Pages

April 14, 2014

[ROUND 1 - K] MBA IRWIN - PERANG TIDAK PERNAH USAI

[Round 1-K] Mba Irwin
"Perang Tidak Pernah Usai"
Written by [.Re]

---

Seorang gadis berrambut pelangi terhias hiasan sayuran terduduk
tergugu di trotar bersih. Walau seharusnya rambut itu menarik
perhatian tapi tidak ada satupun pejalan kaki yang menggubris. Pun
tidak saat gadis itu terus berteriak ketakutan memanggil nama

"Anta?!"

Beberapa kali gadis itu celingukan kiri dan kanan, berharap suaranya
terdengar. Air matanya mulai turun dan beberapa kali ia berujar "Maaf
dewata... maaf... ini bukanlah surga yang kuinginkan," lalu ia
mengusap air matanya dengan baju hitamnya.

Mereka yang mengenal gadis ini mungkin akan terpana sejenak melihat
situasi ini. Bagaimana tidak, gadis ini mengemban julukan Peace Maker.
Julukan yang mampu menggentarkan prajurit terkuat ini telah membuat
remuk redamnya pertikaian dan perang dari berbagai negara. Begitu nama
Mba Irwin sang Peace Maker disebut, biasanya para pelaku pertikaian
akan menangis takut. Banyak pula prajurit yang memberi nama lain bagi
Mba seperti pelangi berbaju hitam pembawa bencana.

Sekarang situasi ini berkata sebaliknya.

Mba Irwin tidak pernah segamang ini. Ia tidak habis pikir tentang
situasinya. Pertama, ia berada di lokasi yang asing. Pemandangan di
tempat ini berbeda jauh dengan dunianya. Secara ringkas, tempat ini
terlalu bersih. Tidak ada reruntuhan, bangunan yang terbakar atau
peringatan ranjau.

Dan kedua, semua pejalan kaki dan makhluk hidup mengabaikan
keberadaannya seolah Mba hanyalah kerikil di pinggir jalan. Ketiga, ia
tidak melihat satu pun manusia yang membawa senjata –setidaknya selama
ia sadar. Padahal keamanan masih menjadi kebutuhan penting kedua
setelah perut. Karenanya ia mengambil kesimpulan (absurd) bahwa tempat
ini adalah surga.

Bukannya senang, Mba Irwin justru gemetar takut. Bukankah surga
berarti tempat berkumpulnya sepasang kekasih? Mengapa justru ia tidak
menemukan Antakaba di tempat ini? Kepalanya dihantui berbagai
pertanyaan buruk yang membuatnya mulas.
Apa dirinya tidak dianggap kekasih oleh Antakaba? Apa dirinya
dipisahkan karena Antakaba bukanlah jodohnya? Apa berarti dirinya
dianggap terkutuk oleh dewata? Apa jangan-jangan Antakaba masuk
neraka?
Dan Mba butuh jawaban.

Mba mencengkram dadanya. Ia menggigit bibir untuk membuang rasa takut
yang terus bercokol. Entah sudah berapa kali ia mencoba berdiri tapi
tak mampu. Lututnya selalu goyah setiap kali ia mencoba berdiri.

"...Anta..." panggilnya lagi, menjadikan kata itu sebagai penyemangat
alih-alih biang takut. "Anta..."

Mba Irwin akhirnya bisa berdiri setelah mengucap "Anta," untuk kali
ketiga. Asupan energi itu belumlah cukup, Mba masih lemas dan harus
bersender pada dinding rumah.

Dengan bertatih-tatih, Mba berjalan menyusuri trotoar jalan utama. Ia
berharap dapat menemukan jawaban dari kondisinya saat ini.

***

Satu lagi alasan mengapa Mba merasa bahwa ini surga:

Ia tidak mendapat 'panggilan' untuk meleraikan pertikaian walau
identitas sebagai Peace Maker masih tertanam keras di kepalanya.

Baru saja berpikir begitu, mendadak ia melihat sebuah pemandangan dua
orang yang bertikai. Lokasinya jauh. Dan Mba tahu ia tidak bisa
mengeluh pada panggilan, terutama terhadap satu hal yang tidak bisa
dielakkannya.

Mba hanya menghela napas panjang sebelum merasakan kulit tubuhnya
seolah terserabut dengan lembut. Lalu sebelum matanya sempat
berkedip, ia sudah sampai di lokasi pertikaian.

Mba menutup matanya, bersiap dengan benturan dari serangan. Sedetik.
Dua detik. Lima detik berlalu tapi belum ada yang menyentuhnya kecuali
angin dingin. Mba membuka mata. Didapati dirinya berdiri di sebuah
lorong besar yang terapit dua buah gedung putih besar. Cahaya lorong
ini terlihat begitu terang.

Mba menelengkan kepala. Ia Merasa aneh karena teleportasi kali ini
tidak membuatnya berada langsung di tengah dua pihak yang bertikai. Ia
baru menyadari lokasi pertikaian dari kerasnya suara hardikan yang
bergema di lorong. Arahnya datang dari pertigaan di depannya.

Mba mencoba mengintip dari balik tembok. Ia melihat seorang pemuda
berseragam tentara melawan seorang nenek –sekitar lima langkah
darinya. Mba panik dan berhati-hati mengintip pertikaian yang jelas
tidak adil itu.

Si pemuda menodong senapan laras panjang sementara si nenek bermodal
penggilingan. Tambah lagi, si pemuda membawa lima orang dengan postur
sama seperti dirinya, kekar lagi kokoh. Si nenek hanya disokong oleh
keberanian walau gemetar kiri kanan.

"Anda pasti menyembunyikan dia di dalam kan?" tanya si pemuda dengan
suara datar tapi mengancam.

"Demi Bumi! Tidak!"

"Kalau begitu, Minggir!" si pemuda menggeser laras senapannya ke
samping, memerintah nenek untuk bergeser.

Mba menduga para pemuda ini adalah satuan anti terror atau polisi.
Tugasnya kemungkinan adalah mencari teroris atau resisten. Dari sini
Mba merasa terdapat kemiripan dengan kondisi 'dunia'-nya. Tapi bila
ada kekerasan, berarti ini bukanlah surga.

Mba hendak mencegah mereka untuk bertikai. Ia hanya butuh lima langkah
untuk sampai ke tengah mereka.

Sebelum Mba bergerak, sesosok tubuh turun dari atap gedung dan
membelah dua si pemuda. Semuanya terjadi begitu cepat. Konten
pelajaran biologi pun berserakan di tanah lengkap dengan
berhamburannya cat air warna merah dari pelajaran seni.

Mba terkesiap. Pemandangan ini sering dilihatnya. Ia yakin ini bukan surga.

Reaksi kaget lima pemuda lain cukup aneh. Mereka menodongkan senapan
ke kiri kanan layaknya mencari hantu.

Mba menahan napas menyaksikan sosok pembunuh barusan. Satu hal yang
pertama menarik perhatiannya adalah keberadaan benda seperti kacamata
berwarna biru. Visor, bila Mba tidak salah sebut. Rumbai-rumbai –yang
imut bagi Mba- di bawah visor berkibar saat sang sosok mengangkat dagu
untuk menatap korbannya. Sebuah decak tipis terdengar saat suara-suara
panik terdengar.

Matanya turun ke bawah sedikit, didapatinya sosok itu mengenakan
tanktop hitam. Perempuan. Itu jawaban pasti saat Mba melihat
keberadaan belahan dada. Benda seperti kacamata biru itu juga ternyata
melingkari bahunya. Kali ini Mba gagal paham mengapa benda itu
diletakkan di sana. Ia berpikir bisa jadi gadis itu memiliki mata di
bahu.

Busana ini sudah membuat Mba terpana. Keren! Itulah hal pertama yang
muncul di kepalanya selain kata 'asing'. Ia sempat membandingkan
busana dirinya yang serba hitam dengan sosok ini. Hasilnya satu:
Minder. Dengan kapital M. Bila bisa, ia ingin segera lari dan menjauh
dari sosok yang baginya terlihat begitu megah ini.

Sebuah pedang merah yang menyala seolah memiliki percik api digenggam
oleh tangan kanan gadis itu. Pedang itu disabetkan ke dinding sampai
membuat tetes merah melukis abstrak kanvas yang tersedia. Warna pedang
pun berubah menggelap seolah menjawab akan kebutuhan warna dari si
pemegang.

Baru saja Mba selesai memperhatikan, si gadis itu menyabetkan pedang
merah gelapnya ke pemuda lain. Bau besi busuk bertambah pekat di
udara. Perlahan keberanian si nenek raib menyadari lukisan di tanah
bukanlah mainan anak TK. Mba dapat melihat gemetar takut diikuti wajah
yang makin memutih pucat.

Sang gadis tidak berhenti. Mba masih terpana sampai korban ketiga
jatuh. Memori membawanya kembali pada momen saat berhadapan dengan
unit perang baru yang lebih haus darah. Saat itu untuk pertama kalinya
Mba menyerang dan benar-benar membumihanguskan mereka. Dan saat ini,
ia butuh keberanian itu untuk bergerak

"Maaf!" dan Mba berhasil. Ia mencengkram tangan si gadis necis,
menghentikan tebasan pedangnya yang hampir saja memenggal leher si
pemuda.

"Siapa kau?"

"Ma-maaf namaku Mba Irwin. Peace Maker."

Di luar dugaan, gadis itu memberi namanya "Sjena. Sjena Reinhilde,"
Lalu ia diam seolah menunggu respon Mba.

"Nama nona bagus," ujar Mba polos. Sjena melempar senyum meremehkan.
Mungkin ini pertama kali ia mendengar ada yang memuji namanya. Atau
bukan?

Ah, rupanya pedang di tangan Sjena berubah menjadi sebuah jarum
panjang. Dengan memutar pergelangan tangannya, jarum tersebut
ditusukkan ke pelipis korban. Lenguhan panjang terdengar seiring
mengucurnya warna merah dari kepala korban. Ganti wajah Mba yang pucat
seolah darahnya ikut tersedot keluar.

"Aneh," pernyataan Sjena seolah mengisyaratkan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang tidak dimengerti Mba.

Mba sendiri menganggap Sjena yang aneh. Bagaimana tidak, sepertinya
membunuh dianggap produk kebanggaan pribadi. Baginya sosok ini seperti
memandang rendah nyawa yang baru saja dicabutnya.

Salah satu dari pemuda itu mencoba melarikan diri. Tindakan itu
mengejutkan Mba sehingga cengkraman tangannya terlepas. Dalam waktu
singkat itu pula Sjena melempar lima buah pisau hitam.

Kena. Tepat sebujur lurus titik vital.

Lemparan lima pisau itu melontarkan si pemuda yang kabur sampai
terguling di tanah. Ia mengerang sejadi-jadinya menahan sakit. Dalam
ketakutan, ia merogoh pinggangnya. Sebuah handy talky seukuran dua
jari ditarik. "Kode 5! Senjata tidak diketahui menyergap! Mohon bala
bantuan!"

Dan itulah kalimat terakhirnya. Si pemuda melepas napas terakhir
dengan mata terbelalak.

Mba jatuh terduduk. Kedua tangannya yang bergetar berusaha menutup
mulutnya. Ia berharap semoga kenistaan ini segera berakhir. Sayangnya
tidak.

Sjena mengalihkan pandangannya pada pemuda terakhir yang tergugu di
tembok. Celananya sudah basah dan pesing. Dalam gemetar, ia meraih
popor senapannya dan mengarahkannya ke mulut. Berkali-kali ia
berteriak "huu huu huu!" sembari menangis menutup mata. Tapi picu tak
pernah ditekannya.

Sjena mencekik si pemuda terakhir. Entah darimana asalnya, sebuah
jarum muncul di tangannya. Jarumnya ditempelkan tepat di arteri. Si
pemuda meronta keras dan menembak serampangan. Sjena menampar senapan
itu, membuat si pemuda terpekik panik.

"Mengapa nona melakukan ini?" tanya Mba lirih.

"Karena perlu," ujar Sjena yang cuek saja menusukkan jarum dengan
pelan pada korbannya. Mata si pemuda membelalak, suaranya tercekat dan
tak henti menendang tanah.

"Hentikan!"Mba mencengkram tangan Sjena. Jarum yang ditusuk melenceng
dan masuk lebih dalam. Tubuh si tentara berbaju hitam menegang keras
sebelum akhirnya layu kaku. Busa putih dan darah bercampur dari sudut
bibirnya. Tak lama kemudian, darah mengalir dari seluruh lubang di
wajahnya.


"Ah, kau malah membunuhnya. Padahal aku hanya berniat membuatnya
bermimpi. Selamat, kau telah memudahkan pekerjaanku," ujar Sjena
-dengan nada kesal.

Dada Mba sakit tiada tara menyaksikan fakta itu. Ia sampai dibuat
berlutut karenanya. Perutnya pun seakan dikocok, dibanting ke sana
kemari. Menyaksikan siapapun terbunuh di tangannya bukanlah hal yang
menyenangkan.

"Apa ini pengalaman pertamamu membunuh orang? Terima saja faktanya.
Toh suatu saat kau bisa menikmatinya sebagai sebuah medali bukan
beban."

Sjena menyeret korban terakhirnya.

Mba menghalangi dengan badannya.

"Maafkan aku... tapi mengapa nona melakukan ini?"

Sjena mendengus pendek dan membuang seringai "Untuk memancing mereka
semua. Agar para pengecut itu punya motivasi."

"Ma-maaf?"

"Tunggu dulu, apa kau juga termasuk peserta dari turnamen aneh ini?"

"Turnamen aneh?" Mba semakin gagal paham.

"Jangan buang waktuku lebih banyak," ujar Sjena yang tanpa tedeng
aling berusaha menggeser tubuh Mba. Mba tidak bergeser. Kali ini ia
butuh jawaban, walau harus mengeluarkan keringat dingin untuk sekedar
berinteraksi dengan Sjena.

Sebuah pedang hitam memerah muncul dari tangan Sjena. Ia
menyabetkannya pada Mba.

Pedang itu berhenti seujung jari kelingking di leher Mba. Lalu ia
terdiam seolah memastikan sesuatu.

"Time will tell," ujarnya sembari menyeringai. Detik berikutnya ia
sudah meloncat tinggi ke atap gedung.

Kaki Mba terasa lemas. Ia kembali bertemu lagi dengan manusia brutal.
Bahkan sepertinya gadis itu merencanakan sesuatu. Entah apa itu tapi
yang pasti Mba merasa firasat buruk dari kejadian ini. Dan tanpa
sepengetahuan Mba, Sjena mengawasi gadis itu.

"Peace Maker, heh?" sesungging senyum terkias di bibir ungunya.

***

Mba tidak ingin bertemu lagi dengan Sjena. Momen itu sudah cukup untuk
membuat dirinya mules. Sekali saja dipikirkan maka ia akan melangkah
layaknya pemabuk. Ia tidak mengerti mengapa dirinya jadi lebih lemah
seperti ini.

Di saat galau itulah Mba bertabrakan dengan seorang pria yang berlari.
Si Pria terjungkal dengan keras sementara Mba hanya terpekik saja.

"Ma-maaf maaf maaf... aku tidak melihat tuan..." isak Mba. Dengan
panik ia mencoba menawarkan si pria untuk berdiri. Si pria dengan
hoodie hitam menatap Mba selayaknya melihat hantu. "Tuan?"

Si pria itu menarik tangan Mba dengan keras. Terlalu keras,
sampai-sampai Mba ikut terjungkal.

Mba tidak merasa sakit secara fisik. Tapi jantung yang berdegub lebih
keras menjadi alarm tertentu. Indra perasa Mba lantas menajam, sejenak
ia terbuai oleh sensasi sejenak ini. Dan ia merasa sedikit tenang
mencium bau leher pria ini.

Si pria lantas mendorongnya. Mata sipitnya terbelalak. Hidung
bangirnya ikut membesar saat mengambil napas pendek berulang kali.
Jelas dari roman ini, Mba dianggap seperti hantu.

"Tu-tuan?"

Pria itu tidak menanggapi dan berdiri dengan cepat. Ia membuang muka
sekali lalu terdiam sejenak dan kembali memandangi Mba dengan wajah
pucat. Ia menderitkan gigi sebelum berbalik badan dan berlari lebih
kencang menuju satu arah. Tapi mendadak ia mengerem dan kembali
menoleh ke belakang.

Dengan langkah panjang ia mendekati Mba Irwin. Mendapati itu, Mba
Irwin hampir saja berucap Maaf bila tidak dipotong oleh "Siapa kau?"

Ini kali kedua ada yang bertanya identitasnya. Pria itu bahkan
mencengkram lengan Mba dengan keras. Sebelum, lagi-lagi, Mba sempat
memperkenalkan diri, si pria itu memotong dengan kalimatnya "Mba
Irwin..." sembari mengambil sebuah senapan laras panjang dari balik
parkanya.

"Cih, ini akan percuma untukmu!" ujar si pria dengan dada naik turun.
Keringat sebulir jagung muncul dari pelipisnya.

Mba lagi-lagi dibuat tergugu. Ia sama sekali tidak diberi kesempatan
berbicara "Jangan mengganggu turnamen ini. Aku, Rafa Grafito, punya
alasan untuk kembali hidup! Kemampuanmu hanya akan merusak suasana."

Kembali hidup? Itu kata yang agak musykil di telinga Mba. Bila ini
bukan surga, berarti ia sampai di tempat berkumpulnya orang mati –yang
bisa mati lagi? Atau justru tempat kembali dihidupkan? Ajaran dewata
yang dikenalnya tidak pernah menyebutkan tempat ini.

Selagi berkontemplasi, Mba ditinggalkan begitu saja oleh si pria.

Sekali lagi, pertemuan ini membuatnya makin bingung.

***

Mba sekarang berjalan sendiri, menunduk dan mencoba berpikir mengenai
seluruh runtutan peristiwa –minus kejadian brutal. Sesekali ia
bertabrakan dengan pejalan kaki. Tapi mereka hanya terkaget layaknya
menabrak hantu.

Hantu. Mba belum pernah berhadapan dengan makhluk ini. Tapi andai
berhadapan dengan mereka maka mungkin saja ia pingsan saking takutnya.

Mba ingin bereksperimen tapi ragu. Entah berapa kali ia mencoba
mengangkat tangannya untuk mengganggu para pejalan. Sampai saat
keberaniannya terkumpul, ia malah menghantam hidung si pejalan kaki.

Si pejalan kaki keheranan. Sementara Mba bersujud dan meminta maaf
berkali-kali.

"Mereka tidak akan mendengar," seru sebuah suara yang terdengar kalem.

Mba mengangkat kepalanya. Tiga langkah darinya mengapung seorang pria
yang mendarat dengan sangat perlahan. Persis diantar oleh angin. Mata
Mba berkedip berkali-kali. Ia merasa melihat adanya sewujud angin yang
memeluk pria ini.

"Mereka bisa disentuh tapi tidak bisa merespon."

Mba buru-buru mundur dan berdiri. Ia kembali menatap figur berbaju
warna padang pasir. Seolah terlihat wajah dewi yang manis saat sang
sosok mengibas jubah coklat kehitamannya. Warna rambut yang senada
dengan jubah menarik Mba untuk memuji tampilan si pria. Belum lagi
mata hijau zamrudnya yang lurus menatap dipenuhi oleh pengalaman, baik
pahit maupun manis.

Terbius. Mba terbius sampai ternganga. Ia baru tersadar saat sang
sosok menawarkan jabat tangan.

"Kenalkan, namaku Reeh. Reeh Al-Sahr'a," ujar pria. Pandangan mata
lurusnya membuat Mba jengah. Tanpa sadar ia menunduk dan memainkan
seuntai rambutnya sebelum menerima jabat tangan tersebut.

Jantungnya berdegub keras seiring wajah yang memerah. Duhai, ia sering
bertemu dengan pria-pria kharismatik tapi semuanya terbanting oleh
pria ini.

Mba menggelengkan kepala. Ia mematri kembali memorinya dengan nama
Antakaba, kekasihnya.

"Senang rasanya bertemu dengan orang yang tidak mengabaikanku di sini.
Dan lebih senang lagi karena ternyata aku tidak diserang," ujar Reeh
sembari tertawa kecil dan menggaruk surban bunganya.

Kata 'diserang' menarik perhatian Mba. Tapi pertama-tama ia butuh jawaban.

"Maaf bila aku bertanya, ini dimana... tuan Reeh?"

"Kurasa ini kampung halaman salah satu dari peserta."

"Maaf... kampung halaman... peserta?"

Reeh menekan dagunya dan memandangi Mba. Dari atas ke bawah.

Mba membuang pandangan ke tanah, berusaha tidak bertatapan mata dengan
pria satu ini. "Kau serius tidak tahu apa yang kami lakukan di sini?"
tanya Reeh.

"Kami?"

"Maksudku tentang turnamen Battle of Realms? Turnamen yang
diselenggarakan oleh Thurqk?"

"Turnamen? Tadi nona Sjena juga bicara tentang itu. Dan tuan Rafa
menyebut hidup kembali. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang mereka
bicarakan,"

Reeh menghela napas panjang. "Ah, jadi kau sudah bertemu dengan mereka."

"Siapa?"

"Sjena Reinhilde, Rafa Grafito dan Anette."

Mba sangsi pernah bertemu dengan nama terakhir. Ia mengerem mulutnya
untuk bertanya lebih lanjut. Informasi situasi dan sekeliling lebih
dibutuhkannya daripada pertanyaan tentang siapa ini dan itu.

"Wajahmu terlihat bingung. Heran mengapa ada yang bisa berinteraksi
dengan kami padahal bukan peserta turnamen."

Mba tidak bisa menafikan itu. banyak pertanyaan justru muncul dari
keberadaannya saat ini.

"Maaf... boleh aku tahu lebih banyak tentang turnamen yang tuan maksud?"

Reeh mengusap dagunya. "Kurasa tak ada salahnya memberitahumu." Reeh
mengangkat tangannya membuat angin semilir yang menyibak rambut
pelangi Mba. Pria itu tersenyum penuh arti. "Singkat kata, turnamen
Battle of Realms berisikan makhluk yang sudah mati untuk ditandingkan
kembali."

"Jadi... yang mati ditandingkan kembali?"

"Kemungkinan untuk mati lagi," jawab Reeh miris.

"Berarti tuan Reeh..." Mba tidak berani melanjutkan. Ia menundukkan
pandangan setelah mendapati pria itu tersenyum kecut. Keheningan
tercipta sejenak di antara mereka.

"Jangan dipikirkan. Turnamen ini juga menjanjikan sesuatu yang sulit
ditolak. Tapi sementara ini, aku lebih senang mensyukuri rasanya
memiliki tubuh, bernapas dan memandang angkasa luas. Terlalu banyak
hal yang kuabaikan saat hidup dahulu."

"Maaf bila aku makin banyak bertanya pada tuan... Reeh. Aku terbangun
di tempat ini setelah... kematianku, mungkin. Seharusnya aku masih
berada bersama... Anta..." ujar Mba. Menyebut nama itu membuat
tenggorokannya tercekat. "Ini... bukan di surga?" tanya Mba
mengalihkan topik sebelum merasa dirinya runtuh.

Reeh tertawa kecil. "Kalau ini di surga maka seharusnya tempat ini
sangat indah. Kuakui, tempat ini lebih indah dari tempat asalku," ujar
Reeh sembari menjulurkan tangan, menunjuk pada sebuah planet merah
yang cahayanya makin meredup remang. "Tapi di sini sama saja. Aroma
kematian dan keinginan manusia yang kotor memenuhi jalanan. Tak akan
ada kedamaian sejati pada rupa kosmetik belaka."

Mba mengamini. Jarang sekali ia bertemu dengan orang yang bisa diajak
berbicara tentang perdamaian seperti ini –kecuali mereka yang hanya
manis mulut. Dan ia tidak berbohong kesamaan ini menariknya mendekat.

Tiba-tiba Reeh menoleh ke alun-alun kota. Ia mengerutkan alis dan
berwajah muram mendapati sesuatu yang menusuk indra penciumannya.

"Bau darah..." bisik Reeh. "Mengapa kau bawa bau ini ke hadapanku, duhai angin?"

Mba terpekur. "Maaf... apa tuan... bicara dengan angin?"

Reeh tersenyum dan berbisik "Ya. Dan ia sering cemburu."

Romantis. Mba jarang sekali menemukan tipe begini. Tapi ia baru
menyadari maksud kata itu setelah ditatap cukup lama oleh Reeh.
Berkali-kali ia menggulung rambut untuk menenangkan diri alih-alih
justru makin kikuk karenanya.

Reeh tiba-tiba menarik tangan Mba. "Mau melihat bersamaku?"

Mba tidak sempat memberi anggukan atau gelengan. Tubuhnya tiba-tiba
saja dibopong oleh Reeh. Dan detik berikutnya angin menjadi karpet
terbang yang membuai di perjalanan. Angan-angan Mba terlempar jauh,
jauh dari nama Antakaba.

***

Perjalanan indah tersebut berakhir dengan sebuah pemandangan yang
buruk. Alun-alun yang biasanya ramai berisikan aktivitas santai justru
ternoda oleh kerasnya bau darah.

Tepat di tengah alun-alun, tersalib seorang pemuda berbaju tentara di
tengah tiang. Wajahnya dipenuhi lebam dan luka sayatan. Kondisi
badannya pun tidak lebih baik. Mungkin si korban ini bisa dinamakan
spesimen untuk praktikum bedah. Siapapun pelakunya, jelas ia ahli
untuk menguras isi dalam dari spesimen. Pada ikat pinggang si korban
tergantung sebuah karton lebar bertuliskan tinta darah.

"This is Vengeance! For Ticking me Off!"

"Feel Sick at the Time in the Hospital"

Dan di bawah kalimat itu tergambar sebuah jari tengah teracung, tepat
di posisi alat reproduksi pria.

Mba nyaris muntah melihatnya. Ia mundur dan berlindung di balik pohon.
Reeh mengikutinya dengan langkah pelan. Tak lama, Mba serius muntah.
Ia terbatuk-batuk dan terisak gemetar.

Reeh hanya diam saja di samping Mba. Tangan pria itu sempat
tergantung, hendak mengusap punggung Mba. Tapi ia membatalkannya dan
kembali menatap 'atraksi' yang ditunjukkan. Inspirasi menghantam Reeh
dan membuatnya bersenandung sebuah puisi.

Angin, duhai angin sang pengajar

Tak pernah habis rasa kematian kau antar

Demi ideal, darah terujar

Kapankah dunia bebas dari betara gentar?

Manusia, duhai penghancur

Selalu terbujur tanganmu oleh darah

Bukankah sesal selalu kau lacur?

Mengapa harus sia-sia membuang darah?


Reeh menutup matanya perlahan. Ia mengangkat tangannya, meminta pada
sang angin untuk mengangkat bau mayat ke udara. Setelah bau menghilang
dari indra, yang tersisa hanyalah pemandangan mengerikan.

Mba terpana menyaksikan kemampuan itu. Tanpa sadar air matanya
menitik. Jarang sekali ia mendapati manusia yang begitu toleran
terhadap sesama.

"Tuan luar biasa..." puji Mba polos. "Tuan mengerti kematian. Dan...
aku merasa tuan memiliki banyak pengalaman yang tidak terucap... Maaf
bila aku sok tahu..." tambahnya sembari membungkukkan badan.

"Mata ini sudah melihat banyak hal, mungkin indah busuknya dunia sudah
pernah kujelajah dahulu. Bila siapapun sudah lama menyelam di dalam
kubangan maka selama itu pula jiwanya akan tertempa. Jangan menilai
diriku ini terlalu tinggi. Aku hanya pernah masuk dalam sebuah
kubangan... yang mungkin sama sepertimu," ujar Reeh. Kalimat yang
panjang ini membuai Mba. Duhai, andai saja dahulu ada yang berujar
seperti ini saat ia masih Peace Maker, mungkin saja nama Antakaba
tidak akan eksis.

Baru saja Mba terbuai, sebuah pemandangan muncul di kepalanya. Imaji
untuk tugasnya sudah bertitah. Mba hanya bisa tersenyum miris dan
melambaikan tangan seadanya sebagai perpisahan prematur terhadap Reeh.
Bibirnya berbisik kecil "Maaf..."

Dan lenyaplah Mba.

Reeh tersenyum tipis mendapati ini.

"Angin, apa kau bisa membuatku mengejarnya?"

***

Mba sampai di sebuah lorong gelap. Cahaya lampu yang redam-redup
membuat identifikasinya terhadap ruang menjadi sangat lemah. Tapi bau
obat-obatan di ruangan ini membuatnya menerka ruangan ini sebagai
lorong rumah sakit –yang berasa mistis. Dan ia menggigil, berharap
tidak bertemu hantu di sini.

Ini kali kedua Mba diteleport bukan di tengah-tengah pertikaian.

Atau tidak.

Suara langkah kaki yang cepat bergema di lorong tepat di hadapan Mba.
Dari lantai, lalu naik ke dinding. Bersamaan dengan itu sebuah sinar
putih lurus melewati Mba dari arah belakang. Sinar putih tersebut
terus ditembakkan ke arah pergerakan suara. Dari dinding ke dinding
dan berpindah ke langit-langit.

Mba tidak salah. Ia datang ke lokasi yang tepat.

Dalam keremangan, Mba dapat melihat seorang gadis dengan rambut warna
merah darah sepundak. Mata Biru dan hijau heterokromnya sesekali
berkilat saat cahaya lampu mendadak terang.

Saat gelap, gaun gothic gadis itu terlihat sangat menyatu dengan
sekelilingnya. Sekilas akan terlihat seperti warna merah darah yang
sedang mendekat dalam kecepatan tinggi. Ia tidak gagap bergerak meski
mengenakan rok panjang. Bahkan mampu melejit ke langit-langit tanpa
sekalipun terganggu pandang oleh jatuhnya gaya gravitasi rok.

Penembak itu, yang tak lain adalah Rafa, menyimpan kembali senapannya
dan menarik pedang. Ia pun melesat mendekat.

"Anette!" erang Rafa penuh kekesalan. Tusukan lurus dilancarkannya
saat Anette berputar di udara.

Anette, si gadis berambut merah, menepis serangan tersebut dengan
pisaunya. Daya tepisnya luar biasa. Tangan Rafa hampir saja
terpelanting karenanya. Dan momen ini segera dimanfaatkannya.

Anette mendarat dan mengambil dua buah jarum dari kaos kaki hitamnya.
Kedua jarum itu lantas dilempar ke arah mata Rafa.

Rafa mengelak sejadi-jadinya. Punggungnya dipaksa melengkung oleh
serangan barusan. Kondisi yang bisa dibilang sangat goyah. Ia
menderitkan gigi, memutar pergelangan tangan sekerasnya untuk
menghadapi serangan Anette selanjutnya.

Anette mengambil kesempatan goyahnya tubuh Rafa. Ia hendak
menghujamkan pisau miliknya ke punggung kaki Rafa tanpa peduli
derasnya lajur pedang yang hendak memutus tangannya.

Dua-duanya akan segera menemukan konklusi. Tapi terinterupsi oleh
pihak ketiga, Mba Irwin. Kali ini ia muncul di antara mereka berdua
dengan posisi menginjak kaki Rafa.

Pisau milik Anette menghujam kaki Mba. Mata pisau tersebut patah dan mental.

Sementara tebasan asal Rafa beradu keras dengan tulang kering Mba.
Pedang tersebut berdenging keras.

"Ma... maaf..."ujar Mba seraya menarik kakinya yang menginjak kaki
Rafa. "Kumohon jangan kalian berkelahi," tambahnya seraya membiarkan
Rafa dan Anette menarik senjatanya.

Anette dan Rafa mundur seketika. Hanya geram yang terdengar dari sisi
Rafa. Anette membisikkan sesuatu. Tanpa ada komando, keduanya kembali
bertolak dan saling menyerang.

Kali ini Peace Maker serius menginterupsi. Saat Rafa menusukkan
pedang, tangan Mba menepisnya ke samping.

Rafa terkaget saat tahu tubuhnya seolah diterbangkan oleh roket. Ia
dan pedangnya menancap di dinding. Pedang tersebut tertancap dalam,
nyaris sampai ke gagangnya.

Sementara nasib Anette berbeda. Tangan gadis itu dicengkram keras oleh
Mba. Anette balas mencengkram dan menarik kerah Mba. Gadis berrambut
merah ini sepertinya yakin dengan kekuatan fisiknya. Tapi saat ia
mencoba melempar Mba, yang ada justru terdengar lengking sakit.
Bahunya seperti dicabut.

"Ma-maaf..." Mba sampai bersujud dan mengantukkan kepala berkali-kali
melihat Anette yang terus mengusap-usap bahunya. Rafa di lain sisi,
misah-misuh setelah berhasil melepas pedangnya dari tembok.

"Jangan ikut campur, Mba! Dia ini biang kerok yang akan membuat
kerusuhan di planet ini. Di kampung halamanku,"

"Maaf tuan, belum tentu nona ini pelakunya," balas Mba.

Anette hanya diam tidak merespon. Gadis itu bahkan acuh tak acuh
dengan tuduhan itu. Matanya lebih fokus memandang ke luar jendela.
Napasnya terdengar sedikit berat.

"Diam berarti iya," rutuk Rafa. Mba terpekur mendengar kalimat itu.
Slogan itu biasa didengungkan Antakaba padanya.

"Aku tahu siapa yang melakukannya!" erang Mba.

Rafa mendengus tidak percaya. "Aku melihat memorinya. Dia membuat
seorang tentara di sini terluka. Dan ia berencana menggusur
pemerintahan, entah bagaimana caranya. Apa yang ia lakukan dapat
membuat petaka di Gliese. Ya, kau dan si kacamata biru itu... kalian
berencana membuat kekacauan di sini."

"Kau salah," ujar Anette –tipis dan tak terdengar.

"Apa yang salah?" balas rafa ketus.

"Aku tidak bekerjasama dengan gadis itu. Dia pernah coba menyerangku
tapi lari setelah aku berada di lorong gelap ini. Mungkin ia benci
pada bayangan dan gelap walau ia menggunakan bayangan sebagai senjata.
Alasan itulah yang membuatku berada di bangsal tak berpasien ini,"
ujar Anette panjang lebar –dalam suara yang masih sangat tipis. Rafa
yang harus memasang kuping lantas mulai kesal.

"Alibi yang bagus."

Anette menelengkan kepala. "Kau tidak percaya?"

Mendadak gadis itu melesat. Gerakannya terlalu cepat bagi Mba dan Rafa
untuk diantisipasi –apalagi di tempat gelap-remang. Dengan satu
sepakan ringan, Rafa tersungkur bergedebam. Anette dengan sigap
menduduki perut Rafa.

Pisau milik Anette yang sudah patah kembali terbentuk. Warna merah
gelap mata pisau itu mengingatkan Mba akan kemampuan Sjena.

Anette menusukkan pisaunya tepat ke dada kanan Rafa. Bukan perlukaan
fatal tapi cukup untuk membuat rafa menjerit keras. Pria itu meronta
tapi sama sekali tidak mampu menggeser Anette. Alih-alih lukanya
justru makin lebar.

Anette menundukkan wajah, membuat rambut pendeknya menyapu kening
Rafa. Lalu dengan suara tipis ia membisikkan hal yang tidak bisa
didengar Mba. Satu yang pasti, alis Rafa dibuat tertekuk tajam. Apapun
itu, Mba bereaksi cepat sebelum tusukan itu lebih dalam.

Mba mematahkan mata pisau dan mendorong Anette menjauh. Sembari
gemetar, Mba memalang tubuh Rafa dari Anette.

"Ampuni aku... tapi sudah cukup... tuan Rafa sudah terluka olehmu.
Kumohon hentikan pertarungan sia-sia kalian."

Anette menunjuk daerah perlukaan Rafa. Tidak ada mata pisau yang terbenam.

"Ini kemampuan si gadis itu. Aku mengambil sekitar satu persen saja
kemampuannya untuk mematerialisasi benda dari bayangan. Kemampuan ini
kudapat saat melawannya." Suara lirih terdengar dari bibir gadis itu.

"Maaf... tapi menurutku nona tidak harus menyerang tuan Rafa untuk
membuktikannya..." sanggah Mba.

Anette memandang Mba "Aku tak suka kenaifanmu. Keadilan bersifat
tegas. Ia menyerangku duluan. Aku berhak membalasnya. Apapun alasan
yang digunakannya."

"Dengar! Ia berkata balas dendam!" sergah Rafa.

Anette menelengkan kepalanya. "Lihat! Sekarang dia diam!" tambah Rafa lagi.

"Aku juga mengambil kemampuanmu. Satu persen. Hanya sekedar kemampuan
membaca sedikit memori. Karenanya aku yakin kau salah tuduh. Pengguna
kemampuan ini pasti sengaja menggiringmu ke sini agar melawanku. Dan
kemungkinan besar, rencana dia tidak hanya melibatkanmu," tambah
Anette –dengan nada tipis- sembari menunjuk jendela. Suara riuh rendah
terdengar di luar sana.

Rafa menengok ke luar jendela. Ia melihat di pintu belakang di
bawahnya mulai berkerumun pria berbaju hitam. Mereka terlihat kekar
dan berbahaya. Bibirnya berdecak, mengeluarkan umpat kesal

"Sial... si kacamata biru itu ternyata memang biang kerok!" Rafa
menarik senapannya. Tapi belum ada selangkah, ia langsung ambruk.
Bibirnya berbusa dan bola matanya memutih.

Mba terkesiap. Ia mencoba mencari denyut jantung pria itu. Tapi tidak
terdengar dan terasa apapun.

"Biarkan saja. Dia sudah sadar resiko bertarung denganku..." ujar
Anette meninggalkan Mba dan Rafa.

Anette berhenti sebentar sebelum melanjutkan langkahnya "Terima kasih.
Peace Maker," ungkap Anette, kali ini dengan suara lebih keras. Mba
tidak mengerti mengapa Anette mengucap itu. Satu yang Mba tidak
perhatikan adalah, warna merah gaun gothic gadis itu semakin memerah.

***

Mba mengikuti arah perginya Anette. Ia merasakan firasat buruk dari
kepergian gadis itu. Lebih tepatnya, pengalaman sebagai Peace Maker
memaksanya untuk mencari Anette.

Mba baru menyadari bahwa lorong dimana Rafa dan Anette bertarung
berada di lantai lima. Dan sekarang ia sangat menginginkan kemampuan
teleportasinya segera aktif. Ia butuh untuk mencari Anette.

Kebetulan terjawab. Mba melihat imaji sebuah pertikaian. Kali ini ia
melihat staff rumah sakit sedang menghalangi pria berbaju hitam yang
hendak menyerbu masuk. Walau bukan ini yang diinginkan Mba, tapi
setidaknya intuisinya berkata akan ada sesuatu yang lebih buruk lagi
bila peristiwa ini tidak dihentikan.

Mba teleport dan sampai, lagi-lagi, lima langkah di depan lokasi
pertikaian. Ia menyaksikan bagaimana perilaku para pria berbaju hitam
itu begitu keras. Popor senapan mereka dihujamkan pada kasir rumah
sakit. Bahkan, salah satu dari mereka menembak kaki dokter yang
mencoba melerai. Mba mencoba untuk tidak kaget dan terancam dengan
perilaku mereka. Tapi tetap saja ia terpekik saat salah satu pria
berbaju hitam memerintah dengan suara keras.

"Bangunan ini telah kami bebaskan dari penjajahan!"

Mba mengenali kalimat tersebut. Teroris. Fakta bahwa mereka
menggunakan slogan pembebasan hampir selalu terpapar dalam setiap
tindakan mereka.

"Kami akan membuka mata para penjajah! Kami adalah Nir-Helios! Front
Pembela Kebebasan!" ceramah ini juga biasa dilakukan para teroris.

Siapapun yang mengaku pembebas awalnya datang dengan janji walau salah
satunya berujung menjadi perusak.

"Kalian akan menjadi martir! Martir yang akan menjadi jembatan
penghubung kebebasan bagi sesama! Mereka akan mendengar aspirasi dunia
sesungguhnya!"

Martir. Mendengar itu membuat Mba mengerutkan alis. Ia mulai merasa
mual mendapati seluruh aksi ini. Intuisinya mengatakan sesuatu yang
buruk akan terjadi. Dan Intuisi tersebut makin keras berkata saat
salah satu dari mereka membawa sebuah bola besi berdiameter empat
jengkal dengan lingkar kabel yang rumit. Sebuah jam digital terpasang
di tengah bola tersebut. Dua pasang tabung berwarna biru dan merah
terpatri masing-masing di kiri dan kanan bola besi tersebut.

Roman para staff langsung pucat pasi begitu mendengar bola besi
tersebut tak lain adalah bom. Begitupun Mba. Kakinya langsung luruh
menyentuh bumi. Ia menengok sekelilingnya. Di kepalanya terbayang
berbagai peristiwa menakutkan. Tak ayal ia muntah dan lemas.

"Bagaimana cara menyelamatkan mereka semua?" tanya Mba dalam panik.

Sebuah tepukan halus bersarang di pundak Mba. Ia menengok dan
mendapati "Nona... Anette?"

Anette tidak berkata apa-apa dan berjalan menuju bola besi tersebut.
Gadis itu berlutut di sebelahnya dan menyentuh jam yang telah diset
mundur. Angka 20:39 tertera dan terus mundur dengan cepat. 20 menit.

Anette menghela napas. Ia menatap elevator yang berada di ujung
ruangan lalu kembali pada Mba. Dengan isyarat tangan, ia meminta Mba
untuk mendatanginya.

Mba patuh dan mendekat.

"Tolong bawa benda ini ke lantai atas," ujar Anette menunjuk elevator.
"Lindungi supaya benda ini tidak terguncang. Ledakannya dikhususkan
untuk menghancurkan bangunan ini."

"Ma-maaf... lalu apa yang akan anda lakukan?"

"Aku akan menahan mereka di sini."

Menahan. Konsep itu sering didengar Mba. Artinya ia akan meninggalkan
Anette sendirian dengan kemungkinan Anette menjadi martir. "Aku tidak
akan membunuh mereka. Karena itu kumohon kau terus ke atas. Jangan
pedulikan apa yang terjadi di sini."

"Maaf tapi..."

Anette menunjuk elevator lalu menggelengkan kepala. Ia membasuh
perutnya dan menunjukkan bekas merah pada Mba.

Mba terkesiap. "Luka itu! Maaf... tapi nona harus diobati."

Sekali lagi Anette menggelengkan kepala lalu menunjuk elevator. Mba
mengerti, sangat mengerti malah. Roman pucat yang terlihat dari Anette
jelas bukan kosmetik. Waktu gadis itu tidak banyak, seperti bom waktu
ini.

Mba mengangguk - walau enggan. Bila bisa ia tidak ingin melakukan ini.
Filosofi mengorbankan satu demi seribu tidak pernah terlintas di
kepalanya. Ia bahkan membencinya. Bagaimana tidak, pandangan itu
muncul dari tentara, pegiat perang atau petarung altruistik.

Tapi demi dewata yang disembahnya, ini kali pertama Mba bersujud di
depan makhluk. Ia menghaturkan terima kasih, bukan maaf pada Anette.
Walau... dengan melakukan ini, Mba mengakui kelemahan dirinya,
mengakui bahwa ia sangat membenci kelemahan dirinya.

***

Hantu. Mba telah jujur mengakui bahwa ia akan takut menghadapi mereka.
Ternyata ia pun tidak sendirian. Para teroris yang berada di dalam pun
terpekik kaget saat melihat bom mereka dibawa kabur ke dalam lift. Pun
begitu juga mereka panik mendapati teman mereka tiba-tiba rubuh begitu
saja.

Di dalam lift, Mba bukannya tidak melihat imaji pertikaian. Ia melihat
tapi tidak terteleportasi. Entah karena permintaan Anette sebelumnya,
atau karena keinginan Mba atau karena apa yang dilakukan Anette tidak
masuk relung pertikaian. Pemabuk yang tidak sadar kelakuan tentu sulit
disalahkan atas kepolosan niat. Apapun itu, Mba merasa pedih melihat
gambaran di kepalanya.

Ia melihat bagaimana Anette dengan telaten menusuk leher para teroris,
membuat mereka menari seperti pemabuk jalanan. Dan Mba melihat
paniknya teroris membuat mereka berusaha mencari posisi hantu dengan
rentetan peluru.

Anette jauh lebih cepat dari mereka. Belum lagi mereka tidak bisa
mengetahui dimana lokasi 'hantu'. Panik. Berisik dan darah. Ya, darah.
Rentetan tembakan itu ada yang menyasar teman sendiri. Dalam
kepanikan, prinsip bunuh yang beracun digunakan. Yang masih waras pun
menembaki teman mereka sendiri yang sudah terinfeksi.

Bagai virus, Anette terus berpindah dengan cepat.

Ia hanya menyisakan satu pria yang lagi-lagi ketakutan akan
situasinya. Ia mengarahkan laras senapan ke moncong bibirnya. Suara
keras terdengar. Si teroris rubuh teriring lenguhan pendek.

"Mana bisa kami biarkan pasien bunuh diri di rumah sakit, dasar
bodoh," ujar salah seorang dokter sembari menepuk palu kecil di
tangannya.

"Buka kembali UGD! Panggil semua dokter yang kosong shift-nya. Banyak
nyawa yang harus diselamatkan."

"Siapapun yang membantu barusan... kami berterimakasih banyak atas
tindakan anda. Seluruh jajaran staff rumah sakit Gliese menghaturkan
terimakasih."

Lalu mereka semua berbaris rapih dan membungkukkan badan selama dua detik.

Anette balas tersenyum. Ia sendiri sudah terduduk lemas di bawah
lemari. Wajahnya semakin memucat.

Di saat itulah seseorang memasuki gedung dengan tenang. Anette
menyeringai tipis. Ia mengambil sebuah jarum panjang dari kaus kaki
hitamnya sembari tersenggal pendek.

"Lepas dari popokmu?" tanya Sjena.

Anette hanya tersenyum getir. "Aku senang kau memobilisasi massa demi
membunuhku. Artinya nilai politisku sangat besar."

"Cukup segini. Jarummu itu sempat membuatku mengingat gelap," ujar
Sjena sembari memberi jarak seujung kuku. "Bagaimana luka yang
kuberikan?" ujar Sjena sembari melihat ceplak merah gelap di gaun
Anette. Matanya melirik ke jarum panjang yang masih tergenggam erat.
Ia pun mengatur jarak. "Cukup bagus sepertinya."

Anette hanya berbisik kecil –dan tidak terdengar oleh Mba.

"Oh, santai saja. Pestanya belum mulai kok. Sayang kau tidak
diundang," ujar Sjena membentuk sebilah pedang di tangan kanannya.
"Ada permintaan terakhir?" tanya gadis itu dalam nada datar.

Anette mengambil napas panjang. "A-" Sjena memotong kalimat Anette
dengan gerakan pedangnya. Lemari kayu tempat bersendernya Anette
langsung memerah –lebih cerah dari warna gaun Anette.
"Permintaan dikabulkan," ujar Sjena pendek. Ia merobek rok Anette lalu
mengusap pedangnya dengan kain merah darah.

Sjena memasukkan tangannya ke saku dan berjalan ke depan pintu. Tapi
sebelum ia sempat membuka, ia menoleh ke belakang. Dengan santai, ia
kembali ke lokasi dan mengusap darah Anette menggunakan telunjuknya.
Ia memandang darah itu lalu tersenyum meremehkan.

Sjena menuliskan

R.I.P Anette.

Tak lama kelompok tentara lain datang ke lokasi. Mereka mengamankan
lokasi. Semua berjalan aman... sampai Sjena membisikkan sesuatu pada
sang komandan. Dan badai peluru menghabiskan semuanya bagai angin
menerbangkan daun.

***

Mba muntah setelah menyaksikan bayangan yang bermain di kepalanya.
Berkali-kali ia ingin menghentikan tapi entah kenapaia tidak bisa.
Seolah teleportasi miliknya disegel. Anomali ini hanya terjadi sekali.
Saat Mba bersama dengan Antakaba.

Kematian Anette memutus semua visual dari pertikaian. Mba hanya mampu
terisak mendapati kebrutalan itu.

Suara lift yang terbuka mengalihkan perhatian Mba. Ia sampai di atap.
Hamparan luasnya teras berikut banyaknya kain putih dijemur mengisi
mata Mba.

Dengan bersusah payah, Mba menggeser bom tersebut ke tengah kumpulan
kain putih yang dijemur.

Bila dipikir... mengapa bom itu harus di bawa ke atap? Serius. Mba
tidak habis pikir mengapa ia harus melakukan ini semua.

Bukankah ia bisa saja membantu Anette? Apapun itu, Mba ingin menyesali
keputusannya.

Waktu sudah menunjukkan 17:39. Hanya tiga menit tapi terasa seperti sehari.

Mba panik. Ia tidak mengerti cara menjinakkan bom. Dalam kalutnya, ia
bersujud pada bom

"Ampuni aku tuan bom. Kumohon jangan meledak... kumohon jangan meledak..."
Hening.

Mba coba mengangkat kepalanya. Angka berubah menjadi 16:20. Mba kembali panik.

Di saat kalut begitulah ia merasa datangnya angin segar. Angin yang
datang dari punggungnya seolah panggilan sayang.

"Tuan... Reeh?" ujar Mba tanpa menoleh.

"Ya?"

Suara itu membuat hati Mba terenyuh. Ia menutup mulutnya dengan kedua
tangan dan menunduk. Semua perasaan lantas campur aduk dalam
pikirannya. Mungkinkah ini penyelamatan sesungguhnya?

***

Reeh menekan dagu dan mengerutkan alisnya. Memandangi bom yang akan
meledak di depan mata bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi pria ini
sepertinya tenang saja.

"Tidak bisa dihancurkan saja?" tanya Reeh singkat.

Mba menggeleng. "Aku pernah melihat ada yang mencobanya. Tapi hasilnya
meledak. Maaf... bila aku menjawab hal yang salah..."

Reeh kembali menekan dagunya. Ia menarik scimitar –pedang melengkung-
dari pinggangnya. "Kalau salah satu ini dipotong?" tanya Reeh sembari
menunjuk kabel.

Mba menggeleng "Aku tak tahu..." komposisi mekanik dan segala macam
yang berbau oli atau listrik bukanlah kegemaran Mba. Waktu sudah
menunjuk 10:44. Mba tak tahu harus berlaku apa.

Reeh memandang langit.

"Ada cara lain. Bisa mohon mundur sebentar, Mba."

Reeh menyarungkan pedangnya. Ia mengangkat kedua tangan, membuat angin
berkumpul di kedua tangan tersebut. Pusaran kecil terbentuk, perlahan
membesar dan semakin membesar seiring mengembangnya tangan Reeh.

Perlahan, tangan Reeh menyentuh masing-masing sisi bom. Ia berujar,
layaknya ritual, sebelum melepas kedua tangannya. Sebuah pusaran halus
lalu mengangkat bom tersebut ke udara. Perlahan tapi pasti.

"Jangan terguncang kan?"
Mba mengangguk. Dadanya berdegub kencang menyaksikan bom itu hendak
menembus awan. Ia sampai tak memerhatikan sekeliling bahkan tak
tergubris saat tangan Reeh menyentuh pundaknya. Ia tak merasakan
apapun saat Reeh mengusap pundaknya. Ia terlalu terpaku menyaksikan
momen bom menembus awan.

"Ah! Bom menembus a- aah~!"

Mba merasa bom waktu telah meledak di dadanya. Jemari Reeh telah
memicu bercampurnya antara kesadaran dan ilusi. Reeh bertindak lebih.
Ia merengkuh Mba. Keras. Mba hanya terpekik kecil. Tak pernah
terbayang lagi romansa akan datang tuk kedua kalinya.

"Tuan Ree..."

Suara Mba mulai melemah. Dan ia tidak berontak meski napas mereka
sudah saling bertukar irama. Bukan tidak berontak, lutut gadis ini
sudah bergetar. Ia tidak bisa menolak meski di kepalanya berputar
ragam ilusi dan pilihan.

Nama Antakaba terus bergaung. Mba mengingat bagaimana mereka bertukar
janji untuk sehidup semati. Pun muncul pula renyahnya kharisma Reeh.
Ia mengaku lembutnya angin yang dibawa pria ini memiliki sesuatu yang
berbeda dari Antakaba. Mba mengakui, saat manusia membandingkan, maka
pilihan akan muncul. Untuk kali ini ia pun mengakui, detik yang
berlalu sangat mahal harganya. Semakin larut dalam ilusi, semakin
dekat bom waktu dalam dirinya meledak.

Mba memilih.

Ia mendorong Reeh. Air matanya mulai bercucuran deras.

"Jangan tuan... aku bersuami... aku tak bisa mengkhianati Anta..."

Reeh memberi wajah kecewa. Ia menggaruk kepala dan membuang pandangan
sejenak. "Haha..." tawa kecilnya terdengar kikuk. "Kurasa aku terlalu
terburu-buru. Heran... ini bukan karakterku."

"Mengapa...?" tanya Mba lirih. "Mengapa harus aku?"

Reeh menggaruk surban bunganya "Kau membawa aroma kematian. Aku merasa
keanehan mendalam padamu. Mereka yang membawa aroma kematian tidak ada
yang berjiwa sepertimu. Kau seperti ingin menghindari semuanya tapi
tak bisa karena selalu ditarik ke dalam. Dan kau selalu selamat dengan
membawa beban kematian yang lebih berat lagi."

Tepat sasaran!

"Mba Irwin. Aku berharap suatu saat dapat membangtumu memikul beban
itu. Sama sepertimu, aku tidak menyukai kematian begitupun kesepian,"
wajah Mba bersemu merah. Mana pernah ada yang berkata seperti itu
padanya. "Tapi kurasa memang bukan saatnya."

"Ma... maaf..." ujar Mba, berusaha menatap lurus pada Reeh.

Reeh kembali tersenyum lurus. "Bila sudah waktunya, kuharap kau mau
mempertimbangkan-"

Kalimat terakhirnya terputus... oleh sebuah pedang yang menebas putus.

Hening. Mata Mba mengikuti arah jatuhnya senyum Reeh. Sudut matanya
mendapati kain yang tergantung memerah bak terciprat cat air maestro
lukisan abstrak. Napasnya tertahan sebelum kenyataan kembali
menghantam.

Mba terpekik. Ia masih dapat melihat senyum kharismatik Reeh yang
bergulir di tanah. Ia berlutut dan merangkak mendekat berusaha
menggapai senyum itu. Mata hijau zamrud itu. Surban bunga itu. Tidak
ada yang berubah, kecuali hilangnya aroma kehidupan.

"Aha, terimakasih buat hadiahnya."

Mba melihat heels kain abu-abu dari sudut matanya. Ia mengenali dengan
pasti siapa pelakunya.

"No... nona Sjena?"
"Ah, ingatanmu ternyata tidak terhapus rengekan... dan muntah."

Benar. Mba muntah lagi. Ia tersesak. Tubuhnya tergolek lemah. Gemetar
menjalari sekujur tubuhnya seolah api membakar ngengat. Perlahan tapi
pasti seluruh kekuatannya terserabut. Dingin.

"Sini, aku akan memberikanmu balas jasa," ujar Sjena. Ia menyeret Mba
yang masih berusaha menggapai Reeh.

"Tuan Reeh..."

Sjena melempar Mba sampai menabrak pagar pembatas.

"Lihat di bawah sana," ujar Sjena.

Mba menengok ke bawah. Ia mendapati kerusuhan di depan rumah sakit.
Intensitasnya sudah parah. Aksi bakar membakar sudah mulai terjadi.
Tidak akan lama sebelum kedua pihak memulai baku tembak. Mba terheran
mengapa ia tidak mendapat imaji seperti ini.

"Kau tahu, sejarah perang manusia itu menarik. Hanya dengan sedikit
provokasi saja sudah cukup untuk memulai terjadinya pembantaian
massal. Kau masih ingat rumah nenek yang tadi? Ternyata memang itulah
markas nir-Helios. Lucu sekali, apa yang diselamatkan justru balik
menggigit," Sjena berhenti sebentar "Manusia," putusnya sembari
melempar senyum meremehkan.

Sjena kemudian berjalan ke sisi lain. "Di sini, kau akan melihat
perang selalu terjadi karena dua sisi. Satu belakang, satu depan.
Setuju?"

Mba tidak bisa mengangguk pun menggeleng. Tapi diam bisa diartikan penerimaan.

"Dan kau setuju sisi tersebut membuat ikatan. Satu orang saja
disenggol maka yang lain akan berriak, bereaksi?"

Mba terdiam. Matanya kembali memandang khalayak yang mulai mengangkat
senjata. Teriakan-teriakan mengatasnamakan kelompok berkumandang.

"Bagaimana kalau kita turun ke bawah dan melihat serunya pemandangan
secara live? Agar kau tahu bagaimana busuknya roman manusia yang telah
dikuasai nafsu penghancur," tawar Sjena. Mba ingin menggeleng. Ia
sering melihat ekspresi praktisi perang. Dan cukup. Tapi andai ia
menggeleng dan menjawabpun tidak akan menghentikan Sjena yang sudah
menyeretnya.

"Berhenti!"

Mba terkejut mendengar suara itu.

Rafa Grafito? Dia masih hidup. Mba melirik dan mendapati Rafa berada
di sudut kiri belakang Sjena. Ia menodong gadis itu.

"Aku takkan segan-segan menembakmu dari sini, nona!"

Sjena tak bergeming. "Kau sudah punya kesempatan menembak. Mengapa tak dipakai?"

"Aku butuh penjelasan."

"Apa yang perlu dijelaskan lagi? Kita harus bertarung sampai mati.
Bukankah itu peraturannya?"

Sampai mati?

"Thurqk tidak mengatakan begitu."

"Yang tidak dikatakan berarti boleh dilakukan."

"Termasuk membunuhi penghuni realm?" nada suara Rafa meninggi. Geram.
Picunya mulai tertekan.

"Apa pedulimu? Kau itu mati. Ya sudah mati saja. Mereka yang masih
hidup ini biarkan saja nasibnya."

"Dan membiarkan nasib mereka terbunuh ditanganmu?"

Mendadak Sjena berbalik badan dan mengangkat badan Mba. Ia tidak perlu
berkata apapun untuk mengatakan maksudnya.

"Tindakan bodoh..." ujar Rafa sembari menarik pelatuknya lebih dalam.
Lubang hidungnya yang besar makin mengembang dan mengempis. Alis
matanya menekuk tajam. Tidak ada kedip sekalipun dari mata pria itu.

"Mba Irwin..." panggil Rafa. Mba yang sedari tadi masih gemetar takut
tersadar. "Kau adalah Peace Maker."

Mba belum mengerti maksud pria itu menyebut julukannya. "Kau adalah
Peace Maker." Ulang Rafa sembari menganggukkan kepala. Mata Mba
mendadak bersinar mendengarnya. Senapan laser Rafa berdengung.

Wajah Sjena mengeras. Sebelum sempat ia berpikir ulang, sebuah sinar
lurus tertembak. Sjena berlindung di belakang Mba, tameng hidupnya.

Alangkah kagetnya saat sinar itu berbelok licin begitu menabrak tubuh Mba.

Kulit lehernya terkelupas. Tidak dalam tapi cukup untuk membuat merah
lehernya. Sjena membanting Mba dan bersiap menghadapi Rafa. Sebuah
tangan besar berwarna hitam muncul dari punggungnya. Ia siap
beraksi...

Atau tidak.

Mba yang dijatuhkan ternyata mengerahkan segenap tenaganya untuk
menampar Sjena. Tamparan itu tidak mengenai pipi atau pun wajah, tapi
cukup jauh mengenai visor miliknya. Terlemparlah benda itu jauh ke
bawah. Mba merasa perbuatannya sia-sia, hanya berhasil membuat Sjena
lengah sesaat.

Tapi Tidak.

Sjena mengerung. Ia menutup matanya dan berteriak. "Mataku!!" satu
tangannya berusaha menggapai apapun yang ada untuk menutupi
pandangannya. Padamnya indra membuat pendengarannya lebih tajam. Ia
mendengar dengung keras tak jauh darinya.

Sinar lurus tertembak.

Sjena tidak lagi berada di tempat. Baik Mba dan Rafa menengok kiri dan
kanan untuk mencari sosok Sjena. Sebuah bayangan terlihat di balik
kain yang tergantung. Bayangan itu terlihat gontai. Rafa yang pertama
kali merespon. Laras senapannya terbidik.

Sinar putih membelah udara, menembus kain dan bayangan. Terdengar
lenguhan dan warna merah menguas kain bersatu padu dengan kain yang
terbakar.

Rafa menghunus pedangnya dan berlari mendekat. Ia menyibak kain demi
kain. Saat sampai di lokasi, alangkah kagetnya tatkala ia tak
menemukan Sjena. Yang ditemukannya hanyalah tubuh yang bersimbah
darah.

"Hey!"

Rafa menengok mendengar suara Sjena. Didapatinya gadis itu tengah
membidik dengan sebuah meriam besar berwarna hitam dari dekat
elevator. Meriam besar berdengung keras bersamaan dengan meliuknya
senyum meremehkan Sjena.

Sebuah imaji muncul di kepala Mba. Berbekal ketakutan akan terjadinya
pertumpahan darah lebih panjang, Mba melompat, mengikuti intuisinya.
Ia muncul tepat di depan Rafa, tepat di jalur meriam besar Sjena.

Mba tidak sempat melihat warna peluru meriam tersebut. Satu yang
pasti, meriam tersebut masuk kategori fisik atau magis. Kategori itu
membuat peluru meriam itu terkena respon Peace Maker: terpental,
terresap, tertepis atau beradu.

Terpental.

Peluru itu terpental balik. Tepat di bawah kaki Sjena. Ledakan keras
mengguncang lantai menjatuhkan Mba dan juga Rafa bersamaan ke lantai
di bawahnya.

Suara jatuhnya beton dan batu mengganti format keheningan. Yang
pertama mengerang adalah Sjena. Ia tersungkur tepat di depan pintu
lift yang terbuka. Kupingnya berdenging keras. Darah mengalir dari
sepasang telinganya. Dalam redup redam, matanya berusaha mencari
tahu. Dan ternyata ia bisa melihat!

Sayang, yang ia lihat adalah sebuah benda yang membuatnya terbelalak.
Ia ingin bergerak tapi seluruh ototnya seakan ngambek. Urat matanya
membengkak saat melihat benda itu makin cepat mendekatinya.

"SIAAAA-"

Kalimat Sjena terputus.

Pintu lift terbuka. Pasukan berbaju tentara menodongkan senjata mereka
sembari mengawasi sekeliling.
"All clear!"
"All clear!"
"Position Secured! Sniper's on position!" Ujar mereka, sama sekali
tidak menyadari bahwa di atas mereka tergantung seseorang yang menjadi
dalang segala kerusuhan.

***
Rafa dan Mba merintih, nyaris bersamaan. Keduanya saling tumpang
tindih. Mba di atas Rafa.

Rafa yang pertama kali beringsut. Ia menggeser tubuh Mba dan mengerang
kesakitan. Kepalanya berdarah. Tangan kanannya patah akibat tertimpa
batu.

Di lain sisi, Mba masih belum terbangun. Tidak pingsan. Dan tidak ada
perlukaan fisik padanya. Sepertinya kejut jatuh ke lantai membuatnya
lemas.

Rafa memandang sekelilingnya. Mata sipitnya berusaha menggali
informasi sebanyaknya. Hanya satu pertanyaan yang mengganjal
pikirannya.

"Aku menang? Atau tidak?"

Matanya jatuh ke tubuh Mba yang masih tergolek. "Jangan-jangan..."

Rafa mengambil pedangnya. Ia merangkak mendekati Mba. Pedangnya
diangkat ke depan dada. Ia hendak menusuk Mba.

"Tidak..." Rafa menurunkan pedangnya. "Bukan ini cara yang seharusnya
kulakukan," ujarnya selagi melempar pedang miliknya kesamping.

Rafa menampar pipi Mba. Tak ada tanggapan, Rafa menggoyang pundaknya
dan kembali menamparnya.

"Bangun... bangun..."

Tidak ada tanggapan. Gadis itu justru mengecap lidah. "Nyem...
Anta... hihihi..."

Tidur?

Urat di kepala Rafa seolah meledak. Ia menghirup napas panjang. Lalu
perlahan ia mendekat ke kuping Mba.

"BANGUN!!"

Mba tersentak terbangun. Ia memandang kiri kanan sebelum menyadari
dunia tidak semanis yang dikiranya. Melihat wajah Rafa yang kesal,
barulah ia tersadar penuh situasinya.

"Ma-maaf... Dimana nona Sjena?"

Rafa mengangkat bahu. "Entah. Kalau dia mati seharusnyaaku sudah
kembali ke Devashce."

"Maaf...berarti dia belum mati?"

"Kurasa sudah."

"Maaf... lalu?"

"Ada yang salah. Itu saja," Rafa berdiri dan menepis seluruh debu di
bajunya. "Dan aku hanya berpikir satu kemungkinan saja."

"A-apa itu?"

Rafa mengambil napas. "Karena kau adalah peserta dari turnamen ini juga."

Mba mengedipkan mata berkali-kali. Ia gagal paham dengan maksud Rafa.
"Jadi... artinya... aku juga harus ikut bunuh-bunuhan?" Mata Mba
berbinar harap jawaban yang bagus.

Rafa mengangguk. Binar mata Mba meredup.

"Jadi..." Rafa berhenti sebentar "Bagaimana kita menyelesaikan ini?"

Mba tergugu. Mana ada jawaban pasti darinya. Ia toh baru pertama kali
sampai di situasi barbar seperti ini. Ia bukan ayam sabung yang
ditandingkan demi kepuasan pemilik.

Pemilik...dewata.

Mba menepis anggapan bahwa dewata-lah yang memanggilnya ke tempat ini.
Kalaupun iya, untuk apa?

Tidak ada suara dari mereka berdua.

Mendadak sebuah benda terjatuh dari langit. Benda itu bergulir
mendekati kaki Rafa. Sebuah bola besi dengan angka digital tertera.
Rafa terpekur begitupun Mba.

"Bom?" tanya Rafa, melirik Mba. Mba mengangguk pelan.

"Tuan Rafa... bisa menjinakkannya?"

"Mungkin. Bila waktunya masih lima menit," Rafa kemudian memandang
tangan kanannya. "Dan bila tangan kananku masih bisa. Kabel ini harus
dipotong bersamaan."

Angka sudah menampilkan 02: 30. Tabung cairan yang berada di sisi
kanan-kiri sudah saling menyampur. Ledakan tidak dapat diundur lagi.

"Ma-maaf... bagaimana bila kubantu?"

Rafa menghela napas panjang. "Baiklah. Sini mendekat."

Mba patuh dan mendekat. Ia memandangi layar angka dan berharap
mendapatkan instruksi secepatnya. Setidaknya untuk pertama kali ia
dapat membantu dalam bidang menjinakkan bom, bukan sekedar hajar
menghajar atau membuat kudapan.

"Hey," ujar Rafa datar.

"Ya, tuan Rafa?"

"Bagaimana kalau ingatan di tempat ini terhapus. Apa kau akan senang?"

"Te-tentu saja tuan. Banyak hal menyedihkan di sini."

Rafa mendesah mendengarnya.

"Tatap kedua kabel itu baik-baik," ujarnya sembari mencengkram kepala
Mba dengan tangan kirinya. Mba sempat kikuk dibuatnya. Ia pun dibuat
bingung karena Rafa sama sekali tidak memberi perintah. Ia menoleh dan
mendapati wajah Rafa yang serius tapi pandangan matanya kosong.

"Tuan Rafa?"

"Kau adalah perempuan ketiga yang kuhilangkan ingatannya," bisik Rafa
di kuping Mba. Lalu sebelum Mba sempat bertanya, gelap sudah
menantinya.

***

Mba terbangun. Ia mengucek mata dan memandang sekelilingnya. Ia tidak
habis pikir mengapa ia bisa tertidur di atas kubangan besar. Ia tidak
habis pikir mengapa banyak tangis dan jeritan. Ia tidak habis pikir
mengapa asap dan api berkobar di dekatnya. Yang ia pikirkan hanya
satu...

"Anta... kamu dimana?"

-To be continued-

39 comments:

  1. Mba Irwin suram. Pake minta maaf ke tuan bom segala. O ho ho ho hon. Moi ngakak pisan.

    Canonnya keren. Monsieur Rendi berhasil membangun karakter para OC dengan baik. Semua OC keren. Moi bisa ngerasakan aura galant dari Reeh, cool dari Anette, brutally sexy dari Sjena, dan heroik dari Rafa. Tapi, malah OC Mba Irwin yang paling lemah, paling nggak guna, paling ga bisa apa-apa... which is another triumph from Monsieur Rendi dalam mengonsep Mba. Moi sampe kaget pas tau Mba itu peace maker beneran. Kirain cuma julukan. Heran aja peace maker-nya payah begitu. O ho ho ho hon.

    Narasinya oke. Moi sempat mempersiapkan diri untuk mendapat cerita dengan narasi yang berat dan rumit seperti pas F4rend. Ternyata nggak. Narasinya dapat dinikmati, bahkan cukup romantis dan puitis, meski ada beberapa kata yang aneh seperti "perlukaan" (?)

    Overall, Monsieur Rendi cukup berhasil mencapai ekspektasi moi sebagai pembaca. Plus ada tambahan interaksi manusia non-entrant yang menambah dinamika tapi terus terang agak membuat cerita bertumpuk.

    Oke. Gitu aja dari moi. Good luck buat Mba. Nyeemm~~ Rex... Zacques... ihihihi~~ #bobo #ngelindur

    Eh, moi lupa ngasih nilai ya? O ho ho ho hon. Pardon. 8 dari moi! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty so much Dham <3

      iyah, term gw untuk cerita R1 ini emang lebih ke balance spotlight sih. sampe ternyata itu ngebikin Mba sendiri agak melempem wkwkwkw
      boleh dibilang gw seneng karena yang gw inginkan tercapai. masuk ke sepatu lima karakter itu bikin kokoro ini rerah. gw nyaris kedistorsi gara2 masuk dua sepatu barengan :))

      yeap. glad that you like it.
      soal diksi, gw jujur masih kacrut. i don't have much library like other people so be wary that some weird slang tossed out in my works :))

      Delete
  2. Ada yang bikin saya bingung dari awal. Asumsi saya dari pembukaan ronde 1 adalah semua udah tau Thurqk, dan minimal dapet gambaran mereka terlibat dalam permainan apa. Terus, kenapa semua dari awal ga mikir Mba sebagai salah satu peserta? Padahal jelas" 'bisa lihat = peserta'. Ini yang bikin saya rada ngeganjel, dan sepanjang baca pun rasanya ga nemu jawabannya

    Secara teknis, ini lebih ringan....dan lembut, daripada cerita tulisan Rendi pada umumnya. Hebatnya, saya sampe terbuai dan sempet ngantuk (ini serius, what kind of sorcery is this?) meski saya pantang bilang narasinya membosankan. Datar pun ngga, makanya ngantuknya saya di tengah" rada berasa misteri dari narasi si Mba ini

    Lalu plot battlenya sendiri....yah, as expected Mba ga bener" 'bertarung' untuk menang. Satu"nya antagonis di sini cuma Sjena, yang saya ga ngerti kenapa ada teroris di kota hologram yang bisa dia manfaatin (mungkin saya cuma fail ngikutin settingnya). Dan jujur, saya ga ngerti endingnya, sama kayak saya ga ngerti ending Sjena - oke Mba ga bisa dilukai kalo diserang, tapi itu cuma kalo ada ill intent aja kan? Kalo dia hilang kesadaran, kenapa kebal sama ledakan pula?

    7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah ini dia. ada alasannya kenapa gw ga masukin itu smua. well, part of the canon of course.
      tapi salah satu alasan bodohnya adalah *ehem* gw ga sempet masuk chat lounge dan... yah... karena telat, gw sekalian aja minta supaya identitasnya ga diketahui sama yang lain. makanya Doodle Vectornya baru keluar belakangan.

      ehehe, berasa angin sepoi2 ya? :P

      kalo dari setting dunianya si Rafa sih, kata authornya ada organisasi teroris gt. gw coba tweak aja buat plot. yah, mudah2an gw ga ngaco. ga sempet cross check lagi chatnya gara2 fan lepi suka masalah kalo scroll down :(

      di kemampuannya sih tertulis:
      Tidak bisa dikalahkan dan dilukai dengan serangan fisik dan magis.
      well... pasal karetnya gw gunain jadi full excess. but then again, karena ini abstrak, gw persilakan aja orang untuk imajinasiin dan tentuin batas semau mereka.

      Delete
  3. AAAAAA suka banget sama penggambaran Sjena disini. Bener2 kejam, dan sarkasnya dapet banget. Aku juga suka Sjena disini dijadiin tokoh antagonis dan ultimate boss, keren banget xD xD

    Oke review dimulai.
    Plot : As i expected, ciri khas author adalah kalimat2 puitis nan syahdu. Yang bikin cerita berat penuh kematian jadi lebih ringan namun tetap indah. Meskipun Mba nggak bertarung, tapi penggambaran adegan battlenya sungguh detail tapi masih - tetep puitis.

    Karakter : Tumben aku masukin kolom ini, biasanya sih nggak xD. Disini karakteristik tiap karakter bener2 digali begitu dalam. Sjena dengan sarkasnya, killing for fun, dan perspektifnya tentang manusia sungguh pas banget. Penggambaran kostum juga digarap dengan detail namun juga dibumbui humor kayak "Ia berpikir bisa jadi gadis itu memiliki mata di
    bahu." sumpah ngakak.
    Lalu puisi Reeh itu bener2, syahdu. Kemampuannya berbicara dengan angin dimanfaatkan dengan baik oleh author utk memasukkan puisi2 indah. Lalu romantisme antara Mba dengan Reeh itu bener2 alami, sebagaimana kisah Mba dengan Anta, pelan namun terbangun dengan sendirinya di hati pembaca. Andai Mba ketemu Reeh lebih cepat, tapi sayang.. Mba udah jadi milik Anta :(
    Emosi Rafa itu rasanya emang bisa dirasain pembaca. Gimana rasanya orang2 dari kampung halaman dibantai just for fun.

    Btw Sjena sebenernya gunain teroris itu buat mancing Anette keluar kah? Aku kurang ngerti di bagian itu. Awalnya aku kira Anette bakal jadi salah satu antagonis, rival dgn Sjena, tapi ternyata nggak. Sayang sekali, padahal kalo double villain bakal keren abis nih xD xD

    Battle : Cukup mendetail meski bukan ditekankan di battlenya, lebih ke kematian dan emosi yang terjadi karena sebuah kematian. Namun narasinya cukup kuat utk ngalirin emosi yg dirasakan Mba, gimana sedih ngeliat perang, mual dan muntah.
    Adegan potong2 pun digambarkan dengan cukup eksplisit, namun ga melepas karakter puitis dari author, membuat adegan ini masih bisa dinikmati.

    Overall, ini keren banget!!!!
    Sangat berbobot, dimana background story bener2 digali, dan intrik2 menarik yang terjadi diantara peserta melibatkan realm.
    Yah endingnya agak nggantung sih, tapi aku rasa udah ga bisa dipanjangin lagi, yg ada malah ntar jadi sinetron. Ending cliffhanger (klo ada lanjutannya post dong xD)

    Lalu aku agak bingung dengan kematian Sjena, apa yg sebenernya terjadi?
    Sjena jatuh, lalu..kok bisa tergantung di atas?
    Mohon penjelasannya

    Aku ngasi 8.5/10 karena masih ngganjel sama kematian Sjena xD xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty banget ya Bay :D
      woow review panjang ini buat gw adalah sebuah pujian tersendiri XD

      dan gw demen chat malem2 kemaren untuk diskusiin karakter Sjena dan Mba :D

      Delete
  4. Kelima pesertanya bener-bener memiliki karakter, terlihat jelas penggambarannya. Ane aja sampe kaget, Reeh di sini rasanya malah lebi keren, bisa sampe ngeluarin puisi segala. Cuma agak kaget pas dia maen sosor Mba abis ngelempar bom ke udara. hehehehe.

    Alur ceritanya rapi, sebab-akibat dan pertarungannya juga seru. Yang ane kurang paham itu kematiannya Sjena, sama kematiannya Rafa, kenapa Rafa ngehilangin memorinya Mba?

    Nilainya ane kasih 9...

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty Sang Pengembara :D

      iya Reeh aslinya emang maw dibikin jadi love interest di sini.

      Iya Sjena emang kematiannya agak diclosure. dia mati kejepit lift yang lagi naik. itu sengaja gw sensor biar ga terlalu serem >.<

      buat yang terakhir itu. Actually gw bikin Rafa dah 'give up'. cuma mgkn masuknya belum pas aja. perhaps gw seharusnya bikin kakinya patah dulu biar bener no way out >.<

      again, ty banget buat skornya XD

      Delete
    2. oh mati kejepit, kasian banget gan nasibnya begitu...

      sama-sama gan!

      Delete
  5. Anonymous15/4/14 12:43

    Rasanya ini cerita BoR pertama yang membangun romansa antara sesama pesertanya. Ide yang lumayan menyegarkan.

    Aku telanjur baca cerita lain dengan setting yang sama tapi dengan penggambaran yang lebih unik, jadi aku tidak bisa memberi nilai tinggi untuk setting-nya.

    Ceritanya kalah menarik daripada profil si Mba Irwin sendiri.

    7,6/10

    -Ivon

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty Popon~

      iya, emang fokus Mba Irwin lebih ke arah yang berbeda ma mayoritas entrant lain. double edged sih IMO wkkwkw

      lagi, thanks karena dah mampir and ngasi nilai :D

      Delete
  6. Uwaaaaaah... sasuga om Rend.

    Ini pertama kalinya ane baca tulisan di BoR 4L dengan detail tanpa pake fast read. Sumpah ini narasimu lagi-lagi level up ya. Bisa bikin ane betah baca sampe akhir. XD
    **contek beberapa diksi dari sini**

    Ini pasti melototin tiap charsheet selama beberapa jam, brainstorming semalam suntuk buat setting, ngabisin sehari penuh buat nyusun plot, baru bisa nulis dengan nyaman. :D
    Soalnya tiap char benar-benar kegarap, dari sosok haus darah, pria puitis, sampe si mbak sendiri yang benar-benar naif sama pertumpahan darah. Scene kepala Reeh yang putus itu tergambarkan dengan epic.

    Duhai, daku gak pandai dalam memberikan penilaian, jadi cukup lah skor 10/10 untuk mewakili "bling-bling" yang ane dapatkan dari story ini.
    :D

    In repeat~ the score is : **********
    10/10 (Ten out of Ten)
    :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uwaaaa ty banget H-san XD
      ga nyangka ada yang ngasih 10 buat tulisan ini *terharu, nyeka air mata*

      iya bener, gw ganti-gantian melototin tiap charsheet OC buat bikin ini. tapi jujur thanks terbesar harus gw kasih ke Sang Pengembara dan Bayee. karena mereka gw jadi tahu harus ngapain dengan plot dan OC mereka.
      BTW, ini pertama kali gw dapet 10. jadi... well, you take my virginity... H-san wkwkwkw

      Delete
  7. wkwkwk , endingnya greget :v

    btw ga seru bgt pas Reeh mati cma dpelototin doang ama mba nya,
    abis itu cuek mlah liatin keributan dibawah -_-
    ksian si Reeh nya :3

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty Arbi, dah mau melipir XD

      Bu-bukan cuek dilihatin hiks...
      itu si Mba dipaksa ngeliat kematian si Reeh gitu aja... trus diseret Sjena buat nonton yang lebih gore lagi.

      OTL
      masih harus belajar lagi >.<

      ty ya buat nilainya XD

      Delete
  8. Wow, narasinya sangat addictive~

    Karakterisasi dari karakter-karakternya dapet, terutama si Mba yang ga becus apa-apa kecuali by being imba herself. Untuk bagian romansanya, bagiku itu rada maksa.

    Dari segi battle sendiri, saya pikir ini bagus banget (walau saya berharap sedikit komedi dari kemampuan si Mba). Saya agak kurang setuju dengan endingnya, kalau ga bisa luka fisik, setidaknya bikin si Mba menderita luka secara mental (eh ini luka mentalnya malah dihapus sama Rafa).

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. hwhwhw makasih dah mampir ya bang Zoel :D

      wah hwhwh ga nyangka dapet pujian dari Bang Zoel :D
      hoo romensnya maksa ya? oke lain kali gw coba bikin yang lebih masuk lagi. cma khawatir aja nanti dragging jadi terpaksa banyak hal yang gw bikin unnatural by cause >.<

      buat ending... hmmm... iya sih gw juuga ada opsi itu. tapi pengennya sih R2 jadi sesuatu yang fresh lagi buat Mba. dan gw pengen start chemistry dari cafe/lounge kalo bisa

      Delete
  9. Ceritanya si mba bisa ngebuat saya kebawa dan gak fast read, walaupun saya agak bingung di pertama-pertama sampai gak nyadar itu peserta lain

    8.5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty ty ya Rayan :D

      iya, mgkn emang ada distraksi dari karakter figuran lain di sana sih. gw rasa itu yang bikin jadi susah identifikasi peserta walau gw dah coba hindarin penamaan buat mereka ^^;

      Delete
  10. "Being IMBA is not OC's skill, but the author." - Umi -

    baru kali ini umi ngerasa sebuah OC imba bukan karena OC-nya tapi karena authornya -_-

    Pas baca charsheet-nya mba, umi ngerasa kalau Mba ini bisa dikalahin hanya dengan bikin dia inget sama semua hal yang telah terjadi karena kehadirannya. Tapi baca ini bikin umi mikir ulang asumsi itu. Dia ga IMBA, imo. Umi ngerasa dia cuma terjebak keadaan. Sekali lagi, ini impresi umi sesaat setelah baca charsheet.

    Thanks to kak R.E yang sekarang bikin Umi kehilangan semua rencana yang udah Umi susun untuk bikin Mba tepar. Percayalah, sekarang, selain author Sjena, Author Lulu, sekarang umi masukin dirimu juga ke List author yang pengen banget umi lawan. Kenapa? Sederhana, umi suka banget sama narasinya yang menurut umi, bisa umi pelajari :D Narasi yang dirimu gunakan bisa membantu Umi untuk nulis XD dan umi susah nemu Author yang gaya bahasa dari narasinya kayak gini. :D

    Ini jelas banget beda sama F4rend yang bikin Umi galau abis baca. Mba, ditambah kehadiran Reeh di sana, bikin umi terbuai. Terbuai mulai dari bahasa, cerita dan imaji yang berkelebat tak henti ketika umi membaca. Umi bahkan sempat mual waktu Umi ngebaca apa yang diliat sama Mba.

    Oke, Umi malas membual, karena cerita ini bikin impresi yang super duper bagus di otak Umi. Kak Umi tunggu dirimu di R2 dengan nilai 10/10 dari Umi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty ya dah mampir, Umi :D

      wah gw harus menjejak tanah nih kalo kek gini hwhw, it's an honor to be in your death list *grin
      gw juga berharap tulisan gw bisa lebih bagus. sedikit saran aja, jangan terlalu hope banyak di R2. khawatir nanti malah kecewa hehehe ^^;

      ty sekali lagi buat nilainya :D

      Delete
    2. >.<
      Percayalah kak, itu bukan Death List kekekek >.<

      Ga janji untuk ga berekspektasi, tapi janji ga ngarep di R2 *ntah apa bedanya* >.<

      sama-sama :D

      Delete
  11. Ada bau-bau pasangan baru nih. Hayooo, Mba Irwin bakal kepincut tuan Reeh atau nggak nih? :D #eciye

    Bahasanya enak dan puitis, jadi nyaman bacanya :)
    Battle nya juga detail, gampang deh membayangkan tiap aksi dan reaksinya :D

    8/10

    Btw, gimana caranya sih biar Mba Irwin mati? Zany bingung nih klo serangan fisik sama sekali nggak mempan :/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ty ya dah mampir Tamami :D

      Banyak kok. Salah satu contohnya adalah bikin dia histeris, mindbreak, atau serangan psikologis lainnya.
      Kalo pake cara ngebujuk juga bs. Cma reasonnya harus jelas.

      Cara lain bs pake no energy left. Misal, dibuat kelelahan, kehabisan napas, kehabisan cairan tubuh, kelaparan (Lazu bs instant Kill Mba loh)

      Hipnotis. Walau ga bikin Mba mati, bs memudahkan utk dpt kemenangan.
      Restriction. Misalnya dengan mengubah Mba menjadi benda tertentu (Nim contohnya)

      Kemampuan yg bs anulir kemampuan Mba.

      Void (Noumi Shu bs OHKO si Mba). Karena sifatnya erasing, bukan inflicting.

      Serangan yg menghancurkan realitas. Apapun yg bs maenin aturan dimensi bs bunuh Mba (keknya ada yg pnya tp ga tau sapa)

      Serangan yg lgsg nembus fisik tubuh (Kolator misalnya).

      Serangan yang memainkan definisi. Ini pasal karet. Selama lu ga nyebut serangan lu berafiliasi Fisik dan Magic maka bisa diasumsikan ngedamage. Tapi reasoningnya harus jelas.

      Serangan cinta *uhuk* yes, temptation could kill. How? Do the romans, u get the man to dance.

      Serangan intelegensia. Buat aja Mba jd idiot. Kelar. Or duel aja cerdas cermat. Siapa tau bs menang :3

      Jangan ajak brantem fisik. Tom bs menang pake cara ini. Atau yah, ajak aja lari marathon. Dijamin si Mba megap2

      Tunjukkin dosa Mba. Biar dia cari cara buat bunuh diri. Nema or Sil keknya poenya forte di sini.

      Oke segitu aja cukup ya :3
      Ty buat nilainya xD

      Delete
    2. Serangan yg menghancurkan realitas? Hm.. Kalau menciptakan sesuaty dari ketiadaan termasuk menghancurkan realitas bukan?
      '-')

      Delete
  12. sjena punya kmampuan hipnotis/pengendalian makhluk hologram itu kak :o
    agak heran jg knp reeh kyknya bs tau banyak ttg BoR pdhl d pembukaan cuman dsuruh saling mengalahkan aja
    mbanya suram bgt kak, trus sering muntah mulu, pdhl kan udh sering muncul d pertarungan yg gore, kok kyk g terbiasa gitu kak? x3
    tp lumayan suka sama battle dan interaksi karakter dsini :)
    nilai 8/10

    ReplyDelete
  13. Hai, Mba Irwin. Ternyata Mba Irwin berani menangkis serangan secara langsung ya? Mba bisa menangkis pedang Rafa dan mematahkan pisau Annete dengan tangan kosong rupanya. (Maaf aku menceritakan Mba Irwin sebagai sosok yang rapuh)
    Ceritanya dibangun dengan baik dan seru. Pertarungan antar karakter diceritakan dengan keren.

    Nilai: 8

    ReplyDelete
  14. Mbaaaaaaa...

    ADUH, DIKAU MANIS SEKALI.
    Salah satu OC cewek kesukaan saya di 4L.

    Masalah diksi, oke, ini bagus.
    Paragraf juga oke.

    Plotnya ngalir dan interaksi antar chara bagus.

    Mba terlalu baik, aduh Mba.... Jangan minta maaf kalau ndak ada salah :v

    +8

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -