? Buat moi, font itu mempengaruhi mood baca loh. Font seperti itu cocoknya buat cerita anak atau komedi, jadi saat baca canon ini dengan font itu, mood moi tidak sejalan dengan drama yang ada. Moi jadi nggak serius terlarut dalam cerita soalnya moi geli ama keimutan font yang dipakai. Moi sebenarnya bersedia ngasih nilai lebih besar tapi karena mood moi tidak sejalan, moi kasih 8 aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah Tuan Moi, saya tidak pandai berkampanye, tapi saya senang jika Tuan suka.
      Ah, padahal saya menggunakan Comic Sans agar sesuai tema, tapi justru malah keterbalikannya. Terima kasih atas masukannya Tuan Moi, akan saya perbaiki.

      Delete
  4. klo udah sama mba, pasti jadinya lovey dovey tanpa sadar
    pengaruh mba besar banget, ngasi kedamaian di perang ini
    im glad to meet her in the first round
    adegan reeh dan mba bikin aku senyum2 sendiri
    tapi aku tetep ngeship mba x anta
    sayang mba cepet sekali matinya :(

    oke penilaian aku mulai

    plot : simple dan ga berbelit2, kisah dimulai dari awal menuju akhir dengan linear..tipikal dongeng (apalagi diawali dengan 'dahulu kala')
    bagi beberapa orang, ini mungkin nilai plus, tapi bagiku plot seperti ini terlalu standar, rasanya kurang tertantang

    namun pembagian antar karakternya udah oke, dan aku suka author juga ngelakuin riset dengan cukup dalam sebelum nulis
    thx udah make quote in battle sjena (yang bahkan ga ada di charsheet)
    cerita dari sudut pandang rafa juga bagus, aku dapet motivasi pertarungannya dia utk nyelametin bumi

    battle : andai pertarungannya berlangsung lebih lama dan intens, kurasa itu bakal sangat bagus sekali
    tapi setelah baca ini, reeh bukanlah tipikal orang yg suka bertarung (maaf aku udah nge OOCin reeh di ceritaku)
    aku suka bagian dia berbisik sama angin, dan mendapat kekuatan dari angin
    sedikit merinding (dalam artian senang) pas baca dia berhasil manggil angin

    tapi sayang, pertarungan terlalu singkat dan ringan
    masih seperti angin sepoi2
    aku mengharapkan pertarungan seperti tornado, dimana emosi dan darah telah dikorbankan utk menang

    overall cerita ini cukup bagus, tapi buatku terlalu ringan utk kategori battle, dan romancenya pun kurang berasa (karena mba keburu mati dan reeh nampaknya biasa aja)
    anyway soal font, aku sih ga keberatan soal comic sans, tapi font ini..ya seperti dibahas colette diatas, terlalu ringan utk cerita battle
    (fyi : font ini terkait dengan kekonyolan, banyak digunakan utk meme2 konyol seperti doge, moon moon, derp, dll
    dan font ini sendiri kerap dijadikan bahan lelucon di dunia internet
    harap hindari penggunaan font ini setelahnya ya xD)

    dariku 7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adalah sebuah kegembiraan yang tak terbantahkan mendapat komentar sepanjang dan detail ini dari Nona Bayee.
      Ke depannya saya akan coba membuat pembukaan yang lebih menantang. Juga, pertarungan yang lebih berat.
      Ah ya, nampaknya Comic Sans menjadi suatu bumerang.

      Delete
  5. Anonymous10/4/14 10:50

    Narasinya mengalir dan nyatu sama majas2 yang mau diungkapkan, perjalanan cerita Reeh sama tokoh2 lainnya juga keren kyk dilema Mbak tentang perang atau Rafa yang ngebet buat nyelamatin dunia, paling cuma di porsi actionnya aja yang kurang klimaktik dan kecepetan selesainya. Referensi karakter lainnya juga bagus. Kepribadian Reeh yang tenang dan melankolis aku bener2 suka. Nilai dariku 7,5 - Po

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya memang perlu belajar lebih banyak tentang pertarungan.
      Terima kasih yang teramat sangat atas pujian dan masukannya, Tuan Po.

