I
Sudah terlalu lama Thurqk mendiamkan Stallza. Peserta yang seharusnya membuat dia terhibur kini membuat dirinya gusar setengah mati. Dengan nyata-nyata peserta itu menolak membunuh lawannya, dan dia juga telah menghancurkan salah satu pulau kesayangannya. Dan kali ini dia menghancurkan Menara Penyesalan, satu lagi simbol keagungannya.
Sudah puluhan Hvyt yang mati akibat kemarahan sang dewa merah, tetapi kemarahannya tak redup sekalipun. Matanya menatap nyalang pada sosok yang terbang menembus Menara Penyesalan itu.
"Apa harus aku sendiri yang turun tangan dan menghancurkan orang itu?" teriak Thurqk penuh kegeraman.
Tawa seorang gadis menjawab Thurqk. Jika saja sumber tawa itu adalah salah satu makhluk rendahan yang dipanggilnya untuk bertarung, makhluk itu pasti akan bernasib sama dengan bangkai Hvyt yang bergelimpangan di hadapannya. Tetapi gadis yang tertawa itu adalah Abby. Gadis itu adalah satu-satunya yang tidak akan disentuh Thurqk dengan kemarahannya.
"Apa yang kau kerjakan di sini, Abby? Apa sudah tidak ada mayat hidup atau Hvyt yang bisa kau permainkan?" tanya Thurqk tanpa menoleh pada gadis itu.
"Ada yang lebih menarik di sini," jawab Abby. Gadis berambut hitam itu berjalan mendekati si dewa merah. "Namanya Stallza, bukan? Aku pernah bertemu dengannya dulu. Dia punya mainan yang cantik-cantik."
"Kau mau mengambil mereka?" tanya Thurqk. Sebuah ide yang menurutnya cerdas segera terbersit di kepalanya. "Kalau kau mau, silakan saja. Akan lebih menyenangkan jika si pemanggil itu mati tanpa perlindungan mereka."
Abby tersenyum. "Itu terlalu mudah. Tapi Anda tidak akan puas hanya karena itu saja, bukan?"
Kening Thurqk berkerut. "Jadi apa idemu?"
"Anda adalah dewanya di sini. Pastinya Anda tahu segala sesuatu tentang dia, bukan?"
"Benar. Tidak ada satupun yang tidak kuketahui."
"Kalau begitu Anda bisa menghancurkan dia dari dalam. Dia akan meminta untuk dimusnahkan. Dengan mengetahui kelemahannya, dia akan merasa sangat bersyukur mati di tangan Anda," kata Abby. Gadis berbaju putih itu mengambil sebuah gunting dari balik punggungnya. "Gunting, gunting, gunting. Cabik tubuhnya, gunting jiwanya. Jahit kembali dan jadikan boneka," senandungnya.
Thurqk menyeringai. "Bagus sekali idemu itu, Abby. Aku tahu siapa yang bisa kugunakan," mata Thurqk menyapu seluruh ruangan. "Aku baru sadar. Di mana Nolan sekarang?"
Abby mengedikkan bahu. "Si culun itu sudah hampir tidak ada gunanya. Mengapa Anda masih mempertahankan dia?"
"Karena ada sesuatu yang hanya bisa dilakukan oeh dia seorang," jawab Thurqk. "Sebentar lagi tidak akan ada yang bisa dia lakukan, dan saat itulah aku akan menyerahkanya padamu," kata Thurqk sambil menyeringai pada Abby.
~~~
II
Lan Tania lagi-lagi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis berambut hitam itu berkali-kali terbangun di tengah malam. Sering kali dia terbangun dengan keringat deras yang membasahi gaun tidurnya yang terbuat dari sutra halus. Beberapa kali dia bahkan terbangun dengan mata sembap akibat menangis, meski dia tidak tahu alasannya.
Meskipun berstatus sebagai putri raja, Lan tidak ingin dimanjakan terus-menerus. Sebelum para pelayannya masuk dan menyibak tirai jendelanya, sang putri telah mengganti gaun tidurnya dan melakukannya sendiri. Bahkan sekalian dengan merapikan tempat tidurnya sendiri. Dia tinggal menunggu sarapan diantarkan sambil duduk menghadap jendela, menyaksikan cahaya matahari perlahan menyinari seluruh kerajaan Mendev.
Seorang gadis pelayan dengan rambut pirang cerah yang dikepang kuda masuk dan mendapati sang putri telah membereskan kamarnya sendiri sebelum dia dan kawan-kawannya tiba. "Tuan putri, sudah kami katakan, biarkan kami saja yang merapikan kamar Anda," keluhnya.
Sang putri, meski dengan mata yang sedikit bengkak dan mengantuk, tersenyum lembut pada pelayannya itu. "Aku tidak punya kegiatan lain sampai kalian muncul," katanya.
Gadis pelayan "Kalau begitu Anda seharusnya tetap di tempat tidur saja. Jangan mengambil pekerjaan kami seperti ini," kata si gadis pelayan.
Putri Lan meregangkan badannya. "Masalahnya, Misha," katanya, "aku sudah bangun sejak ayam belum berkokok. Aku bosan."
Misha telah bersama sang putri sejak kecil. Karena itulah dia menjadi salah satu dari sedikit pelayan yang bisa dan berani berbicara akrab dengan sang putri. "Setidaknya Anda bisa berpura-pura tidur sampai kami tiba," kata Misha sambil memberi kode ke teman-temannya yang sejak tadi menunggu di luar pintu.
"Badanku pegal kalau terlalu lama berbaring sehabis tidur," kata Lan. Sang putri menarik kursi di depan sebuah meja kecil sebelum pelayannya sempat melakukan itu. "Tidak perlu repot, kalau masalah seperti ini saja aku bisa sendiri," katanya pada Misha.
"Anda benar-benar ingin saya diusir dari istana, ya?" rajuk Misha.
"Daripada seorang pelayan, aku lebih membutuhkan seorang teman saat ini," kata Lan sambil memegangi lehernya yang terasa tegang. Meski sudah meregangkan badan, bagian ini selalu saja tidak bisa dilemaskan.
Misha tahu betul apa yang dibutuhkan tuan putrinya itu. Sementara teman-temannya menghidangkan secangkir teh dan makanan di atas meja, Misha berdiri di belakang sang putri dan dengan lembut memijat lehernya. "Anda masih diganggu oleh mimpi itu lagi," bisiknya lembut, nyaris tak terdengar di antara suara dentingan sendok dan garpu di depan mereka.
Lan membalasnya dengan anggukan pelan. "Sekarang bahkan semakin menjadi-jadi," katanya dengan suara pelan.
Misha mendekatkan kepalanya pada wajah sang putri. "Ceritakan pada saya," katanya penuh semangat.
"Kau menikmati cerita tentang mimpi-mimpi burukku, ya?"
"Anda sendiri juga tahu, kan, kalau saya suka cerita-cerita seram."
Lan tersenyum sambil menggelengkan kepala. Di saat bersamaan para pelayan yang menyiapkan makanan telah selesai melakukan pekerjaan mereka. Mereka membungkuk hormat pada sang putri sebelum meninggalkan kamarnya, sementara Misha masih tetap berada di belakang sang putri.
Misha perlahan menutup pintu setelah memastikan bahwa semua teman-temannya sesama pelayan sudah pergi. Setelah itu dengan berjingkat semangat dia kembali ke tuan putrinya. "Mereka sudah pergi," kata Misha, "jadi sekarang Anda bisa bebas menceritakan kembali tentang pria dalam mimpi Anda itu pada saya."
"Aku tidak bisa menolak?" kata Lan malas. Dengan perlahan dia menyeruput tehnya.
Misha menarik sebuah kursi lain dan duduk di depan sang putri tanpa dipersilakan. "Tentu tidak, tuan putri," katanya. "Lagipula saya yakin dengan membagikannya Anda akan merasa lebih lega. Dan leher Andapun tidak tegang lagi."
"Tidak bisa hanya dengan dipijat?"
Misha menggeleng sekuat tenaga. Sesaat kemudian si pelayan itu mengatupkan kedua tangannya dan memasang muka memelas. Melihat kelakuan pelayannya itu, putri Lan hanya bisa menghela napas panjang.
"Baiklah," kata Lan. "Tapi jangan pernah ceritakan ini pada siapapun, bahkan pada ayahku." Lan tersenyum. "Dan bantu aku mengepang rambutku," katanya.
"Saya berjanji," kata Misha sungguh-sungguh. "Jadi, apa yang tuan Stallza lakukan kali ini?" tanyanya.
~~~
Entah kekuatan ajaib apa yang dimiliki Misha, tetapi seperti yang dikatakan pelayannya itu, semua beban yang membuat leher Lan Tania tegang kini telah lepas setelah menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Lan memang tahu jika pelayannya itu menggemari segala dongeng seram atau legenda-legenda mengenai hantu, tetapi dia tidak pernah habis pikir bagaimana bisa dia tahan mendengarkan bagaimana Stallza, karakter pria yang entah bagaimana selalu berada dalam mimpi buruknya, bertarung dengan orang-orang brutal dalam sebuah dunia yang seluruhnya berwarna merah. Lan sendiri tidak paham bagaimana bisa dia memimpikan seseorang yang tidak pernah dilihatnya selama ini. Tetapi di saat bersamaan dia merasa telah sangat akrab dengan pria itu.
Lan kembali menghela napas panjang. Misha telah memijat wajahnya dengan ramuan herbal untuk menghilangkan sedikit kantung mata yang mulai terbentuk. Tetapi tubuhnya masih merasa tidak nyaman. Dia meminta Misha membawakan ramuan dari tabib istana.
"Lama sekali," kata Lan. "Seharusnya Misha sudah kembali sekarang."
Sesaat kemudian terdengar ketukan dari balik pintu kamar Lan. "Siapa di sana?" tanya Lan. Tidak ada jawaban. Tetapi sekali lagi terdengar ketukan di pintu. Kening sang putri berkerut. Jika itu pelayan-pelayannya, seharusnya mereka langsung saja masuk. Tetapi jika itu adalah prajurit yang dikirim ayahnya, seharusnya mereka menjawab. Siapapun di balik pintu itu bukan salah satu dari keduanya.
Perasaan Lan semakin tidak nyaman. "Pergi!" seru Lan.
Tidak ada balasan.
"Aku, Lan Tania Araz Tantaluzia, putri kerajaan Mendev, menyuruhmu pergi sekarang!"
"Aku tidak peduli." Suara berat sedikit parau milik seorang pria membalas Lan dari balik pintu. Ada sesuatu dalam suara pria itu yang membuat Lan merinding, sesuatu yang dingin dan mematikan. "Sebaiknya kau membuka pintumu sekarang atau aku akan memaksamu!" seru pria itu lagi.
"Pengawal! Pengawal!" teriak Lan.
Pria di balik pintu tertawa sinis. "Jika yang kau panggil itu bangkai-bangkai hangus di bawah sana, kurasa mereka tidak akan datang," kata pria itu.
Lan segera berlari ke arah jendela. Pemandangan yang dilihatnya di bawah sana hampir membuatnya muntah. Api menghanguskan pria-pria yang berjaga di gerbang depan dan pintu masuk istananya dalam keadaan berdiri. Mereka seakan tidak sadar apa yang terjadi saat tubuh mereka terbakar hingga hangus.
"Kau lihat? Indah, bukan? Mereka tidak punya waktu untuk sadar saat aku membakar mereka dari dalam hanya dengan satu jentikan jadi."
Lan terkesiap. Dia berbalik. Pintu kamarnya masih terkunci, tapi kini seorang pria—Lan segera meralatnya saat melihat sosok makhluk yang berada di dalam kamarnya saat ini. Perawakannya seperti seorang pria tinggi dengan seluruh kulitnya berwarna merah. Di atas kepalanya tampak sepasang tanduk hitam. Matanya yang merah dan rambut putih yang panjang membuat sosok itu semakin mengerikan. Lan menjerit tertahan, membuat pria itu tertawa.
"Bagus! Itulah reaksi yang kuinginkan! Takutlah pada dewamu!" seru pria bertanduk itu.
"Siapa—"
"Aku bosan mendengar pertanyaanmu!" bentak si pria bertanduk. "Ikut denganku atau kau akan bernasib sama seperti pelayanmu di bawah sana!"
Lan merasakan detak jantungnya berhenti sesaat. Perlahan dia menoleh kembali keluar jendela. Barulah dia menyadari sesuatu yang terlewatkan olehnya tadi. Dekat dengan gerbang, sesosok mayat terbakar dalam posisi seperti sedang berjalan. Nyaris seluruh tubuhnya terbakar hangus. Kecuali sedikit rambut pirang cerah yang tersisa di kepalanya.
Air mata Lan mengalir deras saat menyadari sosok mayat itu. Kakinya menjadi lemas. Pantas saja sosok Misha tidak muncul sejak tadi. Temannya itu telah ikut menjadi korban di bawah sana.
"Kenapa?" tanya Lan lirih.
"Aku tidak peduli mereka," jawab pria bertanduk. "Yang kubutuhkan adalah membawamu pergi sekarang."
"Kau tidak perlu membunuh mereka," kata Lan di antara isakan tangisnya.
"Kematian mereka dibutuhkan untuk membuatmu sadar akan kekuatanku," kata si pria bertanduk lagi. "Ikut denganku sekarang, atau seluruh istana ini, tidak, seluruh kerajaan ini akan mengalami hal yang sama."
Lan tidak menjawab. Gadis itu masih tenggelam dalam kesedihannya. Pria bertanduk di depannya mendecak kesal.
"Kau memaksaku!" Si pria bertanduk mengangkat tangannya. "Mereka akan kumusnahkan sekarang!"
Si pria bertanduk nyaris menjentikkan jarinya, namun Lan mencegahnya. "Jangan!" teriaknya. "Aku akan pergi denganmu. Jangan hancurkan kerajaanku."
Si pria bertanduk menyeringai. "Seperti yang kuharapkan dari seorang putri," katanya. Pria bertanduk itu mengulurkan tangannya pada Lan. "Nah, sekarang pegang tanganku. Dalam sekejap kau akan berada di duniaku."
Lan awalnya ragu, namun saat melihat sorot mata penuh amarah si pria bertanduk, akhirnya gadis itu menyambut uluran tangannya. Cahaya merah memancar dari genggaman tangan pria itu. Dengan cepat cahaya itu menyebar dan membuatnya silau. Saat pengaruh cahaya itu hilang, Lan terkesiap melihat keadaan di sekitarnya telah berubah total.
"Di mana ini!?" serunya. Si pria bertanduk belum melepaskan genggaman tangannya.
"Selamat datang di Devasce Vadhi, duniaku," kata si pria bertanduk. "Namaku Thurqk. Aku ingin kau menemui seseorang."
~~~
III
Stallza tidak melihat jalan keluar saat menembus langit-langit ruang bawah tanah Khramanaka. Karena itu dia membuat jalannya sendiri. Dengan bantuan Phosporosso, sang Spiritia berkekuatan peledak yang bergabung dengannya, Stallza menjebol setiap lantai dan dinding yang menghalanginya. Perjalanannya mencapai puncak memakan waktu cukup lama, karena bangunan yang dirusaknya seakan hidup. Bunyi sirene yang memekakkan telinga berbunyi di tiap lantai yang diterobos Stallza. Stallza juga berkali-kali menghadapi dinding yang bergerak sendiri dan mengejarnya, seakan ingin menghantam dan menghimpit Stallza yang masih terus menerobos ke atas. Tetapi halangan itu tidak berarti di hadapan kekuatan peledak Phosporosso.
Stallza tidak tahu sudah berapa menit dia terus terbang ke atas sambil meledakkan barang-barang. Yang dia tahu, setelah melewati ratusan lantai, akhirnya dia berhasil mencapai puncak bangunan itu. Ruangan yang gelap dan pengap berganti langit merah yang luas.
"Akhirnya kita keluar," kata Stallza lega. Dia mengakhiri Spiritialisnya dengan Phosporosso dan membiarkan Helia tetap bersamanya. Stallza masih ingin melayang di atas langit, melepaskan perasaan terkekangnya dan tekanan mental dari pertarungan-pertarungan yang dia lalui.
Sudah dua kesempatan dia mengakali peraturan si makhluk merah dengan tidak membuat musuhnya mati bersimbah darah. Tetapi jumlah peserta semakin lama semakin sedikit. Mungkin saja dia akan bertemu dengan musuh yang akan memaksanya membunuh, bukan hanya dengan membekukan mereka seperti yang sudah-sudah.
"Aku ingin pergi dari dunia ini dan mencari Ventinis," kata Stallza pada dirinya sendiri, mengingatkan dirinya alasan dia melakukan semua ini. "Aku tidak mengharapkan hadiah dari si makhluk merah bertanduk. Apapun itu. Aku akan mencari jalanku sendiri!"
"Kau yakin?"
Stallza terkesiap kaget saat mendengar suara berat yang membuat merinding dari balik punggungnya. Dia segera berbalik dan mendapati si makhluk merah bertanduk sendiri kini berdiri di belakangnya. Di belakangnya juga ada sepasukan hvyt berwajah garang. Tangannya segera meraih ke dalam tas pinggang, tetapi Thurqk, si makhluk merah bertanduk, mengangkat tangannya dan membuat tubuh Stallza terpaksa berhenti.
"Sebaiknya kau tidak melakukan apapun di sini, peserta Stallza," kata Thurqk tenang. Dia menyeringai dan melanjutkan, "Kau mungkin saja menyesali keputusanmu itu selamanya."
Stallza mencoba untuk berbicara, tetapi kendali Thurqk terhadap dirinya membuat bibirnya tidak bergerak sedikitpun. Si makhluk merah melihat itu dan mengangguk-angguk seperti seorang bijak. "Kau ingin bicara? Baiklah. Tapi ingat, jaga bicaramu di hadapan dewa," kata Thurqk.
"Apa maksudmu aku akan menyesalinya? Kau tahu aku tidak akan takut ataupun patuh padamu!" bentak Stallza.
"Dan kini kau di sini berada dalam kuasaku. Tidak bergerak. Dan kau berkata tidak akan patuh padaku?" Thurqk menyeringai lebar. "Kau memang ciptaan yang merepotkan. Tapi aku akan mengampunimu. Mungkin karena selama ini kau tidak pernah tahu akan namaku dan terlalu sibuk bermain dengan makhluk-makhluk kecilmu. Tapi kini kau sudah tahu kekuatanku dan aku memerintahkan kau untuk patuh padaku!" kata Thurqk geram.
Stallza mencibir. "Oh dewa yang agung, sesungguhnya aku seperti ini karena kelelahan, bukan karena kekuasaanmu atau kekuatanmu. Jika aku ingin, bisa saja saat ini aku memanggil para Spiritiaku tanpa memegang mereka dan membuatmu mati tercabik-cabik. Tapi bukankah itu akan memalukan untukmu? Apalagi jika itu kulakukan di depan para bawahanmu yang garang."
Mendengar hinaan Stallza, kegeraman thurqk semakin menjadi-jadi. Dia menggerakkan tangannya yang mengacung pada Stallza ke bawah dengan cepat. Kekuatan tak kasat mata yang mencengkeram Stallza mengempaskan tubuh pria itu mengikuti gerakan tangan si dewa merah. Dengan cepat Stallza melesat ke bawah hingga dia membentur atap Menara Penyesalan, bangunan yang dijebolnya tadi.
Stallza mengerang kesakitan. Tulang-tulangnya terasa remuk. Tetapi dia merasa senang karena berhasil membuat si makhluk merah bertanduk marah. Stallza tertawa kecil, namun semakin lama tawanya semakin besar.
Thurqk menggeram. "Apa yang begitu lucu sehingga kecoak sepertimu tertawa?" tanyanya gusar.
"Karena makhluk yang mengaku dewa sepertimu tidak bisa mengaturku dari jauh. Kau ternyata tidak adikuasa, dan karena itu kau bukanlah seorang dewa. Jika kau memang dewa, maka seharusnya kau bisa mengatur setiap peserta di sini bergerak seperti boneka di panggung. Tidak perlu repot mengunjungi mereka satu per satu dan memohon agar mereka percaya kau adalah dewa," jawab Stallza.
Kekuatan tak kasat mata yang mencengkeram Stallza kini terasa meremas seluruh tubuhnya. Stallza berteriak kesakitan saat dia mendengarkan tulang lengannya mulai berbunyi seperti ranting yang dibengkokkan paksa. Tetapi dia tidak mau meminta ampun ataupun menyembah-nyembah si makhluk merah bertanduk. Tangan Stallza berusaha menggapai tas pinggangnya, tetapi kekuatan tak kasat mata yang mencengkeram tubuhnya tidak mengizinkan itu terjadi. Kini pergelangan tangannya yang tertekuk secara tidak alami. Dan Stallza kembali berteriak kesakitan.
Thurqk menyeringai senang melihat sosok makhluk menyedihkan yang dicengkeram kekuatannya kini berteriak-teriak seperti anjing. "Sudah kukatakan kau akan menyesal, bukan?" katanya. "Tapi kalau kau tetap ingin mempertahankan keras kelapamu, bagaimana kalau kau melihat ini?"
Thurqk menjentikkan jarinya. Dalam sekejap Stallza, Thurqk dan para hvyt yang mengikutinya telah berpindah tempat. Kini mereka berada di sebuah ruangan luas dengan perapian raksasa di sebelah kirinya. Ruangan itu dipenuhi para hvyt yang kini mengelilingi Stallza. Sementara sang dewa merah kini telah berada di atas sebuah singgasana.
"Selamat datang di dalam istanaku," kata Thurqk. "Mungkin seharusnya kau merasa bangga karena bisa berada di sini." Thurqk menjentikkan jarinya. Kekuatan tak kasat mata yang mencengkeram dan meremas Stallza seketika terlepas dari tubuh pria itu. "Itu adalah anugerahku. Nikmati kebebasanmu selagi kau bisa," katanya pada Stallza.
Stallza bangkit berdiri dengan susah payah. Kakinya masih bergetar sehingga berkali-kali dia terjatuh kembali. Dan semua hvyt yang berada di sekitarnya akan tertawa setiap kali dia terjatuh.
"Sudahlah. Kau duduk saja di situ. Rasanya menyedihkan melihat usaha sia-siamu itu," kata Thurqk yang disambut tawa mencemooh semua hvyt di dalam ruangan itu.
"Tertawa saja semau kalian," kata Stallza.
"Apa yang ingin kau lakukan sekarang? Melawanku? Dengan keadaan kelelahan dan kesakitan seperti itu? Menyedihkan," kata Thurqk seolah-olah sedang mengasihani Stallza yang kembali disambut tawa para hvyt.
Stallza mengepalkan tangannya. Dengan geram dia mendorong tubuhnya sendiri hingga dia kembali berdiri. Tawa para hvyt berhenti saat melihatnya berhasil. Kini mereka menatapnya dengan siaga, menunggu apa yang akan dilakukan sang peserta pemberontak itu saat ini.
"Kau ingin melawanku?" Thurqk mengangguk-angguk. "Boleh saja. Tapi sebelumnya aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu." Thurqk menjentikkan jari. Dari langit-langit ruangan itu terdengar suara berderak-derak disusul munculnya sebuah sangkar raksasa dari balik bayangan. Perlahan-lahan wujud sangkar itu terlihat jelas. Jari-jarinya terbuat dari ribuan tulang rusuk dan lengan manusia. Di bagian atas sangkar itu terdapat rantai berwarna putih, sepertinya terbuat dari tulang yang dibentuk sedemikian rupa menjadi mata-mata rantai. Sedangkan bagian dasarnya terbuat dari ribuan tengkorak.
Pada awalnya dia tidak begitu peduli pada pertunjukan itu. Stallza menganggap si makhluk merah bertanduk hanya ingin pamer seberapa menakutkan dia dengan menunjukkan sangkar dari kerangka itu. Tetapi saat dia melihat soso gadis berambut hitam yang berada di dalam sangkar itu, Stallza terkejut setengah mati.
"Bagaimana?" kata Thurqk puas. "Aku sampai harus repot-repot ke duniamu dan membawa sang putri yang kau sukai ini ke sini. Anggap saja ini anugerahku yang lain. Anggap saja ini sebagai alat untuk memotivasimu supaya benar-benar mau mengikuti perlombaan ini."
"Apa yang kau lakukan pada Lan!!" teriak Stallza. "Ferra, Koboldia, Nitria, Phosporosso, aku memanggil kalian!!"
Empat berkas cahaya melesat keluar dari kantung tas pinggang Stallza, namun sebelum keempat berkas cahaya itu mengubah wujud mereka, sebuah kekuatan tak kasat mata menghantam mereka ke lantai. Keempat berkas cahaya itu kembali ke bentuk asli mereka, empat buah kristal berbagai bentuk dan warna.
Thurqk menatap Stallza dengan tajam. "Kau bersungguh-sungguh ingin melakukan itu di sini? Ingat posisimu. Aku bisa mengambil dia dari tempatnya. Saat ini dia masih dalam keadaan hidup. Tapi jika kau serius ingin melawanku saat ini, anggap saja kau menyetujui aku membunuhnya," kata Thurqk. Sangkar kerangka itu kini telah berada di lantai. "Kau sudah lama tidak berjumpa dengannya, kan? Ayo, hampiri dia!"
Tanpa diperintahkan oleh si makhluk merah sekalipun kaki Stallza telah berjalan terseok-seok menuju sangkar kerangka itu. Stallza begitu senang melihat sosok Lan, tetapi di saat bersamaan dia merasa heran. Lan yang kini berada di dalam sangkar itu tampak sangat ketakutan sampai-sampai tidak mempedulikan Stallza.
"Tenanglah, Lan. Aku akan mengeluarkan kau dari sana. Aku berjanji," kata Stallza sambil tersenyum.
"Jangan mendekat!" jerit Lan.
Stallza terkejut. Dia berhenti. "Lan? Ini aku. Aku masih hidup," katanya.
"Ini mimpi. Ini pasti mimpi. Ya, aku pasti ketiduran. Misha tidak mungkin mati. Pria itu tidak nyata. Dia tidak di sini. Dia tidak berdiri di depanku," kata Lan berkali-kali pada dirinya. Gadis itu meringkuk di dalam sangkarnya, menenggelamkan kepalanya dalam-dalam. Tangannya menutupi kepalanya, seolah tidak ingin siapapun melihat wajahnya sebagaimana dia tidak ingin melihat siapapun di ruangan serba merah ini.
"Apa yang kau lakukan padanya, Thurqk?" tanya Stallza.
"Oh, baru kali ini kau memanggilku dengan namaku. Apa sekarang kau berubah pikiran?" balas Thurqk.
"Jawab saja pertanyaanku, makhluk sialan!!"
"Aku hanya membakar prajurit-prajuritnya dan seorang teman baiknya, itu saja," jawab Thurqk bangga.
"Lalu kenapa dia tidak mengingatku!!"
"Tanyakan itu pada makhluk yang kau sebut sebagai Ventinis itu," kata Thurqk santai. "Lihat, makhluk yang kau perlakukan seperti dewa itu malah menghilangkan pikiran semua orang dari dirimu. Semua ingatan orang-orang menghilang bersama eksistensimu. Apa kau pikir semua itu berharga? Apa gunanya seluruh dunia selamat jika dirimu malah terlupakan?"
"Diam!"
"Padahal jika kau mengikuti semua permainanku aku bisa saja memberikan kembali eksistensimu. Dan kau akan kembali hidup sejahtera bersamanya."
"Diam!!"
"Ah, lihat wajah ketakutannya. Dan kau dengar apa yang dikatakan sang putri? Dia berkata pria dalam mimpinya tidak mungkin menjadi nyata. Kau tidak lebih dari satu bagian mimpinya! Haha!"
"Diam, bedebah!!!" Stallza mencabut satu belatinya dan melemparkan belati itu ke arah Thurqk. Tetapi dengan mudah si makhluk merah menepisnya. Belati itu berubah arah dan terbang memasuki sangkar kerangka dan menancap tepat di ujung kaki Lan. Gadis di dalam sangkar itu terpekik kaget, sementara Stallza merasakan jantungnya seakan mau copot.
"Hati-hati dengan benda tajam, Nak. Kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi jika kau sembrono dengan mereka," kata Thurqk.
Tatapan mata ketakutan Lan dari dalam sangkar membuat Stallza semakin hancur. Gadis itu tidak tersenyum seperti dulu. Matanya tidak memancarkan kebahagiaan. Tatapannya seolah melihat Stallza seperti monster yang begitu asing dan menyeramkan. Kata-kata Thurqk setelah itu tidak terdengar lagi di telinga Stallza. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang terus berulang. Bagaimana bisa ini terjadi? Apakah ini bayaran dari Ventinis? Kenapa?
"Aku akan menolongmu, Stallza. Akan kukembalikan ingatannya dan semua ini seakan-akan tidak akan terjadi. Yang penting kau mengikuti apa yang kuinginkan," kata Thurqk. Dia menjentikkan jarinya, dan sangkar kerangka itu kembali terangkat. "Tapi kalau kau tidak mau, aku bisa saja menjadikan putri itu bagian dari sangkarnya sendiri," lanjutnya.
"Apa yang kau inginkan?"
Thurqk tersenyum. "Kau adalah peserta yang unik. Cerdas, pemberontak, namun di sisi lain mudah bekerja sama," katanya.
"Jangan basa-basi!" seru Stallza.
"Aku ingin kau membunuh semua peserta lain yang kau hadapi nanti. Siapapun itu. Tidak dengan membekukan atau menolong mereka saat sekarat. Aku ingin darah. Potongan tubuh. Ledakan!"
"Hanya itu?"
Alis mata Thurqk terangkat. "Kau mengatakannya seolah-olah itu mudah sekali untukmu." Makhluk merah bertandik itu menyeringai. "Baiklah, akan kutambah syaratnya. Bagaimana kalau kau menyerahkan dua belas Spiritia yang kau telah pakai selama ini padaku? Anggap saja tanda jadi sehingga perjanjian kita resmi. Dan sebagai gantinya aku akan menjaga gadis itu. Dan jika kau selamat dari babak berikutnya, aku berjanji akan memulangkan dia dan Spiritia yang kau berikan," kata Thurqk.
"Kalau aku menolak?"
"Maka putri ini akan kuledakkan sekarang juga," jawab Thurqk tajam.
Stallza memandang sangkar tulang di langit-langit. Dia sudah pernah kehilangan sang putri sekali. Stallza tidak ingin kehilangan dia sekali lagi. Tetapi untuk itu dia harus menyerahkan teman seperjuangannya.
Stallza mengambil keduabelas kristal Spiritia yang telah dipakainya dari dalam tas pinggang. Stallza tahu mereka paham apa yang akan terjadi. Dia berharap mendapatkan reaksi penolakan dari mereka, atau mengamuk karena dia bermaksud menyerahkan mereka pada musuh—dengan kemungkinan akan dihancurkan. Tetapi tidak ada reaksi dari keduabelas kristal itu. Mereka tampak seperti kristal biasa, tak berpendar, tak bergerak.
Bahkan Phosporosso, spiritia yang paling meledak-ledak di antara keduabelas spiritia di tangannya saat ini tidak bereaksi apapun.
Stallza memejamkan mata. Dia memasuki dunia tersembunyi di dalam pikirannya, sebuah tempat di mana dia bisa bertemu dengan para Spiritianya dengan bebas.
"Apa kalian tidak apa-apa?" tanya Stallza saat melihat keduabelas spiritianya berdiri di depannya.
Iodesa menggelengkan kepalanya. Gadis itu tersenyum. Tidak ada keraguan di matanya yang berwarna merah. Nicca, gadis kecil yang mirip bocah laki-laki itu menyeringai sambil mengacungkan jempolnya. Argia dan Cupria mengangguk, meski seperti biasa, Cupria tampak malu-malu dan berlindung di belakang tubuh Argia. Carbia, dalam sosok patung batu, berdiri diam di belakang mereka.
"Kami mempercayai Tuan," kata Almena. Ada air mata yang mengalir di pipinya. "Kami harap teman-teman yang lain akan melindungi Tuan dengan baik," lanjutnya.
"Kembalilah," kata Plumbina singkat. Matanya memancarkan kebanggaan pada sang tuan. "Dengan utuh."
Koboldia tampak ragu-ragu. Gadis berkuping serigala itu sangat ingin mendampingi Stallza dalam tiap pertarungannya, tapi di saat yang bersamaan dia sadar bahwa nyawa sang putri lebih penting. Dia tidak ingin melihat sang tuan kembali bersedih, seperti saat sang tuan kehilangan eksistensinya di dunia.
"Aku akan menjaga kedua saudaraku ini dengan baik," kata Ferra. Gadis Spiritia berambut merah itu merangkul Nicca dan Koboldia. "Jangan khawatir, tidak akan kubiarkan sesuatu terjadi pada kami semua," katanya.
Nitria berjalan ke arah Stallza. "Kau bisa memanggil Spiritia Ventinis, pertarungan ini tidak ada apa-apanya untukmu," katanya. Kabut yang melingkupi tubuh gadis spiritia itu ikut melingkupi Stallza saat dia memeluk sang tuan. "Demi semua spiritiamu yang sangat mempercayaimu—demi aku, kumohon kau kembali," bisiknya dengan suara bergetar.
"Aku tahu," bisik Stallza.
"Hei! Cewek mesum!" protes Koboldia.
Nitria menoleh. Gadis itu tersenyum. "Ho? Jadi si anak anjing sudah mengerti apa yang disebut mesum?" goda Nitria. Satu tangannya memeluk Stallza. Dia sengaja menyentuh lembut pipi Stallza, mengikuti rahang sang tuan yang kokoh dengan jarinya yang lembut. "Kau juga mau seperti ini dengannya?" kata Nitria sambil melemparkan senyum nakal pada Koboldia.
Stallza tersenyum kikuk menanggapi godaan Nitria, salah satu spiritianya yang memiliki fisik yang sangat memikat—tidak ada yang tahu apa yang berada di balik kabut yang membungkus tubuhnya atau apakah dia mengenakan sesuatu di balik kabut itu, kecuali Stallza. Koboldia sangat ingin menyerang Nitria jika saja tidak dihalangi oleh kedua saudaranya, Nicca dan Ferra.
"Ingat janjimu," kata Nitria saat melepaskan pelukannya dari Stallza dan kembali ke teman-temannya. Dia sengaja berdiri jauh dari Koboldia demi keselamatan semua pihak.
Chlora tampak yang paling sedih. Gadis kecil bermata hijau itu menangis. "Apa Tuan berjanji akan kembali menjemput kami?" tanyanya.
Stallza mendatangi Chlora dan mengusap lembut kepalanya. "Aku berjanji. Aku tidak akan meninggalkan diri kalian selamanya."
Chlora mengacungkan kelingkingnya. Stallza tersenyum dan menyambutnya dengan mengaitkan kelingkingnya sendiri ke kelingking spiritianya itu.
"Selamatkan tuan putri kita, Tuan," kata Phosporosso. "Dan musnahkan si merah brengsek itu."
Stallza mengangguk mantap. Spiritia-spiritianya perlahan menghilang. Dunia dalam pikirannya kembali menjadi gelap. Lalu suara-suara dari luar terdengar kembali. Dan salah satunya adalah teriakan dari Thurqk.
"Berikan keputusanmu sekarang atau kuhabisi dia!!" bentak Thurqk yang kehabisan kesabaran.
Stallza membuka matanya perlahan-lahan. Ditatapnya si makhluk merah itu dengan amarah. "Baik," kata Stallza. "Kali ini aku ikuti keinginanmu. Tapi jika sesuatu terjadi pada spiritiaku atau Putri Lan, aku akan menghancurkan seisi dunia ini."
Thurqk kembali menyeringai. "Mungkin seharusnya aku melakukan ini dari awal," katanya. "Dan sebaiknya kau segera menjalankan tugasmu dalam pertunjukan ini sebelum aku kehabisan kesabaran. Kau tidak ingin tahu apa yang bisa kulakukan jika gusar."
~~~
IV
"Di sini tempatnya," kata Hvyt yang berjalan di depan Stallza dengan suara datar. "Kau hanya perlu berjalan memasuki gerbang ini hingga tiba di ruangan besar di bagian tengah labirin ini. Dan saat kau melewati gerbang ini semua tenagamu akan dipulihkan. Menurut kebiasaanmu dalam tiga babak sebelumnya, kau hanya bisa memakai sepuluh senjata. Saat masuk ke dalam, batasanmu juga dipulihkan."
"Tidak ada keistimewaan lain? Diantar masuk atau taburan bunga, mungkin?" cibir Stallza. "Sebagai peserta yang senantiasa memberikan hiburan yang bagus pada dewamu itu, seharusnya kami mendapatkan pelayanan lebih dari kalian, para pelayannya."
Cibiran Stallza dibalas dengan cengkeraman keras di lehernya dari Hvyt yang mengantarnya. Dengan satu gerakan memutar tubuh Stallza dibenturkan ke dinding gerbang. "Kami sudah mencoba bersabar untuk mendengar semua ocehanmu, manusia. Tapi kini tidak lagi! Kau pikir kau begitu berharga, hah!? Kau salah! Sebentar lagi kau akan mati untuk selamanya. Jadi sebaiknya kau gunakan waktumu yang tidak berharga itu dan buat tuanku senang!" seru Hvyt itu dengan gusar.
Stallza tidak tahu mana yang lebih menyakitkan, cengkeraman di lehernya atau punggungnya yang terasa remuk. Tetapi Stallza tersenyum melihat reaksi Hvyt itu. "Jadi perintah si makhluk merah itu seperti ini? Kalian yang selama ini tidak berekspresi akhirnya diperintahkan berlaku kejam, atau mati sebagai makhluk tidak berharga," kata Stallza.
Ada sekilas perubahan di ekspresi Hvyt yang mencengkeram Stallza. Wajahnya seakan terkejut, namun sesaat kemudian kembali mengeras. "Tidak ada gunanya berbicara dengan manusia hina sepertimu!" serunya sambil menghempaskan Stallza ke lantai. "Ingat! Tugasmu adalah berjalan sampai ke tengah ruangan! Tidak ada bantuan sedikitpun!"
Stallza tertawa kecil sambil memegangi lehernya yang terluka. "Terserah saja," katanya. "Tapi aku tidak akan mengikuti peraturannya." Stallza menatap Hvyt yang berdiri di hadapannya dengan tatapan merendahkan. "Berbeda dengan makhluk mirip ayam yang setara sampah seperti kalian," kata Stallza.
Hvyt di hadapan Stallza menggeram hebat. Tangan kanannya bergerak cepat ingin menghantam kepala pria itu. Namun sebelum itu terjadi, tangan dan kepala Hvyt itu telah terpotong dari badannya.
Satu hal yang Stallza pelajari di masa perang adalah jangan pernah kehilangan kesabaran. Satu celah saja sudah cukup untuk membuat musuh menang. Hanya dengan satu hinaan dia berhasil membuat Hvyt itu menjadi emosi sehingga tidak waspada pada gerakannya. Hanya dengan dua tebasan pisau belati miliknya, Hvyt itu berhasil dibunuhnya.
"Hvyt kali ini terlalu lemah," kata Stallza. Dia mencoba membersihkan darah berwarna merah kehitaman dari tangan dan jubahnya, namun usahanya malah membuat darah itu menyebar ke mana-mana. "Terserahlah!" serunya kesal. "Tidak ada waktu untuk mengurusi ini!"
Stallza berbalik dan berlari memasuki gerbang, meninggalkan bangkai Hvyt yang masih berdarah di belakangnya.
~~~
Thurqk tampak bosan di atas takhtanya. Matanya berpindah-pindah menatap ribuan hvyt di depannya dan sebuah sangkar seukuran manusia yang bergoyang-goyang di langit-langit. Dia berpikiran membunuh semua hvyt di dalam ruangan itu dan membangkitkan mereka kembali untuk sedikit menghilangkan kebosanannya. Tetapi hal itu urung dia lakukan karena satu hvyt yang tampak terbang dengan terburu-buru.
Hvyt itu segera mendarat di samping takhtanya dan bersujud. "Bagaimana sekarang?" katanya pada hvyt itu tanpa menoleh.
"Para peserta telah berada di tempat mereka," jawab hvyt itu. "Beberapa telah masuk ke dalam labirin. Para pengantar mereka juga telah kembali ke tempat mereka. Kecuali…"
Thurqk melirik. "Kecuali apa?" tanyanya dengan suara menggeram.
"Kecuali satu hvyt yang bertugas membawa peserta bernama Stallza, Yang Mulia," kata hvyt itu dengan suara bergetar. Dia membungkuk dalam-dalam di samping takhta sang dewa. "Salah satu hvyt yang terbang di atas Labirin menemukannya tewas dengan tubuh terpotong di depan gerbangnya."
Hvyt itu mengira sang dewa akan murka dan melimpahkan segenap kemurkaan itu padanya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sang dewa tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang menggema ke seluruh penjuru ruangan membuat semua hvyt di dalam ruangan—termasuk hvyt yang berdiri di samping takhta sang dewa—tersungkur kesakitan.
"Bagus sekali, Stallza! Itu yang kuinginkan! Bunuh lebih banyak lagi! Persembahkan lebih banyak darah lagi!" seru Thurqk di antara tawanya.
"Yang Mulia memang luar biasa, Dewa," seru hvyt di samping takhta Thurqk. "Bagaimanakah caranya sehingga Yang Mulia bisa membuat pembangkang seperti peserta Stallza itu patuh pada perintah Yang Mulia?"
Thurqk menoleh pada hvyt di samping takhtanya. "Tahukah kau bahwa tidak selayaknya sebuah ciptaan bertanya apa yang dibuat penciptanya?" Kata-katanya membuat hvyt itu tersungkur ketakutan. Itu membuatnya sedikit senang. "Tapi aku adalah pencipta yang baik. Akan kuberitahukan caranya," kata Thurqk.
"Yang Mulia Dewa Thurqk! Terpujilah Yang Mulia untuk selama-lamanya!" seru seluruh hvyt di dalam ruangan itu.
"Tentu saja, ciptaanku! Kebaikan manakah dariku yang kalian abaikan?" seru Thurqk.
"Tidak ada, Yang Mulia!" seru para hvyt bersamaan.
"Bagus!" seru Thurqk. Dia menjentikkan jarinya. Sangkar tulang berderak-derak turun dari langit-langit. Sesosok gadis meringkuk ketakutan di dalam sangkar itu. "Maka lihatlah, para ciptaanku. Kekuatanku sebagai dewa telah membuat seorang manusia hidup dapat masuk ke dunia ini. Dengan anugerahku telah kubiarkan dia mencicipi alam kematian dalam wujud fisiknya. Demi apa? Demi menyadarkan seluruh makhluk di dunia ini bahwa akulah sang dewa yang menciptakan mereka! Siapapun yang menolak akan kubunuh! Siapapun yang melawan akan kusiksa hingga mereka meminta untuk dimusnahkan! Inilah yang akan memaksa peserta Stallza patuh padaku. Maka kekuasaan manakah dari kekuasaanku yang kalian ragukan, ciptaanku?" seru Thurqk lagi.
"Tidak ada, Yang Mulia Dewa," seru semua hvyt bersamaan.
Sang dewa merah kembali tertawa dengan suara menggelegar. Sang gadis terpekik saat mendengar suara bagaikan guntur itu, membuat perhatian Thurqk teralih padanya. "Tenanglah, Nona," kata Thurqk. "Ataukah perlu kupanggil sebagai Putri?" Seringai mengerikan makhluk merah itu kembali tersungging di wajahnya. "Bersabarlah. Sebentar lagi kau akan bersatu dengannya. Entah dalam keadaan hidup atau mati."
~~~
V
Dinding merah. Lantai dan langit-langit merah. Suara langkah kakinya bergema sepanjang lorong panjang. Setelah satu belokan sebelumnya, kini telah tampak lagi belokan berikutnya. Stallza berdecak. Entah berapa banyak belokan yang harus dia lalui sebelum berhasil sampai ke pusat bangunan.
Itupun jika bangunan ini memiliki pusat.
Darah hvyt yang dibunuh Stallza masih menetes dari jubahnya. Dia merasa jijik. Seandainya saja bukan karena kenangan yang melekat pada jubah itu, tentu sudah sejak tadi dia membuangnya. Jubah itu adalah penghubung antara dirinya dan sang putri yang sedang tertawan. Seperti halnya belati-belati yang dimilikinya.
Stallza terkesiap. Belati. Satu belatinya tertancap di dalam sangkar yang mengurung sang putri. Harapannya yang sempat padam kembali menyala.
"Lan," katanya nyaris berbisik, "kuharap belatimu bisa memanggil kembali ingatanmu akan diriku."
Semangat Stallza kembali menyala. Langkah kakinya semakin cepat. Dia tidak tahu apakah bangunan itu memiliki inti atau tidak. Dia hanya ingin menyelamatkan Lan, meskipun itu berarti mengikuti permainan si makhluk merah. Dengan pemikiran itu Stallza mulai berlari.
~~~
Lan memeluk lututnya erat-erat. Dia menyembunyikan wajahnya dalam pelukannya, menyembunyikan diri dari bayangan-bayangan mengerikan dan suara-suara rintihan yang membuat seluruh badannya menggigil.
Hanya dalam sesaat hidup normal yang dikenalnya berubah. Tidak ada lagi istana yang nyaman. Tidak ada lagi sahabat yang senantiasa mau mendengar saat dia menceritakan mimpi-mimpinya, meskipun mimpinya terkadang menyeramkan. Air matanya tidak berhenti mengalir. Suara-suara dan bayangan-bayangan yang dilihatnya sangat nyata, sekuat apapun dia mengabaikan mereka. Seandainya Misha ada di sini, dia pasti akan senang sekali melihatnya.
"Misha," kata Lan dalam isakannya. "Misha." Dia kembali terisak. Seakan menanggapi tangisannya, suara rintihan yang lirih di sekitar Lan kini berubah menjadi tangisan pilu.
"Tolong kami."
"Kami tidak mau mati."
"Aku punya mimpi."
"Thurk, ampuni kami….. Jangan membunuh kami!"
"Aku mau pulang."
"Ibu…. Kakak…"
Lan menutup telinganya. Suara-suara kecil tanpa wujud itu terdengar di sekelilingnya, seakan-akan pemilik tulang-belulang yang menyusun sangkar yang mengurungnya tidak rela untuk mati. Dia menggeleng-geleng, berusaha mengabaikan mereka.
"Kenapa kami…"
"Kami tidak ingin ikut pertandingan ini…."
"Tolong…"
Lan menggeleng. "Tinggalkan aku," bisik Lan.
"Tolong…."
"Kami tidak ingin sendirian…"
"Sakit... panas…"
"Arrrrrgggghhhh…"
"Tolong jangan ganggu aku!" jerit Lan.
Sangkar yang mengurungnya berguncang. Tubuh Lan terjerembab ke tumpukan tengkorak yang menjadi dasar sangkar itu. Gadis itu menjerit saat melihat tengkorak itu mengeluarkan darah dari lubang matanya. Seketika dia melompat berdiri.
"Diam atau kami akan membunuhmu!" seru sebuah suara parau dari bawah disusul dengan guncangan berikutnya.
Kengerian menguasai Lan saat dia melihat semua tengkorak yang menjadi dasar sangkar itu bergerak-gerak. Suara-suara itu kembali terdengar. "Air mata" darah mengalir dari sepasang lubang hitam yang dulunya melindungi mata para pemiliknya. Lan menjerit sejadi-jadinya.
Sekali lagi sangkar tulang itu berguncang hebat. "Kau ingin mati!?" teriak suara parau lain di bawah.
Lan tidak ingin mati. Dia menutup mulutnya, berusaha menahan dirinya sendiri untuk tidak berteriak ketakutan. Semua tengkorak-tengkorak itu bergerak-gerak, seakan sedang berbicara dan menangis. Lantai sangkar memerah oleh darah. Tetapi di tengah semua kengerian itu sang putri mendapati sesuatu yang berbeda. Satu tengkorak tampak seperti layaknya sebuah tengkorak. Diam dan mati.
Di atas tengkorak itu tertancap sebuah belati keperakan. Lan tidak ingat pernah melihat belati itu. Namun secara bersamaan dia merasa sangat akrab dengan bentuknya. Ukiran yang sangat mirip dengan simbol yang sering diperlihatkan mendiang ibunya saat dia masih kecil. Gagangnya yang mantap. Bilah belati itu sangat halus. Lan bahkan dapat melihat pantulannya sendiri pada belati itu: mata merah yang sembap, rambut berantakan, baju robek compang-camping.
Lan menggeleng. Itu bukan dirinya. Itu bukan Lan yang dia bayangkan. Dia tangguh. Dia bisa menghadapi apapun. Dia bukan gadis lemah yang hanya bisa dilindungi di garis belakang. Dia bisa berjuang, mengangkat senjata, berdiri bersama orang yang dikasihinya hingga akhir. Dia ada di sana, bersama Stallza.
Lan terkesiap. Stallza. Nama pria yang dilihatnya dalam mimpi. Pria yang sama yang berdiri di depannya tadi. Pria itu yang melemparkan belati yang ditatapnya saat ini. Perlahan suara-suara merintih dan darah yang keluar dari tengkorak-tengkorak di bawah kakinya tidak terasa mengerikan lagi. Sesuatu pada belati itu membuatnya penasaran sekaligus tenang. Tangannya terulur untuk menggapai belati itu. Suara-suara lirih di sekitarnya perlahan memudar. Dan saat jarinya menyentuh belati itu, semuanya lenyap, berganti dengan perasaan hangat dan tenang, seakan seseorang memeluknya lembut saat ini.
Lan mendengar suara yang berbeda. Suara yang berbisik lembut. Sentuhan intim di telinganya.
Suara itu memanggil namanya. Mesra.
~~~
VI
Stallza tidak tahu sudah berapa lama dia berlari. Belokan di depan tampak sangat dekat, tapi dengan lorong luas dan seluruh bagiannya yang berwarna sama ini membuat kemampuan Stallza mengukur jarak menjadi kacau. Langit-langit lorong ini sepuluh kali tingginya. Luasnya kurang lebih seratus meter. Tetapi dia tidak boleh berhenti. Meski melelahkan, dia tidak boleh terlambat sedikitpun.
Jika saja dia masih memiliki Helia, dia bisa meluncur dengan cepat di sepanjang lorong ini. Tetapi dua belas Spiritia yang telah dia pakai telah menjadi jaminan, termasuk Helia.
Masih ada dua puluh sembilan lagi. Dia masih bisa bertarung. Dia masih bisa bergerak cepat. Stallza tersenyum. Dia masih bisa melakukan sesuatu.
Stallza berhenti. Tangannya meerogoh ke dalam tas pinggangnya, mencari sebuah kristal berbentuk seperti paruh burung berwarna biru.
"Hidro, keluarlah," katanya pada kristal itu.
Cahaya biru memancar dari tangan Stallza dan melesat ke udara. Setelah berputar dua kali mengelilingi Stallza, cahaya itu pun berubah menjadi sesosok burung layang-layang berwarna biru yang mendarat di pundak Stallza.
"Bantu aku, kawan," kata Stallza pada burung biru di pundaknya.
Burung biru itu mengepakkan sayapnya dan melesat ke depan Stallza. "Spiritialis," seru Stallza. Burung biru itu berbalik dengan cepat dan dengan kecepatan suara menabrak tubuh Stallza. Sosoknya menghilang, melebur bersama tubuh sang majikan.
Stallza melompat-lompat kecil. Tubuhnya terasa lebih ringan setelah bergabung dengan Hidro. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Setelah mengambil ancang-ancang, Stallza menjejakkan kakinya kuat-kuat dan melesat ke depan dengan kecepatan suara.
~~~
Di sebuah ruangan yang lain, Thurqk duduk dengan malas sambil mengamati deretan layar yang menampilkan semua peserta pertandingan ciptaannya yang masih tersisa. Di sebelahnya, seorang gadis kecil dengan pita biru di kepalanya sedang asyik menjahit sebuah boneka dari potongan-potongan tubuh hvyt.
"Menurutmu berapa yang akan mati, Abby?" tanya Thurqk pada gadi kecil sdi sampingnya.
Abby mendongak dan melihat ke layar sebelum kembali sibuk menjahit. "Aku tidak peduli," katanya. "Akan lebih baik kalau semuanya mati."
"Bahkan jika itu peserta seperti Stallza?" tanya Thurqk.
"Kalau dia mati, aku bisa mendapatkan kristalnya dengan mudah," balas Abby.
"Kupikir kau tertarik padanya," kata Thurqk.
"Tertarik?" Abby mendongak. "Aku tidak tertarik pada apapun selain pada bonekaku."
Thurqk mendengus. "Seandainya saja aku bisa sesantai itu," katanya.
"Yang Mulia tinggal bersantai saja, kan?" kata Abby.
"Menjadi dewa itu tidak mudah," Thurqk menghela napas. "Kau lihat semua dunia merah ini? Siapa yang akan mengawasi semua jiwa-jiwa manusia yang masuk ke sini? Siapa yang akan menciptakan para hvyt? Harus ada yang memikirkan itu semua. Dan itu adalah aku. Tidak ada waktu untuk bersantai."
"Dan Anda merasa bosan?"
"Dan aku merasa bosan."
"Kalau begitu bantai mereka sekarang juga. Runtuhkan saja bangunan itu," kata Abby.
Thurqk mendecak. "Terlalu mudah," katanya. "Aku ingin melihat perjuangan gigih mereka. Aku ingin melihat darah para pejuang yang tumpah di panggung yang kusiapkan."
"Lalu kapan Anda akan melepaskan mereka?"
"Sebentar lagi," Thurqk menyeringai. "Sebentar lagi mereka akan sampai ke panggung utamanya." Thurqk menjentikkan jarinya. Dari layar di depannya dia melihat para peserta terkejut akibat gempa di tempat yang mereka lalui.
~~~
VII
Gempa membuat Stallza tergelincir. Jika dalam keadaan biasa tergelincir tidak akan menimbulkan masalah serius, maka dalam keadaan Stallza sekarang, tergelincir berarti terlempar ke depan sejauh beberapa meter, menghantam lantai, terpental kembali, mengulangi proses yang sama hingga akhirnya tersungkur di lantai. Badannya penuh luka. Kepalanya sakit akibat berkali-kali membentur lantai. Dan lagi-lagi dia merasa ada tulangnya yang patah.
Stallza mengerang kesakitan. Dari tiga pertarungan yang dilaluinya—pertandingan, jika meminjam istilah Thurqk—sakit yang dia alami saat ini adalah yang paling terasa. Dalam tiga pertarungan sebelumnya dia bersama Iodesa, spiritia yang senantiasa akan memulihkan tubuhnya jika dia terluka. Tetapi kali ini tidak ada Iodesa. Saat ini Iodesa dan sepuluh spiritianya yang lain sedang disandera—dijadikan jaminan, sekali lagi meminjam istilah Thurqk—demi mencegah si makhluk merah membunuh putri Lan.
"Aku bahkan belum bertemu siapapun," erang Stallza. Dia mencoba bangkit. Tetapi akibat berkali-kali membentur lantai dengan keras telah membuat beberapa ototnya robek. Sebelum berhasil mengangkat tubuhnya, Stallza dipaksa untuk kembali terkapar oleh rasa sakit yang menusuk-nusuk.
Stallza beberapa kali mencoba, namun hasilnya selalu sama. Tenaganya terkuras. Tubuhnya terasa sangat berat. Napasnya terengah-engah. "Lan", bisiknya, seolah-olah gadis itu berada di sana, menemaninya yang sedang terkapar. "Tunggu aku, Lan. Aku akan menolongmu."
Stallza mencoba sekali lagi. Keinginannya melebihi rasa nyeri di seluruh tubuhnya. Perlahan dia mendorong tubuhnya hingga akhirnya terduduk. Napasnya memburu. Hanya untuk mengangkat tubuhnya saja hingga bisa duduk telah menghabiskan tenaga. Apalagi untuk berdiri? Tapi Stallza menolak menyerah.
Dia masih punya satu cara.
"Calcis, aku memanggilmu," bisik Stallza.
Dari dalam tas pinggang Stallza meluncur sebuah cahaya terang yang seketika berubah wujud menjadi kerangka manusia raksasa di depan Stallza. Tengkorak itu bersujud di depan Stallza dan mengulurkan tangannya. Stallza tersenyum dan menyambut uluran tangan sang spiritia.
"Menyatulah denganku," bisik Stallza. "Spiritialis."
Cahaya yang menyilaukan meliputi tubuh Calcis dan Stallza. Untuk sesaat lorong serba merah itu dipenuhi warna putih.
~~~
Thurqk menyeringai lebar melihat 'getaran' kecil yang dibuatnya membuat para peserta kelimpungan. "Lihatlah. Mereka seperti tikus dalam labirin kecilku. Hanya karena getaran kecil seperti itu saja mereka sudah kesulitan untuk berdiri," katanya.
"Mereka tetap saja makhluk lemah," kata Abby. Gadis kecil itu tampak bosan.
"Apa tidak ada yang menarik perhatianmu? Bagaimana bisa kau tidak menikmati apa yang kunikmati saat ini?" kata Thurqk.
"Tidak ada darah," Abby menghela napas panjang, "tidak ada potongan badan untukku. Apa menariknya?"
Alis Thurqk terangkat. "Sudah kukatakan bahwa ini adalah panggung utama, bukan?" Sang dewa menjentikkan jarinya. "Aku melepaskan kalian, wahai makhluk-makhluk panggilanku!"
Dari deretan layar di depannya Thurqk melihat monster-monster berlari dengan cepat ke arah para peserta. "Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi," kataThurqk. Sang dewa merah menyeringai lebar, memamerkan deretan gigi taringnya yang tajam.
~~~
Stallza telah berhasil menyatu dengan Calcis. Kini tubuhnya tidak memakai jubahnya yang berlumuran darah. Sebagai gantinya sebuah baju zirah dari tulang-belulang membungkus dirinya saat ini. Bagian badannya tampak seperti tengkorak berukuran raksasa. Demikian pula penutup kepalanya yang berwujud seperti tengkorak. Kaki dan tangannya terlindungi oleh ratusan tulang berbentuk pipih yang cukup lentur namun kuat. Di tangan kanannya Stallza memegang sebuah pedang dari tulang. Tubuhnya yang tadi sulit digerakkan kini menjadi kuat kembali. Untuk sementara, setidaknya hingga Stallza melepaskan Spiritialisnya dengan Calcis.
Stallza tahu bahwa serangan berikutnya bisa saja terjadi setelah dia berbelok. Tapi bagaimana dan dari mana serangan itu datang tidak dia tahu. Sebentar lagi dia tiba di belokan. Stallza menghela napas panjang. Dengan mantap dia berbelok. Dan kabut pekat segera menyambutnya sesaat kemudian.
Stallza nyaris tidak dapat melihat tangannya sendiri di dalam kabut itu. Udara lembab dan dingin membuat dirinya menggigil. Tetapi yang paling buruk dari kabut adalah udara yang semakin menipis. Semakin tebal kabutnya, semakin sedikit udara untuk bernapas.
"Manusia, mundurlah."
Sebuah suara menggema di seluruh lorong. Stallza tidak tahu darimana sumbernya, tetapi suaranya tidak mirip dengan suara si makhluk merah ataupun pembantu-pembantunya. Suara ini terdengar berat dan dalam, tetapi Stallza merasa sedikit bergidik mendengarnya.
"Siapa kau?" tanya Stallza. Dia menoleh ke segala arah, berharap bisa mendapati sumber suara yang didengarnya.
"Aku adalah Forneus. Penjaga tempat ini. Demi nyawamu, kuminta kau mundur," kata suara itu lagi.
"Aku tidak akan mundur!"
"Mengapa?"
"Aku harus menyelamatkan seseorang yang harus kulindungi."
Hening sesaat.
"Kalau begitu, apa boleh buat. Kita sama-sama harus melindungi."
Kabut di sekeliling Stallza perlahan menipis. Jarak pandangnya bertambah, perlahan dia menyadari kondisi di sekitarnya. Tempat itu mungkin saja masih bangunan yang sama yang dimasukinya. Tetapi lorong yang membentang di depannya sekarang sangat jauh berbeda dengan lorong yang telah dilaluinya.
Sepanjang puluhan meter lebar lorong itu dipenuhi bunga matahari yang mekar. Lilin-lilin dalam tangkai baja menerangi di sepanjang sisi lorong itu. Dan di ujung lorong itu berdiri sesosok makhluk berukuran raksasa.
Tingginya mungkin sekitar tiga atau empat meter. Sosoknya menyerupai manusia, berdiri dengan dua kaki berselaput bagaikan kaki katak. Betisnya bersisik hijau kebiruan seperti ular. Sebuah baju zirah berwarna perak membungkus badannya dari leher hingga ke lutut. Makhluk itu memiliki dua pasang tangan berwarna kebiruan masing-masing memiliki lima jari berkuku panjang dan taam. Ada semacam sirip seperti sirip hiu tumbuh di masing pergelangan tangannya. Kepalanya seperti hiu dengan sepasang tanduk rusa gunung. Matanya seperti mata buaya. Dari balik punggungnya tampak ekor yang menyerupai ekor biawak.
"Akulah Forneus, sang penguasa lautan. Aku dipanggil untuk melindungi tempat ini. Tidak akan kubiarkan kau lewat, Manusia," kata makhluk itu dengan suara parau.
~~~
VIII
"Apa sudah saatnya?" tanya Lan pada Stallza.
Stallza menatap danau di kejauhan dengan jumawa. Cahaya matahari yang perlahan surut ke barat memantul di permukaannya. Sebentar lagi pemandangan itu tidak akan lagi bisa dia nikmati. Stallza sudah tahu akhir dari pertempuran ini. Dan apapun yang dia lakukan, konsekuensi dari perang akan berujung sama padanya.
Kematian.
"Saat malam tiba, pasukan akan mulai berangkat. Saat itu aku harus," Stallza menarik napas panjang, "aku harus memakai teknik terlarang itu."
Semua teknik terlarang disebut terlarang karena imbas yang ditimbulkan pada penggunanya melebihi apa yang dapat mereka tanggung. Semua ilmu di dunia ini memiliki larangan. Termasuk Spiritialis. Dari penelitiannya selama bertahun-tahun, Lan mengetahui bahwa ada batasan seorang pengguna Spiritia dapat memakai Spiritia mereka. Karena setiap pengguna Spiritia mengorbankan eksistensi mereka sendiri demi membuat Spiritia mereka nyata, maka menggunakan terlalu banyak akan menghancurkan sang pengguna. Itu adalah batasannya. Dan melanggar batasan ini sangat terlarang.
"Aku berharap kau tidak perlu memakai mereka lebih dari yang seharusnya," kata Lan.
"Aku tidak bisa berjanji."
Lan menyentuh lengan Stallza dengan lembut. "Aku tahu. Tapi bisakah aku memintamu untuk melakukan janji yang mustahil itu?" pintanya nyaris berbisik. Perlahan Lan merapatkan dirinya pada Stallza dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.
"Akan kulakukan apapun agar kerajaan ini, semua penduduknya, dan juga dirimu, bisa menikmati fajar esok hari," kata Stallza.
"Tapi apa gunanya aku menikmati fajar jika kau tidak di sini bersamaku?" balas Lan. "Aku ingin tetap seperti ini. Aku ingin sekali kita tidak perlu terlibat perang. Atau bagaimana kalau kita pergi saja sekarang. Kau tidak perlu ke garis depan. Kita bisa pergi meninggalkan semua ini."
"Lalu bagaimana dengan anak-anak kecil di kota ini? Mereka mengagumi keberanianmu. Jika kita pergi, bukankah kita mengkhianati mereka?"
"Aku tahu!" seru Lan. Air matanya mengalir. "Tapi…. Tapi…"
Stallza mengusap lembut kepala sang putri dan mendekatkannya ke dadanya. Dia membiarkan sang putri menangis dan terisak dalam pelukannya. Matahari nyaris tenggelam. Langit merah mulai menghitam. Sebentar lagi dia harus menyambut kematiannya sendiri.
"Aku berjanji," kata Stallza. "Aku berjanji akan kembali padamu. Dan besok sore kita akan menikmati pemandangan danau ini dan melihat bunga rumput yang dibelai angin sore."
"Kau sungguh-sungguh?" Lan menatap kekasihnya itu penuh harap.
Stallza menyapu sisa-sisa air mata sang putri dengan jarinya. Dia mengangguk mantap. "Aku berjanji," katanya sambil tersenyum.
"Kalau begitu," Lan mengambil sebuah bungkusan di dekat kakinya, "ambillah ini. Mereka akan menjagamu dalam pertarungan. Anggap ini sebagai diriku." Lan menyerahkan bungkusan itu pada Stallza yang menatapnya dengan penuh tanya. "Bukalah," kata Lan.
Stallza membuka bungkusan itu dan mendapati dua belas belati di dalamnya. Bilahnya yang berwarna perak dihiasi ukiran, namun mata belati itu sangat bagus. Gagangnya dibuat ssedemikian rupa sehingga nyaman untuk digenggam. Stallza menyimpulkan mereka bukan belati biasa.
"Ini buatan pandai besi kerajaan?" tanya Stallza.
"Bukan sekadar pandai besi kerajaan," jawab Lan. "Belati-belati ini dibuat oleh kakek dari pihak ibuku. Dia adalah salah satu pengguna Spiritia seperti kita."
"Aku baru tahu itu," kata Stallza.
"Belati-belati ini merupakan warisan dari ibuku. Katanya aku tidak boleh memakainya kecuali jika dalam keadaan terpaksa," kata Lan. Sang putri benar-benar menekankan pada bagian terpaksa, keadaan yang memang layak untuk menggambarkan situasi saat ini. "Letakkan belati-belati ini pada daerah sekitar pertempuran. Dengan begitu kau bisa melakukan Extracto. Semua yang berada dalam daerah yang dibatasi oleh belati-belati ini akan terhubung langsung dengan dunia Spiritia. Para Spiritia akan membantumu mengetahui kelemahan musuhmu dalam sekejap. Dengan demikian peluangmu untuk menang akan lebih baik."
"Benda ini sangat berharga," kata Stallza. "Apa aku layak menerimanya?"
Lan mengangguk mantap. "Para Spiritia mempercayaimu untuk menolong teman-teman mereka yang diperbudak musuh. Rebut mereka sebelum mereka hancur. Aku masih bisa mendengar suara meminta tolong mereka hingga sekarang. Jika bisa, aku juga ingin ikut turun bersamamu, seandainya saja bukan karena kewajibanku sebagai penggantu ayah."
"Aku akan menggantikanmu untuk mengambil mereka kembali," kata Stallza. "Aku tidak tahu apakah aku bisa menyelamatkan kakakmu dari pengkhianatan yang dilakukannya dengan membawa para Spiritia pergi ke pihak musuh, tetapi akupun akan berusaha membawanya pulang."
"Terima kasih," kata Lan. Sang putri kembali menyandarkan kepalanya ke bahu Stallza., merasakan tiap detaknya bersama detik-detik yang berlalu.
Matahari sudah tenggelam. Bintang pertama telah muncul di langit Ventinis. Stallza sudah siap menyambut takdirnya.
~~~
Lan tersadar, seolah-olah dia terbangun dari sebuah mimpi buruk yang panjang. Belati itu kini berada di tangannya. Tidak ada lagi darah atau suara dari sangkar kerangka di mana dia kini berada. Air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.
Kenangan itu kembali.
Sesuatu yang telah direbut oleh hilangnya eksistensi Stallza kini kembali. Kini sang putri sadar apa arti dari semua mimpi yang mengganggunya selama ini. Dan bersamaan dengan itu, kesedihan yang dirasakannya pun kembali.
~~~
IX
Kelopak bunga matahari berhamburan ke udara saat dua sosok yang nyaris sama kuatnya saling beradu di dalam lorong itu. Stallza dengan baju zirah tulangnya mencoba untuk mendesak monster raksasa bernama Forneus, namun berbeda dari Ryax, monster di hadapannya kini sangat tangguh. Berkali-kali serangannya ditangkis oleh dua lengan makhluk itu yang ternyata sekeras baja. Sementara dua lengan lain dari makhluk itu secara bertahap mendesaknya mundur.
"Kau masih tidak ingin menyerah?" kata Forneus. Monster itu tidak terlihat kelelahan sama sekali.
"Tidak," balas Stallza dengan napas yang mulai memburu. "Aku punya alasan untuk terus maju."
"Demi kejayaan? Demi nyawamu? Kau mengejar anugerah dari Thurqk?"
"Bukan!" teriak Stallza. Pria itu menyabetkan pedang tulangnya ke lengan Forneus, namun malah pedangnya yang hancur berserpih.
"Kau lihat sendiri, bukan? Kau tidak akan bisa melukaiku," kata Forneus.
Stallza melompat mundur. "Aku sengaja melakukan itu," kata Stallza. Dia tersenyum.
"Kau masih bisa tersenyum di saat seperti ini?"
Stallza menjentikkan jarinya. Ratusan serpihan tulang di bawah tubuh Forneus tiba-tiba melesat cepat ke atas. Forneus terlambat menghindar. Beberapa serpihan itu berhasil melukai wajahnya, membuat sang monster berteriak kesakitan.
"Bagus sekali," kata Forneus. "Bagus sekali! Dengan begini aku bisa menghancurkanmu dengan sungguh-sungguh!" serunya. Dengan kecepatan yang tidak terduga dia melesat ke arah Stallza. Sebelum dia sempat menghindar, tangan-tangan Forneus telah menghantam tubuh Stallza dan melemparnya ke udara.
~~~
Hantaman dari Forneus bagaikan tidak berjeda. Satu tangan menghantam dari kiri. Saat Stallza menangkisnya, satu tangan lain dari Forneus memukul perutnya. Sesaat kemudian Forneus telah berada di belakang Stallza dan menghantamnya ke bawah, membuat pria itu membentur lantai dengan sangat keras.
"Belum selesai!" seru Forneus. Monster itu meluncur ke arah Stallza dengan kuku-kuku tajam yang terarah padanya.
"Hygraris, aku memanggilmu," bisik Stallza.
Sebuah cahaya keperakan melesat keluar dari dalam tas pinggang Stallza dan segera melesat ke arah Forneus. Monster itu menghindari cahaya yang menuju ke arahnya itu, namun cahaya itu sempat menyerempet lengan kirinya.
"Seranganmu meleset," kata Forneus saat dia kembali mendarat.
"Kurasa tidak," kata Stallza yang kembali bangkit. "Lihat lenganmu sekarang."
Forneus melirik lengan kiri depannya. Di tempat yang tersentuh cahaya itu kini tampak sebuah garis hitam yang berasap. Kulitnya yang sangat keras kini tampak seperti kulit ikan. "Melepuh? Kulit sekeras bajaku melepuh? Bagaimana bisa?" tanya Forneus.
"Lihat ke atas," kata Stallza.
Forneus mendongak. Cahaya keperakan yang menyerangnya kini berubah menjadi sebuah cairan perak yang melayang-layang di udara.
"Benda apa itu?" tanya Forneus.
"Dia adalah Hygraris, salah satu spiritia milikku," jawab Stallza.
"Spiritia? Jadi senjatamu hidup?"
"Bukan senjata. Mereka adalah temanku yang kupanggil untuk membantuku."
Forneus menyeringai. "Jadi kau hanya orang lemah yang tidak akan menang melawanku satu lawan satu," katanya.
"Aku memang lemah," jawab Stallza. "Tetapi ini adalah perang. Kalau aku kalah, aku tidak bisa menyelamatkan dia."
"Siapa orang yang sangat ingin kau selamatkan itu?" tanya Forneus. Stallza tidak menjawab. "Seseorang itu pasti sangat penting sehingga kau berani mempertaruhkan nyawamu seperti ini," kata Forneus.
"Kau benar," kata Stallza.
"Wanita?" tanya Forneus lagi. Lagi-lagi Stallza tidak menjawab. Tetapi dari sorot mata pria itu Forneus tahu itulah jawabannya. "Tentu saja. Kau tidak bertarung demi harta atau kekuatan. Maka pastilah wanita yang membuatmu bertarung hebat seperti ini."
"Lalu apa? Apa kau punya masalah dengan itu?"
Forneus tertawa. "Aku tidak punya masalah dengan itu. Lagipula aku hanya peduli akan tugasku. Apapun alasanmu untuk mencapai pusat labirin ini, aku akan menghancurkannya. Termasuk untuk melindungi wanitamu itu."
"Kalau begitu semua pembicaraan ini sia-sia," kata Stallza.
"Tidak juga," Forneus menyeringai. "Ini memberikanku waktu untuk melakukan ini." Forneus menepuk keempat tangannya.
Stallza mengangkat alisnya. "Tidak terjadi apa-apa," katanya.
"Coba lihat ke belakang," kata Forneus.
Stallza menoleh ke belakang. Di belakangnya kini telah berdiri ribuan kerangka manusia bersenjata lengkap yang berbaris rapi.
"Aku memiliki 29 pasukan di bawah kendaliku. Masing-masing pasukan berjumlah di atas seribu prajurit. Aku bisa saja memunculkan mereka semua di sini. Tapi kupikir untuk menghadapimu aku hanya butuh sepuluh ribu prajurit," kata Forneus bangga.
"Bagaimana caranya kau memunculkan mereka semua?"
"Dengan cara yang sama kau memanggil semua senjatamu," kata Forneus. "Hanya dengan memanggil mereka, dan mereka akan segera muncul."
~~~
Menghadapi satu monster saja sudah menyusahkan, apalagi menghadapi ribuan pasukannya dan monster itu secara bersamaan. Ribuan kerangka yang dipanggil monster itu bergerak selincah manusia hidup. Dan seolah itu belum cukup, mereka pun bertarung dengan ketangguhan prajurit andal.
"Mereka tidak ada habis-habisnya!" teriak Stallza sambil menangkis lima tombak yang mengarah padanya. Dia hanya bersenjatakan dua pedang tulang yang tumbuh dari baju zirahnya—salah satu kemampuan dari Calcis yang diterimanya saat berspiritialis dengan spiritia itu. Hygraris ikut membantunya dengan mengalihkan perhatian musuh, tetapi tetap saja jumlah mereka terlalu banyak.
Stallza menebas leher lima kerangka di depannya. Seketika kelimanya hancur berantakan. Stallza kembali mengulangi cara yang sama terhadap ratusan kerangka lainnya, tetapi itu bukan hal yang mudah. Entah sudah berapa lama Stallza bertarung di lorong ini. Entah berapa lama lagi Lan dan dua belas spiritianya akan tetap aman.
"Aku tidak punya waktu melayani kalian semua!" seru Stallza. "Argonos, muncullah!"
Sebuah bola berwarna hitam seukuran kepalan tangan dengan dua cincin yang berputar mengelilinginya muncul di depan Stallza. Cincin yang mengitari bola berwarna hitam itu berputar dengan sangat cepat dan memancarkan cahaya yang menerangi seluruh lorong. Baik Forneus maupun semua pasukannya berhenti seketika saat melihat cahaya itu. Stallza tidak membuang-buang waktu—waktu yang diberikan Argonos hanya tiga menit sebelum semua musuhnya bergerak kembali.
Stallza berlari dengan kecepatan suara dan menghantam ribuan kerangka yang tersisa dan membuat mereka semua hancur berantakan. Stallza bergerak menuju ke arah Forneus, namun waktu yang diberikan Argonos telah habis. Tepat sebelum Stallza menyarangkan pedangnya ke kepala Forneus, monster itu menghantamnya ke samping.
Stallza terhempas ke dinding dengan keras. Punggung baju zirahnya retak, tetapi tubuhnya sendiri tidak apa-apa. Stallza tidak tahu berapa lama lagi Calcis yang melindunginya bisa bertahan. Waktunya semakin menipis.
"Zenke, keluarlah!" seru Stallza.
Sesosok harimau dengan sepasang gigi taring sepanjang pedang muncul di depan Stallza. Bulunya berwarna perak dengan loreng-loreng berwarna hitam. Spiritia setinggi semeter itu menoleh ke arah tuannya.
"Kenapa baru sekarang memanggilku?" protes Zenke.
"Maaf," kata Stallza. "Tapi bisakah bicaranya nanti saja?"
Zenke kembali menoleh ke depan. Dia menyeringai. "Terserah saja. Yang penting aku bisa bertarung," katanya.
Zenke berlari dengan cepat ke arah Forneus. Monster itu menyapukan ekornya ke arah Zenke, namun spiritia itu dengan lincah menghindari ekor monster itu. "Tidak ada apa-apanya!" seru Zenke. Gigi taring Zenke bersinar. Sosoknya berubah menjadi cahaya yang berputar-putar mengelilingi Forneus. Monster itu berusaha menangkap Zenke dalam sosoknya yang seperti itu, namun sia-sia. Seperti ular, Zenke mengitari seluruh tubuh Forneus, dari kaki hingga ke lehernya, sebelum kembali ke depan Stallza.
"Sudah selesai," kata Zenke. "Sekarang kulitnya tidak sekeras baja lagi. Hebat juga makhluk ini. Pertahanannya cukup sulit untuk dilemahkan."
"Terima kasih, Zenke," kata Stallza. Dia menghantamkan kedua pedangnya ke lantai. Keduanya hancur menjadi serpihan putih.
"Kau mau menyerangku dengan cara yang sama? Tidak akan bisa!" seru Forneus. Monster itu mengangkat kedua tangannya. Seketika sebuah bola raksasa dari air terbentuk di atas kepalanya.
"Argonos, hentikan dia!" seru Stallza.
Argonos kembali berputar dan memancarkan cahaya. Sebelum sempat melakukan sesuatu untuk mengatasi spiritia itu, tubuh Forneus kembali membeku. Bola air di atas kepalanya pun berhenti bergerak.
Stallza tidak membuang waktu saat melihat tubuh Forneus tidak bergerak lagi. Dengan menjentikkan jari Stallza membuat ribuan serpihan tulang dari pedang yang dihancurkannya melesat seperti panah ke arah Forneus. Dengan bantuan Zenke kulit dan baju zirah Forneus menjadi lunak. Serpihan-serpihan itu menusuk, menyayat, dan menembus tubuh makhluk itu. Tetapi Stallza tidak berhenti sampai di situ saja. Dia berlari ke arah Forneus dan menyentuh tubuh makhluk itu. Seketika dari tempat-tempat yang ditembus serpihan tulang muncul ribuan tulang menyerupai gading. Argonos perlahan berhenti berputar. Tetapi Stallza tahu Forneus tidak akan bisa bergerak lagi.
Gading-gading yang mencuat keluar dari sekujur tubuh Forneus basah oleh darah monster itu. Bola air di atas kepalanya pecah ke segala arah, membuat semua lilin yang menerangi lorong itu padam.
"Sudah selesai," kata Stallza. Zenke, Argonos dan Hygraris telah menjadi kristal dan kembali ke dalam tasnya. Hanya tersisa Hidro dan Calcis yang masih berspiritialis dengannya.
"Selamat, peserta Stallza! Kau berhasil memenangkan pertarungan!"
Suara si makhluk merah terdengar menggema di seluruh lorong.
"Bagaimana dengan Lan!?" teriak Stallza.
"Tenang, tuan putrimu masih hidup," jawab Thurqk. "Untuk kemenanganmu ini aku akan menganugerahkan satu kemampuan Forneus untukmu."
"Aku tidak peduli! Pulangkan Lan kembali ke Ventinis!"
"Itu bukan pilihannya, peserta Stallza. Lagipula aku yakin kau akan menyukai pilihan yang kutawarkan padamu."
"Kalau aku menolak?"
"Aku akan menghancurkan tuan putrimu dan semua kristalmu."
Stallza terdiam.
"Kau tidak punya pilihan," kata Thurqk, "selain memilih apa yang kutawarkan padamu. Bagaimana jawabanmu?"
Stallza menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan di leher dan kepalan tangannya. "Baik. Apa permainanmu sekarang?" kata Stallza.
"Aku menyuruhmu memilih antara nama baik, reputasi, kebijaksanaan atau kekuatan. Manakah yang kau inginkan?"
"Nama baik? Reputasi? Aku yakin kau tidak akan memberikan itu. Kebijaksanaan akan kucari sendiri."
"Jadi kau memilih kekuatan?" tanya Thurqk mulai tak sabar.
"Ya. Aku memilih kekuatan!" seru Stallza.
"Maka jadilah itu!"
Sosok Forneus hancur bagaikan gelas. Butiran-butirannya berkilauan bagaikan bubuk emas, berputar-putar di udara sebelum bergerak ke arah Stallza dan menyelimutinya. Butiran-butiran itu meresap ke dalam tubuh Stallza. Stallza merasakan tulangnya yang retak kembali pulih dan tenaganya kembali.
"Rasakan tenaga sang raja lautan, peserta Stallza. Dan lihatlah, aku bukan orang yang tidak adil," kata Thurqk.
"Menculik orang yang tidak ada hubungannya denganmu, mengambil paksa jiwa-jiwa para pahlawan demi menjadi bonekamu, lalu kau menyebut dirimu adil?" Stallza tertawa menghina.
"Pikiranku yang sangat tinggi ini tidak akan bisa terjangkau olehmu. Yang harus kau lakukan hanya bertarung dan menang, lalu kau akan kembali ke Ventinis. Kebaikan mana dariku yang ingin kauingkari?" tanya Thurqk gusar. "Aku ini dewamu! Aku yang menciptakan kalian semua!"
"Tidak," kata Stallza. "Kau bukan dewa. Kau hanya makhluk biasa yang akan kuhancurkan."
Thurqk tertawa terbahak-bahak. Suaranya membuat telinga Stallza nyaris pecah. "Kau adalah makhluk yang sangat kurang ajar! Aku telah memberikan anugerah padamu, namun kau tetap menghinaku. Akan kuhancurkan kekasihmu itu di depan matamu! Saat kau keluar dari labirin ini, saat itulah kau akan melihatnya bersimbah darah!" teriak Thurqk.
Setelah mengucapkan kata-kata itu ruangan kembali menjadi sepi. Tubuh Stallza gemetar. Dia bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Thurqk pada Lan. Ia tidak ingin itu terjadi. Stallza tidak ingin membuang waktunya lebih lama di dalam bangunan itu. Segera dia kembali berlari menyusuri lorong labirin itu.
~~~
X
Mata Lan masih sembab, namun air matanya telah mengering. Sang putri telah berani berdiri di dalam sangkar itu. Dia bahkan berani mengintip keluar untuk melihat kondisi di bawahnya. Tidak ada si makhluk merah kejam di bawah sana. Di bawah sana ada beberapa puluh makhluk bersayap dengan kulit merah yang secara teratur mengelilingi ruangan. Beberapa makhluk serupa duduk tepat di bawah sangkar. Tungku besar berada sedikit jauh dari arah sangkar. Sedangkan pintu masuk dan keluar dari ruangan itu terletak berseberangan dari tungku besar dan dijaga empat makhluk berkulit merah.
Lan tidak melihat ada satupun kristal yang diambil dari Stallza di ruangan itu. Sang putri menghela napas kecewa. Jika saja dia bisa melihat kristal Phosporosso di ruangan itu, dia akan bisa meloloskan diri dengan cepat dari tempat itu. Satu-satunya senjata yang dimilikinya hanya sebuah belati, dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengatasi puluhan makhluk berkulit merah di bawah sana.
Kecuali dengan satu cara. Lan teringat satu cara yang bisa dilakukan dengan belati istimewa di tangannya. Tetapi cara itu sangat menyakitkan.
"Tidak ada cara lain," kata Lan pada dirinya sendiri. Gadis itu menggenggam erat belatinya. "Hanya dengan cara seperti ini aku bisa meminta bantuan mereka." Dia menarik napas panjang beberapa kali, berusaha mengabaikan bayangan rasa sakit yang akan dialaminya sebelum mengangguk mantap dan menusuk telapak tangannya yang lain dengan belati itu.
Teriakan Lan membuat semua hvyt yang menjaga di bawahnya terkejut. Beberapa hvyt terbang ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Namun yang menyambut mereka adalah ledakan yang membuat seluruh ruangan itu hancur berantakan.
Tidak ada satupun hvyt yang selamat.
Tidak ada tanda-tanda Lan di reruntuhan ruangan itu.
~~~
XI
Thurqk melangkah gusar menuju ruangan tempat Lan disandera. Tetapi yang menyambutnya adalah sebuah tumpukan batu dan asap dengan puluhan bangkai hvyt yang tertimbun di bawahya.
"Apa yang terjadi di sini!?" seru Thurqk.
Seorang hvyt datang mendekat dengan takut. "Yang Mulia, dua belas kristal yang Anda berikan pada kami hilang," katanya.
Rahang Thurqk mengeras. Dia menangkap kepala hvyt yang melapor padanya dengan tangannya dan meremukkanya seperti meremukkan kulit telur. Darah segar membasahi tangan sang dewa merah, namun kemarahannya tidak mereda juga.
"Sanderaku hilang dan jaminanku lenyap!? Kemurtadan apa yang sedang terjadi di sini! Mana semua hvyt di saat sang dewa membutuhkan mereka?!" bentak Thurk.
Ribuan hvyt segera datang dan mendarat di depan Thurqk. Mereka semua bersujud dengan muka hingga ke tanah, tidak berani menatapnya apalagi menentang sang pencipta mereka.
"Cari manusia itu dan bawa dia padaku! Sekarang!!" bentak Thurqk.
Seketika ribuan hvyt itu berpencar ke segala arah, berusaha mencari gadis yang melarikan diri itu.
"Jangan biarkan manusia itu bertemu dengan kekasihnya! Jangan kembali sebelum membawanya padaku hidup-hidup!" seru Thurqk.
Tidak ada satupun—bahkan sang dewa merah sekalipun—yang sadar pada sesosok bayangan hitam yang mengintip dari balik ceruk di dinding. Saat Thurqk pergi dari tempat itu, bayangan hitam itu bergegas pergi ke arah yang sebaliknya.
Dari semua entran, kayanya Stallza yang paling panas konfrontasinya sama Thurqk. Entri ronde ini aja seolah ngegambarin kalo dia udah deket sama klimaks canon-nya, dengan Stallza dan Lan kepencar ngebawa Spiritia di masing" tangan mereka. Ini salah satu canon yang mungkin punya potensi all-out battle kalo sampe dapet kesempatan vs Thurqk secara langsung, cuma saya sampe detik ini masih belum nangkep kenapa Thurqk rasanya cuma punya mata ke Stallza dan kayanya ga segitunya ke entran lain. Tapi karena Stallza emang tokoh utama di sini, rasanya bukan masalah juga sih
ReplyDeleteNilai 8
Njriiiit, Mulut Stalza emang pedas ya, ampe Thurqk dibuat uring-uringan kek anak SMA kena PMS.
ReplyDeleteXD
Canon Stallza sejak R1 emang udah terstruktur ya, ane kayaknya bakal ngefans sama Lan nih, secara penggambaran karakter tuan putrinya kena banget. :D
Lalu battlenya... Stalza emang jago kalo mempecundanig lawannya, termasuk Thurqk yang masih dibuat doki-doki akan "kemurtadan" yang terjadi pada dirinya, wkwkwkwk.
Ah, lupa ngasih point..
DeletePoint 7.5
:D
mungkin karena saya gak baca R1-R3 Stallza maka saya susah mendekatkan diri ke Stalza.
ReplyDeletetapi feel menghilangnya eksistensi Stalza itu bikin Kyun, dan kisahnya vs thurqk bikin wow.
di lain pihak. menambahkan karakter Lan ke cerita buat saya terkesan hanya agar ada canon besar.
which is good tetapi sampai pada kenyataan bahwa gwa lebih peduli apa yang terjadi antara Stallza dan Thurqk daripada si Lan yang menyebabkan Lan itu figuran gak penting di mata gwa.
Nilai: 6.5
Romens... aaah romens~ <3
ReplyDeletecerita ini jadi oase di tengah cerita 4L yang pernah gw baca. konflik antara Thurqk dan Stallza jadi seru dilihat karena Thurqk posisinya setara dengan Stallza. tapi di sini gw kecewa karena si dewa merah jadi ga kreatif dan rendahan ^^;
but well, somehow gw ngerasa canon ini kok ga akan berakhir dengan good ending ya?
BTW gw suka ini
"Aku memang lemah," jawab Stallza. "Tetapi ini adalah perang. Kalau aku kalah, aku tidak bisa menyelamatkan dia." kalimat ini secara implikatif menyatakan bahwa Thurqk lemah wkwkkwkwk
nilai: 8
Impresi awal pas mulai baca, saya ngerasa Stallza ini 'penting' banget. Padahal Thurqk punya belasan peserta, tapi cuma Stallza yang berhasil mencuri hati dan pikirannya, sampe-sampe dia menculik manusia hidup ke dunia merah untuk Stallza. #plak Pokoknya, someone special. Tapi bukan mau menunjuk sebuah kelemahan atau kelebihan, cuma ngasih impresi aja, hehehe.
ReplyDeleteSelanjutnya... waaaw ini cerita canonnya panjang banget. Dan pertarungan lawan Forneus yang uda ditunggu-tunggu malah selesai secepat itu. (whew) Sebenernya canonnya ngga buruk, tapi yang kusayangkan canonnya seolah menenggelamkan pertarungannya sendiri. Tapi, mungkin memang justru itu poin dari R4 ini ya, berhubung musuh yang harus dilawan pun monster antah berantah, bukannya sesama peserta? Mungkin memang ini selingan untuk ngembangin canon kali ya?
Lalu soal narasi, kalau untuk narasi saya merasa narasinya enak. Meski canonnya panjang, tapi tetep bisa diikuti karena baca narasinya enak.
Nah, memasuki pertarungan, bagian yang sangat saya sayangkan ini. Selain pendek, ada satu lagi yang perlu kugarisbawahi. Di pertarungan by 1 lawan Forneus, saya merasa ada 'kejadian yang keren tapi saya ga ngerti'. Itu, di bagian spiritia-spiritia mainan serangan kombinasi.
Jadi begini... spiritia-spiritia itu mengambil dasar dari unsur-unsur kimia kan yak? Sehingga kekuatan dari mereka juga basicnya diambil dari sifat-sifat unsur kimia tersebut? Sayangnya, karena tiap spiritia make nama unsur kimia yang sedikit divariasi, saya jadi bingung ini unsur apa yang lagi dipake, dan kemampuannya apa. XD Kuharap si hal itu bisa diakali dengan dijelaskan dulu, spiritia ini sifatnya apa, kekuatannya apa, tapi hal itu ga kutemukan di sini. Jadinya ya tadi itu, saya merasa ada kombinasi serangan kimia yang keren, tapi ga ngerti...
Dan sesungguhnya saya sangat tertarik dengan hal-hal berbau kimia ini, saya harap untuk battle-battle ke depannya dieksplor makin mantap bagian ini. Sains-fiksi banget, ini baru alchemist...
Tapi untuk sekarang kuberikan nilai 7 dulu. (y)
Hmm... walau battle dan plot yang disediakan bagus, entah mengapa saya merasa kalau perjuangan Stallza kurang terasa. Terkesan kalau dia ini karakter utama shonen manga yang terus-terusan dibikin lemah sama last boss, tapi pada akhirnya malah bertambah kuat.
ReplyDeleteDengan kata lain, saya merasa Stallza jadi semakin imba~ XD
Score 7.8
Po:
ReplyDeletePlusnya, narasi dan adegan tarung cukup gampang dimengerti. Forneusnya juga bagus krn nggak sekedar jahat aja. Kanon Stallza dan Lan jg jadi berhubungan sama Thurqk dan ngasih kesan keterkaitan yang kuat.
Minusnya, kyknya di sini Thurqk jadi penjahat kelas dua yang nggak punya power sama sekali, baik secara sifat atau kemampuan. Dia harus nyandera Lan spy Stallza nurut, mainan gertak yg gak mrmpan jg ke Stallza, kurang punya wibawa yg pantas ditakuti lah.
Ini jg pengaruh ke plot. Emang menyandera org yg disayang sebagai tumpuan alur bisa jadi senjata utk membentuk motivasi, tapi aku ngrasa pengolahan interaksi konflik segitiga Stallza-Lan-Thurqk ini belum maksimal.
Nilai dariku 7