[Round 2 - Mhyr] Salvatore Jackson
"Escape Laziness"
Written by Dendi Lanjung
---
"Kill or be Killed? Its Survival Time"
[Catatan Akhir Sang Monyet dan Moonlight Scarlet]
Kota kecil itu sangat sunyi, tidak terdengar apapun sejauh pendengaran Sal. Di sekeliling bangunan yang sudah hancur akibat jatuhnya pesawat jet tempur, ratusan mayat penduduk yang berbau busuk akibat pengaruh lalat parasit tampak bergelimpangan.
Salvatore hanya berdiri diam di puncak reruntuhan bangunan tersebut, di sebuah atap yang hampir tak berbentuk, tubuh dingin seorang gadis belia tergolek di sampingnya. Gadis berambut perak itu bernama Luna, kota ini adalah tempat tinggal Luna sewaktu masih hidup. Dan sekarang untuk kedua kalinya gadis itu mati.
Sal agak malas menyentuh mayat peserta lain yang bisa dibilang sangat mengenaskan; wanita yang kehilangan kepala, tulang belulang yang dikerubuni lalat, dan wanita berbau busuk dengan lubang di kepalanya. Itulah kenapa Sal hanya membawa tubuh Luna supaya terpisah dari mayat-mayat yang lain.
"Sungguh ajaib Aku bisa selamat tanpa terluka, Jambu keberuntungan sepertinya masih berpihak padaku."
Dilihatnya wajah Luna yang terbaring. "Planet asalku, Meteo, punya banyak bulan, total ada lima, rupa-rupa warnanya, merah, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Sayang tidak ada bulan hijau, padahal itu warna favoritku."
"Kalau kita diberi umur panjang, akan kuajak kau kesana, hmm, tapi kita sudah mati sih." Sal pun kemudian meniup suling kesayangannya.
Di saat itulah tiba-tiba datang sesosok makhluk bersayap menerjang dengan cepat, tepat di atap yang sedang diduduki Sal.
BRUAKK!!
Atap yang terbuat dari keramik itupun hancur seketika. Sal yang melihatnya hanya tertawa, tentu saja dia tertawa setelah berhasil menghindar sambil membawa jasad Luna.
Makhluk bersayap itu adalah Hyvt yang ditugaskan untuk menjemput Sal kembali ke Jagatha Vadhi. Tapi karena suatu sebab, Hyvt tersebut terlihat sangat marah.
"Mau sampai kapan anda melawan? Dewa Thurqk memerintahkan saya untuk menjemput anda setelah memenangkan babak ini, kenapa anda tidak mau ikut?" Ujar Hyt itu dengan kesal.
"Sudah kubilang tunggu sebentar!" Balas Sal. "Aku hanya perlu beberapa menit lagi kok."
"Kita sudah telat 4 jam! 4 kali anda telah mengusir saya dengan sihir aneh itu!" Ucap Hyvt. "Anda pikir kami tidak tahu tentang kemampuan anda? Kami tahu kemampuan anda sangat bergantung kepada energi sihir yang anda sebut Irama Alam, dan jika Irama Alam tidak tersedia, anda akan menggunakan Irama Jiwa."
Sal hanya tersenyum sinis dan menatap remeh Hyvt tersebut.
"Di dunia ini tidak ada Irama Alam, dan sewaktu anda mengusir saya sampai empat kali... Anda sudah menghabiskan Irama Jiwa anda!" Lanjut Hyvt tersebut. "Kami tahu, Irama Jiwa mengambil langsung dari jiwa anda sendiri dan pastinya sangat terbatas!"
Sal tidak menjawab apapun, dan hanya memalingkan muka ke arah timur, seberkas sinar terlihat dari ufuk langit.
"Tuan Salvatore, apalagi yang anda--" Belum sempat Hyvt menyelesaikan ucapannya, Sal pun berkata.
"Sudah kubilang... ENG-KE-HEU-LA!" Teriak Sal tiba-tiba.
Hyvt yang mendengar hal itu terkejut dan mencoba menutup telinganya, walau tentu saja hal itu sudah terlambat. Sudah empat kali dia mendengar kata 'Engke-Heula' diteriakkan Sal, dan untuk keempat kalinya dia kemudian hanya berputar-putar di atas langit selama satu jam di setiap teriakan, berarti total sudah empat jam dia menunggu dengan terbang berputar-putar tidak jelas.
Tapi setelah beberapa saat, kali ini tidak ada reaksi. Hyvt yang menyadari kalau perkataannya benar, terlihat semakin kesal.
Sal yang melihatnya hanya terkekeh. "Kau benar, Aku sudah kehabisan Irama Jiwa dan sekarang Aku sangat lelah, tapi Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Lihatlah!"
Sal menunjuk ke arah berkas sinar tersebut. Itu adalah sinar matahari pagi.
"Aku hanya ingin menunjukkannya pada anak ini." Ucap Sal sambil melihat ke arah Luna. Sinar mentari pagi perlahan mulai menyinari wajah gadis itu, rambut peraknya tampak indah berkilauan. Tapi wajah itu tetap tak berubah, dingin dan menyiratkan kesedihan.
"Tapi sudahlah, bawa Aku sekarang." Ucap Sal sambil mengangkat kedua tangannya tinggi.
"Hei, karena sudah pagi, cobalah kau berkokok." Tambah Sal sambil tertawa.
Hyvt yang mendengar hal itu hanya mendengus geram, tapi dia tak berkata apa-apa lagi dan dengan sigap meraih kedua tangan Sal dan membawa monyet raksasa itu pergi dengan kasar.
Kedua makhluk itu pun terbang meninggalkan Luna dan dunianya yang mati. Meninggalkan mentari yang baru saja bangun dari peraduannya, memancarkan sinarnya tanpa peduli bahwa tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menyambutnya.
Tanpa disadari oleh Hyvt, bersamaan dengan terbitnya matahari, kumis Sal bergetar pelan.
•••
[Ekstra: Pariwara]
Tema kita kali ini adalah tentang 'Kemalasan.' Tapi sebelum kita beranjak ke cerita, kita perlu tahu dulu apa itu kemalasan.
Kemalasan berasal dari kata malas, yang berarti berdiam diri tidak mengerjakan sesuatu. Orang yang dihinggapi kemalasan biasanya akan berat untuk bergerak, dan lebih memilih untuk memindah-mindah channel TV untuk mencari acara gaje yang lebih menarik acara gaje sebelumnya, daripada menyelesaikan PR-nya, tugasnya atau apapun itu yang diwajibkan padanya.
Dia akan diam selama berjam-jam tanpa bergerak dengan tatapan mata yang kosong seperti mayat hidup.
Tapi anda jangan sampai terjebak, tidak semua bentuk kemalasan itu seperti yang disebutkan di atas. Di jaman yang serba cepat di mana waktu sudah tak lagi berjalan, tapi berlari. Di mana teknologi semakin berkembang, dan kebudayaan kian berevolusi, begitu juga bentuk kemalasan.
Bentuk kemalasan yang saya maksud adalah ketika orang yang seharusnya menunaikan tugasnya, tapi kemudian perhatiannya teralihkan kepada hal yang jauh tidak produktif dari yang semula dikerjakannya. Contohnya, pegawai yang sudah ditetapkan berapa lama jam kerjanya tapi kemudian melama-lamakan waktu istirahatnya. Atau pelajar yang seharusnya belajar tapi kemudian bermain-main ke pusat perbelanjaan dan bekeliling kota dengan kendaraan roda dua milik ayahnya.
Atau penulis amatir yang diwajibkan untuk menyelesaikan cerita dalam waktu tiga minggu, tapi malah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain game atau mengecek berita di media sosial atau menonton acara lawak yang tayang setiap pukul sembilan malam lebih.
Sungguh penulis yang menyia-nyiakan waktu seperti itu termasuk orang-orang yang merugi. Persis seperti saya.
Nama saya Cah Lanjung. Saya adalah penulis musiman yang mencoba terbebas dari belenggu kemalasan. Semoga isi cerita ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan anda. Karena tulisan ini hanyalah hiburan semata.
Salam Writer.
•••
[KEMBALI KE JAGATHA VADHI]
Salvatore, dibaca Sal-pa-to-re, tersentak dari lamunannya. "Sialan, kenapa Aku malah teringat acara TV itu?"
Monyet besar itu pun terbangun dari duduknya, dilihatnya tempatnya berada. Dia kembali ke tempat itu lagi, yaitu sebuah lapangan yang dikelilingi pohon merah yang disebut Rachta. Dia kembali ke Jagatha Vadhi.
Namun kali ini jumlah orang yang berada di tempat itu berkurang setengahnya. Sal tahu karena lapangan beralas baru merah yang tersusun tak alami itu tampak lenggang dan tak seramai sebelumnya.
Dia melihat seorang wanita tentara yang sedang merawat senjata-senjatanya, ada juga wanita berambut putih yang berbicara sendiri, dan boneka beruang yang berseteru dengan makhluk berantena panjang, entah apa yang membuat mereka berseteru. Dan juga mahkluk-makhluk aneh lainnya. Sal tidak mengenal nama-nama mereka, tapi satu hal yang pasti, tubuhnya sekarang yang paling tinggi.
Namun kemudian perhatiannya terfokus pada seorang wanita berbaju lusuh & kotor, wanita itu dikelilingi lalat-lalat seukuran biji salak yang terbang dengan betahnya. Tapi bukan hal itu yang menarik perharian Sal, adalah bau menyengat dari wanita tersebut.
"Si wanita lalat!" Secara refleks Sal langsung menutup hidungnya. "Kenapa dia di sini? Dan kenapa dia masih hidup?"
Monyet kribo itu kemudian teringat saat babak pertarungan pertama. Si wanita lalat jelas-jelas mati tertembus peluru dari senapan Luna. Tepat menembus kepalanya.
"Kalau dipikir lagi, Aku tak melihat Luna dan si malaikat muda, juga si wanita seksi penyihir batu. Kenapa malah dia yang ada di sini?"
Wanita berambut kumal, dan berkacamata retak itu seakan tersadar sedang diperhatikan, kemudian menoleh ke arah Sal.
"Glek!" Sal menelan ludah. Dengan langkah santai si wanita mendekati Sal.
Sal berniat kabur dengan Langkah Seribunya, tapi dia ingat sudah mencoba jurus itu sebelumnya dan tak ada jalan untuk melarikan diri selain bersembunyi. Dia tentu saja tak akan melakukannya karena Sal tak mau dicap pengecut, apalagi lawannya hanya wanita kurus pendek yang tak terawat.
"Tapi lalat-lalat itu bikin ngeri juga sih." Untuk jaga-jaga, Sal pun mengeluarkan suling bambunya.
Si wanita lalat itu berdiri di hadapan Sal. Dan kemudian tersenyum.
"Hai, nama Aku Nurin." Ucap wanita tersebut. "Dari semua orang di sini, kayaknya cuma kamu yang terus liatin Aku, yang lain kayak yang ngehindarin gitu."
Dalam hati Sal berkata. 'Sadar diri dong!'
"Namaku Salvatore Jackson." Jawab Sal. "Kita memang belum pernah berkenalan sih."
Wanita bernama Nurin itu memandangi Sal dengan teliti. Tak terlihat terintimidasi dengan sosok Sal yang tinggi besar, berkumis aneh pula. Tapi dengan kemampuannya, wajar kalau dia tak merasa takut, apalagi ada beberapa orang yang lebih aneh lagi selain Sal di tempat ini.
"Yang kamu pegang itu suling ya? Jangan-jangan kau salah satu monster yang pernah ngebantai penduduk Jakarta itu ya?" Tanya Nurin. "Kamu di babak pertama masuk di grup mana?"
"Jakarta? Monster? Apa sih yang kau omongin?" Balas Sal sedikit heran, kenapa wanita itu seperti tidak mengenalnya. Apa dia pura-pura?
"Tolong jangan dekat-dekat!" Bentak Sal.
"Kenapa?"
"Kau sadar gak kalau bau tubuhmu itu menusuk hidung?"
Sal sadar kalau berkata seperti itu pada seorang wanita adalah tindakan yang sangat tidak sopan. Tapi seorang wanita yang tidak merawat diri dan malah membuat pria menjauhinya justru lebih tidak sopan, karena bagi Sal kecantikan wanita adalah anugerah dan tidak seharusnya dikotori seperti itu.
"Apa-apaan baju itu, terus celananya? Kau seharusnya lebih memperhatikan penampilanmu." Tanpa memperdulikan reaksi Nurin yang terlihat menahan emosi, Sal melanjutkan ucapannya. "Hei, Nak, mungkin kau berniat cuek, tapi kau malah mengganggu ketertiban umum tahu!"
Nurin agak tersentak mendengar hinaan Sal. "Suka-suka Aku dong! Asal bisa ngelakuin hal yang Aku mau, Aku gak perlu mikirin pendapat orang lain tentang penampilanku! Urus aja urusanmu sendiri"
Lalat-lalat di sekitar Nurin mulai berputar-putar kencang, dan terlihat seakan mau menyerang Sal. Mungkin lalat-lalat itu ikut terpancing emosinya mendengar majikannya dihina-hina.
Menyadari akan adanya bahaya, Sal dengan refleks menjauh ke belakang. Sepuluh meter jauhnya. "Ho, mau menyerangku dengan lalat ya? Coba aja kalau berani, Aku pasti bisa... Menghindar dengat cepat."
Nurin menatap Sal dengan tajam. Kemudian Nurin teringat sesuatu. "Kamu di grup I juga ya?"
"Iya, aku adalah 'The Last Monkey Standing' dan kau adalah Nurin, iya kan?"
"Jadi kamu di grup I juga, tapi kayaknya kita gak pernah ketemu ya? Soalnya Aku pasti ingat kalau pernah ngeliat kamu." Ucap Nurin yang dibalas Sal dengan tatapan bingung.
"Tidak mungkin, jelas-jelas kita saling melihat, kau bahkan berniat membunuhku dengan lalat-lalatmu itu."
Nurin mengerutkan alisnya tanda tidak paham. "Yang jelas Aku berhasil ngebunuh kamu kan? Soalnya lawan terakhirku adalah cewek ABG berambut perak, dia pake senapan, lalu setelahnya Hyvt datang dan manggil Aku sebagai pemenang."
"Enak aja, Akulah yang hidup paling akhir, kau sendiri tewas di tangan Luna, gadis berambut perak yang kau sebut tadi. Malahan kau sempat bergoyang dangdut setelah mendengar sulingku." Balas Sal.
"Eh, masa?" Baik Nurin maupun Sal kemudian saling berpandangan.
"Apa tiap peserta punya realitas pertarungan yang berbeda-beda? Apa tiap peserta berakhir dengan kemenangannya sendiri? Di pertarunganku Akulah yang menang, dan di ceritamu kaulah yang menang, apa seperti itu?" Nurin tampak berpikir, wanita itu seperti melupakan pertengkarannya barusan dengan Sal.
"Mungkin saja. Tapi kalau memang begitu, mungkin segalanya jadi lebih masuk akal." Balas Sal. "Soalnya Aku masih tidak percaya soal Dewa Truk itu, jangan-jangan dia sebenarnya Dewa Trik."
Nurin hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Sal. Melihat itu Sal kemudian berkomentar. "Kalau saja kau mau merawat diri, mandi terus keramas, luluran dan ganti pakaian dengan yang lebih bersih. Pasti kau jauh lebih cantik."
Nurin tampak terkejut, tak menyangka ada seseorang yang memberi saran positif tentang penampilannya, walau penampilan orang tersebut tak bisa dikatakan positif juga sih. "Tapi kalau gitu, lalat-lalat ini akan menjauhiku dong. Lagian sudah kubilang kan, gak usah mikirin tentang penampilanku!"
'Cewek aneh, sama aja kayak si Luna.' Batin Sal.
•••
Perhatian mereka berdua kemudian teralih ketika terdengar suara dari atas langit. Sebuah layar hologram raksasa kembali muncul di atas langit Jagatha Vadhi. Para peserta yang lain pun mau tidak mau memfokuskan pandangannya pada hologram tersebut.
Layar raksasa itu menampilkan suasana di halaman Istana Devasche Vadhi, istana tempat para peserta pertarungan dikumpulkan sebelumnya.
"Itu 'kan Istana Disney Kematian." Ucap Sal.
Terlihat di layar tersebut, sosok yang disebut sebagai Dewa Thurqk berjalan dengan jumawa di halaman istana. Tak berapa lama, sejumlah Hyvt mendarat mulus di hadapan Dewa tersebut. Dua belas Hyvt membawa dua belas sosok makhluk lainnya. Mereka adalah para peserta yang dianggap membosankan oleh sang dewa.
"Itu si wanita seksi penyihir batu." Ucap Sal. "Ternyata dia bisa dihidupkan lagi, eh, di realitas pertarungan miliknya seharusnya dia yang menjadi pemenang kan? Tapi kenapa?"
"Kau masih ingat kata-kata si dewa merah, 'jangan membuatku bosan!' Bisa jadi realitas pertarungan yang dilakoni dia tidak mengesankan si dewa." Jelas Nurin sambil tersenyum penuh makna.
"Uh, jadi tak cukup hanya dengan menang, kita juga harus bertarung secara bombastis ya?"
Nurin hanya mendongakkan kepalanya mendengar kata-kata Sal. Mereka kemudian melihat Thurqk memandang ke arah kamera, tatapannya tajam mengarah pada siapapun yang sedang menyaksikannya, termasuk Sal dan Nurin. Sesaat kemudian senyuman jahat tersungging di wajahnya. Baik Nurin maupun Sal hanya bisa meneguk ludah.
"Saksikanlah, wahai makhlukku! Di sini, Devasche Vadhi, Aku akan memberikan peringatan nyata kepada kalian semua yang menyaksikannya." Ucap Thurqk dengan suara yang menggelegar.
Kejadian selanjutnya bagai sebuah film sadis yang mengumbar darah dan adegan mutilasi. Drama pertarungan yang sebenarnya berat sebelah, dua belas makhluk mengeroyok seorang pria. Hanya saja dilihat dari manapun, ke dua belas makhluk yang mengeroyok terlihat bagaikan kelinci yang mencoba mengalahkan singa.
"Kau bukan singa." Ucap Sal pendek. Pandangannya mengarah ke arah wanita penyihir batu yang pernah membuat dia repot sebelumnya. Celestia tampak tak bisa berbuat apa-apa.
"Oi, mana kutukan batu yang sebelumnya kau lancarkan?" Ucapnya marah.
Di saat Sal sedang fokus menyaksikan pertarungan, tiba-tiba insting hewaninya mencium sebuah bahaya. Dekat, sangat dekat. Puluhan lalat terbang menerjang Sal dari arah belakang.
Dengan cepat Sal menghindar, tapi terlambat. Beberapa ekor lalat telah memasuki bahu kirinya, merobek kemeja putihnya dan membuat Sal meringis kesakitan.
"Kau! Apa yang kau lakukan?!" Bentak Sal.
Wanita yang ditanya hanya tersenyum. "Gak ada maksud apa-apa, cuma pengen senang-senang aja."
"Huh, dasar wanita licik, menyerang dari belakang!" Umpat Sal sambil memegani lukanya, darah merah mengalir deras membasahi belakang kemejanya. Dia merasakan semacam sensasi aneh di dalam bahunya. Ada makhluk yang bergerak di tempat luka itu menganga. Sementara itu dilihatnya Nurin seperti bersiap akan menyerang lagi dengan menggunakan pasukan lalatnya.
"Cuma untuk bersenang-senang ya? Aku juga punya satu jurus yang bisa membuatmu terluka."
Mendengar perkataan Sal, membuat Nurin siaga. "Coba saja!"
"Nama jurus itu adalah... KA-DU-HUNG!" Teriak Sal.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam.
"Ng, mana jurusnya?" Tanya Nurin masih tetap siaga. "Kaduhung itu kalo gak salah artinya nyesel kan? Apa sih maksudnya?"
Sal kemudian tersadar sesuatu hal yang membuatnya merinding. 'Sial, wanita ini sepertinya gak punya rasa menyesal!'
Jarak Sal dan Nurin sebenarnya cukup dekat, dia bisa saja menerjang wanita tersebut. Dia tahu dia bisa saja mengalahkannya, tapi faktor bau dan ketidaktahuan Sal akan kemampuan lain si wanita lalat membuatnya ragu untuk bergerak.
Sebenarnya ada satu lagi alasan kenapa Sal tak mau menyerang wanita tersebut, sebuah pantangan yang dipegangnya sejak dulu yaitu untuk tidak menyerang wanita. Apapun alasannya dan seberapa pun bencinya Sal pada seorang wanita, dia tidak akan berani melukai wanita tersebut.
Atas dasar alasan itulah, Sal memilih untuk kabur secepat kilat ke arah pepohonan.
"Eh?!"
Nurin cukup terkejut melihat pergerakan Sal yang tak terlihat mata. Khawatir akan serangan mendadak, Nurin pun semakin waspada. "Cih, kemana dia?"
"Padahal diantara peserta yang lain, dia yang terlihat paling tinggi. Kayaknya cocok kalo dijadiin tunggangan."
•••
Sal berhasil lolos dari penglihatan si wanita lalat dengan bersembunyi di balik pepohonan Rachta. Tangannya masih memegangi bahu kirinya yang terluka, sementara darah terus mengalir dari luka tersebut.
"Lalat-lalat ini harus cepat dikeluarkan, kalau tidak Aku akan berakhir seperti para penduduk itu. Ini seperti kejadian waktu di planet Thriller, Aku hanya perlu menarik... uh, mencabut... uh!"
Semakin lama kesadaran Sal semakin hilang. Nafasnya mulai tak beraturan, pun dengan pandangannya matanya yang semakin tidak fokus. Sal tahu ini mungkin akhir riwayatnya, walau memang pada dasarnya dia sudah mati. Tapi mungkin dia tidak akan menjadi dirinya sendiri, dia hanya akan menjadi boneka si wanita lalat.
Di detik-detik itulah, tiba-tiba terdengar suara yang hanya bisa didengar oleh Sal.
'Boot, bangunlah!'
Kesadaran Sal seketika itu kembali, tangan kanan kemudian Sal meraih ke lubang luka di bahu kirinya. Dan tanpa ampun mencakar, mengoyak, merabut daging yang telah terinfeksi lalat pemangsa di dalamnya.
"GROAAARRR!!!"
Sal berteriak sejadinya, suara yang dikeluarkannya bukanlah suara merdu khas seorang Mustachio, tapi erangan binatang buas yang sedang mempertahankan hidupnya.
Satu, dua, sampai lima lalat pemakan daging direnggut paksa dari dalam tubuhnya. Semua lalat itu kemudian diremasnya dengan kasar, untuk kemudian dihempaskannya bangkai serangga itu sejauh mungkin.
Setelah itu yang tersisa hanya rasa lelah, dan nafas yang terengah-engah.
"Sialan, padahal baru saja Irama Jiwa-ku pulih kembali..."
Sal terdiam, masih merasakan sakit yang berdenyut di bahunya. Tapi setidaknya dia tak merasakan sensasi aneh itu lagi.
Dia kemudian mengambil sulingnya, dan berniat untuk memainkan sebuah Muse Resital. Tapi nyeri yang diderita bahunya membuat tangan kirinya sulit untuk bergerak, apalagi untuk dipakai memainkan suling. Walau dia masih bisa menggerakkan jari-jarinya, tapi dia sama sekali tak bisa mengangkat lengannya ke atas.
Menyadari hal tersebut, Salvatore hanya bisa tertawa terbahak. "Nasib duh nasib, hahaha."
"Aku penasaran, di sini ada Babadotan gak ya?" Ucap Sal sambil melihat kesana kemari. "Tapi Aku ragu, semua pohonnya berwana merah. Aku butuh kekuatan alami dari duniaku."
Di Sal kesakitan seperti itu, dari atas terdengar suara. "Kita bertemu lagi, Tuan Salvatore. Sekarang sudah waktunya babak kedua."
Sal yang terkejut segera melihat ke arah suara, tapi keterjutan Sal tak bertahan lama. "Ah, kau, si ayam merah--"
"Anda bisa memanggil saya Hyvt." Potong Hyvt yang sepertinya protes karena dirinya selalu diasosiasikan dengan unggas ternak itu.
"Iya deh, Hyvt, tutur katamu seperti si malaikat muda, sangat sopan. Apa semua Hyvt bersikap sepertimu?" Tanya Sal.
"Tidak. Walau semua Hyvt terlahir sama, tapi ada beberapa sifat khas kami yang dibedakan, walau tentu secara keseluruhan sifat dasar kami sama. Ini semua adalah kehendak Yang Maha Mulia Thurqk."
"Jadi intinya fisik kalian diklon besar-besaran oleh si Truk, tapi tidak roh kalian? Si Tryuk itu kerjanya setengah-tengah."
"Kalau saya jadi anda, saya akan menjaga setiap perkataan yang keluar dari mulut. Karena setiap Hyvt dilengkapi dengan mata kamera yang merekam setiap kejadian yang dilihatnya, termasuk saya." Geram Hyvt. "Tapi yang anda katanya kurang lebih benar."
"Eh, kamera?" Sal agak kesulitan mencerna fakta tersebut. "Di dunia kematian yang serba mistis ini ternyata ada teknologi juga?"
Tapi Hyvt tidak menjawab pertanyaan Sal, sebaliknya dia malah menarik tangan Sal. "Jangan mengulur-ukur waktu dengan pertanyaan tidak perlu, fokus anda sekarang adalah bertarung!"
"Tu-Tunggu! Kau gak lihat Aku sedang terluka?" Seru Sal. "Bisa ijin sakit dulu gak?"
"Tidak apa-apa, luka separah apapun yang berasal dari pertarungan sebelumnya akan disembuhkan saat peserta berpindah lokasi. Anda sudah melihat sendiri tadi waktu berkumpul di lapangan." Hyvt pun terbang sambil mengangkut tubuh Sal.
Sal hendak bertanya lebih lanjut, tapi dia mengurungkan niatnya karena tarikan tangan Hyvt membuat rasa sakit yg dideritanya semakin menjadi-jadi.
"Dan semua ini terjadi gara-gara lalat..."
Seumur hidup, Sal belum pernah merasa selemah ini. Tentu saja sekarang dia sudah tak hidup lagi, jadi ini pengalaman pertama kasakitan seumur hidup dan mati.
Kesadaran Sal semakin lama semakin memudar, penglihatannya pun mulai terganggu, semua apa yang dia lihat seakan akan membelah diri jadi dua.
"Tuan Salvatore, anda akan diantarkan-- Mhyr------ membunuh satu----- kembali ke tempat asal--- " Bahkan pendengarannya pun mulai mengkhianatinya. Sal sama sekali tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan si Hyvt.
"Tuan Sal---" Ucapan Hyvt terputus. Atau lebih tepatnya pendengaran Salvatore lah yang sudah menutup suara.
Kesadarannya menghilang. Nafasnya melambat. Detak jatuknya berhenti. Sal sekali lagi telah kehilangan nyawanya.
•••
[LAZY SONG]
Sal sedang enak tidur di atas gapura suatu ketika serangan itu terjadi, belasan kerikil dilempar ke mukanya. Mau tidak mau dia harus bangun, dengan perasaan kesal tentu saja.
"Hei, siapa yang berani mengangguku?" Seru Sal sambil melihat kesana kemari, sampai dia akhirnya mendengar suara ketawa yang familiar baginya.
Di bawah gapura tempat Sal tidur, seorang wanita sedang memainkan batu seukuran bola tennis di tangannya. Kalau Sal tidak segera bangun, sepertinya batu itupun akan melayang ke kepalanya.
Ketika melihat wanita tersebut, Sal sangat terkejut. Dilihatnya seorang wanita dengan sosok menyerupai buaya, lengkap dengan kulit bersisik, moncong buaya dan ekor yang menjumpai panjang. Hanya saja wanita buaya ini berdiri tegak dengan dua kaki.
"Ta-Tawani?! Apa yang kaulakukan di sini?" Tanya Sal sambil turun mendekatinya.
Si wanita yang dipanggil Tawani hanya tersenyum, deretan gigi taring tajam terlihat berjejer rapi di moncongnya yang imut. Kalau tak memperhatikan moncong dan ekornya, Tawani sebenarnya wanita yang sangat can--, err, menarik.
Dia memakai gaun terusan berwarna hitam dengan panjang selutut dan sepatu bot tinggi yang terbuat dari kulit buaya, ditambah kulit tubuh bersisik yang sangat eksotis dan ekor yang panjang terawat, membuat si wanita dijuluki juga sebagai Buaya Bidadari.
Berlebihan memang, tapi begitulah faktanya.
"Masih aja doyan tidur di atas wihara. Aku nyari-nyari kamu tau!" Ucap Tawani.
"Wihara? Gapura kali." Sal kebingungan dengan hadirnya Tawani. "Tapi kau gak jawab pertanyaanku, kenapa kau bisa ada di sini? Ini kan Planet Krismon, sangat jauh dari rumahmu kan?"
"Gak usah mikirin pentil, ayo cepat, semua sudah menunggumu!" Balas Tawani.
"Mungkin maksudmu detil ya, eh tapi, apa maksudmu dengan semua menungguku?" Tanya Sal makin bingung.
Dengan manja, wanita setinggi 190 centimeter itu memeluk lengan Sal dan menariknya pergi. "Gak usah banyak nanya. Ayo pergi!"
Sal hanya bisa membiarkan saja dirinya diseret wanita tersebut. Dia juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba di kejauhan, terlihat seorang pria berbadan tinggi besar memanggil-manggil Sal.
"Oi, Sal, sini cepat!" Seru pria tersebut. "Dari tadi dicariin, kemana aja sih?"
"Dom!" Seru Sal dengan wajah heran sekaligus gembira.
"Salut Sal!" Balas Dom sambil menghormat ala marinir.
"Salut? Panggilan jadul tuh!" Ucap Sal."Ada apa sebenarnya, kenapa kalian berdua ada di Krismon?"
"Bukan berdua." Jawab seseorang di belakang mereka. Seekor kura-kura setinggi 1 meter sedang berdiri dengan tegak. Namanya adalah Karavagos, dialah yang membuat alat-alat musik Muse bagi para Mustachio.
"Kang Karavagos?!" Sal semakin tak bisa menyembunyikan ketercengangannya, ah, maaf, keterkejutannya.
"Kenapa cuma melongo aja? Kita semua harus pergi dengan cepat kan?" Karavagos kemudian malakukan pemanasan dengan berlari-lari di tempat.
"Tapi Akang bahkan tidak pernah mau keluar dari lubang, dan sekarang aku melihat Akang di Krismon, ini bukan mimpi kan?" Sal masih menunjukkan wajah tidak percaya.
"Tentu saja si Mamang akan keluar sob! Siapa yang tak mau keluar dari sarangnya ketika panggilan konser dikumandangkan oleh Bintang Tujuh ke seluruh galaksi!" Seru Dom berapi-api.
"Konser? Bintang Tujuh? Jangan-jangan..."
"Iya benar sob, mereka berniat membangkitkan Orkestra Galaksi!!"
"Or-Orkestra Galaksi?!" Ucap Sal tak percaya.
"Dan kita Mustachio akan menjadi bagian dari orkestra tersebut, beserta kelompok-kelompok Musisi Antar Planet lainnya." Tambah Dom.
"Iya, termasuk kelompok kami juga." Tawani, si Wani Onna, juga ikut menambahkan.
"Mustohfa juga ikut?" Sal memandang Tawani meminta penjelasan lebih.
"Oi, Tawani, jangan mesra kayak gitu dong!" Tiba-tiba terdengar suara lain tak jauh dari tempat mereka berkumpul. Sesosok kera hitam setinggi 2,5 meter terlihat berjalan mendekati mereka. Namanya adalah Bruno Melars dari suku Goripanze.
"Kau kan pacarku." Tangan panjang Bruno memelar panjang meraih pinggang Tawani dan menariknya. Bruno kemudian memeluk Tawani dan mencumbu leher wanita buaya tersebut.
Di kanan kiri si kera ada dua sosok lain yang sama anehnya. Yang satu adalah manusia babi setinggi 2 meter dengan badan yang super gemuk.
"Beginilah cinta, deritanya tiada akhir. Bos bikin iri aja, huhu." Ucap Patcho Kai, si manusia babi yang berjuluk Celeng Cinta.
Sementara yang satu lagi manusia badak tak bercula namun berkaki tiga setinggi 3 meter. Bernama Rhinogade, atau si Badak Tripod. Satu-satunya manusia badak tak bercula berkaki tiga yang ada di galaksi Suling Sakti. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, sementara mulutnya terlihat menguyah entah apa.
Mereka tergabung dalam Kubu Mustohfa, atau Musisi Tolak gaya Hidup Dhuafa. Mereka adalah saingan utama Mustachio dalam menyebarkan musik. Tak seperti Mustachio yang bertujuan menyebarkan Cinta Tulus, Mustohfa bertujuan untuk menyebarkan Cinta Berbayar ke seluruh galaksi.
"Lama tak bertemu, Monyet Kuning!" Bruno Melars memberi tatapan mengejek pada Sal.
"Kau juga Kera! Kalian tak seharusnya berada di sini!" Ucap Sal geram. Tapi Dom kemudian menahannya.
"Tenang sob, mereka di sini karena dipanggil Bintang Tujuh, kita harus melupakan semua perseteruan kita. Iya kan Bro Melars?" Ucap Dom sambil tersenyum baik kepada Sal maupun kepada Bruno.
"Tentu saja Bro Koretto. Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu seluruh Musecian yang ada di galaksi Suling Sakti. Ini adalah mimpi kita!" Bruno Melars berteriak sambil merentangkan tangan panjangnya ke langit.
"Iya benar, bagaimana kalau kita merayakan peristiwa bersejarah ini dengan berkomplikasi, Mustachio dan Mustohfa?" Ucap Tawani dengan semangat.
"Yang benar berkoalisi kali neng." Ucap Patcho Kai.
"Berkolaborasi!" Hampir semua serentak meralat ucapan mereka berdua. Kecuali Rhinogade yang hanya diam tak bersuara.
"Tapi itu ide bagus, brilian, bagaimana Bro Koretto?" Tanya Bruno.
"Kalau aku sih yes, bro Melars" Jawab Dom dengan cepat, pandangannya kemudian terarah kepada Sal.
"Sejak kapan kau jadi akrab begitu dengan si tangan panjang?" Balas Sal dengan tatapan jijik.
Baginya semua tampak membingungkan. Orkestra Galaksi, Bintang Tujuh mulai berkumandang, Mustachio dan Mustohfa berniat berkolaborasi, semuanya terdengar bagai sebuah mimpi.
Tapi inilah hal yang diinginkan semua pihak, inilah hal yang sangat diinginkan dirinya. Menyuarakan Irama Cinta ke seluruh semesta dan menghancurkan gelombang Hedonisasi yang telah menggerogoti kehidupan semua makhluk di galaksi Suling Sakti. Inilah janji yang dulu pernah diucapkannya pada seseorang.
Pandangan semua orang kemudian terarah kepada Sal, menunggu jawaban, dan kemudian.
"Ayo kita berkolaborasi!" Jawab Sal disambut teriakan para Musecian.
•••
Tak berapa lama mereka pun berkumpul di sebuah panggung yang cukup luas, mereka sudah mempersiapkan segalanya, dari mulai tata suara dan istrumen musik yang diperlukan. Panggung tersebut berada di pinggir danau yang berisi air berwarna hijau.
"Hei lihat, para penduduk planet ini mulai berkumpul!" Seru Dom.
Sal tersenyum gembira melihat kehadiran mereka. Bagaimanapun, apalah artinya sebuah kolaborasi musik tanpa ada penontonnya. Tapi kemudian dia termenung.
"Aku sepertinya melupakan sesuatu, tapi apa ya?"
Semakin lama para penonton semakin banyak berkumpul di tepi danau, sebagian ada yang berenang, sebagian lagi ada yang menaiki perahu. Bahkan ada yg terlalu bersemangat sampai berjumpalitan di air.
"Aneh, Aku tidak ingat ada danau seperti ini di Krismon, dan makluk berantena panjang itu, di mana ya Aku pernah melihatnya, hmm..."
"Ngomong sendiri aja dari tadi, kami semua sudah siap tau!" Ucap Tawami. "Ayo Sal, kamu mau nyanyi lagu apa?"
"Eh, Aku?"
"Iya kamu yang nyanyi Sal, kamu!"
"Sebaiknya kau yang nyanyi, Aku benci mengakuinya, tapi kau punya suara yang paling merdu diantara kita semua." Ucap Bruno sambil menyiapkan serulingnya. "Tapi tentu, permainan serulingku masih lebih hebat dari sulingmu, Monyet Kuning!"
"Dasar Kera, sulingku yang hebat, ini karya terhebat Kang Karavagos, dibuat dari bambu planet Awisome!"
"Sama juga dong, ini juga buatan tangan Mang Karavagos, dan sama-sama terbuat dari bambu Awisome, punyaku--"
"Diam kalian berdua, suling dan seruling itu Aku buat dari satu batang bambu yang sama, jadi diamlah!"
"Ah maaf Kang, hmm, tapi nyanyi lagu apa ya? Ada ide?"
"Lagu Bob Myhrley, ..." Rene Ged yang berada di belakang tiba-tiba bersuara, semua orang terperanjat mendengarnya. Nada suaranya tinggi sekali, seperti suara tikus kejepit, sangat- sangat todak cocok dengan badan besarnya.
"Ah, benar, lagu dari seorang Bintang Tujuh kayaknya cocok. Dan tak ada yg lebih cocok untuk pemanasan menyambut Konser Galaksi daripada si Rastafarian Anti-Kemafanan sob!" Tembak Dom.
"Aku kurang menguasai Reggae, tapi baiklah!" Seru Sal dengan semangat.
Setelah menyamakan nada sebentar, mereka pun kemudian memainkan alat musik mereka masing-masing. Suara musik mulai mengalun dengan indahnya, nada-nada Reggae yang menenangkan hati terdengar saling mengisi. Dan Sal pun bernyanyi.
"No, woman, no cry... No, woman, no cry."
Sesaat setelah Sal bersuara, para penonton mulai bertepuk tangan dan berteriak mengelu-elukan Sal. "Monyet~ monyet~"
Sal pun semakin bersemangat bernyanyi.
"Good friends we have, oh, good friends we have lost.
Along the way, yeah!
In this great future, you can't forget your past,
So dry your tears, I seh, yeah!"
"No, woman, no cry,
No, woman, no cry. Eh, yeah!
A little darlin', don't shed no tears:
No, woman, no cry. Eh!"
Di belakang Sal, para Musecian memainkan nada dari alat musiknya masing-masing. Tawani dengan keyboard, Dominic dengan gitar bass, Bruno dengan serulingnya yang dibunyikan sedemikian rupa sehingga bersuara layaknya saksofon.
Si Celeng Cinta dengan Kecrekan Aliennya, dan terakhir Rhinogade yang menabuh kendang perkusi dengan santainya tapi bertenaga.
"Then we would cook cornmeal porridge, say,
Of which I'll share with you, yeah!
My feet is my only carriage
And so I've got to push on through.
Oh, while I'm gone,
Everything's gonna be all right!
Everything's gonna be all right, yeah!"
Mereka memainkan lagu dengan segenap jiwa mereka, dengan temponya lambat tapi sangat penuh penghayatan. Dan lagupun berakhir. Sal pun mengakhirinya dengan sebuah bait penutup.
"No, woman, no, woman, no, woman no cry,
No, woman no cry.
One more time I got to say,
O little-litle darlin', please don't shed a tear,
No, woman no cry."
Para penonton pun bertepuk tangan dengan meriahnya. Semua memuji penampilan grup dadakan ini, tak ada yang tak terpukau mendengarnya. Sal tampak terengah-engah, tapi baginya ini setimpal.
Namun tiba-tiba Sal merasakan sebuah aura yang aneh.
"Aku mencium bau kemesraan yang sangat kuat!" Seru Sal sambil mengendus-endus hidungnya.
Dia pun berbalik untuk melihat arah aura kemesraan itu, tapi dilihatnya Bruno dan Tawani sedang berjauhan, keduanya menikmati momen kemeriahan di tempat mereka masing-masing. Tidak tampak sedikitpun kalo mereka sedang bermesraan.
"Jadi siapa, penontonkah? Masa lagi seru gini malah asyik mesra-mesraan! Ter-la-lu!!" Geram Sal.
"Lagi-lagi-lagi-lagi--" Para penonton mulai berterik meminta Sal dkk, untuk bermain kembali.
"Gimana sob, lanjut?" Tanya Dom.
"Ng, Iya dong," balas Sal dengan semangat. Dia pun kemudian berteriak kepada penonton.
"Bersiap ya, karena lagu kedua tidak akan sesantai lagu pertama! Ini adalah lagu tentang semangat!"
"Jangan-jangan lagu itu ya?" Seru Bruno.
"Ho, Aku saja yang nyanyi! Aku lebih cocok!" Seru Tawani. "Sal, kau dan Bruno, berduel aja!"
"Yang bener itu berduet, cantik!" Timpah Patcho Kai. "Tapi si monyet dan si kera untuk pertama kalinya berduet, ini benar-benar saat bersejarah di dunia Musecian Moderen."
"Lanjut bray!" Tambah Dom, yang dibalas Sal dengan senyum lebar.
Sal pun melirik Bruno yang tersenyum padanya. "Jangan salah tiup!"
"Ente juga."
Sal dan yang lainnya pun mulai bersiap dengan alat musik tiupnya masing-masing.
"Semua siap?" Tanya Tawani yang dibalas semua dengan anggukan. Wanita itupun beralih perhatiannya pada penonton.
"Are you ready?" Teriakan tanda mengiyakan terdengar kencang seantero danau. "Let Rock!"
Tawani memulai dengan berhitung dari satu sampai tiga, dilanjutkan dengan pukulan drum Rhinogade, dan kemudian petikan gitar Dom, nada bertempo tinggi pun tercipta. Menghentak dan menuntut jiwa-jiwa mati untuk bangkit kembali.
(Kita berlari dan teruskan bernyanyi
Kita berjalan berpelukan mentari
Bila kuterjatuh nanti
Kau siap mengangkat aku lebih tinggi
uh uh uh...
Semua kepedihan yang telah kita bagi
Layaknya luka yang telah terobati
Bila kita jatuh nanti
Kita siap tuk melompat lebih tinggi
Bersama kita bagai hutan dan hujan
Akupun ada karna kau telah tercipta
haa aa...
Kupetik bintang
Untuk kau simpan
Cahayanya tenang
Berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga sebagai jawaban
Semua tantangan)
Sal dan Bruno kemudian melakukan tugas mereka, meniup suling mengikuti Irama alam dan mengkonversinya menjadi nada-nada peningkat adrenalin. Semua makhluk yang bisa mendengar terhipnotis alunan musik mereka berdua.
Di belakang mereka, Dom, Patcho dan Rhinogade memainkan musik mereka dengan ritme tanpa jeda. Tawani pun melanjutkan nyanyiannya.
(Sebelum waktu memisahkan dan kita tertipu
Sebelum dewasa menua memisahkan kita
Tentukan jantung kita akan selalu seirama
Bila kau rindu aku..
Kupetik bintang
Untuk kau simpan
Cahayanya tenang
Berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga sebagai jawaban
Semua tantangan)
Entah siapa yang mengomando, tapi semua orang mulai melompat-lompat tak karuan. Mereka benar=benar sudah terhipnotis dengan musik yang dialunkan. Bahkan Sal dan yang lainnya pun ikut melompat-lompat mengikuti nada.
"Ayo melompat, melompat lebih tinggi lagi!" Sal terus melompat-lompat, tinggi dan semakin tinggi lagi. Tak pernah dia merasakan lonjakan adrenalin seperti itu.
Sal terus melompat sampai setinggi-tingginya hingga dia bisa melihat daratan yang mengelilingi danah. Daratan itu berwarna kuning kehijau-hijauan, atau hijau kekuning-kuningan, dia sudah tak bisa membedakannnya lagi. Tapi yang membuatnya tertegun adalah daratan itu berbentuk seperti sebuah bintang laut raksasa yang dikelilingi lautan merah.
"Eh, dimana ini? Ini bukan di Krismon!" Tapi Sal tak mempunyai banyak waktu untuk berpikir, karena sekarang dia terjatuh dari ketinggian 50 meter. Hal yang wajar, karena apapun yang naik ke atas, akan diakhiri dengan turun ke bawah.
"Rasanya Aku pernah mengalami ini." Ucap Sal sambil berusaha mengatur tubuhnya supaya ketika mendarat tidak mengalami luka serius.
Tapi hal berikutnya di luar dugaan, sebuah badai salju tiba-tiba terjadi. Sebuah angin puting beliung menangkap Sal dan mengombang-ambing tubuhnya.
"Apalagi sekarang?!"
Tubuhnya sempat berputar-putar di angkasa, sebelum akhirnya terlempar jauh. Sayang sekali Sal tidak punya kemampuan untuk terbang, karena sekarang dia sama sekali tak bisa mengendalikan jatuhnya.
Samar-samar dia bisa melihat tempatnya tadi melakukan konser dadakan bersama teman-temannya. Tempat itu berada di sebuah bukit dengan puncak yang datar.
"Bukit Meja?!" Hanya itu yang dia sempat ucapkan, karena yang terjadi berikutnya adalah tubuhnya jatuh bebas lalu membentur bebatuan dengan sangat keras. Hal yang dia ingat terakhir adalah sakit yang teramat sangat dirasakan bahu kanannya, dan tubuhnya yang terjatuh berguling-guling ke permukaan pasir hijau.
•••
[REMEMBER]
Kita kembali ke beberapa jam sebelumnya. Saat para peserta diantarkan ke titik awal pendaratannya masing-masing. Waktu pendaratan masing-masing peserta adalah tepat pukul dua belas siang. Para peserta, termasuk tokoh utama kita diturunkan di sebuh pulau yang disebut Pulau Mhyr.
Pulau Mhyr adalah salah satu pulau yang ada di Nanthara. Pulau ini mengambil bentuk menyerupai bintang laut dengan lima tanjung yang mengarah berjauhan. Kelima tanjung itu adalah, Tanjung Barat, Tanjung Utara, Tanjung Timur, Tanjung Tenggara dan Tanjung Selatan.
Pulau Mhyr, atau disebut juga sebagai Pulau Kemalasan. Pencipta pulau ini punya alasan kuat untuk menamainya seperti itu. Karena konon, setiap orang yang menginjakkan kakinya di pulau tersebut akan mengalami gejala rasa senang yang berlebihan dan hilangnya konsentrasi untuk berpikir. Dengan kata lain membuat mereka menjadi lamban berpikir, malas, serta mengalami halusinasi akut.
Jika dilihat dari atas pulau ini berbentuk bintang laut berwarna hijau. Warna hijau itu berasal dari pasir hijau bernama Cannabis yang menyelimuti seluruh permukaan pulau.
Suhu rata-rata siang hari pulau Mhyr mencapai 45° celcius, sementara pada malam hari dinginnya minta ampun. Uap yang dihasilkan pasir hijau saat siang hari itulah yang menyebabkan gejala halusinasi tersebut. Karena alasan itulah kenapa Mhyr disebut juga Pulau Padang Pasir Pamalesan.
Di tengah-tengah pulau terdapat sebuah bukit batu berbentuk tabung dengan puncak datar, atau lebih terkenal dengan istilah bukit meja. Memiliki tinggi 100 meter, dan diameter 80 meter, bukit ini bila dilihat dari jauh tampak seperti sebuah drum raksasa berwarna kuning.
Dan di puncak bukit meja tersebut, terdapat sebuah oasis yang dipenuhi tumbuhan-tumbuhan hijau, pohon kelapa, pohon pisang dan pohon buah lainnya. Di tengah oasis tentu saja terdapat danau kecil atau kolam berisi air yang jernih. Tapi simpan dulu oasis ini, kita intip para peserta yang baru saja diturunkan para Hyvt di titik awalnya masing-masing.
•••
Titik awal pertama, Tanjung Barat, menjadi tempat pendaratan seorang wanita berambut putih pendek. Dilihat sekilas tidak ada yang aneh dengan wanita berpakaian mantel hitam putih itu, ya kecuali desain mantelnya yang dibuat sedemikian rupa sehingga sisi kanan berwarna putih, sementara sisi kiri hitam. Mengingatkan kita pada fesyen tahun 80-an.
Kalau dilihat lebih seksama, wanita tersebut seperti berbicara sendiri. Tapi yang sebenarnya adalah si wanita, Claudia, sedang berbicara dengan kekasihnya, Claude yang sekarang 'disimpan' di dalam tas ransel yang digendongnya.
Si wanita bernama Claudia, adalah satu dari sepasang kekasih yang dipanggil sebagai Double Dullahan. Dullahan sendiri adalah sebutan untuk makluk legenda yang bergentayangan untuk mencari kepalanya yang hilang. Tentu saja sepasang kekasih ini memiliki kepalanya masing-masing, namun yang tidak mereka miliki adalah tubuh utuh untuk kepala mereka.
"Ayang, tempat ini terlihat membosankan, gak terlihat apapun kecuali hamparan pasir hijau yang luas. Gak ada bangunan, gak ada pepohonan, paling hanya perbukitan batu."
"Aku juga bisa melihatnya tuan putri, walau yang kulihat hanya pantai hijau yang dikelilingi lautan merah. Ayang melihat ada orang gak?"
"Gak, Aku juga belum melihat siapapun, well, tidak mungkin kita akan langsung bertemu mereka kan?"
Wanita itu kemudian terdiam dan perlahan ekspresinya berubah. Sebuah ekspresi gembira lengkap dengan senyuman cantik yang tak dibuat-buat.
"Kamu gak akan percaya kalau diceritain Claude, tapi di depan sana tiba-tiba muncul sebuah kereta kuda, kamu dengar Sayang? Kereta kuda!"
"Hah? Kereta Kuda? Hati-hati sayang, Aku tahu kamu suka naik kereta kuda, tapi mungkin ini jebakan."
Tapi Claudia tak mendengar kata-kata kekasihnya itu, dan berlari menyongsong kereta kuda di depannya.
Setelah cukup dekat, terlihat jelas kereta kuda itu bukan kereta sembarangan, jauh berbeda dengan delman kumuh yang berkeliaran di pasar kampung. Kereta kuda ini layak disebut kereta kerajaan, terbuat dari kayu pilihan yang dicat putih dengan ornamen keemasan, seekor kuda putih bertubuh besar terlihat berdiri gagah di depan kereta indah tersebut. Dan tak lupa, seorang kusir berpakaian putih bersih terlihat membungkuk menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang, Nona Claudia, anda sudah ditunggu di villa peristirahatan kami di puncak."
"Villa di Puncak?"
Si kusir kemudian menunjuk ke suatu arah. Tepat di tengah pulau, sebuah bukit atau gunung kecil berpuncak datar tampak berdiri kokoh.
"Di sana anda bisa bersantai dan menikmati keindahan oasis di pulau ini." Sang kusir kemudian membuka pintu kereta dan menawarkan tangannya kepada Claudia.
"Oasis?" Claudia tak bisa menyembunyikan kegembirannya, dia menyambut tangan kusir tersebut dan menaiki kereta kuda. Tingkah lakunya seperti anak kecil yang di hari minggu diajak ayahnya untuk pergi ke kota naik delman istimewa dan mendapat temapt duduk di muka.
Tak berapa lama, kereta pun berangkat menuju gunung berpuncak datar tersebut. Tapi kita tinggalkan dulu mereka bersatu, hmm, kepala mereka ada dua tapi tubuh mereka tetap satu, err, kita menuju ke peserta kedua.
•••
Peserta kedua diturunkan di Tanjung Utara, seorang wanita yang bernama Yvika Gunnhildr. Seorang Komandan pasukan khusus yang disingkat RIGS. Seorang pembunuh profesional berpangkat Mayor. Putri dari Kolonel Athelstan Gunnhildr. Cucu seorang pengusaha senjata sekaligus profesor bernama Vincent Gunnhildr. Istri dari stand-up komedian bernama Alain Yorick dan ibu dari anak perempuan berusia 8 tahun, bernama Lana.
Itulah dirinya di masa hidup, tapi sekarang dia sudah mati dan tiba-tiba terlibat dalam sebuah turnamen pertarungan yang diadakan sesosok dewa egois.
'Aku harus lebih waspada, bertindak efektif dan efisien.' Komitmennya dalam hati. 'Hyvt itu bilang kami hanya perlu membunuh satu lawan saja dan kembali ke titik awal. Dia juga mengatakan kami hanya punya waktu sepuluh jam. Aku sudah merawat senjata-senjataku, Assault Rifle cek, Push Knife cek, Handgun cek, Flash, Smoke dan Hand Grenade cek, hmm, gelang teleportasi cek, zirah cek. Dan Eye-Patch cek.'
'Ah, Aku sebaiknya menyetel arlojiku supaya menghitung mundur, err, ah sial, ini arloji analog bukan digital. Ini hadiah ulang tahun terakhir dari Alain.' Mata Yvika sempat berkaca-kaca setelah melihat arloji tersebut. Dia teringat kembali masa-masa perkenalannya dengan Alain.
Alain Yorick adalah seorang pelawak miskin dan dirinya adalah tentara yang berasal dari keluarga kaya pengusaha senjata, semua orang meragukan kelangsungan hubungan mereka, tapi bagi Yvika, dialah satu-satunya pria yang bisa membuatnya tertawa.
Dan tentu saja, Alain juga telah memberinya hadiah terindah yang bisa diberikan seorang pria terhadap wanita, yaitu Lana, seorang putri yang sangat cantik. Alain dan Lana, mereka berdua telah memberinya harta berharga yang tak bisa tergantikan oleh sebanyak apapun harta yang ada di dunia, harta itu adalah keluarga.
Di saat Yvika sedang melamun, tiba-tiba terdengar suara anak perempuan.
"Mamah!"
Yvika sangat terkejut mendengar suara itu, tentu saja dia mengenal suara siapa itu.
"Lana?!" Dengan cepat dia membuka penutup mata yang menempel di mata kanannya, putrinya selalu takut bila dia memakai penutup mata itu.
"Kami berdua lama menunggumu, Sayang." Seorang pria berpakaian sederhana terlihat menggenggam anak perempuan tersebut.
"Alain?!" Wanita tentara itu tak bisa berkata apa-apa. Sedetik yang lalu dia mengingat-ingat kembali kenangan dia bersama keluarganya dan sekarang mereka tiba-tiba muncul di depannya. "Kenapa kalian ada di sini? Ini bukan mimpi kan?"
Anak perempuan itu kemudian menarik tangan sang ibu. "Ayo mah, nanti kita terlambat. Acaranya mau dimulai!"
Yvika tampak kebingungan mendengar kata-kata Lana, dilihatnya anak perempuannya tersebut, kemudian dilihatnya juga Alain, suaminya. Wanita itu tak mengerti apa yang terjadi. Alain seperti mengerti kebingungan istrinya, kemudian mengenggam tangan Yvika yang satunya.
"Ayo Sayang, kita bertiga harus segera pergi kesana, acaranya mau dimulai, kau tahu kan? Hamlet Festival, acara kesukaanmu kan?"
"Siapa bilang? Itu kesukaanmu tau, lagian Aku kan tak pernah suka keramaian." Bantah Yvika, dia berkata seperti itu walau dalam hatinya masih ragu, apa ini sebuah kenyataan atau hanya mimpi.
"Ayo Mah, Lana pengen main sekuncur es, terus pengen es krim jengkol, jagung bakar, aromanis, ayo dong Mah!"
"Iya iya, ayo kita pergi." Rengekan Lana mau tak mau membuyarkan keraguan Yvika. Dia tak pernah bisa menang melawan kemauan anak semata wayangnya itu. Yang bisa dia lakukan hanya tersenyum tertawa melihat kemanjaan putrinya.
Tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di pipi Yvika, si pelaku yaitu suaminya hanya tersenyum tanpa berkata-kata. Yvika hanya bisa pasrah, dia yang sekarang bukanlah seorang tentara, atau komandan sebuah pasukan elit. Tapi hanya seorang ibu dari seorang anak yang manja dan istri dari pria sederhana. Mereka bertiga pun akhirnya pergi ke festival yang dimaksud, yaitu sebuah festival yang berada di sebuah dataran tinggi cukup jauh dari sana.
Namun tak disadari oleh Yvika, kedua tangannya terlihat tidak mengenggam apapun. Dia sebenarnya hanya berjalan sendiri menuju sebuah gunung kecil berpuncak datar yang ada di pusat pulau.
•••
Peserta ketiga, diturunkan di Tanjung Timur, adalah sebuah atau mungkin bisa disebut seekor boneka beruang bernama Ursario. Tapi dia bukan boneka beruang biasa, dia adalah notteddy beary. Itu sebenarnya julukan Ursario untuk dirinya sendiri.
Wujud asli Ursario sebenarnya adalah Raja Iblis Ursa, Ursa Demon sendiri adalah salah satu ras di dunia Netherworld Neda. Tapi itu hanyalah cerita di masa hidupnya, sekarang dia memasuki babak kedua dari turnamen dunia kematian.
Ursario diturunkan Hyvt di Tanjung Timur.
"Goddy Thurqkey sialan, ini kedua kalinya Aku dijatuhkan seperti ini!" Ucap Ursario sambil mengendap-endap, walau sebenarnya percuma karena sejauh mata memandang hanyalah pada pasir yang luas.
"Greeny Deserty menyebalkan, bagaimana Aku bisa sembunyi kalau seperti ini?!" Keluh Ursario, "padahal Aku sedang bertarung dengan si Greeny Lanterny yang menyebalkan itu! Walau dia tak mengakuinya, tapi Aku yakin dia adalah agen Luxa Demon yang diutus untuk membunuhku!"
Perhatiannya kemudian teralih pada sebuah pemandangan yang cukup jauh dari tempatnya berada. Ursario membetulkan letak kecamata hitamnya kalau-kalau apa yang dilihatnya tidak salah.
"Buraaaa!! Itu hutan cemarakah? Dan gunung yang sangat hijau, Greeny Forresty favoritku. Aku mencium bau salmon dan tempat tidur nyaman!"
"Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali~" Tak sadar Ursario malah bernyanyi dengan riangnya. Seperti peserta yang lain, dengan kaki kecilnya Ursa pun bergegas menuju 'hutan cemara' yang dilihatnya. Hutan yang terletak di sebuah gunung berpuncak datar.
Sementara peserta keempat, bernama Bara si Tumpara, diturunkan di Tanjung Tenggara. Diantara peserta-peserta yang lain, mungkin hanya dia yang pertama langsung kepayahan ketika menyentuh permukaan pasir Pulau Mhyr.
Bagaimana tidak, Bara yang seumur hiudpnya berkutat dengan air, sekarang harus berada di padang pasir yang sangat luas dengan kemungkinan dehidrasi yang sangat tinggi.
"Ngoahaha, jangan bercanda, jadi Aku harus bertarung di tempat seperti ini?" Keluh Bara. "Dan syaratnya Aku harus membunuh satu entitas kemudian kembali ke tempat panas ini?"
"Payah, bagaimana ini?" Bara tertegun meratapi nasibnya. Tapi seperti juga Ursario, dia kemudian melihat suatu pemandangan yang membuatnya takjub.
"I-Itu air mancur terindah yang pernah kulihat, air mancur raksasa! Ngoahahaha!"
Sudah bisa ditebak, pandangan Bara tepat ke arah gunung berpuncak datar yang juga dilihat peserta lain. Dan tak membuang waktu, Bara pun berlari menuju ke arah gunung tersebut.
Dan peserta terakhir, tentu saja tokoh utama kita, Salvatore Jackson. Dia diturunkan di Tanjung Selatan. Setelah ini kita akan kembali kepada ceritanya.
Tapi sebelumnya, gunung datar yang dilihat semua peserta sebenarnya mempunyai nama sendiri dan nama gunung kecil itu adalah Mhyr-juana.
•••
[WAKE UP]
Sal membuka matanya, dia dalam keadaan berdiri tegak, sementara teman-temannya mengelilingi dia. Di lihatnya langit telah menjadi gelap, hanya dihiasi langit dengan awan merah pekat.
"Kenapa tiba-tiba sudah malam lagi?"
Dominic, Karavagos, Tawani, Bruno Melars, Patcho Kai dan Rhinogade. Sal melihat rekan Musecian yang tadi bermain bersamanya. Mereka semua tersenyum padanya.
Tak jauh dari mereka, ada beberapa orang anak melambai-lambaikan tangan kepada Sal. Mereka memanggil Sal dengan sebutan Sensei.
"Astrella, Lody Tomiya, Andika, dan yang lainnya, kalian semua berkumpul di sini!"
"Ayo sob, sebentar lagi konser terhebat akan dimulai, Orkestra Galaksi!" Ucap Dom yang kemudian berbalik pergi meninggalkan Sal, yang kemudian diikuti oleh Muse yang lain. Termasuk murid-murid Sal, kecuali seorang anak perempuan.
"Master, nanti Tela tunggu ya di sana." Ucap si anak yang kemudian berlari menyusul yang lain.
"Hei, tunggu sebentar, jangan tinggalkan Aku!" Walau Sal berkata begitu, tapi entah kenapa kakinya sama sekali tak mau berjalan. "Tunggu!"
Tapi tak ada seorangpun yang memperdulikan Sal, teman-temannya seperti tak menyadari kalau dia tak bisa berjalan. Mereka tidak berhenti dan tak menengok sedikitpun.
"Uh, kenapa Aku malah diam, ayo berjalan!" Bentak Sal pada dirinya sendiri.
Dia terus saja berdiri tegak, tak bergerak dari tempatnya. Hampir saja dia menangis kalau saja tidak ada sebuah tarikan lembut yang menyentuh celananya. Tarikan itu berasal dari seorang gadis muda berpenampilan tomboy, kaos terusan warna ungu, celana pendek selutut berwarna jingga dan sepatu gunung warna coklat menutupi tubuhnya.
"Halo Boot." Ucap si gadis setinggi pinggang Sal itu.
Sal terbelalak melihat gadis tersebut. "Kau!"
Wajah oval gadis itu tak mungkin dilupakannya, rambut pendek model bob berwarna hitam, sepasang mata berwarna coklat menghiasi wajahnya.
Tapi Sal bisa menahan diri, dan menahan emosinya. Dia mulai memahami sesuatu.
"Si-Siapa kau?"
"Jangan pura-pura Boot, kau tahu siapa Aku, buktinya kau terkejut tadi."
"Jangan panggil Aku boot, sudah kubilang Aku punya nama!"
"Tuh kan kau ingat." Ucap si gadis sambil tertawa. Sal hanya mendengus melihatnya.
"Ma-Maaf, tapi Aku sudah tak ingat lagi, bahkan namamu pun Aku lupa tuh."
"Benarkah?" Si gadis menempelkan jari di mulutnya. "Padahal Aku masih ingat namamu, Salvatore Jackson, pengembara dari Planet Meteo. Kau membuatku sedih."
"Uh, iya Aku ingat kok, namamu Nola kan?"
"Enak aja, memangnya Aku ular raksasa!"
"Ng, Lola?"
"Aku juga bukan babi gendut tahu!" Si gadis tampak marah. "Ya udah kalau emang bener lupa!"
"Hehe, tentu saja Aku masih ingat." Ucap Sal tersenyum. "Tapi Aku hanya ingin memanggil nama itu saat bertemu dengan dirimu yang asli, dan bukan khayalan seperti sekarang, kau ini hanya produk ingatanku kan?"
Si gadis sempat terdiam, tapi kemudian kembali tersenyum. "Iya, penampilanku sekarang sama persis seperti yang ada di ingatanmu dulu, 30 tahun yang lalu. Aku hanyalah sebuah ingatan yang hanya ada di kepalamu."
Gadis itu kemudian menjauhi Sal. "Kenapa kau mencariku, bahkan sampai pergi ke dunia kematian seperti ini, kenapa?"
"Aku tidak tahu, yang jelas Aku sangat ingin menemuimu."
"Karena ada hal yang ingin kau tanyakan kan? Alasan kenapa Aku mengkhianatimu, itu yang ingin kau tahu kan?"
"Entahlah. Jangan sok tahu!"
"Sudah kubilang Aku ini produk ingatan yang hanya ada di kepalamu, Aku hanya menyuarakan suara yang ada di dalam hatimu."
Sal hanya diam tak menjawab.
"Kalau begitu bangunlah, bertarunglah, jangan berhenti di sini... Cari Aku!"
"Kalau tahu caranya sudah kulakukan dari tadi!" Geram Sal. "Tapi sekarang Aku tak bisa bergerak sama sekali. Ada suatu kekuatan yang menahanku, sebuah Irama yang mengerikan."
"Jangan menyerah Boot, bertarunglah, menangkanlah pertarungan ini, kalau perlu bunuhlah semua orang yang menghalangimu, demi Aku!"
"Kau menyuruhku bertarung, menyuruhku membunuh, dirimu yang asli tidak akan pernah berbuat seperti itu, wanita yang kukenal tidak jahat seperti dirimu!"
"Tapi diriku yang asli adalah wanita yang juga mengkhianatimu, wanita yang kau kenal juga wanita jahat kan.. Sal?"
Sal tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia sudah tak bisa berpikir apa-apa lagi. "Aku ingin mempercayaimu, Aku ingin bertemu denganmu untuk memastikan hal itu, Aku--"
"Bukan ini yang kuajarkan padamu anak muda." Suara si gadis tiba-tiba berubah menjadi suara berat lelaki dewasa. Wujud si gadis sekarang berubah menjadi sesosok Singa berambut emas yang berdiri gagah di hadapan Sal.
"Master Frank!" Seru Sal yang untuk kedua kalinya terbelalak.
"Lagi-lagi kau berbuat ceroboh Nak, kau berpikir kau bisa menyelesaikan segalanya dengan tekad monyetmu itu, kau salah!"
Mendengar suara menggelegar gurunya itu Sal hanya bisa gemetar. Dia merasakan kumisnya bergetar hebat.
"Selesaikan pertarungan konyolmu itu dan hiduplah kembali supaya Aku bisa menghajarmu!" Master Frank kemudian menarik nafasnya panjang dan kemudian berteriak.
"HUDAAANG!!"
Sebuah auman maha dahsyat menggelegar menggetarkan badan Sal. Monyet kribo itu hanya bisa menutupi telinganya, walau itu tak berpengaruh apa-apa. Suara Sang Master yang dialiri Irama Jiwa tingkat dewa tetap memasuki telinga, merasuk ke jiwa Sal, dan membangunkannya.
•••
Sal terbangun dari halusinasinya, dia mendapati dirinya terjebak di sebuah pasir hisap. Hampir setengah badan ke bawah, sudah terkubur dan perlahan semakin pasir itu menariknya ke dalam.
"Eh sialan, pantesan susah gerak!" Umpat Sal.
Untuk beberapa saat Sal mencoba untuk keluar dari pasir hisap tersebut, tapi kemudian dia merasakan nyeri di bahu kanannya. Dia teringat sebelumnya dia melayang-layang di angkasa dan kemudian terjatuh mengenai bebatuan di padang pasir. Sepertinya akibat halusinasi yang ditimbulkan oleh permukaan pasir telah meredam rasa sakitnya untuk sementara waktu, namun efeknya menghilang setelah Sal dibangunkan dengan faksa oleh ingatan masa lalunya.
"Sama aja bohong. Luka di bahu kiriku memang sudah langsung sembuh ketika aku menginjakkan kakiku di pulau ini, tapi sekarang malah bahu kananku yang terluka, bagaimana caranya aku meniup suling?!"
Tak berapa lama kemudian, sesosok makhluk berantena panjang terbang ke arah Sal dan jatuh tepat di area pasir hisap yang menjebak Sal. Antena yang berujung bulat itu terjatuh perlahan dengan gerak yang sangat lamabat menyentuh permukaan pasir dan...
DUARRR!!!
Pasir hisap itu berhamburan keluar akibat terkena ujung antena, semua yang ada dalam pasir hisap itu berhamburan termasuk Sal dan makhluk kecil tersebut. Makhluk yang terlempar tadi adalah Bara si Tumpara, makhluk berantena tak kasat mata dengan lentera di ujung antena tersebut.
"Aduduh, kenapa lagi?" Seru Sal yang terlempar beberapa meter dari lubang. "Tapi bagusnya, Aku sekarang terbebas dari pasir hisap sialan itu!"
"Ngoahahaha!"
"Malah ketawa, tanggung jawab oi, adududuh~" Sal kembali memegangi bahunya, kali ini lukanya di sebelah kanan.
"Ma-Maaf Tuan Musisi, ini gara-gara lenteraku ya? Maafkan Bara." Ucap makhluk hijau itu sambil bersujud meminta ampun.
"Eh? Santai aja, luka ini bukan gara-gara lenteramu kok, justru Aku yang harusnya berterima kasih karena sudah membebaskanku."
"Eh benarkan? Bara menyelamatkan Tuan Musisi? Syukurlah." Bara terlihat lega.
"Oh iya, kenapa kau menyebutku Tuan Musisi, apa kau pernah melihatku bermain?" Tanya Sal.
"Lho, bukannya tadi Tuan bermain alat musik di tepi oasis? Lagu Tuan sangat memukau, di dunia Bara tidak ada musik yang seperti itu."
"Bermain musik di Oasis? Oasis apa maksudnya?"
"Eh, apa Tuan tidak ingat? Tuan sepertinya yang pertama tiba di Oasis itu, oh iya, Bara tak pernah melihat sumber air sejernih itu, membuat Bara lupa waktu dan malah bermain dengan air, Bara menyelam dan menyelam--"
"Oi, ceritanya yang benar." Sal agak jengkel mendengar celoteh Bara.
"Ah iya, pokoknya kita harus membunuh satu orang yang ada di oasis, setelah itu kita harus kembali ke tempat awal ita diturunkan, kita harus cepat karena waktunya hanya tinggal dua jam lagi!"
"Eh? Apa?"
"Lawan Bara si boneka beruang itu, dia terus-terusan menantang Bara, dan menyebut Bara sebagai Demon, jadi yang akan Bara bunuh adalah si beruang." Ucap Bara bersemangat. "Tuan Musisi cukup membunuh si wanita tentara, atau wanita pembuat barrier."
"Haaah?!" Sal semakin bingung dengan informasi yang dia dapat, dia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya dia harus lakukan di tempat ini. Samar-samar dia teringat perkataan Hyvt yang membawanya, namun sedikit sekali yang bisa dia ingat. Kata-kata yang dia tangkap hanya tentang membunuh satu orang dan kemudian kembali ke posisi awal.
"Iya Aku ingat sekarang, kenapa Aku bisa melupakannya."
"Mungkin karena pengaruh pulau ini Tuan Musisi, semuanya sepertinya mengalami halusinasi termasuk Bara. Tapi entah bagaimana caranya, Tuan Musisi telah membebaskan kami semua dengan musik yang Tuan nyanyikan. Musik Tuan membuat kami melompat-lompat dan kemudian menyadarkan kami."
"Ah begitu ceritanya." Sal mulai menyadari apa yang telah dialaminya ternyata memang sebuah mimpi, terntang pertemuannya dengan Dom, Tawani, gerombolan Mustohfa, atau rencana para Bintang tujuh untuk mengadakan konser Orkestra Galaksi, dan juga konser dadakan antara Mustachio dan Mustohfa.
"Semua itu ternyata hanya mimpi, harusnya Aku sudah tahu." Sal hanya bisa tersenyum miris setelah mengetahuinya.
"Tuan Musisi, kita sebaiknya mulai bergerak. Seperti yang tadi Bara bilang, waktunya hanya tinggal dua jam lagi. Seperti yang Tuan lihat, permukaan pulau ini berubah."
"Berubah?" Sal awalnya tidak memgerti apa yang diucapkan Bara. Tapi lagi-lagi dia tersadar, permukaan pasir yang tadinya diam, sedikit demi sedkit mulai menurun ke arah Gunung Mhyr-juana. Kelima tanjung yang tadinya dalam posisi datar perlahan mulai menaik, semakin miring dan miring, keadaannya persis seperti jembatan angkat yang akan mempersilakan kapal lewat.
"Tunggu sebentar, kenapa bisa begini?"
"Entahlah Tuan, tapi dalam waktu satu jam, kelima tanjung itu akan semakin tegak lurus. Pulau ini telah menghabiskan hampir 9 jam waktu bertempur kita. Dan pada jam kesepuluh, kelima tanjung akan bersatu dan sekaligus menutup kemungkinan kita untuk pergi dari pulau ini." Jelas Bara.
"Eh, sembilan jam?" Tanya Sal masih tetap bingung.
"Kita diberi waktu bertarung selama 10 jam, dan hebatnya pulau ini telah membuat kiat berhalusinasi selama 8 jam lebih!" Jelas Bara.
Sal hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya. "Gila, pantas saja sudah malam lagi. Tapi Aku tahu sekarang, pulau ini mengingatkanku pada bunga pemakan daging yang akan menutup kelopaknya ketika ada mangsa yang hinggap."
"Ngoaaa~ ada bunga yang seperti itu juga, di dunia bara ada juga yang seperti itu. Tapi versi bawah lautnya."
"Yang jelas, yang pertama harus kita lakukan adalah kembali ke Oasis tadi, iya kan?" Ucap Sal. "Soal bunuh membunuh, maaf Bara, tapi Aku tidak bisa melukai apalagi sampai membunuh seorang wanita."
"Eh, ke-kenapa Tuan?"
"Karena Aku adalah pria macho, dan seorang pria macho tidak akan pernah melukai seorang wanita."
Bara terkagum-kagum mendengar ucapan Sal. "Ngoaa~ Tuan Musisi memang kereen, apa Bara juga bisa seperti Tuan?"
"Tentu bisa, asalkan kau bukan seorang wanita, kau pasti bisa menjadi pria macho sejati." Ucap Sal sambil memeberikan jempolnya. "Nah Bara, ayo kita pergi menuju oasis. Boneka beruang itu yang biar Aku yang urus, apalah arti sebuah boneka dibanding pria macho sepertiku."
Sal pun berlari ke arah gunung Mhyr-juana, yang kemudian disusul Bara.
"Ngoaaaaaaa~ Tuan Musisi Super Keren!!" Mata Bara semakin berbinar-binar melihat gaya Sal. "Ah iya, si boneka beruang itu bisa memunculkan badai salju, makanya badan Bara yang kecil bisa sampai terlempar ke sini. Entah apalagi kekuatan yang dimilikinya. Tapi Bara percaya, Tuan Musisi pasti bisa mengalahkannya apalagi dengan tubuh macho yang Tuan miliki!"
"Oh, Oke." Ucap Sal dengan ekspresi datar. Walau dalam hatinya berkata. 'Sial.'
•••
[OPPORTUNIST]
Seperti yang telah diceritakan Bara, sebenarnya Salvatore lah yang pertama tiba di Oasis, karena haus dia kemudian meminum air yang ada di tengah Mhyr-juana, dan setelahnya berhalusinasi tentang konser para Musecian.
Peserta yang kedua datang adalah Bara Tumpara, dia pun langsung berhalusinasi tentang dunianya, dan berenang sepuasnya di danau oasis.
Yang ketiga adalah si Double Dullahan, Claude & Claudia. Claudia yang sebelumnya berhalusinasi tentang kereta kuda, akhirnya tiba di puncak dan melihat dua peserta lainnya yang sudah lebih dulu tiba di Oasis. Namun mereka terpengaruh musik Sal dan malah mesra-mesraan. Mereka berhalusinasi tentang bulan madu.
Yang keempat datang adalah Ursario, The Nottedy Beary. Dia juga masih dalam keadaan berhalusinasi dan mulai memancing ikan di danau Oasis.
Dan yang terakhir datang adalah Mayor Yvika Gunnhildr, sebenanya dia yang pertama datang di kaki gunung, tapi kemudian malah berputar-putar mengelilingi kaki gunung karena pengaruh halusinasi. Tiba di Oasis melihat Ursa yang sedang memancing, Bara yang asyik menyelam, Claude dan Claudia yang asyik bercumbu dan Salvatore yang bermain musik dengan khusyunya. Yvika bahkan sempat berkenalan dengan Ursario, karena mengira boneka beruang itu bisa dibawa pulang.
"Halo beruang imut, boleh berkenalan?" Tanya Yvika.
"Buraaa! Jangan mengagetkanku!" Bentak Ursa.
"Ah maaf, namaku Yvika-- Mayor Yvika Gunnhildr."
"Senang berkenalan dengan anda nona Mayor Yvika Gunnhildr."
"Nyonya, panggil saya Nyonya."
"Buraaaa!! Sudah terikat janji pernikahan ternyata, maafkan Aku."
"Tidak apa-apa, hmm, kamu mau gak saya ajak pulang untuk jadi teman Lana?"
Tapi ketika mendengar Sal yang masih dalam terhalusinasi memainkan Muse Rock, dan kemudian mulai melompat-lompat. Ursa pun langsung panik dan menembaki Yvika.
"Jadi teman Luxa Demon katamu?!"
Beruntung tembakan Ursa dilakukan secara serampangan, dan juga karena gerak refleks Yvika yang sangat baik sehingga wanita tentara itu tak mengalami luka sedikitpun. Tapi berkat itu, Yvika pun tersadar dari halusinasinya.
"Lana... Alain..." Ucap Yvika, tak sadar matanya mulai mengeluarkan air mata. Tapi tak butuh waktu lama bagi Yvika untuk kembali fokus, wanita tersebut kemudian segera menghilang dan bersembunyi.
Sementara itu Ursario yang juga tersadar kemudian melompat keluar dari kolam. "Ngoaa!! Air apa ini, bah, pahit banget!"
Tapi Bara mendengar musik yang dimainkan Sal, dan malah meniru gerakan Sal yang melompat-lompat.
"Buraaaaaa!!! Luxa Demon, kau ternyata memang antek Luxa Demon!" Ursario yang melihat kemunculan Bara semakin panik dan menjadi-jadi. Bahkan sampai berubah wujud menjadi Beruang Kutub dan mengeluarkan jurus badai salju. Tapi hal itu lebih karena rasa panas yang mulai dirasakannya. Bara pun bereaksi dan ikut-ikutan menggila untuk melawan Ursa.
Claude & Claudia yang masih memakai tubuh abadinya pun menjadi waspada dan mengawasi terlebih dahulu. Mereka sama sekali tak menyadari kehadiran Yvika yang berada di belakang mereka.
Mayor Yvika yg melihat Claudia lengah kemudian membidik dan bermaksud menembak kepalanya, tapi Claude yang menyadari bahaya lalu bertindak cepat dengan membelokkan arah peluru. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan, karena peluru malah mengarah kepalanya. Tanpa ampun peluru itupun menembus kepala Claude.
Claudia bisa diselamatkan, tapi harus dibayar mahal dengan kematian Claude.
Claudia yang tak terima dengan kematian kekasihnya, menjadi murka terhadap Yvika. Yvika berniat menembak kembali tapi terkena jurus Claustroclaucht dan bidikannya meleset. Claudia yang bertarung dengan emosional dihadapi Mayor Yvika dengan tenang.
Di tempat lain Ursa yang masih mengamuk dilawan oleh Bara, keduanya mengalami peningkatan adreanalin akibat musik Sal. Mereka bertempur sengit. Ursa Kutub menyemburkan nafas es dan membuat Bara kerepotan berjungkir balik untuk menangkis es dengan lenteranya.
Badai Saljunya semakin kencang dan menerbangkan Sal yang sedang dalam posisi melompat dari Bukit Meja Mhyr-juana setinggi 100 meter, dan terlempar sejauh 1 kilometer dari kaki bukit. Kakinya langsung masuk ke pasir hisap.
Berkat mimpi lainnya, Sal pun bangun dan menyadari dirinya terjebak. Yang kemudian secara kebetulan diselamatkan Bara yang juga terlempar dari puncak bukit meja dan mendarat tepat di pasir hisap. Bara sendiri sempat diselamatkan Yvika.
"Nah, kira-kira begitu cerita singkatnya Tuan Musisi." Ucap Bara yang terlihat kesusahan dalam memanjat gunung.
"Ng, terus terang Aku tak bisa berkomentar apa-apa. Terlalu banyak informasi yang sulit kucerna." Balas Sal yang juga kesulitan. Dalam kondisi biasa, memanjat gunung kecil seperti ini mudah baginya, apalagi tingginya hanya 100 meter. Tapi kondisi Sal yang kesakitan akibat bahu kanannya terluka membuat segalanya serba susah.
Namun mereka berdua tak menyerah, walau sakit atau kesusahan, walau keringat bercucuran, keduanya terus memanjat. Sampai di puncak berarti selamat, atau lebih tepatnya sepertiga jalan dalam memenangkan babak ini. Karena mereka juga harus berpacu dengan waktu yang tinggal satu setengah jam lagi.
Perjuangan keras keduanya kemudian menghasilkan suatu keajaiban, kegigihan mereka mengakibatkan munculnya sebuah batu berpendar hijau yang keluar dari tas gendong Bara.
"Itu Roh Suci Spinach!" Seru Bara, bersamaan dengan itu, batu bersinar hijau itu bersatu dengam lentera yang ada di ujung antena Bara. Seketika itu juga wujud Bara yang asalnya hijau berubah menjadi lebih hijau. Lentera yang ada di ujung antenanya berubah menjadi gerigi berputar, persis seperti gergaji mesin berbentuk bulat. Dan sebuah pusaran angin menyelimuti tubuh Bara, sehingga membuatnya melayang di udara.
Sal yang melihat kejadian itu hanya melongo.
"Tuan, ayo pegang lenteranya, kita sekarang terbang ke atas." Ucap Bara menawarkan bantuan.
"Maksudmu lentera yang mirip gergaji mesin itu?" Sal agak khawatir kalau harus memegang gerigi-gerigi lentera, dia tak ingin melukai jari-jarinya.
"Tenanglah Tuan, semua aman kok. Tak ada waktu untuk ragu, Tuan!"
Sal melihat ke bawah, dilihatnya permukaan padang pasir semakin meninggi, sementara kelima tanjung mulai membentuk dinding tegal lurus. Kalau Sal berlama-lama memanjat di tempat tersebut, niscaya dia akan terhimpit bebatuan tanjung.
Sal pun mau tidak mau harus mempercayai Bara, dia pun memberanikan diri memegang lentera bergerigi tersebut.
Setelah cukup nyaman, Sal menganggukkan kepala kepada Bara, tanda bahwa dia siap. Bara pun kemudian meluncur terbang ke puncak datar Mhyr-juana. Tak butuh waktu lama, mereka pun telah tiba di Oasis yang dituju.
"Jadi ini Oasis nya, Aku ingat sekarang, getaran Iramanya memang sangat kuat di sini." Ucap Sal sambil melirik ke arah kumisnya yang masih bergetar.
Tapi di puncak, kejadian mengerikan telah menanti mereka. Mereka berdua mendapati Yvika telah kehilangan kepalanya berkat Claudia, tangannya terlihat merenggut rambut kepala sang mayor. Entah pertarungan seperti apa yang mereka lakukan, yang jelas pemenang pertarungan antara keduanya adalah si Dullahan wanita.
Claudia yang melihat kehadiran Sal dan Bara hanya menatap kosong terhadap keduanya. Wanita itu kemudian berjalan gontai setelah menjatuhkan kepala Yvika. Apapun itu, dia telah membalaskan dendamnya terhadap Yvika.
Sal dan Bara yang melihat kejadian itu hanya bisa saling berpandangan.
"Wanita jahat, mirip sekali Motavatu. Tuan, biar Bara yang mengurus wanita itu!" Ucap Bara dengan tegas.
"Ng, baiklah." Sal tak bisa menjawab apa-apa lagi. "Ini kedua kalinya Aku melihat nyawa wanita cantik disia-siakan sepeti ini. Sungguh teganya, teganya, teganya, teganya, teganya..."
"Bara berangkat dulu Tuan. Bara tak tahu siapa yang akan menang, tapi, hmm, sampai berjumpa lagi Tuan."
"Iya Bara, berjuanglah."
Bara pun pergi meninggalkan Sal, pergi ke arah Claudia pergi. Sementara Sal mulai mencari-cari di mana boneka beruang itu berada. "Nah sekarang giliranku."
"Aku hanya harus membunuh satu orang, ayolah Sal, mereka tidak nyata, kuatkan dirimu!" Ucap Sal memotivasi dirinya sendiri.
"Di realitas yang lain, salah satu dari mereka ada kemungkinan sedang bertarung dengan diriku yang lain, hmm, bukan, tapi Aku bukanlah petarung, di realitas yang lain kemungkinan besar Akulah korban pertama, ya pasti begitu, sialan!"
"Di realitas yang lain, Aku pasti mati. Dan kalau Aku tidak menang di realitasku sendiri... Akulah yang mati dibinasakan si Truk!"
•••
Tak disadari para peserta yang lain, Ursa telah melakukan ritual khususnya yaitu menarik jiwa Claude yang telah mati.
"Ng, Whitey Heady! Aku, inkarnasi Demonlord Ursario, mengakui ketangguhan jiwa tempurmu!!"
Mulut Ursario kemudian merapal mantra-mantra dalam bahasa yang aneh. Tubuh sang boneka langsung diselimuti cahaya gelap, bersamaan dengan itu, entah bagaimana caranya, jiwa yang awalnya menetap di kepala Claude akhirnya terhisap ke arah Ursario dan masuk melalui suatu lubang di tubuh boneka tersebut.
"Ajaib, jiwa pemuda ini sepertinya tidak langsung menghilang. Entah apa yang menahannya. Nah sekarang--"
Ursario kemudian mencium bau darah yang semakin mendekatinya, dengan cepat boneka itu bersembunyi di semak-semak sekitar Oasis. Bau darah itu berasal dari pisau jagal yang masih dipegang Claudia.
Claudia kemudian menjatuhkan pisau itu dan kemudian bersimpuh memeluk kepala Claude yang sudah tak bergerak.
"Maafkan Aku sayang, Aku gagal menjagamu, padahal Aku berkali-kali meyakinkanmu bahwa sekarang giliranku untuk menjagamu. Tapi lagi-lagi Akulah yang kau selamatkan." Claudia pun menangis tersedu-sedu.
Tak lama berselang, sesosok mahkluk pendek berantena gerigi datang menghampiri Claudia. Dari balik persembunyiannya, Ursario mengenali sosok tersebut. "Si Greeny Lanterny, ng, Greeny Lanterny Sawey?"
.
"Ngoahaha~ bukan saatnya kau menangis, dasar wanita jahat pemenggal entitas!" Ucap Bara memulai tantangannya.
Claudia hanya menatap tajam Bara, matanya terlihat penuh berlinang air mata.
"Jangan... Ganggu... Aku!!!" Teriak Claudia, secara tiba-tiba pisau jagal yang tadi dijatuhkannya terbang dengan cepat ke arah Bara.
Bara cukup terkejut dengan hal itu, tapi bukan berarti dia lengah. Dengan cepat Bara bersalto untuk menghindar, dengan menggunakan lentera yang telah berubah menjadi gergaji, dia menangkis pisau terbang itu ke arah lain. Tapi entah kebetulan atau tidak, arah tangkisan itu tepat mengarah ke semak tempat Ursario bersembunyi.
Untungnya pisau itu hanya menancap seperkiancentimeter jaraknya dari badan Ursa.
"Bahaya, si Greeny Lanterny Sawey jadi semakin berbahaya, begitu juga si Whitey Girly itu. Aku harus cepat kabur dari sini." Ursa pun mengendap-endap pergi dari sana.
Sementara itu Bara yang mendapat serangan tak terduga hanya tertawa. "Ngoahahaha~ ternyata kau bisa telekinesis juga ya. Tapi Bara takkan kalah, terima ini!"
Bara menggunakan kekuatan angin dari Roh Suci Spinach kemudian berputar-putar mengelilingi Claudia, tujuannya jelas, Bara bermaksud melancarkan serangan lentera bergerigi secara bertubi-tubi terhadap Claudia.
Tapi Claudia hanya diam di tempat, dengan sedikit gerakan tangan, Claudia kemudian mengaktifkan Claustroclautch-nya dan membuat sebuah benteng kubus yang melindungi dirinya dari serangan bertubi-tubi Bara si Tumpara.
Sebuah serangan yang mampu menghempaskan semua jenis makhluk fisik ataupun energi apapun, melawan kemampuan bertahan absolut. Entah siapa yang akan menang di antara keduanya.
•••
Ursario yang berhasil menjauhi arena pertarungan Claudia dan Bara Tumpara, akhirnya bisa bernafas lega.
"Untunglah, kalau Aku harus bertarung lagi dengan mereka, Aku takkan sanggup. Aku terlalu memforsir kekuatanku gara-gara si Yellowy Monkey sialan itu!"
Ursario kemudian membetulkan letak kacamata, jaket dan topinya yang berantakan saat bersembunyi tadi.
"Nah, mana wanita yang tadi bertarung melawan si Whitey Girly?" Tapi belum sempat Ursa mencari keberadaan wanita yang dimaksud, hidungnya mencium bau yang cukup familiar.
Tapi terlambat, seekor monyet raksasa dengan cepat menerjang Ursa, monyet itu telah menyita tubuhnya.
"Sialan Yellowy Monkey, lepaskan Aku!" Teriak Ursa.
Setelah mengeluarkan wujud beruang kutub dan beberapa kali menggunakan kekuatan dari ekstrak jiwa petarung yang telah dikumpulkannya ketika melawan Bara, membuat tubuh boneka Ursa kelelahan. Jiwanya sendiri melemah, dia hampir sama sekali tak punya tenaga untuk melawan tenaga Sal.
"Sekarang bagaimana cara untuk membunuhmu?" Sal memberi pertanyaan yang pastinya tidak akan dijawab Ursa. Sal pun membolak balik tubuh Ursa yang hanya sepanjang kepala afronya tersebut. Dilucutinya satu persatu dari mulai senapan rifle, jaket, topi dan tak lupa kacamata.
"Apaan, ternyata benar-benar hanya sebuah boneka biasa." Komentar Sal.
"Diam! Kau juga sama anehnya tahu, apaan rambut itu, dan kumis getar itu, sungguh menggelikan!" Balas Ursa.
"Jangan salah, kumis ini lambang keperkasaan pria, mahkluk sok imut sepertimu mana mengerti arti macho bagi seorang pria."
"A-Aku imut katamu? Jangan pikir Aku bisa terlena dengan pujian seperti itu, dasar Vibraty Mustachey!"
Sal tak membalas perkataan Ursa dan terus memeriksa tubuh boneka tersebut. Walau terlihat seperti boneka biasa, tapi kumis Sal tidak pernah berbohong. Semenjak memegang boneka tersebut, kumisnya bergetar sangat hebat, menandakan ada suatu Irama luar biasa tersembunyi di balik tubuh mainan tersebut.
Tapi Sal mencoba mengesampingkan fakta tersebut, dan fokus terhadap hal yang lebih penting. Karena dilihatnya kelima tanjung sudah semakin tegak berdiri, daratan yang asalnya dipenuhi padang pasir berganti menjadi dinding terjal berbatu setinggi 5 kilometer.
"Kau boneka kan? Jadi pada dasarnya kau bukanlah makhluk hidup, dan harusnya dengan merobek-robek, mengoyak-ngoyak tubuhmu. Itu sama saja dengan membunuhku kan?"
"Kau saja yang mati, Vibraty Mustachey Yellowy Monkey!"
"Untuk sebuah boneka, bulumu lumayan tebal juga ya."
"Buraaa! Lepaskan Aku cepat!!"
Namun Sal tak memperdulikan ucapan Ursa dan terus membolak-balik tubuh Ursa. Hingga matanya menemukan satu jahitan menarik di punggung Ursa.
"Apa ini?" Tanya Sal. "Ritsleting?"
"BURAAAAA!! JANGAN DIBUKA!" Teriak Ursa spontan.
"Ho~ kenapa kalau dibuka?" Tanya Sal penasaran.
"Ng, maksudku itu hanya, hmm--"
Tapi terlambat, Sal dengan senyum jahat membuka ritsleting itu. Hal yang berikutnya terjadi membuat Sal melemparkan tubuh boneka Ursa ke tanah, dari lubang boneka tersebut berhamburan puluhan jiwa yang sebelumnya terjebak di dalamnya. Sal bisa melihat dengan jelas jiwa-jiwa itu, sementara itu kumisnya tak henti-hentinya bergetar.
Jiwa-jiwa yang keluar dari boneka beruang itu kebanyakan kecil, menandakan jiwa tersebut bukanlah jiwa yang memiliki suatu kemampuan. Tapi sedikitnya lima sampai enam jiwa berukuran besar menyeruak dengan kasar dari lubang ritsleting. Jiwa-jiwa tersebut kemudian dengan cepat terbang ke angkasa.
Jiwa terakhir yang keluar sedikit berbeda dengan jiwa-jiwa sebelumnya, sebuah jiwa berwarna hitam tampak berusaha bertahan dan kembali, tapi apa daya, jiwa itu bernasib sama seperti jiwa lainnya, terbang jauh ke angkasa, meninggalkan sebuah boneka beruang lusuh yang kempes.
Kumis Sal tak lagi bergetar hebat seperti sebelumnya, getaran yang dirasakannya hanyalah getaran kecil tanda Irama Pulau masih menyala.
"Gila, makhluk apa sebenarnya kau?" Sal meraba-raba permukaan boneka beruang itu, tapi tak ada reaksi sama sekali. "Apa Aku sudah membunuhnya?"
•••
Mengandalkan satu tangan kirinya, Sal meloncat- bergelantungan dari satu batuan ke batuan lainnya, memanjat dinding tanjung yang sudah tegak berdiri. Kelima ujung tanjung sedikit lagi mulai menyatu, membentuk dinding penjara yang menahan siapapun yang berada di dalam pulau untuk keluar.
"Aku sempat khawatir soal harus kembali ke titik awal, tapi kalau titip awalnya bersatu seperti itu, tujuanku hanya satu."
Jarak dari titik awal ke kaki gunung Mhyr-juana kurang lebih 4 kilometer, sedangkan tinggi gunung sendiri sekitar 100 meter. Jadi Sal harus memanjat lebih kurang 3,9 kilometer lagi untuk sampai ke titik awal yang disyaratkan.
Dan dia sekarang baru mencapai kilometer kedua, sisa waktu tinggal 30 menit lagi.
"Sial, berat banget!" Ucap Sal dengan nafas yang terengah-engah. "Jangan berhenti Sal, ayo terus maju!"
Tiba-tiba di tengah perjalanan dia mencium bau aneh. "ini bau darah."
Ketika Sal melihat kebelakang, seorang wanita berambut putih yang memeluk sebuah kepala tampak melayang tenang. Tubuh si wanita terlihat seperti berdiri di suatu permukaan elevator tak kasat mata.
Wajahnya tampak berlumuran darah, dengan pandangan mata yang terlihat lelah. Sal dan si wanita sempat saling berpandangan, tapi si wanita seperti tak memperdulikan Sal dan terus memeluk kepala di dadanya. Sementara tubuhnya terus layang menuju ke atas.
"Jadi Bara kalah?" Sal seakan tak percaya menerima kenyataan itu.
"Apa ke depannya Aku harus melawan wanita-wanita seperti ini? Ah sialan!"
"Dan kapan Aku bisa terbanmg seperti itu?!" Ucap Sal sambil melanjutkan perjalanannya.
"Apa waktunya sudah habis? Hosh!"
"Bagaimana caranya supaya Aku lebih kuat lagi? Hosh, hosh!" Sal merasakan nafasnya mulai habis, staminanya menurun.
"Haruskan Aku lebih kuat lagi?"
"Aku hanya seorang... Musisi... Sialan! Hosh, hosh!"
Titik awal tanjung sudah menyatu sepenuhnya, menyisakan lubang di langit merah. Ketika Sal melihat ke bawah, yang ada hanya kegelapan malam. Hanya tinggal beberapa meter lagi. Tapi Sal mulai merasakan tangan kirinya bergetar, dia bahkan sudah tak kuat lagi menggerakkannya.
"Hanya sampai di sini sajakah? Padahal tinggal beberapa panjatan lagi."
Tangan kiri Sal terus bertahan dan bertahan. Dia coba memaksakan mengangkat tubuhnya. Tapi yang terjadi, pegangan tangannya terlepas. Berat tubuhnya membuat monyet kribo itu terjatuh.
"Ah!"
Namun di detik-detik itulah sebuah tangan merah menjangkau tangan kiri Sal yang terlepas. Hyvt yang ditugaskan mengantar jemput Sal telah menolongnya.
"Kau menolongku?" Tanya Sal yang sudah kelelahan. "Tapi Aku tidak bisa mencapai titik awal. Aku kalah kan harusnya?"
"Hmm, sebenarnya titik awal anda ada di Oasis Mhyr-juana. Tapi tentu saja anda tidak mengingatnya karena saat anda saya turunkan, anda tidak dalam keadaan sadar." Jawab Hyvt dengan wajah datar.
"Apa?! Jadi sebenarnya Aku diam di Oasis saja itu sudah bisa dianggap menang?" Ujar Sal geram.
"Iya." Jawab Hyvt singkat.
Sal ingin lebih marah lagi pada Hyvt itu yang telah membuatnya memanjat sia-sia, tapi dia terlalu lelah untuk itu. Namun kemudian dia tersadar sesuatu hal dan tertawa.
"Hahaha, Aku tahu, kau membalas perbuatanku waktu itu ya?" Ucap Sal sambil terus tertawa.
Hyvt itu tak menjawab. Dia hanya diam dan terus menarik tubuh Sal menuju pintu keluar pulau.
"Ya sudahlah, terima kasih Hyvt, hmm, terima kasih Sohyvt." Sal kemudian memejamkan matanya. "Itu panggilanku untukmu, Sohyvt."
"Sohyvt?" Hyvt tersebut tampak keheranan.
Tapi Sal tak menjawab, mulutnya hanya tersenyum puas sementara matanya terlelap kembali ke alam mimpi.
[ROUND 2 - MHYR: END]
•••
[Ekstra Bagian Ke-2] Mimpi Di Alam Mimpi
Salvatore adalah seorang perantau, sama seperti ayah, kakek, kakek buyut dan seluruh bangsanya. Ketika seorang anak Meteo sudah cukup umur, mereka diwajibkan untuk merantau, atau mengambil istilah mereka, "jarambah" ke planet lain. Mereka jarambah ke planet-planet yang lain, bahkan ke galaksi yang sangat jauh. Tradisi ini berlanjut sampai sekarang, termasuk Sal.
Sal sendiri memilih merantau ke sebuah planet bernama Krismon. Planet kecil berwarna hijau yang berada di gugusan bintang Akuntansi ini merupakan planet yang terkenal akan keindahan alamnya dan juga sebagai pusat bahan tambang Zamrud terbesar seantero galaksi. Sal memilih Crysmon karena dia menyukai warna hijau.
Sal mendarat di sebuah kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Rupiah. Kerajaan Rupiah merupakan satu dari banyak kerajaan yang berdiri di planet Krismon, di kerajaan kecil inilah Sal mencoba peruntungannya. Sal termasuk pekerja keras, dia pernah bekerja sebagai tukang bangunan, tukang cilok, tukang balon dan banyak lagi pekerjaan yang dia geluti, tapi tak satupun berhasil. Dia juga pernah mencoba menjadi pekerja tambang, tapi tidak dilanjutkannya hanya karena dia tidak tega memecah batu.
Hidup Sal sangat pas-pasan, untuk membayar kost-kostan pun tidak cukup. Sal pun memilih tinggal di pingiran kota. Untuk biaya makan sehari-hari Sal bekerja serabutan, dari menjadi tukang semir sepatu sampai menjadi pemulung. Tapi Sal lumayan sabar dan menjalani hidupnya tanpa mengeluh.
Di kerajaan itu Sal berteman dengan seorang anak yang suatu hari tiba-tiba muncul entah darimana. Pada awalnya si anak cuma melihat dari kejauhan, seakan tak berani mendekati Sal, tapi mungkin wajar mengingat tubuh Sal yang terlihat buas dengan ekor yang tak pernah bisa diam. Sal yang menyadari hal itu tak terlalu memperdulikan anak tersebut.
Tapi hampir tiap hari si anak selalu datang dan memperhatikan Sal dari jauh, seakan coba meneliti Sal dengan rasa ingin tahu seorang anak yang tak terbatas. Dan anehnya si anak selalu datang di waktu yang sama, yaitu pada waktu sore menjelang maghrib.
Merasa sudah cukup lama membiarkan si anak memperhatikan dia terus, Sal mengambil inisiatif pertama mendekati dia.
"Hei, anak kecil!" Seru Sal sambil melambai-lambaikan tangannya yang besar panjang ke arah anak tersebut, kemudian Sal mengambil sesuatu dari balik kantongnya. "Mau roti?"
Si anak sedikit terkejut dan agak ragu menerima tawaran Sal. Tapi tak butuh waktu lama untuk berpikir, si anak kemudian mendekati Sal. "Aku gak lapar."
Mendengar jawaban si anak, Sal tak terlalu memaksa untuk menawarkan lagi satu-satunya makanan yang akan jadi makan malamnya nanti.
Untuk sesaat dilihatnya anak tersebut, tidak ada yang aneh dengan penampilan si anak. Terlihat seperti manusia planet Krismon pada umumnya, pakaiannya pun khas anak-anak di kerajaan Rupiah.
Walau ada yang aneh dengan wajah si anak yang terlihat sangat terawat dan rambut model helm batoknya yang juga terlihat apik, agak berbeda dengan anak-anak pinggiran kota yang sering Sal lihat.
Tapi mungkin orang tua si anak sangat memperhatikan kebersihan, atau mungkin juga anak itu anak pejabat atau pedagang di kerajaan tersebut, itu yang ada di pikiran Sal.
"Kakak manusia planet lain ya?" Tanya si anak tiba-tiba.
Sal hanya mendengus. "Udah keliatan kan? Apa kau punya ekor panjang sepertiku? Ato bulu lebat dan rambut afro dengan biji mete di atasnya?"
Si anak tentu saja menggeleng. Kemudian si anak tersenyum lebar, seakan-akan bangga telah berhasil mengkorfirmasi kalau Sal adalah manusia planet lain. "Apa kakak bisa terbang? Atau punya ilmu telekinesis, atau menjadi raksasa cahaya?"
"Tidak, tidak dan tidak!" Jawab Sal tegas.
"Apa kakak bisa berjalan di atas air? Menembakkan sinar penghancur dari mulut? Atau mengendalikan bulu hidung seperti pecut?" Tanya si anak lagi.
"Yang terakhir seperti agak menarik, tapi semuanya tidak, nah sekarang--" Belum sempat Sal menyelesaikan kalimatnya, si anak berkata. "Terus, kakak bisanya apa?"
"Eh, apa--" Sal yang terkejut mendengar perkataan si anak kemudian berdiri, wajahnya menunjukkan ekspresi marah. Tubuh Sal yang setinggi 2,5 meter tampak menjulang di hadapan si anak yang hanya 1,5 meter.
Tapi si anak tak terlihat takut, bahkan menatap balik dengan wajah tanpa dosa terhadap Sal. Justru Sal yang malah terlihat gugup. "A-Aku bisa melakukan Keparatt!"
"Apa itu Keparatt?" Tanya si anak.
"Keparatt itu ilmu bela diri bangsaku, lihat nih!"
Sal kemudian melompat dan melakukan atraksi dengan menggerak-gerakkan badan, tangan dan kakinya secara dinamis. Semua gerakan serangan berasal dari kaki dan dilakukan dengan memutar-mutar badan, mirip gerakan Kapoera dari Planet Rio. Sal melakukan semua gerakan dengan luwes dan indah, membuat si anak terkagum-kagum. Dan dia terus melakukan semua gerakan bela diri tersebut selama hampir sepuluh menit, diiringi tepuk tangan si anak.
Setelah selesai melakukan semua gerakan dasar Keparatt, Sal tampak seperti kehabisan nafas. Si anak kembali bertepuk tangan.
"Wah, kakak hebat," Si anak tampak gembira, dan terus bertepuk tangan. Dari balik loketnya si anak kemudian mengambil sekeping uang logam dan diberikannya pada Sal.
Sal yang masih ngos-ngosan menerima saja uang logam pemberian si anak. Dia terkejut waktu melihat koin berwarna emas.
"Besok Aku kembali lagi ya, hari sudah mulai gelap. Dadaah!" Ucap si anak sambil melambai-lambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Sal yang masih terbengong-bengong.
"Apa-apaan anak itu, entah kenapa Aku merasa terintimidasi seperti ini?!"
Besoknya kejadian yang sama kembali terjadi. Si anak tampak menginginkan Sal untuk melakukan sesuatu, dan Sal pun menyanggupinya. Kali ini Sal melakukan lompat tali sambil berdiri dengan kedua tangannya, Sal melakukannya sampai seratus kali lompatan.
Dan sama seperti sebelumnya, si anak memberi Sal sekeping koin emas.
Kejadian itu terus berulang selama berhari-hari, total koin emas yang sudah dikumpulkan Sal adalah tujuh keping.
Tepat di hari ke delapan, Sal mulai protes. "Kenapa Aku harus terus melakukan apa yang kau mau?"
"Kakak gak mau koin emas?" Tanya si anak.
"Ya, kalau beneran terbuat dari emas sih mau, tapi ini kan coklat yang dibungkus kertas alumunium berwarna emas!" Seru Sal marah. "Aku maunya koin emas asli tau!"
"Hmm, tapi di planet ini koin emas dilarang, sebagai alat pembayaran digunakan uang kertas." Jelas si anak.
"Iya Aku tahu itu, Aku sudah cukup lama tinggal di planet ini--"
"Tapi Aku tidak punya uang kertas, Aku cuma punya koin emas ini untuk kuberikan."
"Maksudmu coklat koin, memangnya orang tuamu jualan coklat ya? Hmm, tapi sudahlah... Yang jelas, Aku gak bisa kenyang hanya dengan memakan coklat."
"Benar juga sih, badanmu kan tinggi besar, mana mungkin cukup hanya dengan makan coklat."
"Gak gitu juga sih, Aku suka coklat, tapi Aku butuh makanan yang lebih buas dari ini, hanya saja Aku butuh uang beneran untuk membeli makanan yang besar."
Mendengar perkataan Sal, si anak berpikir sejenak. "Ya sudah, besok Aku kembali lagi ya, akan kupikirkan suatu cara supaya Kakak bisa mendapatkan uang untuk beli makanan."
Sal hanya geleng-geleng kepala melihat si anak yang pergi meninggalkan dia tanpa beban, dia kemudian teringat kalau si anak sepertinya melupakan sesuatu. "Dia lupa memberi koin emasnya."
•••
Keesokan harinya si anak datang lagi, dia membawa selembar poster di tangannya. "Lihat Kak, baca, ini mungkin bisa jadi kesempatan untuk mendapat uang banyak."
Sal mau tidak mau melihat poster tersebut, disana tertulis: LOMBA MENYANYI TINGKAT KABUPATEN.
Sal mencoba memahami apa yang diinginkan si anak, tapi otak Meteo-nya sepertinya menolak untuk paham. "Apa ini?"
"Sekali baca aja udah tau kan?" Jawab si anak dengan mata berbinar-binar. "Ini kesempatan Kak, Kakak pasti bisa memenangkan lomba ini!"
"Coba baca sekali lagi paragraf sebelumnya, apa ada perkataan yang mengindikasikan kalau Aku bisa menyanyi?"
Tak menghiraukan perkataan Sal, si anak berkata dengan semangat berapi-api.
"Lombanya tepat satu bulan lagi, kita tak punya banyak waktu, besok kita harus mulai mempersiapkan diri Kak!"
"Kita harus mengasah lagi kemampuan Kakak, bela diri Keparatt, dan lompat tali pake tangan, juga mengupas kulit kelapa pake gigi, semua harus lebih diasah lagi!" Lanjut si anak.
"Bukannya ini lomba menyanyi?!"
Berhari-hari kemudian, Sal di bawah pengawasan si anak mulai menjalani latihan keras. Lari sejauh 50 kilometer, renang sejauh 30 kilometer, 200 kali push up dan sit up, naik turun tangga seribu di Gardu Induk Cimaung dan latihan berat lainnya. Semua gerakan dasar Keparatt makin dipetajam, kemampuan menangkap ikan dengan tangan dan kemampuan gak penting lainnya makin diasah. Semua itu terus dilakukan selama berhari-hari, berminggu-minggu harus dijalani Sal tanpa henti.
Bermingu-minggu kemudian latihan itu pun mulai membuahkan hasil, Sal sekarang mampu melakukan atraksi Keparatt selama berjam-jam tanpa lelah sedikitpun. Di minggu keempat, terjadi perbincangan serius antara keduanya.
"Nah, dua hari lagi lombanya akan dimulai." Ucap si anak memulai percakapan. "Kali ini Aku yakin 100% Kakak akan menang!"
"Iya, untuk pertama kalinya Aku juga merasa yakin, kalau semua latihan yang telah kulakukan selama empat minggu ini, gak ada hubungannya dengan lomba nyanyi." Balas Sal dengan nada penuh pesimistis.
"Oh iya, kalau bisa kakak cukur juga kumis kakak!" Seru anak itu dengan semangat.
"Enak aja!" Tolak Sal dengan keras. "Kumis ini kumis kebanggaanku tau! Aku mendapatkannya setelah berlatih selama bertahun-tahun, dah kau...."
Sal kemudian menyadari sesuatu yang janggal, pada saat dia pertama kali bertemu dengan anak itu, Sal tidak menumbuhkan kumis. Kumis itu didapatnya setelah lama berpisah dengan si anak, kumis itu juga tanda bahwa dia adalah generasi pertama MUSTACHIO. Dan Mustachio berdiri bertahun-tahun setelah Sal meninggalkan Planet Krismon.
"Eh, tunggu bentar, rasanya ada yang aneh."
"Di sini cuma kumismu yang aneh tau." Ucap si gadis.
'Gadis?'
Mata Sal terbuka lebar mendengar suara tersebut, suara serak-serak basah yang tak mungkin dia bisa lupakan. Suara dari seorang gadis Krismonian yang telah membuatnya kehilangan rasa suka terhadap uang kertas. Dan benar saja, ketika Sal membalikkan badan, seorang gadis muda berdiri dengan manis di hadapan Sal.
"DOLA!!"
•••
Sepuluh!
ReplyDeleteSepuluh!
Kuberikan nilai sepuluh untuk Salvatore Jackson!
Bagaikan lagu, irama tulisan ini mengalir indah saat dibaca. Dialognya mengalun begitu alami, melintasi batas-batas kepenulisan fantasi negeri ini. Terselip parodi dalam penamaan karakter-karakter, pun begitu terasa suatu makna di dalamnya. Bahkan uniknya semua seolah menyatu, bukan sekadar pengambilan potongan dari hal lain.
Cerita diawali dari akhir ronde 1, cerita di sela-sela, sampai ada mimpi khayalan. Tapi demi angin yang bertiup di padang pasir, tiada satu pun yang membuatku memalingkan mata. Semua melantun seirama layaknya kesatuan nan solid.
Terdapat perbedaan waktu pada tiap adegan, namun semua terjelaskan dengan baik dan saling menghubung. Pertarungan berlangsung tidak dipaksakan, dipertajam dengan narasi epik yang khas. Ursario kalah sebagaimana dengan makhluk yang kalah apabila tersentuh titik lemahnya.
Sepuluh!
Sepuluh!
Nilai sepuluh untuk Salvatore Jackson!
Bahkan dua lagu yang diselip di tengah cerita membuat hatiku turut bernyanyi. Berlarilah wahai monyet kuning! Majulah dan terus warnai turnamen ini dengan irama sulingmu!
Dan demi daun-daun kurma yang bergemerisik di siang hari, aku bahkan sampai tidak peduli dengan typo-typo yang kadang terlintas di antara barisan kata dan kalimat.
DeleteDan Hvyt! Bagaimana ia bisa menjadi Sohvyt! Betapa permainan kata-kata yang luar biasa. Mhyr-juana!
DeleteSungguh kekagumanku tiada berhenti. Entah rasanya pujian-pujian tak akan cukup meski kulontarkan berapa pun juga untuk menggambarkan puasnya hati ini.
Dendi Lanjung:
DeleteMakasih udah baca ya, ni-nilai 10!! Mudah-mudahan gak salah nilai XD
ga salah koq gan, ane jatuh cinta baca ini
Delete==Riilme's POWER Scale on Salvatore Jackson's 2nd round==
ReplyDeletePlot points : B
Overall character usage : B
Writing techs : B+
Engaging battle : B
Reading enjoyment : B+
==Score in number : 7,4==
Sama kayak penulis Kilat yang kebetulan baru saya baca sebelum ini, penulis Sal juga manfaatin apa yang terakhir terjadi di pertandingan sebelumnya buat pembuka ya. Saya juga seneng brief conversation antara Sal sama Nurin, yang kayanya udah sedikit menyentil soal parallel universe (ya, setiap BoR tema ini pasti bakal selalu ada).
Hal yang dominan dan notable dari cerita ini masih sama kayak pertandingan sebelumnya, yaitu plesetan nama dan dialog jenaka. Itu bikin cerita Sal punya kekhasan tersendiri, belum lagi dua insert song( kenapa r2 jadi populer masukin insert song ke cerita?) dan halusinasi Sal, lumayan mengukuhkan karakternya sebelum masuk ke inti pertandingan.
Rada disayangkan bahwa actual matchnya buat asaya agak kebanting sama awalannya, dalam arti sedikit less impactful. Pertarungannya berkesan sekedar lalu kalau dibanding r1 di mana Sal ga berbuat banyak tapi battle tetep beneran jalan. Ide marijuana ternyata kepake di sini pula, ga nyangka. Tapi tetep salut karena karakter Sal ga melenceng, dan bikin saya mikir, kayanya nyaris semua yang ngalahin Ursa semua pasti metodenya sama dari dulu - buka ritsleting belakang dia.
Yang murni mengalahkan Ursa tanpa buka retsleting itu baru Nema dan Yvika~
DeleteDendi Lanjung:
DeleteYa makasih udah baca, & iya lagi-lagi ini nilai yang pantas. Konsepnya sebenarnya udah ada di pikiran saya, pertama flashback, kedua battle, tapi pas battle sy udah kehabisan bensin kayanya, maaf.
Enzeru: "Jambu keberuntungan? Kau ini bicara apa? Mana ada yang begituan!" *jitak kepala Sal*
ReplyDeleteAsli, udah ngakak sejak baca dialog pertama, kedua, dan ketiga dari Sal ini XD walaupun ini banyak fokus ke Sal, tapi tetep menarik untuk diikutin. Udah nyangka si bocah itu Dola, tapi ngga mau berhenti baca ekstranya sampe akhir. Latihannya udah kayak pake BGM Rocky. Ending yang dikemas kayak gitu bisa bikin pembaca ga sadar nyunggingin senyum dan ikutan seneng.
Andil Hvyt meningkat drastis dari R1, di sini dia semacam pemandu/pelayan/messenger yg dibuat kerepotan sama tingkah Sal, kayak Iron Clock di Air Gear, atau si paman2 sipit di The Breaker
Tentang entrant, anehnya si Bara langsung bikin kesan ngga mau macem2 sama Sal dan ga gentar nentuin target bunuhan masing2. Ursa yg dibuka risletingnya digambarin jelas waktu keluar sama jiwa2 lainnya. Backstory Yvika ngaruh seperti biasanya. Suka sama cara CC yg notabene ga banyak becanda diblend di cerita komedi macam ini, kayak waktu Claudia liat kuda, kebayang matanya berbinar2.
9/10
Dendi Lanjung:
DeleteNilainya kegedean nih, padahal sy sendiri kurang puas ma yang kedua ini XD
Tapi makasih Kang Wildan ^_^
Moi sebenernya salah satu yang menantikan canon Sal setelah dibuat ngakak di canon R1. Di sini porsi humornya tetep ada, karakter Sal yang rada whimsical juga ada. Tapi moi agak let down karena ceritanya agak bertele-tele dan battle-nya yang kurang gereget. 7 dari moi.
ReplyDeleteOh lupa nambahin pesan sponsor dari author moi. Typo dan kesalahan EYD-nya bertebaran di mana2 :D
DeleteD. Lanjung:
Delete*bersujud
Maaf, sekali lagi maaf, karya yg kedua ini menurun banget, sy sendiri merasa sangat tidak puas, typo & eksekusi cerita yang berantakan sama sekali bukan yang saya harapkan ><
Kalo masih diberi kesempatan lolos, saya akan lebih perbaiki lagi *A*
Mungkin :3
~~~ ( >A< ) ~~~
ReplyDelete