      Delete
  6. Dari run saya hari ini, Reeh mampu membuat saya terbawa dengan ceritanya.... bagaikan membaca sambil ditemani angin sepoi-sepoi....
    bagus, fokus ceritanya gak kemana-mana....
    tapi fontnya bikin bingung.....

    9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Angin akan selalu menemani di mana pun kau berada, Tuan. Font nya akan saya perbaiki, terima kasih komentarnya.

      Delete
  7. Wew...Saya acungkan jempol buat cerita yang ringan.
    Beneran ringan, ngalir...
    Bahasanya enak...
    Hubungan antar babnya mantap, dan saya nggak terlalu mempermasalahkan sikap dia ke Mba kayak apa. This is battlefield, Know who you are :3

    Tapi ada beberapa hal kayak munculnya Raffa yang terlalu agak barbar buat saya, sama beberapa pemisah menggunakan titik dan bukan koma.

    Masalah font, saya ngga masalahkan, karena saya copas. Tapi sebaiknya memang harus diperhatikan buat pembaca yang lain

    +9

    ReplyDelete
    Replies
    1. ane cukup setuju gan, Rafa nya terlalu barbar ya... mungkin akibat ane memaksa diri untuk membuat peran antagonis dan protagonis tapi kurang maksimal

      makasih nilainya gan

      Delete
  8. Saya tidak bisa komentar untuk cerita bagus seperti ini jadi saya kasih nilai support aja biar lebih semangat

    9/10

    ReplyDelete
  9. love this. narasinya pendek dan ga bertele-tele. cukup untuk menggambarkan suasana dan situasi yang terjadi. however, gw bisa bilang... gw agak sedih karena rasanya ada yang kurang di hati ini. gw nikmatin tapi herannya kurang tergerak untuk bener2 dive in. mungkin masalah perbedaan selera diksi aja sih.

    <3 buat flag romance antara Reeh dan Mba. gw jujur ngarep mereka bisa dikasi waktu lebih banyak lagi untuk saling kenalan. momen paling gw suka itu pas Reeh dan Mba diskusi soal perang. Ada momen miris yang manis di sana yang cuma bisa digali sama orang yang sama-sama ngerti perang.

    gw suka hipotesis lu sama kemampuan Mba. sayangnya... ihik... sedih gw ngeliat si Mba mati begitu aja. matinya Sjena itu... beneran jadi trigger segalanya IMO. Anette dan Rafa di sini hampir gw bilang kurang dapet peran berarti walau secara karakteristik OC, lu describe mereka dengan baik.

    secara battle, gw ga terlalu ngeliat kesulitan si Reeh kecuali soal "di mana angin gw?" dan pergulatan batinnya yang ga terlalu keekspos banget itu ga bisa bikin momen heroik pas anginnya muncul! sayaaang >.<

    dan epilognya... gw jujur ga ngerti apa yang lu maw ungkapkan... lu ngebikin gw gamang di antara bingung atau penasaran. atau mgkn emang gw yang ga baca detil aja kenapa epilog itu harus ada...

    nilai: 8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin ane masih kurang mengeksplorasi tiap karakter dan pertarungannya ya gan?

      iya si, pertemuan mereka singkat, mba kelanjur mati..

      ah benar juga gan, Anette dan Rafa nya emang agak kurang gimana gitu ya, kurang pertarungan, apalagi Sjena matinya cepat

      uh, harus ane perbaiki bagian itu

      kalau epilog, itu foreshadow untuk kelanjutan ceritanya gan

      makasih komennya lengkap banget gan

      Delete
  10. Saya suka dengan Reeh dalam cerita ini. Sikap gentleman-nya, interaksinya dengan angin, lalu filosofisnya. Kemampuan anginnya pun mirip dengan kemampuan suatu karakter dalam naskah novel saya, tapi lupakan tentang itu. Maaf saya malah meracau :D

    Kembali ke review~

    Narasinya enak. Karakterisasi setiap OC terasa. Pertarungannya pun apik. Sekalipun terkesan agak singkat sehingga sejumlah karakter seperti Sjena belum sempat mengerahkan kemampuan terbaiknya.

    Dan ... cara matinya si Mba pun tepat seperti yang saya pikirkan sekiranya karakter saya yang melawan dia. Yaitu dengan memanfaatkan bangunan di sekitar untuk indirect attack. Namun kepikiran juga, bukankah serangan tak langsung pun adalah serangan juga? Sementara siapapun yang menyerang Mba pasti kalah. Oh well. Biarlah. Mba terlalu absurd untuk dicerna logika saya untuk saat ini.

    Tapi ada yang mengganggu pikiran saya. Kenapa pembagian scene-nya disebut Bab?

    Eniwei, nilai bagus saya berikan untuk cerita ini. 8.5

    ReplyDelete
    Replies
    1. ane mengiranya yang dimaksud serangan itu yang serangan langsung ke tubuh sih gan, ohoho. tampaknya kemampuan angin seperti ini sudah sangat mainstream.

      terima kasih penilaian bagusnya gan

      Delete
  11. woah... membaca cerita yang ini enak banget mengikuti alurnya, apalagi tiap cerita tokoh dibagi menjadi cerita sendiri yang terbagi rata..

    untuk adegan battle, kok saya ngerasanya terlalu cepat ya? belum tegang, eh malah udah selesai.. ^_^ terutama pertarungan Reeh dan Rafa yang seharusnya bisa dibikin lebih lama dan "habis2an"..

    jadi...

    -----
    7,5
    -----

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, kesalahan ane yang kurang mendalami pertarungan, semoga diberi kesempatan untuk membuat pertarungan yang lebih lama dan habis-habisan nanti.

      terima kasih komennya gan

      Delete
  12. "You know? The wind can make you sleep, so you won't know what happened to you."

    umi bahkan sampe lupa untuk melihat minus cerita ini. umi lupa liat typo, umi lupa cari kekuatan alasan, sampe-sampe umi harus baca ulang untuk bisa ngasih review. wkwkwk

    Batle yang tenang sekali. cuma satu hal yang bikin umi bingung setelah baca kedua kalinya, kenapa Mba ga muncul di pertarungan Reeh-Rafa pertama kali? kan Mba otomatis teleport ke tempat perang.

    aniway nilai dari umi 9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya itu adalah sebuah plothole, karena kalau mba muncul nanti ceritanya berubah semua, hehehehe

      makasih nilainya, Nona Umi

      Delete
    2. kwkwkwk, sekarang semuanya terungkap. Arigatou sudah memperjelas, tuan... Epicu(?)

      sampai jumpa di Round 2 XD

      Delete
  13. woohh , keren nih ,,
    jelas bgt penggambaran nya ..dunianya , krakternya ,
    dan fokusnya ga kemna2 ,,

    trs ane pling suka kata2 & quote dari Reeh di akhir2 baris bab 6 dan di bab 8 ..
    :v
    nice bro..

    9.5/10

    ReplyDelete
  14. lagi mobile gk bisa panjang.

    salut dengan narasi bisa hikin baca gk skip... jarang2 bwat saya.

    dan beneran gak ada mistake di mata saya.

    final verdict: 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. dapat nilai 10... terima kasih banyak gan

      Delete
  15. Hai Reeh, ceritamu mengalir dengan indah. Sosok Reeh yang gagah dan karismatik tergambar jelas di sini. Pertarungannya seru dengan karakter yang terasa hidup. Aku terkesan dengan cerita romantisme Reeh dan Mba Irwin. :)

    Nilai 9

    ReplyDelete
  16. Dalem banget ini yak, keren. Bener-bener epicu gapake fail XD
    Suka dialog2 Reeh x Mba, pondering gitu mereka. Logis juga ini. Reeh jadi ke-bapak-an gitu saya nangkepnya, kata2nya lebih mateng soalnya, hehe. Ngga heran juga dia tau banyak ttg angin.

    Proporsi narasi sama dialog cukup ideal menurut saya, jd bacanya asyik. Btw itu si angin ngasih teaser gitu ya XD tp karena angin bilang Thurqk itu makhluk, berarti ada yg nyiptain kan, yaitu Bang Glen. :p

    9/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -