Pages

April 21, 2014

[ROUND 1 - H] LULU CHRONOSS - WHY IT HAS TO BE LIKE THAT???

[Round 1-H] Lulu Chronoss
"Why It Has to be Like That???"
Written by Penuliswarawiri

---

Perubahan tekanan udara yang tiba-tiba dirasakan dari belakang Thurqk, mau tak mau membuat Sang Dewa berbalik geram. Siapa makhluk di jagat raya ini yang begitu lancang menemuinya tanpa permisi?

"Apa kabar," sosok bernuansa hitam di hadapan Thurqk tersenyum menyapa, "wahai ..." sosok itu menaruh telunjuk di dagunya sendiri, tampak jelas dibuat-buat seperti sedang berpikir, "aku harus memanggilmu 'Dewa'? Atau cukup 'Tuan' Thurqk?"

Bila makhluk lain yang mengejek Thurqk begitu rupa, tentu nasibnya tak akan jauh dari dasar neraka. Tapi karena kata-kata itu keluar dari bibir manis makhluk ini, sedikit banyak menerbitkan rasa ingin tahunya. Setidaknya cukup untuk mencegah dirinya untuk tidak langsung melemparkan makhluk cantik di hadapannya ke dasar neraka, walaupun bila ia mencoba sepertinya akan membutuhkan waktu yang sangat lama, dan belum tentu juga berhasil, tapi pastinya Thurqk tak akan mati kebosanan.

"Perkenalkan. Aku..."

"Aku tahu siapa kau!" potong Thurqk.

"Tuan Thurqk memang berpengetahuan luas." Bibir cantik itu tak henti-hentinya mengulas senyum. Senyum yang dalam pandangan Thurqk penuh bisa.

"Apa yang membawamu ke kastilku ini?"

"Langsung ke pokok permasalahan. Sungguh penuh determinasi."

Sosok cantik itu menggores udara kosong di depannya menggunakan jari telunjuknya, dan muncullah robekan udara di sampingnya. Robekan udara yang menghadirkan satu sosok lagi. Sosok berjaket merah muda yang terbaring melayang begitu saja di udara.

"Aku dengar Tuan akan mengadakan turnamen Battle of Realms? Aku ingin mendaftarkan satu peserta."

Hanya dengan satu pandangan, Thurqk menyadari ada yang tidak beres pada kematian si jaket merah muda. Kesempatan untuk menolak.

"Hanya yang sudah mati yang bisa ikut turnamen ini."

Senyuman di bibir cantik itu sedikit mengendur, "Secara teknis, dia sudah mati."

Sudut bibir Thurqk sedikit bergerak naik, membentuk seringai menyeramkan, "Tapi kau berencana untuk menghidupkannya kembali dengan mengikatkan 'tali kehidupan' padanya."

Senyum di bibir cantik itu kembali mengembang, "Tentunya Tuan Thurqk paham sekali bila sesuatu harus mati terlebih dahulu sebelum dihidupkan kembali."

Seringai Thurqk lenyap. Salah bicara sedikit sangat berbahaya di hadapan makhluk ini. Tak sudi menjilat ludahnya sendiri, Thurqk hanya bisa menahan geram.

"Baiklah, kalau dia menang, dia akan kuhidupkan kembali. Tapi kalau dia kalah, sebelum kau sempat menariknya kembali ke kehidupan, aku sendiri yang akan melesakkannya ke dasar neraka. Dan aku akan sangat-sangat menikmatinya."

"Aku tentu tidak berharap dia akan kalah, Tuan."

Thurqk menjentikkan jarinya dan datanglah dua Hvyt yang kemudian membawa pergi sosok berjaket merah muda itu.

"Mengapa kalian berbuat sampai sejauh ini? Dia bahkan bukan..."

Kata-kata Thurqk dipotong begitu saja oleh sosok cantik itu, "Biarlah hal itu tetap menjadi urusan kami, Tuan Thurqk. Tuan tentu akan lebih dipusingkan oleh jalannya turnamen. Aku tak ingin pikiran Tuan tambah terbebani oleh urusan kami."

Thurqk hanya mendengus.

"Baiklah, Tuan Thurqk. Aku mohon diri."

Sosok itu kembali menggores udara dan menghilang di balik robekan udara.
"Siapa itu?", tanya Abby si gadis kecil yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Kau tidak tahu?"

Abby menggeleng.

"Namanya Lena Chronoss..."

*** 

Lena Chronoss melangkah keluar dari robekan udara dan kemudian menutupnya. Namun begitu robekan itu tertutup sempurna, sesuatu mengganggu pikirannya. Firasat buruk. Dengan sedikit tergesa, ia membuka kembali robekan udaranya. Wajahnya memias. Realm Thurqk telah menghilang.

Lulu, bertahanlah di sana. Sampai Rena menghidupkanmu kembali... Rena pasti bisa menemukan orang itu... Sampai saat itu, setidaknya, jangan kalah...

*** 

"Selamat datang di Devasche Vadhi."

Devasche Vadhi? Lulu untuk menatap si empunya suara. Kedua genggamannya tersimpan nyaman dalam saku kiri dan kanan jaket merah mudanya.

"Sebelum salah paham, aku akan mengatakan hal ini. Kalian semua yang ada di sini, sudah mati."
Ya... Tentu saja...

"Kalian berada di Nanthara Island. Pulau yang hanya bisa dijejaki oleh mereka yang sudah mati," lanjut Thurqk, "beberapa dari kalian masih mengingat bagaimana kalian mati, apapun caranya semuanya adalah kehendakku, akulah yang mematikan kalian. Sedangkan makhluk di sekitar kalian, para Hvyt, mereka yang menjadi perantaraku dalam melakukannya. Mengambil nyawa kalian dan membawanya ke sini."

Kau yang mematikan? Yang benar saja...

"Kalian adalah jiwa yang dipadatkan. Kalian akan merasa seolah masih hidup, dan memang tidak ada bedanya bagi kalian. Kalian tetap membutuhkan makan, minum dan bernapas. Tentu kalian juga bisa terluka. Ah, beberapa dari kalian sudah membuktikannya sendiri."

Hidup dan mati, kenapa sama saja? Lulu menghela napas.

Ada salah satu "terpilih" yang hendak angkat bicara, namun Thurqk segera mengayunkan tangannya, membuat orang itu tidak mampu melakukannya.

Lulu menoleh pada makhluk itu, menatapnya kasihan.

"Aku yakin kalian akan menghiburku. Sebagai gantinya, tak peduli seberapa banyak dosa yang telah kalian lakukan di dunia, hukuman atas itu ditunda hingga rencanaku selesai."

Menghiburmu? Memang kau pikir aku badutmu? Lulu mendengus. Memangnya dia pikir siapa dirinya?

Sebuah layar hologram raksasa yang persis sama dengan yang muncul di langit Jagatha Vadhi menyala terang di langit. Menampilkan nama-nama "mereka yang terpilih".

"Lima puluh lima. Hanya akan tersisa satu pada akhirnya, yang akan mendapatkan penghapusan dosa dan kelahiran kembali ke dunia tempat asal kalian. Tak ada yang lebih berharga daripada kesempatan kedua untuk memperbaiki takdir kalian."

Lulu tertawa pahit tertahan. Takdirku sudah berantakan. Hidup lagi pun apakah berguna?

Thurqk mengeluarkan kobaran api ganas dari tangan kirinya. "Kalian tak akan bisa mundur. Mundur artinya lenyap. Aku sendiri yang akan membakar kalian. Tentu saja perlahan-lahan dan sangat menyiksa."

Tak bisa mundur, hah...?

"Kini kalian sudah mengerti. Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapa pun yang menghalangi kalian. Dari lima puluh lima yang ada di sini, akan kuperkecil jumlahnya menjadi empat puluh empat. Ya, sebelas di antara kalian akan merasakan siksaan yang pedih dariku."

Benar-benar orang gila...

Layar hologram menampilkan nama-nama lagi, namun kali ini dengan susunan yang berbeda di dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.

Lulu memicingkan mata, mencari namanya.

"Setiap kelompok akan kukirimkan ke tempat yang berbeda-beda. Tempat yang tidak akan asing bagi salah satu dari mereka, namun akan terasa sangat asing bagi yang lainnya. Namun, jangan anggap hal itu sebagai keuntungan. Lengah berarti kalah. Kalah berarti lenyap. Siksaanku akan sangat pedih."

Kupikir aku sudah lenyap, ternyata masih bisa dilenyapkan lagi...

Thurqk menjentikkan jarinya ke arah salah satu Hvyt. Hvyt segera terbang dan berdiri di belakang Thurqk dengan gagahnya.

"Satu hal, jangan membuatku merasa bosan," kata Thurqk lagi dengan nada yang amat mengancam. "Aku tidak menciptakan makhluk hanya untuk menjadikan mereka seorang pengecut."

Dia benar-benar butuh bantuan...

Thurqk beranjak pergi dari balkon. Sedetik kemudian, para Hvyt mulai bergerak dari posisinya, membawa paksa "mereka yang terpilih" ke suatu tempat yang belum mereka ketahui. Suara-suara kepanikan mulai terdengar. Suara-suara ketakutan dari mereka yang meragu.

Satu Hvyt membawa Lulu, yang tidak memberikan perlawanan sama sekali, terbang dan melesat menembus dimensi menuju sebuah tempat yang tertulis di layar hologram tadi sebagai Ridema.

*** 

Langit biru dengan sedikit sapuan awan di atas jalan setapak batu yang ramai. Gerobak dan kereta kuda berlalu-lalang di antara para pejalan kaki. Pasar di sisi jalan hampir meruah ke badan jalan. Penjual dan pembeli saling mengadu keahlian menawar, pemain musik keliling menawarkan suaranya demi satu-dua koin perunggu, sementara beberapa pencoleng kecil beraksi merogoh kantung-kantung bangsawan kaya.

Lulu melangkah di sisi jalan. Lurus mantap ke depan bagaikan tahu tempat yang dituju. Kedua tangannya bergelung nyaman di saku jaketnya. Tak terusik sedikitpun walau bahunya berbenturan berkali-kali dengan para pejalan kaki yang lain yang kebingungan bagaikan ditabrak hantu ... secara literal. Tempat yang lebih longgarlah yang dituju oleh Lulu. Di ujung sana tampak sebuah taman hijau tempat orang-orang duduk di bangku-bangku taman, melepas penat sejenak. Menghiraukan sepasang mata yang sejak tadi mengawasi dengan tajam seluruh gerak-geriknya.

*** 

Zacharias Eithelonen setengah mengendap-endap sambil menjaga jarak mengikuti si jaket merah muda yang berbelok masuk ke dalam kompleks taman. Kompleks luas dengan rerumputan hijau. Beberapa pohon besar rimbun yang setengah menguning tertanam di antara patung-patung angkuh yang dibangun dengan penuh kesombongan sang raja. Zach dapat melihat langkah si jaket merah muda melambat. Zach pun memperlambat langkahnya dan berlindung di balik bayang-bayang sebatang pohon oak besar tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari mangsanya. Si jaket merah muda menghentikan langkahnya. Ia menengadah, mengarahkan pandangannya pada satu-dua helai daun yang mulai melayang, menandai datangnya musim gugur di Ridema. Tangan kanannya ia keluarkan dari saku jaketnya dan ia angkat ke depan wajahnya. Bagaikan telah diatur sebelumnya, satu helai daun yang menguning itu melayang jatuh ke telapak tangannya.

Zach tertegun. Ia bersandar dengan sikunya pada batang pohon. Matanya bagaikan baru saja memperlihatkan dirinya sebuah lukisan terindah yang pernah ia lihat seumur hidup-dan mati-nya. Gadis tercantik yang pernah ia temui, berdiri di antara dedaunan yang mulai berguguran, menggenggam sehelai daun gugur. Terasa begitu damai. Inikah makhluk yang harus dibunuhnya untuk mendapatkan kembali kehidupannya? Tapi Zach tidak ingin mati. Ia masih ingin hidup untuk mencari master impiannya. Master yang tentunya tidak seperti Madame Roxanne DeWitt jahanam itu. Membayangkan kembali wajah mantan masternya membuat isi perut Zach serasa dikocok. Lebih baik membayangkan wajah cantik si jaket merah muda yang mulai melangkahkan kakinya. Butuh beberapa kejap bagi Zach untuk mengingat bahwa dirinya ada di sana bukan untuk menikmati pemandangan.

***

***

Air terjun taman kota. Air terjun ini berbatasan dengan hutan sebelah utara. Mata airnya dari gunung Cerbera, di balik hutan di utara. Dari air terjun kecil di ujung taman kota ini, airnya mengaliri sungai-sungai kota yang jernih.

Petra Arcadia tidak lahir ataupun besar di kota ini. Namun air terjun taman kota ini selalu berhasil mengundangnya untuk datang setiap kali ia mengunjungi kota ini. Letaknya yang agak terpencil membuat jarang orang datang untuk mengunjunginya. Hanya dua kali Petra pernah menemukan orang datang ke tempat ini. Sisanya hanya selalu ia sendiri.

Namun kali ini sepertinya berbeda. Seseorang tengah berlutut berdoa di depan air terjun itu. Tidak, dia tidak berdoa pada arwah air terjun. Saat Petra mendengarkan dengan seksama, dengan suara seraknya yang terdengar menyeramkan, orang ini menyebut nama 'tuhan' yang tidak ia kenal . Tidak di planet ini. Dan pakaiannya pun bukan pakaian penduduk di sini. Jaket dengan kerah tinggi, kaos sutera, rok di atas lutut...? Petra tersenyum pahit. Kenapa harus di tempat ini ia bertemu dengan Primo Trovare. Pandangan Petra tertuju pada batu-batu kali besar di sebelah air terjun. Kakinya melangkah ke sana dan kemudian ia duduk di atas batu, menunggu.

Petra mengawasi dengan seksama laki-laki yang sedang berlutut di depan air terjun itu. Ia tak suka membayangkan dirinya akan bertarung di tempat ini. Tempat ini selalu memberikan perasaan damai dalam hatinya. Cipratan kecil air terjun, keteduhan yang diberikan oleh pohon-pohon yang rimbun, larik-larik cahaya yang menerobos dedaunan yang kali ini begitu berkilau, sungguh menyilaukan mata... Berkilau??? Petra terbelalak. Namun semuanya sudah terlambat.

***

***

Dengan hati-hati Zach kembali mengikuti ke mana gadis itu berjalan. Zach mengalihkan pandangan ke arah pohon oak besar di ujung sana, tempat yang tampaknya sedang dituju oleh si jaket merah muda. Zach memicingkan matanya. Ada orang lain di sana. Tepatnya tiga orang lain di sana. Dua orang laki-laki berpakaian seperti prajurit yang membawa pisau pendek dalam genggamannya, dan seorang wanita muda, tak tampak seperti bangsawan, yang dengan ketakutan sibuk menutupi bagian atas tubuhnya dengan sisa-sisa kain yang masih belum tercabik oleh bilah pisau kedua prajurit tadi. Sempat sekilas Zach melihat kulit mulus di bagian atas dada wanita itu. Darahnya berdesir. Tapi tak lama. Karena pandangannya justru beralih pada kedua prajurit yang ditarik ke belakang oleh si jaket merah muda.

Kedua prajurit itu terjerembab jatuh dengan punggung mereka menghantam tanah. Satu persatu prajurit itu bangun sambil melihat sekeliling dengan kebingungan, siapa gerangan yang menarik mereka. Pandangan terakhir mereka tertuju pada si wanita yang pakaiannya tercabik-cabik itu, yang menunjukkan wajah bahwa dirinya sama bingungnya dengan si kedua prajurit. Dengan marah, salah seorang prajurit itu melangkah maju ke arah si wanita, namun tiba-tiba ia tertunduk mengerang sambil memegangi perutnya, kemudian terpelanting ke belakang. Prajurit yang satu lagi memucat. Ia mundur perlahan bagaikan melihat seorang penyihir tengah beraksi, membangunkan kawannya, dan bergegas pergi dari sana. Si wanita, walaupun ketakutan, berterima kasih pada arwah pohon oak, kemudian juga segera angkat kaki.

*** 

"Prajurit brengsek..." gumam Lulu.

Tepuk tangan tunggal di belakangnya tak membuat Lulu menoleh. Makhluk bertanduk satu di belakangnya yang sudah mengintainya sejak tadi ini sama sekali tidak menarik minatnya. Ia kembali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan mulai melangkah pergi.

"Tadinya aku berpikir untuk menyerangmu tiba-tiba, tapi melihatmu punya sikap ksatria seperti itu rasanya tidak akan seru...", seru Zach.

Langkah Lulu semakin menjauh dari Zach.

"Hei, kau mau ke mana?", Zach mulai melangkah mengejar Lulu.
Lulu hanya diam sambil terus melangkah.

"Hei, ayo kita selesaikan permainan ini di sini!"

Tak ada jawaban.

"Sombong sekali memunggungi law...", Zach meraih bahu Lulu, mencoba menghentikan langkahnya tanpa menduga sebuah bogem mentah akan menghajar rahangnya begitu tangannya menyentuh bahu gadis itu.

Zach terlempar akibat kekuatan pukulan itu. Tidak jauh memang. Tapi cukup membuatnya mencium tanah.

"Berisik!", gumam Lulu. Gadis itu berbalik, memasukkan kedua tangannya kembali dalam saku jaketnya, kemudian kembali meneruskan langkahnya hingga selarik petir ungu meledakkan tanah dua langkah di depannya, memaksa Lulu menghentikan langkahnya.

Zach sudah berdiri kembali di atas kedua kakinya. Ibu jari kirinya mengusap bekas darah dari sudut bibirnya, sedang tangan kanannya mengacungkan Amethyst Lance, tongkat yang mengeluarkan petir ungu tadi. Zach sudah bersiap dengan kuda-kudanya kalau-kalau Lulu kembali menyerangnya tiba-tiba. Namun Zach sama sekali tidak menyangka Lulu akan melanjutkan langkahnya mengitari pinggiran lubang selebar rentangan tangan yang dibuatnya tadi seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Aku tak suka menyerang dari belakang! Tapi kalau kau tak juga berbalik, aku tak akan segan lagi!"

Kata-kata Zach bagaikan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, Lulu tetap melangkah menjauh.

"Baiklah, aku sudah memperingatkanmu!" Bebatuan yang menyusun tombak Zach mulai memancarkan sinar-sinar keunguan.

Zach menembakkan petir ungunya ke arah punggung Lulu yang menghindarinya dengan menyampingkan tubuhnya, membiarkan petir itu lewat beberapa inci di belakang punggungnya.
Belum sempat Zach mengejapkan mata, Lulu sudah melesat ke arahnya, menghunus tonfa, memegangnya seperti tonfa itu adalah sebuah pedang, dan memutar-mutarkannya hingga jarak mereka hanya satu tombak, Lulu melompat ke arahnya. Bilah tajam tonfa itu diarahkan ke jantung Zach.

***

Ekor mata Zach melirik ke punggung bagian kirinya yang terasa nyeri. Dia tak bisa bergerak. Dada kirinya dihantam oleh Lulu dengan menggunakan tonfa. Tidak kalah nyerinya. Apalagi ditambah dengan lompatan, tak ayal membuat Zach terlempar beberapa tombak sebelum terbanting ke tanah dan tidak bergerak lagi.

"Tsk. Makhluk tak berguna..." Gumam Lulu sambil melirik Zach. Namun Lulu sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Tonfanya yang penuh darah erat dalam genggamannya sambil matanya mengawasi sekeliling.

***

Dua sosok merangsek keluar dari balik pepohonan rimbun di utara sambil saling bertukar pukulan dan tendangan. Lulu mengawasi pergerakan kedua laki-laki itu yang semakin lama semakin mendekati tempatnya berdiri, sambil ekor matanya tetap mengawasi sekeliling. Kewaspadaan Lulu semakin meningkat saat sosok yang satu berhasil menyarangkan tendangan ke perut sosok yang lain saat keduanya masih melayang di udara hingga terpental jauh ke belakang Lulu.

Lulu menggengam erat gagang tonfanya yang masih meneteskan darah. Ia memegangnya tetap seperti memegang pedang biasa, bukan dengan gaya memegang tonfa. Di depannya, Petra mulai melangkah maju ke arahnya, dan di belakangnya Primo kembali bangkit setelah tubuhnya menghantam tanah akibat terpental terkena tendangan Petra.

Dengan membawa dua bilah katana, yang satu berpijar kebiruan dan yang lain berpijar kemerahan, Petra berlari menuju tempat Lulu berdiri. Di belakangnya, Primo pun telah kembali berdiri dan merangsek ke arahnya.

Bagaikan pelanduk di tengah-tengah, Lulu melangkah ke samping, cukup jauh untuk bisa memberikan jalan bagi kedua makhluk di depan dan di belakangnya untuk meneruskan pertarungan mereka. Namun kedua laki-laki itu, bagaikan sudah diatur sebelumnya, mengubah arah serangan mereka ke gadis berjaket merah muda itu.

Kedua laki-laki itu benar-benar bagaikan ingin menjadikan Lulu sang pelanduk yang mati di tengah-tengah. Hanya saja, gadis cantik itu bukan pelanduk. Alih-alih menghindar, Lulu berlari menyongsong bilah berpijar kemerahan yang terhunus ke arahnya. Petra dan Lulu saling mendekat hingga mereka hanya berjarak satu tombak, dan Lulu melompat ke arah makhluk Ridema itu sambil menyabetkan tonfanya. Petra mengangkat kedua katananya, mengarahkan kedua ujung katanya untuk menusuk tubuh gadis itu dan sama sekali tidak berusaha menghadang sabetan tonfa. Sabetan tonfa Lulu menghalau kedua bilah katana, menyingkirkan keduanya sebelum sempat menembus tubuh gadis itu yang masih melayang di udara.

Tangan kanan Petra yang menggenggam bilah bercahaya kebiruan diayunkan ke belakang, mengambil ancang-ancang untuk menebas, namun sebelum laki-laki itu menggunakan pedangnya, telapak kaki Lulu sudah terlebih dahulu menjejak di dadanya, membuatnya terhuyung ke belakang. Sedang gadis itu, setelah menggunakan dada Petra sebagai pijakan, kembali melompat ke belakang sambil berputar di udara sekaligus memutar-mutarkan tonfanya. Aksi yang indah dari gadis itu sempat membuat Primo yang sedang merangsek ke arahnya terhenti, dan sebelum ia sempat melakukan sesuatu, lutut gadis itu telah lebih dulu menghantam tengkuknya dari atas, sebelum akhirnya mendarat mulus dengan kedua kakinya di belakang laki-laki yang mengenakan rok itu. Keras. Namun Primo segera berbalik bagaikan tidak merasakan apa-apa. Kembali merangsek ke arah Lulu.

Gadis itu, alih-alih menerima serangan Primo, justru berbalik dan berlari. Dengan kedua tangannya, Lulu membawa tonfanya. Tidak lagi diputar-putarkan dengan mudah, namun tampak bagaikan menarik beban berat. Lulu berlari menuju pohon oak besar terdekat yang ia temukan dan dengan sekuat tenaga menancapkan tonfanya ke pohon itu. Tonfa itu melesak begitu dalam hingga hanya gagangnya saja yang terlihat. Saat Lulu berbalik, kedua ujung bilah katana Petra dan tendangan Primo bersiap menyambutnya. Lulu kembali melompat, menjadikan gagang tonfanya pijakan, dan menggunakan kelenturan bilahnya untuk melentingkan dirinya kembali ke tengah arena, tempat dirinya diserang kedua laki-laki itu pertama kali.

Lulu menjejakkan kedua kakinya dengan lembut di tanah, dan kedua laki-laki itu kembali merangsek ke arahnya. Namun kali ini gadis itu hanya berdiri diam di tempatnya. Tidak bergerak sama sekali. Tidak juga menyiapkan kuda-kuda. Ia hanya berdiri anggun di antara dedaunan gugur. Saat katana kebiruan itu menusuk, gadis itu hanya memiringkan tubuhnya sedikit, membiarkan bilah pedang itu lewat di depat perutnya, dan saat tinju Primo mengarah ke wajahnya, ia bahkan sama sekali tidak menghindar.

Pukulan keras itu tak ayal membuat Lulu berpaling. Namun gadis itu masih tetap tegar berdiri dengan kedua kakinya. Tidak mundur selangkah pun. Justru kedua laki-laki itu yang tiba-tiba rubuh bagaikan kehilangan tenaga.

***

"Brengsek!!!"

Sosok bertopeng yang sejak tadi mengawasi pertarungan dari atas pohon oak besar yang rimbun, tersembunyi dalam bayangan dedaunan lebat, mengumpat panjang pendek. Tidak, tidak hanya mengawasi, tapi justru mengendalikan pertarungan. Namun kedua bonekanya sekarang lunglai tak berdaya di hadapan Sang Putri Chronoss.

"Jadi di sini kau bersembunyi?"

Quin terkejut dan berbalik. Ia sempat melihat siapa yang berbicara padanya, namun tak lagi sempat melakukan sesuatu sebelum kesadarannya hilang dihantam larik listrik ungu.

***

Zach menendang tubuh Quin hingga jatuh berdebam ke tanah sebelum dirinya sendiri melompat turun. Lulu yang berdiri di tengah arena menatapnya tajam. Zach melangkah ke arah gadis itu, mengangkat kedua tangannya, menandakan ia tidak berniat menyerang. Ia terus melangkah hingga berhenti satu tombak di depan Lulu. Zach dapat melihat darah yang mengalir dari tangan kanan dan sudut bibir gadis itu, dan juga tatapannya yang seolah berkata, 'apa lagi maumu?'

"Tenang Tuan Putri. Aku sudah kalah sejak gagang tonfamu menghantam. Kau membalik tonfamu dan memegang bilahnya sampai mengorbankan tanganmu sendiri untuk menghantam dadaku hingga gelombang pukulanmu mengeluarkan paku yang menancap di punggungku. Aku hanya bisa berkata 'terima kasih'."

Lulu mengalihkan pandangannya ke arah pohon di mana tonfanya tertancap, lalu berjalan ke sana. Tanpa kesulitan, ia mencabut tonfa dari pohon itu, melepaskan belitan benang di bilahnya, dan menyimpannya kembali ke balik jaketnya.

"Aku sama sekali tidak terpikir, kau membelitkan benang itu di tonfamu, lalu menancapkannya di pohon, membuatnya tak lagi bisa terulur, dan memancing mereka untuk menyerangmu di tempat benang-benang itu terulur maksimal sehingga gaya yang mereka gunakan untuk merangsek ke arahmu justru melepaskan paku-paku yang tertancap di tubuh mereka. Bagaimana kau melakukan itu?"

Tak menggubris kata-kata Zach, Lulu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya dan mencari jalannya untuk keluar dari taman itu.

Zach mendengus. Ia tersenyum dan bergumam, "Kurasa kau cukup pantas... Master..."

***

***

Bagaimana aku melakukan itu?

Lulu mendengus.

Kalau bukan karena aku bisa 'merasakan' air, aku juga tidak akan bisa melakukan itu.

Udara di sini kering, tapi benang itu basah, sehingga aku tahu persis berapa panjangnya.

Lulu membenamkan wajahnya di dalam bayang-bayang tudungnya, menyembunyikan senyuman pahit di bibirnya.

Merasakan air...

Kenapa aku harus bisa mengendalikan air???

Pengendalian air brengsek!!!

***

***

8 comments:

  1. "Am I missing something?"- umi-

    - umi bingung, perasaan Zach kena tonfa-nya Lulu, kenapa dia bisa idup lagi? umi loss bagian ini kak, Kenapa umi ga nangkep waktu Zach jelasin dia ga kena tonfa-nya lulu?

    - umi juga ga ngerasa ceritanya menuju klimaks huehue...

    - itu Zach-nya nyerah?

    oke kak, umi ngerasa banyak bingungnya daripada ngertinya :/

    ceritanya keren, tapi bagian-bagiannya Zach itu beneran bikin umi bingung :3

    nilai dari umi 6/10

    ReplyDelete
  2. Baca ini kayak nonton teaser film yang kita ga ngerti filmnya tentang apa buat saya
    Dipotong", tapi rasanya kurang smooth... Saya banyakan ga nangkepnya, terutama Zach-Lulu kayak Umroh. Saya cuma nangkep pokoknya Lulu ada hubungannya sama Lena, tapi pas masuk bagian battlenya rada susah ngikutinnya

    Btw, ini rasanya kurang efektif
    "Kau membalik tonfamu dan memegang bilahnya sampai mengorbankan tanganmu sendiri untuk menghantam dadaku hingga gelombang pukulanmu mengeluarkan paku yang menancap di punggungku. "

    6/10

    ReplyDelete
  3. Wait, apa yang terjadi?!

    1. Zach kena tonfa, berdarah2, tapi ternyata masih hidup?
    2. Apa yg terjadi sama Petra n Primo? Kenapa dia bisa dikendalikan Quin? Padahal barusan mereka ketemu.
    3. Endingnya gimana? Open ending? Tapi, Zach ga literally ngalah, Petra dan Primo pun ga jelas hidup ato mati
    4. Lulu walk out?
    5. Apa yang terjadi di awal cerita dgn Thurqk? Lena itu sopo? Kok bisa bicara dgn Thurqk?

    Secara teknis, cerita ini belum bisa dikatakan selesai, jadi aku ga bisa ngereview apapun. Meski aku suka gaya penulisan Author dan pace cerita yg cukup lambat dan sepoi2. Tapi battlenya yg tiba2 gini tiba2 gitu itu..membingungkan.

    Sama kayak komen diatas, berasa kayak nonton trailer yang ga tau tentang apa filmnya.
    Maaf aku ga bisa ngereview apapun.

    Dariku 6/10
    (Seharusnya bisa lebih tinggi, andai Author menyelesaikan cerita ini)

    ReplyDelete
    Replies
    1. 1. Zach kena tonfa, berdarah2, tapi ternyata masih hidup?

      - "Tenang Tuan Putri. Aku sudah kalah sejak gagang tonfamu menghantam. Kau membalik tonfamu dan memegang bilahnya sampai mengorbankan tanganmu sendiri untuk menghantam dadaku hingga gelombang pukulanmu mengeluarkan paku yang menancap di punggungku. Aku hanya bisa berkata 'terima kasih'." --- Darahnya bukan darah Zach

      2. Apa yg terjadi sama Petra n Primo? Kenapa dia bisa dikendalikan Quin? Padahal barusan mereka ketemu.

      - Petra mengawasi dengan seksama laki-laki yang sedang berlutut di depan air terjun itu. Ia tak suka membayangkan dirinya akan bertarung di tempat ini. Tempat ini selalu memberikan perasaan damai dalam hatinya. Cipratan kecil air terjun, keteduhan yang diberikan oleh pohon-pohon yang rimbun, larik-larik cahaya yang menerobos dedaunan yang kali ini begitu berkilau, sungguh menyilaukan mata... Berkilau??? Petra terbelalak. Namun semuanya sudah terlambat.

      - Udara di sini kering, tapi benang itu basah, sehingga aku tahu persis berapa panjangnya --- Cahaya berkilau yang dilihat Petra adalah titik-titik air di benang yang sudah malang melintang. Detailnya memang tidak diceritakan

      3. Endingnya gimana? Open ending? Tapi, Zach ga literally ngalah, Petra dan Primo pun ga jelas hidup ato mati

      Petra dan Primo
      - Pukulan keras itu tak ayal membuat Lulu berpaling. Namun gadis itu masih tetap tegar berdiri dengan kedua kakinya. Tidak mundur selangkah pun. Justru kedua laki-laki itu yang tiba-tiba rubuh bagaikan kehilangan tenaga.
      - "Aku sama sekali tidak terpikir, kau membelitkan benang itu di tonfamu, lalu menancapkannya di pohon, membuatnya tak lagi bisa terulur, dan memancing mereka untuk menyerangmu di tempat benang-benang itu terulur maksimal sehingga gaya yang mereka gunakan untuk merangsek ke arahmu justru melepaskan paku-paku yang tertancap di tubuh mereka. Bagaimana kau melakukan itu?"

      Quin
      - Quin terkejut dan berbalik. Ia sempat melihat siapa yang berbicara padanya, namun tak lagi sempat melakukan sesuatu sebelum kesadarannya hilang dihantam larik listrik ungu.

      Zach
      - "Tenang Tuan Putri. Aku sudah kalah sejak gagang tonfamu menghantam. Kau membalik tonfamu dan memegang bilahnya sampai mengorbankan tanganmu sendiri untuk menghantam dadaku hingga gelombang pukulanmu mengeluarkan paku yang menancap di punggungku. Aku hanya bisa berkata 'terima kasih'."

      4. Lulu walk out?

      Menilik jawaban No. 3, tidak.

      5. Apa yang terjadi di awal cerita dgn Thurqk? Lena itu sopo? Kok bisa bicara dgn Thurqk?

      - Itu plot device. Mengenai siapanya, bisa dicek di MTS

      Thanks for reading :)


      Delete
  4. Pemotongan ceritanya gak jelas, bikin bingung bacanya.
    Pendapat saya kira-kira sama kayak yang diatas, part antara Lulu dan Zach bikin bingung.

    6/10

    ReplyDelete
  5. cerpen ni beneran nyiksa pembaca kak, udah tulisanya kecil trus d bagian pertarunganya hurupnya malah jd transparan Dx
    lulu punya kemampuan pengendalian waktu kak? agak sulit jg membayangkan tonfa punya sisi yg tajam *abaikanajaniemangkrngbacacharsheetnya* #plok x3
    strateginya ok sih kak, plot twistnya jg bagus, g tlalu banyak battle sih, mungkin perlu nambah penjelasan aja kak biar mudah dmengerti
    trus krn kesanya kyk lulu udah tau smua kemampuan lawan dan pergerakan mereka smua, dia jdnya santai bgt, ceritanya jg jd kurang seru kak :/
    nilai 7/10 :)

    ReplyDelete
  6. Luluuuuu <3

    Lulu ini ngga bisa disentuh ya? padahal mau kenalamn #plak

    Sempet bingung sama endingnya zach tapi karena udah dijelasin sama Kak PWW ya, ya sudahlah.

    Saya suka Lulu-nya, tapi masih agak ndak sreg sama ceritanya.

    +7,5

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -