Pages

April 19, 2014

[ROUND 1 - H] PETRA ARCADIA - FOR THE GREATER GOOD

[Round 1-H] Petra Arcadia
"For The Greater Good"
Written by Billy Bagus Doxa

---

Suasana hening terpecah oleh bunyi ledakan keras dan sesosok mahluk bersayap muncul begitu saja dari balik udara hampa, tubuhnya sesaat berpendar kemerahan namun segera sirna seiring kepakan sayapnya yang hampir sebesar badannya, mahluk tersebut menukik hingga kira-kira dua meter di atas jalan raya dan menjatuhkan sesuatu yang digenggamnya, terdengar bunyi berdebam dan umpatan perlahan.

'Mahluk sialan..' gerutu Petra sembari terhuyung bangkit, baju yori ungu bermotif petak hexagon yang dikenakannya kotor tersapu debu jalanan ketika mahluk bersayap yang disebut Hvyt tersebut dengan enteng melepaskan genggaman dan menjatuhkannya begitu saja di atas jalan yang terbuat dari aspal.

Petra mengerjapkan mata, mencoba mereka ulang rentetan kejadian yang dialaminya, ingatan tentang kilat cahaya biru dan sensasi aneh seolah dirinya melayang melawan gravitasi dan terhisap masuk ke dalam sebuah pusaran terus memenuhi benaknya, kepalanya masih sedikit berputar hingga sekarang. Pidato yang baru saja didengarnya hanya samar-samar bergaung di kepalanya. Ada banyak orang berkumpul, langit berwarna darah, kastil megah menjulang pongah, makhluk yang mengaku sebagai Tuhan menyuruh mereka untuk bertarung satu sama lain, hanya satu yang terpilih untuk mendapatkan kembali kehidupan mereka, dan tiba-tiba saja mahluk-mahluk kekar bersayap hitam yang memenuhi angkasa kala itu terbang dan menyambar semua orang termasuk dirinya, terdengar jeritan protes dan ketakutan di segala penjuru. Pengalaman yang aneh..gumamnya.

Begitulah Petra Arcadia, bukan tidak kenal takut, namun dalam setiap situasi yang dihadapi, dia selalu berorientasi pada solusi, pemecahan masalah dan jalan keluar, jadi tak heran hingga kematian pun hanyalah sebuah 'pengalaman aneh' lain baginya. Selama dia masih dapat merasakan panca inderanya, bernafas, dan bergerak, Petra tidak menunjukkan rasa takut yang kentara, lebih kepada ia tidak terlalu peduli pada apa yang terjadi. Selama ia merasa harus mempertahankan diri, tak akan ragu ia mengangkat  senjata dan menunjukkan kelebihannya alih alih kelemahan.

Petra mulai melangkah dan lambat laun pemahaman kembali merasukinya. 'Aku tahu tempat ini' batinnya. 'Menarik, malah berkat kejadian konyol ini aku bisa memasuki tempat yang selama ini tak pernah bisa aku capai'. Pandangannya menyapu sekeliling, dilihatnya reruntuhan gedung-gedung pencakar langit berbentuk abstrak, dari jalan layang tempatnya berdiri Petra dapat melihat dengan jelas keadaan sekitarnya. Puing-puing bangunan dan rongsokan mesin-mesin transportasi teronggok memenuhi setiap ruas jalan, beberapa bahkan masih utuh seolah ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Rambu  jalan masih setia menunjukkan arah dan peringatan entah pada siapa, beberapa bahkan masih berkedip dengan suram meski tak ada tanda-tanda kehidupan. Di kejauhan terlihat sebuah menara raksasa, menjulang dengan gagah meskipun dua per empat bagian atasnya hilang dengan arah melintang miring seolah terkena sabetan senjata tajam raksasa. Di angkasa kabut tebal menaungi seluruh bagian wilayah tersebut, dan di baliknya samar-samar terlihat sebuah bola energy besar berwarna putih yang sesekali memercikkan listrik. Pendarnya menembus tirai kabut kelam dan menerangi wilayah tersebut dengar sinar temaram serupa bulan purnama yang berjarak sangat dekat.

Dengan tenang Petra melangkahkan kakinya, terlihat santai namun tangannya tak pernah jauh dari dua buah pedang yang menggantung di kedua sisi pinggangnya. Kedua senjata tersebut menjadi teman setianya selama bertahun-tahun saat dirinya berkelana sendirian di seluruh wilayah Ridema dalam pencarian jati diri yang tak kunjung usai. Petra merogoh bagian dalam yori nya dan mengambil sebuah kotak berwarna perak. Dengan ringan diisapunya permukaan kotak tersebut dengan telunjuk membentuk pola-pola asing. Sejenak kotak tersebut berpendar kehijauan dan terbuka dengan bunyi 'klik' pelan. Sedetik kemudian dua buah benda melesat ke udara meninggalkan kotak tersebut, sesaat seolah kedua benda tersebut hendak terbang menjauhi Petra, namun seiring sapuan mata Petra, kedua benda tersebut menggantung di udara sebelum meluncur mendekatinya dengan suara berdesing. Gumpalan perak mulus sebesar bola voli tersebut melayang berdampingan di depan wajah Petra, yang tersenyum dan memberi anggukan pelan, serta merta kedua bola perak tersebut berayun liar mengelilingi tubuh Petra dengan kecepatan tinggi sebelum akhirnya melayang perlahan beberapa senti dari pundaknya.

Petra bergairah, senyum tipis menghias wajahnya, dia tahu, dirinya tak sendiri di tempat terisolir ini. 'Empat orang..' gumamnya, mengingat apa yang dikatakan mahluk bersayap itu dari podium kastil. Ini adalah tahap pertama dari ujian yang harus dilalui untuk kembali ke tempat asalnya. Naluri bertarung Petra muncul kembali, setelah sekian lama mengembara di Jalur Pemurnian (pilgrimage Road) tanpa ada sesosok mahluk pun untuk dijadikan lawan, kini ia dapat kembali merasakan  sensasi pertempuran. Petra terus mengayunkan langkah, Bahasa tubuhnya santai namun waspada, tangannya berada di samping kedua pedang panjang yang tersampir di pinggulnya, sementara dua gumpalan perak serupa bola perlahan mengelilingi tubuhnya, bagaikan bulan pada bumi. Hening, hanya suara langkah kaki tunggal yang bergema saat serpihan-serpihan besi dan kaca terinjak.  Terdengar bunyi berdentang di kejauhan dan Petra menghentikan langkahnya. Perhatiannya terpusat pada jalan setapak yang berada tepat di depannya, sejenak kemudian ia melanjutkan langkahnya ke arah suara tersebut, setitik cahaya berpendar di kejauhan. Petra berjalan semakin dekat kepada keremangan, seluruh inderanya siap mengantisipasi serangan.

Sebuah lampu berayun tertahan oleh sebuah kabel yang menjuntai dari atas sebuah tiang yang telah setengah patah. Rupanya besi penahannya terlepas dan jatuh. Tak heran, gerutu Petra. Tempat ini pasti sudah beratus-ratus tahun tak berpenghuni.  Petra sudah siap meninggalkan tempat itu ketika dilihatnya pendar cahaya kebiruan tak jauh dari tempatnya berdiri. Lampu lagi? Batinnya sembari terus berjalan dengan tekad mengacuhkan distraksi yang tidak penting tersebut. Pendar lampu kebiruan tersebut sekonyong-konyong bergerak mengikuti arah Petra berjalan. Terkesiap, Petra berhenti. Dilihatnya pendar kebiruan tersebut perlahan mendekati dirinya, semakin dekat, pendar yang awalnya hanya serupa bola api berwarna kebiruan mulai menampakkan wujud seiring semakin dekatnya jarak dengan Petra. Ketika hanya tinggal selangkah lagi dari tubuh Petra, bola api tersebut sudah menampakkan wujudnya, sesosok wanita cantik bermata indah dengan telinga runcing, tubuhnya jenjang dan transparan namun tidak menyembunyikan keindahan lekuknya. Petra membelalak. Dia mengenali sosok ini. 'Zeika..?' gumamnya. Sang wanita tidak menjawab, namun merespon kata-kata Petra dengan senyuman. Binar matanya menatap mata Petra dengan kerinduan yang mendalam. 'Bagaimana kau..?' Petra tak melanjutkan ucapannya, hatinya dipenuhi perasaan hangat yang menyenangkan. Sosok bernama Zeika tersebut menggerakkan bibirnya akan mengatakan sesuatu.

'Dengan siapa kau bicara?'

Sosok transparan tersebut dan Petra terkesiap, tidak melanjutkan tindakannya, wajahnya berpaling ke arah sumber suara, lalu kembali tertuju pada  Petra dengan raut sedih sebelum kembali berubah menjadi sebentuk bola api  kebiruan dan menghilang di keremangan. Petra mengarahkan matanya dalam-dalam ke arah kanan tempatnya berdiri. Terlihat siluet bertubuh tinggi tengah duduk dengan santai di salah satu reruntuhan gedung, sebuah tanduk mencuat di ujung dahinya.

Sosok tersebut bangkit dan melompat, mendarat dengan lembut beberapa meter dari tempat Petra berdiri. Tepat di tempat seberkas sinar dari kumparan besar di langit terpusat, sehingga Petra dapat melihat sosoknya dengan jelas. Rambutnya hitam pendek , kulit sedikit pucat, dan bola matanya berwarna keunguan, ia memakai setelan berwarna hitam panjang yang tidak dikancing sehingga memperlihatkan baju dalamnya yang berwarna putih. Ada benda berwarna perak yang melingkari lehernya, terhubung dengan rantai yang menjuntai hingga bagian selangka, Petra melihat bagian bawah rantai tersebut patah seperti diputuskan oleh sesuatu. Wajahnya rupawan meski agak tidak lazim, Petra tahu dia bukan manusia.

'Kau bicara sendiri' kata sosok tersebut melanjutkan omongannya.

'Apakah pikiranmu terganggu ketika mahluk bersayap itu menjatuhkanmu dari ketinggian? Kepalamu lebih dahulu menghantam tanah?' ujarnya dengan nada mencemooh.

'Bukan urusanmu' balas Petra datar, 'Kau tersesat? Aku rasa di sini bukan tempat untuk seorang iblis pesolek, aku disini untuk bertarung'.

Mendengar kata 'iblis pesolek' ,sosok bertanduk tersebut memicingkan mata, raut mukanya menegang. 'Menggelikan' katanya sembari menyeringai memamerkan giginya yang runcing dan tertata rapi.

'Aku pun mencari hal yang sama, tak kusangka yang kutemui pertama kali adalah gembel yang suka berbicara sendiri' cibir sang iblis tampan. Petra bergeming, emosinya tak tersulut, namun Bahasa tubuhnya tetap waspada, berdiri dengan mata menatap tajam ke arah sang iblis.

'Hoo..baiklah' kata sang iblis. 'Mata itu, mata seorang petarung..kurasa kau lah lawan pertama yang harus kuhadapi'.

Kemudian sang iblis mengangkat tangan kanannya yang terkepal, sesaat Petra menyangka ia akan memberi semacam gestur penghormatan, kemudian seketika cahaya keunguan semburat keluar dari kedua sisi kepalan tangannya dan ketika cahaya tersebut menghilang, sebuah tombak panjang muncul tergenggam di tangan sang iblis. Tombak tersebut hitam dengan gagang terulir indah dan memiliki mata tombak yang terbuat dari permata berwarna ungu. Sesekali terlihat pijar kumparan listrik menyelimuti mata tombak itu.

Sang iblis mengambil kuda-kuda, mencondongkan sisi kiri badannya ke depan. Tombak dipegangnya di tangan kanan dengan ujung terarah ke bawah. 'Ada permintaan terakhir sebelum kucabut nyawamu?' tanyanya. Petra tetap tak bergeming, namun mengubah posisi berdiri dengan senyum tipis di bibirnya, namun tangan kirinya sudah berada di gagang pedang yang tersampir di pinggang dan kedua benda perak sudah berhenti mengelilingi tubuhnya dan melayang di atas kedua pundaknya. Sedetik kemudian sang iblis merangsek maju dengan kecepatan tinggi dan melancarkan serangan pertama, sebuah tebasan vertikal mengarah ke tubuh Petra, yang dengan sigap melompat mundur, tak berhenti sampai di situ serbuan sang iblis yang berkali-kali menghujamkan tombak ke arah Petra yang menghindar tanpa sempat mencabut pedangnya. Satu kombinasi serangan berhasil dihindari Petra namun membuat dirinya mati langkah,  dan iblis tampan tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, ditempelkannya ujung tombak ke pundak kanan Petra yang terbuka dan sekejap Petra merasakan kejutan listrik bertenaga yang mengaliri ujung tombak tersebut telak mengenai tubuhnya, membuatnya terpental beberapa langkah. Sang iblis tak bergeming dari posisi  akhir, matanya tertuju pada lawan yang akhirnya menerima serangannya.  Petra berlutut dengan satu kaki, matanya menatap aspal yang berada di bawahnya, jantungnya berdetak kencang, tanpa sadar dirinya mengeluarkan suara dengus dan tertawa perlahan.

'Apa yang lucu?' protes sang iblis.

Petra menggeleng pelan 'Setelah sekian lama aku bisa merasakan sensasi pertarungan lagi' Sambil menyelesaikan kalimat, Petra bangkit berdiri, kedua tangannya menggenggam gagang pedang yang berayun di pinggangnya dan dengan satu gerak perlahan ia mengeluarkan mereka dari sarungnya. Pendar biru dan merah menguar dari kedua pedang panjang tersebut, dengan ukiran huruf kuno tercetak di badan pedang. Di saat yang hampir bersamaan, kedua benda perak di atas pundaknya bergetar perlahan, sesaat terlihat kedua gumpalan tersebut mengubah bentuk seakan meleleh di udara kosong, kemudian perlahan meruncing ke depan seolah ditarik, bagian bawahnya menajam. Kini kedua gumpalan yang tadinya terlihat tak berbahaya telah merubah bentuk menjadi dua bilah pedang perak yang melayang dengan ujung terarah pada sang iblis. 

'Nah' ujar Petra '…mari bersenang-senang'.

Sang Iblis kembali melancarkan serangan dengan tombaknya, kali ini Petra tak lagi menghindar, namun menangkis setiap serangan yang masuk dengan sigap menggunakan keempat pedangnya sambil sesekali melancarkan serangan balik yang juga dapat dihindari oleh sang iblis. Keduanya tersenyum bahagia sembari saling melancarkan serangan untuk beberapa saat sebelum serempak melompat mundur.

'Siapa namamu?' Tanya sang iblis penasaran. 'Pentingkah bagimu untuk mengenal gembel yang suka bicara sendiri?' balas Petra. Sang iblis tergelak 'Mungkin tidak' ujarnya 'Tapi kau adalah lawan sepadan dan darahmu pantas membasahi tombakku'. Senyuman Petra makin lebar 'Kau entah sombong atau terlalu percaya diri' kata Petra 'Aku akan memberi pelajaran berharga untuk hidup..dan matimu'.

Sang Iblis tertawa dan melompat maju, digenggamnya kedua tombak dengan kedua tangan dan dilayangkannya sabetan bertenaga yang ditangkis Petra dengan kedua pedang di tangannya. Percikan api muncul saat semua senjata tersebut beradu, dan kuatnya serangan tersebut membuat Petra mundur beberapa langkah. Sang iblis berdiri dengan waspada di hadapan Petra, lututnya menekuk sehingga kaki jenjangnya membentuk kuda-kuda kokoh. Tombaknya menghunus lurus-lurus ke arah pemuda berkuncir kuda itu, kedua tangannya yang berwarna pucat menggenggam erat gagang tombak, secara efektif memberi jarak yang merentang cukup jauh antara keduanya. Matanya tak lepas mengawasi tiap gerak gerik Petra, yang berdiri menyamping dengan tenang.

'Sekarang giliranku!' seiring kata terakhir meluncur dari mulut Petra, kedua pedang perak di pundaknya melesat maju melewati bagian atas tombak sang Iblis dan menyerang dengan sabetan-sabetan kilat, sang iblis menghindar serangan demi serangan namun mimik wajahnya menegang, sementara Petra pun turut merangsek maju dan turut melancarkan serangan. Sang iblis kewalahan menangkis rangkaian serangan Petra yang tak putus-putus. Akhirnya, satu sabetan tipis menggores pipi kanan sang Iblis. Darah berwarna merah kehitaman mengalir dari luka tersebut dan serta merta sang iblis meraung dan dengan liar mengayunkan tombaknya menangkis keempat pedang Petra dengan satu sapuan sambil melompat mundur menjauh. Sedetik sebelum kakinya menapak tanah, sang Iblis menjejak udara dan melesat tinggi ke angkasa, membuat Petra terpana. Dari kejauhan Petra melihatnya melayang , tubuhnya menekuk, tanduk di dahinya menyala keunguan.

'VIOLET RAIN!' Jerit sang iblis sambil mengarahkan kedua tangan ke arah Petra yang berada jauh di bawah. Sedetik kemudian empat petir tajam laksana tombak terbentuk di udara dan menghujam ke arah Petra dengan kecepatan tinggi. Petra berhasil menghindar namun tidak sempurna. Salah satu tombak petir menyambar mengenai kaki kanannya , membuatnya mati rasa. Sementara kedua lainnya telak mengenai bilah pedang perak yang melayang di dekat tuannya. Keduanya bergetar hebat dan kehilangan bentuk, terkungkung di dalam kumparan petir yang berpijar. Petra terjatuh ke aspal keras, masih mencoba menghilangkan rasa kebas di kaki kanannya. Tak menyia nyiakan kesempatan, sang Iblis kembali menjejak udara saat dirinya perlahan mulai turun, dengan kecepatan tinggi dan tombak terhunus ke arah Petra. Mengerahkan seluruh tenaga dan mengabaikan rasa kebas di kaki kanannya, Petra berguling ke samping tepat sebelum tombak Iblis tampan menancap di aspal tempatnya terbaring sepersekian detik yang lalu. Kecepatan tinggi membuat mata tombak tersebut terbenam hampir seluruhnya di jalan aspal yang keras. Sang iblis mengerahkan seluruh kekuatan untuk mencabut senjatanya, ada sedikit jeda yang dimanfaatkan Petra untuk kembali berguling menjauh dari jarak serang sang iblis, tepat ketika tombak tersebut tercabut dan dihantamkan sang iblis ke arah Petra. Kembali tombak tersebut mengeluarkan kumparan listrik berwarna keunguan ketika menghantam aspal, luput mengenai tubuh Petra yang sudah mengantisipasi gerakan tersebut.

Petra berjengit, rasa kebas di kakinya mulai menghilang dan tanpa membuang waktu dirinya kembali bangkit berdiri. Tak jauh dari sana kumparan listrik yang membungkus kedua bilah pedang perak milik Petra sudah menghilang, namun pedang perak tersebut telah kembali ke bentuk semula menjadi serupa bola voli dan melayang mendekati Petra, yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Petir milik si pemuda Iblis telah memberikan efek negatif pada kedua bola perak tersebut, membuat mereka tak dapat berubah bentuk untuk beberapa saat.  Pemuda iblis masih berdiri di hadapan Petra, nafasnya terengah. Beberapa jurus yang dilancarkan berturut turut rupanya telah menguras stamina sang iblis.

'Impresif' ujar Petra tulus, ia terkesan dengan kemampuan sang iblis. Mendengar pujian tersebut raut muka sang iblis melunak 'Kau juga cukup tangguh' ujarnya. 'Sayang sekali kita tidak bertemu pada saat yang tepat' lanjut Petra 'maaf jika aku harus membuatmu kehilangan nyawa disini..untuk kedua kalinya'

Petra menyarungkan kedua pedangnya, tangan kanannya menggenggam sarung pedang sebelah kanan, tangan kirinya memegang gagang pedang tersebut, tubuhnya membungkuk dengan melebarkan kedua kakinya, matanya dengan awas terarah pada sosok sang iblis, yang juga memasang kuda-kuda, tombak dihunusnya dengan kedua tangan.

'Tapi ketahuilah, bahwa aku tidak menganggap remeh pertarungan ini, pendekar iblis' ujarnya.

'Namaku Zacharias Eithelonen' balas sang iblis 'Zach adalah namaku sehari-hari'.

'Baiklah, Zach' ujar Petra, gairah bertarung menyala-nyala di relung hatinya. 'Namaku Petra Arcadia, namun di medan perang aku dijuluki Gilgamesh, the Blade Maestro' senyum kembali menghiasi bibir Petra 'Terima kasih sudah menjadi lawan yang sepadan untuk pertarungan ini' .

Zach juga menyunggingkan senyum cerah, sesaat membuatnya tampak seperti malaikat alih-alih iblis. 'Hal yang sama juga kurasakan' ujarnya 'Pertarungan ini akan terus kuingat sebagai salah satu pengalaman terbaik dalam hidupku'.

Masih menyunggingkan senyum, Petra menggeser kaki kanannya ke depan 'Bersiaplah' ujarnya dan kedua petarung tersebut berlari ke arah masing-masing, Zach dengan tombak terhunus dan Petra dengan kedua tangan menggenggam pedang di sebelah kiri pinggulnya. Zach mengambil inisiatif serangan ketika keduanya berada dalam jarak cukup dekat, hunusan tombaknya menyerbu Petra dengan kecepatan tinggi. Petra tidak mengeluarkan pedang namun dengan cekatan menghindar setiap tusukan secepat kilat tersebut, namun tidak seluruhnya berhasil dihindari dengan sempurna. Beberapa tusukan menggores tangan, tubuh, dan wajah Petra, namun tanpa gentar dirinya terus merangsek maju dan satu gerakan memutar, Petra berhasil melewati mata tombak Zacharias, yang bereaksi dengan mengarahkan tangan kiri ke arah Petra, tanduknya menyala . Sesaat terbentuk cakram di udara dengan pendar keunguan, meluncur ke arah Petra dan dengan bunyi berdesing mencabik pipi kanannya. Darah segar mengalir membasahi leher hingga kerah yori Petra, yang terkesiap namun tetap siaga. Dicabutnya pedang katana dengan tangan kanan, dua tebasan vertikal Petra mengarut urat nadi tangan kanan Zach, diakhiri dengan sebuah tusukan ke dada kiri iblis tersebut.

Zach mengerang kesakitan, tombaknya jatuh dengan suara berdentang ke aspal sebelum lenyap dengan kelebat cahaya ungu-jingga. Terdengar bunyi deguk saat darah menyembur keluar melewati tenggorokannya. Cairan  merah kehitaman mengalir membasahi sisi kiri tubuh Zach dan juga tangan kanannya yang kini tergantung lemas tak berdaya.

'Pe..tra…Ar..ca….di…..a' Zach dengan segenap kemampuan terakhirnya mencoba merangkai kata, matanya menatap Petra dalam-dalam, tangan kirinya menggenggam lengan Petra. Dengan satu gerakan cepat Petra mencabut pedangnya dari dada kiri Zach,  sang iblis rupawan terhuyung selama beberapa detik sebelum jatuh terjerembab di aspal dengan posisi tengadah, kedua lengannya terentang, matanya terbuka dengan tatapan nanar. Pendar keunguan yang menghiasi bola matanya perlahan memudar seiring kehidupan kembali meninggalkan raganya. Darah membasahi aspal kelam tersebut. Petra menjepit mata pedang yang dipenuhi darah tersebut dengan ketiga jari dan perlahan menarik pedang dari jepitan jarinya, membersihkan darah pekat yang menempel di pedang bercahaya biru tersebut sebelum menyarungkannya kembali, sambil memandang lawan tangguh yang kini sudah tak bernyawa. 'Aku telah memberinya kematian yang layak dalam pertarungan' batin Petra, yang sesungguhnya masih meragukan alasan dan motivasinya untuk menghilangkan nyawa sesama dalam 'permainan' ini. Petra memberikan gestur penghormatan dengan membungkuk singkat di depan jasad Zach sebelum pergi melanjutkan perjalanan.

Petra terus melangkahkan kaki di antara puing bangunan dan rongsokan mesin-mesin transportasi, luka di pipi dan beberapa bagian tubuhnya sudah ia bersihkan sebisa mungkin, untung pendarahan telah berhenti. Kedua bola perak di kiri dan kanan pundaknya melayang lemas, terkadang sedikit bergetar. Masih belum bisa, gumam Petra. Serangan Zach tadi benar-benar melumpuhkan fungsi perubah-bentuk kedua benda tersebut, entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk keduanya bisa pulih. Namun hal tersebut tidak membuat Petra gentar, tekadnya mantap untuk menyelesaikan 'permainan' ini hingga titik penghabisan.

Tiba-tiba Petra menghentikan langkahnya. Perhatiannya tertuju pada dua buah pilar batu yang menyangga sebuah gerbang di depannya. Di balik gerbang tersebut terdapat tangga menuju suatu dataran tinggi dengan rumah besar terlihat di kejauhan.

'Tampakkan dirimu' kata Petra tenang, tangannya sudah siap di sisi gagang kedua katananya. Dari balik pilar sebelah kiri, sesosok ramping berjalan perlahan, awalnya seakan tidak mengacuhkan keberadaan Petra, namun ia memutar tubuhnya dengan malas-malasan dan menghadap ke arah Petra dengan satu tangan di pinggang. Sosok tersebut mengenakan topeng berwarna putih dengan motif bintang di bagian pipi dan tulisan "61T89N" tercetak tebal di sisi kanan rahang. Hanya ada lubang untuk kedua mata pada topeng tersebut, dan di baliknya dua mata besar berpelupuk lentik menatap Petra dengan sinis. 

'Membosankan' ujar sosok tersebut. Petra tidak membalas, hanya menatap balik sosok tersebut dengan dingin. 'Aku pikir akan ada ujian yang menantang, setidaknya lawan yang pantas untuk kuhabisi' lanjut sosok bertopeng tersebut. 'Nyatanya, aku harus menunggu di tempat aneh dan jelek ini' Tangan sosok tersebut melambai ke sekitar, matanya memandang sekitar dari balik topeng dengan ekspresi congkak yang kentara 'Untuk dihampiri oleh seorang petarung yang sudah sekarat' .

Petra tersenyum mendengar ocehan sosok tersebut. 'Bukankah kita semua sudah melewati tahap sekarat untuk masuk dalam permainan konyol ini?' balas Petra, retoris.

Sosok bertopeng tersebut mendengus dan memalingkan wajah dari Petra, perlahan melangkahkan kaki ke arah kanan tempat Petra berdiri. 'Asal kau tahu, aku tak pernah takut pada kematian, aku hidup untuk bertarung, aku dicipta untuk membunuh, sudah ratusan jiwa yang melayang oleh tanganku ini, aku tak butuh motivasi apapun untuk menambah satu korban lagi ke dalam daftarku' ujarnya dari balik topeng tanpa memandang ke arah Petra sama sekali.

'Aku pun demikian' jawab Petra santai 'Berapa orang yang sudah kau bunuh di tempat ini? Satu? Dua? Ataukah kau sedang membicarakan masa lalu dan teori semata? Pada kenyataannya aku rasa kemampuanmu tidak sedahsyat kata-katamu' tutur Petra sarkas, sengaja dilakukannya, gairah bertarungnya yang baru mulai menyala membuat dirinya tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Sosok tersebut berhenti melangkah, mendengus tertawa dan memalingkan wajahnya menatap Petra. 'Ada dua hal yang menjadi prinsipku, yang pertama keteraturan, yang kedua logika' Katanya sembari menghitung dengan jarinya. 'Dan ocehanmu barusan sangat berlawanan dengan kedua hal tersebut' . Petra tak bergeming, posisinya siaga, ia menatap gelang yang melingkari pergelangan sosok tersebut ketika ia mengangkat tangan kiri dan menghitung dengan jarinya. Gelang berwarna hitam itu memiliki bentuk yang tak lazim. Petra waspada.

Sosok bertopeng tersebut merentangkan tangan kirinya sambil berjalan ke arah Petra, jari tengah dan telunjuknya masih terbuka membentuk angka dua. 'Yury' katanya dan bayangan hitam menyelimuti bagian pergelangan hingga telapak tangan sosok tersebut, ketika bayangan tersebut menghilang, sebentuk pedang panjang berwarna hitam sudah tergenggam di tangan kirinya. Petra tak tinggal diam, dicabutnya kedua katana dari pinggangnya, naluri petarungnya merasakan bahwa  ini bukanlah lawan yang mudah. Sosok bertopeng itu berhenti beberapa langkah di hadapan Petra.

'Satu atau dua atau seratus tak masalah, yang pasti daftar kematianku di tempat ini akan kumulai darimu..kau tidak beruntung harus bertemu denganku, Quin Sigra El-Fathin, sang Boneka Pembunuh' 

Bersamaan dengan kata-kata terakhir, sosok bernama Quin tersebut membungkuk dan menerjang ke arah Petra, sabetan vertikalnya dapat ditangkis oleh Petra, yang membalas dengan tusukan ke arah wajah Quin. Dengan sigap Quin mengelak dan mengarahkan tendangan ke tubuh Petra yang tak sempat menghindar. Petra terjengkang ke belakang akibat serangan kilat tersebut dan Quin langsung memperpendek jarak dengan kecepatannya, kombinasi sabetan, tendangan dan pukulan menghujani Petra yang kewalahan dan gagal mengantisipasi seluruh serangan. Sebuah hook kanan mendarat di rusuk kiri Petra, yang meskipun memakai baju pelindung di dalam yori, tetap merasakan rasa sakit yang menusuk. Sebuah tendangan berputar menyusul dan telak mengenai pipi kanan Petra, membuatnya terjerembab menghantam aspal, darah mengalir dari bibirnya yang pecah. Quin berdiri menatap Petra yang berusaha bangkit. 'Membunuhmu adalah gampang' ujarnya enteng 'Namun kau beruntung aku sedang bosan..berdirilah, jangan manja' . Petra bangkitdengan tenang dan kembali menghadapi Quin dengan posisi menyamping, mengatur nafas dan konsentrasi. Sejenak kemudian ketenangan sudah kembali menguasainya, meskipun wajahnya berdarah, namun kewaspadaannya tetap terjaga.

Quin kembali melancarkan serangan, sabetan-sabetannya ditangkis oleh Petra dengan kedua katananya. Kombinasi tangan kosong yang tadi begitu efektif kini hampir seluruhnya bisa dihindari Petra dengan sempurna, satu sabetan horizontal sepenuh tenaga dilayangkan Quin ke arah leher Petra yang sengaja membuka pertahanan. Petra memundurkan tubuhnya ke belakang menghindari serangan tersebut dan segera membalas dengan ayunan katananya, Quin pun dengan sigap menunduk namun Petra memiliki rencana lain. Salah satu bola perak yang setia melayang di atas pundak Petra sudah berada di depan telapak kaki kanannya, serta merta Petra menendang bola tersebut  sekuat tenaga. Bola perak tersebut melesat dan mengenai wajah Quin dengan telak..topengnya retak dan hancur setengahnya oleh kekuatan dorongan bola perak tersebut. Quin terpental ke belakang..cairan hangat merembes dari hidung dan bibirnya, pandangannya berkunang-kunang saat tubuhnya terhempas di atas aspal dengan posisi terlentang.

'Bangunlah..' ujar Petra 'Itu belum seberapa' .

Sosok ramping tersebut perlahan bangkit, tubuhnya gemetar menahan sakit. Topeng yang  menyembunyikan wajahnya telah hancur sebagian, memperlihatkan wajah bulat dengan kulit putih yang menawan meskipun bagian hidung dan bibirnya merah oleh darah. Sejenak Petra terdiam, dia mengernyit.

'Kau…perempuan?' tanyanya spontan. Pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh Quin, yang langsung maju dengan menggenggam pedang hitam di tangan kiri. Satu sabetan beradu dengan katana Petra yang sudah bersiap mengantisipasi, namun sedetik kemudian Petra terhempas, seluruh tubuhnya merasakan sakit dan kebas yang familiar. Listrik! Petra mengumpat dalam hati. Kedua lawan yang ditemuinya pertama kali di tempat ini sama-sama memakai elemen yang tak disukainya. Pedang Yury milik Quin terlihat memancarkan pijar listrik berwarna kuning yang menari-nari di seluruh bagian pedang, membuatnya terlihat lebih panjang dari sebelumnya. Kedua katana Petra bukanlah penghantar listrik yang baik, namun tetap saja efek kejut tersebut terasa hingga ke tubuh dan mengacaukan panca inderanya.

 'Sekarang..kau boleh mati!' tukas Quin sembari merangsek. Petra sebisa mungkin menangkis serangan pedang listrik Quin, namun setiap tangkisan masih berdampak pada tubuhnya, dan Quin tetap menggunakan kombinasi pukulan dan tendangan disamping pedang tersebut. Tak ada cara lain, batin Petra. Kedua gumpalan perak di pundaknya melayang maju, menahan sabetan pedang listrik Quin. Pijar listrik menyambar ke segala arah saat pedang Quin dan kedua bola perak beradu, beberapa menyambar aspal dan meninggalkan jejak hangus. Quin terpental ke belakang, kedua bola perak milik Petra bergetar  hebat sebelum terjatuh dan menggelinding perlahan di aspal, dan akhirnya tergeletak di sisi jalan.

Petra memandang bola-bola tersebut dengan nelangsa, namun perhatiannya segera terarah pada Quin, pedang hitam bernama Yury tersebut tak lagi mengeluarkan pijar listrik. Quin juga tak dapat menyembunyikan raut cemas di wajahnya, namun seketika ia menguatkan diri dan kembali menunjukkan wajah penuh tekad, ia menyeringai dan menatap Petra dengan tajam dari balik sisa-sisa topengnya. Asap berwarna hitam menyelubungi sekujur tubuh Quin dan perlahan mulai terbentuk menjadi satu wujud yang pasti. Petra menelan ludah menyaksikan asap tersebut menjadi sebentuk bayangan. Pertama-tama tidak terlalu jelas, sampai kemudian akhirnya terbentuk sempurna mengambil rupa Quin, lengkap dengan topeng retak dan wajah berlumuran darah. Kedua Quin tersebut bertukar pandangan dengan ritme gerak sama sebelum akhirnya menerjang ke arah Petra.

Kedua sosok Quin menyerang Petra bertubi tubi dengan kombinasi yang sama. Petra terdesak mundur tanpa mampu membalas. Seluruh fokusnya terarahpada antisipasi serangan, salah satu Quin melompat ke belakang tubuh Petra, dan seketika setelah mendarat, menghujamkan tusukan ke arah tengkuk Petra, namun masih luput oleh gerakan reflek Petra sehingga alih-alih menembus leher, hanya mengiris tipis bagian pundaknya. Petra memutar tubuh dan mengayunkan pedang di tangan kanannya sekuat tenaga. Quin yang berada di belakang tubuh Petra mati  langkah dan tak memiliki kesempatan mengelak. Sabetan tersebut telak mengenai tubuhnya dan membelahnya menjadi dua bagian. Jerit kesakitan pun terdengar, namun alih-alih terjatuh, sosok Quin tersebut perlahan membentuk kepulan asap hitam dan lenyap tak bersisa. Gelenyar kengerian berkecamuk di perut Petra dan dengan refleks yang dipaksakan dirinya meloncat menjauhi sosok Quin yang berada di depannya. Suara sabetan membelah udara dan cipratan darah tercurah saat pedang Quin yang asli mencabik bagian kanan tubuh Petra dari rusuk hingga pundak. Baju zirah dari bahan dragonite yang alot itu tak bisa melindungi tubuh Petra dengan sempurna saat pedang Yury milik Quin telak menggores tubuhnya. Darah mengalir dari luka terbuka di dada kanan Petra hingga ke pundaknya. 'Ha!' pekik Quin penuh kemenangan, sementara Petra merasakan genggaman tangan kanannya melemah. Quin memperpendek jarak dan kembali melayangkan sabetan bertenaga.  Terdengar denting berdenging  saat katana milik Petra terlepas dari tangan kanannya, melayang dan menancap di aspal beberapa kaki jauhnya. Satu drop kick keras mendarat di tengah dada Petra, membuatnya mundur beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar.

Quin perlahan berjalan mendekati Petra, menghunus Yury. 'Tidak logis' katanya pelan. 'Bentukmu pun sudah tak beraturan..kau membuatku jijik' ejek Quin.

Petra mencoba mengabaikan rasa sakit dari lukanya dan menggenggam erat katana di tangan kirinya. Mengatur pernafasan dan fokus, memanfaatkan jeda ini sebaik-baiknya. Hinaan Quin hanyalah angin lalu di telinganya. Satu hal di pikirannya hanya solusi, bagaimana memenangkan pertarungan ini.

Sensasi hangat mengalir di tubuh Petra, sejenak ia tertegun, lalu tersenyum. Melihat hal tersebut wajah Quin yang semula sumringah menjadi jengah, dengan satu hentakan ia melompat setinggi mungkin. Petra mendongak, dan Quin melemparkan beberapa benda ke arahnya. Senjata rahasia? Gumam Petra, dan tanpa disangkanya, benda-benda tersebut tidak mengenai dirinya, melainkan menyebar menancap di belakang tempat Petra berdiri. Quin sudah berada beberapa langkah di hadapan Petra, nampak puas dengan hal ini.

'Selamat datang di dunia kematianmu' ujarnya sambil tertawa. Petra berjengit, sudut betisnya menyentuh sesuatu yang tipis. Benang? Kesadaran mulai menguasai Petra, namun sedikit terlambat, Quin dengan fasih menggerakkan tangan mengendalikan benang-benang tersebut, mengikat tubuh Petra dari segala arah melalui paku-paku yang tertancap di belakang tempat ia berdiri. 'YURY! SOLIT WHITE!!' pekik Quin dan sejurus sinar tajam memancar dari ujung pedang Yury miliknya, tepat mengarah pada dada kiri Petra yang masih berjibaku melepaskan diri dari ikatan benang. Ujung laser putih tersebut semakin mendekat dengan kecepatan sedang. Tak ada waktu lagi bagi Petra untuk menghindar. Bunyi sabetan memecah udara disusul jeritan.

Cairan merah semburat keluar dari bagian tubuh yang terluka parah. Quin Sighra El-Fathin menatap nanar potongan tangan kirinya yang tergeletak di atas aspal, pedang Yury masih tergenggam di kepalannya. Sebilah pedang perak telah memotong bersih bagian pangkal lengan pria bertopeng tersebut. Petra tersenyum lega.

'Sebelumnya aku ingin berterima kasih kepadamu' ujarnya 'Aliran listrikmu telah menghilangkan efek negatif kedua senjata  yang kudapat dari pertempuran sebelumnya'. Quin membelalak ngeri, amarahnya menggelegak, matanya yang berpelupuk lentik membelalak ngeri melihat bilah pedang perak yang satunya tengah membebaskan Petra dari jeratan benang.  Bebas dari belenggunya, Petra melompat ke belakang dengan santai dan mendarat di atas gagang pedang katananya yang tertancap di aspal, sementara pasangan katana tersebut masih digenggamnya dengan mantap. Kedua bilah pedang perak melayang ke atas pundaknya dengan ujung terhunus ke arah Quin.

 'Aku memang tidak selalu logis, tapi perhitunganku nyaris selalu  tepat' tutur Petra. 'Dan bicara soal sosok tak beraturan…apa kau yakin kau bukan perempuan?'

Kata-kata terakhir Petra rupanya menyulut amarah Quin, diambilnya potongan tangan kiri yang masih menggenggam Yury dan ia merangsek maju dengan teriakan kemarahan, tubuhnya dipenuhi asap hitam yang seketika berubah menjadi kembarannya, sama persis , keduanya berlari ke arah Petra. Salah satu Quin melompat ke udara dan bersiap melemparkan paku-paku benang pembelit sementara yang lain tetap di jalur untuk menghujamkan serangan frontal.

Petra berdecak sambil menggeleng '…Kau salah' katanya dan seiring kata itu terucap, Petra mencabut katana yang tertancap di aspal dengan kedua telapak kakinya, melentingkan tubuh ke belakang dan melemparkan katana tersebut ke depan, telak menusuk tubuh Quin darat, yang mengerang kesakitan sebelum berubah menjadi kepulan asap hitam, kemudian dengan satu gerakan ia menjejakkan kaki di aspal untuk melompat menyongsong Quin yang tersisa di udara dan saat dirinya berada sejajar dari lawannya itu, Petra menyarangkan sabetan horizontal yang menebas leher Quin. Sang boneka pembunuh sejenak terdiam, ekspresi kengerian terpampang di wajah cantiknya sebelum perlahan tertarik gravitasi dan menghantam aspal dengan bunyi debam pelan. Darah menyembur dan membasahi sekitar. Petra mendarat dengan mantap di dekat tubuh Quin yang sudah tak bernyawa, mengambil katana yang tergeletak di aspal dengan pendar kemerahan, sekilas membungkuk memberi penghormatan terakhir ke arah jasad lawan keduanya sebelum berjalan melewati gerbang dan mulai menapaki anak tangga. Bayangan rumah besar di atas ratusan tapak tangga batu tersebut tergambar jelas, dilatari kumparan bola energi berwarna putih di langit yang diselimuti kabut hitam.

Petra tiba di bagian atas tangga tersebut, menghentikan langkah dan melihat sekeliling, Ia berdiri di tengah pekarangan luas yang tandus. Ada jalan setapak menuju pintu gerbang utama rumah megah berwarna pualam tersebut. Mesin-mesin transportasi berjejer rapi di sebelah kiri rumah seolah masih siap mengantar para pemiliknya untuk sampai di tujuan mereka, dan di kanannya terdapat petak kecil berisi tanaman yang sudah layu menghitam, sebuah alat penyiram tanaman terletak di dekatnya. Petra melangkah perlahan di atas jalan setapak, berniat memasuki rumah mewah tersebut.

'Berhenti!'  Petra  menoleh ke arah sumber suara dengan dahi mengernyit. Sesosok gadis berdiri tak jauh dari Petra. Dalam keremangan Petra mengamati penampilan sang gadis yang cukup kentara,perawakannya kurus dengan tinggi sedang, ia memakai jaket tudung berwarna merah muda dan gaun berwarna hitam hingga di atas lutut. Stoking hitam membalut seluruh bagian kakinya yang memakai sepatu bot sebetis. Wajahnya bertipe oriental, manis meskipun rautnya cemberut, tidak melempar senyum sama sekali pada Petra yang masih menunjukkan bekas-bekas pertempuran sebelumnya. Darah dan memar menghiasi wajah hingga pakaiannya.

'Ada apa? Kau tersesat?' Tanya Petra. Sang gadis tidak langsung menjawab, namun tetap menunjukkan raut wajah merengut, ada kewaspadaan tersirat di matanya.

'Sebenarnya aku tak mau melakukan ini' akhirnya sang gadis membuka pembicaraan, mengacuhkan pertanyaan Petra. 'Namun jika ini adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari tempat ini, maka, sayang sekali..' gadis itu mengeluarkan sebilah belati dari balik jaket kerudung dengan tangan kirinya. Belati itu sedikit bengkok dan berwarna perak, berpendar tersapu cahaya kumparan putih di angkasa, namun Petra dapat menyimpulkan bahwa belati tersebut bukanlah senjata sembarangan. Tak hanya itu, sang gadis juga merogoh balik jaketnya dengan tangan kanan dan mengeluarkan sebuah senjata  tongkat kokoh berwarna hitam dengan gagang mencuat di sisinya. Sang gadis menggenggam erat kedua senjata tersebut, melipat tangannya ke depan dengan kuda-kuda bertarung, mengedikkan kepala seolah meneguhkan diri.

Petra tidak bereaksi memandang sang gadis, ada ekspresi ketidak setujuan di wajahnya. 'Kenapa? Cabut pedangmu!' sembur sang gadis 'Ataukah tiba-tiba kau menjadi pengecut setelah berhasil menghabisi dua nyawa ?? Aku menyaksikan pertarunganmu, kau bukanlah orang sembarangan, namun kedua pertarungan itu telah melemahkanmu, membuat segalanya lebih mudah buatku!' Kata sang gadis, ada nada kekhawatiran dibalik pernyataan berpuas diri yang baru saja diutarakannya. 

Petra menggeleng 'Aku pun sebenarnya tidak suka dengan hal yang tengah terjadi' ungkap Petra. 'Pedang ini' kata Petra sembali menyentuh lembut gagang pedang di sisi kirinya  'bukan untuk menyakiti wanita, terlebih gadis manis sepertimu' lanjutnya. 'Sang gadis terdiam mendengarnya, ada rona merah muncul di kedua pipinya. 'Jangan coba-coba merayuku!!!' ketus sang gadis setelah berhasil menguasai diri. 'Ini medan perang! Kau gila jika mulai berpikir untuk tidak menyakiti seseorang!' . Petra tetap tak menunjukkan niat bertarung. Gairahnya masih menyala, namun sosok yang di hadapannya saat ini tidak dipandang sebagai lawan baginya. Kekhawatiran justru muncul di dalam batin Petra.

 'Tempat ini berbahaya, jika kuhitung, aku baru saja melewati dua, dan bertemu denganmu, artinya masih ada satu petarung lagi, bagaimana jika kita teruskan saja perjalanan ini bersama-sama? Dua lebih baik dari pada satu' kata Petra tenang.

Sang gadis tertegun mendengar penawaran tersebut, namun masih dalam posisi siap bertarung, ada rasa nyaman yang sekeras mungkin coba diabaikannya. 'Peraturan sudah jelas! Semburnya 'Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain saling mengalahkan satu dengan lainnya!'  tutur sang gadis mengutip peraturan dari Thurqk. Petra masih memandang sang gadis dengan rasa simpatik. 'Aku sejujurnya tak peduli dengan peraturan, selama aku masih bernafas, aku akan hidup sesuai kehendak hatiku, termasuk memutuskan mana lawan yang pantas kubunuh mana yang tidak'. 'Jadi aku tak pantas??' balas sang gadis gusar. ' Petra menggeleng, ia tahu sang gadis telah salah menangkap maksudnya. 'Aku tidak berbicara mengenai kemampuan bertarung' ujarnya 'Aku hanya tak ingin melawanmu'.

Kata-kata Petra melecut sang gadis. Ia menerjang maju,  dengan satu gerakan ia telah mencapai Petra, kecepatannya sungguh lincah bahkan di luar dugaan Petra. Rangkaian serangannya beberapa kali hampir mencelakai Petra yang mundur teratur sembari menghindari serbuan bertubi-tubi sang gadis. Satu tusukan belati ke wajah berhasil dihindari Petra namun bagian tajamnya menggores pipi kanan Petra, membuka lagi luka dari pertempuran sebelumnya. Seketika darah mengucur dari luka torehan tersebut. Petra sangat keheranan, namun tak ada waktu lagi untuk berpikir, ia menajamkan seluruh nalurinya untuk menghindari serangan , dengan tekad sungguh-sungguh  untuk tidak mencabut pedangnya, apalagi sampai melukai sang gadis. Keremangan cahaya menyinari pekarangan rumah besar tersebut, hanya ada suara logam membelah angin dan bunyi denting ketika bola-bola perak Petra menahan serangan tongkat dan belati sang gadis, kemudian seketika sang gadis melompat mundur dan dengan satu gerak bertenaga ia melentingkan tubuh ke arah Petra, yang sudah siap mengantisipasi datangnya serangan frontal. Sedetik Petra berpikir apakah sang gadis sudah kehabisan akal? Karena serangan ini akan dengan mudah dapat diatasinya, Petra bersiap melompat mundur namun tanpa diduga ada sensasi aneh yang dirasakannya, sang gadis yang seharusnya masih berada di tengah udara tiba-tiba sudah memperpendek jarak. Petra tak sempat lagi menghindar dan terdengar bunyi debam teredam ketika belati perak sang gadis menembus tubuh Petra tepat di pundak kirinya. Darah mengucur ketika sang gadis cepat-cepat menarik senjatanya dari sela-sela daging yang terkoyak. Mata Petra berkunang-kunang, rasa sakit kembali bersarang di tubuhnya dan perlahan berkumpul di pundak kirinya. Cairan merah mulai merembes dari balik yori ungunya.Sang gadis melompat mundur, nafasnya terengah

'Cabut pedangmu!' katanya frustasi. 'Berani beraninya kau meremehkan aku! Atau kau memang terlalu lemah? Tenagamu telah habis hanya dengan dua pertarungan saja? Jika demikian memang tak pantas kau berada di tempat ini!' ujar gadis itu berusaha memancing emosi lawannya. Petra mafhum dengan rasa frustasi sang gadis, dirinya pun tengah memutar otak, berpikir bagaimana cara agar ia tak perlu saling bunuh dengan gadis tersebut, ini bukan soal peraturan, ini lebih pada soal prinsip yang dipegangnya sejak lama, terlebih, mau tak mau Petra harus mengakui, gadis tersebut memang amat manis.

'Aku sebisa mungkin tidak mau menyakiti wanita walau di medan perang sekalipun' kata Petra dengan nafas terpatah-patah 'Kemampuan berduelmu juga tidaklah sembarangan, sangat bertolak belakang dengan penampilanmu nona..'. Mendengar jawaban tersebut, sang gadis menunjukkan ekspresi kesal namun sebelum ia mengeluarkan suara Petra melanjutkan kalimatnya 'Aku tidak mencoba merayu dengan kata-kata kosong, mengertilah posisiku sekarang ini' tukas Petra 'Bukan kemenangan semata yang kucari, pertarungan yang kulakukan sebelumnya semata karena aku menghormati mereka sebagai lawan yang tangguh, aku pun nyaris mati lagi di tangan mereka, gairahku muncul dan aku tak akan segan segan untuk mengambil nyawa lawan namun bukan kulakukan karena aku haus darah, aku petarung, bukan pembunuh' kata Petra panjang lebar. Memang itulah yang dirasakannya.

Mendengar pernyataan barusan, sang gadis sejenak melunak, ia tertegun dan menimbang meski posisi dan ekspresinya tetap menunjukkan kewaspadaan. 'Kalau begitu menyerahlah, kurasa motivasimu tidak terlalu kuat untuk memenangkan permainan ini…menyerahlah dan akan kubebaskan kau dari rasa sakit' . Petra tersenyum lalu menggeleng pelan 'Itu bukan pilihan' ujarnya, bayangan gadis biru-transparan yang baru ditemuinya beberapa saat lalu kembali menari di benaknya 'Mungkin kau benar, aku tak punya motivasi yang cukup kuat pada saat pertama kali aku tiba di tempat..aneh berwarna merah itu..namun keadaan semakin menarik dan kurasa aku akan tinggal hingga aku bisa menemukan jawabannya' .

Sang gadis terdiam lagi dan sejenak menunjukkan ekspresi bimbang. 'Siapa namamu, nona?' Tanya Petra memecah lamunan. Awalnya sang gadis tampak kesal, raut wajahnya menekuk 'namaku Lulu' katanya kemudian 'Lulu Lavatia Magnara del' Chronoss'. Sang gadis mengangkat dagu, ada kebanggaan terpancar di wajahnya.

'Lulu…Chronoss?' Petra mengkonfirmasi dengan ragu.

'Pendeknya begitu' balas sang gadis.

'Baiklah, Lulu' Petra berkata dengan nada hati-hati, sambil menahan nyeri di pundak kirinya yang kini berdenyut-denyut. 'Kurasa aku tak punya pilihan lagi, kau adalah petarung yang tangguh, aku juga harus melanjutkan perjalananku' Petra mengatur nafas, keringat menetes dari pelipisnya. 'Mari kita selesaikan pertarungan ini'.

'Majulah' kata Petra, dan untuk pertama kalinya ia memasang kuda-kuda. Tangan kirinya memegang sarung pedang di pinggul kiri dan tangan kanannya memegang gagang pedang tersebut. Tubuhnya membungkuk, kedua kakinya melebar, kaki kanannya menekuk ke depan, matanya menatap mata Lulu Chronoss dalam-dalam, dengan kewaspadaan dan apresiasi.

Lulu menyambut tantangan Petra, senyum tipis sesaat tersungging di bibirnya, kemudian tanpa basa basi lagi ia maju menyerang, berlompat ke kiri dan kanan  secara acak, mencoba mengacaukan timing Petra. Ketika keduanya sudah berada dalam jarak serang Lulu langsung menghunus belatinya ke arah leher Petra, yang menghindari dengan menggerakkan kepala ke arah kiri. Belum sempat mengeluarkan pedang dari sarungnya, namun Lulu sudah melanjutkan gempuran. Satu tebasan tongkat hitam Lulu ditangkis Petra dengan susah payah, Petra melesatkan kedua gumpalan perak yang kini berbentuk bola padat dengan kecepatan tinggi ke arah Lulu yang menghindar dengan gerakan seperti tarian yang luar biasa lincah, namun ketika Petra mulai memakai pedang untuk menyerang, Lulu juga mulai kewalahan menghadapi tiga serangan sekaligus, ia mundur memberi jarak, mengatur nafas sejenak dan maju menerjang lagi dari arah depan.

Petra tak habis pikir. Gadis ini entah terlalu berani atau percaya pada kemampuannya. Namun ia terkesiap, gerakan sang gadis tiba-tiba menjadi lebih jauh lebih cepat dari sebelumnya. Hantaman tongkat dan tebasan belatinya mulai mengenai tubuh Petra dan tak seluruhnya bisa ditangkis dengan sempurna. Satu kesempatan dapat dimanfaatkan Petra untuk menghantam pergelangan tangan kiri sang gadis dengan gagang pedangnya, tongkat hitam sang gadis terlepas dari tangannya dan sebelum dapat mencapai tanah, Petra berhasil menendangnya, menjauhkan tongkat tersebut dari jangkauan Lulu.

Namun gerakan tersebut berakibat fatal bagi Petra, satu tendangan Lulu dengan telak mengenai kepalanya dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Hal ini mengacaukan hubungan telepatis Petra dengan kedua gumpalan perak yang setia mengelilinginya. Tak berhenti sampai disitu,  tendangan Lulu berikutnya mengenai ulu hatinya, membuatnya terjengkang ke belakang, punggungnya menghantam sebuah tong besi hingga tutupnya terbuka dan jatuh, memuntahkan komponen-komponen mesin dan rongsokan ke aspal , dan Lulu memanfaatkan momentum tersebut untuk melancarkan serangan akhir.

Lulu melompat, menyingkirkan kedua bola perak Petra dengan satu gerakan sebelum menjatuhkan tubuh ke arah Petra yang masih belum sanggup berdiri. Kedua tangannya menggenggam gagang belati perak dengan posisi terbalik di depan wajahnya, siap menghujamkan ujung tajam senjata tersebut ke arah tubuh Petra. Namun di saat terakhir Petra dapat melihat gerakan sang gadis melambat dan kembali ke kecepatan semula, ia berputar di tempat, tangan kanannya menggapai tutup tong besi berbentuk bulat lebar yang berada di dekat tempatnya berbaring dan dengan ayunan bertenaga diarahkannya tutup tersebut ke arah Lulu yang menjatuhkan diri dengan kecepatan penuh.  Belati Lulu menembus tudung besi tersebut, ujungnya menggores sisi kiri kepalan Petra, menorehkan luka besar, namun kekuatan ayunan Petra membuat kedua tangan Lulu terdorong ke belakang dan mengenai wajahnya sendiri. Lulu pun terlempar ke arah belakang, sejenak seolah mengambang di udara kosong sebelum akhirnya tertarik oleh gravitasi. Bagian belakang kepalanya mengenai ujung salah satu mesin transportasi yang terletak tak jauh dari tempat mereka berduel dengan bunyi 'Duk' keras sebelum mendarat di aspal padat. Tubuh Lulu Chronoss terkulai, belati perak terlepas dari genggamannya. Matanya terpejam.

Petra berjalan tertatih mendekati Lulu dan meletakkan telunjuk di leher kiri sang gadis. 'Masih bernafas' gumam Petra. Matanya menyapu sekeliling dan tertumbuk pada satu bangku panjang di dekat petak bunga layu yang dilihatnya sebelum bertemu Lulu, dipapahnya tubuh sang gadis dan dibaringkannya di atas bangku tersebut. Setelah meletakkan belati perak dan tongkat hitam sang gadis di dekat pemiliknya, Petra melangkah ke arah pintu rumah besar tersebut, melanjutkan perjalanan.

Pintu utama rumah tersebut terebuka dan berayun dengan bunyi derit nyaring, mata Petra menyapu bagian dalam pintu rumah yang baru dibukanya dan seketika ada sensasi hangat dalam dadanya. Rumah itu serasa tidak asing bagi Petra. Kandelar- kandelar besar tergantung di langit-langit di sebuah ruangan luas dan lowong. Dua buah patung manusia berwarna pualam menghiasi sudut kiri dan kanan ruangan tersebut, mengapit sebuah tangga tunggal berkarpet menuju lantai dua di sisi samping kiri dan kanan, terpisah menjadi dua tangga ke arah berlawanan. Petra melihat salah satu patung tersebut bertelinga runcing dan berambut panjang, sementara yang satunya berwujud wanita molek dengan tangan terulur memegang sebuah bola berwarna perak.Di hadapan Petra terdapat sebuah air mancur yang anehnya meskipun sudah tidak berfungsi namun masih dipenuhi air berwarna biru terang. Sumber cahaya berasal dari jendela besar dimana kumparan putih raksasa mengirimkan sinar permanennya, memberikan penerangan alami di bagian dalam rumah.

Petra melangkah perlahan. Tiga pertarungan yang ia lewati telah menghabiskan sebagian besar staminanya. Luka luka di tubuhnya juga belum kering benar, namun semangat dan gairahnya menjadi penopang. Tempat ini yang dia cari semasa hidup, tempat yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk batinnya. Masa lalunya, asal muasalnya. Kemunculan gadis bertelinga runcing dalam wujud biru transparan juga semakin menambah rasa ingin tahu Petra. Keyakinannya kuat bahwa di rumah inilah semuanya bermuara, seperti ada yang menuntun langkahnya ke sana sejak pertama kali tiba di kota mati ini. Petra tersentak dari lamunan dan menghentikan langkahnya. Panca inderanya menajam dan ia merasakan bahwa dirinya tidak sendirian di rumah mewah tersebut.

Hanya suara langkah yang terdengar bergaung di rumah mewah tersebut saat Petra melangkah melewati sebuah koridor panjang menuju sebuah pintu besar. Dibukanya pintu tersebut dan dilihatnya sebuah ruangan dengan lemari yang tersusun rapi di sisi kiri dan kanan. Lemari-lemari tersebut berisikan buku-buku tebal yang berjejer. Sebuah kandelar besar—lebih ebsar dari yang dilihatnya di ruangan sebelumnya, tergantung di langit-langit, hanya terhubung oleh rantai tunggal yang kelihatannya sudah rapuh. Karpet merah tersampir di lantai bagian tengah menuju sebuah meja besar di ujung ruangan. Petra melihat ada seseorang yang duduk di balik meja tersebut, terlihat sedang membaca sebuah buku. Kedua kakinya diletakkan menyilang di atas meja, punggungnya bersender pada kursi beludru empuk dan seolah sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Petra.

'Menarik sekali' ujar sosok tersebut, matanya tak lepas dari buku yang tengah dipegangnya. 'Rupanya di tempat seperti ini sekalipun ada kesamaan yang bisa ditemukan. Sebuah kenyataan mutlak tentang sosok Ilahi, pencipta yang dipercaya dan disembah sebagai Tuhan' ujarnya

Dahi Petra mengernyit, memandang sosok tersebut dengan heran, namun ia terkesan dengan sosok asing tersebut, yang bisa berbicara santai seolah ini hanya waktu minum teh biasa. Bercengkrama.

'Bila kau ada disini maka aku dapat berasumsi bahwa dirimu baru saja bertemu dengan seorang Tuhan' kata Petra. Sosok tersebut menatap Petra dari balik buku yang dibacanya. Ditutupnya buku dengan satu tangan dan ia beranjak dari kursi dan berjalan melintasi meja baca tersebut. Petra kini dapat melihat dengan jelas sosok tersebut. Seorang pria berambut pirang panjang dengan wajah khas Eropa, matanya berwarna biru terang, memakai jaket kerah khas bangsawan dengan baju sutra berwarna putih di dalamnya. Mau tak mau Petra mengakui sosok pria di hadapannya ini memiliki kharisma dan tidak bisa dipandang sebelah mata.

'Mahluk bertanduk dengan mata hitam dan suara menggelegar itu maksudmu? Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, namun menyebutnya sebagai 'Tuhan' adalah sebuah penghinaan, bahkan untukku secara pribadi' kata sang bangsawan sambil melangkah mendekati Petra. 'Mahluk aneh itu memang memiliki kekuatan, dan kekuasaan' pria bangsawan menghentikan langkahnya dan menatap Petra sambil menyunggingkan senyum tipis. 'Tapi dia bukan Tuhan' pungkasnya.

'Bagaimana kau tahu?' balas Petra 'Bukankah itu yang dikatakan sendiri oleh mahluk tersebut? Atau kau mau katakan bahwa kau sudah pernah bertemu secara pribadi dengan sosok Tuhan?' sesungguhnya Petra tak begitu peduli dengan hal tersebut. Ia hanya menanggapi, sambil mengamati sosok pria yang ia yakin akan menjadi lawan berikutnya. Kedua tangan Petra sudah siap di dekat senjatanya, begitupun kedua gumpalan perak yang sudah melayang denganw aspada di atas kedua pundaknya.

'Aku berbicara denganNya setiap hari' kata sosok bangsawan tersebut dengan senyum di wajah 'Melalui doa, aku bisa terus berkomunikasi dengan Tuhan, tak perlu kutemui secara pribadi, cukup dengan Dia bersabda saja, maka aku akan sembuh. Dia yang memberi aku kekuatan, dan sekalipun aku berjalan di lembah kelam, aku tidak akan gentar, sebab Dia besertaku' kata sang pria sungguh-sungguh.

Petra melihat sosok di depannya dengan takjub, mengamati dengan seksama. 'Kau bukan orang sembarangan' kata Petra 'kau terpelajar dan terhormat, tapi sejujurnya aku tak yakin bahwa dirimu adalah petarung'. Mendengar kata-kata Petra, sang bangsawan mendengus tertawa.

'Aku maklumi pernyataanmu, karena nyatanya memang aku bukanlah seorang petarung di medan perang..Pedang ini' sang bangsawan meneyntuh gagang pedang tipis yang disampirkan di pinggulnya 'Hanya kupakai untuk mempertahankan diri, atau duel-duel terhormat yang sudah ditentukan..peperanganku bukanlah melawan sesama manusia, atau mahluk hidup..peperanganku adalah peperangan iman, dimana setiap hari kedagingan bisa merasukiku dan membuatku jatuh ke dalam dosa, ke dalam cengkraman iblis'
Petra tak bisa menyembunyikan kebingungan dalam ekspresinya. Apa yang sedang dibicarakan pria ini? Perang iman? Iblis? Konsep yang asing baginya, namun menarik perhatiannya.

'Intinya' sang bangsawan melanjutkan 'Aku tak tahu apa yang sedang Dia rencanakan dengan membawaku ke tempat ini, namun aku tetap memegang teguh imanku padaNya, dan bila memang Dia mengijinkan, maka pertarungan denganmu akan kuanggap sebagai sebuah duel terhormat' Sang bangsawan mencabut pedang tipis di pinggangnya dan mengarahkannya kepada Petra, yang dengan serta merta mencabut kedua katananya. Gumpalan perak di sisi kiri dan kanan pundaknya mulai berubah bentuk menjadi bilah pedang tajam.

Sang bangsawan tersenyum lebar 'Namaku Primo Tovare, bangsawan Api Penyucian, dan aku akan menyucikan jiwamu, wahai petarung yang sekarat'. Petra tersenyum mendengarnya. 'Namaku Petra Arcadia, dan kau akan mengingatku sebagai sosok yang mengirimmu kembali ke pangkuan Tuhan yang kau percayai'

Sejenak hening, kemudian Primo memejamkan mata dan menggenggam pedang di depan wajahnya dan bergumam pelan.

"Sancte Michael Archangele,
defende nos in proelio;
contra nequitiam et insidias diaboli esto praesidium.
Imperat illi Deus; supplices deprecamur: tuque,
Princeps militiae coelestis, Satanam aliosque spiritus malignos, qui ad perditionem animarum
pervagantur in mundo, divina virtute in infernum detrude.
Amen"


Lalu ia mengangkat pedang tersebut, menengadah ke angkasa, dan secercah sinar berwarna kuning yang bukan berasal dari kumparan putih muncul menembus langit-langit dan menyelimuti tubuh Primo. Setelah cahaya mereda, Petra melihat tubuh lawannya diselimuti cahaya keemasan dari kepala hingga ujung kaki bahkan sampai senjatanya. Primo menatap Petra dengan mata birunya, senyum percaya diri masih tersungging di bibirnya. 'Dalam kelemahanku, kuasaNya nyata!' ujarnya sambil menghunus pedang tipis bercahaya keemasan ke arah Petra.

'En garde!' seru Primo dan keduanya maju menerjang satu sama lain. Primo memainkan pedang dengan satu tangan, sementara tangan lain terlipat ke belakang tubuhnya. Petra menangkis tusukan gencar Primo dengan keempat senjatanya. Diakuinya kemampuan Primo tidak bisa dipandang remeh. Kecepatannya sulit dibaca dan  selalu mengarah ke titik vital di sela-sela pertahanan Petra. Pedang tipis itu berkali kali berhasil menggores tubuhnya, terutama di luka terbuka di bagian kiri dan kanan tubuh Petra. Terdesak, Petra melesatkan dua bilah pedang perak ke arah tubuh Primo, namun luput, Primo membungkuk tepat sebelum senjata pertama menembus tubuhnya, dan ia menangkis senjata kedua sembari berseru 'PESTIS!' dan seketika pedang perak Petra terpental sebelum kembali ke atas pundak taunnya. Petra melihat pedang perak yang terkena tangkisan Primo tersebut diselubungi semacam aura gelap dan melayang dengan bergetar. Perasaan Petra tidak enak. Lawannya ini memiliki kemampuan aneh yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.

Belum lepas rasa risau dari Petra ketika Primo maju dengan langkah lebar, tetap pada kuda-kuda awalnya, dan menyerang Petra dengan kecepatan tinggi. Satu tusukan Primo mengenai perut Petra yang terlindung armor dragonite, namun Primo kembali berteriak 'PESTIS!' dan Petra langsung merasakan perasaan yang tidak mengenakkan. Semacam rasa cemas, kuatir yang luar biasa. Seketika ia mundur dengan panik dari jangkaun serang Primo. Keringat mengucur deras dari dahinya. Primo tidak melanjutkan serangannya. Ia bahkan tidak menyongsong Petra yang berdiri dengan terengah-engah.

'Apa yang kau lakukan padaku!' sembur Petra, membuat Primo tertawa.

'Aku melancarkan kutuk' ujar Primo riang. Meihat ekspresi bingung di wajah Petra, ia melanjutkan penjelasannya 'Aku adalah manusia yang pernah dibakar oleh Api Penyucian. Disana aku mengakui segala dosa-dosaku dan menunggu tiba saat dimana aku bisa bebas dari tempat tersebut dan bersatu dengan Tuhan di surga . Aku hampir saja dapat memperoleh kehormatan itu..sampai satu kejadian menghancurkan semua impianku' Seketika nada suaranya berubah getir, ekspresinya mengeras. 'Namun jerih payah dan penderitaanku tidak bisa dibilang sia-sia, aku memperoleh kekuatan Ilahi untuk memberkati maupun mengutuk apapun yang ada di sekelilingku' Petra tak mengerti garis besar penjelasan Primo, namun ia kini paham tentang kemampuan 'sihir' apa yang digunakan Primo terhadap dirinya dan senjatanya. Petra juga berasumsi bahwa kemampuan itu ada hubungannya dengan cahaya emas yang kini masih menyelimuti tubuh Primo. Berkat dan kutukan…menarik. Batin Petra mencoba menenangkan diri, namun rasa cemas masih menderanya.

'Kutuk akan bertahan sampai aku melepasnya, atau aku kehilangan nyawaku…namun tentu saja hal itu tak akan terjadi di sini bukan?' ujar Primo yakin. 'Nah, Petra, bersiaplah, kuijinkan kau mengucapkan kata-kata terakhir..kau adalah petarung hebat, namun waktumu telah habis. Sebagai ucapan terima kasih karena telah menghabisi para lawan lainnya, jiwamu akan kuampuni setelah kau mati'

Primo maju perlahan, pedang terhunus ke arah Petra yang masih berdiri namun kentara sekali sudah kehabisan tenaga. Aura hitam mengelilingi tubuh Petra, berdenyut-denyut seolah hendak menghisap kehidupan keluar dari tubuh inangnya. Petra mengangkat pedang dan mengambil inisiatif serangan, tapi efek dari kutukan Primo dan tenaganya yang nyaris habis membuat serangan-serangannya dapat terbaca dengan mudah oleh lawan. Primo dengan percaya diri menangkis serangan-serangan Petra meski harus mundur teratur karena Petra benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengalahkannya. Dari jarak dekat, Petra serta merta mengarahkan pedang peraknya yang tidak terselimuti aura hitam ke arah Primo, yang dengan gerak refleks luar biasa menangkis pedang perak tersebut, membuatnya melenting ke atas, menggores sisi rantai kandelar raksasa. Kemudian dua tusukan pedang primo ke arah pergelangan tangan Petra membuat genggamannya terlepas. Kedua katana terjatuh ke lantai porselen dengan bunyi denting pelan.  Primo mengarahkan pedangnya ke tenggorokan Petra yang berdiri lemas. Cahaya keemasan dari ujung pedangnya membuyarkan aura kegelapan di sekitar leher Petra. 'Kau yakin tidak punya pesan terakhir?' ujar Primo.

Petra tidak membalas, namun menatap Primo dalam-dalam. 'Sayang sekali, sebenarnya kau bisa menjadi lawan tangguh bagiku' ujar Primo 'Tapi kurasa Tuhan telah mengatur jalan yang terbaik dengan menjadikan aku petarung terakhir yang kau temui. Tenagamu habis, batasmu telah lewat, dan aku merasa terhormat bisa mengalahkanmu'. Petra tak bergerak, tenaganya sudah habis, semua lukanya mengirimkan rasa nyeri yang merata ke dalam indra perasanya, ditambah aura kegelapan yang membuatnya sulit berkonsentrasi. Petra memejamkan mata, dengan tenang menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

'Selamat tinggal, Petra Arcadia, terimalah pengampunan atas jiwamu..' Primo kemudian merapalkan mantra dalam bahasa asing, namun tiba-tiba suaranya tercekat, mata birunya membelalak ngeri menatap sebilah belati perak yang muncul dari dada kirinya. Darah memenuhi mkerongkongannya dan genggaman pedangnya melemah.

Merasakan hal tersebut, Petra secara refleks melompat mundur dari todongan pedang Primo yang kini berdiri dengan linglung, iamengenali belati itu, yang kini tercabut dari tubuh Primo dan menampakkan pemiliknya. Lulu Chronoss berdiri di belakang Primo. Matanya membelalak menatap Petra, nafasnya memburu. Tangan kanannya bersimbah darah. Tak lama ia berdiri sebelum melompat mundur, kini baik Petra maupun Lulu telah bergerak menjauh dari Primo yang memegangi dada kirinya sementara darah merembes dari balik baju sutranya, semakin banyak, hingga membasahi jaket kerah tingginya.

Cahaya keemasan masih berpendar di sekeliling tubuh Primo yang mengarahkan mata birunya ke atas seraya berseru. 'Mi..Padre!' Primo terbatuk, dan darah segar keluar dari mulutnya, membasahi lantai 'Ampunilah..hambaMu..dan…terimalah..jiwanya..kembali..ke..dalam…Kasih KaruniaMu..' Sesaat cahaya keemasan yang menyelimuti Primo berkilau dan membumbung tinggi menembus langit-langit. Tubuh bangsawan itu terjatuh ke belakang, merenggang nyawa. Senyum bahagia masih tersisa di wajahnya.

Aura hitam yang menyelubungi tubuh Petra kini telah lenyap. Matanya terarah pada Lulu yang berada beberapa meter di depannya, mereka saling berpandangan di antara mayat Primo Tovare. Sama-sama memperlihatkan kecemasan. Terdengar bunyi derak dan Petra menengadah ke atas tempat Lulu berdiri, hatinya mencelos. Rantai kandelar raksasa tersebut putus, menjatuhkan beban yang disangganya dengan kecepatan tinggi. 'AWAS!' teriak Petra, tepat saat Lulu baru mendongak ke atas. Terdengar teriakan dan bunyi keras ketika kandelar tersebut menghantam lantai porselen.

Lulu Chronoss terbaring tengkurap di lantai. Kandelar tersebut telah menimpa sebagian tubuhnya dari punggung hingga kaki. Darah mengucur dari luka-luka di tangan dan wajahnya. Petra mengerahkan seluruh tenaga untuk berjalan mendekati Lulu. Dilihatnya sang gadis terpejam, jaket tudung merah jambunya bercampur dengan cipratan merah dan robek di sana sini. Perlahan Lulu membuka matanya dan melihat ke arah Petra. Tersenyum lemah melihat ekspresi Petra yang bercampur aduk. Darah membasahi kedua sudut bibirnya.



'Maaf telah mencampuri pertarunganmu..' kata Lulu

'Kau telah menyelamatkan nyawaku' balas Petra 'tapi kenapa? Untuk apa kau lakukan hal ini? Kenapa tidak kau pilih untuk menghabisiku saja?'

'Awalnya memang aku bertekad untuk membunuhmu, aku mengamatimu sejak pertama kali mahluk bersayap itu membawamu kemari..kau terjatuh tak jauh dari tempatku' Lulu memberi penjelasan 'Namun entah mengapa, semakin aku mengamatimu dari jauh, semakin aku merasa kau dan aku punya kesamaan. Kau disini bukan untuk mencari pertempuran semata…ada hal yang lebih penting yang mengusik benakmu..kau bertarung bukan dengan nafsu membunuh, namun untuk sesuatu yang lebih besar..lebih baik'

Petra tertegun. Gadis ini mengamatinya sejak awal?

'Dan ketika bertemu denganku, kau dengan sungguh-sungguh memegang prinsip untuk tidak melukaiku. Sejujurnya aku merasa beruntung gagal membunuhmu di saat-saat terakhir.' Tukas Lulu kemudian,

'Kau telah menunjukkan padaku penghargaan sebagai seorang pribadi, seorang wanita, dan aku sedikit menyesal telah menolak ajakanmu untuk bersama-sama melanjutkan perjalanan. Aku terlalu takut untuk kembali merasakan sakit hati, seperti yang telah aku rasakan seumur hidupku'

Lulu masih tersenyum meski air mulai menggenang di sudut matanya. 'Lanjutkanlah perjalananmu dan jaga baik-baik nyawamu..Petra Arcadia'

Bibir sang gadis membentuk ucapan 'Terima Kasih' tanpa suara..tenaganya telah tak bersisa, ia memejamkan mata dan tak bergerak lagi. Petra menatap jasad Lulu dengan sedih. Di satu sisi ia lega, namun di sisi lain ia sungguh meratapi nasib penyelamatnya. Kejadian ini mengingatkan Petra terhadap kejadian di kehidupan sebelumnya. Saat ia tak kuasa menyelamatkan jiwa orang yang dicintainya.

Petra beranjak menuju pintu keluar ruangan tersebut dengan hati pedih. Meninggalkan dua jasad petarung terakhir di tahap pertama. Memasuki ruang utama, Petra melihat sekeliling dan matanya tertuju pada patung pualam wanita yang memegang bola perak. Ukuran dan bentuknya sama persis dengan kedua gumpalan perak yang setia mengelilinginya. Petra mendekati  patung tersebut, mengirimkan salah satu gumpalan perak di pundaknya mendakti bola perak di tangan terulur patung wanita. Kedua bola perak berada sejajar seolah terkunci dan mengeluarkan secercah sinar yang menghubungkan satu sama lain.

Bunyi berdesing terdengar ketika kedua bola tersebut saling terkunci dengan seberkas sinar, seolah mencoba saling mengenal satu dengan yang lain, dan seketika saja ada suara bergemuruh saat dinding di bagian tengah tangga di ruangan tersebut bergeser, menampakkan sebuah koridor panjang berwarna perak metalik dengan lampu-lampu yang menyala meneranginya. Petra melangkah memasuki koridor t yang berujung pada sebuah pintu dengan garis hitam di tengahnya. Saat didekati Petra, pintu tersebut seketika terbuka ke arah berlawanan, menampakkan ruangan besar dengan kotak-kotak mesin. Lampu menyala berwarna warni, berkedip dengan bunyi klak-klik di sana sini. Pemandangan yang membuat Petra takjub, namun terasa tidak terlalu asing baginya. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kursi dengan sebuah tudung kepala yang terhubung dengan kabel-kabel, membuatnya terlihat seperti satu kesatuan dengan kursi. Petra agak ragu, namun naluri membuatnya bergerak mendekati kursi aneh itu. Diletakkannya katana serta kedua gumpalan perak di dekat kursi tersebut.

Mendudukkan diri ke atas kursi, Petra seolah sudah tahu apa yang harus dilakukan. Diletakkannya kedua tangan ke sandaran kursi, yang langsung berpendar kebiruan. Tudung kepala di atasnya secara perlahan turun menutupi kepala Petra, yang memejamkan mata dengan tenang. Tidak ada ancaman disini.

Kursi tersebut berpendar kebiruan dan di dalam kabel-kabel transparan terlihat sesuatu bergerak, seperti cahaya berbentuk cair yang semuanya mengalir menuju tudung kepala di atas kursi. Petra berjengit di tempatnya. Kesadaran demi kesadaran, ingatan dan kenangan semua mengalir masuk ke dalam benaknya tanpa terbendung. Wanita bertelinga runcing, bola perak, raksasa bertangan empat, ledakan besar di tengah kota, orang-orang berlarian, mesin-mesin transportasi jatuh. Terlalu banyak, terlalu deras!

Kemudian Petra tersentak. Ia membuka matanya. Tangannya merogoh ke balik baju yorinya yang lusuh dan carut marut, mengambil sebuah liontin berwarna hijau. Benda ini yang selalu dibawanya sejak kehidupan sebelumnya. Benda ini adalah…kunci? Batin Petra. Sesaat ia tertegun, namun kemudian tersenyum. Sekarang ia telah mengetahui fungsi benda tersebut, dan kemana harus dibawanya. Tentunya bukan di tempat ini. Untuk bisa mendapatkan jawabannya, ia harus memenangkan turnamen ini dan kembali ke alam asalnya.

'Untuk kebaikan yang lebih besar' ujar Petra, menyimpulkan apa yang dikatakan Lulu sebelumnya. 

Ini bukan lagi soal jati dirinya, bukan lagi untuk kepentingannya semata. Dengan langkah pasti Petra meninggalkan rumah kosong tersebut. Di pekarangan depan, mahluk merah bersayap menanti di depannya. Menatap Petra dengan dingin. 

'Sudah siap?' Gerutu sang mahluk dengan suara datar dan rendah

Petra mengangguk, dan mahluk tersebut menyambar kedua bahunya, membawanya terbang mengangkasa menembus sebuah lubang hitam di keremangan langit yang terselubung kabut kelam.


-------------Petra Arcadia -  Round 1 END------------------- 

11 comments:

  1. *scream*

    Astaga!!! Narasinya enak banget! Saya bacanya jadi super cepet (cepat versi saya yang bacanya lelet wkwkwk). Bukan, saya bukannya fast reading dengan lompat-lompar paragraf, tapi benar-benar baca. Duh diksi di setiap narasinya itu loh… arghhh… saya suka Hohohoho…

    Tapi ada beberapa teknis yang agak mengganggu walaupun tidak fatal. Sepertinya sudah umum kalau kalmat langsung menggunakan tanda (“) bukannya (‘) Ada juga satu paragraf yang tebalnya ampun-ampunan yang sebenarnya bias diurai jadi beberapa paragraph. Terus ada satu paragraf dengan percakapan 2 orang yang digabung sekaligus seperti

    'Siapa namamu?' Tanya sang iblis penasaran. 'Pentingkah bagimu untuk mengenal gembel yang suka bicara sendiri?' balas Petra. Sang iblis tergelak 'Mungkin tidak' ujarnya 'Tapi kau adalah lawan sepadan dan darahmu pantas membasahi tombakku'. Senyuman Petra makin lebar 'Kau entah sombong atau terlalu percaya diri' kata Petra 'Aku akan memberi pelajaran berharga untuk hidup..dan matimu'.

    Saya awalnya bingung. Itu Zach lagi nanya ke Petra, eh tapi dia sendiri juga yang jawab. Mungkin lebih baik jika dipisah saja, seperti:

    “Siapa namamu?” Tanya Sang Iblis penasaran.

    “Pentingkah bagimu untuk mengenal gembel yang suka bicara sendiri?” balas Petra. Sang Iblis tergelak.

    “Mungkin tidak,’ ujarnya, “Tapi kau adalah lawan sepadan dan darahmu pantas membasahi tombakku”.

    Senyuman Petra makin lebar. ”Kau entah sombong atau terlalu percaya diri,” kata Petra, “Aku akan memberi pelajaran berharga untuk hidup..dan matimu.”

    Lebih enak begini bacanya, menurutku. Dan tidak membuat bingung.

    Pertarungannya oke punya! Dengan narasi yang nikmat buat dibaca dan saya dapat dengan mudah membayangkan setiap gerakan mereka. Tapi (hih selalu ada tapi, ya hehe) ada beberapa yang kurang err.. apa ya, pokoknya kurang deh.

    Semua petarung kesannya kayak menunggu Petra menghampiri mereka ketimbang mencari lawan sendiri. Kenapa saya sampai berpikir demikian? Karena Petra udah babak belur pasca lawan Quin, terus ketemu Lulu yang bahkan belum cacat sedikitpun. Yeah, kesannya jadi Petra-lah satu-satunya target dan tiga lawan yang lain bisa menunggu setelah Petra kalah.



    Duelah… ini saya komen panjang bener .__. Oke deh, buat nilainya saya kasih: 8

    ReplyDelete
  2. Komen saya kurang lebih udah diwakilin Naer : soal tanda kutip dua, paragraf super padet dan panjang, dan semua yang kesannya nungguin Petra satu persatu

    Kebalikan dari Naer, saya malah rada susah baca ini. Mungkin masalah selera, tapi saya malah jadi lambat kalo kebanyakan deskripsi. Terus...rasanya Primo-nya agak ooc ya?

    7/10

    ReplyDelete
  3. Awalnya cukup berat baca ini karena paragraf yang super panjang dan penggunaan (') untuk dialog, sehingga aku jadi membaca skimming untuk dapet poin2nya. Tapi ke belakang2, ternyata plotnya semakin asik untuk diikuti, namun sayang perubahan ukuran font yang mendadak itu agak mengganggu.
    Coba pake gmail utk ngirim, soalnya gmail lebih terintegrasi sama blogspot. Untuk meminimalisir error.

    Oke review dimulai.

    Plot : Kayak yang aku bilang di awal, rasanya berat baca paragraf super panjang, meski di ending akhirnya semakin enjoyable. Lalu aku heran, sebenernya latar battle kali ini dimana sih? Aku baca 2 entry grup H tempatnya di latar2 medieval gitu, ini kok lain ya? Mohon informasinya.

    Maaf aku skip bagian yg menyangkut masa lalu Petra karena aku lebih tertarik dengan battlenya :P
    Narasinya bagus, gaya penulisan author sebenernya asik kalo aja paragrafnya nggak kepanjangan xD
    Soal plot, sama seperti versi Primo, plotnya lurus2 aja. Coba mungkin ditambahin joke supaya ceritanya nggak terlalu berat dan plain utk diikuti. Situational joke kayak punya Rex itu patut ditiru lho. Seriusnya dapet tapi tetep ada lucunya.

    Anyway matinya Lulu itu lumayan nyesek.

    Karakter : Karakter gentlemen lagi ngetren ya xD. Akhir2 ini banyak gentlemen berkeliaran di BoR #plak
    Utk karakter Petra, aku udah dapet. Tapi yang lain aku blm begitu dapet sih.
    Dan lebih asik lagi klo Author bikin sudut pandang dari karakter lain selain Petra, dan konfliknya nggak cuma antar Petra dan musuh. Cerita ini pasti bakal lebih menarik lagi xD.


    Battle : Narasinya bagus, dan lumayan ngalir. Sayang ngalirnya kebanyakan jadi banjir :v (paragrafnya kepanjangan) Jadinya aku kurang begitu ngeh dengan apa yg terjadi di battle krn dialog dgn narasi kesannya nyatu lho.
    Harusnya dialog itu pisah dgn paragraf.

    "Blablabla" katanya sambil blabla. Lanjut paragraf dikit blabla.

    "Blablabal??"

    "Tidak mungkin, blablbableebl?!" teriaknya. Lanjut random paragraf lagi blebekbek.

    Kurang lebih seperti itu lah. Dariku 7.5/10

    ReplyDelete
  4. Yang diatas sudah bilang, soal paragraf deskripsi, penggunaan tanda ( ' ), dan ukuran font yang berubah mendadak. Saya jadi agak pusing bacanya.
    Ceritanya harusnya fine, tapi karena saya kurang enjoy....

    7/10

    ReplyDelete
  5. Ceritanya mantep. Huhuhu.. Tapi sayang bikin ngga nyaman.

    udah disampaikan di atas.

    Penempatan dialog, terus font-nya juga aaaaaaaa


    7/10 deh

    ReplyDelete
  6. "Wall of text everywhere." - My Eyes -

    Umi sebenarnya udah kesini waktu kakak Billy posting di hari pertama, namun Umi membatalkan membaca demi melihat Wall of text yang jujur aja, bikin Umi ga nyaman.

    Ada juga dialog di tengah-tengah paragraph yang bikin ga nyaman karena bukan hanya dialog dari satu orang.

    Selain itu Umi suka sama Plotnya. ini teratur banget. Satu persatu lawannya di hadapin. sampe akhirnya dia menang. gaya bahasanya juga keren :D

    Umi kasih nilai 7/10 buat cerita ini :D

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -