Pages

April 18, 2014

[ROUND 1 - C] AZRAQ IBRAHIM - KAWAN DAN PERTARUNGAN SAMPAI MATI

[Round 1-C] Azraq Ibrahim
"Kawan dan Pertarungan Sampai Mati"
Written by Abil El Azraq

---

Azraq membuka kedua matanya perlahan-lahan. Dilihatnya sebuah cahaya lampu gantung menyala terang, sedikit menyilaukan matanya. Tubuhnya terasa ngilu sekali. Rupanya ia tengah terbaring di sebuah lantai di suatu ruangan.


"Di mana ini?" Dengan kesakitan ia bangkit. Dilihatnya puluhan rak-rak buku yang begitu besar dan tinggi berjejer di hadapnnya, penuh sekali, seperti sebuah ruang perpustakaan. "Tempat apa ini? Ugh! Badanku, serasa habis dibanting. Apa yang terjadi?"

Suasana di tempat itu begitu sepi. Tak nampak seseorang pun berada di sana. Azraq memutuskan berjalan mencari pintu atau apapun di ruangan itu. Namun sepanjang yang ia lihat tetap rak-rak buku yang begitu besar dan sangat banyak memenuhi isi ruangan. Bahkan ia tak menemukan adanya sebuah pintu atau jendela satu pun di sana. Ruangan yang mirip perpustakaan itu lebih seperti sebuah labirin sekarang.

"Apa ini? Aku di mana sebenarnya?" Azraq benar-benar bingung dengan tempat tersebut. Ia mencoba mengingat-ingat bagaimana dirinya bisa sampai ke situ. Ia pejamkan matanya, berusaha untuk mengingat kejadian sebelum ia tersadar tadi. Bayang-bayang kejadian sebelumnya mulai bergulir di otaknya. Memori tentang kehidupannya terus berlalu lalang. Memori tentang ayahnya, dan tentang kemampuannya yang menakjubkan, begitu juga tentang peristiwa di malam ketika ia harus bertemu dengan kekasihnya. Dan Azraq terbelalak tatkala dirinya mengingat tentang peristiwa itu. "A-Apa?" Ia tersadar akan sesuatu hal yang sangat mencengangkan dalam dirinya. "Aku sudah mati?" Azraq tampak shock menyadari hal itu. Seakan tak percaya bahwa dirinya kini hanyalah arwah, ia lantas mencubit kedua pipinya sendiri kuat-kuat. "Argh! A-Aku… benarkah aku sudah mati? Nisa? Lalu bagaimana dengan Nisa? Lalu Ayah? Ini tidak mungkin. Aku sudah mati?"

Azraq tampak benar-benar tak percaya. Namun tatkala dirinya tengah sibuk memikirkan kematiannya itu, sebuah suara langkah kaki tiba-tiba saja terdengar dan membuyarkan pikiran kacaunya. "Hah?" Ia terkejut mendengarnya. Suara langkah kaki itu terdengar berjalan mendekat ke arahnya. Terus menerus mendekat. Dan ketika suara langkah misterius itu sudah terasa dekat sekali, tiba-tiba suara itu lenyap, tak terdengar lagi.

"Berhenti?" Azraq sontak terkejut. Diperhatikannya lorong di hadapannya tersebut dengan seksama, tak ia lihat siapapun ada di sana. Lorong di belakang dan sampingya pun juga begitu sepi, tak nampak ada seseorang. Ia pun lantas berjalan mencari asal suara langkah tadi ke setiap lorong di antara rak-rak buku di sekitarnya. Ia menoleh ke setiap lorong-lorong yang dilewatinya itu, tapi tak dilihatnya seseorangpun ada di mana-mana. Semua begitu terasa sepi dan sunyi. "H-Halo?" Azraq berseru dengan pelan. Tak ada suara yang menyahut. Hingga akhirnya, kesunyian itu buyar seketika tatkala suara seseorang berseru terdengar.

"Fire!"

Tiba-tiba saja terdengar suara beberapa rak di ruangan itu hancur terkena sebuah ledakan. "Oh Tuhan!" Azraq yang mendengarnya sontak terkejut.

"Fire!"

Suara seseorang itu terdengar lagi. Dan beberapa rak kembali hancur oleh ledakan yang sama. "S-Suara apa itu?" Azraq bergumam dalam hati begitu panik. Suara ledakan itu terdengar terus menerus. Begitu keras dan semakin keras. Hingga akhirnya sebuah ledakan tiba-tiba muncul dari samping Azraq yang membuat dirinya sampai harus memejamkan mata karena dahsyat efek ledakan itu.

"Uhuk! Apa ini?" Rak yang berada di sampingmya itu hancur lebur dengan asap dan debu yang mengepul. Azraq terbatuk merasa sesak akibat debu-debu itu. Ia pun segera menjauh dari kepulan asap dan debu tersebut.

Tak berapa lama, suara langkah kaki kemudian terdengar dari arah ledakan tersebut. Azraq yang terkejut segera memperhatikan asal suara itu. Dilihatnya, seseorang muncul dari balik kepulan asap yang mulai menipis di sana. "Cih! Di sini kau rupanya." Orang itu mulai menampakkan wujudnya. Ia seorang pria yang membawa senapan, namun lebih mirip pedang. Dan ia berdiri menatap Azraq dengan wajah yang menyebalkan.

"Siapa kau?" Azraq bertanya pada orang itu.

"Huh! Kau sepertinya orang yang lemah, ya?" Pria itu tak menjawab pertanyaan Azraq.

"Apa?"

"Baiklah, tidak akan aku tunda lagi. aku sudah tidak tahan. Aku ingin kembali ke duniaku. Bersiaplah sekarang! Heaaah!" pria itu tiba-tiba berlari ke arah Azraq sembari mengangkat pedang yang dibawanya, oh atau senapan.

"Apa? Mau apa dia?" Azraq merasa bingung melihat tindakan orang itu. Pikirnya bertanya-tanya, kenapa ia berlari ke arahnya? Dan kenapa ia mengangkat pedangnya? Seolah-olah ia akan membunuhnya saja. Oh, membunuhnya? Azraq pun lantas sadar dan segera berlari tanpa berpikir panjang untuk menghindari pria itu. Namun pria itu malah mengejar, dan bahkan mengacungkan pedang, ah maaf, senapannya itu ke arah Azraq. "Apa? Mau apa orang itu sebenarnya?" Azraq tampak panik melihat pria itu mengacungkan senapannya.

"Hehe, matilah kau!" Pria itu tersenyum begitu senang. "Fire!" ia kemudian menembakan senapannya ke arah Azraq, dan mengeluarkan sebuah bola cahaya merah yang melesat cepat dari dalamnya. Tapi bertepatan dengan itu, Azraq berbelok arah ke lorong samping, dan akhirnya tembakan itupun meleset mengenainya. "Apa? Sial!"

Pria itu terus mengejar Azraq, dan terus menerus menembakkan sesuatu yang bercahaya dan berdaya ledak itu dari senapannya. Namun tembakan-tembakan itu selalu meleset mengenai Azraq, dan malah menghancurkan rak-rak besar di dekatnya.

"Kurang ajar! Orang itu pandai menghindar, dan larinya juga cukup cepat. Cih! Kukira aku tidak perlu harus memakai kristalku ini. Tapi baiklah, kalau itu bisa mempercepat aku untuk menghabisi orang lemah ini." pria itu kemudian mengeluarkan sebuah Kristal dari sakunya. "Baiklah, ayo mulai!" Ia lantas melemparkan kristal itu ke udara dan kemudian menebasnya dengan senapannya, oh maksudku pedangnya, hingga hancur menjadi serpihan kecil. "Rushito!" pria itu berseru, dan seketika tubuh pria itu diliput oleh sebuah aura biru yang terang dan membuatnya bercahaya. "Woyeah!" dengan menakjubkannya pria itu kini bisa berlari begitu cepat dan sangat lincah. Bahkan ia mampu berlari berbelok-belok mengikuti kelihaian Azraq dalam menghindar. "Kau tidak akan lolos sekarang!" Begitu cepatnya laju pria itu berlari, hingga akhirnya ia berhasil mendekati Azraq dan dengan segera mengayunkan pedangnya ke arah pria berpakaian biru di hadapannya tersebut untuk menebas lehernya dari belakang. "Mati kau!"

Azraq yang menyadari hal itu seketika refleks dengan cepat. "Apa?" Ia menunduk menghindari tebasan pedang pria itu dan berhenti berlari. Pria itu pun kebablasan melewati dirinya.

"Sial!" Namun pria itu benar-benar sangat lincah. Dengan gesit ia berbalik lagi dan menyerang Azraq dengan melancarkan tendangannya yang cepat dan kuat, hingga membuat Azraq terpental beberapa meter dan tersungkur di lantai. "Heaaaa! Habislah kau!" Dengan cepat pula pria itu kemudian melompat dan mengayunkan pedangnya ke arah Azraq yang tengah tergeletak.

"Gawat!" Azraq yang panik segera tersadar bahwa ruangan ini memiliki udara. Ia berpikir mungkin ia bisa menggunakan kemampuannya untuk melawan serangan pria itu. Dengan cepat, ia kumpulkan setiap mili air dari udara di sekitarnya dan membentuknya menjadi sebuah bola air yang mengawang di udara.

"Heaaah!" Tatkala pria berpedang itu mendarat dan hendak menancapkan pedangnya ke tubuh Azraq, Azraq segera menghindar. "Sialan!" Pria itu kesal dan kemudian segera mengayunkan pedangnya lagi ke arah Azraq, "Rasakan ini!". Tapi dengan cepat, Azraq kendalikan bola air yang mengawang di udara itu ke arah pria tersebut, dan menghempaskannya ke samping hingga pria itu tak sempat menebas dirinya, dan malah tersungkur membentur sebuah rak. "Puah! Apa ini?" Pria berpedang itu bingung dengan serangan yang mengenai dirinya barusan. "Ini air. Apakah pria itu melakukan hydrokinesis untuk menyerangku?"

Azraq segera bangkit dan berkata pada pria itu. "Hey kau! Siapa kau? Kenapa kau mau membunuhku? Eh, tunggu! Kau mau membunuhku? Bukankah aku sudah mati?"

"Cih!" Pria berpedang itu bangkit dan berdiri menatap Azraq. "Pertanyaan bodoh macam apa itu? tentu saja kita sudah mati. Dan aku harus menghabisimu. Agar aku bisa hidup kembali. Bukankah si makhluk yang mengaku dewa itu telah memberitahumu, bahwa yang terakhir bertahan dan menang dari kita semua akan dapat hidup kembali?"

"Kita semua? Dewa?"

"Tunggu, kau hilang ingatan, ya? Hahaha."

Azraq memegang kepalanya yang mulai pusing memikirkan ucapan pria di depannya itu.

"Sudahlah, yang terpenting aku sekarang harus membunuhmu, kawan. Hehe. Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Leonidas. Aku adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menggunakann sihir. Dan dengan kristal sihir di sakuku ini, aku bisa memiliki kemampuan yang luar biasa untuk melawan musuh-musuh yang akan kuhadapi. Sedangkan kau, siapa namamu?"

"Aku? Namaku Azraq."

"Nama macam apa itu, tampaknya kau dari bumi. Hmm… rupanya orang bumi sudah mulai hebat juga. Aku akui. Tapi tentu saja tidak sehebat aku, heahaha!" pria bernama Leonidas itu tertawa begitu lebar. "Kau tahu, Pedang yang kupegang ini namanya Gunblade. Pedang ini bisa kugunakan sebagai senapan yang dapat menembakkan manna. Kau tidak tahu manna? Dasar orang bumi. Kau bisa hancur meledak terkena tembakan dari Gunblade-ku ini. Nah, maka dari itu, sebaikanya, sekarang, matilah kau!" Leonidas tiba-tiba berlari ke arah Azraq dan kembali mengangkat pedangnya. Azraq yang melihatnya dengan refleks segera mengumpulkan air dari udara kembali, lalu menghempaskannya ke arah Leon dengan segera. "Tidak akan kena bodoh." Leon melompati serangan air itu dan berlari lagi menerjang Azraq dengan cepat dan keras, "Terima ini!". Azraq pun terpental lagi mendapat serangan darinya. Sampai-sampai beberapa rak di belakangnya hancur sebelum ia tersungkur di antara tumpukan buku. "Sekarang terimalah tembakan dari Gunblade-ku ini! Fire!"

Senapan bernama Gunblade itu ditembakkan ke arah Azraq yang tengah tersungkur itu. Dan dengan cepat lagi Azraq mengumpulkan air dari udara begitu banyak. Lalu ia ciptakan sebuah pelindung dari air itu yang menghalangi tubuhnya dan membekukannya menjadi Es. "Apa? Leonidas terkejut melihatnya. Tembakan dari Gunblade itu pun mengenai pelindung Es tersebut dan membuatnya hancur sehingga gagal mengenai diri Azraq.

"Sialan! Dia juga bisa membekukan air." Leonidas menggerutu kesal, "Kurang ajar!"

Azraq bangkit dari tempatnya. Ia menatap tajam ke arah Leonidas. "Jadi kita harus saling membunuh, hah?"

"Apa?" Leonidas bingung mendengar ucapannya.

"Dan jika aku menang aku bisa hidup kembali? Wow, Baiklah. Itu akan sangat menyenangkan sepertinya. Aku harus bertemu dengan seseorang di kehidupanku. Maka aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa hidup kembali seperti katamu."

"Hoo, kau sudah mulai paham ya. Baguslah. Jika begini mungkin bertarung melawanmu akan menjadi menarik."

"Tentu saja." Azraq mengumpulkan air kembali dari udara. "Bersiaplah, kau yang akan mati!"

"Oh ya?"

Azraq menghempaskan air itu ke arah Leon, namun dengan cepat dihindari olehnya.

"Hehe, sudah kubilang, tidak kena, bodoh!"

"Oh ya?" air itu tiba-tiba saja berbalik ke arah Leonidas kembali.

"Apa?" Leonidas yang melihatnya sontak panik. Ia segera menghindarinya lagi, namun air itu mengejar kemanapun ia bergerak. "Hey, sialan kau!"

"Nikmati itu."

Akhirnya setelah cukup lama menghindarinya, air itu pun mengenai tangan Leonidas. Dan dengan segera Azraq membekukannya dengan cepat, membuat tangan Leonidas itu terbungkus oleh Es yang padat.

"Habislah kau!" Azraq membelokkan tangannya dan Es itu mematahkan tangan Leonidas hingga pria menyebalkan itu menjerit kesakitan.

"KURANG AJAAAR!" Leon mengacungkan gunbladenya segera ke arah Azraq. "Kau mematahkan tanganku, sialan!" dengan cepat Es di tangan Leon yang patah itu segera dicairkan kembali oleh Azraq, dan kemudian digerakkan kembali ke arah tangan yang memegang Gunblade tersebut. "Apa?" Azraq membekukan air itu kembali, dan membuat jari Leonidas tak dapat menekan pelatuk Gunblade-nya. "KURANG AJAAAR!"

"Hey, berisik! Sebelum aku mengalahkanmu, boleh aku bertanya sesuatu?" Azraq bertanya pada Leonidas.

"Kurang ajar! Tidak! Heaaah!" Leonidas yang tak berkenan menjawab pertanyaan Azraq itu segera berlari dengan cepat ke arahnya. Dihunuskannya Gunblade miliknya itu pada Azraq, namun segera dihindari olehnya. "Kau tidak akan bisa menghindari kecepatanku, bodoh!" Sayangnya, Azraq tidak cukup gesit kali ini. Leonidas berhasil merobek lengan Azraq dan membuatnya terluka, "Hehe. Kena kau. Terima lagi ini!" Leonidas berusaha menebas Azraq kembali. Dan dengan refleksnya, Azraq segera mengendalikan Es di tangan Leonidas itu, hingga membuatnya tak dapat menggerakkan tangannya untuk melakukan tebasan pada Azraq, "Hey!". Dengan cepat Azraq kemudian memukul perut Leonidas dan membuatnya terpental jauh hingga tersungkur di lantai.

"Itu karena kau telah melukaiku." Ucap Azraq dengan kesal.

Leonidas yang sempat tersungkur itu segera bangkit. Ditatapnya Azraq dengan ekspresi yang sangat marah. "Kurang ajar, kurang ajar, kurang ajar!. Kenapa ada orang bumi yang hebat sepertimu?" Aura biru di tubuh Leonidas kini mulai memudar. "Sialan, Rushito-ku sekarang telah habis. Aku harus mengambil kristal lagi." Leonidas mencoba menggerakan tangannya yang patah untuk mengambil kristal di sakunya, tetapi tak bisa. "Gawat aku tidak bisa mengambil kristalku. Ah, baik, dengan ini saja." Leonidas lantas merobek kantong kristalnya itu dengan gunblade miliknya, dan menjatuhkan kristal-kristal di kantongnya itu ke lantai. "Cih! Yang mana sebaiknya yang akan kugunakan." Leonidas tampak bingung memperhatikan kristal-kristalnya yang berserakan di atas lantai. "Ah, Leon, kau selalu lola. Kenapa tidak sekalian saja semua. Tanggung, mari lekas kita selesaikan, hehe." Leon kemudian menginjak semua kristal-kristal itu hingga hancur. Dan aura hitam pekat lantas muncul menyelimuti tubuhnya. "Azraq, bersiaplah kau!"

Azraq yang melihat Leonidas tampak mulai mendapat kekuatan baru lagi, segera bersiap untuk menghadapi serangan darinya. Leon pun segera berlari dan mengangkat pedangnya ke arah Azraq. "Baiklah, kau tidak akan bisa mendekatiku." Azraq yang sudah bersiap itu segera melakukan perlawanan dengan mengendalikan Es di tangan Leonidas yang memegang Gunblade itu, agar ia tak dapat mendekati dirinya. Tapi aneh, hal itu tidak berhasil. "Apa? Es nya tidak bisa dikendalikan?"

Leonidas segera mengayunkan pedangnya ke arah Azraq namun berhasil dihindari. "Mau menghidar? Hehe." Tapi sayang, ketika ujung Gunbalde itu mengenai lantai, sebuah ledakan tiba-tiba muncul dari lantai itu dan mementalkan Azraq yang berada di dekatnya hingga jauh, dengan tubuh dan wajah yang terluka parah tentu saja. "Hehe. Kekuatanmu itu tidak cukup kuat untuk menahan kekuatan tubuhku sekarang. Bahkan bola beton raksasa pun bisa kuhancurkan dengan mudah sekarang. Apalagi melawan daya dorong dari Es yang kau kendalikan pada tanganku ini. Itu seperti tengah adu panco dengan tenaga anak bayi rasanya. Mampu kulawan. Hahaha. Dan juga Kekuatan Gunblade-ku ini meningkat, aku bisa menciptakan ledakan dahsyat tatkala ujung Gunblade-ku ini menyentuh sesuatu. Hehe."

"Apa?" Azraq yang mendengarnya seketika panik. Ia merasa kekuatannya sudah tak berguna lagi sekarang. Leonidas kini sangat kuat baginya.

"Ayo mana semangatmu yang tadi. Cih! Lemah!" Leonidas mulai mengejek Azraq.

Azraq yang tak terima segera bangkit dengan tubuh kesakitan dan sempoyongan. Ia lantas menatap tajam pria menyebalkan di hadapannya itu, dan mengumpulkan air yang begitu banyak di udara.

"Mau apa kau dengan air sebanyak itu? Tidak akan mempan meski kau terjang aku dengan banjir bandang sekalipun."

Azraq lalu menggiring air-air itu berputar-putar mengelilingi tubuh Leonidas. Leonidas sendiri tampak tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Azraq padanya. Ia berjalan melewati air itu begitu saja dan menghampiri Azraq yang sudah lemah dan tak berdaya di hadapannya. "Aku akan beritahu kau. Kemampuan ledakan Gunblade-ku ini hanya berlaku tiga kali saja. Dan sekarang aku hanya bisa memakainya dua kali lagi. Karena kau sudah tak berdaya. Akan kugunakan sekali lagi saja padamu. Tapi aku tidak akan menghancurkan tubuhmu berkeping-keping. Melainkan…" Leonidas mengayunkan Gunblade-nya itu dan membenturkannya ke lantai di dekat Azraq. Ledakan dahsyat pun muncul. Azraq kembali terpental dengan luka yang semakin parah di tubuhnya. Ia tersungkur dan merasa kesakitan mendapati luka-luka yang menganga di sekujur tubuhnya. "Selesai, dengan ini kau sudah sekarat. Dan kau akan kembali lagi ke dunia afterlife itu. Dan aku harus menghabisi yang lainnya sekarang. Selamat tinggal. Nikmatilah itu." Leonidas kemudian berjalan meninggalkan Azraq yang sudah tampak sekarat tersebut. Tapi Azraq yang sudah sangat kesakitan itu tetap mencoba untuk melawan Leonidas.

"A-Aku T-Tidak A-Akan Kalah." Dalam keadaan tergeletak kesakitan itu, Azraq kendalikan air yang membasahi lantai di mana air itu tadi berputar-putar. Ia mengalirkannya menuju kaki Leonidas yang sedang melangkah. Ia lantas menjadikan air itu menjadi bola-bola kecil yang langsung membuat Leonidas terpeleset dan Gunbladenya terlepas dari genggaman, "Apa?". Gunblade itu pun kemudian ditangkap oleh air lain yang seketika menjadi Es. "Dia masih bisa melawanku? Sialan!" Leonidas bergumam kesal. Es tersebut kemudian membawa Gunblade itu ke  atas tubuh Leon yang tengah terbaring di atas lantai. "Apa? T-Tunggu, Tidak mungkin. Tidak!"

"S-Selamat tinggal, Bedebah." Dengan lirih Azraq mengucapkan salam perpisahan pada Leonidas, dan Es tersebut kemudian mencair, melepaskan Gunblade itu dan menjatuhkannya ke tubuh Leon. Tubuh Leon pun seketika meledak hancur berkepeing-keping. Dan Azraq yang sudah tak kuat lagi dengan rasa sakit di tubuhnya itu lantas mulai tak sadarkan diri. Ruangan tersebut pun kini kembali sunyi. Hanya meninggalkan buku-buku yang berserakan serta lantai yang hancur porak poranda di sekitarnya. Satu peserta kini telah musnah. Tersisa tiga orang lagi selain Azraq di tempat ini.

 **************************************************************************************

Azraq membuka matanya perlahan. Sekujur tubuhnya terasa begitu sakit dan perih. Ia kemudian bangkit perlahan-lahan dan duduk di tempatnya sembari memperhatikan kondisi tubuhnya. "Ini sakit sekali, ugh!" dilihatnya, sekujur tubuh itu kini penuh dengan darah dan luka bakar yang menganga.

"Sebaiknya kau istirahat dulu saja." Suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah samping. Azraq yang terjkejut segera menoleh. Dilihatnya orang berambut pendek acak-acakan dan berbaju putih, tengah duduk membelakangi dirinya sembari tampak sedang membaca sebuah buku yang tak jauh dari tempatnya.

"S-Siapa kau?" Azraq bertanya padanya dengan rasa penasaran.

"Aku Noumi Shu. Panggil saja Shu. Kalau kau?" orang tersebut menjawab dengan tetap membelakangi Azraq, tanpa berbalik ataupun menoleh sedikitpun ke arahnya.

"A-Aku Azraq. Sedang apa kau di sini?"

"Di sini? Ini adalah duniaku."

"Duniamu?" Azraq tampak bingung mendengar ucapannya.

"Perpustakaaan ini adalah tempat favoritku dulu. Sebelum aku mati. Yah, bisa dibilang aku adalah orang yang gemar membaca buku dan juga selalu menghabiskan waktuku di perpustakaan ini. Makanya, ini adalah duniaku."

"Ini perpustakaan?"

Orang bernama Shu itu kemudian menutup bukunya dan berdiri seraya berbalik menatap Azraq, "Tentu saja. Memang kau pikir apa?"

"Oh, kupikir... Ugh!" Azraq kembali merasa kesakitan pada tubuhnya.

"Sudah kubilang, sebaiknya kau istirahat saja dulu." Shu berjalan mendekati Azraq, "Kita masih punya waktu sebelum yang lain datang kok. Kau bisa memulihkan tubuhmu terlebih dahulu.".

"Yang lain? Siapa?"

Shu duduk di sampingnya dengan santai, "Ya peserta lain. Entah siapa, yang jelas bukan cuma kita yang ada di sini. Dan sepertinya kau telah mengalahkan satu peserta. Yah, maka masih ada dua lagi selain kita sekarang."

"Masih ada dua lagi? Orang seperti dia? Dan kau apa juga yang harus kukalahkan?"

"Tentu saja, kau pun juga harus kukalahkan sebetulnya."

"A-Apa kau bisa menjelaskan semuanya padaku? Aku bingung. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa aku yang sudah mati ini bisa berada di sini. Dan juga, benarkah aku bisa hidup kembali jika aku menang melawan orang-orang seperti kalian?"

"Aku juga kurang tahu tentang hal itu." Shu nampak tengah memilih-milih buku yang berserakan di sekitar tempatnya. "Tetapi, memang benar kita semua yang sedang bertarung di sini adalah orang-orang yang sudah mati. Seperti kata makhluk yang mengaku sebagai dewa bernama Thurqk itu. Jika kita bisa menjadi satu-satunya orang yang mampu bertahan di permainan ini. Maka hadiahnya adalah kita bisa hidup kembali."

"Dan itu benar?"

"Sudah kubilang aku tidak tahu." Shu berhenti memilih buku-buku itu dan langsung menatap wajah Azraq. "Tapi aku tidak yakin juga makhluk itu benar-benar bisa menghidupkan orang mati."

"Memangnya makhluk apa itu? kenapa aku tidak pernah tahu?"

"Kau tidak tahu? Apa kau hilang ingatan?"

"Entahlah, terakhir yang kuingat adalah aku mati."

"Hmm…" Shu menyilangkan tangannya di depan dadanya. "Sebelumnya aku juga sempat lupa apa yang terjadi sih. Tapi kemudian aku mengingat semuanya. Sepertinya para peserta di sini datang dalam keadaan tak sadarkan diri juga."

"Kau juga?"

Shu mengangguk. "Memangnya kenapa kau bisa mati, Azraq?"

"Aku? Kalau itu, seingatku aku sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat saat itu. Tempat di mana aku harus bertemu dengan orang yang kucintai. Tapi aku dihadang oleh orang berjubah hitam. Dan dia menyerangku. Begitu hebat, sampai aku tak bisa melawannya."

"Dan akhirnya kau dibunuh?"

"Ya, dan aku masih ingat wajah orang itu. Merah. Mata yang sangat hitam."

"Hmm… sepertinya itu Hvyt."

"Siapa itu Hvyt?"

"Anak buah Thurqk. Mereka mengaku diri mereka malaikat. Tapi kurasa mereka hanyalah makhluk dari bangsa si Thurqk itu yang menjadi budak dan dicuci otaknya sampai harus patuh dan mau untuk mengakui Thurqk sebagai dewa. Huh! Dewa apa, aku sama sekali tidak percaya dia dewa. Makhluk menyebalkan. Wujudnya memang aneh. Berkulit merah dan memiliki garis yang sepertinya merupakan simbol."

"Sepertinya kau membenci makhluk bernama Thurqk itu."

"Aku benci dia membawaku ke tempat ini. Si Hvyt utusannya itu menculikku ketika aku gentayangan. Dan membawaku masuk ke dalam permainan aneh ini. Entah dari mana si Thurqk itu memiliki kemampuan memadatkan tubuh orang mati seperti ini juga?"

"Jadi ini semua adalah sebuah permainan?"

"Ya."

"Jadi kita tengah diadu?"

"Begitulah."

Azraq terdiam memikirkan semua itu. Ia tak habis pikir ia mati dibunuh, lalu arwahnya dimasukkan ke dalam sebuah permainan di mana setiap arwah harus membunuh. Yang mana arwah ini bisa terluka dan seperti tengah hidup kembali. Ia benar-benar merasa tak habis pikir. Tapi jika dipikirkan juga bahwa para arwah yang berada di akhirat masih bisa disiksa dan merasa sakit di neraka, mungkinkah ini sama seperti itu? Memikirkan hal tersebut membuat Azraq merasa semakin bingung.

"Ngomong-ngomong. Kenapa kau bisa mati, Shu?" Azraq mulai bertanya pada Shu.

"Eh? Kalau itu… aku bunuh diri."

"Benarkah? Kenapa?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya." Shu mulai tampak sedikit muram menjelaskannya. "Masalahku semasa hidup amatlah rumit dan menyakitkan. Aku benci diriku sendiri."

Azraq terdiam, ia tampak memahami keadaan pria di sampingnya itu. "Maaf."

"Tidak."

"Eh, tapi, apa kau sudah lama berada di sebelahku tadi?"

"Hmm? Sepertinya iya."

"Tapi, kenapa kau tidak membunuhku ketika aku tak sadarakan diri? Bukankah itu kesempatanmu menghabisiku? Dengan begitu lawanmu jadi berkurang, kan?"

"Hmm… lalu, kenapa kau tidak membunuhku juga sekarang?"

"Eh?" Azraq bingung menjawab pertanyaan balik dari Shu tersebut.

"Aku ini seorang pengecut, kau tahu?"

"Maksudmu?" Azraq mengernyitkan dahi.

"Aku tidak bisa membunuh orang. Aku tidak berani. Bahkan aku terlalu takut dengan kemampuanku sendiri."

"Kemampuanmu?"

"Ya, aku bahkan tidak ingin kemampuanku ini muncul lagi."

"Kemampuanmu… Apakah kemampuanmu itu?"

Shu terdiam sejenak. Ia menghela nafas sebelum akhirnya mulai menjawab pertanyaan Azraq, "Aku bingung menjelaskannya. Karena kemampuanku ini membuatku menjadi iblis. Aku bahkan telah melenyapkan orang yang kusayangi. Aku benci kemampuan tak berguna ini."

Azraq terdiam mendengar jawaban tersebut. Lagi-lagi nampaknya ia paham dengan keadaan Shu. Ia tak ingin terlalu banyak bertanya tentang diri pria di sampingnya itu sekarang. Meski ia sangat penasaran dengan kemampuan yang dimiliki olehnya, tapi ia tak ingin membuatnya sedih dan mengingat hal-hal buruk tentang masa lalunya.

"Ngomong-ngomong. Kenapa tempat ini hanya berisi rak-rak besar dan buku-buku saja? Di mana letak pintu keluarnya?" Azraq teringat akan keanehan tempat itu.

"Aku juga bingung. Ruangan ini sepertinya telah dimodifikasi oleh si Thurqk. Seharunya tidak seperti ini. Entah kenapa tempat ini malah menjadi seperti labirin begini,"

"Jadi kau juga tidak tahu?"

"Begitulah."

Di saat meraka tengah asik berbincang-bincang, tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki seseorang berjalan mendekat ke arah mereka berdua. "Ada suara!" Azraq yang mendengarnya sontak kaget.

"Wah! Sepertinya dia lawan kita. Apa dia tahu keberadaan kita?" Shu merasa sedikit panic mengetahuinya.

"Entahlah. Agh! Tubuhku masih lumayan sakit padahal. Gawat jika kondisiku begini sebenarnya." Azraq berusaha berdiri perlahan dengan rasa sakit yang terasa sangat menyiksa.

"Azraq, aku juga bingung harus bagaimana." Shu turut berdiri dengan menunjukkan wajah cemasnya. "Aku sama sekali tidak bisa bertarung. Sepertinya posisi kita tidak menguntungkan. Kita harus lari, Azraq."

"Tidak bisa." Azraq menatap Shu dengan tatapan serius. "Kita pasti akan dikejar. Sepertinya dia memang tahu keberadaan kita. Kita harus melawan semampu kita."

"Tapi…"

Di saat Azraq dan Shu sedikit mencemaskan keadaan mereka yang tampaknya tidak cukup baik untuk bertarung tersebut. Seorang pria dengan rambut bergaya Mohawk, memakai slayer yang menutupi mulutnya, beretelanjang dada, serta memegang pedang di tangan kanan dan tombak di tangan kirinya tiba-tiba muncul dari balik salah satu rak di kejauhan. Aura dingin yang mencekam pun muncul menyelimuti ruangan seiring ia berjalan dengan mantapnya. Tatapan matanya yang begitu tajam, tertuju ke arah mereka berdua.


"Dia datang." Azraq memperhatikan orang itu dengan seksama.

"Orang itu mengerikan. aku tidak pernah merasakan hawa yang begitu mencekam seperti ini." Shu merasa bergidik tatkala melihat sosok pria yang menghampirinya tersebut.

"Bersiaplah!" Azraq memperingatkan Shu. Mereka berdua segera waspada untuk hal yang sangat berbahaya dari sesorang yang berjalan ke arah mereka tersebut.

Azraq mulai mengumpulkan setiap mili air di udara. Ia kumpulkan butiran-butiran air itu dan menjadikannya sebuah bola air yang cukup besar di sampingnya.

"Kau pengendali air, Azraq?" Shu terkagum tatkala dirinya melihat Azraq menggunakan kemampuannya tersebut.

"Ya." Azraq tersenyum ke arah Shu. "Dan juga pengendali suhu."

"Wow," Shu merasa semakin kagum mendengar ucapannya, "itu luar biasa."

"Syukron."

"Apa itu?"

"Terima kasih."

Pandangan mereka kembali fokus terhadap pria berambut Mohawk yang tengah berjalan di hadapan mereka tersebut. Pria itu memasang raut wajah yang dingin dan datar menatap mereka berdua. Ia tampak berjalan dengan lebih cepat sekarang. Bahkan semakin mendekat semakin cepat. Mulai lebih cepat lagi, hingga kemudian ia berlari ke arah mereka.

"Dia mendekat. Apa yang akan kita lakukan?" Shu mulai panik melihatnya.

"Tenanglah. Kita coba menyerangnya." Azraq yang juga merasa sedikit panik itu, dengan segera membentuk bola air di sampingnya tersebut menjadi sebuah bentuk meriam yang lantas dibekukannya menjadi Es. "Akan kuserang dia dari jarak jauh. Rasakan ini!" Azraq kemudian menghempaskan tangannya ke depan, mengarah pada pria Mohawk di hadapannya itu. Dan Meriam Es di sampingnya itu pun menembakkan Bola Es berduri dari dalam yang mengarah tepat pada pria itu dengan sangat cepat.

"Pasti kena." Shu berseru yakin.

Pria tersebut nampak mulai mengangkat pedangnya. Ditatapnya bola Es berduri yang datang ke arahnya tersebut, dan dengan cepat, ia menebas hingga terbelah menjadi dua.

"Apa?" Shu tercengang melihat aksinya tersebut. "Dia membelahnya? Bagiamana ini?"

Namun Azraq sendiri tak nampak merasa panik dengan yang dilakukan pria mohawk itu. "Terima ini!" Ia lantas menembakkan bola-bola Es berduri lebih banyak lagi secara beruntun ke arah pria tersebut. Dan pria mohawk itu terdiam sejenak memperhatikan bola-bola Es tajam yang melesat dengan cepat dan sangat banyak itu ke arahnya.

Ia kemudian menyilangkan pedang dan tombaknya ke depan, dan mulai bergerak begitu lincah memainkan pedang dan tombaknya, menebas Bola-bola Es berduri tersebut secara luar biasa.

"A-Apa?" Shu tercengang melihat aksinya, "Lihai sekali! Itu sangat banyak padahal!" 

Bagaikan tengah menari dengan kedua senjatanya, ia hancurkan benda-benda Es itu dengan mudahnya. Pria itu menghancurkan Bola Es terakhir, dan kemudian lanjut berlari ke arah Azraq dan Shu yang sudah begitu dekat dengannya. "Gawat!" Azraq yang seketika panik segera mencairkan kembali meriam Es di dekatnya tersebut, dan langsung menggiringnya ke arah si pria Mohawk itu dengan cepat. "Aku harus menahannya!" Ia menghempas pria mohawk itu dan mengurungnya dalam bola air raksasa. "Rasakan ini." Dan ia kemudian menggulung Pria Mohawk itu berputar-putar hingga ia tak dapat berkutik dan pusing di dalam bola air tersebut. "Sekarang kau harus dikurung!" Azraq lalu membekukan bola air itu dengan cepat, dan pria Mohawk tersebut pun lantas terjebak dalam bongkahan Bola Es besar.

"Wow! Apa dia tidak akan bisa keluar, Azraq?" Shu bertanya dengan penuh takjub.

"Jika orang biasa, seharunya tidak." Azraq menjawabnya dengan nafas yang terengah-engah kelelahan.

"Kau hebat sekali, Azraq."

"Ya."

Tak berapa lama, Azraq tiba-tiba terjatuh berlutut dan tampak merasa kesakitan pada tubuhnya.

"Hey! Kau tidak apa-apa, Azraq?"

"Ya, ini hanya kelelahan."

Shu merasa tak percaya dengan ucapannya, "Tidak, lukamu itu cukup parah. Seharusnya kau tidak menguras tenaga dalam keadaan seperti ini."

"Tidak aku baik-baik saja."

Di saat mereka tak lagi menghiraukan lawan yang telah membeku di depan mereka itu, tiba-tiba saja suara sebuah retakan terdengar. Mereka berdua pun terkejut dan langsung menatap bongkahan Es bulat raksasa di hadapan mereka itu.

"A-Apa?" Shu terbelalak melihat hal mencengangkan di hadapannya tersebut. . Dilihatnya oleh mereka, sebuah retakan muncul perlahan-lahan dari bongkahan Es besar itu dan mulai melebar ke seluruh bagian. "Sepertinya dia bukan orang biasa, Azraq."

"Ya."


Es itu kemudian hancur berantakan begitu saja di hadapan mereka. Pria mohawk di dalamnya pun terbebas dan berdiri dengan menyeramkan menghadap mereka berdua.

"Sialan!" Azraq berusaha mencoba mengendalikan Es yang hancur itu untuk melawannya agar tak dapat mendekat lagi. Tapi tenaganya sudah sangat terkuras. Tubuhnya semakin terasa sakit akibat luka-luka itu. Ia tak dapat menggunakan kemampuannya dalam kondisi stamina yang seperti itu sekarang.

"Azraq ayo cepat kita segera lari saja." Shu berusaha membantu Azraq untuk berdiri. Sementara Pria mohawk itu mulai berjalan mendekati mereka berdua.

"Kau sebaiknya cepat lari, Shu. Selamatkan saja dirimu. Biar aku yang menghadapinya sendiri."

"Apa? Tidak. Kau sudah tidak punya kekuatan untuk melawannya. bagaimana kau bisa menghadapinya. Aku tidak akan meninggalkanmu. Ayo bangkit."

Pria Mohawk itu kini telah berdiri di hadapan mereka berdua dengan menyeramkan. Azraq dan Shu sontak tercengang menatapnya. Pria mohawk tersebut kemudian mengangkat pedang di tangan kanannya tinggi-tinggi. Dan dengan tatapan yang begitu tajam, ia seperti tak akan segan untuk mulai menebas mereka berdua.  

"Hentikan!" Shu bergidik ketakutan. Azraq sendiri sudah sangat pasrah dengan yang pasti akan terjadi tersebut. "Hentikan!" Shu masih terus menyuruh pria mohawk itu mengehentikan aksinya. Tapi pria mohawk itu sendiri tampak tak memerdulikan ucapannya sedikitpun.

Tatkala pedang pria mohawk tersebut mulai diayunkan olehnya ke arah Azraq terlebih dahulu, Shu yang sudah sangat panik seketika berteriak dengan keras sembari menutup kedua matanya. "Hentikaaan!" dan tiba-tiba, di saat yang sangat menegangkan tersebut, pedang yang hampir mengenai Azraq itu entah mengapa mendadak lenyap begitu saja dari tangan Pria Mohawk tersebut.

"Apa?" Pria mohawk itupun begitu terkejut mengetahuinya.

Shu mulai kemudian mulai membuka matanya perlahan. Dan dilihatnya Azraq masih hidup dengan kondisi tubuh yang utuh dan tengah terbelalak di sampingnya. "Kau taka apa Azraq?" Ia pun lantas menatap pria mohawk di hadapannya itu. Dan dilihatnya, ia tengah terdiam menatap tangan kanannya yang sedang mengarah pada Azraq. "Apa yang terjadi?" ucapnya bingung.

Azraq kemudian menoleh menatap Shu dengan heran. "Apa kau yang melakukannya?"

"Apa?" Shu bingung mendengar pertanyaan Azraq. "Melakukan apa?"

Pria mohawk di hadapan Shu itu kemudian mulai bersuara dengan geram. "Kau kemanakan pedangku?" ia tampak sangat marah terhadap Shu.

"Pedang?" Shu baru sadar bahwa pedang di tangan pria mohawk itu tadi sekarang telah tiada. "Apa?" Ia lantas teringat akan kemampuan yang dimilikinya semasa hidup. "Jadi aku melenyapkan pedangnya barusan?"

"Ya, jadi itu kemampuanmu?" Azraq bertanya dengan penasaran pada pria di sampingnya itu.

"Jadi benar. Ah, iya. Itu namanya Void. Kemampuan yang dapat meniadakan atau melenyapkan sesuatu. Tapi aku hanya bisa mengguanakannya secara tidak sadar. Aku tidak bisa melakukannya dengan sengaja." Terang Shu pada Azraq.

Pria mohawk itu kini terlihat sangat marah. Ditatapnya Shu dengan tajam dan murka. "Kau!" ia hampirinya pria remaja berambut acak-acakan itu dengan segera, seraya tangannya yang kekar mencekik lehernya begitu kuat. "Kembalikan pedangku, Bocah Sialan!" Pria mohawk itu mencengkram leher Shu semakin kuat, membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"H-Hey, lepaskan dia." Azraq yang khawatir segera berusaha bangkit untuk menolong kawan barunya tersebut.

"A-Aku tidak tahu cara mengembalikannya. A-Aku tidak pernah bisa mengembalikan sesuatu yang telah kulenyapkan." Shu menjelaskan pada pria Mohawk dehadapannya itu dengan terbata-bata, menahan rasa sesak dan sakit di lehernya.

"Apa? Kurang ajar. Beraninya kau menghilangkan pedang terbaik di dunia milikku itu. Itu adalah pedang yang terkuat yang pernah ada di alam semesta. Dan beraninya kau melenyapkannya begitu saja. Aaagh!" Pria Mohawk itu melempar Shu dengan kejam ke samping hingga menjebol rak besar di dekatnya dan tersungkur pingsan. 

"Shu!" Azraq yang melihatnya sontak khawatir dengan keadaan remaja tersebut. Ia kemudian menatap pria Mohawk di depannya itu dengan marah. "Apa yang kau lakukan padanya?" Ia memaksakan diri untuk bangkit sekuat tenaga sembari mengumpulkan air di udara sekitarnya.

Pria Mohawk itu kemudian menoleh menatap Azraq. "Kau juga!" Dengan segera ia tendang tubuh Azraq yang sedang lemah itu hingga ia terpental dan tersungkur serta air yang baru sedikit ia kumpulkan itu lenyap begitu saja.

"Kau yang pertama harus kubunuh." Pria Mohawk itu berlari ke arah Azraq. Dia melompat dan mendarat tepat di atas perutnya hingga Azraq merintih kesakitan terinjak dengan keras oleh pria Mohawk itu. "Matilah kau." pria Mohawk tersebut mengangkat tombakknya. Ia arahkan ujung tombak itu ke arah leher Azraq, dan ketika sudah tepat, ia mulai hunuskan tombak itu dengan segera."TRANK" Tapi sebuah pedang katana transparan yang mirip seperti kristal sangat bening tiba-tiba muncul dan menahannya menusuk leher Azraq. "Apa?" Pria Mohawk itupun terkejut dan menatap seseorang si pemilik pedang tersebut di hadapannya. "Siapa kau?"

"Kau harus melawan orang kuat juga, Bung. Hihi." Seorang wanita yang begitu cantik dengan memakai jaket putih dan bercelana jeans hitam serta mengenakan fingerless gloves di kedua tangannya tampak tengah berdiri tersenyum ramah pada pria Mohawk itu.

"Siapa kau, dasar pengganggu!?" pria Mohawk itu membentak wanita tersebut dengan kesal.

"Namaku Kilatih. Kau tidak perlu berteriak seperti itu, bodoh!" Wanita bernama kilatih itu mengangkat pedangnya dan mengayunkannya pada pria Mohawk tersebut, namun segera ditangkis dengan tombaknya. "Hmm… biar aku tebak. Tombak ini terbuat dari logam terkuat di alam semesta. Cryptoin?"

"Kau tahu juga ternyata. Bagaimana hah? Mau melihat kehebatannya?"

"Aku tidak tertarik sebenarnya, karena senjata terkuat di alam semesta ini bagaimanapun adalah pedangku. Tapi mari kita coba, seberapa tangguh kau menggunakan senjata itu."

"Cih! Kau meremehkanku? Datang-datang sudah meremehkan orang. Andai pedangku masih ada. Baiklah, bersiaplah untuk mati. Heah!" pria Mohawk itu menyingkirkan pedang Kilatih, dan dengan segera ia menghunuskan tombaknya itu ke arah wanita tersebut. Namun Kilatih secara cepat mampu menghindarinya.

"Kau mau tahu seperti apa kehebatan teknologi?" Kilatih bertanya pada pria Mohawk itu.

"Apa?"

"Seperti ini." Kilatih dengan begitu cepat kemudian menendang tubuh pria Mohawk itu hingga ia terpental jauh menembus rak di kejauhan, dan membuatnya tersungkur. "Fuuuh. Orang yang menyebalkan. Aku benci pria seperti itu." Kilatih memasukkan pedangnya pada sarungnya kembali. Ia terdiam sesaat, sampai akhirnya ia melirik ke arah pria yang tengah terdiam menatap dirinya dengan mulut menganga di bawahnya tersebut. "Hey, kau tidak apa-apa?" Kilatih berlutut melihat keadaan Azraq.

 "T-Tidak."

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada sesuatu di wajahku?"

"T-Tidak."

"Lalu kenapa kau melihatku tanpa berkedip begitu?"

"Apa kau malaikat penolongku?"

"Eh?" Kilatih terkejut mendengar pertanyaannya. Ia terdiam memandang wajah pria di hadapannya itu dengan bingung. "Oh, karena aku datang di saat kau hampir terbunuh makanya kau berpikir aku malaikat penolongmu? Hihi, bukan kok. Aku hanya…"

"Wajahmu." Belum selesai Kilatih menjelaskan Azraq segera memotong perkataannya. "Wajahmu itu seperti malaikat. Kupikir kau malaikat yang diutus untuk menolongku."

Kilatih terdiam sesaat mendengar ucapannya. Pipinya mendadak memerah dengan cepat. Dan ia mulai merasa malu menatap wajah pria tampan di hadapannya itu. "H-Hey, kau ini bicara apa? Kau seenaknya saja menyamakanku dengan malaikat. A-Aku…aku kan hanya wanita biasa." Wajah Kilatih berpaling dari tatapan pria di hadapannya yang tak berkedip sedikitpun itu.

"Maaf. Ugh!" Azraq tiba-tiba kembali merasa kesakitan pada perutnya.

"H-Hey, kau kenapa?" Kilatih yang mendengar ringkihan pria bermata biru itu merasa khawatir. "Lukamu cukup parah. Dada dan perutmu sudah penuh dengan luka berat. Tak kusangka kau cukup kuat bertahan dalam keadaan luka yang seperti ini."

" Tapi aku tidak yakin akan bisa bertahan lebih lama lagi. Ugh!"

"Kau tidak boleh berkata seperti itu."

Di saat mereka tengah sibuk dengan obrolan mereka sendiri tersebut. Sebuah tombak besi tiba-tiba saja melesat dengan cepat ke arah mereka berdua. Azraq yang instingnya menyadari akan hal itu segera berseru mempertingatkan Kilatih. "Awas!"

Kilatih sontak terkejut. Ia segera menoleh dan dengan cepat menangkap tombak itu dengan tangannya sendiri. "Kurang ajar!" ia mengumpat kesal. Azraq sendiri tampak heran dan takjub melihat aksi wanita itu. "Dia masih bisa melawan ternyata. Dan dia melempar tombak sejauh ini? Bahkan aku tak melihat wujudnya di kejauhan sana. Hebat juga." Kilatih lantas membuang tombak itu ke samping. "Hey, siapa namamu?"

"Eh?" Azraq terkejut mendengar pertanyaanya. "Aku Azraq."

"Azraq ya. Nama yang gagah sekali." Kilatih tersenyum senang ke arah Azraq. "Aku Kilatih. Kau istirahatlah di situ. Aku akan bertarung dulu melawan bedebah itu."

"Eh?"

"Sampai nanti." Kilatih berdiri dan hendak melangkah pergi, sebelum kemudian tombak yang ia buang tadi bergetar tiba-tiba. Kilatih dan Azraq pun sontak menoleh bersama mendengar suara getaran dari tombak itu. "Apa?" Dilihatnya oleh Kilatih, tombak yang bergetar itu tiba-tiba saja melesat cepat ke arah dirirnya. Ia pun terkejut dan dengan segera mengeluarkan pedangnya yang kemudian menangkis tombak itu hingga terpental. "Sialan!" senjata itu tiba-tiba berbalik kembali dan melesat menyerangnya lagi. Tapi Kilatih berhasil menghindarinya dan menangkisnya dengan pedang kristal miliknya itu.  "Benda ini dikendalikan." Tombak itu berputar dan berusaha memukul tubuh wanita itu. Tapi dengan refleks ia melompat dengan gaya salto untuk menghindarinya. Dan ketika ia mendarat, Kilatih segera menangkap tombak yang dengan cepatnya itu hampir menusuk wajahnya. "Senjata sialan!"

Azraq yang memiliki insting kuat, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang mendekat ke arah mereka. Ia pun melihat sesuatu di kejauhan di depannya. "Hey, lihat! Apa itu?" ia segera memberitahukan pada Kilatih.

Kilatih menoleh menatap sesuatu yang Azraq tunjuk tersebut. Dilihatnya di kejauhan, sesosok makhluk besar tengah berlari ke arah mereka berdua dengan cepat. Makhluk itu tampak seperti seekor reptil, seperti seekor kadal besar yang bertangan kekar dan berlari dengan kaki yang lebih kecil dari tubuhnya. "Huh! Ternyata pria Mohawk sialan itu adalah Monster kadal. Dasar menjijikan." Kilatih menatap makhluk itu dengan penuh rasa jijik.

Makhluk itu kian mendekat ke arah mereka berdua. Tombak yang Kilatih pegang pun kini tampak tak lagi dalam keadaan dikendalikan. Ia kemudian membuang tombak itu hingga jauh, dan segera bersiap untuk melawan monster kadal wujud perubahan dari pria Mohawk tadi di hadapannya. "Ayo kita lihat, bisa apa kau dalam wujud seperti itu." Kilatih tersenyum menatap monster itu.

"Graawr! Wanita kurang ajar! Bersiaplah untuk mati!" Monster itu berseru pada Kilatih. Ia kemudian melompat maju ke arah wanita itu dan berusaha untuk menerjangnya. Tapi Kilatih yang memiliki kecepatan bergerak sangat dahsyat, dengan mudahnya menghindari terjangan makhluk itu dengan melompatinya sembari menebas ekornya hingga putus. "Graaah! Apa?" Makhluk itu mendarat dan melihat ekornya yang tinggal separuh. "Beraninya kau memotong ekorku, wanita kurang ajar!"

"Hihi, Maaf. Ini aku kembalikan." Kilatih menendang potongan ekor monster kadal tersebut yang menggeliat-geliat seperti cacing di dekatnya ke hadapannya.

"Grrrrr!" Monster kadal itu menggeram marah menatap Kilatih, "Kau ambil saja!" dan ia menendang potongan ekornya itu kembali ke arah wanita tersebut dengan kencang, yang kemudian segera ditebas olehnya hingga terbelah. "Kau tidak pernah belajar biologi, hah?" Monster tersebut menggeram lagi. Dan tiba-tiba saja, ekor yang tinggal separuh tersebut mulai tumbuh dan kembali utuh seperti sedia kala. "Grreheheh." Monster itu tertawa senang.

"Hoo, jadi bisa tumbuh lagi, ya? Hmm… lalu apa yang terjadi bila kupenggal kepalamu? Heaaah!" Kilatih melompat maju dengan sangat cepat. Ia langsung menebas leher Monster itu hingga terpenggal dan jatuh ke lantai. "Sepertinya tidak bisa tumbuh lagi, ya? Hahaha."

"Siapa bilang?"

"Apa?" Kilatih terkejut tatkala ia mendengar kepala monster kadal yang telah terpenggal itu masih bisa berbicara.

"Kau lihat ini!"

Dilihatnya oleh Kilatih, leher pada tubuh monster kadal yang masih berdiri di dekatnya itu nampak mulai tumbuh kembali dengan cepat dan membentuk sebuah kepala baru. Dan ketika wujud kepala tersebut sudah mulai utuh seutuhnya, kepala yang terpenggal di lantai itu terdiam dan mati. "Immortal, hehe." Monster itu tertawa senang.

"Sialan!" Kilatih nampak kesal melihatnya bisa melakukan hal tersebut. "Tidak ada yang namanya Immortal di dunia ini. Kalau kau Immortal kenapa sekarang kau mati?" Kilatih kemudian mulai mengaktifkan sebuah kemampuan pada pedangnya. "Tunggu!" namun ia menahan kemampuan pedangnya itu. "Aku tadi sudah memperkenalkan namaku padamu. Sekarang giliranmu memperkenalkan namamu seharusnya."

"Hah?" Monster itu merasa aneh mendengar ucapannya, "Pentingkah itu?"

"Tentu saja, bodoh" Kilatih membentaknya dengan kesal. "Agar aku dapat mengenang nama orang yang pernah kukalahkan dengan mengenaskan sepertimu setelah ini. Anggap saja itu wujud apresiasiku terhadapmu karena kau telah beraninya melawanku dan berkenan mati pula di tanganku."

"Cih! Dasar banyak omong. Bahkan kau belum bisa membunuhku." Monster kadal itu berkacak pinggang. "Tapi, baiklah. Akan kuperkenlakan diriku padamu. Namaku adalah Alvin Dzekov. Aku adalah manusia bumi dari masa depan."

"Apa? Masa depan?"

"Ya, kenapa?"

"Masa depan kapan? Aku tidak pernah mengetahui ada makhluk sepertimu di masa depan."

"Aku ini seorang korban kelinci percobaan, bodoh! Aku dirahasiakan. Kau itu dari abad berapa memangnya? Jangan sok tahu!"

"Begitu ya, baiklah. Abadku adalah abad robot. Makhluk sepertimu pasti sudah dibumi hanguskan jika ada. Dasar menjijikkan." Kilatih mulai mengaktifkan kemampuan pedang yang sempat ia tahan itu kembali. "Kau tahu, tubuhku ini, pakaianku, dan senjataku ini telah ditanami oleh Teknologi Nano. Dengan itu, aku bisa memiliki kemampuan yang sangat dahsyat dan di atas normalnya manusia."

"Hoo, Teknologi Nano, ya? Tak berguna"

"Sialan! Baiklah, salah satu contohnya akan kuperlihatkan padamu." Kilatih melemparkan pedangnya ke atas tubuh Monster yang bernama Alvin itu.

"Mau apa dia?"

Kilatih kemudian melompat maju dengan cepat ke arah Alvin, dan Alvin yang melihatnya seketika bersiap untuk melawan serangan wanita itu. Tapi ternyata salah, Kilatih tidak meyerangnya. Tatkala Alvin tengah terfokus pada wanita di hadapannya tersebut, pedang yang melayang tepat di atasnya itu tiba-tiba jatuh begitu cepat menusuk kepala monster kadal itu hingga ke dalam.

"Graaawr!" Alvin pun merintih kesakitan. "Apa yang kau lakukan? AAAARGH!"

Kilatih kemudian melayangkan pukulan pada perut monster kadal itu dengan keras, hingga membuatnya tersungkur ke lantai. "Itu adalah salah satu kehebatan senjataku. Dia bisa memanipulasi gravitasi. Sehingga ia mampu melesat dan menarik apapun dengan cepat. Bahkan bisa terasa berat dan ringan. Itu masih kemampuan yang paling rendah. Tapi sepertinya melawanmu cukup dengan itu saja."

Alvin yang merasa kesakitan mencoba mencabut pedang yang menyakiti isi kepalanya tersebut. Tapi anehnya, dengan tubuh sebesar dan sekekar itu ia tak dapat mencabutnya.

"Mau dicabut?" Kilatih yang melihatnya lekas menghampir Monster kadal yang merintih kesakitan tersebut. Ia segera mencabut pedangnya, dan membuat Alvin berteriak kesakitan seraya memegangi kepalanya yang mengucurkan darah segar itu. "Baiklah saatnya menghabisimu, Kadal." Kilatih kemudian memegang pedangnya dalam posisi terbalik untuk menusuk kepala Alvin kembali dan membunuhnya. "Selamat tinggal!" Tapi tatkala ia hendak menghunuskan pedang itu, tiba-tiba saja tangan Alvin meraih kaki Kilatih dan membuat wanita itu terkejut bukan main, "Apa?". Alvin kemudian bangkit dengan segera seraya menarik kaki Kilatih hingga membuat wanita itu terjatuh, dan kemudian tubuhnya dibanting-banting dengan keras, hingga kemudian dihempaskan ke arah rak di sampingnya hingga menjebolnya dan membuatnya tersungkur.

"Kilatih!" Azraq khawatir berseru melihat wanita cantik itu di tersungkur.

Alvin kemudian menatap ke arah Azraq. Ia menghampiri pria tak berdaya itu dengan tatapan mengerikan dan lidah yang menjulur-julur keluar. Azraq yang melihat monster itu pun sontak panik. "Kau mulai ketakutan, hah? Wajahmu itu menunjukkan bahwa kau takut pada hewan reptil. Greheheh." Alvin tertawa senang.

Tatkala Alvin sudah hampir mendekati Azraq, tiba-tiba Kilatih melesat menerjangnya hingga membuat Monster kadal itu terjatuh dan Kilatih berada di atas tubuhnya. "Bersiaplah untuk kau yang mati." Kilatih mengangkat pedangnya untuk menebasnya. Tapi Alvin segera membuka mulutnya dan menyemburkan sebuah cairan ke arah wajah wanita itu yang membuatnya merintih perih. "Aaaagh!"

Alvin kemudian menghempaskan tubuh Kilatih dari atas tubuhnya hingga wanita itu tergeletak di lantai. "Hehe. Itu adalah cairan beracun yang bisa kukeluarkan kala aku menggunakan wujud Kadal."

"Kilatih!" Azraq kembali merasa khawatir pada wanita malang itu yang sekali lagi medapat perlakuan kasar.

Kilatih sendiri merasakan tubuhnya terasa dingin sekali sekarang. Wajahnya terasa perih dan pucat. Ia tak dapat menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya lagi. "Grehehe, selamat tinggal, wanita malang!" Alvin tertawa senang melihat kondisi Kilatih yang menderita tersebut. Tak berapa lama Kilatih tak bergerak. Ia tewas akibat racun yang telah merusak seluruh jaringan tubuh berteknologi nanonya di tubuhnya itu.

"Apa?" Azraq merasa tak menyangka bahwa wanita yang telah menolongnya itu kini telah tewas. "Ia mati?"

"Mengenaskan." Alvin masih tersenyum senang melihat ke arah wanita yang sekarang telah tewas itu, hingga akhirnya ia menatap Azraq yang tengah tercengang melihat ke arah dirinya. "Sekarang kau juga harus mati dan lekas kuselesaikan pertarungan ini, agar aku bisa hidup kembali." Alvin berjalan ke arah Azraq dengan tatapan reptil yang mengerikan. Dan Azraq yang tak berdaya itu hanya bisa merangkak perlahan berusaha menjauhi makhluk tersebut. "Mau ke mana kau?" Alvin terus berjalan ke arah Azraq, hingga akhirnya ia berhenti dan merasakan rasa perih di sekujur tubuhnya. "Ah, sial! Waktunya sudah habis. Tapi tak masalah." Tubuh Alvin tiba-tiba kembali ke wujud manusia normal. Ia menatap Azraq kembali dan merentangkan tangannya ke arah tombak besinya yang tergeletak di lantai. tombak itu kemudian melesat ke tangannya. "Aku ini bisa mengendalikan senjataku. Jadi jangan heran jika kau melihat ini." Padahal Azraq sendiri tidak tengah terheran melihat aksinya itu.

Azraq kemudian mencoba mengumpulkan air dari udara melawan pria Mohawk di hadapannya itu agar tak dapat mendekatinya. Tapi gagal akibat rasa sakit pada tubuhnya setiap kali ia mengeluarkan energinya.

"Sudah, tidak perlu berlama lagi. Sekarang habislah kau!" Alvin kemudian berlari ke arah Azraq untuk segera membunuhnya. Tapi sebelum ia sempat mendekati pria bermata biru itu, tiba-tiba saja tubuhnya tampak lenyap perlahan-lahan dari bawah. "Apa?" Ia dan Azraq pun terkejut melihat hal itu.

Shu yang sempat pingsan tadi, kini tampak tengah berdiri menghadap ke arah Alvin. "Shu!" Azraq yang melihatnya merasa heran dengan remaja itu. Shu kemudian mulai berjalan ke arah Alvin dengan tertaih-tatih. Ia tertunduk dengan rambut yang menutupi matanya. Ia bagaikan tengah tak sadarkan diri atau seperti orang yang linglung.

"Sialan! Kau mau melenyapkan aku, hah? Tak akan kubiarkan." Alvin yang tubuhnya mulai menghilang setengah bagian hingga perutnya itu dengan segera melemparkan tombaknya dan menancap tepat ke arah jantung Shu. Shu pun sontak tersadar dan langsung ambruk ke lantai.

"Shu!" Azraq berteriak khawatir tatkala melihat kawannya itu ambruk.

"Apa? Tidak berhenti? Kenapa tidak mau berhenti? Aku akan lenyap? Tidak! Aku tidak mau lenyap! Tidaaaak!" Alvin pun mulai lenyap secara lebih cepat sekarang. Dan dalam hitungan detik saja, sosok pria Mohawk itu kini menghilang seutuhnya dari ruangan itu.

Azraq yang melihatnya terdiam penuh heran. Hingga akhirnya, ia segera tersadar akan keadaan Shu dan menatap ke arah remaja itu segera seraya lekas merangkak perlahan-lahan ke arahnya sekuat tenaga, "Shu!". Ia merangkak terus dan terus menyerukan nama Shu hingga ia hampir sampai menuju jasad remaja yang telah tewas tersebut. "Shu!"

Namun belum sempat ia menggapai Shu, seluruh isi ruangan di sekitarnya itu tiba-tiba hancur termasuk jasad Shu dan Kilatih yang kemudian berputar-putar mengeliling dirinya. "Tidaaak!" Azraq berteriak histeris. Ruangan itupun kemudian hancur secara total menjadi serpihan yang terus berputar-putar dengan cepat hingga akhirnya semua nampak memudar, terus memudar dan akhirnya Azraq mulai memejamkan mata dan tak sadarakan diri.

TAMAT 

11 comments:

  1. Ada satu yang bikin poin minus besar buat saya di sini - dialognya.
    Dialognya beneran kaku, kadang juga berasa terlalu repetitif karena kata yang sama diulang berapa kali, atau dalem satu paragraf isinya rentetan dialog yang baiknya dipisah. Beberapa adegan juga sebaiknya ga dipadetin karena jadi berkesan blur, ga ngasih jeda napas buat pembaca mencerna apa yang lagi terjadi

    Plotnya bikin bingung. Rasanya banyak waktu kebuang cuma buat lawan Leonidas. Saya kurang nangkep kenapa Azraq dibantu banget sama dua peserta sisanya.

    Terus sedikit perbaikan kalimat
    Azraq kendalikan > Azraq mengendalikan
    Kenapa kau bisa mati > Bagaimana kau mati
    (Sebenernya banyak yang kurang sreg, tapi kira" dua ini contoh yang paling saya inget sepanjang baca tadi)

    6/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Bang. Kalo soal plot, sebenernya saya pengen bikin pertarungan satu lawan satu kalau bisa. Tapi Shu kemampuannya terlalu dewa dan unfightable banget, jadi saya jadiin dia rekan Azraq yg bisa membantunya diakhir, bukan lawan, bingung gimana memainkan OC ini kalo 1 lawan 1, ditambah dia penakut dan Azraq bukan tipikal orang kejam XD.
      Dan Kilatih yg tampak seperti ngebela Azraq itu karena si Azraq udah lemah, maka gak mungkin dia bertarung lawan Alvin. Maka saya jadikan Kilatih orang yg datang dan menolong Azraq buat bertarung melawan si Alvin, plus biar Azraq gak mati dg mudah karena dikeroyok 2 orang, jadi saya jadiin dia ibarat di pihaknya XD. Selain itu karena saya pengen jadiin itu pertarungan Kilatih dan Alvin, bukan pertarungan Azraq. Maksud saya biar gak timpang juga karena gak lawan Shu kalau dibikin pertarungan Azraq semua, kasian Shu jadi pemanis sendiri, biar Azraq juga jadi semacam pemanis di babak kedua, biar Shu gak ngambek dan ada temennya XD. Jadi Babak kedua menjadi pertarungan Kilatih dan Alvin, sedangkan pertarungan Azraq ada di babak pertama lawan Leonidas. Dan dibabak kedua Azraq dan Shu menjadi semacam, aduh bingung mengistilahkannya dg apa, mungkin boleh dibilang pemanis atau memberi kisah buat isi babak2 berikutnya.

      Delete
  2. Euhhh.. Bingung karena situ satu blok dengan saia, jadi komentar pun takutnya dianggap subyektif.

    Maaf ya, tapi aku kurang bisa mendapat gambaran utuh dari apa yang penulis coba sampaikan. Pertarungannya terkesan pertarungan keju, begitu ketemu langsung hantam sana hantam sini. Lalu para entrant yang memperkenalkan diri, lengkap dengan menjabarkan detail kemampuan masing-masing itu entah kenapa terasa kurang sreg.

    Padahal ada bagusnya penulis coba bangun suasana dulu sebelum mulai bak bik buk~. Baru tahu pula itu kalo si Leon bisa nembakin sihir dari gunbladenya.
    XD

    Aku sempat bingung pula dengan Wall of Text yang digabung-gabung dengan banyak sekali dialog berkesinambungan. Dan seperti komentar sebelumnya, ini narasinya masih terasa kurang sreg.

    Terkesan bertele-tele namun entah kenapa nggak ngasih napas buat pembaca biar bisa lanjut ke adegan berikutnya. Maksudku, belum sempat visualisasi adegan satu, tau-tau loncat lagi ke adegan lainnya.) Pace yang dibagun juga cepat, namun kurang bisa diimbangi dengan pemilihan kata yang pas.



    ---------------
    Segitu saja, maaf nggak bisa ngasih nilai karena berkesan subyektif. Tapi kalo panitia mau menghitung berapa nilai yang dikasih, bisa diambil dari huruf pertama dari tiap paragraf yang saia tulis.

    ReplyDelete
  3. Abil, belajarlah mengendalikan dialog / monolog tokohnya. Itu buset satu paragraf dialog / monolg-nya sampe 4-5 kali. Jangan terlalu banyak pakai paragraf yang terlalu panjang karena pembaca mudah lelah. Terus dialogmu juga kaku. Padahal kamu bisa baca-baca dulu canon penulis lain, selagi sibuk youtube-an. Banyak yang pinter tek-tok dialog, macam Bang Hewan (Ursa) atau Rex (Alma). Atau kalo maen taktik, coba baca punya Sam (Claude & Claudia). Kalo terlalu panjang, scheming aja #PLAK, pelajari bagian-bagian dialognya.

    Terus karakter, kalau emang nggak menguasai OC penulis lain, at least kuasai OC sendiri. Azraq salah satu OC paling sederhana di BOR kali ini--selain Ucup, Collin, dan Marion--dalam artian kekuatannya tidak rumit. Tapi, justru karena sederhana, maka kamu bisa eksplor OC kamu segila-gilanya. Pengendali air dan es kan banyak. Nidaime Hokage, waterbender di Avatar, sampe Elsa di Frozen. Kamu bisa eksplor kemampuan-kemampuan kerena mereka dan kamu aplikasikan untuk jadi khas-nya Azraq. Plus, Azraq kan keturunan Yaman atau Jawa. Kenapa nggak kamu aplikasikan kekuatan Azraq dengan misalnya gerakan beladiri timur tengah (Krav Maga, Yagli Gures, Kurash, Tahtib, dll) yang bisa kamu google. Atau, ya pakai aja gerakan-gerakan silat khas Indonesia. Can you imagine how awesome is that? Kalo kamu bisa maksimalin kemampuan Azraq, kamu bahkan bisa bikin adegan battle yang lebih keren ketimbang OC-OC dengan kemampuan IMBA sekali pun. Sayang kamu nggak eksplor OC kamu sendiri.

    The good news is, tulisan kamu udah rapi. Dan pemilihan jenis serta ukuran font juga sudah pas. Kudos for you. Good luck dan tetep menulis. Saya titip nilai 6,5.

    ReplyDelete
  4. Komentar saya, bacanya pusing, paragrafnya itu aduh....... -_-
    sama dialognya berasa kurang mengalir, jadi terlihat sangat kaku.

    6/10

    ReplyDelete
  5. "I don't know what to put in here." - Umi -

    Pertama, bagi Umi ini lebih banyak cerita daripada pertunjukkannya.

    Kedua, lebih tiga dialog dari orang yang berbeda di dalam satu paragraf itu rasanya bikin kenyamanan membaca jadi tidak menyenangkan.

    Ketiga kak Abil, narator yang berulang kali salah nyebut senjata rasanya agak bikin tensinya turun.

    Keempat, Umi suka Leon disini.. Sukaaa <3

    terakhir, nilai dari Umi 6/10.

    ReplyDelete
  6. Aduh, sayang banget....
    Padahal fontnya bagus, tapi kenapa suram banget jadi wall of text karena monolog dan dialog yang super dalam satu paragraf?

    Plotnya blur, dan saya repetitif bacanya, karena saya takut saya ngulang part, tapi emang repetitif ya?

    Well, char dev-nya agak kurang

    +6

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -