Pages

May 20, 2014

[ROUND 2 - THVR] ENZERU SCHWARZ - DEAREST LUST

[Round 2-Thvr] Enzeru Schwarz
"Dearest Lust"
Written by Wildan Hariz

---

Bunyi gesekan dapat terdengar di tempat itu. Sesosok makhluk merah berambut mohawk bersayap hitam terlihat sedang menyeret sesuatu. Jika dilihat lebih dekat, kau dapat mengetahui bahwa yang diseretnya adalah sesosok laki-laki. Seretan demi seretan dilakukan makhluk itu dengan tenang.
Selain peristiwa itu, tidak banyak yang dapat dilihat di sana. Padahal, tempat itu terbilang luas. Bentuknya menyerupai sebuah aula, dengan pilar-pilar yang sangat tinggi. Namun, jika dilihat dari bawah, hanya ada kegelapan yang menutupi ujung atas pilar-pilar itu, sehingga apa yang disangganya tidak terlihat sama sekali.
"Kerja bagus, Hvyt," sebuah suara membuat sang makhluk merah berhenti menyeret. Dia melepaskan laki-laki yang diseretnya, dan menghempaskannya ke semacam lantai yang menjadi dasar tempat itu.
"Segalanya untuk Yang Mulia Thurqk," kata Hvyt sambil berlutut.
"Akhirnya mereka mengetahui bahwa tidak ada gunanya melawan kehendakku," Thurqk melirik laki-laki yang tergeletak tidak sadarkan diri di bawahnya.

"Sudah tiga jam berlalu sejak pertempuran para entrant yang terpilih di kelompok lain. Ini yang terakhir. Sampaikan pada Nolan untuk menyiapkan 'panggung' selanjutnya. Aku menghendakki yang terbaik. Tinggalkan saja makhluk ini di sini," peintah Thurqk.
"Baik, Yang Mulia," sahut Hvyt patuh. Dia pun terbang meninggalkan tempat itu.
Seperginya Hvyt, tubuh laki-laki yang tadinya tergeletak itu kini melayang. Thurqk tengah mengangkatnya dengan kuasanya. Dia membuat laki-laki itu melayang tanpa menyentuhnya. Kesadaran laki-laki itu pelahan dia pulihkan, sebelum kemudian dirinya memulai sebuah pembicaraan.
"Dengar. Kehilangan beberapa Hvyt bukan masalah bagiku. Aku dapat mengirim mereka sabanyak yang kalian mau untuk membuat tangan dan kaki keparat kalian bergerak, untuk membuat kalian saling membunuh."
Thurqk mendekatkan wajahnya ke hadapan laki-laki itu. Tatapan yang sangat tajam dia lontarkan pada laki-laki itu sambil mengangkat dagunya. Walaupun mata laki-laki itu terpejam, tatapan Thurqk seakan menusuk ke dalam matanya.
"Kuberitahu satu rahasia. Kematian tidak diciptakan untuk sesuatu yang konyol seperti memelihara kehidupan. Melainkan, untuk mengakhirinya. Jadi, cabutlah nyawa-nyawa itu untukku. Kau mampu melakukannya bukan, Enzeru Schwarz?"

***

Cahaya terang menyilaukan pejaman mata Enzeru. Saat matanya terbuka, yang dilihatnya adalah sebuah hari yang cerah dimana langit hanya menunjukkan sejumlah kecil awan putih segar.
"Jadi, akhirnya kau sadar juga, Entrant Bersayap Hitam," sebuah suara mengalihkan perhatian Enzeru dari langit biru. Dilihatnya sesosok Hvyt tengah berdiri membelakanginnya sambil melipat tangan.
"Lihat siapa yang bicara," balas Enzeru.
Dengan menggunakan kata "tersadar", sepertinya Hvyt tahu betul bahwa Enzeru tidaklah tertidur, bahkan tidak butuh tidur. Kesadaran Enzeru mendadak menghilang saat dia menghindari kemampuan seorang entrant bernama Celestia Hang di pertarungan sebelumnya.
"Selamat datang di pulau Thvr," sambut Hvyt, "sebelum kau memulai pertarungan, ada beberapa hal yang harus kau ketahui. Pulau Thvr ini adalah tempat yang sering disinggahi bidadari dan bidadara. Berbagai kesenangan dapat kau temukan di sini. Apa yang ingin kau lakukan dengan semua itu terserah padamu. Tapi, ada satu hal yang pasti harus kau lakukan."
"Apa itu?" tanya Enzeru.
"Mencabut nyawa," jawab Hvyt datar.
"…"
Mendengar hal itu mengingatkan Enzeru pada kata-kata Thurqk, "Kematian tidak diciptakan untuk sesuatu yang konyol seperti memelihara kehidupan. Melainkan, untuk mengakhirinya. Jadi, cabutlah nyawa-nyawa itu untukku." Perintah untuk mengambil nyawa bukanlah sesuatu yang dapat dijalankan secara sembarangan. Makhluk merah bertanduk itu memerintahnya untuk mencabut nyawa, seakan memang dia yang menciptakannya dan dapat berbuat seenaknya akan hal itu.
Hvyt melanjutkan penjelasannya, "Cabutlah nyawa satu entrant. Kemudian kembalilah ke tempat ini. Cukup mudah, 'kan? Dibandingkan dengan pertarunganmu sebelumnya yang tidak selesai dengan tercabutnya satu nyawa, tentu kau diharapkan menyelesaikan ini dengan cepat. Lakukan dalam sepuluh jam."
Entrant. Begitulah makhluk itu menyebut para peserta turnamen yang memperebutkan kesempatan untuk dihidupkan kembali ini. Sampai pertarungan sebelumnya berakhir, Enzeru baru menyadari bahwa komunikasi antar peserta sepertinya memang dirancang cukup lancar menembus batasan bahasa. Walaupun bahasa atau pilihan kata yang digunakan oleh makhluk-makhluk yang ditemuinya terdengar berbeda, tapi Enzeru masih dapat memahami maknanya.
"Satu pertanyaan," ujar Enzeru.
"Silakan."
"Jika memenangkan semua pertarungan ini dan mendapatkan kesempatan hidup kembali, apa ada kesempatan untuk bertemu dan berhadapan langsung dengan makhluk merah bertanduk itu?"
"… dengan Yang Mulia Dewa Thurqk. Tentu saja,"
"Begitu. Itu saja sudah cukup."
Segera setelah kata-kata itu terucap, tubuh Enzeru menghilang dari pandangan Hvyt. "Kalau begitu, silakan dimulai," gumam Hvyt sambil memejamkan mata. Kepakan sayap hitamnya kemudian menghempaskan tubuhnya ke udara.

