Pages

September 5, 2014

[ROUND 5] SJENA REINHILDE - ALL YOU NEED IS CONTEMPLATE YOUR EXISTENCE

[Round 5] Sjena Reinhilde
"All You Need is Contemplate Your Existence"

Written by Bayee Azaeeb

---

Chp 1 : Killing for the greater good
"You pronounced 'killing is great' wrong"

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang-jarang kami didatangi pengembara dari negeri lain. Desa kami telah lama –"

Berisik.

Aku berjalan melewati kakek tua yang menyambutku di pintu masuk. Berjalan melewati rumah-rumah berbentuk kubah yang ditumbuhi sulur-sulur aneh. Kepalaku berdenyut, seperti habis dihantam dan dijadikan mash potato, lembek, dan mengulang kata "potato" berulang-ulang kali.

Aku yakin kepala kalian juga jadi mash potato apabila kalian mengalami kejadian ini berulang kali. Berada di sebuah desa asing, disambut seseorang yang tak kalian kenal, tanpa tahu apa yang harus kalian lakukan, apa tujuan kalian, dan sebagainya. Belum habis otak kalian mencerna, tiba-tiba semua telah diulang dari awal, menjalin sebuah loop.

Tak ada hal lain yang kuingat, selain potato dan namaku sendiri. Sjena Reinhilde. Satu-satunya hal yang bisa kujadikan pedoman, meski tak membantu sedikitpun. Tak ada satu bayangan yang terbersit saat aku menjelajahi desa ini selama hampir sejam.


Rumah-rumah ini begitu cantik, perpaduan yang harmonis antara arsitektur logam dan elemen alami berupa sulur-sulur yang merambat. Pohon di setiap inci desa, memberikan atmosfir sejuk bagi siapapun yang datang kemari. Terlepas dari tujuan yang ia ingin lakukan, desa ini sungguh sangat –

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang –"

Berisik!


(* * *)


Ini loop kelima dan aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan. Namun kurasa ada yang sedikit berbeda kali ini. Langit terlihat sedikit lebih gelap, dan orang-orang bergegas kembali ke rumah mereka.

Dari rumah ketiga, seseorang yang asing tampak keluar dari pintu. Seseorang yang tak ada di loop sebelumnya.

Pria berbaju ungu dengan aksen hexagon, dengan kulit putih langsat yang aku idam-idamkan sejak lama, dan juga rambut ekor kuda yang melenggang dengan indah, menyapu udara dan meninggalkan kharisma.

Di pinggangnya tersemat dua buah pedang, dan di sekelilingnya melayang dua buah orb ajaib. Entah rambut kuda ini berasal dari masa depan atau tidak, aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, dia tahu jawaban atas pertanyaanku ini.

Kuberanikan diriku untuk mendekatinya dan bertanya.

"Potato?"

Matilah kau Sjena, dan segala otak lembekmu itu.

Entah pertanyaan itu membuatnya marah, namun tiba-tiba saja dia menghunuskan pedangnya ke arahku, nyaris melukaiku. Tanpa banyak basa-basi dia mencabut pedang satunya dan memasang kuda-kuda.

Aku segera berlari menjauh, tak mengerti apa yang terjadi. Namun perasaanku mengatakan kalau aku harus mengalahkan pria ini. Tapi dengan apa? Potato?!

Berhenti berpikir, Sjena. Kini saatnya mundur, mengatur strategi. Atau paling tidak, mencari senjata untuk melawan dia. Mungkin di pandai besi di ujung jalan ada senjata yang bisa aku pakai.

Aku berlari sekencang-kencangnya, kulihat pria rambut kuda mengejarku dengan gesit. Kuputuskan untuk berhenti menoleh ke belakang.

Tiba-tiba sesuatu melukai betisku dan membuatku terjatuh. Aku meringis memegangi kakiku yang terluka. Kulihat sebuah pisau melayang dan kembali ke pria rambut kuda lalu kembali mengorbit dalam bentuk orb.

Orb potato!

Namun pandai besi tidak jauh lagi, aku harus bergegas sebelum dia menangkapku. Kupaksa kakiku untuk bangun dan kembali berlari. Sesampainya di pandai besi, kuambil sebuah pedang yang terlihat tidak terlalu besar. Anehnya, sang pandai besi seolah tak menyadariku mengambil pedangnya. Baiklah, kupakai saja pedang ini.

Pria rambut kuda datang, tanpa ekspresi. Mengayun-ayunkan pedangnya seperti algojo yang siap memenggal kepalaku. Sementara itu, dua buah orb di sampingnya berubah bentuk menjadi dua buah pedang – mengimitasi apa yang ia gunakan sebagai senjata.

Hidup matiku bergantung pada pedang ini. Empat lawan satu pedang, sungguh.

Aku bukan ksatria pedang, tapi setidaknya aku memberikan perlawanan. Tak ingin mati cepat. Kuayunkan pedangku sebisa mungkin, namun Pria rambut kuda tak memberikan perlawanan berarti, seolah meremehkan kemampuan pedangku. Semua seranganku bisa ditangkisnya dengan baik hanya menggunakan satu tangan.

Saat kupikir aku bisa menang, ternyata salah satu pedang imitasinya telah melayang ke arahku. Aku dalam posisi tak bisa menghindar, matilah aku sekarang.

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang-jarang kami didatangi –"

Butuh dua detik bagiku untuk menerima apa yang kulihat sekarang. Untuk pertama kalinya, aku berterimakasih pada loop ini.



(* * *)


Pertarungan jarak dekat adalah hal yang bodoh. Kali ini aku mengambil sebuah crossbow dari pandai besi dan segera mencari tempat untuk membidik sebelum Pria rambut kuda keluar dari rumah ketiga.

Baiklah rambut kuda, aku tak akan kalah kali ini.

Kulihat dari jauh dia berdiri di pintu keluar rumah ketiga. Melihat kiri-kanan seolah mencari sesuatu. Ini saat yang tepat untuk melepaskan anak panahku.

"Syaat!" Bunyi anak panah yang kulepaskan membelah udara kosong.

Meleset.

Terlalu jauh meleset, bahkan tak mengenainya sedikitpun. Aku sempat percaya diri barusan, tapi tidak saat ini. Kemampuan memanahku terlalu rendah, bahkan untuk mengenai sasaran sebesar itupun aku tak mampu.

Pria rambut kuda melihatku lalu mengejarku. Dalam panik, aku segera mengisi anak panah baru untuk ditembakkan. Sial, senjata ini sungguh merepotkan!

Aku memasang kuda-kuda dan memicingkan sebelah mataku. Kali ini aku tak akan meleset.

Anak panah kedua kembali meluncur. Namun kali ini membentur tameng dari orb yang berubah bentuk. Usahaku tampaknya sia-sia. Ini saatnya untuk lari dan mengulur waktu sampai loop berikutnya datang.

Sambil berlari, aku berusaha untuk mengisi anak panah berikutnya. Namun karena senjata ini sungguh merepotkan, mengisi ulang anak panah pun menjadi sebuah pekerjaan yang sangat melelahkan, dan memusingkan.

Aku berbelok melewati lorong-lorong di antara rumah, berusaha mencari celah untuk menembak.

Perkiraanku gagal, pria ini lebih hafal desa ini. Dan dia telah muncul di depanku dengan hujaman pedang yang siap membelah tubuhku jadi dua. Reflek, kupejamkan mataku.

"Ting!" Terdengar bunyi besi berbenturan.

Aku tak tahu apa yang terjadi barusan, namun sebuah tameng raksasa berwarna hitam muncul tiba-tiba saja di depanku.

[You have gained access to Fake Fire weaponry : Shield]


(* * *)


Entah berapa loop kulewati, namun semua upayaku gagal. Berbagai macam senjata di pandai besi telah kugunakan, namun kemampuan bertarungku tak sehebat Pria rambut kuda. Hal yang bisa kuharapkan hanya senjata jarak jauh. Dan juga [Shield] yang bisa kupanggil sesuai keinginanku.

Untuk kesekian kalinya, aku kembali membidik dengan crossbow. Akurasiku begitu buruk, aku berharap jika senjata ini berubah menjadi semacam senjata futuristik yang bisa menembakkan gelombang plasma dan menghancurkan semuanya tanpa harus membidik.

Tiba-tiba dari udara kosong, muncul beberapa gelombang kegelapan yang dengan cepat berkumpul, mengikat dirinya satu sama lain dan membentuk sebuah objek baru berbentuk pistol meriam dengan ukuran yang cukup besar.

..sepertinya harapanku jadi kenyataan?

Cukup besar untuk ditembakkan tanpa harus membidik.

Saat kutarik pelatuknya, dapat kurasakan energi di dalam diriku mengalir kedalam pistol meriam itu. Begitu kulepas, sebuah peluru hitam magis meluncur dengan kecepatan luar biasa dan menghancurkan apapun yang menghalanginya.

Aku terpental ke belakang karena daya ledak yang cukup hebat. Ketika aku bangun, kudapati jalur peluru yang meninggalkan cekungan di tanah, meninggalkan sedikit gelombang kegelapan di sana.

[You have gained access to Fake Fire weaponry : Cannon]

[Cannon], aku ingat namanya sekarang. Bahwa aku memiliki kekuatan untuk mematerialisasikan senjata dengan elemen kegelapan. Saat kulepas, [Cannon] pupus menjadi gelombang kegelapan dan hilang dalam udara kosong.

Aku berjalan menyusuri cekungan jalur peluru tadi, namun Pria rambut kuda tak dapat kutemukan, hanya sebilah pedangnya saja yang masih tersisa. Dapat kuasumsikan bahwa dia sudah mati.

Baguslah, sekarang aku bisa beristirahat –

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang-jarang kami didatangi –"

Berisik!

Chp 1 : Killing for the greater good
[end]

=====(* * *)=====


Chp 2 : A la fin (in the end)
"In the end, we are nothing but dead meat"

Sayup-sayup dari kejauhan kudengar alunan musik ceria. Terdengar dari arah bagian desa yang tidak sempat kujelajahi sebelumnya. Rasa ingin tahuku cukup besar. Lagipula, aku tak punya hal lain untuk dikerjakan.

Kuperiksa pergelangan kaki yang sempat terkena tebasan tadi. Hilang, tak ada bekas luka sedikitpun. Tampaknya jika aku berhasil membunuh seseorang yang menyerangku, semua luka yang kuterima dapat disembuhkan. Atau mungkin.. kembali ke awal loop.

Sudah, konsep tentang loop membuatku sakit kepala.

Hei, tunggu.

Kenapa ada sirkus di tengah pedesaan seperti ini!? Kurasa tadi aku tak melihat sirkus apapun. Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa aku tak bisa mengingat apapun? Kenapa orang-orang ingin membunuhku!? Apa aku melakukan kejahatan?

Tunggu, kurasa aku pernah melakukan kejahatan dulu. Tapi aku rasa bukan itu alasannya. Aku bahkan tak bisa mengingatnya.

Kuhela nafas panjang dan kuputuskan untuk duduk di sebuah kursi yang tersedia. Memperhatikan kegembiraan asing yang ada di sekitarku. Anak-anak dan orangtuanya terlihat gembira. Senyum merekah menghiasi tiap langkah mereka.

Beberapa badut tampak sedang memainkan keahliannya, entah itu juggling, menaiki sepeda roda satu, dan banyak lainnya. Sementara beberapa lainnya tampak membagi-bagikan permen gratis kepada anak-anak.

Tiba-tiba seorang anak terjerembab dan menangis. Ayahnya dengan sigap membangunkan anaknya yang meringis kesakitan. Lalu seorang badut dengan ramah menawarkannya sebatang permen lolipop.

Kegembiraan ini rasanya begitu asing, dan menyakitkan. Seolah ada..sesuatu yang hilang dan merindukan kegembiraan, namun alih merasakan kegembiraan, yang ada hanya rasa cemburu. Ya, cemburu yang cukup kuat. Namun entah datangnya darimana.

"Permen lolipop, Nona?"

Aku menoleh ketika seorang badut menawarkan sebuah lolipop padaku.

"Maaf, aku bukan anak kecil" jawabku ketus.

"Tapi Nona terlihat sedih.." Lanjut badut itu sambil memperagakan wajah sedih yang konyol.

Sebisa mungkin, aku membalas kebaikan badut itu dengan senyuman sinis, lalu pergi.


(* * *)


Akhirnya aku menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Di sebuah panggung kecil dengan tirai merah, berdiri seorang wanita dengan pakaian warna-warni. Gestur tangannya menyiratkan memanggil para penonton untuk mendekat. Oh, pantomim rupanya!

Wanita itu memperagakan gerak membuka pintu. Dan voila! Sebuah pintu tiba-tiba saja berada di depannya. Sontak penonton bertepuk tangan melihat kemampuan wanita itu.

Kali ini ia memperagakan gerak menembak menggunakan pistol. Perlahan, sebuah pistol kecil muncul di tangannya. Penonton kembali bertepuk tangan.

Tiba-tiba wanita itu menodongkan pistolnya ke arahku dan menembakkannya tanpa ragu.

"Dor!"

Seketika aku jatuh ke tanah saat peluru yang ditembakkannya menembus lengan kiriku. Badut sialan, aku tak melihat itu datang!

"Dor!"

Tembakan kedua kembali ditembakkan. Kali ini tak mengenaiku karena aku terjatuh di sela-sela kerumunan penonton, dan sulit untuk dibidik.

Para penonton sontak berteriak panik. Berlarian kesana-kemari berusaha menyelamatkan diri. Di sela panik, teriakan, dan tangis, aku berusaha bangun dan ikut menyelamatkan diri.

"Dor!"

Tembakan ketiga. Kali ini aku tak tahu apakah aku bisa –

"Permen lolipop, Nona?"

Aku butuh dua detik untuk mengembalikan kesadaranku, dan menyadari bahwa aku telah kembali ke titik awal loop, yang kini berpindah menjadi saat aku bertemu dengan badut yang menawarkanku permen.

Rasa sakit yang tertinggal di akhir loop tiba-tiba datang menyusulku.

"Arrgh!!"

Kulihat lengan kiriku berdarah cukup hebat, dan aku hanya bisa menggenggam lenganku untuk mengalihkan rasa sakitnya.

"N-nona kenapa?!" Tanya badut itu panik.

Aku tak menjawab pertanyaannya, aku lalu bangun dan mencari badut keriting sialan itu.


(* * *)


Aku berlari secepat mungkin kembali ke desa, kembali mengambil crossbow dari pandai besi. Orang-orang di desa tak satupun ada yang memperhatikanku, meskipun mereka ada di depanku.

Kali ini aku tak akan kalah, badut!

Dengan gembira, aku berlari ke sirkus. Namun apa yang terjadi, orang-orang disana malah berteriak ketakutan melihatku membawa senjata. Beberapa orang berusaha mengusirku dari sirkus.

Hei, apa yang terjadi? Di desa bahkan tak ada yang mempedulikanku mengambil senjata. Tapi kenapa di sini semua memperhatikanku? Seolah-olah desa dan sirkus dihuni oleh entitas dari dimensi berbeda, entah.

Akhirnya aku kembali ke sirkus dengan tangan kosong. Jika membawa crossbow saja orang-orang sudah berteriak. Bagaimana jika aku mematerialisasikan [Cannon]? Aku butuh senjata ringan, kecil, dan bisa ditembakkan dari jarak jauh. Kurasa aku punya, tapi aku tak dapat mengingat bentuknya.

Pertunjukan pantomim kembali dimulai. Sementara aku masih berpikir senjata apa yang kumiliki.

Wanita itu mulai mematerialisasikan pintu.

Perhatianku teralihkan ke panggung lain, dimana seorang performer sedang melempar pisau ke target dimana seseorang terikat di target tersebut.

Benar, pisau! Aku bisa mematerialisasikan pisau!

Wanita itu mulai memperagakan gerak menembak pistol.

Pisau termaterialisasi di tanganku jauh lebih cepat darinya, seketika kulempar pisau itu sekuat tenaga ke arahnya.

[You have gained access to Fake Fire weaponry : Throwing dagger]

Meleset, hanya mengenai topinya, memperlihatkan rambut keriting hitamnya, namun ekspresi di wajahnya sama sekali tak berubah. Pantomim macam apa dia!?

Aku segera merunduk sebelum dia menembak.

"Dordordododoor!!"

Kali ini senapan serbu. Matilah aku jika tak segera pergi dari sini.

Kepanikan kini lebih hebat dari loop sebelumnya. Tak hanya kepanikan, tapi juga orang mati, darah, dan anyir yang menyeruak di udara.

Saat dia mengisi peluru imajinernya, kulempar lagi beberapa [Throwing dagger] namun akurasiku yang buruk, ditambah kepanikan membuat semua pisau tersebut meleset dengan baik.

Sekilas, dapat kulihat wanita pantomim itu turun dari panggung dengan senapan serbunya dan berlari mengejarku. Aku berbalik dan mematerialisasikan [Shield] sebelum peluru-peluru itu menembusku dan membuatku mati sia-sia tanpa tahu apa yang terjadi.

Aku berlari mundur, dan mengulur sampai akhir loop.


(* * *)


Loop ke-sekian. Aku masih berada di wahana lempar-bola-dapatkan-hadiah. Alih-alih melempar bola, aku melempar pisau dari jarak yang cukup jauh. Sementara pemilik wahana sudah lari daritadi melihatku membawa pisau.

Tampaknya jika aku tidak ke panggung wanita pantomim itu, maka dia tidak akan menyerangku. Ini kesempatan yang bagus sekali untuk berlatih.

Namun akurasiku ternyata tak bertambah baik. Kehilangan banyak darah dari luka tembak dan kehabisan banyak energi dan pikiran dari loop yang berulang puluhan kali membuatku kehilangan fokus.

Rasanya seperti ingin kehilangan keseimbangan dan jatuh –

"Permen lolipop, Nona?"

Oh, sudah ke loop berikutnya rupanya.

Tak ayal, aku pun jatuh kehabisan tenaga.

"Air.." pintaku lirih.

Badut itu dengan panik mencari air, begitu ia dapat, langsung ia minumkan padaku. Aku menenggaknya dengan liar, seolah tak minum dalam waktu yang sangat lama.

"Terima ka –"

"Dordorododor!"

Darah segar terciprat ke wajahku, dan badut itu tewas bersimbah darah tepat di depanku.

Sial, kenapa loop kali ini berbeda?!

Aku segera mematerialisasikan [Shield] untuk menahan semua tembakan wanita itu. Berlindung di balik tameng sampai ia kehabisan peluru.

Suara tembakan berhenti, seketika kulenyapkan tamengku, mematerialisasikan pisau di tangan kananku. Dapat kulihat dia di kejauhan sedang mengisi peluru imajinernya. Satu serangan ini, kumohon kena untuk kali ini!

[Throwing dagger] pun melaju dengan kencang dan berhasil menancap di kaki kiri wanita itu, membuatnya kehilangan keseimbangan sebelum selesai mengisi peluru imajinernya. Senapannya ikut terjatuh dan hilang ke udara kosong.

Aku segera memotong jarak di antara kami, dengan pisau yang kulemparkan membabi buta. Meskipun akurasiku buruk, namun jika aku melempar lebih banyak pisau, maka kemungkinan kena akan semakin besar.

Dari sekian banyak pisau, hanya satu yang berhasil menancap di tangannya. Aku kembali menutup jarak sampai di titik nol. Dengan jarak sedekat ini, pisauku pasti akan menancap di kepalanya.

Namun pisauku memantul menghadapi tembok imajiner yang tiba-tiba sudah termaterialisasi di depannya. Namun aku bukanlah Sjena Reinhilde jika aku kehabisan akal.

"MATILAH KAU SEKARANG BADUT!"

Gelombang kegelapan muncul di sekitarku dan kumaterialisasikan [Cannon] secepat yang kubisa. Sementara, wanita itu memperagakan gerak memegang senapan serbu. Jauh lebih cepat dari perkiraanku, senapan serbu sudah di tangannya dan moncongnya telah diarahkan padaku.

Dia menarik pelatuk dan –

"[Shield]!"

Namun aku tak berhenti berlari, tetap maju dan menabrak wanita itu dengan tameng hingga kami berdua sama-sama terjatuh. Baik tamengku maupun senapannya sama-sama lenyap kembali ke kekosongan.

Kami berdua sama-sama mematerialisasikan benda tercepat : pisau.

Namun ia lebih cepat melempar pisaunya.

Menancap telak di perutku.

Adrenalin yang terpacu membuatku melupakan rasa sakit sejenak. Aku tak akan lari kali ini. Saat ia berusaha bangun, kutarik rambut keritingnya hingga ia terjatuh lagi lalu kusayat lehernya. Tak cukup, kuhujamkan pisauku ke dada dan perutnya.

Dia pun berhenti bergerak. Tak satupun kata, teriakan, ataupun erangan meluncur dari bibirnya. Rasanya seperti membunuh boneka. Akhirnya kau mati ju –

"Brakk!!"

Adrenalin yang kehilangan efeknya membuatku kehilangan kesadaran dan kembali terjatuh. Sejenak, rasanya aku ingin lari dari rasa sakit yang tak tertahankan ini.

Aku terkekeh, dan mengacungkan jari tengahku ke mayatnya –

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang-jarang kami didatangi pengembara dari negeri lain. Desa kami telah lama tidak kedatangan tamu. Apalagi nona cantik dari negeri seberang –"

Otakku butuh lebih dari lima detik untuk mencerna loop kali ini. Aku meraba perut dan lenganku, melihat apakah luka dari loop terakhir ikut mengejarku.

Tidak rupanya. Jika luka dari loop terakhir tidak ikut, berarti aku telah membunuh wanita itu.

Loop ini, apakah tak ada ujungnya?!

Chp 2 : A la fin (in the end)
[end-pun intended]


=====(* * *)=====


Chp 3 : Love is killing you at Godspeed
"This is what you get from loving someone"

Seperti biasa, selalu ada hal yang berubah. Kali ini desa ini berubah menjadi semacam kastil abad pertengahan. Halamannya yang luas dipenuhi dengan rumput segar dan tanaman hias. Seperti kastil idaman kalian para pemimpi.

Ada rasa malas yang bergelayut di benakku untuk masuk ke dalam. Mengetahui tentang kenyataan bahwa aku hanya bertarung, dan terjebak dalam satu jam loop. Tak kurang, tak lebih. Jadi, untuk apa aku masuk ke dalam dan menjelajahi isinya? Walaupun dalam hati sungguh aku mencintai eksplorasi.

Dengan berat, kumulai langkahku memasuki halaman kastil. Atmosfir terasa berubah seketika aku melewati gerbang dari desa ke kastil. Seperti, seolah berbeda dimensi.

Langkahku terhenti saat melihat seorang pemuda berjalan ke arahku dari kastil. Seorang pemuda duapuluhan, berambut pirang dan mengenakan baju zirah perak sebagaimana prince charming idaman kalian para pemimpi.

Dia menghunus pedangnya.

Berat, aku menarik nafas panjang. Lelah terjebak dalam pertarungan pointless ini.

Kumaterialisasikan [Throwing Dagger] dan kulempar ke arahnya. Namun seperti biasa, meleset dengan indah. Sekalipun kena, baju zirahnya dengan tulus mementalkan balik pisauku.

Dia lalu berlari dengan pedang tergenggam erat di tangannya. Tak ada pilihan lain selain pertarungan jarak dekat.

Sayang, tak ada pilihan lain selain menggunakan pedang. Mengambil di pandai besi desa kurasa tak mungkin, karena desa Eonora sendiri sudah berubah menjadi kastil. Kurasa aku bisa mematerialisasikan sebuah pedang.

Dan tiba-tiba saja sebuah pedang hitam dengan aura ungu kehitaman muncul di genggamanku.

[You have gained access to Fake Fire weaponry : Sword]

Aku segera berlari dan menyambut sang lawan. Namun saat kukira aku berada di atas angin, dia mementalkan pedangku dengan satu tebasan ringan.

Dingin, besi pedangnya begitu terasa dingin saat menempel di leherku. Satu tebasan, hilanglah sudah kepalaku. Namun apa yang ia lakukan? Kenapa ia berhenti?

Ia mundur dan menurunkan pedangnya dari leherku.

Aku kembali mematerialisasikan pedang, bersiap untuk serangan kedua.

Namun masih sama, ia mementalkan pedangku ke udara. Tatapannya seolah mengatakan "Bukan begitu caranya memegang pedang, bodoh" namun alih-alih mengatakannya, ia hanya bisa mengungkapkannya dengan gestur.

Dari dua 'boneka' yang kulawan sejak tadi. Dia yang terasa paling 'manusiawi', dan tampaknya ia ingin mengajariku teknik berpedang.

Kurasa ini akan jadi pelajaran yang berat, mengingat sang pengajar bisu.


(* * *)


Akhirnya setelah melewati sekian banyak loop, aku berhasil mengimbangi permainan pedangnya. Gerakan-gerakannya banyak didominasi tebasan diagonal. Dan sedikit, ada ancang-ancang sebelum ia melakukan tebasan. Sedikit banyak aku mulai bisa membaca gerakannya. Namun itu tak cukup, aku harus bisa menyerangnya balik.

Kali ini tebasan vertikal, dengan mudah kuhindari ke samping lalu kuhujamkan pedangku tepat ke lehernya.

Namun ia berhasil mengelak, pedangku hanya melukai sedikit pipinya.

Dia hanya mengangguk ringan, seolah mengerti.

Ia lalu mengangkat pedangnya tinggi. Sinar biru terpancar dari pedangnya. Dan bodohnya, aku terpaku sejenak.

Kali ini tampaknya ia serius.

Aura kebiruan memancar dari pedangnya saat ia dengan sigap memasang kuda-kuda. Tak ada lagi waktu untuk berpikir saat serangan-serangan begitu cepat terlontar dari tangannya. Meskipun aku bisa membaca pola serangannya, tapi nyaris tak ada celah bagiku untuk menyerang balik. Bertahan pun rasanya sesak.

Dia mundur selangkah, lalu kembali maju dengan tebasan pedang horizontal setinggi kepala. Aku tahu ancang-ancang itu. Dengan langkah tipis, aku menghindari serangannya dan meluncurkan tusukan kembali ke lehernya ; satu-satunya bagian yang setidaknya memungkinkan untuk diserang, selain kepalanya yang tak dilndungi helm.

Namun ternyata ia lebih gesit dari dugaanku, sepersekian detik sebelum pedangku menembus lehernya, ia telah menghindar dan membalas seranganku dengan tebasan vertikal ke atas.

Untuk kesekian kalinya, pedangku terpental dan kembali ke kekosongan.

Kali ini situasi terbalik, dia yang melancarkan tusukan ke kepalaku.

Namun lagi, pedangnya terhenti tepat di ujung hidungku.

Meskipun ekspresi tak tampak di wajahnya. Entah kenapa ia seperti mengatakan "Maaf aku tidak melukai wanita"

Langkah terhenti itu membuktikan segalanya. Bahwa dia adalah Prince Charming idaman kalian para pemimpi.

Dan aku bilang, "maaf, aku bukanlah pemimpi" saat kumaterialisasikan sebuah pisau lalu kutancapkan di lehernya tanpa banyak gaya.

Pangeran kalian rubuh seketika. Tubuhnya mengejang, darah segar mengalir deras dari lehernya. Aku hanya bisa menatapnya dengan pisau tercinta di tanganku. Melihat bagaimana ia mati perlahan, namun pasti.

Di sisa kesadarannya, ia berusaha meraih pedangnya yang terjatuh tepat di sampingnya. Tapi apa? Kuinjak saja tangannya.

Dia tidak mengerang, dia tidak berteriak. Bahkan tak satu ekspresipun yang berubah selain bibir yang menganga mengucurkan darah.

Aku berjongkok di atasnya. Memperhatikan dengan seksama ; berpura kasihan, ingin tahu bagaimana pangeran idaman kalian mati karena kenaifannya sendiri. Wajahnya seolah bilang "Bunuh saja aku, aku tidak ingin merasakan rasa sakit ini lebih lama"

Tapi aku bohong. Aku tidak bisa membaca wajah, kawan. Jika kalian berpikir kalau aku adalah semacam psikolog yang bisa membaca wajah, tentu saja aku bohong. Ini semua hanya akting dan dramatisasi.

Lagipula, tokoh naif sudah sepantasnya mati di awal.

Chp 3 : Love is killing you at Godspeed
[end]


=====(* * *)=====


Chp 4 : Si vis pacem fac bellum (If you want peace, make war)
"Pacifists are just a bunch of dead meat if they are refusing war ahead of them"

Sebuah tempat tercinta. Tempat dimana kalian bisa berpetualang kemanapun tanpa harus beranjak dari tempat duduk. Tempat dimana kalian bisa berpetualang seribu tahun tanpa harus berjalan.

Ya, perpustakaan. Tempat kalian berlari dari kenyataan yang kejam, entah itu perang saudara, ataupun semacamnya.

Namun, ada masalah dengan perpustakaan ini. Setiap kali aku berusaha mengambil buku, loop-nya terulang kembali ke awal, yaitu pintu masuk perpustakaan.

Padahal, buku-buku ini menunggu seperti buah yang ranum di pohonnya. Atau seperti bunga desa ranum yang siap untuk dipetik. Entah aku bicara apa, yang pasti loop ini telah membuat otakku menjadi bubur. Semakin sulit untuk mencerna kenyataan, atau sekedar berbicara waras.

Berbicara tentang waras, aku merasa telah melupakan sesuatu yang penting tentang kewarasan, tapi entah apa itu. Kehilangan ingatan sungguh menyiksa, kawan.


(* * *)


Ada begitu banyak orang disini, tapi waktu seolah terhenti dan membuat orang-orang ini berhenti bergerak. Dan, setiap kali aku mencoba mendekati mereka, loop terulang lagi dengan paksa.

Kuputuskan untuk naik ke lantai dua. Melewati tangga melingkar yang besar dan megah. Hanya untuk melihat meja-meja kayu coklat berderet panjang dan rak-rak besar berdiri kokoh.

Tiba-tiba kurasakan sekelebat bayangan lewat di belakangku.

Saat aku menoleh, kulihat seorang gadis berlari ke arah deretan rak buku tak jauh dariku. Aku pun berjalan mendekatinya. Namun saat kukira aku berhasil, dia telah hilang entah kemana.

Aku mendongak untuk melihat papan nama di atas rak buku.

"Void"

Gadis itu sama sekali tak tampak. Kuputuskan untuk menyusuri deretan rak ini. Anehnya, saat kukira rak ini tembus ke bagian perpustakaan yang lain, ternyata lorong rak ini buntu. Aku berhenti, menatap dinding, tak tahu apa yang harus kulakukan.

"Bruk!"

Suara sesuatu jatuh. Buku rupanya. Aku berbalik dan memungut buku yang terjatuh itu. Membaca samar-samar judulnya.

"Void"

Lagi-lagi void. Apa maksud dari semua ini!?

Kubuka lembar demi lembar buku itu, tapi tak kutemukan satu tulisan pun. Kosong, tak satupun tulisan tertera di lembar-lembar usang itu.

Saat ingin kulempar buku itu, kusadari bahwa ada tulisan di bagian belakang buku tersebut. Sama samar dengan judulnya.

"Trias Void.

1.  Nothing can't be turned to nothingness (Tidak ada yang tidak bisa ditiadakan).
2.  Nothing can be returned from nothingness (Yang telah ditiadakan tidak dapat dimunculkan kembali).
3.  Though turned to nothingness, everything could recreated if one able to (Yang telah ditiadakan dapat diciptakan kembali apabila sang pencipta mampu)."

Otakku sudah terlalu lelah untuk mencerna semua ini. Jika aku bisa lari dan masuk ke sebuah buku, lalu berpetualang mengikuti alur buku, sudah kulakukan tentunya sejak tadi.

Akhirnya buku itu kulempar, di tengah rasa penat yang mengganggu.

Namun saat pandanganku kembali ke lorong. Kudapati tembok di ujung yang buntu tadi telah menjadi lorong lanjutan.

Jadi untuk melanjutkan ke petualangan berikutnya, aku harus membaca terlebih dahulu? Bukannya aku tak suka membaca, tapi narasi-narasi tak perlu seperti tadi itu membuatku bosan dan terdistraksi. Andai aku adalah kalian, mungkin aku sudah berhenti membaca, karena otakku sendiri sudah menjadi mash potato.

Abaikan mash potato untuk sejenak. Mari kita lanjutkan ke halaman berikutnya dalam perpustakaan absurd ini.


(* * *)


"Limbo"

Apakah untuk melanjutkan ke tempat berikutnya aku harus melakukan permainan limbo? Dimana aku harus kayang dan melewati palang-palang super rendah, sambil menari dalam alunan irama yang menggoda.

Apalah itu.

Namun ekspektasiku tak menjadi kenyataan. Di lorong kali ini terdapat rak-rak raksasa yang tingginya menjulang sampai ke langit-langit. Yang seharusnya tak mungkin, mengingat langit-langit perpustakaan tak setinggi ini di ruangan sebelumnya.

Rasanya rak-rak ini akan jatuh menimpaku. Ya, menimpaku dengan tingginya.

Puluhan – atau bahkan ratusan buku tiba-tiba saja jatuh dari ketinggian, mengikuti jalan pikiranku. Meninggalkan bunyi menggelegar dan juga gelombang debu yang menyesakkan nafas. Terbatuk, aku berusaha menyingkirkan debu dengan mengibas-ngibaskan tanganku.

Saat debu yang menyesakkan lenyap, kuambil sebuah buku di tumpukan itu.

"Limbo"

Kulihat buku-buku lainnya. Ternyata tertera hal yang sama di sampulnya.

Baiklah, kini saatnya menjawab pertanyaan tentang apa itu Limbo.

"Limbo : Sebuah dimensi tertutup yang direkonstruksi menggunakan ingatan. Bisa ingatan seseorang, atau beberapa orang sekaligus. Limbo dapat dikategorikan sebagai maze, yang menggunakan ingatan sebagai labirinnya.
Hal-hal yang umumnya terjadi dalam Limbo adalah sebagai berikut :

-          Time Loop : Orang yang terjebak dalam Limbo biasanya mengalami fenomena Time Loop (pengulangan waktu). Loop ini dapat ditutup apabila korban dapat memenuhi 'kondisi' yang diinginkan pencipta Limbo untuk mengakhiri sebuah 'scene'.
Ini dimaksudkan untuk mengacaukan persepsi korban agar terjebak dalam Limbo selamanya. Namun apabila Limbo tersebut dimaksudkan untuk menjadi maze, maka Time Loop adalah petunjuk untuk menyelesaikan Limbo.

-          Dimension Distortion : Lansekap dalam Limbo biasanya berubah-ubah. Semakin banyak memori yang digunakan untuk merekonstruksi Limbo, semakin tidak stabil lansekap dalam Limbo tersebut.
Sekarang korban melihat istana, sedetik kemudian dia bisa melihat neraka. Ketidakstabilan ini juga dimaksudkan untuk mengacaukan persepsi korban.

-          Dream Character : Munculnya karakter-karakter dari memori yang digunakan untuk merekonstruksi Limbo, mengharuskan korban untuk berinteraksi dengan karakter-karakter tersebut untuk menutup Time Loop dan mengakhiri Limbo.
Interaksi yang terjadi bisa berbentuk positif, atau negatif. Tergantung pada pencipta Limbo itu sendiri.
Namun Limbo tidaklah sempurna. Tetap saja ada karakter-karakter yang tak digunakan oleh pencipta Limbo namun muncul dan melakukan interaksi sendiri, atau bahkan intervensi yang tidak diinginkan oleh pencipta Limbo itu sendiri.
Ini dikarenakan oleh memori akan seseorang yang terlalu kuat, cukup kuat untuk muncul, mengambil eksistensi, dan mengintervensi Limbo."

Tak ada lagi halaman berikutnya, hanya selembar informasi saja yang diberikan buku tak berguna ini. Tapi setidaknya aku tahu, saat ini aku terjebak dalam Limbo. Yang entah dibuat oleh siapa. Pastilah seseorang yang tak punya kegiatan lain selain menjebak orang dalam permainan yang dibuatnya.

Orang tak berguna.

Ini menjelaskan loop dan distorsi dimensi. Tapi bagaimana dengan ingatanku yang hilang? Limbo tak menyediakan fitur 'menghilangkan ingatan' bukan? Apa mungkin ada hubungannya dengan 'Void' yang tadi?

Saat kukembalikan buku itu ke tumpukannya. Sebuah lorong baru yang asing telah muncul. Aku segera berjalan kesana dan membuka pintu gerbangnya.

Hingga aku sampai lagi di pintu masuk perpustakaan.

Hah?!

Ditengah kebingungan, kulihat gadis itu berlari di lantai dua. Mungkin dia adalah satu dari 'karakter' yang membantuku untuk menyelesaikan Limbo.

Aku segera menaiki tangga dan menyusuri rak-rak buku dimana ia berlari tadi.


(* * *)


Seorang remaja laki-laki, mengenakan kemeja putih dan celana putih. Meringkuk di meja kayu coklat panjang. Memeluk lututnya seolah lututnya akan hilang dicuri orang. Rambut hitamnya acak-acakan, wajahnya tak berbeda jauh dengan telur orak-arik. Itu impresi pertamaku saat melihat wajahnya yang seolah ditinggalkan kehidupan.

"Namanya Shu." Ucap sekilas suara lembut yang tiba-tiba terdengar dari sisiku.

Seorang gadis muda, berambut panjang sebahu. Mengenakan kemeja putih dan rok putih yang senada dengan bocah orak-arik. Lalu apa dia pikir dengan memberitahuku nama bocah sialan itu, loop ini akan selesai begitu saja?

"Oh." Jawabku ketus.

"Naomi Shu. Laki-laki dengan kekuatan Void. Mampu melenyapkan apapun. Kumohon tolong dia.."

Kalian tahu, wajah memelas tak akan membuatku merasa kasihan. Meskipun dia seorang wanita. Tak ada pengaruhnya untukku.

"Kumohon, Sjena Reinhilde"

Aku sedikit tersentak saat dia menyebut namaku.

"Atau tidak, dimensi tertutup ini akan jatuh ke dalam Void. Dan kau tak akan bisa keluar dari sini selamanya.."

"Kenapa kau tak menolongnya? Kenapa harus aku? Aku bukan pangeran berparas tampan yang siap menolong siapa saja"

Tiba-tiba seseorang menyenggolku. Saat aku menoleh, Shu dan gadisnya berjalan menuju meja panjang tersebut dengan membawa buku. Sementara Shu yang kulihat masih meringkuk dan gadis itu masih berdiri di sampingku. Apa yang terjadi?

"Kumohon, hanya kau yang bisa menolong Shu."

Untuk sekian kalinya, wajah memelas itu memohon padaku.

"Kau bahkan tak menyebutkan namamu. Untuk apa aku menolong seseorang yang bahkan tak memperkenalkan dirinya." Jawabku sambil mengangkat bahu dan tersenyum sinis.

"Aku Haruna. Tidak sepertimu, aku hanyalah entitas yang tercipta dari memori Shu. Karena kuatnya memori Shu tentangku, aku bisa tercipta dan memiliki kesadaran sendiri diluar keinginan Limbo.
Namun kau nyata, Sjena! Shu kehilangan kontrolnya atas Void dan mulai menelan Limbo ini tanpa ia sadari.
Karena sebenarnya Shu sudah mati.."

"Mati?" tanyaku.

"Ya, dia dihidupkan lagi bersama peserta lain, memori-memori mereka digunakan untuk merekonstruksi Limbo. Sementara akal mereka dihilangkan agar menjadi mesin pembunuh yang baik. Namun karena itu, Shu jadi kehilangan kontrol atas Voidnya."

Peserta? Aku peserta apa? Lomba marathon!?

"Kumohon… Bunuh Shu.."

Haruna menangis, bulir-bulir air mata mulai menetes di pipinya yang putih.

"Tak usah kau bilang. Memang itu tujuanku dari awal.." Jawabku sambil mematerialisasikan pedang di tanganku. Berjalan santai ke arah bocah orak-arik.

Namun seseorang tiba-tiba memegang tanganku. Dua orang – tiga orang – empat – hei, apa yang terjadi!?

Beberapa Haruna tiba-tiba muncul dan memegang tanganku. Sementara beberapa Haruna lain ikut memegangi Haruna yang asli.

"Bunuh saja mereka, Sjena! Mereka hanyalah produk dari memori Shu yang tidak sempurna! Mereka disini tidak untuk melindungi Shu. Mereka palsu!"

Haruna berteriak dari jauh, kudengar ia berusaha mengatakan beberapa hal lain, namun Haruna-Haruna palsu telah menyeretnya pergi.

Sekuat tenaga, aku mengibaskan lenganku dan menyabetkan pedangku secara acak. Memotong-motong tubuh Haruna-Haruna palsu tanpa dosa ataupun penyesalan. Anehnya, ada sesuatu yang bergelora di dalam diriku. Sesuatu yang ingin mengakhiri perang ini, dengan perang yang lebih besar dan mengalahkan semuanya.

"Ini terlalu mudah – aargggggghh!!"

Tiba-tiba tangan kiriku hilang tanpa sebab. Sedetik lalu aku masih mengibaskan pedang dengan tangan itu, tapi detik ini –

Rasa sakit yang luar biasa tiba-tiba datang dan menusuk dengan tajam. Darah tersembur keluar seperti air mancur, air mancur yang bodoh dan bangsat. Apa ini kekuatan Void? Menghilangkan sesuatu bahkan tanpa perlu bergerak. Sial, sial, sial!

Aku berjalan tertatih sambil mengibaskan pedangku hanya dengan tangan kanan. Darah segar berceceran dimana, entah itu darahku atau darah Haruna palsu. Tak berbeda, yang sama hanya bau anyir darah.

Tinggal beberapa langkah lagi. Namun disaat aku merasa berhasil, kaki kananku tiba-tiba hilang. Membuatku terjatuh dalam genangan darah. Menyeret tubuhku, dengan sisa kekuatan dan banyak rasa sakit.

"Void sialan!"

Aku berakhir dengan kondisi di bawah kaki Shu. Tepat di bawahnya, menatap bengis bocah orak-arik sialan yang melenyapkan satu-persatu anggota tubuhku namun tak memberikan sesuatu yang setara sebagai pertukaran.

Kukibaskan pedang sebisa mungkin, namun Shu jauh dari jangkauan. Sementara itu Haruna-Haruna yang datangnya entah darimana mulai meraih satu kakiku dan mulai menyeretku seperti onggokan mayat di medan perang.

Mataku mulai kabur, namun aku tak akan kabur. Tidak, sebelum merebut apa yang telah dihilangkan dariku.

Dalam kondisi terseret, tubuh lemah dan pandangan kabur, kumaterialisasikan sebuah pisau untuk kulempar. Namun untuk mengangkat tangan saja rasanya sudah sangat berat, bagaimana aku bisa melempar pisau?

Pandanganku semakin lenyap ke dalam gelap.

Aku hanya bisa meremas pisauku dengan marah. Marah pada diriku yang tak bisa berbuat apa-apa selain diseret dan mati.

Namun kegelapan menolak untuk membawaku saat ini. Dia memilih untuk mematerialisasikan dirinya menjadi sebuah wujud lain yang tak kubayangkan sebelumnya.

Shotgun.

[You have gained access to Fake Fire weaponry : Shotgun]

"MATILAH KAU BOCAH ORAK-ARIK!!!!"

Sebuah tembakan meluncur dari moncong [Shotgun], melaju lebih cepat dari hilangnya kesadaranku, dan melubangi dada Shu dengan detail.

God, I love detailed artwork.

Seketika, Haruna-Haruna palsu yang menyeretku hilang. Menjatuhkanku di genangan darah. Di ambang kesadaran, aku melihat sesuatu. Sesuatu yang melesak cepat, sesak dan tak terhingga. Memaksa masuk seolah baru dibebaskan dari kerangkeng.

Sesuatu yang disebut memori.

Chp 4 : Si vis pacem fac bellum (If you want peace, make war)
[end]


=====(* * *)=====

Chp 0 : A fake kid tells you about a fairytale
"Do you trust that Nolan guy?"


Pria berkacamata itu dipanggil Nolan.

Dia yang menceritakan tentang kristal yang berisi jiwa kami dan sedang mencari rencana untuk membebaskan kami untuk kembali hidup.

Tapi apakah ceritanya bisa dipercaya? Bisa saja ini semua hanyalah rekayasa. Bisa saja dia hanya ingin merebut kekuasaan Thurqk dan menggunakan kami sebagai pion untuk melawan Thurqk. Dengan alih menghidupkan kami kembali.

Namun apa, aku tak ingin hidup kembali. Untuk apa? Untuk sebuah hidup dimana orangtuaku sudah tak ada lagi? Hidup lama untuk apa?

Namun bukan berarti aku suka menjadi budak hiburan Thurqk. Makhluk sialan itu telah menggangguku. Seharusnya sekarang aku sudah bereinkarnasi. Namun sekarang aku hanya menjadi budak hiburannya. Maaf aku bukan wanita penghibur, Thurqk. Kalau kau benar-benar kesepian kusarankan untuk pergi ke rumah bordil.

Ah sudahlah, aku tidak ingin berpikir terlalu banyak. Lamashtu telah membuatku lelah, aku hanya ingin kembali segera ke Jagatha Vadhi dan memakan buah Rachta sampai puas.

Aku menyempatkan diri untuk melirik ke belakang. Melihatnya, seseorang yang kuselamatkan untuk pertama kali.

Namanya adalah Kilat. Wanita anti keringat dengan rambut hitam panjang dan pedang putih berkilau.

Dia menyadariku dan tersenyum simpul.

Aku membalasnya dengan senyum sinis terbaikku dan sebuah jari jempol, lalu berbalik.

Aku masih tak mengerti kenapa aku menyelamatkannya. Aku bukanlah tipikal orang yang mau repot-repot membantu orang lain. Meski orang itu pernah membantuku ataupun tidak. Namun entah, Kilat berbeda. Kenaifannya seharusnya membuatku membunuhnya sejak awal. Tapi apa?

Aku membiarkannya memberikan pukulan, tepat di wajahku.

Kuraba wajahku yang sedikit bengkak, ternyata masih sakit. Lalu aku kembali berbalik dan melirik wajah Kilat, tak ada bekas pukulan sedikitpun.

Haha, dasar wanita anti keringat!

Namun saat aku kembali memandang ke depan. Tiba-tiba pandanganku terdistorsi. Tembok-tembok seolah berputar dalam bentuk spiral. Lantai dan langit-langit seolah menyatu. Orang-orang di sekitarku tercampur aduk menjadi warna yang memusingkan. Apa ini ilusi optik?


(* * *)


"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang-jarang kami didatangi pengembara dari negeri lain. Desa kami telah lama tidak kedatangan tamu. Apalagi wanita cantik seperti nona. Apa nona berasal dari ibukota?"

Tunggu, dimana ini? Siapa kakek tua ini? Apa yang barusan terjadi? Kemana semua orang?

Ini pasti ulah Thurqk. Dia tidak bisa membiarkan kami bersantai, barang untuk sejenak. Tangannya gatal membuat tantangan-tantangan absurd untuk membuat kami terbunuh dengan laknat. Dasar sadochist!

Aku berjalan ke tengah desa. Rumah-rumah ini begitu cantik, perpaduan yang harmonis antara arsitektur logam dan elemen alami berupa sulur-sulur yang merambat. Pohon di setiap inci desa, memberikan atmosfir sejuk bagi siapapun yang datang kemari.

Kesejukan ini tiba-tiba saja lenyap ketika seorang bocah dengan kemeja dan celana putih muncul di depanku. Tanpa kata, tanpa ekspresi.

"Apa maumu, bocah?"

Bocah konyol itu tak menjawab. Mungkin dia manusia purba, tak mengerti bahasa manusia. Namun kurasa semua bahasa otomatis diterjemahkan secara ajaib di dunia ini. Lalu mau apa bocah ini?

Dia mengangkat tangannya dan diarahkannya padaku.

Seketika, kurasakan kepalaku seperti diredam palu yang teramat banyak. Memukul-mukul dan menghancurkan isi kepalaku hingga jadi bubur.

"Apa yang kau lakukan, bangsat!"

Aku jatuh bersimpuh sambil memegangi kepalaku yang berdentum kencang. Seolah ada sesuatu yang memaksa keluar dari kepalaku –

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara! Jarang-jarang kami didatangi pengembara dari negeri lain. Desa kami telah lama –"

Tunggu, ini dimana?

Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di tempat aneh seperti ini? Apa aku tersesat?

Aku berusaha keras mengingat apa yang terjadi sebelum aku sampai di desa ini. Namun aku tak berhasil mengingat satupun hal yang terjadi sebelumnya.

Kurasa aku harus menjelajahi desa ini untuk mendapatkan jawabannya.

Chp 0 : A fake kid tells you about a fairytale
[end]


=====(* * *)=====


Chp 5 : Kematian adalah realitas yang baru
"Konsep kedamaian yang baru : ketiadaan"

"Selamat datang di desa Eonora, pengembara!"

Kepalaku sungguh sakit. Semua ini tak ada akhirnya, hanya terus mengulang dan mengulang. Aku bisa saja kehilangan kewarasanku kapan saja. Walaupun dari awal aku memang sudah kehilangan kewarasanku.

Tunggu.

Aku bisa berdiri, itu berarti –

Tangan dan kakiku kembali. Aku telah mengalahkan Shu, dan untungnya memoriku kembali. Tapi kenapa aku masih terjebak di Limbo?

Butuh waktu sekian detik untuk menyadari desa ini berubah lagi. Kali ini gedung-gedung futuristik, mobil-mobil terbang dan peradaban yang terlalu maju untuk dinamakan desa.

Ini bukan Heliopolis, pikirku. Lalu ini dimana?


(* * *)


Aku tak mengenal nuansa ini, Heliopolis tidaklah seperti ini. Walaupun sama-sama futuristik, tapi arsitektur di sini sungguh berbeda dengan Heliopolis. Ini juga bukan Planet Gliese tempatku bertarung di awal.

Sempat terpikirkan di benakku untuk mengunjungi sebuah apartemen, menamakan pemiliknya 'Spesimen no. 1" dan tinggal di sana sampai bosan. Tapi di Limbo, Time Loop membuat hal-hal indah menjadi percuma.

Aku menghela nafas panjang dan berdiri terpaku memperhatikan sekumpulan manusia yang berjalan lalu-lalang di sana-sini.

Namun di antara kumpulan-kumpulan itu, kurasa aku mengenal seseorang. Seseorang dengan rambut panjang hitam dan pedang putih di tangannya.

Tunggu.

Bukankah itu.. Kilat?!

Kenapa Kilat ada di sini? Jika Limbo ini dibuat dari memori peserta yang sudah mati, kenapa Kilat ada di sini?

Beribu pertanyaan ingin kutanyakan, namun Kilat sudah menghunus pedangnya terlebih dahulu. Meninggalkanku dengan tanpa pilihan. Aku lalu mematerialisasikan pedangku dengan berat hati.

Kilat menyambutku dengan sabetan pedangnya. Aku hanya menangkis sekenanya, serasa tak ada keinginan untuk melawan balik. Untuk apa!? Untuk menyadari bahwa pilihanku untuk menyelamatkannya adalah sia-sia!?

"Kilat!" Panggilku.

Kilat membalas panggilanku dengan sabetan pedang lagi. Kini ia tak berbeda dengan boneka-boneka tanpa emosi yang kulawan tadi. Namun apa, aku tetap tak bisa melawan Kilat. Entah kenapa aku ingin melihat wajah anti keringat itu luput dari luka, dan menyimpulkan sebuah senyum kepadaku.

Kau sudah jadi lemah, Sjena.

Pikiranku yang tak fokus menyebabkan pedangku lepas akibat sabetan Kilat. Aku hanya terpaku, seperti orang bodoh.

"Ki –"

Suaraku tercekat saat Kilat meraih leherku dan mengangkat tubuhku hanya dengan satu tangan. Aku tak bisa bernafas, hanya bisa meronta berusaha melepaskan cekikannya. Dengan tangan satunya, ia mengangkat pedang putihnya ke arahku.

Berhenti Kilat, kumohon.

Sudah kubilang, kau sudah jadi lemah, Sjena. Pergi dan matilah!

Tanpa sepatah kata, Kilat menusukkan pedangnya tepat ke dadaku. Dingin, seolah butiran salju telah masuk dan menguasai dadaku.

Sedetik kemudian aku memuntahkan badai salju. Badai salju darah.


(* * *)


Gelap.

Aku tak dapat melihat apapun.

Apa ini kematian sejati? Apa ini kematian yang nyata?

"Meong"

Suara itu. Mr. Kitty? Dia yang punya kaki kuat untuk memanjat pipa-pipa uap di Wasteland?

Aku mencari-cari keberadaan Mr. Kitty. Dia yang selalu membuatku bertahan dari kerasnya hidup di Wasteland. Dia yang selalu jadi inspirasiku, bahwa suatu saat nanti aku akan bisa melewati pipa-pipa uap itu dan kembali ke Heliopolis.

Kegembiraan menyeruak keluar, meski kegelapan menguasai.

>Tidak

Sebaris teks tiba-tiba muncul di pelupuk mataku. Dari semua kejadian aneh, kejadian ini paling tidak bisa kucerna.

"Si-siapa itu?" Tanyaku sekenanya.

>Sang Kreator

Oh, oke. Kini setelah dewa palsu yang mengaku-aku sebagai pencipta yang kuasa. Kini muncul sosok lain yang menamakan dirinya kreator. Sungguh, hidupku adalah sebuah kekonyolan besar.

"Thurqk?"

>Bukan, aku bukan dewa gadungan itu.
>Akulah yang membuatmu, menggariskan hidupmu.
>Akulah kreatormu.

Dia pikir aku bisa percaya dengan kekonyolan ini.

Tiba-tiba dari kejauhan muncul sebuah cahaya. Aku segera bangkit dan berjalan menuju cahaya tersebut.

>Kau melemah, Sjena. Kau lihat pusat cahaya itu?

Iya, aku melihatnya. Sebuah api besar yang berkobar. Namun saat aku mendekatinya, seolah ada tembok imajiner yang membatasi garis kegelapan dan cahaya yang dihasilkan api tersebut.

>Itulah bentuk asli kekuatanmu.
>Api.
> Namun kegelapan di hatimu menerjemahkan api tersebut dalam bentuk kegelapan.
>Kegelapan yang cukup kuat untuk menerjemahkan kekuatan murni dari dalam dirimu.

"Sudah cukup omong kosong ini. Aku lelah."

>Namun hatimu melemah Sjena.
>Kegelapan dalam hatimu melemah.
>Kau yang dulu dingin dan dipenuhi amarah, kini berubah menjadi seseorang yang lemah.
>Aku tahu siapa yang harus disalahkan.
>__
>Aku terpaksa harus mengintervensi keberadaanmu.
>Karena aku tak ingin kalah dalam pertandingan tahunan ini.

Pertandingan apa lagi? Aku lelah sudah menjadi pion.

"Diamlah, bangsat! Tak ada yang ingin mendengar pendapatmu."

>Hoo, ancamanmu terdengar menyeramkan.
>Namun aku tidak takut.
>Lagipula, kau tidak bisa menembus batas tembok keempat untuk membungkamku.
>Wkwkwkw.

Teks apa itu 'wkwkw'? Peduli setan, makhluk ini sungguh sangat mengganggu.

>Kau pikir Shu yang membuatmu kehilangan kekuatan?
>Tidak, Sjena.
>Kegelapan di hatimu yang melemah membuatmu tak cukup mampu untuk menerjemakan kekuatan api menjadi kegelapan.
>Cahaya yang masuk ke dalam hatimu pun tak cukup kuat untuk mengobarkan kekuatan api yang kau punya.
>Kau tak punya cahaya yang cukup besar, dan juga kegelapan yang cukup kuat.
>__
>Kau sudah mati Sjena. Namun dengan kekuatan yang kuberikan padamu. Kau akan kembali bertarung
>Tidak lagi sebagai Sjena Reinhilde.
>Insert name_
>__
>I_X_E_P_H_O_N

[Your name has changed. Please check game configuration]
[Your skillset has changed]
[You are now Ixephon]

Api yang berkobar itu tiba-tiba berubah menjadi kembaran diriku. Dengan kulit terang, yang bertolak belakang dengan kulitku. Dengan rambut putih sebahu. Sungguh identikal.

Dengan satu hentakan tangan, di tangannya muncul sebuah pedang yang terbuat dari api yang terpadatkan. Tak seperti Fake Fire, api di tangannya tampak nyata, dan berkobar liar namun masih bisa mempertahankan bentuk dasar pedangnya.

Aku mematerialisasikan [Sword].

Namun kegelapan tak berpihak padaku, berkali-kali kucoba untuk mematerialisasikan sesuatu, namun tetap gagal.

Dia lalu mencengkeram leherku dan mengangkat tubuhku tinggi. Persis seperti apa yang dilakukan kilat padaku sebelumnya.

Kali ini pedang yang menusuk dadaku sungguh terasa panas. Seperti amarah yang berkobar. Dan amarah yang berkobar itu telah membunuhku. Membuatku kembali lagi ke –

Kegelapan, yang pekat.

Chp 5 : Kematian adalah realitas yang baru
[to be continued]

=====(* * *)=====


Intermission : She who borns from ash
"Now is the time for me to act"

Aku tahu kalian pasti merindukanku. Aku yang selalu membawakan kalian cerita sebelum tidur. Cerita tentang seseorang bernama Sjena Reinhilde. Seorang wanita gila yang kehilangan eksistensinya setelah membunuh leluhurnya sendiri.

Dia, seorang putri yang terbuang. Hanya karena matanya berwarna biru langit. Sebuah ramalan di keluarga Reinhilde menyatakan bahwa keluarga Reinhilde akan hancur ketika seseorang bermata biru langit lahir di keluarga mereka.

Oleh karena itu, orangtua Sjena yang merupakan pemimpin sah Heliopolis diasingkan bersama Sjena yang masih bayi. Namun kejadian ini dirahasiakan kepada publik.

Sjena mungil pun mengenal Wasteland, daerah di luar Heliopolis yang tercemar limbah buangan. Belum lagi udara luar yang terkontaminasi, membuat wilayah ini seharusnya tak layak untuk ditinggali.

Namun Sjena kecil mulai tumbuh, meski di bawah garis kemiskinan. Hanya berbekal semangat dari Mr. Kitty. Kucing hitam yang selalu lewat di depan rumahnya dan memanjat pipa-pipa uap menuju Heliopolis. Sjena kecil selalu menaruh harapan agar bisa kembali ke Heliopolis suatu saat nanti.

Dan kegigihannya berbuah manis. Dia kembali ke Heliopolis, meski hanya bisa sampai distrik pinggir. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga perpustakaan. Dimana ia sangat suka membaca.

Sementara itu, perang saudara di distrik pusat semakin meluas. Saudara-saudara raja mulai memperebutkan kekuasaan diantara mereka. Ironis memang.

Saat itulah, Sjena berkenalan dengan sesuatu yang bernama 'kegelapan'. Yang kadang membawanya pergi ke tempat yang tak ia kenal dengan teleportasinya. Atau membuatkannya mainan-mainan yang tak bisa dibelikan orangtuanya.

Hanya satu mainan yang bisa dibelikan orangtuanya. Magic Glasses, yang selalu ia kenakan semenjak saat itu. Kacamata yang menjadi ciri khasnya satu saat nanti.

Sjena remaja hidup dalam kegembiraan, berteman dengan kegelapan, sahabat sejatinya.

Namun aku tak membiarkannya hidup gembira dalam waktu lama.

Perang pun meluas sampai ke distrik tempatnya tinggal. Dentuman-dentuman meriam, rentetan peluru, teriakan kematian, semuanya menjadi harmoni dalam perang. Sjena yang mengkhawatirkan orangtuanya segera berlari pulang.

Hanya untuk mendapati orangtuanya yang sekarat tertimpa bangunan.

Di saat terakhirnya, ayah Sjena memberi tahu asal-usul Sjena. Termasuk nama belakang yang selama ini tak ia ketahui, Reinhilde

Dalam amarah, ia kembali ke perpustakaan, mengambil buku sejarah keluarga Reinhilde. Merobek beberapa halaman yang ia rasa penting, lalu  meminta pada kegelapan agar kembali ke masa lalu.

Tahun demi tahun dilewatinya dengan membunuh eksistensinya sendiri. Perang telah membunuh orangtuanya, dan juga kewarasannya. Hingga akhirnya ia berhasil menghapuskan nama Reinhilde dalam sejarah.

Dan menghilang.

__

Atau setidaknya begitulah ia kira.

Dia ternyata terpilih menjadi peserta arena hiburan Thurqk.

Awal-awalnya berjalan dengan lancar. Itu saat aku masih punya kuasa langsung saat tiga ronde awal. Dimana aku lah yang menyetir cerita menuju akhir yang kuinginkan.

Namun aku memberikan Sjena kebebasan di ronde keempat.

Itulah saat dimana kegelapannya berkenalan dengan sebuah cahaya bernama.. Kilat. Sebuah cahaya yang membuat kegelapan dalam dirinya lemah. Sebuah cahaya yang membuat amarah dalam dirinya reda. Namun cahaya ini tak cukup kuat untuk mengambil alih hati Sjena. Keraguan, kebingungan, dan ketidaktahuan kegelapan dalam mengenal cahaya membuat Sjena kehilangan akses atas kekuatannya sendiri.

Ini tidak bisa dibiarkan.

Aku terpaksa mengintervensi ruang dan waktu di saat Sjena hampir mati. Lalu membuat kepribadian baru yang bisa kukendalikan secara penuh.

Seperti biasa, kutambahkan sebuah emote :D


(* * *)


Tubuh Ixephon bangkit dari (hampir)kematiannya. Dengan api penyuci yang siap membakar setiap pendosa. Tubuhnya terbungkus dengan api berwarna oranye terang. Rambut putihnya berkibar-kibar seiring api yang berkobar mengitari tubuhnya.

Luka yang dialami tubuhnya tadi lenyap sudah. Seolah terlahir kembali dari api suci.

Ixephon mematerialisasikan [Twin Swords] dan menyerang Kilat.

Namun Kilat tak lengah begitu saja sehabis membunuh Sjena. Serangan Ixephon mampu ditangkisnya dengan baik. Lalu dengan satu hentakan, ia mementalkan pedang Ixephon hingga terlepas dan kembali ke kekosongan.

Kilat mundur selangkah, lalu kembali menyerang.

Ixephon mematerialisasikan kembali pedangnya dengan cepat dan menangkis tebasan vertikal Kilat kembali ke atas.

Kilat memanfaatkan momentum terpental pedangnya menjadi titik tolak untuk kembali melancarkan serangan vertikal ke arah yang sama, namun dengan tenaga yang lebih besar.

[Teleport]

Hampir saja Ixephon terbelah jadi dua jika ia tak segera berteleportasi menjauh.

Ixephon mematerialisasikan [Pistol] dan menembak Kilat yang tak sempat menghindar. Namun tak segera menghabisinya. Hanya melumpuhkan Kilat dengan tembakan di kaki dan tangan.

Dan segera, pertarungan tak imbang ini akan segera berakhir.

Ixephon berjalan ringan menuju Kilat yang terjatuh. Saat ia ingin meraih pedangnya kembali, Ixephon menendang pedang itu jauh-jauh.

Ixephon mengangkat tubuh Kilat, mencekik lehernya dengan satu tangan. Persis dengan apa yang ia lakukan pada Sjena tadi.

Habisi dia, Ixephon!

Intermission : She who borns from ash
[end]


=====(* * *)=====


Chp 5 : Kematian adalah realitas yang baru
[continued]

Entah berapa kematian kulewati, hingga aku akhirnya kembali lagi ke kegelapan ini.

Sama buruknya dengan Time Loop, bedanya hanya kematian yang berulang-ulang.

Kepalaku masih sakit. Berjuta pertanyaan muncul di benakku. Pertanyaan paling terbesar adalah..

"Apakah hidupku hanyalah sebuah lelucon besar?"

Apa ini semua hanya rekayasa? Bagaimana jika Thurqk sebenarnya tidak nyata? Bagaimana jika dia juga dikendalikan oleh 'sosok di balik layar' bernama 'kreator'? Bagaimana apa yang 'kreator' bilang tentang pertandingan tahunan itu benar adanya.

Lalu bagaimana dengan Kilat? Apa dia juga tidak nyata?

Tapi pukulannya di wajahku, terasa sangat nyata. Lalu.. senyum simpulnya, terasa cukup nyata untuk membuatku tersenyum balik padanya.

Lalu apanya yang tidak nyata?

Aku menolak untuk memanggil ini rekayasa. Aku menolak untuk memanggil semua ini kebohongan. Ini adalah kenyataan! Berapakalipun dia bicara bahwa ini hanya rekayasa, aku takkan peduli. Apa yang kulihat, itulah yang kupercaya.

Tenagaku hilang. Kegelapan yang dulu menjadi temanku kini berbalik melawanku. Kesadaranku pun perlahan memudar. Namun membuka mata ataupun tidak, tak ada bedanya. Kurasa saatnya aku menyerah..

!?

Sebuah cahaya muncul lagi di kejauhan.

Cahaya hangat apa ini? Rasanya begitu hangat dan memeluk. Rasanya seperti.. Kerinduan?

Cahaya membawa tenagaku kembali, dan membantuku untuk bangun. Aku berjalan tertatih menuju sumber cahaya di kejauhan itu. Dari kejauhan, aku dapat melihat sosok yang berdiri di tengahnya.

Ya, aku kenal sosok itu.

Kilat.

Saat kudekati, dia berjalan menjauh. Namun tak cukup jauh bagiku untuk menyusulnya. Seolah dia sedang..

Menunjukkan jalan keluar?

Benarkah ini, Kilat? Cahaya yang kau pancarkan ini, Kilat? Kehangatan ini, Kilat? Aku tak tahu, tapi kurasa air mata yang menetes ini tahu.

Aku tak tahu darimana – atau bagaimana air mataku menetes.

Hahaha Kilat, kau telah membuatku menangis, untuk kedua kalinya.

Kilat seolah mendengar suaraku, lalu berbalik dan tersenyum simpul. Senyum yang membuatku teringat, membawaku semangat, yang sama saat aku melihat Mr. Kitty. Semangat hidup, dan kenaifan yang sama dengan kucing yang memanjat pipa-pipa uap. Dengan kaki-kaki kuatnya, ia percaya bahwa dirinya bisa.

"Ya 'kan Kilat?"

Masih dengan senyuman yang sama, Kilat menyodorkan tangannya padaku dan menarikku keluar dari kegelapan.


(* * *)


Hanya untuk melihat tanganku mencekik lehernya dan melihatnya kehilangan nafas dan meronta.

Di tanganku yang satu, terhunus sebuah pedang api berwarna oranye. Hanya dengan satu tusukan, maka berakhirlah sudah semua ini.

>Bunuh      >Ixephon, apa yang kau lakukan?  >Cepat bunuh!
     >Bunuh      >Apa yang kau lakukan dengan pedangmu.      >Itu bukan dekorasi.
                     >Hey, sadarlah!           >Berhenti membuang waktu!
>BUNUH                              >BUNUH
>BUNUH      >BUNUH
>BUNUH             
>BUNUH

DIAM, KREATOR BANGSAT!!!

[d28t4C&@&C error occurred ad89d!@@!@*#!]

Aku tiba-tiba berada di sebuah ruangan 4x4. Namun dimensi ini terasa berbeda. Persepsi yang ditangkap mataku juga sangat terasa asing.

Apakah ini yang disebut dimensi keempat? Dimensi yang ada diluar dimensi ketiga kita?

Di tengah ruangan, kulihat sesuatu – atau seseorang (?) yang tak bisa kudeskripsikan, sedang duduk di depan layar kecil dengan keyboard tergeletak di depannya. Hanya device itu saja yang bisa kutangkap dengan persepsi dimensi ketigaku.

Apakah dia yang disebut dengan 'kreator'?

Orang yang hanya duduk di depan komputer dan mempermainkan hidup manusia!?

Mati saja.

Mati saja, bangsat.

Tapi tubuhku sama sekali tak bisa bergerak, seolah terikat oleh tali yang tak terlihat. Bibirku pun tak mampu bersuara, sekedar meneriakkan kata-kata umpatan ataupun meludahinya. Eksistensiku sama sekali tak berarti baginya. Yang asyik duduk di depan komputer dan mempermainkan hidup.

[Error has found and fixed. Please continue]

Sekali lagi, pandanganku tiba-tiba berganti. Kembali kepada Kilat yang kehabisan nafas dan pedang yang terhunus di tanganku.

Tak bisa kuhentikan, tanganku bergerak tak mengikuti keinginanku.

Dan pedang api itu menembus tubuh Kilat.

Saat itu juga, kontrol atas tubuhku kembali. Pedang yang sebelumnya oranye kehilangan cahayanya dan kembali menjadi hitam. Darah segar mengucur keluar dari sela-sela pedang yang menusuk dada Kilat.

Aku melepaskan tanganku dari lehernya dan menangkap tubuhnya yang terjatuh.

"Maafkan aku, Kilat!"

Isak tangisku tak tertahankan lagi. Aku memeluk tubuhnya erat. Untuk saat ini, aku ingin berada di Limbo sedikit lebih lama.

Namun Limbo menolak keinginanku. Maze telah berhasil diselesaikan, dan pandanganku kembali kabur, tercampur, sama seperti di saat pertama aku terdampar di Limbo.

Semua tercampur menjadi warna yang memusingkan.


(* * *)


Lorong.

Nolan.

Nafasku masih tercekat, tertinggal dalam Limbo.

Lorong.

Ini kenyataan?

Tubuhku gemetar, nafasku sesak seketika. Aku menelan ludah, masih dalam situasi pasca syok.

Seseorang menepuk bahuku, membuatku menoleh.

Lazu.

Dia berhenti sejenak, menatapku, dan mengangguk seolah mengerti. Lalu ia kembali berjalan mengikuti Nolan.

Berarti semua terdampar dalam Limbo ciptaan Thurqk?

Kuabaikan pertanyaan itu. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah Kilat.

Aku berlari kembali, menyusuri dan memperhatikan wajah peserta lainnya satu-persatu.

"Satu – dua – tiga.... Tigabelas orang"

Bukankah tadi di awal kita ada enambelas orang?

Kilat, apakah Kilat..?

Kilat tak ada. Berapa kalipun aku berusaha mencarinya.

-Rencana itu sempurna. Lagipula kalau kau mati, kau bisa dihidupkan kembali lagi di ronde selanjutnya. Itupun kalau Thurqk merasa..TERHIBUR-

Kata-kataku di ronde sebelumnya membuatku tercekat.


=====(END)=====

4 comments:

  1. Kalau ada satu hal yang saya selalu seneng dari entri Sjena, itu pasti format per part ceritanya (eh...kayanya saya udah pernah bilang gini....apa saya kena loop?). Penulis berhasil make sesuatu yang saya pengen coba tapi belum sempet - teks dengan font ukuran beda" dan sengaja ga rapi biar ada kesan chaos timbul - dan saya lumayan kagum karena aplikasinya pas banget. Tadinya juga saya mau protes kenapa 1v1, tapi belakangan emang kerasa appropriate juga dengan revelation apa yang sebenernya lagi terjadi dalem Limbo ini. Dan terakhir saya suka karakter Sjena akhirnya dapet fokus juga berupa latar belakang, dan ada rasa kedekatan baru karena kini cerita dibawain dari PoV1 Sjena alih" narasi si kreator.

    ReplyDelete
  2. Ursario : Aku pusing, bura, membaca cerita ini @_@
    Ursula : Humph! Ini bacaan untuk Demon intelek. Tampaknya itu bukan fortemu, uhuhuhum.
    Ursario : .....
    ...
    Elle : Zuzu, Zany, Cherily, ayo kita main Limbo, nom~!
    Zany : Limbo? Apa itu?
    Cheril : Main kayang melewati galah, biasa dilakukan di pantai berpasir. Sepertinya begitu :D
    Leon : Pantai? Hmm ... langsung kebayang bikini-bikini yang seksi.
    ...
    Rex : Aku muncul lagi? Dan aku mati lagi?! Neneeeeek!!
    Baikai : Tuan Kuncir Kuda itu ... dia pakai Yukata dan Katana, tapi bukan orang Jepang? Hmm ... menarik. Dan Nona Kilatih muncul kembali di sini. Biarpun diam, tapi tetap manis, seperti Lilith. *nyemil takoyaki*
    Reeh : Tipuan yang sungguh memukau. Loop dan Limbo, suatu misteri yang menantang nalar.
    ...
    Yvika : Ayo, kita pergi.

    ReplyDelete
  3. This by Far, The Most Enjoyable sjena Submit, setelah R1 tentunya...

    TETAPI
    saya gak peduli dengan semaunya Sjena apaan, saya juga gak peduli dengan semaunya kreator/narator apaan.

    tapi kisah dan kemampuan ixephon itu serta Perubahan Sikap: hanya iseng si narator jadi Sikap: Ikutan Psikopatik, sehingga keluar Ixephon.

    it's Deus Ex Machina for me.

    Catatan: saya ngasih nilainya berdasarkan urutan Favor
    Nilai Anda
    ursario - 9
    claudia - 8.7
    Nurin - 8.4
    Yvika - 8.1
    Sjena - 7.8
    Sil - 7.5
    Stalza - 7.2
    Lazu - 6.9
    Salvatore - 6.6
    Deismo - 6.3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -