[Round 1-F] Tommy Vessel
"A Deathly Table-Top Day"
Written by Melody Violine
---
I
Ini international table-top day, salah satu hari yang paling dinantikan oleh Tommy Vessel setiap tahun. Biasanya dia dan sahabat-sahabatnya dari studio Dice Thrower menghabiskan hari ini dengan bermain aneka boardgame bersama teman-teman sesama pecinta boardgame. Tahun ini mereka bahkan sudah membeli tiket pesawat untuk terbang ke pantai barat demi bergabung dengan Board Jamie dan kawan-kawan lain di sana.
Tapi Tom malah terbangun di antah-berantah ini. Melihat gaya bangunan sekitarnya, Tom sadar bahwa tempat ini merupakan kota kecil ala medieval Eropa. Masalahnya adalah apakah dia berada pada masa kini, karena dia tahu masih ada desa semacam ini di pedalaman Eropa, atau masa yang lain.
Meraba sekitarnya, Tom mendapati dirinya duduk bersandar kepada dinding kayu, sepertinya sebuah rumah. Di pangkuannya ada menara dadu kesayangannya. Langsung dia dekap erat-erat benda itu sebagai satu-satunya hal yang familier baginya di tempat yang asing ini.
Tom beranjak. Di ujung jalan batu terlihat sebuah gerbang di antara dinding batu yang sepertinya mengelilingi kota ini. Dari situ terlihat matahari masih terhalang cakrawala, tapi beberapa orang sudah berlalu lalang. Semua berpakaian kuno dari ujung kaki sampai kepala.
Seorang wanita yang membawa sekeranjang keju tiba-tiba muncul dari diri Tom, berjalan cepat menjauhinya. Terkesiap, Tom memegangi perutnya dan menoleh ke kiri dan kanan.
“Hei,” Tom berusaha berbicara kepada seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari pintu salah satu bangunan. Orang berjanggut merah itu diam saja, seperti tidak mendengar Tom sama sekali.
Tom memutuskan untuk menghampirinya, dan tangannya menembus tubuh pria itu begitu saja.
Sambil merenggangkan badan, pria itu menggerutu, bergumam sendiri dalam bahasa yang sulit Tom pastikan, tapi sebagian kosakatanya dia pahami. Ada pajak, susah, dan nama seseorang, tepatnya seorang Duke yang Tom ingat berasal dari Eropa Barat menjelang Rennaissance—Tom pernah membuat karakter untuk boardgame rancangannya berdasarkan Duke itu.
Berarti Tom memang terlempar ke masa lalu… atau proyeksi masa lalu, berhubung dia tidak bisa menyentuh manusia di sini.
Pikiran yang terlintas dalam benak Tom mencengkam dadanya. Dia mengangkat tangannya ke depan mata, terlihat utuh, tapi dia tidak yakin dirinya benar utuh.
Sebenarnya dia sendiri apa?
Beberapa adegan berkelebat dalam ingatan Tom. Dia menolak untuk mencernanya sekarang. Cukup satu hal yang dia lakukan sekarang: berlindung.
Kebutuhan untuk berlindung mendesaknya ketika di ujung jalan yang lain Tom melihat sesuatu yang ganjil di tempat ini: seseorang berbaju hitam, berambut jabrik, dan membawa semacam pedang panjang. Tom langsung menyelinap ke balik pintu, masuk ke dalam rumah pria berjanggut merah yang masih merenggangkan badan, kali ini sambil mengobrol kecil bersama tetangga yang baru lewat.
Si Jabrik tadi terlihat mencolok sekali, memeringatkan Tom bahwa dirinya pasti tampak demikian pula. Tom memasuki kamar tidur yang, untunglah, benar milik pria berjanggut tadi alih-alih milik anggota keluarganya yang lain. Pakaian kusut yang ditumpuk di sebuah meja menjadi incaran Tom.
Dia harus berbaur.
Kaus polo kesayangannya diganti dengan tunik biru kusam, celana ketat cokelat, dan sepatu bot yang agak kebesaran. Tom beruntung menemukan topi berpinggiran lebar, bisa menyamarkan wajahnya, terutama kacamatanya yang tidak bisa ditukar dengan apa pun.
Untuk menampung dadu-dadunya, Tom mengambil kantung kulit yang dia ikatkan ke pinggangnya. Dua butir dadu dia selipkan ke pinggang celana, satu di kiri dan satu di kanan. Dadu adalah kesempatannya untuk bertahan hidup, terlalu berharga untuk disimpan dalam satu tempat.
Menara dadu harus bisa dia bawa tanpa mencolok. Teringat wanita berkeranjang isi keju tadi, Tom menjelajahi dapur. Setelah menumpahkan isi keranjang yang ditemukannya di meja makan, dia menaruh menara dadunya di dalam situ dan menutupinya dengan selembar kain.
Ada pintu belakang di dapur ini. Bagus. Lewat jendela, Tom mendongak, mencari bangunan tinggi. Dia ingat sudah sempat melihat sebuah menara berlonceng di belakang si Jabrik. Jadi dia mencari bangunan tinggi di dekat sini saja. Ada bangunan bertingkat tiga, sepertinya sebuah penginapan.
Terdengar nada-nada pelan, semula terkesan syahdu, tapi telinga Tom menangkap tekanan khusus pada kunci-kunci minor yang pasti dimainkan dengan tangan kiri. Entah kenapa alunan musik ini memaksa Tom untuk mengingat kata-kata si Makhluk Api.
Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapa pun yang menghalangi kalian.
Tom menyeringai, memahami posisinya sekarang: dia sedang bermain, harus bertarung sampai mati bersama empat pemain lain. Tapi Tom sudah melakukannya ribuan kali, bahkan semasa hidup sekalipun. Baik pertarungan dalam boardgame maupun dunia nyata, keduanya adalah permainan yang memerlukan strategi.
Dan toh dia sudah mati.
II
Dari balik jendela sebuah toko roti yang menghadap alun-alun, Tommy menimbang apakah sebaiknya dia menghabisi si Jabrik sekarang atau membiarkan pemain lain menghabisinya lebih dulu. Dari lima pemain yang ada, hanya si Jabrik yang dengan gegabah berkeliaran di kota, tanpa penyamaran, tanpa kehati-hatian.
“Keluar! Hadapi gua! Jangan pengecut! Anak-anak STM sebelah aja nggak sepengecut kalian! Sini adu pedang dengan jantan!”
Tampaknya empat pemain lain, termasuk Tom, memilih untuk mengintai. Apakah ini keadaan yang bagus?
Tom memutuskan untuk menunggu sambil berpura-pura membereskan roti-roti pajangan. Dia tergoda untuk mengeluarkan pisau ukirnya dan membuat boneka yang menyerupai si Jabrik, tapi kegiatan semacam itu hanya akan mengacaukan usaha penyamarannya.
Omong-omong soal boneka, Tom melihat gerakan-gerakan kecil di sudut-sudut jalan. Semula Tom mengira mereka adalah binatang, tapi sebagian berbentuk humanoid. Jadi Tom berubah tebakan, mereka boneka… tapi mereka bergerak.
Seseorang mengendalikan mereka.
Si Jabrik sedang asik sendiri menebas-nebaskan pedangnya sembari menyanyikan Wherever I May Roam, lagu Metallica yang Tom gemari saat remaja.
Api membakar kepala pemuda itu. Si Jabrik berteriak dan berputar-putar dengan panik. Setelah beberapa detik dia menyadari keberadaan sebuah sumur di alun-alun dan memasukkan kepala ke dalam ember di mulut sumur. Dia beruntung ember itu berisi air. Ketika dia mengangkat kepalanya dari ember, Tom tergoda untuk menjulukinya si Layu saja karena rambutnya basah dan lemas sekarang.
Si Jabrik tidak menyadari siapa yang menyerangnya, tapi Tommy punya dugaan kuat soal pelakunya. Salah satu boneka, berpenampilan seperti penyihir tua berbaju abu-abu dan berjanggut putih panjang, mengangkat sebatang sesuatu yang hanya sedikit lebih tebal daripada tusuk gigi.
Keberadaan boneka-boneka ini baru disadari oleh Si Jabrik ketika serangan kedua terjadi, beberapa boneka binatang buas melompat kepada si Jabrik. Sudah tiga boneka—macan, beruang kutub, dan serigala—menempel dan mencakari si Jabrik. Sementara itu, boneka penyihir berlari mengelilingi si Jabrik.
Ukuran boneka-boneka itu sangat kecil, Tom taksir hanya sekitar 4 inci. Dari raungan si Jabrik, Tom dapat membayangkan ngilu yang lebih membuatnya marah daripada kesakitan. Kalaupun si Jabrik ingin menusuk boneka-boneka itu, ada risiko besar dia akan melukai diri sendiri.
Si Jabrik mengubah ukuran pedangnya menjadi sebesar belati, lalu berhasil menusuk dan melepaskan boneka macan. Tom menyipitkan mata saat tidak hanya boneka macan yang terlepas dan seperti kehilangan nyawa. Semua boneka yang mengerubungi si Jabrik, total lima boneka, langsung jatuh tergeletak. Si Jabrik juga menyusul jatuh.
Langsung berdiri si Jabrik, tidak disusul oleh boneka-boneka. Tapi gerakan-gerakan si Jabrik menjadi canggung dan sulit, seakan pemuda itu baru bangun dari tidur panjang dan sedang belajar menggerakkan anggota tubuhnya lagi.
Satu sosok manusia lain, yaitu seorang wanita yang juga berpakaian hitam tapi ditambah rompi antipeluru, tiba-tiba muncul di depan si Jabrik, seperti berpindah tempat dalam sekejap. Wanita itu langsung menancapkan belati dorong ke tengkuk si Jabrik.
Tommy menaruh beberapa potong roti ke dalam keranjang yang sudah berisi menara dadu. Berbaur dengan beberapa orang pembeli, Tom keluar dari toko dan menjauh dari alun-alun.
Angin bertiup kencang, memaksa Tom menoleh. Apa yang dilihatnya mendorong Tom, bahkan juga para manusia yang tidak terlibat permainan maut ini, untuk berlari sejauh mungkin.
Angin topan mengamuk di alun-alun, dan dalam beberapa detik berubah warna menjadi oranye terang: tornado api.
Wanita yang menusuk si Jabrik tadi mengangkat tangan kirinya yang berzirah. Untuk sementara, si Wanita terlindung oleh semacam bola tak kasat mata yang tak bisa ditembus apa pun, sepertinya itu medan energi. Walaupun medan energi itu membuatnya tak terluka, dorongan tornado api terlalu dahsyat sehingga si Wanita akhirnya terlempar juga.
Si Wanita terempas ke bangunan terdekat, pada ketinggian sepuluh meter sebuah menara tempat pengumuman biasa diteriakkan. Alih-alih tubuhnya, medan energinya yang terempas kepada tembok batu menara. Wanita itu lalu jatuh ke tanah, lagi-lagi ditahan oleh medan energinya.
Tapi sebentar kemudian medan energi pecah, seperti sudah kehabisan waktu.
Sekarang si Wanita menjadi mangsa empuk tornado api. Tommy mengumpat sekaligus bersyukur itu bukan nasibnya.
Tornado api mendekati si Wanita. Dia meraih gelang di tangannya dan menghilang, untuk muncul sekitar sepuluh meter dari tempatnya semula, masih di alun-alun.
Sambil merintih, si Wanita mengangkat badannya yang sudah terkena percikan api. Tornado api berbalik arah dan bergerak menuju Wanita itu lagi, tapi sudah sangat mengecil, dan hanya sempat menyerempet si Wanita sebentar sebelum padam. Tetap saja itu menimbulkan luka besar. Sementara si Jabrik berdiri separuh sadar di tempat tornado padam tadi, si Wanita mulai melangkah pergi.
Tidak sudi membiarkannya menyelamatkan diri, Tommy memasukkan tangan ke dalam keranjang, lalu melempar sebutir dadu di dalam menara dadu. Tom tidak melihat hasil lemparannya, tapi kolam es yang tercipta di alun-alun merupakan hasil dari dadunya berhenti pada angka dua.
Si Jabrik langsung tergelincir di atas permukaan es, kejang-kejang entah sebagai efek dari membuat tornado api atau tusukan yang diterimanya tadi. Si Wanita melangkah dengan hati-hati, hampir mencapai ujung kolam es.
Tommy ikut masuk ke dalam sebuah rumah bersama sepasang ayah dan anak. Sambil mengintip lewat jendela depan, Tommy melempar dadu. Mendengar jerit seorang wanita, Tommy tahu lemparan dadunya bukan lima atau enam.
III
Tom beristirahat di rumah itu, mengisi tenaga dengan memakan roti yang diambilnya dari toko di alun-alun tadi. Anak penghuni rumah ini sedang membereskan rumah dan menyiapkan makan siang. Tom curiga anak ini bukan anak kandung tuan rumah, sebagaimana orang Eropa utara dulu sering mengirim anak-anak mereka untuk belajar sekaligus bekerja di rumah orang lain.
Mengamati pekerjaan anak itu membuat Tommy tahu letak benda-benda yang berguna di rumah ini. Setelah anak itu keluar dari ruang tengah yang merangkap dapur dan ruang makan, Tommy mengambil sepotong kayu dari bawah meja. Ini kayu persediaan untuk perapian.
Tommy teringat boneka-boneka di alun-alun.
Dia keluarkan pisau-pisau ukirnya dan mulai bekerja. Sudah terbiasa mengerjakan figur dengan bentuk-bentuk rumit, Tommy dapat membuat boneka kayu sederhana dengan cepat. Dia membuat beberapa boneka binatang lucu, lalu boneka-boneka berbentuk manusia dengan penampilan menyerupai orang-orang di kota ini. Dia ingin mengecatnya juga, tapi itu akan memakan banyak waktu, jadi dia memaksakan dirinya puas dengan ukiran sederhana.
Saat matahari tinggi, Tommy menaruh boneka-boneka kayu buatannya dengan jarak relatif teratur dari alun-alun hingga penginapan yang sempat diintainya pagi tadi. Alunan piano mencekam masih terdengar, tepatnya dari lantai dua. Temponya lebih cepat daripada pagi tadi, tapi masih didominasi kunci-kunci minor yang ditekan dengan pemilihan waktu yang ganjil, seperti sengaja sering tidak disesuaikan dengan temponya.
Seorang perempuan berpakaian pelayan keluar dari penginapan sambil membawa wadah air besar dari kaleng, menembus Tommy yang sedang memikirkan langkah selanjutnya. Tommy memutuskan untuk menanti sambil berpura-pura mengelap jendela penginapan. Sesekali dia melirik ke ujung jalan.
Hanya sekitar seperempat jam kemudian terdengar langkah kaki di belokan tempat Tommy sudah menaruh sebuah boneka kuda kayu. Muncul seorang anak berambut berantakan dan berbaju putih kebesaran. Kakinya yang tanpa alas bergerak cepat saat mengambil boneka buatan Tom. Anak itu meraih boneka kuda dengan satu tangan dan mengangkatnya ke depan matanya yang tidak terlihat sambil memekik senang. Tangannya yang satu lagi menampung tiga boneka kayu lain dan di pundaknya ada sebuah boneka panda.
Tommy mengambil boneka terakhir yang sudah diikatnya dengan tali kain, lalu memutar-mutar tali itu… dan melepasnya untuk terlempar ke beranda tempat asal alunan piano. Wanita pelayan tadi sudah kembali, kali ini membawa wadah air berisi minuman, melewati anak itu dan berjalan ke arah Tommy.
Tom ikut saat wanita itu memasuki penginapan, bersyukur tangan wanita itu terlalu penuh untuk langsung menutup pintu.
IV
Marion mendengar bunyi pelan dari beranda, seperti dua kayu berbenturan. Karena penasaran, juga karena sudah bosan berdiam di kamar sejak pagi, Marion keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dua bola hitam melayang mengikutinya.
Sebuah boneka kayu tergeletak di lantai beranda. Tali yang mengikatnya terulur melewati pagar dan terjuntai ke bawah beranda. Marion mengambil boneka itu, berbentuk wanita dengan rok dan penutup kepala yang sudah beberapa kali dilihatnya dikenakan wanita-wanita di sini.
Marion melongok ke bawah, hanya melihat seorang wanita pelayan memasuki pintu penginapan bersama seorang pria berambut cokelat.
“Kakak! Aku mau boneka itu.” Terdengar suara dari arah sebaliknya. Marion menengok dan menemukan sesosok anak kecil berpipi tembam yang membawa banyak boneka. Di antara boneka-boneka itu, hanya satu yang bukan boneka kayu, yaitu boneka panda di pundaknya. Marion langsung tahu anak itu salah satu peserta pertarungan; luar biasa ganjil kehadiran boneka binatang khas Asia di Eropa pada masa ini.
“Silakan.” Sambil tersenyum, Marion membiarkan boneka di tangannya jatuh untuk ditangkap anak itu. Tapi anak itu hanya memandangi bonekanya sebentar sebelum kembali memusatkan perhatian kepada Marion.
“Kakak! Siapa nama Kakak?”
Marion ragu-ragu. Dia belum tahu kemampuan anak itu. Tidak mustahil anak itu bisa menggunakan nama seseorang untuk mengendalikan atau menyiksanya.
Jadi Marion mengubah satu bola hitam menjadi pedang dan menggenggamnya di balik punggung sebelum melompat dengan anggun dari beranda lantai dua ke hadapan anak itu.
“Aku Nim! Siapa nama Kakak?” tanya anak itu lagi.
Mendengar nada suara Nim yang penuh harap, Marion melunak dan menjawab, “Mari.” Sepertinya tidak berbahaya apabila dia berikan alternatif nama panggilannya.
“Kakak cantik deh… mirip Kak Tabita.” Nim mendongak kepada Marion.
Rambut Nim yang lebat menyamarkan matanya, tapi Marion masih bisa melihat mata Nim yang hitam sepenuhnya.
“Aaa!” Nim menjerit saat Marion melukai tangannya dengan pedang. “Jahat! Kenapa Kakak jahat?!” rengek Nim. Boneka-boneka kayu di tangannya jatuh berserakan karena kedua tangan Nim digunakan untuk mengucek matanya yang berurai air mata.
Hidup selama 250 tahun sudah mengasah kewaspadaan Marion. Dia menjilat darah pada pedangnya, sementara bola hitam yang satu lagi berubah menjadi perisai. Darah yang dikecapnya membuatnya mengetahui hal-hal penting soal makhluk di hadapannya ini.
“Kau tidak hidup. Dia yang hidup.” Marion menunjuk si Panda.
Nim tidak membantah. “Namanya Imanuel, Kak.”
Sebelum Marion sempat berbuat apa-apa, boneka-boneka kayu bergerak dengan lincah, hendak menempel kepada Marion. Nim menggerak-gerakkan jari-jarinya sambil mengikik girang.
Marion melompat menghindar. Boneka-boneka ini lemah, tapi, karena sudah mengecap darah Nim, dia tahu benang-benang energi pada boneka itu bisa dililitkan kepadanya sehingga dia bisa dikendalikan oleh Nim. Marion menebas boneka-boneka itu dengan presisi yang luar biasa. Dalam waktu singkat enam boneka sudah terbelah menjadi dua belas potong kayu kecil.
Sementara Marion sibuk dengan boneka-boneka itu, Nim bersenandung.
Cantik… baik… oh Tabita
Bersama… dia… oh tak bisa
Duhai Kakak, kau di mana
Marion melihat sesosok gadis transparan berwajah teduh dan berambut merah mewujud di sampingnya. Marion mengerutkan dahinya, “Tidak mirip.”
Mengangkat pedangnya, Marion mengincar boneka panda di pundak Nim.
Sesuatu meledak di kaki Marion. Wanita vampir itu terjengkang, jatuh terduduk sambil meringis kesakitan. Kaki kanannya diledakkan sesuatu.
Marion menenangkan diri untuk melakukan regenerasi, tapi sebuah boneka langsung menerjangnya. Boneka itu berwujud wanita berbaju hitam, berompi abu-abu gelap, dan membawa senapan serbu. Penampilannya sudah compang-camping dan agak hangus, tapi kegigihannya mengagumkan.
“Ayo bermain dengan boneka baruku,” kata Nim dengan riang.
Marion menahan serangan bertubi-tubi boneka wanita itu dengan perisainya, sementara dia sendiri berdiri dan memulihkan kakinya yang terkena ledakan.
Tidak mau terjerat benang energi, Marion berbalik dan mulai berlari, hendak menyusun strategi. Tapi malah terjadi guncangan dan dia menabrak seekor gurita setinggi dua meter di hadapannya. Lengan-lengan Gurita yang dua kali lebih panjang daripada tinggi badannya berimpitan di jalan sempit ini.
Marion menghadap Nim lagi, jarak mereka tidak sampai sepuluh meter. Marion bermaksud mengambil risiko berlari melewati Nim dan tameng bonekanya. Tapi di belakang Nim kini terhampar semak-semak berduri.
Marion tahu gurita dan semak-semak ini bukan panggilan Nim. Ada peserta lain di sini, dan dia menjebak mereka.
Gurita menggerakkan lengannya dengan canggung, tapi tetap berbahaya karena menyapu seluruh permukaan dengan kekuatan besar. Marion menahan lengan Gurita dengan pedangnya, memotong separuh dagingnya sebelum lengan itu ditarik menjauh dari pedang Marion dan menyemburkan darah biru.
Seperti sedang berteriak kesakitan, Gurita mengeluarkan bunyi dengung yang menggetarkan jantung Marion.
Nim menjerit panjang, melengking semakin tinggi hingga napasnya habis. Lantas anak itu jatuh. Di baliknya tampaklah seorang pria berambut cokelat yang sempat dilihat Marion sebelum bertemu Nim. Satu tangannya mencengkeram Imanuel, sementara tangannya yang lain menggenggam sebatang pisau kecil yang ditusukkan ke tubuh boneka itu.
V
Tom melepaskan Imanuel dari pisaunya dan melempar boneka itu kepada Gurita. Tanpa perintah apa pun Gurita sudah akan melumat Imanuel saat tidak sengaja menindihnya. Semula Tom berencana menyakiti Nim dengan monster panggilannya; dia tidak pernah tega menyakiti anak-anak, karena dia sendiri punya dua keponakan. Tapi Mari membuatnya tahu bahwa Panda itulah musuh mereka yang sebenarnya.
Menusuk boneka—apa sulitnya?
Sekarang pemain yang tersisa tinggal Tom dan wanita pucat yang mengaku bernama Mari ini. Tom sudah melihat Mari melompat dari lantai dua semudah melompat dari sofa. Tom juga sudah menyaksikan kecepatan Mari yang luar biasa; telat sekejap saja, Mari sudah melewati Gurita.
Tom bertanya-tanya apakah sebaiknya tadi dia membiarkan Mari pergi dan menghabisi Imanuel dulu.
Mari bergeming memandangi Tom, lalu berkata, “Aku tak ingin membunuhmu. Aku tak ingin menyakiti siapa-siapa.”
“Hei, Nona. Kita semua sudah mati.” Tom mengambil dadu sebanyak yang dia bisa genggam dari kantong yang terikat pada pinggangnya. “Tidak perlu kau risaukan itu.”
“Kalau kau sudah bilang begitu,” Marion mengacungkan pedangnya kepada Tom, “aku tidak akan ragu-ragu.”
Tom melempar semua dadu di tangannya ke atas, membiarkannya jatuh sementara dia berlari ke dalam penginapan. Sesaat teralih perhatiannya oleh dadu-dadu yang dilempar, Mari menyusul. Tapi api menyergapnya—Tom melempar obor kepadanya.
Mari memekik sambil melompat mundur, dan menerima hantaman keras berkali-kali. Gurita menyerangnya seperti kesurupan, menamparnya ke dinding penginapan dan menghajarnya lagi. Perisai Mari hanya sanggup menolak satu lengan, sementara Gurita menggunakan lengan sebanyak yang memungkinkan. Pedang dan perisai Mari jatuh dan tertindih oleh lengan Gurita, sementara Mari sendiri sudah lemas dengan darah mengucur dari kepalanya.
Tom melempar dadunya lagi. Sudah melihat Mari bisa memulihkan diri, Tom harus menghabisinya secepat mungkin.
Salah satu lengan Gurita menyambar Mari dan melemparnya ke semak-semak berduri.
Tom melempar dua dadu dari kantongnya, tapi kali ini dia tidak beruntung karena keduanya menghasilkan angka lima. Dengan panik Tom menyambar dua dadu yang teronggok di tanah setelah dia lempar tadi, dan langsung melempar dua-duanya lagi. Tom tidak menunggu hasilnya dan melempar sebuah dadu lain dari kantongnya. Keadaan terlalu genting untuk dia berhemat dadu di kantongnya.
Dua angka lima dan satu angka satu.
Mari menggeliat sekuat tenaga dan sempat berhasil berdiri, tapi sulur-sulur berduri itu menjerat dan menjatuhkannya lagi.
Tom memaksakan diri menembus semak berduri. Dia meringis saat duri-duri menggores tubuhnya, tapi ini pengorbanan kecil dibanding keberhasilannya nanti. “Aku tidak tahu kau makhluk apa. Tapi aku tebak kau bersembunyi di penginapan karena kau tidak suka matahari.”
Alih-alih menjawab, Mario menyebut kedua orangtuanya. “Ayah, Ibu,” Mari terbatuk karena tersedak darah di mulutnya sendiri, “maafkan aku.”
Kata-kata terakhir Mari tak dihiraukan oleh Tom yang sedang merogoh kantongnya. “Vampir, ya?”
Tom menghunjamkan pisau ukirnya ke jantung Mari.
Ini table-top day yang luar biasa.
Melody Violine
Mungkin paragrafnya yang saling berhimpit, atau cerita yang terkesan dipadatkan, membuat saya skimming-skimming bacanya. Sebenernya saya tertarik dengan konsep 'permainan' yang dicetuskan di awal, tapi sampe akhir kurang menemukan aplikasi permainannya. Sama, saya emang baca charsheet, tapi mungkin ditambahi sedikit deskripsi soal kemampuan gapapa lah... Hehe.
ReplyDeleteNilai 6!
deskripsi kemampuan--usul bagus
Deletethank you!
Maaf mba Mel, saya beneran ga bisa bilang menikmati ini
ReplyDeleteMeski cuma 2k, entah kenapa saya butuh waktu lebih lama buat ngabisinnya dibanding cerita lain yang lebih panjang. Baru belakangan saya mikir, kalo kayanya ini karena 1) terlalu banyak tell, 2) minim banget dialog, 3) paragrafnya padet dan sempit
Saya rada menyayangkan karena tulisan pendek begini justru entah kenapa jadi berkesan membatasi si penulis, padahal sebenernya bisa lebih fleksibel
6/10
Tercatat
Deletetidak perlu minta maaf :v /
Deleteakunya udah lama nulis, jadi hasilnya begini
terima kasih Sam sudah membaca, kasih komen, dan kasih nilai
eh, udah lama ga nulis -_- (sampe salah tulis kan)
DeleteMenurutku teknik bertarungnya sudah bagus hanya perlu dikembangkan. Teknik diam, menunggu, dan memasang jebakan memang teknik yang bagus tapi karena ini ada banyak orang alangkah baiknya mengexplorasi tempat.
ReplyDeleteJadi untuk ini akan ku beri nilai 8/10
Tercatat
DeleteYup, seperti yang dijelaskan dengan gamblang di segmen ini, pertarungan macam battle royale ini memang butuh strategi. Dan seperti permainan table-top battle, ada kalanya OC harus maju, mundur, menunggu, mengamati dan pada akhirnya mengendalikan seluruh permainan. Been there, done that.
ReplyDeleteNamun, nampaknya si Tom ini sangat beruntung sekali. Coba kalau sejak awal si Jabrik menyerang dia, belum tentu dia bisa se-"santai" itu membuat boneka-bonekanya, yang tentunya di-customized untuk mengatasi kelemahan para lawannya (yang tentunya Tom ketahui lewat pengamatan).
Andai situasi Tom dibuat terdesak sejak awal, tarung akan lebih seru dan andaipun dia kalah, saya takkan ragu memberi nilai penuh untuk cerita yang amat mendekati realistis. Jadi untuk yang satu ini, 7/10 for sheer unique battle tactic.
Tercatat
Deletepermainan strategi ala Tom cukup bagus menurut saya....
ReplyDeletetapi paragrafnya bikin fast read dan saya nggak menemukan sesuatu yang "wow" disini...
jadi cukup..
7/10
"Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapa pun yang menghalangi kalian."
ReplyDeleteOke, saya setuju dengan kalimat itu.. :3
-----
Well, pertarungannya seru nih karena saya membayangkan si Tom ini mirip Kankurou di mangan Naruto.. bisa ngendalikan boneka kayak gitu.. but, ini kurang dialognya sih.. banyak penjelasan dari author aja.. :( jadi minus banget.. dan bagi saya, ini terlalu pendek (IMO aja sih)...
jadi...
-----
7/10
-----
*manga Naruto
Deleteitu kutipan dari panitia kok :v
DeleteTomnya jarang ngomong karena takut kedengaran oleh pemain2 lain (soalnya beda dengan dialek setempat) tapi memang jadi sepi ya ~_~
terima kasih, Hikaru!
saya kirain kalem itu si Tom.. :3
DeleteUntuk sebuah kisah pertempuran, kisah ini asyik juga untuk diikuti. Secara ending, aku suka pemotongan endingnya tapi di satu sisi serasa ada yang kurang ketika selesai membaca. Menurutku 'kebisuan' karakter Tom dan sedikitnya dialog bukan masalah utama pada cerpennya sih. Aku lebih concern ke arah karakter Tom yang ga gitu kerasa karakternya jadi lebih sulit untuk menyukai atau berempati dengan karakternya. Aku malah lebih bisa dapetin karakter Marion-nya walau gak dalam juga. Tapi ide permainan dengan konsep menyamar memang menarik. Sebagai game designer cerita ini cukup inspiratif dan menantang bagaimana memberikan eksperience seperti itu kepada pemain. So walau ceritanya hanya sederhana dan karakter kurang, over all penyampaian menarik dan tetep bisa menginspirasi. So Nilainya 8/10 ^^
ReplyDeleteTercatat
DeleteDi awal bahasanya bagus, tapi pas ke battle kok kayak buru-buru dan agak terlalu menceritakan ya?
ReplyDelete.
Sama ini, saya baca berkali-kali paragraf ini tapi kok saya masih agak gagal paham?
"Omong-omong soal boneka, Tom melihat gerakan-gerakan kecil di sudut-sudut jalan. Semula Tom mengira mereka adalah binatang, tapi sebagian berbentuk humanoid. Jadi Tom berubah tebakan, mereka boneka… tapi mereka bergerak. "
>> Tom berubah tebakan? maksudnya?
Anyway +7
Tercatat
DeleteRasanya taktik si Tom di cerita ini agak-agak terpengaruh Melo yang sudah berturut-turut menerjemahkan Assassin's Creed ya? Heheheh.
ReplyDeleteMenurutku cerita ini asyik dibaca, hanya saja adegan kematian beberapa pesertanya kurang jelas, sehingga aku sering bingung mana karakter yang sudah mati dan mana yang masih hidup.
8/10
-Ivon
thank you, Ivon :3
Deletenow that you've said it... maybe you're right :v
saya emang lagi nerjemahin Assassin's Creed lagi
Table-top ... tapi tidak di atas meja. Oh well, mungkin itu cuma kiasan.
ReplyDeleteMasuk ke review. Masih ada typo, termasuk di bagian terakhir. Marion ditulis sebagai Mario—jadinya nama cowok... oTL
Di sini, tampak Tommy seperti tanpa banyak perjuangan. Saya suka bagian dia menyamar dan berbaur memanfaatkan setting lingkungan. Tetapi dalam bayangan saya—karena Tommy menggunakan dadu—mestinya ada saatnya lemparannya sial. Sedangkan di cerita ini, kelihatan kalau lemparan Tommy selalu mujur. Setidaknya buatlah satu-dua adegan saat lemparan dadunya buruk sehingga strateginya tak berjalan lancar sesuai rencana. Bukankah unsur untung-untunganlah yang membuat boardgame mengasyikkan?
Tambahan, mungkin perlu dijelaskan sedikit saja prosedur dari pelemparan dadu itu. Setiap angkanya bermakna apa. Sehingga pembaca tidak harus melihat charsheet Tommy untuk mengetahui itu.
Oh iya, satu lagi. Di pertengahan cerita, saat sudut pandang berganti pada Marion, itu juga tampak aneh bagi saya. Kalau memang ada pergantian sudut pandang, mengapa hanya pada Marion saja? Xabi dan Yvika tidak kebagian porsi penceritaan yang seimbang.
Oke. Secara keseluruhan, ini cerita yang bagus. Meskipun mungkin bagi saya kurang seru. Poin 6.5
terima kasih atas review om hewan
Deletelemparan dadu Tommy justru sial waktu keadaan genting
kutipan:
Tom melempar dua dadu dari kantongnya, tapi kali ini dia tidak beruntung karena keduanya menghasilkan angka lima. Dengan panik Tom menyambar dua dadu yang teronggok di tanah setelah dia lempar tadi, dan langsung melempar dua-duanya lagi. Tom tidak menunggu hasilnya dan melempar sebuah dadu lain dari kantongnya. Keadaan terlalu genting untuk dia berhemat dadu di kantongnya.
"Confuse is Confuse. No explain for that." - Unknown People on the street -
ReplyDeletePercayalah kak, Umi bingung mau komen apa sebenarnya. Ceritanya keren. Plotnya tergambar jelas di otak Umi. Mulai bagaimana Tommy melakukan A sampe dia nyamar, sampe dia bergerak perlahan-lahan. Semuanya tergambar jelas di bayangan Umi.
Hanya satu yang Umi sayangkan, Umi ngerasa Tommy, hanya jadi Cameo yang memperhatikan tindak tanduk tokoh lain di cerita ini. Mungkin kebiasaan Tommy main Board Game membuat dia jadi tokoh yang hati-hati kali ya? :D
Nah untuk ceritanya sendiri, Umi pengen nanya satu hal aja kak, Kok Tommy tahu Marion di dalam kamar sementara? Agak ganjil rasanya :3
Umi kasih 6/10 ya kak :D
Tercatat
Deletemenyamar ya? *gkepikiran* :o
ReplyDeletetp kbayang jg sih klo peserta yg g kliatan pake baju dari realm itu trus bajunya g ikutan menghilang, bakal kliatan kyk invisible man buat penghuni realm, bajunya dan keranjangnya bakal melayang2 #plok xD
strategi pertarunganya asik kak, walopun peserta lain jd terkesan cepat amat matinya x3
nilai 8/10 :)