***

"I don't belong here~ We've gotta move on, Dear~ Escape from this afterlife~" terdengar nyanyian dari mulut seorang pemuda berambut hitam agak acak-acakan. Bibirnya yang dihiasi tindik bergerak naik turun seiring mulutnya yang komat-kamit menyanyi. "Tunggu," pikir pemuda itu, "ada lagu yang lebih pas untuk suasana sekarang. Maksudku, lihat tempat ini. Ini sudah seperti surga. Pasti lagu 'A Little Piece of Heaven' atau 'Stairway to Heaven' lebih pas."
Tempat tidur berseprai satin tempat dia bersantai memang terlihat empuk. Pantas saja dia rela menghabiskan 45 menit di sana. Padahal, perintah untuk membunuh satu entrant masih belum dia laksanakan.
"Cause everybody gotta die some time~" Pemuda itu mengganti lagu yang dinyanyikannya. Saking asyiknya bernyanyi, pikirannya tak menyadari ada sosok yang sedang mendekatinya.
"Maaf. Bisakah kau sedikit kecilkan suaramu?"
Sesosok makhluk biru bertubuh translusen tiba-tiba muncul beberapa puluh senti dari sisi kanan tempat tidur empuk itu.
"Uwaaaaa! Makhluk apa kau ini!?" teriak pemuda itu kaget.
"Aku seekor Matoi, walaupun secara teknis aku tidak memiliki ekor."
"Matoi? Jenis makhluk apa lagi itu!?"
"Se-sederhananya, aku adalah----"
Sebelum makhluk biru itu sempat menjelaskan siapa dirinya, gelak tawa yang beragam terdengar semakin keras dan mendekat. Muncullah sekelompok gadis, para bidadari pulau ini, yang terlihat sedang "mengerubungi" seorang pria berwajah persegi yang ekspresinya berseri-seri.
Dengan sigap si pemuda bertindik menutup mulut si makhluk biru dan membawanya ke balik pilar-pilar putih yang ada di sekitar sana. Pilar-pilar itu tak beratap, hanya dihiasi kain-kain sutra tipis yang dibentangkan di antaranya. Bentuknya layaknya pilar-pilar suci di film-film berlatar Yunani yang mungkin pernah kau tonton.
"Ssssh. Dengar, aku sedang tidak terlalu berminat mengetahui lebih jauh tentang Metoi, Natoi, atau apa itu. Yang jelas, aku ingin memastikan apakah kau juga peserta pertarungan kematian ini. Pertama-tama, siapa namamu?" jelas pemuda itu sambil berbisik.
"Ng… namaku Lazuardi. Panggil saja Lazu atau Laz. K-kau?"
"Namaku Xabi. Kedua, apa yang kau lakukan di sini?"
"Berdasarkan nyanyianmu yang berenergi namun santai yang diterima organ pendengaranku sejak dua puluh lima koma tujuh menit empat puluh tiga detik yang lalu, walaupun tanpa melihat kondisi kaki, tangan, badan, pelebaran pupil, atau gejala fisik lainnya, dapat kusimpulkan bahwa, makhluk apapun kau, kutebak tidak mempunyai niat bertarung---setidaknya pada saat itu---dan sedang berada di tempat yang nyaman. Kemungkinan tingkatan nyamannya tidak jauh berbeda dengan kolam air hangat yang kutemukan dan kusinggahi sejak tujuh belas menit koma lima puluh satu detik yang lalu," Matoi itu berbicara panjang lebar.
"Ugh. Bicara apa kau? Yang barusan itu bahkan lebih rumit daripada lirik lagu thrash metal," ujar pemuda itu ketus. Pening sedikit melanda kepalanya, dia pun menggelengkan kepala dan mengerjapkan matanya.
"Baiklah, Lad. Begini, dari cara bicaramu aku yakin kau juga peserta. Iya, 'kan? Aku bisa saja melukaimu sekarang. Masalahnya, aku tidak tahu kemampuanmu. Ini mungkin tidak terlalu berpengaruh untuk sebuah ancaman dalam situasi ini. Tapi jika kau tidak memberitahu kemampuanmu sekarang, aku benar-benar akan melukaimu," sebuah jarum berukuran belati ditodongkan Xabi ke tubuh biru sang Matoi.
"Kalau---aku bilang aku bisa menyedot semua cairan tubuhmu saat kita bersentuhan, apa kau akan percaya?"
Xabi tertegun. Bagaimanapun, jika memang benar, fakta bahwa kemampuan mengerikan seperti itu dimiliki oleh makhluk sekecil itu adalah hal yang patut ditakuti. Apalagi, Xabi benar-benar tidak merasakan pergerakan makhluk itu saat tiba-tiba muncul dihadapannya.
Ini juga bukan hal yang mudah bagi Lazu. Di pertarungan sebelumnya, lawan-lawannya sedang lengah ketika dia menghisap cairan mereka. Tapi sekarangm lawannya siaga. Senjata tajam pun akan mudah membuat luka bocor pada tubuh Lazu. Xabi sepertinya memang sedang memegang kendali saat ini.
"Cuma itu? Ada lagi?" kegentaran sama sekali tidak muncul di wajah Xabi.
"Tubuhku kenyal membal dan sulit dilukai dengan benda tumpul seperti tinju, tendangan, palu, bahkan peluru. Tapi tubuhku sangat rentan benda tajam seperti itu," Lazu menunjuk jarum Xabi, "selain itu, tubuhku bisa bergerak bebas di air, tahan panas dan dingin bila tidak terluka. Aku mungkin akan menggunakan kemampuan Enshaka untuk bertahan hidup. Kemampuan ini memungkinkan bagian tubuhku mendiami tubuh makhluk lain kemudian meng-ambil-alih-nya, menciptakan satu Lazuardi lagi, seperti membelah diri. Sekian?"
Dicernanya kata-kata Lazu oleh Xabi. Mendengar itu, terbenak di pikiran Xabi strategi untuk mengalahkan Lazu. Dia mempunyai peluang.
"Aliansi," ujar Xabi, "aku ingin membuat aliansi denganmu."
"Kenapa?" tanya Lazu.
"Kau lihat pria itu, 'kan? Dia juga pasti peserta. Wanita-wanita di sekitarnya pasti bidadari. Malaikat merah punk yang mengantar kita ke sini bilang di sini memang banyak bidadari. Bodoh sekali sampai tergoda dengan yang begituan. Kita sergap saja dia. Siapapun yang berhasil membunuhnya bebas kembali ke titik awal tempat kita datang tadi. Yang lain harus pergi mencari mangsa lain."
"Tapi… aku tidak suka bertarung. Apa tidak ada cara mengambil nyawa dengan lebih beradab dan tidak menyakitkan?" Lazu menundukkan kepalanya.
Xabi menahan tawa, "Hfft… hah, lucu juga, makhluk kecil sepertimu berbicara tentang adab. Yah, kalaupun ada, aku tidak punya ide untuk jawaban pertanyaan macam itu di otak-ku sekarang. Yang ada malah pusing. Kau juga membunuh sebelum ke sini, 'kan? Kita ini sudah terlanjur dosa."
"…"
"Sudahlah. Kau tak punya pilihan."
"Mungkin kau benar? Mau didasarkan pada premis manapun juga, yang kuinginkan adalah semua ini cepat berhenti. Tapi jika sesuatu yang aneh terjadi. Aku mungkin akan berubah pikiran. Kalau hal itu terjadi, jangan marah, ya?"
"Heheheh, tidak masalah buatku," senyum Xabi mantap, sambil melirik pria misterius yang sedang bersenang-senang itu dari balik pilar.

***

Dalam perjalanan untuk menemukan entrant lainnya, Enzeru memikirkan apa yang dikatakan Thurqk. Mengapa dia menyuruhnya untuk mencabut nyawa? Bukankah setelah kiamat seluruh daun Pohon Kematian seharusnya sudah gugur? Dengan kata lain, tidak ada lagi makhluk yang hidup di alam semesta. Pekerjaan mencabut nyawa pun seharusnya berakhir.
Jika Thurqk ternyata adalah makhluk, yang dengan kata lain, ada yang menciptakan, Enzeru yakin dia pun adalah ciptaan Sang Tuhan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebenarnya. Skenario lain untuk semesta mungkin telah diatur oleh-Nya. Enzeru hanya butuh memastikan keberadaan teman-temannya dibandingkan janji Thurqk tentang kehidupan kembali.
Kaki Enzeru dipijakkan pada sebuah dahan pohon. Dilihatnya keadaan sekitar. Pulau ini terlihat seperti taman yang luas dengan banyak pilar di sana-sini, disertai semacam bangunan-bangunan kuil berwarna putih. Beberapa barang dan peralatan rumah bahkan dibiarkan berada di luar ruangan. Meja yang diatasnya terdapat beberapa piring makanan, kursi yang mengitari meja, sofa, lemari, meja rias, karpet, bahkan tempat tidur ada di sana.
Sesuatu yang menarik terlihat dari sudut pandangan mata Enzeru. Kaki Enzeru segera melakukan tolakan pada dahan tadi. Dibentangkan sayap hitamnya, tubuh Enzeru melesat cepat ke tempat tujuannya. Sebongkah boneka besar yang tergeletak begitu saja ditemukan Enzeru di tempat itu. Jika diberdirikan, tingginya seperti Ondel-Ondel yang pernah dilihatnya pada sebuah perayaan di Indonesia. Hanya saja, boneka ini lebih kecil. Bentuk dan motifnya pun berbeda.
"Maaf. A-aku tidak bisa melakukannya. Kumohon…"
Tidak jauh dari sana, terdengar suara wanita. Dua bidadara ---berdasarkan penampilan mereka yang memakai kain putih---tengah menggoda seorang wanita berambut warna-warni dengan aksesoris sayur-sayuran dan berpakaian serba hitam, untuk bermain bersama mereka.
"Ayolah, Cantik. Kami pasti membuatmu bahagia," salah satu bidadara meraih tangan wanita itu. Sebuah kecupan melayang ke punggung tangannya.
Bidadara lain menanggalkan kain pakaiannya. Dia berpose layaknya binaragawan yang menyuguhkan tubuh berototnya pada wanita itu, "Bagaimana? Apa kau tidak ingin otot-otot ini menjadi alas tidurmu?" alis mata kanan bidadara itu menggelinjang geli.
"A-ah… ampuni aku…" wajah wanita itu memerah, dia memejamkan matanya.
Kejadian itu memang bukan urusan Enzeru. Kemungkinan wanita itu adalah entrant-lah yang membuatnya bergerak menuju mereka.
"Hentikan," Enzeru menghunuskan Deathscythe-nya ke arah dua bidadara itu.
"Whoa---santai dulu, Tuan. Kami 'kan cuma sedikit menggodanya," bidadara-bidadara itu mengangkat kedua tangannya.
Wanita itu membuka matanya. Dilihatnya sesosok laki-laki membela dirinya. Dia berharap mereka tidak bertengkar karena dirinya, "Tu---tunggu. Kumohon jangan bertengkar," wanita itu melerai mereka bertiga dengan tangannya.
Salah satu bidadara melihat tatapan mata sayu wanita itu yang sangat memelas, dia pun berkata pada bidadara satunya, "Hei, a-apa tidak kita biarkan saja wanita ini? Mungkin laki-laki ini pacarnya, 'kan?" Bidadara satunya menjawab, "Hah? Menggoda memang tugas kita, tahu. Ayo kita bersenang-senang!"
Bidadara yang merasa iba bersikukuh, "Tapi ini salah. Kalau orang ini sudah punya pacar, kita tidak seharusnya menggodanya!"
"Aku bukan pacarnya," Enzeru angkat bicara.
"Tuh, dengar? Kau ini kenapa, sih? Kau mau mengajakku berkelahi!?" bidadari satunya mulai kesal.
Tak tahan melihat situasi itu, wanita itu tak sengaja mengeluarkan kekuatannya. Dalam sekejap dua bidadara itu dibuatnya melayang, "Eh?" ujar mereka bersamaan. Mereka terlempar jauh dengan kecepatan yang teratur sampai tidak terlihat sejauh mata memandang.
"… kau yang melakukan itu?" jujur saja, Enzeru terkesan dengan kejadian itu.
"I-iya, maafkan aku. Aku kelepasan. Tapi jangan khawatir, aku mendaratkan mereka dengan mulus. A—aku tidak suka pertengkaran. Kekuatanku keluar begitu saja. Eh, aduh, maaf---dimana tatakramaku, terima kasih telah membelaku tadi."
"Kau ini siapa?" tanya Enzeru mengalihkan pembicaraan. Kekuatan wanita itu lebih menarik daripada ucapan terima kasihnya. Kalimat "Kau ini apa?" sudah berada di ujung lidahnya. Namun melihat reaksi wanita itu terhadap para bidadara yang menggodanya, sepertinya kata-kata itu hanya akan membuatnya gusar tentang jati dirinya yang sebenarnya.
"Orang-orang memanggilku Mba Irwin, atau Peace Maker, kudengar juga Party Stopper… mmm… anda panggil Irwin saja juga tidak apa-apa."
Mba Irwin menawarkan beberapa buah semangka, apel, manggis, dan kiwi yang dibawanya, "Mereka memaksaku menerima ini. Mereka sebenarnya bidadara yang baik. Apa anda mau?"
"Aku tidak makan atau minum."
"Begitukah? Aku ingat pernah ketahuan mengambil buah tetangga tanpa izin. Aku malu sekali. Meskipun dulu sudah minta maaf, sekarang pun aku masih ingin minta maaf."
"…"
            "Kalau begitu, izinkan aku makan ini, ya. Permisi," akhirnya buah apel itu digigit oleh Mba Irwin, tentu saja tidak sebelum meminta maaf dahulu kepada sang buah. "Kalau boleh tahu… Tuan ini siapa?" tanya Mba Irwin ragu setelah menelan segigit apel itu.
            "…"
"Ah, maafkan aku yang lancang menayakan hal itu. Kalau anda tidak berkenan juga tidak apa-apa. Sebagai permintaan maafku, buah-buahan ini silakan anda makan sa--"
"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak makan atau minum."
"Oh iya. Ma-maaf…"
"…"
Sejak bertemu, entah sudah berapa kata maaf yang diucapkan Mba Irwin. Mau itu tulus atau tipuan, adalah hal yang riskan memberitahu identitas dirinya. Apalagi, yang dihadapinya sekarang adalah sesama peserta, yang mempunyai kekuatan yang cukup unik. "Namaku Enzeru Schwarz," ujar Enzeru tiba-tiba, "aku adalah malaikat kematian. Aku datang ke sini untuk mencabut nyawamu."

***
"Euh… maaf Nona-nona, aku tidak ingin disebut paman bejat, tapi… kalian terlihat sama menariknya dengan boardgame,. Jadi… eh, kupikir tidak ada salahnya tinggal di sini sebentar," kata Tommy tersipu malu.
Tommy, seorang pria berkacamata dan berwajah persegi, sedang berhadapan dengan beberapa bidadari. Kecantikan mereka sangatlah menggiurkan. Tubuh-tubuh elok yang dibalut kain putih itu memaksa mata tak telanjang Tommy untuk berkedip sejarang mungkin.
"Nah, begitu dong, Kakak Tampan," puji sang bidadari sambil tersenyum.
"Kalau begitu, sekarang apa yang ingin anda lakukan dengan kami? Terserah anda, lho," tanya bidadari lain.
"Ng… bermain boardgame. Apa itu aneh? Maukah kalian? Aku sangat menyukai boardgame. Eh, tapi di sekitar sini tidak ada boardgame yang bisa kita gunakan, ya."
"Ada, kok," seru bidadari itu. Dalam sekejap sudah tersedia sebuah set boardgame di tangannya. Yang membuat Tommy terkejut adalah fakta bahwa itu adalah prototipe boardgame yang dia rancang sebelum dia meninggal. "Nah, bagaimana kalau sekarang kita mencari tempat yang nyaman untuk bermain?" para bidadari meraih tangan Tommy.
"Whoa! I-ini… excellent! Sudah seperti surga saja pulau Thvr ini!"
"Ngomong-ngomong, cara bermain boardgame ini bagaimana. sih? Ajarin, dong~" ujar bidadari itu manja. Dia mengelus-elus dagu Tommy yang berjenggot tipis. Bidadari lain pun mulai melekat pada tubuh Tommy dan mengelus bagian tubuhnya yang lain.
"I-itu mudah, kok. Begini---"

***

"Mencabut nyawaku, ya…" Mba Irwin meletakkan buah-buahan yang dibawanya, "boneka aneh tadi juga mengatakan hal yang sama. Tapi setelah serangan-serangannya kupantulkan, boneka itu berhenti bergerak. Boneka malang…"
"Boneka yang tadi. Begitu, ya."
"Tuan Schwarz, apakah kita memang harus membunuh satu peserta? Kalau kita tidak melakukannya, apa yang terjadi?"
"Entahlah," jawab Enzeru seadanya.
Mba Irwin terdiam sejenak, "Kalau begitu, silakan dimulai," dia terlihat pasrah dan memejamkan matanya, "jika anda dapat mencabut nyawaku di sini, maka aku tidak akan merepotkan peserta lain. Tak ada lagi yang terluka. Lagipula aku memang seharusnya sudah mati. Semoga berhasil, Tuan Schwarz."
Diayunkannya sabit besar itu ke leher Mba Irwin. Namun sebelum sabit itu menyentuh lehernya, benda tajam itu terhenti tepat 1 cm dari leher Mba Irwin, seolah-olah ada lapisan udara keras yang melindungi lehernya.
Ditambahnya tenaga pada ayunan sabit itu, tetap saja usaha Enzeru berakhir dengan hasil nihil. Kemudian, ditebaskannya sabit itu pada bagian-bagian tubuh lain Mba Irwin berkali-kali. Sia-sia, Mba Irwin tak tergores sedikitpun.
Mata Mba Irwin terbuka. Sosok laki-laki itu masih berdiri di hadapannya. Lalu, dilihatnya tubuh berpakaian hitamnya masih utuh. Dia masih hidup.
"Tidak berhasil, 'kah? Bahkan malaikat kematian pun tak dapat mencabut nyawaku. Jika aku mempunyai kesalahan yang besar di masa lalu, kumohon ampunilah aku, dewata," Mba Irwin mendudukkan dirinya pelan.
"Normalnya, jika ini di dunia makhluk hidup, aku bisa dengan mudah mencabut nyawamu sesuai jatah usiamu. Tapi itu tidak berlaku di dunia ini. Hal yang sama juga kualami saat mencoba mencabut nyawa peserta lain di pertarungan sebelumnya. Diberkati anugerah seperti itu, Tuhan mungkin punya rencana lain untukmu."
"Begitukah? Bagaima---"
Sesaat setelah Mba Irwin mendongakan kepalanya, dia tersentak. Sorot matanya berubah.
"Ada pertarungan. Maaf, aku harus ke sana. Permisi, Tuan Schwarz," setelah mengatakan itu, Mba Irwin menghilang.
"Teleportasi ke tempat pertarungan, seperti yang diharapkan dari Peace Maker. Ada pertarungan berarti ada peserta lain," pikir Enzeru.
"Uuuuuaaaahhh!" sebuah teriakan terdengar dari jauh. Beranjaklah Enzeru memburu ke arah teriakan itu. Tubuhnya sudah tidak ada lagi di tempatnya semula.

***

Dua jam berlalu. Pria itu, Tommy Vessel, masih asyik bermain dengan para bidadari. Gelak tawa masih terdengar di sela-sela permainan.
"Oh ya. Permisi sebentar. Sebelum kita melanjutkan permainan, aku akan melemparkan dadu khususku untuk berjaga-jaga," ujar Tommy.
"Jaga-jaga? Dari apa?" tanya satu bidadari.
"Kalau ada yang mengganggu saat kita sedang main 'kan merepotkan. Hup!" dua dadu dilempar Tommy ke langit. Tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 20 cm.
"Hee~ aku tidak mengerti. Ini 'kan pulau yang damai. Tapi jika itu keinginanmu, kami tidak keberatan sama sekali. Iya 'kan?" bidadari itu menoleh pada bidadari lainnya.
"Hum," bidadari yang lain mengangguk mengiyakan.
Tommy tahu betul kalau peserta lain akan dapat dengan mudah menemukannya jika dia bersantai seperti ini. Tapi justru itulah yang dia incar. Daripada keluyuran tidak jelas mencari musuh yang bahkan dia tidak tahu bagaimana rupanya, dia lebih suka menunggu mereka tertangkap jebakan yang telah dia persiapkan. "Ini lebih praktis," pikirnya.
Lihat, dadu yang dilemparkannya sekarang menunjukkan angka satu. Selain angka lima dan enam yang muncul, berarti pemanggilannya sukses. Dengan dadu itu Tommy dapat memanggil monster atau memunculkan jebakan, keduanya mempunyai jenis yang macam-macam. Kali ini, Tommy memilih jebakan berupa pasir hisap.
Xabi dan Lazu yang melihat lagi ke arah Tommy dari balik pilar keheranan. Tommy dan para bidadari pelan-pelan meresap masuk ke dalam hamparan rumput yang menjadi alas duduk mereka. Sayup-sayup gelak tawa masih terdengar dari arah mereka seolah tidak terjadi apa-apa, sebelum akhirnya suara itu pun menghilang.
"Sial, kemana mereka!?" umpat Xabi.
"Premis menunjukkan jika ini hanya tipuan indera pengelihatan, maka sesungguhnya objek tersamarkan tetap tidak bergerak dari tempatnya semula. Mereka tidak benar-benar hilang," Lazu berkomentar.
"Intinya?"
"i.e. mereka mungkin masih ada di sana. Cobalah kau pastikan dengan ketapelmu."
Selain jarum, Xabi juga memiliki ketapel. Belum pernah dia meleset jika menembak obyek yang jaraknya kurang dari 10 m. Tangan bergelang besarnya mengambil ancang-ancang untuk menembak. Batu yang sudah diambil dari saku celananya disiapkannya sejak tadi,. Kemudian, dibidiknya tempat Tommy tadi berada. Setelah yakin, barulah batu itu meluncur cepat ke arah sana.
Alih-alih mendengar jeritan Tommy yang terkena serangan, batu itu hanya menembus tipisnya udara. Kali ini Xabi dan Lazu yakin mereka benar-benar tak ada di sana.
"Hah, tidak ada ternyata. Kita hampiri saja ke sana! Akan kukejar walau bersembunyi ke dalam tanah pun."
"Tunggu, Xabi. Kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Mungkin saja ada jebakan----"
"Peduli amat!"
Kaki Xabi memijak pada hamparan rumput tempat Tommy duduk. Lazu pun terpaksa mengejar Xabi. Tak mereka sangka, hamparan rumput yang tadinya hijau itu kini berubah menjadi pasir hisap yang siap melahap keduanya.
"… sudah kubilang…"
"Aah! Pasir sialan!"
Pasir itu kini menelan Lazu yang notabene berukuran lebih pendek.
"Sial. Sial. Sial. Aku tidak ingin mati di sini."
Melihat Lazu tertelan, Xabi tidak lantas panik. Dia memusatkan konsentrasinya, membuat kemampuan terpendamnya yang dulu tersegel bangkit.
"Dust evil…"
Debu-debu dari pasir dan segala sasuatu di atasnya yang bersentuhan dengan angin membuat suatu pusaran dahsyat. Gesekan di antaranya membuat percikan api yang semakin membesar. Sebuah tornado api besar raksasa menyeruak ke atas langit, menerbangkan pasir-pasir ke segala arah, juga makhluk-makhluk yang ada di sekitar sana.
***

Mereka mengalir deras. Dua gelombang air berukuran jumbo mengalir tak terbendung dari dua arah. Akhirnya, tabrakan pun tidak dapat dihindari keduanya. Sedikit hujan lokal pun membasahi dataran rumput sekitar akibat tabrakan itu.
"Ini merepotkan. Kenapa kau tidak mati saja, sih?"
"E-enak saja. Tunggu, kita 'kan memang sudah mati. La-lagipula kenapa kau repot-repot menyerangku dengan belati dan tonfa kalau kau ternyata bisa mengendalikan air juga?"
Dua orang sedang berseteru di sana. Seorang laki-laki berpakaian serba biru----kecuali sepatu abu-abunya---dengan leher yang dihiasi syal hijau, dan seorang gadis berjaket venetia merah muda disertai tudung yang menutupi sebagian wajahnya.
"Bidadari, bidadara, Hvyt, Thurqk, kalian… aku sudah tidak peduli lagi. Yang mana saja, kubunuh kalian semua," Lulu Chronoss, sang gadis berjaket merah muda menatap tajam lawan bertarungnya, Azraq Ibrahim.
Azraq menelan ludah. Dia memang sudah lama rentan jika berbicara dengan gadis cantik. Apalagi, kali ini gadis itu mengeluarkan kata-kata yang tidak enak. Kontras dengan perangainya yang kikuk, Azraq telah memberikan perlawanan sengit pada Lulu.
Dia kuat, ancaman yang sangat besar. Dia bahkan membuat Lulu melakukan pengendalian air jumlah besar. Lulu sangat benci mengendalikan air. Itu hanya dilakukan Lulu dalam keadaan yang tak terkendali. Selain itu, entah karena lingkungan sekitar yang terdapat beberapa kolam air panas, pengendalinya pun tak menyangka jumlah air yang dapat dia kendalikan sangatlah besar.
"Beterbanganlah kristal salju…" Azraq membuat salju dari gumpalan air bekas hujan lokal barusan. Dia berniat membutakan pandangan lawannya dengan kristal-kristal itu dan melarikan diri.
"Menyerang kemana kau ini?" Di belakangnya muncul Lulu yang entah sejak kapan sudah berada di sana. Lulu menikamkan belatinya ke punggung Azraq. Namun, sebantal salju yang empuk dengan cepat termaterialisasi dan melindungi punggungnya.
"Fyuh~ hampir saja," belum sempat mengambil napas, tonfa yang dipegang Lulu sudah menerjang ke arah wajahnya layaknya sebuah bogem mentah. Kali ini Azraq menangkisnya dengan pasak es yang telah dipegangnya sejak awal pertarungan.
"Hah… hah… hah… kecepatan mengerikan. Sejak tadi dia terus menyerangku dengan kecepatan itu. Seakan waktu selalu berpihak padanya," Azraq bergerak mundur menjaga keseimbangan.
Di tengah keadaan itu, muncul sebuah suara, "Membunuh satu entrant dalam situasi ini tentu agak sulit bagi kita berdua. Ditambah lagi, nona merah muda itu tidak mengenal ampun dalam memainkan senjatanya. Jadi, proposalku adalah: apa kau peduli untuk membentuk aliansi denganku?"
Tommy Vessel, kali ini tak ada bidadari yang bersamanya, muncul di tengah-tengah pertarungan itu. Dia menepuk-nepukkan celananya yang kotor oleh pasir. Sepetinya dia baru saja jatuh atau semacamnya.
"Hm, ide yang tidak terlalu buruk, Paman," balas Arzaq, "tapi aku tidak ingin membunuh. Aku hanya ingin gadis ini berhenti, setidaknya untuk saat ini."
"Pemikiranmu masih terlalu naif, Nak," Tommy menyiapkan dadunya. Menara dadu yang biasa dipakainya telah rusak. Jadi sekarang dia akan melemparkan dadunya secara manual.
"Pokoknya, sudah diputuskan kalau begitu. Hup!"
Angka empat muncul dari dadu tersebut. Tanpa basa-basi, muncul sebuah boneka salju dari udara. Boneka itu terlihat siap bertarung. Bola salju besar yang dipegangnya siap dilontarkan kapan saja.
"Brengsek. Muncul satu lagi bapak-bapak pengganggu," gumam Lulu sambil merangsek ke arah Tommy. Segera setelah Tommy menyadari itu, bola salju dilemparkan oleh sang boneka.
Sebelum bola itu mengenai Lulu, bola itu berhasil dimusnahkan. Serangan yang ditimbulkan oleh senjata-senjata Lulu sangat dahsyat, seakan bola itu hanyalah kacang kulit yang dibuka cangkangnya dengan mudah.
Kini, satu demi satu hantaman tonfa dan tikaman belati mengincar wajah Azraq. Sesekali juga mereka mencoba menghujami Tommy. Akan tetapi, si monster boneka salju maupun Azraq cukup ampuh melindungi Tommy sejauh ini.
Sedang asyik bertarung, mereka kedatangan seorang tamu. Tamu itu memakai pakaian serba hitam dan berambut warna-warni. Sang tamu berada tepat di tengah mereka yang sedang bertarung.
 "Kumohon. Bisakah kalian berhenti?"
Tamu itu, Mba Irwin, hanya berkata lirih. Setelah kata-kata itu terucap, terhempaslah mereka yang sedang bertarung.

***

"Uuuuuaaaahhh!" Xabi berteriak. Tubuhnya tersungkur pada rerumputan. Dengan baju compang-camping, dia mencoba bangkit.
Dilihatnya makhluk biru kecil di depannya. Lazuardi pun sedang berusaha bangkit.
"Hei, Lad! Hahahaha, kau selamat juga."
"Tubuhku memang tahan panas, tapi yang tadi itu sangat berbahaya, tahu. Masih beruntung tak ada luka bocor di tubuhku. Kalau ada sedikit saja, tamatlah sudah."
"Hahahaha, maafkan aku, Lad! Kukira kau sudah mati, sih," saat Xabi akan menghampiri Lazu, dia melihat sosok abu-abu mendekat. Sontak dia merogoh sakunya yang berisi batu dan ketapel. Sebuah batu ditembakkannya melalui ketapel itu.
Sosok itu memutar-mutar sabitnya seperti baling-baling. Seberkas asap terlihat di pisau sabit bekas terkena tembakan itu. Sekarang sosok itu menyadari kalau tembakan tadi sangat kuat. Padahal pelurunya hanya sebuah batu.
Sosok itu, Enzeru, mendekat. Lazu yang mengidentifikasi memendeknya jarak antara dia dan sosok itu melangkah mundur ke arah Xabi.
"Xabi, ini tidak diragukan lagi pasti peserta. Dan senjatanya sepertinya hanya benda tajam itu saja. Aku tidak melihat dia punya senjata lain lagi," kata Lazu.
"Kau… apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Enzeru tiba-tiba.
"Entahlah?" Ingatanku tak bisa memutar hal yang menandakan aku pernah bertemu denganmu. Mungkin kau bertemu Matoi yang lain?"
Ternyata memang bukan. Enzeru ingat bahwa makhluk biru yang pernah ditemuinya berwarna lebih tua dan pekat. Pertemuan dengan makhluk itu terjadi di tempat dirinya tersadar pertama kali setelah kematiannya, di tempat bernama Jagatha Vadhi.
"Sinar sabit yang bagus, Xabi menyeringai, skan kurenggut benda tajam indah itu darimu saat kau mati nanti. Bersiaplah! Heaaaa!"
Tebasan sabit yang cepat dan tepat sasaran sontak membuat tangan Xabi yang sedang merangsek ke arah Enzeru lepas dari tempatnya. Bunyi jatuhnya dapat terdengar dari arah kanan Xabi.
"Uaaaarrrrghh!"
"Xabi!"
Enzeru mendekati Xabi yang meringis kesakitan, "Satu nyawa. Nyawamu saja sudah cukup," ujarnya. Sabit besar itu siap menghujami tubuh Xabi. Tak disangka, Lazuardi melompat ke arah Enzeru. Punggung tangan yang memegang sabit itu bersentuhan dengan tubuh Lazu.
"Kena kau," Lazu menempel pada punggung tangan Enzeru. Air dalam tubuh Enzeru dengan cepat diminum oleh Lazu.
Merasakan kehilangan cairan dalam jumlah besar dari tubuh manusianya dalam hitungan detik, Enzeru refleks menggunakan Black Light, kemampuannya untuk berpindah pada bayangan dengan kecepatan cahaya. Lazu pun jatuh karena yang ditempelinya menghilang.
Yang bisa dicapai Enzeru adalah bayangan seseorang yang tidak jauh dari sana. Pemilik bayangan itu adalah Mba Irwin. Tidak jauh darinya ada beberapa orang yang tersungkur. Namun mereka langsung bangkit.
"Sedang sibuk di sini, Mba Irwin?" tanya Enzeru dari balik punggung Mba Irwin.
"Ah…" Mba Irwin berbalik, "Tuan Schwarz. Apa yang membuat anda datang ke sini? Kuharap bukan untuk berkelahi."
Seketika itu sebuah pasak es meluncur ke hadapan Enzeru. Tangkisan yang dilakukan sabitnya mengeluarkan suara berdesing. Pasak dan sabit itu hanya bergesekan. Serpihannya menuju punggung Mba Irwin. Namun serpihan-serpihan itu tiba-tiba menghilang. Mereka muncul lagi dari arah berlawanan, kembali ke arah sang pelempar.
Azraq dan Tommy berhasil menahan serangan balik itu dengan boneka salju.
"Oh ada satu lagi rupanya. Ini semakin merepotkan," ujar Tommy.
"Hm, padahal kerjasama kita sudah lumayan bagus 'kan, Paman. Tapi apa-apaan dua makhluk itu. Mengganggu pertarungan orang saja," Azraq merespon. Dia pun berteriak, "hei! Aku tidak mempunyai waktu main-main di sini, aku ingin segera bertemu dengan Nisa!"
Tiba-tiba, di samping Enzeru sudah ada Lulu yang mencoba menikamkan belatinya ke punggung Mba Irwin. Enzeru sama sekali tidak melihatnya, dia pun tidak sempat bereaksi.
Namun seperti yang telah diduga Enzeru, belati itu hanya berhasil menikam udara. Ada sesuatu yang menahannya sebelum sampai ke punggung Mba Irwin. Lagi-lagi, ini membuat tubuh Lulu terhempas.
Lulu benar-benar terobsesi, dia bahkan tidak menghiraukan keberadaan Enzeru di dekat Mba Irwin tadi. Kali ini pun begitu, hanya saja tikamannya  dia arahkan tepat ke kepala Mba Irwin. "Jika tikaman di punggung tidak bisa, kita lihat apa kau bisa menghindari ini juga," pikirnya.
Sebuah belati lagi-lagi melesat cepat ke arah Mba Irwin. Akurasinya mengagumkan. Butuh kemampuan yang ditempa dengan keras untuk dapat melakukan tikaman seperti itu. Alih-alih sejengkal lagi tepat mengenai dahi Mba Irwin, belati itu menghilang. Sebelum Lulu sadar akan hal itu, pahanya merasakan sesuatu yang basah dan hangat.
"Si-sihir macam apa ini…" mata Lulu terbelalak, tak percaya dengan apa yang dia rasakan saat ini. Darah segar sedang bercucuran lancar dari paha kirinya. Tubuh Lulu terhuyung, hampir membuatnya melututkan kakinya pada tanah.
Mba Irwin sendiri hanya menatap nanar orang-orang yang mencoba menyerangnya. Dia memikirkan kebencian dan kasih sayang. Mengapa kebencian muncul di antara orang-orang ini? Mengapa tidak kasih sayang yang muncul? Kasih sayang seperti yang pernah Mba Irwin dari kekasihnya saat masih hidup dulu.
"Hiks… Huaaaaaa! Huaaa! Hiks… hiks…" memikirkan itu, perlahan Mba Irwin mulai menangis.
"Berhentilah menangis," ujar Enzeru.
Alih-alih mengentikan tangisannya, Mba Irwin malah melanjutkannya dengan lebih keras. Tangisannya semakin menjadi.

***

Dua sosok tengah berciuman di taman. Helaian kain yang menutupi tubuh mereka berkerut karena tubuh mereka bersentuhan. Sosok yang laki-laki melingkarkan tangannya pada pinggul sang wanita.
Mba Irwin dan Azraq masing-masing sedang menyaksikan kejadian itu.
"Kau…" ujar Mba Irwin dan Azraq bersamaan.
Mba Irwin langsung terduduk. Matanya terbelalak sambil berurai air mata. Sedangkan Azraq, selain matanya sama-sama terbelalak, mulutnya terlihat sedang berusaha melafalkan sebuah nama.
"Ni… Ni---Ni… sa…"
Nisa adalah nama gadis yang sedang dilumat bibirnya oleh laki-laki itu.

***

Latar putih menyelimuti tempat itu. Tanpa busana, Mba Irwin dan kekasihnya kini sedang berhadapan.
Kebahagiaan. Perasaan itulah yang sangat dirindukan Mba Irwin. Gejolak rasa itu mengalir deras dalam batinnya. Mba Irwin memejamkan matanya, membiarkan rasa itu menyeruak. Dengan rasa itu, perlahan dadanya yang berdebar menjadi tenang. Detak jantungnya melambat. Semakin lambat, Mba Irwin tak mampu lagi berbicara. Dia hanya mampu membatin.
"Aku mencintaimu. Maafkan aku."
Seketika itu detak jantung terakhir Mba Irwin terdengar. Sang Juru Damai telah mati untuk kedua kalinya, kali ini dengan cara paling damai yang dapat terpikirkan.

***

"Nafsu, salah satu senjata godaan setan yang sangat ampuh," ungkap Enzeru.
Dilihatnya Mba Irwin dan Azraq sedang bertumpang tindih di hadapannya. Tommy dan Lulu juga ada di sana.
"Ilusi, 'kah? Untuk sesaat tadi sepertinya banyak gumpalan energi yang muncul dari dalam tanah pulau ini dan berkumpul pada mereka berdua," ujar Tommy.
"Sepertinya begitu. Mungkin ada hubungannya dengan emosi. Mba Irwin tadi tiba-tiba menangis. Sementara laki-laki itu meneriakan nama wanita yang katanya ingin segera dia temui."
"Tidakkah kau pikir ada hubungannya dengan cinta? Mungkin mereka sama-sama mengingat orang yang dicintainya," Tommy menyimpulkan.
"…"
"Hah, tak ada gunanya juga memikirkan itu sekarang. Kalau itu memang ilusi yang dihasilkan pulau ini yang mengakibatkan nafsu birahi mereka berdua melonjak sampai berani melakukan hal tak senonoh di depan kita barusan, ya sudahlah."
"Kesimpulanmu masuk akal," respon Enzeru.
"Yah, daripada itu, mengenai pertarungan ini, aku menyerah. Aku tidak bisa mengungguli kau atau gadis yang disana itu dalam kemapuan fisik. Kalau kau membunuhku di sini pun tak masalah. Tapi ingatlah satu hal, namaku Tommy Vessel."
"…"
Tommy mengatakan hal itu lalu beranjak pergi.

***

"Aku bisa mencabut nyawamu dengan mudah sekarang jika aku mau."
Menengadahlah Lulu. Sosok yang dilihatnya membuatnya terkesiap. Peluh di kepalanya bercucuran. Saat pandangan mata mereka bertemu, dengan cepat Lulu membuang mukanya ke arah lain. Giginya tergertak dengan sendirinya. Tekanan hebat tengah melanda dirinya.
"Tekanan ini…" tidak asing. Ini bukanlah kali pertama dia merasakan tekanan seperti ini. Menatap mata sosok itu membuatnya terselimuti rasa takut.
"Ini seperti berhadapan dengan… Blood…" gumam Lulu, "tidak, ini lebih dari itu, Blood… brengsek…"
"Blood?" tanya sosok itu. Tak ada jawaban dari lawan bicaranya. Lulu hanya menatap kosong lurus ke depan. Tatapannya hampa. Sebelum dia sadar, rasa takut telah menelan dirinya dengan lahap, rasa takut akan kematian. Maka, tidak ada lagi yang dilakukan Lulu selain terduduk saja di sana.
"… mental breakdown," tebak sosok yang ada di hadapannya. Entah apa yang dialami gadis ini, tapi sosok itu, Enzeru, yakin bahwa itu bukan sesuatu yang bagus. Berikutnya, satu tebasan membuat wajah gadis itu terpotong mendatar dari telinga ke telinganya.
Cahaya muncul dari tubuh Lulu dan masuk ke dalam Deathscythe Enzeru. Satu nyawa telah sukses dipanen. Sekarang saatnya bagi Enzeru kembali ke titika awal. Mudah baginya untuk mengingat jalan ke sana. Dia pun berpindah dengan cepat, dari bayangan satu ke bayangan lainnya untuk kembali ke sana.

***

Lingkaran merah muncul di langit. Para Hvyt sudah siap di posisi masing-masing, mendampingi setiap entrant yang masih 'hidup'. Tommy, Lazuardi dan Xabi yang didampingi para Hvyt melihat punggung Enzeru. Sementara itu, ada satu Hvyt yang mendampingi seorang pemuda berpakaian bak bangsawan yang sedang tertidur. Warna pakaiannya memang mencolok, tapi pakaian itu dan tubuhnya terlihat transparan.
Pemuda itu membuka matanya, dia menoleh ke kanan dan kiri, "Bah! Mana wanita itu? Siapa orang-orang ini!? Berapa lama aku tidur? Aaargh, malaikat merah ini lagi. Sepertinya pertarungannya sudah berakhir. Kupikir aku akan mati tadi. Eh? Kenapa wujudku seperti ini? Mana Si Gale?"
Satu Hvyt lain yang tidak membawa siapapun menghampiri Ezneru dari belakang, "Selamat, kaulah pemenang pertarungan ronde kedua ini."
"Ternyata benar sudah berakhir. Apa terjadi dengan Si Gale, ya… Aku jadi cemas. Tapi sepertinya aku lebih baik bungkam dulu untuk sementara ini. Suasananya sedang tidak enak. Di sini mereka punya wajah-wajah yang serius,"
Enzeru berbalik. Dilihatnya makhluk-makhluk yang ditemuinya tadi sudah didampingi oleh para Hvyt. Pengecualian untuk pemuda yang berpenampilan bak bangsawan itu. Enzeru belum pernah melihatnya. Meskipun begitu, Enzeru tahu betul mengapa tubuhnya terlihat transparan. Tubuhnya hanyalah roh. Entah peserta lain dapat melihatnya atau tidak, tapi ini adalah hal yang jelas bagi Enzeru.
"Di pertarungan selanjutnya, jika kita bertemu lagi, aku memikirkan untuk membuat aliansi denganmu. Hah… sepertinya kita dapat membentuk kombinasi party yang cukup kuat," Tommy tiba-tiba mengajak Enzeru berbicara.
"Berisik kau, Pak Tua! Hah… lain kali, kalau bertemu lagi, akan kubalas dengan brutal perbuatanmu pada tangan ini. Camkan itu, Sabit Sialan!" teriak Xabi.
Mendengar itu, Tommy melirik Xabi dan bergumam, "Anak itu, 'kan… anak yang waktu itu…"
"Ma-maafkan. Mungkin yang berikutnya kau akan terbunuh olehku. Tidak terkecuali kalian juga. Maafkan," Lazuardi meminta maaf.
"Terserah," respon Enzeru, "Tommy, satu hal yang jelas, aku akan memastikan keberadaan teman-temanku. Lalu, dengan atau tanpamu, akan kupastikan tujuan makhluk bernama Thurqk itu."
Bergeminglah para Hvyt mendengar hal itu.  Namun, salah satu dari mereka mengisyaratkan yang lainnya untuk tenang.
"Dasar entrant tidak tahu diri, seenaknya saja memanggil nama Yang Mulia Dewa Thurqk. Jaga ucapan kalian."
Tanpa menghiraukan kata-kata Hvyt, Enzeru memalingkan pandangan wajahnya ke arah suatu dataran rumput kosong. Dari sana muncul bayangan seseorang yang terasa tidak asing baginya. Sayup-sayup terdengar suara dari arah sana.
"Schwarz, aku mencintaimu. Boleh?"
Seketika itu juga bayangan tersebut lenyap. Sedikit takjub dengan peristiwa itu, Enzeru sempat memandangi dataran kosong itu selama beberapa saat, sebelum kata-kata berikutnya yang dia dengar membuyarkan lamunannya.
"Sudah waktunya berangkat," perintah Hvyt sambil mengulurkan tangannya, "Ayo. Peganglah tanganku."
"Singkirkan tanganmu," ujar Enzeru dingin, "Aku bisa terbang sendiri," Enzeru pun mengeluarkan dua sayap hitam di punggungnya, Hallowed Wings. Kemudian, dia terbang menuju lingkaran merah.
Ekspresi Hvyt terlalu datar untuk menampilkan rasa kesal atau tersinggung. Dia berujar seadanya.
"Terserah."
Dia pun mengangkat wajahnya untuk memandang ke atas sejenak, lalu terbang mengikuti Enzeru
Hal yang sama dilakukan para Hvyt yang memegangi entrant lainnya. Dengan Enzeru di depan, para peserta dan kawanan bersayap itu kini hanya memiliki satu tujuan: menuju lingkaran merah untuk meninggalkan pulau laknat yang bernama Thvr ini.

6 comments:

  1. entri ke-9 :3

    lagi2 dapat julukan 'the deadline killer" :3

    lanjut ya kak..
    saya suka dengan cara kakak menuliskan "dialog"nya. bukan "narasi". saya tulis kayak gitu, soalnya memang dialog para tokoh terkesan murni, ga dibuat2. untuk "narasi" sendiri, saya ngerasa sih sebenernya udah bagus, tapi masih ada beberapa bagian yg mesti diperbaiki lagi diksinya. misalnya kayak gini.

    "Mereka mengalir deras."

    kalo cuma baca 1 kalimat, saya pikir itu manusia. tapi ternyata benda mati. setahu saya sih, kalo obyeknya itu benda mati, agak janggal juga kalo ditulis pake kata ganti makhluk hidup. mungkin bisa diganti pake "benda itu," atau diksi lain yg lebih pas. ya... sebenernya ga ada larangan sih, tapi entah kenapa saya ga terlalu suka kalo kata ganti makhluk hidup-benda mati dipake campur aduk.

    battlenya secara umum bagus, tapi baru mulai di 1/3 paruh akhir cerita. konten lustnya ga terlalu kerasa sih kayak ceritanya kak rendi, tapi entah kenapa saya suka (atau mungkin gara2 saya ga suka cerita mesum ya ^///^). cuma, yg ga saya nangkep itu kenapa mba irwinnya mendadak mati kayak gitu? dan lagi2 saya ketemu ama author yg ga bikin semua pesertanya mati. hehehe... walaupun OCnya sendiri malaikat pencabut nyawa.

    overall, saya ngasih nilai 7, gara2 mba irwinnya itu.
    semangat kak >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, thanks lagi, Lazu. :D hm, yaah, or rather, killed by deadline -_-a

      Kenapa saya pake kata 'mereka', ya. Kepikiran gitu aja sih itu, hahaha. Mungkin emang baiknya saya ilangin atau ganti aja, ya.

      Enzeru di sini ga terlalu beringas kayak R1 sih. Target awalnya mau ngacak-ngacak perasaan Mba dengan fakta bahwa Enzeru-lah yang ternyata nyabut nyawa kekasihnya Mba waktu masih hidup. Ide ilusi yang ada buat nyepadanin sama Azraq yg pengen ketemu Nisa (padahal bisa juga dibuat ternyata habis Azraq mati di dunianya, si Nisa bunuh diri dan dicabut nyawanya sama Enzeru). Tapi pas mau disatuin, ga nemu jalan buat ngehubungun ke Mba-nya lagi. Jadilah ide ilusi yang ke-trigger karena Azraq & Mba mikirin org yg dicintainya, seperti kata deskripsi pulau Thvr, "sama aja dengan bunuh diri")

      Delete
  2. Anonymous27/5/14 15:17

    D. Lanjung:
    Maaf baru baca, secara keseluruhan, karya yg kedua ini lebih baik daripada yg ke 2, tulisannya rapi, gak banyak typo atau semacamnya (malu punya sendiri banyak typonya) dan terutama gaya bahasanya, saya suka.

    Kemampuan tiap karakter sudah diceritakan dengan lumayan detil tapi adegan battlenya agak kurang sih. Soal setting cerita, mungkin kurang tereksplor. Endingnya juga mungkin terburu-buru.

    Tapi ada semacam hint tentang masa lalu Enzeru sebagai manusia, "Schwarz, aku mencintaimu. Boleh?" siapa kira-kira orang yang terasa tak asing bagi Enzeru tsb? ^_^

    Nilai: 8,5

    ReplyDelete
  3. Waah, makasih banyak kang dendi XD nilainya gade banget. Hum, begitulah, masih kurang gereget pokoknya terutama setting & battle, ya. Hehehe, yeap, itu emang hint masa lalunya. Ada deeh~ :D

    ReplyDelete
  4. Lagi2 jadi entrant terakhir. Kayaknya sengaja ya? Biar canon-nya nggak tenggelem dan selalu ada di bagian atas blog. *menatap curiga*

    Soal narasi dan dialog masih gaya-gaya manga. Mungkin perlu mulai belajar bagaimana menarasikan cerita gaya novel. Yah, sebenernya bukan hal yang jelek sih, cuma jadinya agak terlalu banyak tell. Dan author moi menyatakan kekecewannya karena porsi mesum di pulau lust ini kurang yahud! :v
    7 dari moi

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -